BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak terjadinya reformasi di tahun 1998, tonggak sejarah baru dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia seolah dimulai dari awal, Dari tahun 1999 sampai tahun 2002 UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali. Melalui perubahan UUD 1945, MPR telah mendekonstruksi diri menjadi lembaga DPR dan DPD yang hampir mirip dengan model parlemen Bikameral. Dalam kehidupan ketatanegaraan DPD merupakan jelmaan dari representasi regional, DPD sesungguhnya untuk memberikan kontrol daerah kepada pusat dalam hal pemerintahan pusat membuat kebijakan. Eksistensi DPD merupakan sarana untuk mewujudkan desentralisasi dalam menyuarakan aspirasi daerah, yaitu dengan memberikan peran kepada daerah untuk maju dengan mengelola sumber daya dan sumber dana di daerah semata-mata demi mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerah bersangkutan. Adanya DPD juga akan meningkatkan posisi tawar pemerintah daerah dalam memperjuangkan aspirasi daerah secara langsung ditingkat pusat. Dengan disahkannya UU no. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah, memperkuat peran pemerintah daerah secara otonom untuk mengelola daerahnya masing-masing, Kehadiran otonomi daerah juga mempunyai tujuan untuk lebih mengoptimalkan fungsi pelayanan publik secara lebih baik kepada masyarakat. DPD sebagai lembaga yang mempunyai fungsi untuk memperjuangkan aspirasi daerah ditingkat pusat dalam hal legislasi, seharusnya diperkuat peran serta fungsinya. Akan tetapi yang terjadi justru peran DPD terganjal oleh regulasi yang terkesan memberikan kewenangan yang tidak jelas. Oleh karena itu nampaknya masalah ini berlawanan dengan posisi DPD dalam politik kita saat ini. DPD dianggap seperti macan ompong karena dianggap tidak mampu berbuat banyak dalam memperjuangkan kepentingan daerah. Salah satu problem eksistensial DPD adalah UUD 1945, meski telah diamandemen empat kali, masih dijumpai pasal-pasal yang mengkerdilkan DPD. Dimana UUD 1945 hanya mengatur DPD dalam pasal tertentu saja, tentang perannya terutama diatur dalam pasal 22 D, yang meliputi : DPD dapat mengajukan RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu kepada DPR; DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu dan memberi pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama ; serta DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU bidang tertentu dan menyampaikan hasilnya kepada DPR. Bidang tertentu yang dimaksud berkaitan dengan otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lain, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Meski dari segi kewenangannya terkesan dianaktirikan, karena hanya sebatas mengajukan dan membahas RUU tertentu berkaitan dengan otonomi daerah dan tidak memiliki hak suara (pasal 22D UUD 1945), Kemunculan DPD diharapkan akan memfasilitasi berbagai perspektif kedaerahan yang bergulir seiring dengan keinginan masyarakat di daerah untuk terlibat dalam penentuan kebijakan tingkat nasional. Faktor penghambat DPD untuk mengoptimalkan peran dan wewenangnyadi lembaga legislative perlu dikaji sisi internal dan eksternal dalam tubuh DPD tersebut dalam proses
demokratisasi, sebab institusi baru ini memang tidak memiliki kewenangan politik yang substantive dan definitive, sehingga belum mampu mempengaruhi kehidupan sehari-hari. M87enyuarakan aspirasi dan kepentingan daerah sekarang ini tentulah berarti menyuarakan keanekaragaman daerah-daerah, mendesakkan tuntutan keadilan, demi mewujudkan dan menjaga kebersamaan. Guna memberi pemahaman mengenai posisi DPD dalam konstelasi perwakilan politik, maka langkah-langkah yang diperlukan dalam menyuarakan aspirasi daerah perlu untuk memperkuat peran DPD tersebut. B. rumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, timbul beberapa permasalahan yang menarik untuk dikaji, yaitu : 1. Bagaimana Tugas dan wewenang DPD RI ? 2. Gagasan untuk memperkuat peran DPD dalam memperjuangkan Aspirasi Daerah ! BAB II PEMBAHASAN C.Tugas dan Wewenang DPD RI Menurut UUD 1945 pasca amandemen, hanya DPR yang mempunyai kekuasaan membuat UU, sedangkan DPD hanya dapat mengajukan RUU ke DPR, itupun terbatas pada RUU yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah dan hubungan pusat-Daerah. Diluar itu, DPD tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Maka dari itu ketentuan tentang tugas dan wewenang DPD dapat ditemui dalam pasal 22 D UUD 1945, pasal 23 E ayat 2 dan pasal 23 F ayat 1. Adapun pasal 22 D berbunyi sebagai berikut : 1. DPD dapat mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 2. DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. 3. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU. Mengenai : otonomi daerah, pembentukan. Pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,pelaksanaan APBN, pajak, pendidkan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Selain yang diatur dalam pasal 22 D, tugas dan wewenang DPD juga diatur dalam pasal 22 E ayat 2, Dimana DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan Negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai dengan kewenangannya. Kemudian pasal 22 F ayat 1, DPD memberiakan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK. Dari penegasan dalam pasal 22 D, pasal 22 E dan pasal 22 F terlihat bahwa UUD 1945 tidak mengatur secara komprehensif tentang DPD, pengaturan DPD sangat sumir, DPD sama sekali tidak mempunyai kekuasaan apapun, DPD hanya memberikan pertimbangan, usul, ataupun saran, sedangkan yang berhak memutuskan adalah DPR. Karena itu keberadaan DPD
disamping DPR tidak dapat disebut sebagai Bikameralisme dalam arti yang lazim. Selama ini dipahami bahwa kedudukan kedua kamar itu dibidang legislative sama kuat, maka sifat bikameralismenya disebut ‘ Strong Becameralism’, tetapi jika kedua kamar tidak sama kuat, maka disebut ‘Soft Becameralism”. Akan tetapi, dalam pengaturan UUD 1945 pasca perubahan keempat bukan saja bahwa struktur yang dianut tidak dapat disebut ‘Strong Becameralism’ yang kedudukannya sama kuat, bahkan juga tidak dapat disebut sebagai ‘Soft Becameralism’ sekalipun. Sehingga DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya memberikan pertimbangan kepada DPR. UUD 1945 tidak mengatur secara tegas apa saja hak-hak DPD dan Hak anggota DPD. Juga tidak diatur bagaimana membahas RUU dari DPD dan lain-lain. Seharusnya aturan-aturan yang menyangkut mekanisme, hak-hak yang melekat pada DPD dan anggota DPD diatur sama dengan ketentuan mengenai DPR. Mekanisme pengajuan RUU oleh DPD justru diatur dalam UU No. 22 tahun 2003. dalam pasal 42 ditegaskan bahwa DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dan DPR mengundang DPD untuk membahas sesuai tata tertib DPR. Pembahasan RUU dilakukan sebelum DPR melakukan pembahasan dengan pemerintah. Dalam hal keikutsertaan DPD dalam membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah, DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan RUU bersama dengan pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan Tata Tertib DPR. Pembicaraan Tingkat I dilakukan bersama antara DPR, DPD, dan pemerintah, Dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas rancangan undang-undang, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat dari masing-masing lembaga. Pandangan, pendapat, dan tanggapan dijadikan sebagai masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah ( pasal 43 UU no 22 tahun 2003). Disamping ketentuan diatas DPD juga dapat memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidian, dan agama. Pertimbangan tersebut diberikan dalam bentuk tertulis sebelum memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan pemerintah. DPD juga dapat memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK. Selain itu DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.Hasil pengawasan tersebut disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Pengawasan yang dilakukan DPD dalam hal ini ; menerima dan membahas hasil-hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan oleh BPK sebagai bahan untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu, meminta secara tertulis kepada pemerintah tentang pelaksanaan UU tertentu, menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan UU tertentu dan mengadakan kunjungan kerja ke daerah untuk melakukan mentoring atas pelaksanaan UU tertentu. ( penjelasan pasal 46 UU no.22 tahun 2003).
D. Memperkuat Peran DPD Masalah kewenangan dan peran DPD dalam sistem bikameral, bisa diambil contoh dari Amerika Serikat yang menggunakan sistem dua kamar (bikameral). Merupakan hasil kompromi antara negara bagian yang berpenduduk banyak dan yang berpenduduk sedikit, yaitu : 1.House of Representatives (DPR) adalah mewakili seluruh rakyat atau anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasar jumlah penduduk secara generik, disebut juga Majelis pertama/ majelis rendah. 2. Senate (senat) adalah mewakili negara bagian atau anggotanya dipilih/diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut juga majelis kedua/Majelis tinggi, di indonesia disebut DPD. Mengenai kewenangan dalam sistem bikameral, banyak sekali ahli berpendapat legitimasi dari Majelis tinggi menentukan kuat lemahnya sistem bikameral disuatu negara. legitimasi ditentukan oleh keterlibatan warga negara dalam pemilihan anggota Majelis. Majelis tinggi yang langsung dipilih oleh rakyat mempunyai legitimasi yang tertinggi, makin tidak langsung, makin kurang legitimasinya. Sejumlah ahli menemukan hubungan sistematik antara tingkat legitimasi dan kewenangan formal yang diberikan kepada majelis tinggi, makin tinggi legitimasinya, makin kuat kewenangannya, seperti contoh: Negara Amerika Serikat, Swiss, Italia dan Filipina. Di Indonesia merupakan sebuah ’Anomali’, karena dengan definisi legitimasi diatas, DPD mempunyai legitimasi yang sangat tinggi, yang seharusnya memiliki kewenangan Formal yang tinggi pula. Tetapi dalam kenyataannya kewenangan Formalnya justru sangat rendah. Upaya penambahan otoritas politik dan legislasi terhadap DPD akan menempatkannya sebagai Lembaga selevel senat seperti sistem perwakilan di negara Amerika Serikat. Pada saatnya nanti kedudukan DPD setara atau hampir setara dengan DPR. Langkah tersebut akan ditempuh melalui 3 cara sistematis, yakni : ’Judisial review, Revisi UU Susduk, dan Amandemen UUD 1945’. Untuk melakukan amandemen tahapan kelima UUD 1945, mantan ketua DPR Akbar Tandjung mengatakan, perlu waktu sekitar lima hingga sepuluh tahun dan pada masa ini momentum politiknya kurang tepat untuk mengubah UUD 1945 itu, perlu ekskalasi politik. Karena itu untuk kepentingan DPD, yang paling tepat dan relatif lebih mudah saat ini adalah mengubah UU No. 22 tahun 2003 tentang susunan kedudukan. Dengan mengubah UU Susduk itu, DPD dapat melakukan banyak hal dalam peningkatan kedudukan dan perannya dengan mendekati DPR. Peluang lebih lebar sudah tersedia melalui perubahan UU susduk, tinggal melobi partai dan pemerintah serta membuat opini dari masyarakat. Perlu juga upaya sosialisasi pokok-pokok pikiran DPD. Jika penambahan otoritas DPD berhasil, itu akan mengubah proses legislasi antara DPR dan Presiden menjadi pola hubungan 3 kamar yang asimetrik. Sebab UUD 1945 mengatur hubungan DPD hanya terjadi dengan DPR. Peneliti politik LIPI Syamsuddin Harris mengusulkan adanya pola penataan hubungan kerja DPR dan DPD. Perlunya membentuk panitia bersama (joint committe) DPR dan DPD sebagai bagian dari upaya membangun sinergitas dan kemitraan dalam relasi kerja antara kedua dewan tersebut. Panitia bersama itu nantinya bertugas mengatur mekanisme rapat pembahasan bersama RUU antara DPR dan DPD. Jika terjadi deadlock atau ketidaksepahaman antara DPR dan
DPD dalam rapat bersama, perlu dibentuk panitia kerja bersama (conference committe). Panitia kerja sama itu adalah forum konsultasi antara DPD dan DPR untuk menyelesaikan perbedaan pandangan tentang isu-isu atau kasus yang tidak dapat diselesaikan pada joint committe. Selain itu, langkah lain yang perlu diambil adalah memformalkan sidang gabungan (joint seassion) DPR-DPD dalam rangka menjalankan tugas-tugas majelis permusyawaratan. Adapun tugas itu adalah membahas dan membentuk UUD, melantik presiden dan wakil presiden, memberhentikan presiden dan wakil presiden sesuai mekanisme pasal 7 b UUD 1945, memilih pengganti presiden dan Wapres yang berhalangan tetap, serta mendengarkan pidato kenegaraan presiden. Itu adalah esensi DPR dan DPD sebagai salah satu kesatuan parlemen yang diwadahi melalui majelis (MPR). BAB III PENUTUP E. Kesimpulan Dalam sistem ketatanegaraan di indonesia, posisi DPD setara dengan lembaga negara lain. Namun kehadirannya terasa belum mampu menyuarakan aspirasi dan kepentingan daerah. Penyebab utamanya, wewenang DPD masih sangat terbatas. DPD tidak mempunyai kewenangan dan fungsu seperti DPR. Sejauh ini DPD hanya memiliki kewenangan mengusulkan, memberikan masukan, pertimbangan ataupun saran terhadap RUU , sedangkan yang berhak memutuskan adalah DPR, UUD 1945 tidak mengatur secara tegas apa saja hakhak DPD dan anggota DPD, juga tidak diatur bagaimana membahas RUU dari DPD dan lainlain., seharusnya aturan-aturan yang menyangkut mekanisme, hak-hak yang melekat pada DPD dan anggota DPD diatur sama dengan ketentuan mengenai DPR. Khusus DPD sesuai awal kehadirannya dirancang hanya terbatas pada RUU otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan memperkuat peran DPD utamanya dalam menyuarakan Aspirasi dan kepentingan daerah, tidak berarti DPR menjadi lemah. Yang benar adalah sistem perwakilan dan lembaga legislative kita justru akan semakin kuat. f. Saran Setelah mengamati eksistensi dan kedudukan DPD tersebut di atas, beberapa saran yang diajukan sebagai berikut : Pertama, DPD harus diberikan fungsi dan peranan konstitusional yang lebih besar. DPD perlu diberikan akses yang lebih luas dalam proses legislasi, pengawasan dan perwakilan kepentingan Daerah. Sesuai dengan sistem bicameral, DPD dapat diberikan fungsi untuk turut memberikan persetujuan atas RUU. Persetujuan atas RUU dapat dilakukan oleh DPR bersama-sama dengan presiden atau DPR bersama-sama dengan DPD. Perlunya membentuk panitia bersama (joint committe) DPR dan DPD sebagai bagian dari upaya membangun sinergitas dan kemitraan dalam relasi kerja antara kedua dewan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Ni’matul Huda. 2006 hukum tata Negara Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo persada T.A. Legowo Dkk 2005. Lembaga perwakilan rakyat di Indonesia, studi & analisis sebelum & setelah perubahan UUD 1945. Jakarta : FORMAPPI
Latif Abd. Rachman. 2008. Peran DPD RI dalam menyuarakan aspirasi daerah. Artikel Jawa pos, 2006- 2007 Bagir Manan. 2003. Teori dan Politik. Yogyakarta : FH UII Press Ni’matul Huda, 2003 Politik ketatanegaraan Indonesia kajian terhadap dinamika perubahan UUD 1945. Yogyakarta : FH UII Press