Makalah_asmster 4 Suhan_keperawatan_pada_klien_dengan_benigna_prostat_hipertropi[2].docx

  • Uploaded by: nurulislamiati
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah_asmster 4 Suhan_keperawatan_pada_klien_dengan_benigna_prostat_hipertropi[2].docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,028
  • Pages: 27
MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI

Dosen Pembimbing : Daryani, S.Kep., Ns., M.Kep

Disusun Oleh : 1. Afifah Lina A

(1601001)

2. Fani Suryani

(1601011)

3. Ganang Prio Bangkit N

(1601012)

4. Nurul Islamiati

(1601021)

PRODI S1 ILMU KEPERAWATAN TINGKAT IIA SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH KLATEN 2018

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Puja dan puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Keperawatan Anak yang berjudul “ Asuhan Keperawatan Pasien dengan Benigna Prostat Hipertropi ” Keberhasilan tugas makalah keperawatan anak ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis sampaikan terima kasih kepada Dosen pembimbing dan semua pihak yang telah membantu pembuatan tugas ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan tugas ini masih ada kekuranagn, oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tugas yang lain.

Klaten,

Maret 2018

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kelenjar prostat adalah suatu jaringan fibromuscular dan kelenjar granular yang melingkari uretra bagian proksimal, yang terdiri dari kelenjar majemuk, saluran-saluran dan oto polos terletak dibawah kandung kemih dan melekat pada dinding kandung kemih dengan ukuran panjang 3-4 cm dan lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm dan sebesar biji kenari, pemebesaran pada prostat akan membendung uretra dan dapat menyebabkan retensi urin, kelenjar prostat terdiri dari lobus posterior lateral, anterior dan lobus medial, kelenjar prostat berguna untuk melindungan spermatozoa terhadap tekanan yang ada uretra dan vagina. Serta menambah alkalis pada cairan seminalis.

B. Rumusan Masalah Bagaimana penjabaran dari asuhan keperawatan pada pasien ysng mengalami benigna prostat hipertropi ?

C. Tujuan Supaya mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan benigna prostat hipertropi.

BAB II KONSEP DASAR

A. Pengertian Benigna Prostat Hipertropi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi, jaringan kelenjar atau jaringan fibromusculer yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab/UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Soetomo, 1994). BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umu pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671). BPH adalah hiperplasia kelenjar peri uretral yang merusak jaringan prostat yang asli ke perifer, dan menjadi simpai bedah (Mansjoer, dkk, 2000).

B. Etiologi Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim 5α-reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis

dan lobus medius) hingga pada hiperestrinisme, bagian inilah yang mengalami hiperplasia. (Hardjowidjoto,2000). Menurut Basuki (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnyahiperplasi prostat adalah : 1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut. 2. Peranan dari growth factor

(faktor pertumbuhan) sebagai pemicu

pertumbuhan stroma kelenjar prostat. 3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati. 4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi selstroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan. Pada umumnya dikemukakan beberapa teori yaitu : 1. Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengancepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral. 2. Teori kedua adalah teori Reawekering menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya. 3. Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan terjadinya konversi testoteron menjadi estrogen. (Sjamsuhidayat, 2005).

C. Klasifikasi Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium : 1. Stadium I Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis. 2. Stadium II Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia. 3. Stadium III Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc. 4. Stadium IV

D. Tanda Dan Gejala Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining), kencing terputusputus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow. Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi

walaupun

belum

penuh

atau

dikatakan

sebagai

hipersenitivitasotot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi

(frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer,2000) Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over flowin kontinen).

Menurut Smeltzer (2002) menyebutkan bahwa : Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yangturun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut. E. Patofisiologi Menurut Mansjoer Arif (2000), pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya, serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam musoka buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, musoka vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan musoka yang apabila kecil dinamakan sakuladan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.

F. Pathway

G. Pemeriksaan Penunjang Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini : 1. Rectal Gradding Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong : a

Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.

b

Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.

c

Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.

d

Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.

e

Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.

2. Clinical Gradding Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter. a. Normal : Tidak ada sisa b.

Grade I : sisa 0-50 cc

c. Grade II : sisa 50-150 cc d.

Grade III : sisa > 150 cc

e. Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing 3. Pemeriksaan Fisik a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok septik. b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.

c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis. d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu : Derajat I = beratnya ± 20 gram. Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram. Derajat III = beratnya > 40 gram. 4. Pemeriksaan Laboratorium a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien. b. Pemeriksaan urin lengkap dan kultur. c. PSA

(Prostatik

Spesific

Antigen)

penting

diperiksa

sebagai

kewaspadaan adanya keganasan. 5. Pemeriksaan Uroflowmetri Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian : a

Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.

b

Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.

c

Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.

6. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik

a

BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.

b

USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik.

c

IVP (Pyelografi Intravena), digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis.

7. Pemeriksaan Panendoskop Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli. H. Komplikasi Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000). Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005). I. Penatalaksanaan Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan

1. Observasi Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur. 2. Medikamentosa a

Mengharnbat adrenoreseptor α

b

Obat anti androgen

c

Penghambat enzim α -2 reduktase

d

Fisioterapi

3. Terapi Bedah Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan: a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy) Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra. b. Prostatektomi Suprapubis Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih. c. Prostatektomi retropubis Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih. d. Prostatektomi Peritoneal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum. e. Prostatektomi retropubis radikal Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat. 4. Terapi Invasif Minimal a. Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT) Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter. b. Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP) c. Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD).

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian. Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan ( Nasrul, E,1995 : 18 ). 1. Pengumpulan data Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi : a. Identitas klien Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa / ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki – laki berusia lebih dari 50 tahun dan biasanya banyak dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I, 1991 : 1743 ). b. Keluhan utama Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah nyeri yang berhubungan dengan spasme buli – buli. Pada saat mengkaji keluhan utama perlu diperhatikan faktor yang mempergawat atau meringankan nyeri ( provokative / paliative ), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan / intensitas ( saverity ) dan waktu serangan, lama, kekerapan (time). c. Riwayat penyakit sekarang Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urinari Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal

yang dapat menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya gejala untuk pertama kali atau berulang. d. Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit pasca bedah ( Sunaryo, H, 1999 : 11, 12, 29 ). Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing dan pembedahan terdahulu. e. Riwayat penyakit keluarga Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun seperti : Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali . f. Riwayat psikososial Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya serta hubungan interaksi pasca tindakan TURP. g. Pola – pola fungsi kesehatan Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli – buli memerlukan penggunaan anti spasmodik sesuai terapi dokter. (Marilynn. E.D, 2000 : 683). 2. Pola nutrisi dan metabolisme Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum sebelum flatus . 3. Pola eliminasi Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urin dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat terjadi setelah kateter di lepas (Sunaryo, H, 1999: 35) 4. Pola aktivitas dan latihan

Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. 5. Pola tidur dan istirahat Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat. 6. Pola kognitif perseptual Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP. 7. Pola persepsi dan konsep diri Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan dan komplikasi pasca TURP. 8. Pola hubungan dan peran Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat kerja dan masyarakat. 9. Pola reproduksi seksual Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograd ( Sunaryo, H, 1999: 36 j ). 10. Pola penanggulangan stress Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien terhadap stres tersebut. 11. Pola tata nilai dan kepercayaan Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan ibadahnya . 12. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan didasarkan pada sistem – sistem tubuh antara lain : a. Keadaan umum Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali bila terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal ( 6 jam )

pasca operasi harus diminitor tiap jam dan dicatat. Bila keadaan tetap stabil interval monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam sekali (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 20 ). b. Sistem pernafasan Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelumpuhan pernapasan kecuali bila dengan konsentrasi tinggi mencapai daerah thorakal atau servikal (Oswari, 1989 : 40). c. Sistem sirkulasi Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP. Lakukan cek Hb untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan observasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk mengetahui masukan dan haluaran. d. Sistem neurologi Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan mati rasa karena pengaruh anasthesi SAB (Oswari , 1989 : 40). e. Sistem gastrointestinal Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah (Oswari, 1989 : 40) . Kaji bising usus dan adanya massa pada abdomen f. Sistem urogenital Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri . Retensi dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah. Jika terjadi retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ada ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing (Sunaryo, H ,1999 : 16). Residual urin dapat diperkirakan dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan selama 6 – 24 jam (Doddy, 2001 : 6). g. Sistem muskuloskaletal Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21).

13. Pemeriksaan penunjang a

Laboratorium Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar hemoglobinnya dan perlu diulang secara berkala bila urin tetap merah dan perlu di periksa ulang bila terjadi penurunan tekanan darah dan peningkatan nadi. Kadar serum kreatinin juga perlu diulang secara berkala terlebih lagi bila sebelum operasi kadar kreatininnya meningkat. Kadar natrium serum harus segera diperiksa bila terjadi sindroma TURP. Bila terdapat tanda septisemia harus diperiksa kultur urin dan kultur darah ( Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21 ).

b

Uroflowmetri Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan setelah kateter dilepas ( Lab / UPF Ilmu bedah RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114).

c

Analisa dan sintesa data Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian data tersebut dirumuskan ke dalam masalah keperawatan . Adapun masalah yang mungkin terjadi pada klien BPH pasca TURP antara lain : nyeri, retensi urin, resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan cairan, resiko tinggi ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan, kurang pengetahuan, inkontinensia dan resiko tinggi disfungsi seksual .

B. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli : reflek spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi. 2. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan .

3. Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi (TURP). 4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli – buli. 5. Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas yang berhubungan anastesi C. Intervensi Keperawatan 1. Resiko tinggi ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan anastesi. a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pola nafas tetap efektif b. Kriteria hasil : Paru-paru bersih pada auskultasi, frekuensi dan irama napas dalam batas normal, melakukan batuk dan napas dalam tanpa kesulitan. c. Rencana tindakan dan rasional 1. Bantu klien dengan spirometer insentif jika dianjurkan. Rasional : memaksimalkan ekspansi paru. 2. Ajarkan dan bantu klien untuk membalik, batuk, dan napas dalam tiap 2 jam. Rasional : merupakan upaya untuk mengeluarkan sekret. 3. Kaji bunyi napas tiap 4 jam. Rasional : laporkan penurunan atau tidak adanya bunyi napas pada tim medis. 4. Kaji kulit terhadap tanda sianosis dan diaforesis. 5. Pantau dan laporkan gejala gangguan pertukaran gas kacau. Rasional : (c, d, e, f): deteksi dini ketidakefektifan pola napas.

6. Berikan obat penghilang nyeri dengan interval yang tepat untuk mengurangi nyeri. Rasional: berkurang / hilangnya nyeri dapat membantu klien melakukan latihan batuk dan napas dalam secara efektif. 2. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan. a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan, keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara. b. Kriteria hasil : Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat. c. Rencana tindakan dan rasional 1. Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan. Rasional : gerakan penarikan kateter dapat menyebabkan perdarahan atau pembentukan bekuan darah dan pembenaman kateter pada distensi buli-buli. 2. Pantau masukan dan haluaran cairan. Rasional:

indikator

keseimangan

cairan

dan

kebutuhan

penggantian. 3. Observasi drainase kateter, hindari manipulasi berlebihan atau berlanjut. Rasional : perdarahan tidak umum terjadi 24 jam pertama tetapi perlu pendekatan perineal. Perdarahan kontinu / berat atau berulangnya perdarahan aktif memerlukan intervensi / evaluasi medik.

4. Evaluasi warna, konsistensi urin, contoh : Merah terang dengan bekuan darah. Rasional : mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi cepat. 5. Peningkatan veskositas, warna keruh gelap dengan bekuan gelap. Rasional : menunjukkan perdarahan vena, biasanya berkurang sendiri. 6. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan,

penurunan

tekanan

darah,

diaforesis,

pucat,

pelambatan pengisian kapiler dan membran mukosa kering. 7. Selidiki kegelisahan, kacau mental dan perubahan perilaku. Rasional : dapat menunjukkan penurunan perfusi serebral. 8. Dorong pemasukan cairan 3000 ml/harikecuali kontraindikasi. Rasional : membilas gonjal / buli-buli dari bakteri dan debris. Awasi dengan ketat karena dapat mengakibatkan intoksikasi cairan. 9. Hindari pengukuran suhu rektal dan penggunaan selang rektal / enema. Rasional : dapat mengakibatkan penyebaran iritasi terhadap dasar prostat dan peningkatan kapsul prostat dengan resiko perdarahan. 10. Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh: Hb / Ht, jumlah sel darah merah. Rasional : berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian. Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosit.

3. Resiko tinggi terjadinya kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi (TURP). a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24jam, diharapkan keseimbangan cairan tetap terpelihara. b. Kriteria hasil : Masukan dan haluaran seimbang, irigan keluar secara total, sadar penuh, berorientasi, dan menunjukkan tak ada abnormalitas fungsi motorik. c. Rencana tindakan dan rasional 1. Pantau dan laporkan tanda dan gejala difusi hiponatremia. Rasional : Hiponatremi adalah tanda kelebihan cairan. 2. Pantau masukan dan haluaran tiap 4 – 8 jam. Rasional : indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian. 3. Hentikan irigasi saat saat tanda kelebihan cairan terjadi dan laporkan tim medis. Rasional : mencegah absorbsi yang berlebihan. 4. Gunakan spuit untuk mengirigasi kateter oleh bekuan darah jika diinstruksikan. Rasional: mencegah terjadinya retensi 4. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder dari TURP. a. Tujuan : setelah dilkukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan, retensi urin teratasi. b. Kriteria hasil : eliminasi urin kembali normal, menunjukkan perilaku peningkatan kontrol buli-buli.

c. Rencana tindakan dan rasional 1. Awasi masukan dan haluaran serta karakteristiknya. Rasional: deteksi dini terjadinya retensi urin. 2. Kolaborasi dalam mempertahankan irigasi secara konstan selama 24 jam pertama. Rasional: mencuci buli-buli dari bekuan darah dan debris untuk mempertahankan patensi kateter / aliran urin. 3. Dorong pemasukan 3000 ml / hari sesuai toleransi. Rasional: mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urin. 4. Setelah kateter diangkat, terus pantau gejala-gejala retensi. Rasional: deteksi dini terjadinya retensi. 5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli – buli. a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharpakan, Infeksi dicegah. b. Kriteria hasil : mencapai waktu penyembuhan, tidak mengalami tanda infeksi. c. Rencana tindakan dan rasional 1. Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter reguler dengan sabun dan air, berikan salep antibiotik disekitar sisi kateter. Rasional: mencegah pemasukan bakteri dan infeksi / sepsis lanjut. 2. Ambulasi dengan kantung drainase dependen.

Rasional: menghindari reflek balik urin dapat memasukkan bakteri ke dalam buli – buli. 3. Awasi tanda dan gejala infeksi saluran perkemihan. Rasional: mendeteksi infeksi sejak dini. 4. Berikan antibiotik sesuai indikasi. Rasional: kemungkinan diberikan secara profilaktik berhubungan dengan peningkatan resiko pada prostatektomi. D. Evaluasi Hasil dari evaluasi dari yang diharapkan dalam pemberian tindakan keperawatan melalui proses keperawtan pada klien dengan Benigna Prostatic Hypertrophy berdasarkan tujuan pemulangan adalah : 1. Nyeri/ ketidaknyamanan hilang. 2. Cairan terpenuhi secara adekuat 3. Cairan tubuh tidak berlebihan 4. Tidak terjadi retensi urine 5. Risiko infeksi dihindari.

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan Benigna Prostat Hiperplasia merupakan penyakit yang terjadi karena adanya penyumbatan jalan kemih oleh benda asing, sel kanker, kista, yang menyebabkan ketidakmampuan seseorang untuk berkemih secara normal. Selain itu BPH juga terjadi akibat pola hidup yang tidak sehat dan bersih. Hal ini menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar prostat sehingga menutupi saluran kemih yang menghambat proses pengeluaran urine. Akan tetapi BPH bisa dihindari dengan menjaga pola hidup serta kebersihan alat kelamin. Terlebih juga dapat dilakukan pembedahan guna mengembalikan kegunaan dari alat kelamin.

B. Saran Sebaiknya, untuk menghindari terjadinya penyakit BPH di usia senja akan lebih baik jika pola hidup sehat dan bersih ditingkatkan. Kemudian melakukan aktivitas seperti olahraga terbukti dapat mengurangi persentase mengidap BPH.

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KTD): Jakarta. Hardjowidjoto, S. (2000). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga University Press: Surabaya Haryono Rudi. 2013. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Rapha Publishing. Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha Medika Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.

Related Documents

4:4
June 2020 76
4-4
December 2019 120
4
December 2019 37
4
November 2019 31
4
November 2019 44
4
November 2019 47

More Documents from ""