MAKALAH UNDANG-UNDANG TAMBANG DAN KESELAMATAN KERJA Masalah Perimbanngan Keuangan Pusat dan Daerah
Disusun oleh : Kelompok 7 1. Intan Juita 2. Febri Yanda 3. Riki Jaylani
Dosen Pembimbing : Rijal Abdullah, S.T., M.T
JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2018
KATA PENGANTAR Puji syukur kita ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang mana telah memberikan rahmat dan hidayahNya kepada saya,
hingga pada akhirnya saya dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya, guna menambah pengetahuan seluruh mahasiswa/wi. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih keapada dosen saya bapak Rijal Abdullah S.T., M.T yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini dan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang turut dalam membantu saya menyelesaikan makalah ini Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan tangan terbuka penulis menerima segala keritik dan saran guna untuk kesempurnaan makalah ini di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Padang, 5 Oktober 2018
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2 C. Telaah Pustaka ............................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN B.1. Perimbanggan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ...................... B.2. Dilema atau Permasalahan yang Terjadi ..................................................................
BAB III PENUTUP a. Kesimpulan ................................................................................................................... b. Saran .............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai suatu bentuk intergral yang dilakukan pemerintah dengan melakukan pembangunan yang merata di seluruh wilayah menyeratkan indikasi keseriusan dari para pemimpin negara kita untuk kehidupan yang lebih baik lagi kedepannya. Salah satunya dengan diberlakukannya UU No. 25 Tahun 1999 pada januari 2001, mengenai desentralisasi fiskal, yaitu perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan UUD 1945 pada pasal 18A ayat 2 dimana termuat “*(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dansumber daya lainnya antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”. Mengingat Indonesia merupakan negara kesatuan yang memiliki banyak pulau yang terbentang luas dari sabang hingga maroke. Dengan kedudukan ibu kota negara berada di jakarta, permasalah yang telah lama muncul akibat dari begitu luasnya negara kita adalah, apakah pemerintahan pusat berlaku adil terhadap pemerintahan yang ada di daerah, baik sebelum dan setelah adanya kebijakan mengenai otonomi daerah (Desentralisasi). Desentralisasi memberikan implikasi yang bervariasi terhadap kegiatan pembangunan antar daerah, tergantung pada pengaturan kelembagaan, dan desain menyeluruh dari pembagian wewenang dan perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah. Risiko paling besar adalah ketika sumber utama penerimaan pemerintah diserahkan kepada pemerintah daerah tanpa diikuti langkah-langkah kebijaksanaan yang menjamin mobilisasi pendapatan daerah untuk membiayai berbagai pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Permasalahanaya sekarang adalah apakah pelaksanaan desentralisasi fiskal tersebut mampu memberikan dampak positif terhadap distribusi pendapatan masyarakat melalui kebijakan pengeluaran sektor publik, serta kebijakan fiskal dan desain sumbangan pemerintah pusat kepada daerah.
B. Rumusan Masalah B.1. Bagaimanakah perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerntah daerah? B.2. Apakah dilema atau permasalahan yang terjadi antar keduanya?
C. Telaah Pusataka C.a. Tinjauan Dari Segi Perundang-undangan
UUD 1945 Pasal 18A ayat 2(**), mengenai hubungan pemerintah pusat dan daerah,
UU No. 25 Tahun 1999, mengenai perimbangan keuangan antara pusat dan,
UU No. 22 Tahun 1999 Bab IV Pasal 78 S/d 80, mengenai keuangan daerah dan dana perimbangan,
UU
No.
32
Tahun
2004
Pasal
1
ayat
13,
mengenai
perimbangan
keuangan
yang adil,proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi,
UU No. 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 3 mengenai pengertian pengertian perimbangan
keuangan, ayat 19 mengenai pengertian dana perimbangan, ayat 20 mengenai dana bagi hasil, ayat 21 mengenai DAU.
BAB II PEMBAHASAN B.1. Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerntah daerah Dengan diundangkannya UU No.22 dan 25 Tahun1999 sebagai awal dari pelaksanaan desentralisasi fiskal ditegaskan bahwa perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan suatu sistem pembiyayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencangkup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan di setiap daerah yang dilaksanakan secara proposional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangan. Disadari bahwa masalah perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang indentik dengan muatan ketatanegaraan, politik, sosial budaya, ekonomi, dan administrasi negara secara keseluruhan, maka masalah perimbangan keuangan sebenarnya hanyalah refleksi dari pembagian kekuasaan antara instansi, baik pusat maupun daerah, untuk itu beberapa kriteriakriteria dalam kebijaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yakni : 1.
Pemberian otonomi daerah yang lebih luas, dimana daerah otonom diberi
kebebasan dalam menentukan prioritas dan pengambilan keputusan disektor publik serta bersifat fleksibel; 2.
Tersedianya
sumber-sumber
penerimaan
daerah
yang
memadai
untuk
menjalankan tugas dan fungsinya; 3.
Bantuan yang di serahkan pusat ke daerah sesuai dengan porsi serta kemampuan
daerah untuk mengelola dana bantuan tersebut; 4.
Pusat harus menjamin ketersedian dana setiap daerah otonom;
5.
Dalam pemberian DAU pemerintah harus besifat netral dan sesuai dengan
kebutuhan daerah otonom
6.
Kesederhanaan, formula pembagian bantuan pusat kepada daerah otonom (hindari
kriteria pembagian ambigous dan tidak operasional); 7.
Insentif, pemerintah harus dapat membinana daerah otonom untuk melakukan
efisiensi ekonomi dalam menentukan pelayanan sektor publik; 8.
Memberikan kebebasan yang bertanggung jawab terhadap daerah otonom untuk
menjalankan kegiatan pemerintahannya serta pelayanan yang perima kepada masyarakat; 9.
Kewenangan penuh daerah otonom dalam jangka panjang yang di berikan pusat
ke daerah secara bertahap untuk mencangkup semua kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal nasional dan kebijakan strategis nasional dalam penyelenggaraan
pemerintahan
(terutama
mencangkup
perumusan
kebijakan,
pengendalian pembangunan sektoral dan nasional dan kebijakan standarisasi nasional). Dasar dari kesepuluh kriteria tersebut secara garis besar telah dimuat dalam UUD 1945 Pasal 18A ayat yang ke-2 dimana “ Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”. Beberapa pertimbangan dalam pelaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah : 1.
Peningkatan efisiensi pelayanan pada sektor publik;
2.
Mengaudit permasalahan keuangan yang mengalami ketimpangan untuk
memperoleh keseimbangan keuangan; 3.
Peningkatan pelayanan dengan menerapkan standart pelayanan yang minimum.
Dampak langsung penyerahan fungsi yang diserahkan kepada daerah sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999, membutuhkan dana yang cukup besar. Untuk membiayai tugas yang menjadi tanggung jawabnya tersebut, kepada daerah diberikan sumber-sumber pembiayaan, baik melalui pemberian kewenangan dalam pemungutan pajak/retribusi, sistem transfer, dan pemberian kewenangan untuk melakukan pinjaman.
Sistem pembiayaan tersebut merupakan langkah maju bila dibandingkan dengan pengaturanpengaturan yang selama ini berlaku. Dengan kebijaksanaan tersebut sistem pembiayaan daerah menjadi sangat jelas. Keleluasaan Kepela Daerah telah diberikan untuk memungut pajak/retribusi sesuai dengan yang diatur dalam UU No.18 Tahun 1997 yang telah disempurnakan dengan UU No.34 tahun 2000 yang lebih memberikan kewenangan kepala Daerah. Dalam aturan itu pemerintah kabupaten/Kota diberikan kewenangan untuk memungut pajak selain yang ditetapkan dalam UU yang harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Demikian juga dengan provinsi juga diberikan kewenangan untuk memungut retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam UU. Selain itu, bentuk kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah melalui dana perimbangan diharapkan dapat menanggulangi ketidakmampuan daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluarannya dari pajak dan retribusi. Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil pajak dan SDA yang disebut dengan bagian daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Penerimaan pajak yang dibagi hasilkan yaitu pajak penghasilan perorangan, pajak bumi dan bangunan (PBB), dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB); sedangkan penerimaan SDA yang dibagi hasilkan adalah minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. Dana bagi hasil dimaksud diakui akan menyebabkan variasi antar daerah karena didasarkan atas daerah penghasil sehingga hanya menguntungkan daerah-daerah tertentu. Namun demikian, variasi antar daerah tersebut dapat diantisipasi melalui DAU yang diberikan dan didesain dengan mempertimbangkan sisi kemampuan keuangan dan kebutuhan daerah. Dengan kata lain, DAU ditujukan untuk pemerataan keuangan antar daerah sehingga semua daerah mempunyai kemampuan yang relatif sama untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya.
B.2. Dilema atau permasalahan yang terjadi Indonesia merupakan negara yang baru dalam menetapkan sistem desentralisasi terutama dalam bidang keuangan, jadi tidak dapat kita lari dari kenyataan akan banyaknya permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi terutama dalam bidang keuangan, berikut beberapa permasalahan yang kerap di hadapi dalam pelaksanaan kebijakan keuangan antara pusat dan daerah antara lain : a) Pungutan Daerah Sesuai dengan pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengenankan pungutan baru selain yang ditetapkan UU No.34 Tahun 2000 jo PP No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, telah banyak menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya. Dengan kewenangan tersebut, banyak daerah telah menghidupkan kembali pungutan-pungutan yang dulunya telah dihapus/dilarang dengan UU No.18 Tahun 1997. Tindakan tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi apabila daerah mematuhi ketentuan yang berlaku dimana telah ditetapkan secara tegas kriteria dari pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah. b) Taxing Power Sesuai dengan penggunaan PAD dalam rangka kemandirian pembiayaan daerah adalah kewenangan perpajakan (taxing power), daerah yang sangat terbatas akan sumber daya tercermin dari rendahnya kontribusi PAD terhadap APBD. Kondisi seperti ini tidak menunjang keadaan yang setabil dalam penggunaan anggaran daerah, di mana keterbatasan dana transfer dari pusat untuk membiayai kebutuhan daerahnya idealnya dapat ditutup oleh daerah dengan menyesuaikan basis pajak atau tarif pajak daerahnya. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila taxing power dari daerah diperbesar. c) Perimbangan Keuangan Pelaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah terkesan dibiarkan berjalan sendiri tanpa ada pembimbing dalam pergerakannya, karena masalah pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah saja masih belum menemukan titik temu di antara keduanya. Pembiayaan yang seyogianya akan mengikuti kewenangan yang diserahkan namun di biarkan
berjalan di depan tanpa ada penuntun arah yang jelas, sehingga perhitungan DAU yang akan dialokasikan kepada daerah tiadak memiliki gambaran yang jelas tentang besaran beban pelimpahan kewenangan yang akan diserahkan kepada daerah. Namun dari keadaan tersebut, pada era awal-awal pelaksanaa desentralisasi bidang keuangan telah menghadapi ketidaksesuaian pembiayaan baik positif maupun negatif. Ini disebabkan karena adanya kessenjangan antara pusat dan daerah serta adanya wilayah atau ruang lingkup yang tidak terbukak yang cukup luas dalam pemisahan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota, sedangkan pengaturan yang ada hanya memuat bahwa yang mengatur kewenangan adalah pusat dan provinsi, sedangkan kewenangan pemerintah kabupaten/kota tidak ada kejelasan dari peraturan yang ada, sementara seharusnya kewenangan kabupaten dan kota adalah kewenangan yang terlepas dari kewenangan pusat dan provinsi. Salah satu indikator yang mungkin bisa dijadikan tolok ukur dalam melihat adanya ketidak sesuaian adalah dari proses transfer pegawai dari pusat ke daerah (provinsi dan kabupaten/kota) serta dari provinsi ke kabupaten/kota. Sampai saat ini proses pengalihan pegawa daerah provinsi menjadi pegawai daerah kabupaten/kota belum selesai. Sementara provinsi justru telah menerima pengalihan pegawai dari pemerintah pusat (akhir bulan maret 2001). Dipihak lain, sumber keuangan daerah provinsi semakin berkurang namun beban pembiayaan khusunya dari beban belanja pegawai justru mengalami peningkatan. d) Bagi Hasil Dalam rangka penyaluran dana bagi hasil juga dihadapkan dengan beberapa dilema, walaupun secara umum dapat dilakukan sesuai dengan rencana. Dalam penetapan bagi hasil kepada daerah terutama dari SDA yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.343 Tahun 2001 tidak menyebut secara tegas apakah penyaluran berdasarkan realisasi atau budget APBN Tahun 2001. Jika penyaluran dilakukan atas dasar budget, maka APBN Tahun 2001 tidak sanggup menutup kekurangannya dikarenakan beberapa sektor penerimaan SDA tidak dapat memenuhi target penerimaan yang ditetapkan dan bahkan relatif sangat kecil, seperti penerimaan SDA sektor perikanan. Sementara jika dilakuakan atas dasar realisasi, maka pelaksanaan penyaluran dalam Triwulan IV pada bulan Desember 2001 tidak dapat dilakukan karena tahun anggaran berkahir pada tanggal 31 Desember 2001, sehingga konsekuensi realisasi penyaluran dalam Triwulan IV harus dicarry over dalam tahun berikutnya. Jika hal ini ditempuh
akan menyulitkan cash flow di daerah mengingat. Daerah sudah menetapkan bagi hasil tersebut dalam APBD Tahun 2001, sedangkan sebagian dari penerimaan bagi hasil SDA dalam tahun anggaran berjalan baru dapat diterima dalam tahun anggaran berikutnya. Untuk itu perlu dilakukan penyempurnaan penyaluran dana bagi hasil yang didasarkan atas dasar realisasi penyaluran dilakukan secara periodik tiap minggu, bulanan atau triwulanan tergantung jenis penerimaannya. Dengan mekanisme seperti itu, maka kelancaran likuiditas keuangan daerah dapat terjaga, dapat mengurangi resiko yang harus ditanggung APBN apabila realisasi penerimaan yang menjadi hak daerah lebih kecil dari yang telah ditetapkan, dan daerah dapat lebih menggunakan perinsip kehati-hatian serta menjaga akuntabilitas atas penyusunan dan pelaksanaan APBD-nya. e) Penetapan Dana Alokasi Khusu (DAK) Dalam penetapan DAK, masih ada keengganan pemerintah pusat untuk mengalokasikan dana di luar Dana Reboisasi (DR). Hal ini tercermin dengan pelaksanaan APBN dalam tahap awal pelaksanaan desentralisasi fiskal yang masih menganggarkan DAK dari DR saja. Selayaknya dengan pelaksanaan otonomi daerah, anggaran sektoral di APBN sudah dapat ditekan. Hal ini mengingat sebagian besar kewenangan sudah beralih ke daerah sebagai kewenangan desentralisasi. Namun dalam kenyataannya masih terdapat kegiatan-kegiatan desentralisasi yang masih dibiayai oleh anggaran sektoral, walaupun dalam pelaksanaannya dilakukan oleh daerah melalui dekonsentrasi dan tugas pembantuan. f)
Formula Dana Alokasi Umum (DAU) Sesuai dengan penetapan DAU, diamana DAU digunakan guna perimbangan keuangan
keuangan antar daerah, dana ini digunakan untuk menutup adanaya perbedaan yang muncul akibat kebutuhan suatu daerah ternyata jauh dari kemampuan dana yang ada di daerah atau potensi daerah tersebut, kemudian dalam pengaturannya daerah yang memiliki potensi keuangan yang relatif besar akan memperoleh DAU yang relatif kecil dibandingkan dengan daerah yang miskin secara keuangan. Dalam perhitungan DAU tahun 2001 diakui memang terdapat banyak kelemahan sehingga konsep fiscal gap belum dapat dioptimalkan dan daerah-daerah maju/kaya juga memperoleh DAU yang relatif besar. Kondisi ini dicoba untuk diperbaiki dengan formula DAU yang lebih efektif dan digunakan dalam perhitungan DAU tahun 2001, sehingga ada
beberapa daerah yang penerimaan DAU-nya tahun 2001 dikoreksi dan memperoleh DAU yang lebih kecil dibandingkan tahun 2001. Adanya penurunan DAU telah menimbulkan kecaman keras dari beberapa daerah yang mengalami penurunan tersebut dan mengharap kepada pemerintah pusat untuk meninjau kembali formula dan perhitungan agar tidak terjadi penurunan. Dalam hal ini, ada perbedaan pola pandang antara pusat dan daerah mengenai alokasi DAU. Bagi pemerintah pusat, alokasi DAU dimaksudkan sebagi alat untuk pemerataan atau mengisi keuangan di dalam strurktur keuangan daerah, sementara bagi daerah, alokasi DAU dimaksudkan untuk mendukung kecukupan daerah (sufficiency). Perbedaan tersebut sering bermasalah ketika daerah minta kepada pusat untuk memberikan DAU sesuai dengan kebutuhan daerah. Penurunan DAU tahun 2002 dibandingkan dengan DAU tahun 2001 yang dialami beberapa daerah telah diakomodasi oleh Panitia Anggaran DPR-RI, sehingga dengan pertimbangan bersifat politis telah menginstruksikan pemerintah pusat untuk melakukan penyesuaian dengan batasan bahwa tidak ada daerah yang mengalami penurunan DAU tahun 2002 atau minimal sama dengan penerimaan DAU tahun 2001 di tambah Dana Kontinjensi 2001. Paradigma ini menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal khususnya alokasi DAU dalam rangka perimbangan keuangan antar daerah untuk mengatasi horizontal imbalance belum dapat dilakukan secara optimal dan masih memerlukan tahap-tahap selanjutnya dalam memantapkan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
BAB III PENUTUP a. Kesimpulan Dilema dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah akan selalu ada jika tidak terdapat kejelasan mengenai ketentuan mengenai dimana posisi masing-masing di antara keduanya, karena pelaksanaan desentralisasi fiskal ini semata-mata hanya sebagai suatu keharusan dilakukan bukan dianggap sebagai suatu perbuatan yang mulia terutama bagi pemerintah pusat dan provinsi, dimana selalu ada pembatasan terhadap pemerintah kabupaten dan kota, sedangkan seharusnya kewenangan kabupaten dan kota merupakan kewenangan yang bebas dari kewenangan pusat dan provisi. Kemudian dalam penetapan DAU seharusnya kita tidak hanya menyalahkan pemerintah saja karen penurunan DAU yang di berikan pemerintah, karena DAU yang di turunkan ke setiap daerah itu setelah melalui pertimbangan mengenai potensi yang ada di daerah tersebut, apabila DAU di berikan besar namun SDM dan kuranganya pemanfaatan yang baik serta kelebihan dana maka dana tersebut akan ditarik kembali kepusat yang akan menyebabkan penumpukan dana yang besar di pusat yang kemudian akan digunakan oleh pihakpihak yang tidak sewajanya menggunakan dana tersebut yang menyebabkan adanya korupsi. Namun ini semua juga tidak dapat kita menyalahkan siapapun, karena kita tahu bahwa proses desentralisasi fiskal ini masih baru di negara kita jadi kita masih dalam masa proses perbaikan dari masa sentralisasi menjadi desentralisasi murni, namun kita harus trus bersabar dan bersamasama melakukan perubahan yang mendasar yang kemudian akan ada perubahan yang menyentuh sendi-sendi pemerintahan yang lebih dalam lagi. b. Saran 1.
Kiranya baik pemerintah pusat maupun daerah mengkaji ulang mengenai masalah
pemisahan kewenangan antara mereka, 2.
Baik pemerintah pusat dan provinsi kiranya memeberikan kewenangan bagi
pemerintah kabupaten dan kota sebagai mana mestinya, 3.
Pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan SDM daerah dan dapat
membuat program-program yang bermanfaat bagi masyarakat, jadi tidak ada lagi seminar mendesak setiap akhir tahun agar DAU dapat berfungsi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA Haris Syamsuddin, Desentralisasi dan Otonomi Daerah ( Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah), Penerbit LIPI Press, Cetakan Kedua, Jakarta 2005 Richrd M.Bird, Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang, Gramedia, 2000, hlm 2. UUD 1945 dan Amandemennya, Penerbit FOKUSMEDIA, edisi 2011, Bandung 2011 Sumber Online : 1. UU No. 25 Tahun 1999 2. UU No. 22 Tahun 1999
3. UU No. 32 Tahun 2004