BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, dimana tercantum dalam pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat besar peranannya dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam rangka mengimbangi makin ketatnya persaingan bebas di era globalisasi. Keberhasilan pembangunan kesehatan tersebut memerlukan pembangunan kesehatan yang lebih dinamis dan produktif dengan melibatkan semua sector terkait termasuk swasta dan masyarakat. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Oleh karena itu perlu diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, promosi kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Dalam rangka memajukan kesehatan masyarakat serta meningkatkan derajat kesehatan masyarakat maka diperlukan strategi promosi kesehatan baik kepada pemerintah, tokoh masyarakat, dan khususnya kepada masyarakat.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Strategi Promosi Kesehatan Strategi promosi kesehatan adalah suatu kegiatan untuk mewujudkan atau mencapai visi dan misi promosi kesehatan secara efektif dan efisien, diperlukan cara dan pendekatan yang strategis. Cara ini sering disebut “strategi´, yakni teknik atau cara bagaimana mencapai atau mewujudkan visi dan misi promosi kesehatan tersebut secara berhasil guna dan berdaya guna. Aturan dalam memilih strategi promosi kesehatan: 1.
Pilih minimal tiga strategi
2.
Umumnya, penggunaan media sering digunakan dalam promosi kesehatan.
3.
Semakin lama program, semakin banyak strategi.
4.
Dimulai dengan strategi yang paling murah & sederhana.
5.
Semakin kompleks permasalahan perilaku yang akan diintervensi, semakin banyak strategi yang digunakan .
6.
Strategi
yang
mempengaruhi
faktor
predisposisi
umumnya
mempunyai efek yang singkat
2
BAB III PEMBAHASAN
3.1. Pengertian Strategi Promosi Kesehatan Untuk mewujudkan atau mencapai visi dan misi promosi kesehatan secara efektif dan efisien, diperlukan cara dan pendekatan yang strategis. Cara ini sering disebut “strategi”, yakni teknik atau cara bagaimana mencapai atau mewujudkan visi dan misi promosi kesehatan tersebut secara berhasil guna dan berdaya guna.
3.2. Strategi Advokasi Kesehatan 3.2.1. Pengertian Advokasi Kesehatan Advokasi kesehatan adalah pendekatan kepada para pimpinan atau pengambil keputusan agar dapat memberi dukungan, kemudahan, perlindungan pada upaya pembangunan kesehatan.
3.2.2. Tujuan Advokasi Kesehatan: 1. Mempengaruhi
peraturan
dan
kebijakan
yang
mendukung
pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat. 2. Mempengaruhi
pihak
lain
(program,
sektor,
LSM
peduli
kesehatan,profesional) agar mendukung perilaku hidup bersih dan sehat melalui kemitraan dan jaringan kerja. 3. Meningkatkan kerjasama antara masyarakat dan pemerintah khususnya kesehatan lingkungan di tempat-tempat umum. 4. Menggalang dukungan lewat pendapat umum melalui media komunikasi tentang program perilaku hidup bersih dan sehat.
3
3.2.3. Luaran (Hasil yang diharapkan): 1. Adanya dukungan politik dari para pengambil keputusan baik dalam bentuk instruktur/surat daran/surat keputusan maupun himbauan untuk melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat. 2. Makin banyak LSM (lembaga swadaya masyarakat)yang peduli kesehatan. 3. Adanya anggaran rutin yang dinamis dari APBD II dan sumber lain untuk pelaksanaan PHBS di kabupaten/kota. 4. Adanya indikator PHBS dalam perencanaan daerah. 5. Fasilitas umum semakin merata terutama di daerah kumuh.
3.2.4. Sasaran Sasaran advokasi meliputi sasaran kepada perorangan dan kepada sasaran publik (masyarakat). Sasaran perorangan dapat dilakukan melalui komunikasi interpersonal sedangkan untuk sasaran publik dilakukan melalui media massa dan kampanye. Sasaran menurut jenjang administrasi adalah : 1. Pengambilan kebijakan di tingkat pusat seperti : DPR (komisi 7), parpol,Menteri Dirjen departemen terkait,BAPPENAS, Lembaga Donor (WHO, World Bank, UNICEF, ADB), organisasi profesi, LSM Nasional dan Internasional. 2. Pengambilan kebijakan di tingkat daerah/Propinsi seperti: DPRD (Komisi E), parpol, BAPPEDA, Gubernur dan asisten kesejahteraan rakyat,Ka.Din.Kes Tkt I, Lembaga donor, organisasi profesi, LSM internasional, nasional dan propinsi. 3. Pengambil kebijakan di tingkat Kabupaten dan Kota seperti : DPRD Kabupaten/Kota/Komisi E, parpol BAPPEDA, Bupati/Walikota dan Bagan Kesejahteraan rakyat, Ka.Din.Kes Tkt I, Lembaga donor, organisasi profesi, LSM, Institusi pendidikan, Institusi Kesehatan dan 4
Non Kesehatan, Lembaga swasta /industri (tempat umum dan tempat Akerja)
3.2.5. Metode Advokasi. Kegiatan yang bernuansa advokasi dapat berupa : 1. Seminar sehari. 2. Orientasi. 3. Lobby. 4. Kampaye. 5. Sarasehan (penyuluhan). 6. Bentuk kegiatan lain yang sesuai.
3.2.6. Langkah-langkah Advokasi. Secara umum menurut Jhon Hopkins University (JHU) advokasi kesehatan ditempuh melalui kerangka advokasi yang memuat 6 langkah yaitu : 1. Melakukan analisa a. Identifikasi masalah. b. Kebijakan yang ada. c. Program-program komunikasi yang telah dilaksanakan untuk membuat kebijakan. d. Perubahan kebijakan yang diinginkan oleh tingkat tertentu. e. Stakeholder (mitra kerja) yang terkait dengan perubahan kebijakan. f. Jejaring untuk penentu kebijakan dan pesan yang tepat. g. Sumber daya yang memungkinkan untuk pelaksanaan kebijakan. 2. Menyusun Strategi. a. Membentuk kelompok kerja PHBS. b. Identifikasi sasaran primer dan sekunder. 5
c. Mengembangkan
tujuan
“SMART”
(Specific/spesifik,
Measurable/dapat diukur, Appropriate/tepat, Realistic/nyata, Time Bound/sesuai jadwal). d. Menentu indicator. e. Menyiapkan dukungan dana dan kebijakan pelaksana. f. Menempatkan "issue” yang pantas mendapat dukungan dari penentu kebijakan. g. Merencanakan perbaikan sarana komunikasi. 3. Menggalang kemitraan (mobilisasi) a. Menyusun POA (plan of action) bersama-sama. b. Mendorong kemitraan. c. Mendelegasikan tanggung jawab. d. Merencanakan koordinasi peliputan berita dan data oleh media. 4. Tindakan/pelaksanaan a. Melaksanakan rencana advokasi (POA). b. Mengumpulkan mitra. c. Menyajikan pesan yang tepat. d. Menepati jadwal. e. Mengembangkan jaringan komunikasi dengan mitra. 5. Evaluasi. Evaluasi dilakukan dengan mengukur pencapaian tujuan (proses dan output) melalui pengecekan dokumentasi tentang kegiatankegiatan yang seharusnya dilaksanakan, materi KIE yang telah diterbitkan dan disebarluaskan serta produk-produk kebijakan yang diterbitkan. 6. Kesinambungan proses Melaksanakan proses komunikasi secara terus menerus dengan memanfaatkan hasil evaluasi.
6
Langkah-langkah berikut ini :
Persiapan 1. Identifikasi masalah dari data yang ada seperti : a. Data 10 penyakit terbanyak di kabupaten/kota. b. Status gizi. c. Angka kesakitan. d. Angka kematian. e. Perlaku spesifik masyarakat yang terkait dengan perilakum PHBS. f. Data dasar (kualitatif dan kuantitatif) pengkajian PHBS. g. Hasil pemetaan wilayah/klasifikasi PHBS tiap tatanan. h. Rencana detail tat kota (RDTK) dan rencana umum tata ruang kota (RUTRK). 2. Mempelajari kebijakan apa saja yang mendukung dan menghambat program perilaku PHBS. 3. Mempelajari program komunikasi yang telah dilaksanakan dengan menggali pengalaman dari orang lain tentang program komunikasi yang telah dilaksanakan untuk dpat dimanfaatkan sebagai pengalaman belajar dalam program PHBS. Hal-hal yang dapat digali antara lain : 1. Strategi yang berkelanjutan. 2. Isu advokasi yang tajam (fokus). 3. Sasaran yang spesific. 4. Tindak lanjut kegiatan. 4. Mempelajari perubahan kebijaksanaan yang terjadi, contoh : sekitar tahun 1998 kebijaksanaan paradigma sakit mengalami perubahan menjadi paradigma sehat. Hal ini memberi peluang kepada para ahli kesehatan masyarakat untuk mengkampanyekan paradigma sehat
7
dengan tema “Menjaga kesehatan lebih murah dan mudah dari pada mengobati”. 5. Menentukan mitra kerja terkait yang berpengaruh dalam program PHBS dan membuat jejaring bagi penentu kebijakan dan kelompok peduli kesehatan. 6. Memanfaatkan dan menggali sumber daya yang memungkinkan untuk pelaksanaan PHBS. 7. Menyiapkan materi yang berkaitan dengan PHBS serta menentukan metode advokasi kesehatan. 8. Menempatkan issue atau gagasan untuk mendapatkan dukungan dari penentu kebijakan pada waktu yang tepat untuk menyampaikan gagasan tersebut, minsalnya pada kesehatan sedunia (7 april), hari kesehatan nasional (12 november), hari sadar pangan dan gizi, hari AIDS sedunia dan lain-lain.
Pelaksanaan 1. Lakukan advokasi PHBS dengan penyajiann yang menarik dengan menggunakan metode dan teknik yang tepat. 2. Adanya tanya jawab, tanggapan dan masukan-masukan untuk menyempurnakan program yang sudah ada. 3. Simpulkan dan sepakati hasilnya. 4. Buat laporan tertulis hasil advokasi dan sebarluaskan pada sasaran yang terkait. 5. Lakukan tindak lanjut kegiatan berdasarkan kesepakan bersama.
3.2.7. Indikator Kebersilan Advokasi Untuk mengukur keberhasilan advokasi dapat dilihat adanya tanggapan/respon para individu dan publik dalam bentuk :
8
1.
Adanya peraturan, surat keputusan, surat edaran, instruksi, himbauan tentang pentingnya program PHBS.
2.
Adanya anggaran dari APBD II atau sumber lain yang rutin dan dinamis untuk pelaksanaan PHBS.
3.
Adanya jadwal koordinasi dan pemantauan pelakanaan PHBS.
4.
Kemampuan pengambil keputusan dalam menjelaskan PHBS dalam setiap kegiatan.
5.
Terbentuknya dan berfungsinya kelompok kerja PHBS.
3.2.8. Bentuk-bentuk Kegiatan Advokasi Menurut Sasaran. NO SASARAN
ALTERNATIF
BENTUK
KEGIATAN 1.
Lintas sektor
-Loby (pendekatan) -Pertemuan rutin -Lokakarya -Rapat koordikasi -Sarasehan -Dialog interaktif
2.
Lintas program
-Loby (pendekatan) -Rapat koordikasi -presentasi -negosasi -koordinasi
3.
Kemitraan
-Loby (pendekatan) -kampanye -presentasi -demonstrasi
9
-dialog interaktif
3.2.9. Etika Advokasi 1.
Mulai dengan sisi yang positif dari sasaran, minsalnya perhatian yang ditunjukan kepada sasaran di bidang kesehatan yang merupakan program unggulan.
2.
Mau kompromi, sabar dan tegar serta tidak menyalahkan sasaran.
3.
Pusatkan pada pesan pokok dengan bahasa yang menggugah.
4.
Kemukakan hai-hal baru yang relavan dengan materi sasaran.
3.2.10. Kendala dalam Advokasi 1.
Para pembuat kebijakan masih belum mempunyai persepsi yang sama terhadap promosi kesehatan dan paradigma sehat.
2.
Penyelenggara kesehatan masih mementingkan budaya kuratif.
3.
Masih adanya budaya ketergantungan masyarakat terhadap petugas dalam upaya kesehatan.
3.2.11. Kiat untuk Advokator 1. Kiat advokator sebagai pengelola program. 1) Menetapkan, menerima tanggung jawab dan bekerjasama dalam tim. 2) Memahami misi, rician tujuan, menentukan apa/mana yang diutamakan. 3) Tahu teknik yang tepat untuk menyamakan persepsi.
10
2. Kiat advokator sebagai pimpinan rapat atau kelompok kerja. 1) Sudah membuat persiapan yang rinci sebelum memimpin rapat, semua yang harus hadir sudah diberi tahu sebelumnya, agenda rapat dan akomodasi siap sedia. 2) Dia nomor satu diantara yang hadir (primus interpares), bukan tuan besar yang sok resmi di tengah kelompok, melainkan seorang pelayanan yang ceria dan ramah. 3) Dia membuat anggota tim tidak canggung bahkan membuat orang lain percaya diri, bisa membuat yang pendiam dan pemalu berani bicara serta menegahi yang agresif dengan tegar dan sikap bersahabat. 4) Dia menguasai keadaan, tahu bahwa potensi setiap anggotanya untuk mencapai sukses. 5) Dia menghargai orang lain dan memperlakukan semua orang sederajat. 6) Dia pendengar yang baik. 7) Dia selalu antusias dan menaruh minat, terampil mengajukan pertanyaan dn membagi pertanyaan. 8) Dia memulai rapat tepat waktu, menjelaskan maksud dan tujuan dengan semangat dan membuat diskusi hidup, mampu menentukan kapan rapat selesai. 3. Cara menyiapkan model media advokasi. 1) Media advokasi dapat dibuat sederhana, berupa tulisan, ilustrasi, tetapi dapat juga dibuat canggih. 2) Inti pembicaraan harus jelas dan tidak terlalu banyak informasi. 3) Jika meminta sumbangan/bantuan sebutkan kgunaannya dan berupa apa (fikiran,tenaga atau dana). 4) Tunjukkan aspek manuasiawi sehingga yang baca mau berbuat.
11
5) Desain harus bagus termasuk ukuran, gambar,/ilustrasi, huruf jika menyajikan data ilmiah sajikan dengan bahasa sederhana,mantap dan efektif. 6) Cantumkan logo. 7) Distribusikan media.
3.3. Strategi Bina Suasana 3.3.1. Pengertian Bina Suasana Bina suasana adalah menjalin kemitraan untuk pembentukan opini publik dengan berbagai kelompok opini yang ada di masyarakat, seperti : tokoh masyarakat, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha/swasta, media massa, organisasi profesi, pemerintah dan lain-lain. 3.3.2. Tujuan Diperolehnya berbagai pencipta opini yang ada di masyarakat ehingga dapat menciptakan opini publik yang jujur, terbuka sesuai dengan norma situasi, kondisi masyarakat yang mendukung tercapainya PHBS disemua tatanan. 3.3.3. Luaran (Hasil yang diharapkan): 1. Terciptanya opini, etika, norma dan kondisi masyarakat yang ber PHBS 2. Terciptanya dukungan kebijakan, fatwa, peraturan pemerintah, peraturan daerah, surat keputusan, sumberdaya untuk PHBS
3.3.4. Sasaran Sasaran bina suasana terbagi atas : 1. Sasaran individu a. Anggota legislatif (Lembaga Perwakilan Rakyat) 12
b. Anggota Eksekutif (Lembaga Pemerintah) c. Anggota Yudikatif (Lembaga Peradilan/Hukum) d. Tokoh masyarakat, Tokoh adat e. Tokoh Agama f. Petugas g. Kader
2. Sasaran kelompoka. Organisasi massa (organisasi pemuda, organisasi wanta, organisasi agama, dan lain-lain) b. Oganisasi profesi, dunia usaha/swasta c. Kelompok peduli kesehatan 3. Sasaran massa/publik Masyarakat yang bisa dijangkau melalui media massa (cetak dan elektronik) seperti koran/majalah, radio dan TV baik pemerintah maupun swasta serta media tradisional.
3.3.5. Metode Bina Suasana. Metode bina suasana dapat berupa : -
Pelatihan
-
Semiloka
-
Konferensi pers
-
Dialog terbuka
-
Sarasehan
-
Penyuluhan
-
Pendidikan
-
Lokakarya mini
-
Pertunjukkan tradisional
13
-
Diskusi meja bundar
-
Pertemuan berkala di desa
-
Kunjungan lapangan
-
Studi banding
3.3.6. Langkah-langkah Kegiatan Bina suasana. 1. Persiapan Identifikasi sasaran dalam upaya bina suasana dapat disebut sebagai “mitra” kita harus dapat menentukan apakah daftar sasaranyang kita miliki memenuhi syarat untuk menjadi mitra. Cara untuk mengenal dan memilih mitr dikenal dengan “5c” yaitu : a) Competent (kompetensi)
Apakah organisasi itu memiliki staf teknik dan manajemen yang kuat?
Bila dibutuhkan tambah staf, apakah organisasi itu memiliki aliran dana dan cadangan dana yang cukup, sistem akuntasi, bank account dan pengauditan teratur?
Apakah telah memiliki pengalaman dalam kegiatan yang sama?
Apakah organisasi tersebut memiliki citra positif dan raputasi untuk ketinggian mutu kerja?
b) Commitment (komitmen)
Apakah organisasi tersebut mendukung promkes?
Dapatkah mendukung dan berperan kuat dalam promkes?
c) Clout (relasi)
Apakah organisasi tersebut memiliki kotak atau akses ke pembuat-pembuat
kebijakan
dan
para
tokoh
yang
berpengaruh di masyarakat?
14
Apakah organisasi itu mendapat dukungan politis dalam kegiatannya?
d) Coverage (jangkauan) Apakah organisasi tersebut mampu menjangkau sasaran yang telah ditetapkan, diberbagai wilayah, berbagai segmen seperti demografi,psikografi dan sosial ekonomi. e) Continuity (kesinambungan)
Sudah berapa lamakah organisasi ini melakukan kegiatan?
Sudah pernahkah menangani kegiatan yang serupa?
Apakah memiliki dasar kelembagaan dan sumberdaya untuk jangka panjang?
Menyiapkan paket informasi (information kit) seperti brosur,poster dan lain-lain
Metode atau cara yang dapat dilakukan
Waktu dan tempat
Menyiapkan instrumen monitoring dan evaluasi
3.3.7. Pelaksanaan Kegiatan. Pelaksanaan kegiatan bina suasana mencangkup lomponen:
Ada forum komunikasi dan dokumentasi kegiatan.
Penyajian data yang selalu “up to date” atau terbaru.
Mengikuti kebutuhan masyarakat yang selalu berkembang.
Menjalin hubungan yang serasi dan dinamis serta memegang prinsip-prinsip kemitraan.
Menggalang sumber-sumber dana dan potensi yang ada dari masing-masing mitra
15
3.3.8. Pemantauan dan Penilaian Penilaian dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kegiatan bina suasana dilakukan dengan benar dan menghasilkan sasaran yang diharapkan (POA) dengan menggunakan instrumen emantauan dan penilaian dngan melihat luaran dalam bentuk opini, etika, norma-norma atau kondisi yang ada di masyarakat. Kalau sudah ada, berarti kegiatan bina suasana dapat dikatakan berhasil, begitupun sebaliknya.
3.3.9. Indikator Keberhasilan a) Ada peningkatan jumlah kegiatan dan jaringan kemitraan. b) Ada forum komunikasi. c) Ada dokumentasi kegiatan. d) Ada kesepakatan lisan dan tulisan. e) Ada opini publik
3.3.10
Langkah-langkah Melaksanakan Bina Suasana serta Hasil yang diharapkan.
LANGKAH 1. Identifikasi mitra
KEGIATAN
HASIL YANG DIHARAPKAN
pertemuan
-lingkup & cara kerja -spesifikasi kerja -kemampuan
2. Pengelompokkan
pertemuan
mitra kerja 3. Setiap
-komitmen -rencana kegiatan
mitra Forum komunikasi
Tercipta tujuan bina suasana
melaksanakan upaya
yang
berkaitan dengan
16
kesehatan bidang
sesuai kegiatan
masing-masing 4. Monitoring evaluasi
dan
-Pertemuan
Terpeliharanya
opini,
-Kunjunga
etika dan kondisi yang baik
Lapangan
dalam masyarakat.
-semilokal
3.3.11. Contoh Kegiatan Bina Suasana. 1) Adanya foum bersama antara departemen kesehatan RI dengan forum kumunikasi LSM AIDS se Jabodetabek (FKLOPA) 2) Adanya bantuan pengadaan jamban dari tim penggerak PKK kabupaten tanggerang dalam rangka mendukung program PHBS di tatanan rumah tangga 3) Adanya peraturan dilarang merokok bagi seluruh gedung perkotaan pemerintah 4) Pertemuan
dengan
tokoh-tokoh
agama
(MUI,PGIPHDI,WALUBI) untuk menyebarluaskan pentingnya PHBS bagi umat pada acara-acara keagamaan (khotbah jumat,hari minggu dan lain-lain) 5) Pertemuan dengan tokoh-tokoh agama islam untuk memberi contoh PHBS dan GJB (Gerakan Jumat Bersih) 3.4. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Promosi Kesehatan Pemberdayaan adalah pemberian informasi dan pendampingan dalam mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan, guna membantu individu,
17
norma
keluarga atau kelompok-kelompok masyarakat menjalani tahap-tahap tahu, mau dan mampu mempraktikkan PHBS. Dalam upaya promosi kesehatan, pemberdayaan masyarakat merupakan bagian yang sangat penting dan bahkan dapat dikatakan sebagai ujung tombak. Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi kepada individu, keluarga atau kelompok (klien) secara terus-menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan klien, serta proses membantu klien, agar klien tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude) dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice) (Notoatmodjo, 2005). Pembangunan seperti realita pada umumnya menjadi self projected reality yang kemudian menjadi acuan dalam proses pembangunan, sehingga sering kali menjadi semacam ideology of developmentalism (Tjokrowinoto, 1996 cit. Soetomo, 2006). Elemen penting yang ditekankan pada teori ini ialah partisipasi (participation) dan pemberdayaan (empowerment) (Dudley, 1979 cit. Mardikanto, 2010). Freira (cit. Hubley, 2002) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses dinamis yang dimulai dari ketika masyarakat langsung belajar dari tindakan. Meskipun masyarakat umumnya didefinisikan sebagai sekelompok orang yang tinggal di lokasi yang sama dan di bawah pemerintahan yang sama, namun definisi kerja pemberdayaan berfokus pada dimensi tindakan kolektif yaitu masyarakat sebagai sebuah kelompok yang berbagi kepentingan bersama, sehingga anggotanya termotivasi untuk terlibat dalam aksi kolektif (Brinkerhoff dan Azfar, 2006). Ife (2002) bahwa pemberdayaan masyarakat setidaknya membutuhkan enam tahapan yang perlu dilalui untuk mewujudkan change from below,yaitu; 1) pemilahan antara proses dan hasil, 2) pentingnya pengintegrasian proses, 3) peningkatan kesadaran, 4) partisipasi sebagai bagian dari demokrasi, 5) membangun kerja sama, dan 6) community building.
18
Hubley (2002) mengatakan bahwa pemberdayaan kesehatan (health empowerment), sadar kesehatan (health literacy), dan promosi kesehatan (health promotion) diletakkan dalam kerangka pendekatan yang komprehensif. Sebagai suatu proses yang komprehensif, Labonte dan Laverack (2008) mengatakan, pemberdayaan masyarakat melibatkan beberapa komponen, yaitu pemberdayaan personal, pengembangan kelompok kecil, pengorganisasian masyarakat, kemitraan, aksi sosial, dan politik. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat mempunyai spektrum yang cukup luas. Barr (1995) menyarankan agar program pemberdayaan sebaiknya difokuskan pada sebagian kecil masyarakat dan dimulai dari kebutuhan nyata di masyarakat agar berjalan secara maksimal. Kelompok masyarakat yang tumbuh dari masyarakat itu sendiri adalah fasilitas yang paling efektif untuk upaya pemberdayaan masyarakat. Tersedianya dan efektivitas kelembagaan akan sangat berpengaruh terhadap pemberdayaan (Mardikanto, 2010). Wallerstein dan Sanchez-Merki (1994) mengusulkan kolaborasi pemberdayaan, sebab ditinjau dari konsep promosi kesehatan, pemberdayaan dan pembangunan mendorong peningkatan kapasitas masyarakat. Beberapa tonggak pencapaian perkembangan adopsi pemberdayaan ke dalam konsep promosi kesehatan antara lain: Wallerstein (1992) menyatakan bahwa pendidikan pemberdayaan masyarakat diadopsi untuk meningkatkan efektivitas pendidikan kesehatan, efektivitas program, dan menjaga kelestarian (sustainability) program. Selanjutnya, Nutbeam (1998) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah inti dari promosi kesehatan. Pemberdayaan masyarakat dapat dilaksanakan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: (a) merancang keseluruhan program; (b) menetapkan tujuan yang ditetapkan pada tahap perencanaan; (c) memilih strategi pemberdayaan; (d) implementasi strategi dan manajemen, dilakukan dengan cara: meningkatkan peran serta pemangku kepentingan (stakeholder), menumbuhkan
kemampuan
pengenalan
masalah,
mengembangkan 19
kepemimpinan
lokal,
membangun
keberdayaan
struktur
organisasi,
meningkatkan mobilisasi sumber daya, meningkatkan kontrol stakeholder atas manajemen program, dan membuat hubungan yang sepadan dengan pihak luar; (e) evaluasi program, dan (f) perencanaan tidak lanjut (Sumaryadi, 2005). WHO dalam Depkes RI (2006) mendefinisikan promosi kesehatan sebagai proses pemberdayaan individu dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka mengendalikan determinan-determinan kesehatan, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan mereka. Promosi kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui proses pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Depkes RI, 2006). Menolong diri sendiri artinya masyarakat mampu menghadapi masalah-masalah potensial (yang mengancam) dengan cara mencegahnya dan mengatasi masalah-masalah kesehatan yang sudah terjadi dengan menanganinya secara efektif dan efisien (Hartono, 2010). Berkaitan dengan pemberdayaan yang mendorong masyarakat mandiri, Clark (2002) menyebutkan bahwa suatu masyarakat dapat disebut mandiri secara kesehatan jika memiliki beberapa kemampuan, yaitu; 1) mengenali masalah kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan, 2) mengatasi masalah kesehatan secara mandiri dengan menggali potensi yang ada, 3) memelihara dan melindungi diri mereka dari berbagai ancaman kesehatan dengan melakukan tindakan pencegahan, dan 4) meningkatkan kesehatan secara dinamis dan terus-menerus melalui berbagai macam kegiatan seperti kelompok kebugaran, olahraga, konsultasi dan sebagainya. Bentuk kegiatan pemberdayaan ini dapat diwujudkan dengan berbagai kegiatan,
antara
lain:
penyuluhan
kesehatan,
pengorganisasian
dan
pengembangan masyarakat dalam bentuk misalnya: koperasi, pelatihan-pelatihan untuk kemampuan peningkatan pendapatan keluarga (income gener¬ating skill). 20
Dengan meningkatnya kemampuan ekonomi keluarga akan berdampak terhadap kemampuan dalam peme¬liharan kesehatan mereka, misalnya: terbentuknya dana sehat, terbentuknya pos obat desa, berdirinya polindes, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan semacam ini di masyarakat sering disebut "gerakan masyarakat" untuk kesehatan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sasaran pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat (sasaran primer).
3.4.1. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan
masyarakat
ialah
upaya
atau
proses
untuk
menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2007). Batasan pemberdayaan dalam bidang kesehatan meliputi upaya untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan sehingga secara bertahap tujuan pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk: 1.
Menumbuhkan kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman akan kesehatan individu, kelompok, dan masyarakat.
2. · Menimbulkan kemauan yang merupakan kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan atau sikap untuk meningkatkan kesehatan mereka. 3. · Menimbulkan kemampuan masyarakat untuk mendukung terwujudnya tindakan atau perilaku sehat. 4. Suatu masyarakat dikatakan mandiri dalam bidang kesehatan apabila: 1) Mereka mampu mengenali masalah kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan terutama di lingkungan tempat tinggal mereka sendiri. Pengetahuan tersebut meliputi pengetahuan tentang penyakit, gizi dan makanan, perumahan dan
21
sanitasi, serta bahaya merokok dan zat-zat yang menimbulkan gangguan kesehatan. 2) Mereka mampu mengatasi masalah kesehatan secara mandiri dengan menggali potensi-potensi masyarakat setempat. 3) Mampu memelihara dan melindungi diri mereka dari berbagai ancaman kesehatan dengan melakukan tindakan pencegahan. 4) Mampu meningkatkan kesehatan secara dinamis dan terus-menerus melalui berbagai macam kegiatan seperti kelompok kebugaran, olahraga, konsultasi dan sebagainya.
3.4.2. Prinsip pemberdayaan masyarakat 1) Menumbuhkembangkan potensi masyarakat. 2) Mengembangkan gotong-royong masyarakat. 3) Menggali kontribusi masyarakat. 4) Menjalin kemitraan. 5) Desentralisasi.
3.4.3. Indikator hasil pemberdayaan masyarakat 1) Input, meliputi SDM, dana, bahan-bahan, dan alat-alat yang mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat. 2) Proses, meliputi jumlah penyuluhan yang dilaksanakan, frekuensi pelatihan yang dilaksanakan, jumlah tokoh masyarakat yang terlibat, dan pertemuan-pertemuan yang dilaksanakan. 3) Output, meliputi jumlah dan jenis usaha kesehatan yang bersumber daya masyarakat, jumlah masyarakat yang telah meningkatkan pengetahuan dan perilakunya tentang kesehatan, jumlah anggota keluarga yang memiliki usaha meningkatkan pendapatan keluarga, dan meningkatnya fasilitas umum di masyarakat.
22
4) Outcome dari pemberdayaan masyarakat mempunyai kontribusi dalam menurunkan angka kesakitan, angka kematian, dan angka kelahiran serta meningkatkan status gizi masyarakat.
3.5. Kemitraan 3.5.1. Teori Kemitraan Secara teoritis, Eisler dan Montuori (1997) membuat pernyataan yang menarik yang berbunyi bahwa “memulai dengan mengakui dan memahami kemitraan pada diri sendiri dan orang lain, dan menemukan alternatif yang kreatif bagi pemikiran dan perilaku dominator merupakan langkah pertama ke arah membangun sebuah organisasi kemitraan.” Dewasa ini, gaya-gaya seperti perintah dan kontrol kurang dipercaya. Di dunia baru ini, yang dibicarakan orang adalah tentang karyawan yang “berdaya”, yang proaktif, karyawan yang berpengetahuan yang menambah nilai dengan menjadi agen perubahan. Kemitraan pada esensinya adalah dikenal dengan istilah gotong royong atau kerjasama dari berbagai pihak, baik secara individual maupun kelompok. Menurut Notoatmodjo (2003), kemitraan adalah suatu kerja sama formal antara individuindividu, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu. Ada berbagai pengertian kemitraan secara umum (Promkes Depkes RI) meliputi: a. kemitraan mengandung pengertian adanya interaksi dan interelasi minimal antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak merupakan ”mitra” atau ”partner”. b. Kemitraan adalah proses pencarian/perwujudan bentuk-bentuk kebersamaan yang saling menguntungkan dan saling mendidik secara sukarela untuk mencapai kepentingan bersama.
23
c. Kemitraan adalah upaya melibatkan berbagai komponen baik sektor, kelompok masyarakat, lembaga pemerintah atau non-pemerintah untuk bekerja sama mencapai tujuan bersama berdasarkan atas kesepakatan, prinsip, dan peran masing-masing. d. Kemitraan adalah suatu kesepakatan dimana seseorang, kelompok atau organisasi untuk bekerjasama mencapai tujuan, mengambil dan melaksanakan serta membagi tugas, menanggung bersama baik yang berupa resiko maupun keuntungan, meninjau ulang hubungan masing-masing secara teratur dan memperbaiki kembali kesepakatan bila diperlukan. (Ditjen P2L & PM, 2004)
3.5.2. Prinsip Kemitraan Terdapat 3 prinsip kunci yang perlu dipahami dalam membangun suatu kemitraan oleh masing-masing naggota kemitraan yaitu: a. Prinsip Kesetaraan (Equity) Individu, organisasi atau institusi yang telah bersedia menjalin kemitraan harus merasa sama atau sejajar kedudukannya dengan yang lain dalam mencapai tujuan yang disepakati. b. Prinsip Keterbukaan Keterbukaan terhadap kekurangan atau kelemahan masing-masing anggota serta berbagai sumber daya yang dimiliki. Semua itu harus diketahui oleh anggota lain. Keterbukaan ada sejak awal dijalinnya kemitraan sampai berakhirnya kegiatan. Dengan saling keterbukaan ini akan menimbulkan saling melengkapi dan saling membantu diantara golongan (mitra). c. Prinsip Azas manfaat bersama (mutual benefit) Individu, organisasi atau institusi yang telah menjalin kemitraan memperoleh manfaat dari kemitraan yang terjalin sesuai dengan
24
kontribusi masing-masing. Kegiatan atau pekerjaan akan menjadi efisien dan efektif bila dilakukan bersama.
3.5.3. Model-model Kemitraan dan Jenis Kemitraan Secara umum, model kemitraan dalam sektor kesehatan dikelompokkan menjadi dua (Notoadmodjo, 2003) yaitu: a.
Model I Model kemitraan yang paling sederhana adalah dalam bentuk jaring kerja (networking) atau building linkages. Kemitraan ini berbentuk jaringan kerja saja. Masing-masing mitra memiliki program tersendiri mulai dari perencanaannya, pelaksanaannya hingga evalusi. Jaringan tersebut terbentuk karena adanya persamaan pelayanan atau sasaran pelayanan atau karakteristik lainnya.
b. Model II Kemitraan model II ini lebih baik dan solid dibandingkan model I. Hal ini karena setiap mitra memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap program bersama. Visi, misi, dan kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuan kemitraan direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi bersama.
Menurut Beryl Levinger dan Jean Mulroy (2004), ada empat jenis atau tipe kemitraan yaitu: a. Potential Partnership Pada jenis kemitraan ini pelaku kemitraan saling peduli satu sama lain tetapi belum bekerja bersama secara lebih dekat. b. Nascent Partnership Kemitraan ini pelaku kemitraan adalah partner tetapi efisiensi kemitraan tidak maksimal c. Complementary Partnership 25
Pada kemitraan ini, partner/mitra mendapat keuntungan dan pertambahan pengaruh melalui perhatian yang besar pada ruang lingkup aktivitas yang tetap dan relatif terbatas seperti program delivery dan resource mobilization. d. Synergistic Partnership Kemitraan jenis ini memberikan mitra keuntungan dan pengaruh dengan masalah pengembangan sistemik melalui penambahan ruang lingkup aktivitas baru seperti advokasi dan penelitian. Bentuk-bentuk/tipe kemitraan menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI yaitu terdiri dari aliansi, koalisi, jejaring, konsorsium, kooperasi dan sponsorship. Bentuk-bentuk kemitraan tersebut dapat tertuang dalam: a. SK bersama b. MOU c. Pokja d. Forum Komunikasi e. Kontrak Kerja/perjanjian kerja
3.5.4. Langkah-langkah Kemitraan Kemitraan memberikan nilai tambah kekuatan kepada masingmasing sektor untuk melaksanakan visi dan misinya. Namun kemitraan juga merupakan suatu pendekatan yang memerlukan persyaratan, untuk itu diperlukan langkah langkah tahapan sebagai berikut: 1. Pengenalan masalah 2. Seleksi masalah 3. Melakukan identifikasi calon mitra dan pelaku potensial melalui suratmenyurat, telepon, kirim brosur, rencana kegiatan, visi, misi, AD/ART.
26
4. Melakukan identifikasi peran mitra/jaringan kerjasama antar sesama mitra dalam upaya mencapai tujuan, melalui: diskusi, forum pertemuan, kunjungan kedua belah pihak, dll 5. Menumbuhkan kesepakatan yang menyangkut bentuk kemitraan, tujuan dan tanggung jawab, penetapan rumusan kegiatan memadukan sumberdaya yang tersedia di masing-masing mitra kerja, dll. Kalau ini sudah ditetapkan, maka setiap pihak terbuka kesempatan untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang lebih bervariasi sepanjang masih dalam lingkup kesepakatan. 6. Menyusun rencana kerja: pembuatan POA penyusunan rencana kerja dan jadwal kegiatan, pengaturan peran, tugas dan tanggung jawab 7. Melaksanakan kegiatan terpadu: menerapkan kegiatan sesuai yang telah disepakati bersama melalui kegiatan, bantuan teknis, laporan berkala, dll. 8. Pemantauan dan evaluasi
3.5.5. Konflik dalam Kemitraan Beberapa literatur menyebutkan makna konflik sebagai suatu perbedaan pendapat di antara dua atau lebih anggota atau kelompok dan organisasi, yang muncul dari kenyataan bahwa mereka harus membagi sumber daya yang langka atau aktivitas kerja dan mereka mempunyai status, tujuan, nilai, atau pandangan yang berbeda, dimana masingmasing pihak berupaya untuk memenangkan kepentingan atau pandangannya. Sedangkan menurut Brown (1998), konflik merupakan bentuk interaksi perbedaan kepentingan, persepsi, dan pilihan. Wujudnya bisa berupa ketidaksetujuan kecil sampai ke perkelahian (Purnama, 2000). Konflik dalam organisasi biasanya terbentuk dari rangkaian konflikkonflik sebelumnya. Konflik kecil yang muncul dan diabaikan 27
oleh manajemen merupakan potensi munculnya konflik yang lebih besar dan melibatkan kelompok-kelompok dalam organisasi. Umstot (1984) menyatakan bahwa proses konflik sebagai sebuah siklus yang melibatkan elemen-elemen : 1) elemen isu , 2) perilaku sebagai respon dari isu-isu yang muncul, 3) akibat-akibat, dan 4) peristiwa-peristiwa pemicu. Faktorfaktor yang bisa mendorong konflik adalah: 1) perubahan lingkungan eksternal, 2) perubahan ukuran perusahaan sebagai akibat tuntutan persaingan, 3) perkembangan teknologi, 4) pencapaian tujuan organisasi, dan 5) struktur organisasi. Menurut Myer dalam Purnama (2000), terdapat tiga bentuk konflik dalam organisasi, yaitu : 1) Konflik pribadi, merupakan konflik yang terjadi dalam diri setiap individu karena pertentangan antara apa yang menjadi harapan dan keinginannya dengan apa yang dia hadapi atau dia perolah, 2) Konflik antar pribadi, merupakan konflik yang terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain, dan 3) Konflik organisasi, merupakan konflik perilaku antara kelompokkelompok dalam organisasi dimana anggota kelompok menunjukkan “keakuan kelompoknya” dan membandingkan dengan kelompok lain, dan mereka menganggap bahwa kelompok lain menghalangi pencapaian tujuan atau harapan-harapannya.
28
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan Untuk mewujudkan atau mencapai visi dan misi promosi kesehatan secara efektif dan efisien, maka diperlukan cara dan pendekatan yang strategis yaitu strategi promosi kesehatan. Secara umum strategi promosi kesehatan ini terdiri dari 3 hal, yaitu Advokasi (Advocacy), Bina Suasana, dan Gerakan Masyarakat. Dalam pemilihan srategi promosi kesehatan ada sendiri agar masyarakat lebih mudah untuk mengingat dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dalam pemilihan strategi promosi kesehatanpun ada aturan-aturan tersendiri, intinya adalah agar srategi promosi kesehatan program-programnya semakin berkembang dan tidak salah sasaran.
29