BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Perdarahan masih merupakan 3 penyebab utama kematian maternal (ibu) tertinggi, disamping preeklamsi/eklamsi dan infeksi. Perdarahan dalam bidang obstetri dibagi menjadi 3 yaitu, pendarahan pada kehamilan muda (kurang dari 22 minggu), pendarahan pada kehamilan lanjut, pendarahan saat persalinan, dan pendarahan pasca persalinan (masa nifas). Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan pada kehamilan lanjut dan pada saat persalinan selain dari plasenta previa, solusio plasenta, dan gangguan pembekuan darah. Perdarahan pada kehamilan lanjut yaitu perdarahan yang terjadi pada kehamilan yang lebih dari 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan. Perdarahan pada persalinan perdarahan intrapartum sebelum kelahiran (proses kelahiran bayi). Ruptur uteri masih sering dijumpai di Indonesia, dengan angka kematian dan kesakitan yang tinggi pada kasus ini karena persalinan masih banyak ditolong oleh petugas yang belum terlatih. Salah satu tindakan yang mempercepat terjadinya rupture uteri selama terjadi kemacetan proses persalinan. Resiko infeksi sangat tinggi dan angka kematian bayi juga sangat tinggi pada kasus ini. Maka hali ini menandakan bahwa ruptur uteri memberikan dampak negati pada kematian ibu atau bayi.
1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana identifikasi penyulit rupture uteri? 2. Apa definisi rupture uteri? 3. Bagaimana etiologi/penyebab dari rupture uteri? 4. Bagaimana tanda dan gejala rupture uteri? 5. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus rupture uteri?
1
1.3 TUJUAN 1. Untuk mengetahui identifikasi penyulit rupture uteri. 2. Untuk mengetahui definisi rupture uteri. 3. Untuk mengetahui etiologi/penyebab dari rupture uteri. 4. Untuk mengetahui tanda dan gejala rupture uteri. 5. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada kasus rupture uteri.
1.4 MANFAAT 1. Dapat mengetahui identifikasi penyulit rupture uteri. 2. Dapat mengetahui definisi rupture uteri. 3. Dapat mengetahui etiologi/penyebab dari rupture uteri. 4. Dapat mengetahui tanda dan gejala rupture uteri. 5. Dapat mengetahui penatalaksanaan pada kasus rupture uteri.
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 IDENTIFIKASI PENYULIT RUPTURE UTERI 1. ANAMNESIS DAN INFEKSI Pada suatu his yang kuat sekali. Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus. Muntah-muntah karena rangsangan peritoneum. Syok nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak teratur. Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tidak begitu banyak, lebih-lebih kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun dan menyumbat jalan lahir. Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ketungkai bawah. 2. PALPASI Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema subkutan. Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek. 3. AUSKULTASI Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi bebrapa menit setelah rupture, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk kerongga perut. 4. PEMERIKSAAN a. Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun kebawah, dengan mudah dapat didorong keatas, dan ini disertai keluarnya darah pervagianam yang agak banyak. b. Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi maka dapat diraba usus, omentum dan bagian-bagian janin. c. Katerisasi Hematuria yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung kemih. d. Pemeriksaan Dignostik 1. Laparoscopy Untuk menyikapi adanya endometrosis atau kelainan bentuk panggul atau pelvis. 2. Pemeriksaan Laboratorium
Hb dan hematocrit untuk mengetahui batas darah Hb dan nilai hematikrit untuk menjelaskan banyaknya kehilangan darah. Hb > 7 g/dl atau hematocrit > 20% dinyatakan anemia berat. 3
Urinalisis Hematuria menunjukkan adanya perlukaan kandung kemih.
2.2 DEFINISI RUPTUR UTERI Ruptur uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang berbahaya yang umunya terjadi pada persalinan tetapi dapat pula terjadi pada kehamilan. Ruptur uteri termasuk salah satu diagnosa bonding apabila wanita/ibu dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat pada perut bawah,diikuti dengan syok dan perdarahan per vaginam. Robekan dapat mencapai kandung kemih dan organ vital disekitarnya, ruptur uteri inkomplikasi yang menyebabkan hematoma pada parametrium,kadang-kadang sangat sulit untuk segera dikenali sehingga seringkali menimbulkan komplikasi serius bahkan kematian. Karena ruptur uteri merupakan peristiwa kegawatdaruratan kebidanan dengan angka kematian yang tinggi,maka bidan yang menerima/menghadapi kasus ruptur uteri diharapkan dapat melakukan observasi saat menolong perslinan dn kemudian dapat melakukan rujukan dengan cepat dan tepat. a) Klasifikasi Ruptur Uteri 1) Ruptur uteri inkompleta,merupakan ruptur uteri dimana peritoneum viserale tidak ikut robek. 2) Ruptur uteri kompleta merupakan ruptur uteri dimana peritoneum viserale ikut robek robek dan dengan demikian terdapat hubungan langsung antara kavum uteri dengan kavum abdomen. 3) Ruptur uteri imminens/ robekan rahim mengancam, merupakan suatu keadaan dimana rahim telah menunjukan tanda yang jelas akan mengalami ruptur
yaitu dengan
dijumpai lingkaran konstriksi yang semakin tinggi melewati batas pertengahan simfisis pubis dngan pusat. 4) Ruptur uterus spontan dapat dikaikan dengan hal-hal berikut: a. Pembedahan uterus sebelumnya misalnya:insisi seksio sesaria klasik atau miomektomi. b. Kontraksi uterus yang kuat tanpa penggunaan obat oksitosin. c. Trauma uterus sebelumnya yang tidak diketahui misalnya: kelemahan dinding uterus saat kuretase. d. Persalinan terhambat yang mengakibatkan kontaksiuterus tonik dan penipisan segmen bawah uterus yang berlebihan. e. Solusio plasenta karena distensi dan abrupsio dinding uterus. 4
b) Menurut lokasinya, ruptur uteri dapat dibedakan menjadi: a. Korpus Uteri Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi. b. Segmen Bawah Rahim Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri. c. Serviks Uteri Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versi dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap. d. Kolpoporeksis-Kolporeksis Robekan Robekan di antara serviks dan vagina
2.3 Etiologi dan fakor predisposisi a. Karena dinding rahim yang lemah dan cacat, misalnya pada bekas SC miomektomi, perforasi waktu kuretase, histerorafia, pelepasan plasenta secara manual. Dapat juga pada graviditas pada kornu yang rudimenter dan graviditas interstisialis, kelainan kongenital dari uterus seperti hipoplasia uteri dan uterus bikornus, penyakit pada rahim, misalnya mola destruens, adenomiosis dan lain-lain atau pada gemelli dan hidramnion dimana dinding rahim tipis dan regang. b. Karena peregangan yang luar biasa dari rahim misalnya pada panggul sempit atau kelainan bentuk panggul, janin besar seperti janin penderita DM, hidrops fetalis, postmaturitas dan grandemultipara. Juga dapat karena kelainan kongenital dari janin : Hidrosefalus, monstrum, torakofagus, anensefalus dan shoulder dystocia; kelainan letak janin: letak lintang dan presentasi rangkap; atau malposisi dari kepala : letak defleksi, letak tulang ubun-ubun dan putar paksi salah. Selain itu karena adanya tumor pada jalan lahir; rigid cervix: conglumeratio cervicis, hanging cervix, retrofleksia uteri gravida dengan sakulasi; grandemultipara dengan perut gantung (pendulum); atau juga pimpinan partus yang salah. c. Ruptur Uteri Violenta (Traumatika), karena tindakan dan trauma lain seperti:
Ekstraksi Forsep
Versi dan ekstraksi Embriotomi
Versi Braxton Hicks
5
Sindroma tolakan (Pushing syndrome)
Manual plasenta
Kuretase
Ekspresi Kristeller atau Crede
Pitosin tanpa indikasi dan pengawasan
Trauma tumpul dan tajam dari luar.
d. Komplikasi a) Gawat janin b) Syok hipovolemik Terjadi kerena perdarahan yang hebat dan pasien tidak segera mendapat infus cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu cepat digantikan dengan tranfusi darah. c) Sepsis Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur uteri telah terjadi sebelum tiba di Rumah Sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam keadaan yang demikian pasien tidak segera memperoleh terapi antibiotika yang sesuai, hampir pasti pasien akan menderita peritonitis yang luas dan menjadi sepsis pasca bedah. d) Kecacatan dan morbiditas. e) Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus belum punya anak hidup akan meninggalkan sisa trauma psikologis yang berat dan mendalam. f) Kematian maternal /perinatal yang menimpa sebuah keluarga merupakan komplikasi sosial yang sulit mengatasinya. 2.4 TANDA DAN GEJALA RUPTUR UTERI Menurut buku kapita selekta tanda-tanda ruptur uteri yaitu: 1. Nyeri abdomen Dapat terjadi tiba-tiba, tajam dan seperti di sayat pisau. Apabila tejadi ruptur saat persalinan, kontraksi uterus yang intermiten dan kuat akan berhenti secara tiba-tiba, dan pasien akan mengeluh nyeri uterus yang menetap. 2. Pendarahan pervaginan Dapat simptomatik karena karena pendarahan aktif dari pembuluh darah yang robek.
6
Tanda-tanda gejala ruptura uteri yang mengancam adalah: a. Dalam anamnesa, pasien mengatakan telah ditolong/dibantu oleh dukun/bidan, dan partus sudah lama berlangsung atau partus macet. b. Pasien tampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri diperut. c. Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang kesakitan bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan. d. Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasa. e. Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged labor), yaitu mulut kering, lidah kering dan haus, badan panas (demam). f. His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus. g. Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal dan keras terutama sebelah kiri atau keduanya. h. Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan SBR teraba tipis dan nyeri kalau ditekan. i. Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan teregang ke atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka pada kateterisasi ada hematuri. j. Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia) k. Pada pemeriksaan dalam dapat kita jumpai tanda-tanda dari obstruksi, seperti oedem porsio, vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar.
2.5 PENATALAKSANAAN PADA KASUS RUPTURE UTERI Untuk mencegah timbulnya ruptura uteri pimpinan persalinan harus dilakukan dengan cermat, khususnya pada persalinan dengan kemungkinan distosia, dan pada wanita yang pernah mengalami sectio sesarea atau pembedahan lain pada uterus. Pada distosia harus diamati terjadinya regangan segmen bawah rahim, bila ditemui tandatanda seperti itu, persalinan harus segera diselesaikan. Jiwa wanita yang mengalami ruptur uteri paling sering bergantung pada kecepatan dan efisiensi dalam mengoreksi hipovolemia dan mengendalikan
perdarahan. Perlu ditekankan bahwa syok
hipovolemik mungkin tidak bisa dipulihkan kembali dengan cepat sebelum perdarahan arteri dapat dikendalikan, karena itu keterlambatan dalam memulai pembedahan tidak akan bisa diterima. Jadi, segera perbaiki shok dan kekurangan darah. Perbaikan shok meliputi pemberian oksigen, cairan intravean, darah pengganti dan antibiotik untuk pencegahan infeksi. 7
Bila keadaan umum penderita mulai membaik dan diagnosa telah ditegakkan, selanjutnya dilakukan laparotomi (tindakan pembedahan) dengan tindakan jenis operasi: a) Histerektomi, baik total maupun subtotal. b) Histerorafia, yaitu tepi luka dieksidir lalu dijahit sebaik-baiknya. c) Konservatif, hanya dengan tamponade dan pemberian antibiotik yang cukup. Tindakan aman yang akan dipilih, tergantung dari beberapa faktor, antara lain: a. Keadaan umum b. Jenis ruptur, inkompleta atau kompleta c. Jenis luka robekan d. Tempat luka e. Perdarahan dari luka f. Umur dan jumlah anak hidup g. Kemampuan dan keterampilan penolong.
8
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN Ruptur uteri adalah robekan dinding uterus yang dapat terjadi saat periode antenatal ketika induksi, persalinan, dan kelahiran atau bahkan selama stadium ketika persalinan saat umur kehamilan lebih dari 28 minggu. Ruptur uteri dapat disebabkan oleh dinding rahim yang lemah dan cacat, misalnya pada bekas SC, kuratase, pelepasan plasenta secara manual dan tindakan persalinan lainnya, serta kerena peregangan luar biasa pada rahim. Untuk
mencegah
terjadinya
ruptur
uteri
sebeLum
persalinan,
penolong persalinan telah melakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah ada tandatanda yang dapat menyebabkan ruptur uteri. Bila telah teradi ruptur uteri maka lakukan penanganan shok terlebih dahulu yairu pemberan cairan intravena, oksigen, transfusi darah, dan bila diagnosa telah ditegakkan maka lakukan laparatomi (pembedahan).
3.2 SARAN Bagi bidan atau tenaga kesehatan lainnya harus mendeteksi dini adanya tanda rupture uteri atau jika sudah terjadi rupture bisa lebih cepat mendiagnosa dan menegakkan diagnosa, agar kematian ibu karena ruptur uteri bisa berkurang di Indonesia. Bagi mahasiswa, untuk bisa mengetahui dan memahami secara baik dan benar tentang rupture uteri baik etiologi/penyebab, tanda, gejala, serta penataklasanaannya agar bisa memberikan asuhan kebidanan yang komperhensif pada ibu yang mengalami penyulit pada saat persalinan.
9