Makalah Pengembangan Wilayah Pertambangan.docx

  • Uploaded by: Laode Muna
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Pengembangan Wilayah Pertambangan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,227
  • Pages: 20
MAKALAH PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN

Oleh : FIJAI R1D1 15 030

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2018

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Makalah Pengembangan Wilayah Pertambangan” dengan baik. Penulis mengucapkan terimkasih kepada Bapak Dosen selaku Dosen Pengampuh mata kuliah Pengembangan Wilayah telah memberikan arahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Harapan penulis semoga Makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan.

Kendari, 17 Januari 2018

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Sampul ..................................................................................................... Kata pengantar ........................................................................................................ Daftar Isi ................................................................................................................. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 1.3 Tujuan Penulis ........................................................................................ BAB II PEMBAHASAN 2.1 Konsep Pengembangan Berkelanjutan .................................................... 2.2 Strategi Pengembangan wilayah pertambangan berkelanjutan .............. 2.3 Tujuan Kegiatan Pengembangan Pertambangan Yang Berkelanjutan ... 2.4 Hal-hal

yang Diperlukan Dalam Kegiatan Pertambangan

yang

Berkelanjutan .......................................................................................... 2.5 Kebijakan

Pemerintah

Dalam

Pengelolaan

Kegiatan

Usaha

Penambangan Dan Implementasinya ...................................................... 2.6 Kondisi Pengelolaan pertambangan yang Diharapkan Serta Upaya Untuk Mencapainya ................................................................................ 2.7 Dampak Dari Kegiatan Usaha Penambangan ......................................... BAB III PENUTUP 3.1 Penutup .................................................................................................. 3.2 Saran ...................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Wilayah pada pertambangan biasa disebut WP yang dimana adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Pembangunan berkelanjutan atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan Usaha penambangan merupakan usaha melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi, produksi, dan penjualan. Menurut Rahmi (1995), penggolongan bahan-bahan galian adalah sebagai berikut : 1. Golongan A, merupakan bahan galian strategis, yaitu strategis untuk perekonomian Negara serta pertahanan dan keamanan Negara 2. Golongan B, merupakan bahan galian vital, yaitu dapat menjamin hajat hidup orang banyak, Contohnya besi, tembaga, emas, perak dan lain-lain 3. Golongan C, bukan merupakan bahan galian strategis ataupun vital, karena sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional. Contohnya marmer, batu kapur, tanah liat, pasir, yang sepanjang tidak mengandung unsur mineral. Faktor manusia dalam proses penambangan yang tidak memperhatikan lingkungan tentu akan membawa dampak kerusakan lingkungan baik pada faktor sosial dan budaya, faktor fisik maupun faktor biotiknya. Faktor sosial dan budaya yang dapat mempengaruhi tingkat dampak kegiatan penambangan pasir,

diantaranya tingkat sosial masyarakat, tingkat pendapatan, pendidikan, pekerjaan serta persepsi masyarakat. Dampak sosial budaya penambangan terhadap wilayah di sekitar areal penambangan, umumnya terletak pada permasalahan yang sama yaitu jalur lintasan penambangan yang harus melewati tanah dengan kepemilikan pribadi (private property), bangunan jalan sebagai sarana transportasi menjadi rusak, hasil pemasaran bahan tambang hanya sedikit yang sampai kepada masyarakat lokal, sehingga kurang mengangkat pertumbuhan ekonomi daerah sekitar lokasi penambangan. Dampak terhadap faktor fisik yang mungkin terjadi adalah mempengaruhi tingkat kualitas air, kebisingan dan debu, sedangkan dampak terhadap faktor biotik akibat penambangan adalah menyebabkan terganggunya keberadaan jenis tumbuhan maupun hewan yang ada, misalnya berpindah tempat atau berkurangnya pohon, rumput-rumputan, ikan, ular dan sebagainya.

1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini berkaitan dengan kebijakan pengelolaan pembangunan berkelanjutan didalam pertambangan. Untuk memudahkan dan mengarahkan pembahasan dalam makalah ini maka diajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana konsep pengembangan berkelanjutan? 2. Apa saja strategi pengembangan wilayah pertambangan berkelanjutan? 3. Apa tujuan kegiatan pengembangan pertambangan yang berkelanjutan? 4. Apa yang diperlukan dalam kegiatan pertambangan yang berkelanjutan? 5. Bagaimana dampak dari kegiatan usaha penambangan?

1.3 Tujuan Penulisan Secara umum tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang kebijakan pengelolaan pembangunan berkelanjutan didalam pertambangan yaitu Memberikan gambaran mengenai kebijakan pengelolaan pembangunan berkelanjutan didalam pertambangan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Konsep Pengembangan Berkelanjutan Menerapkan konsep pengembangan berkelanjutan, umumnya sangat berkaitan erat pada kegiatan yang sifatnya berciri-ciri pembangunan berkelanjutan. Dalam prakteknya, kegiatan pengembangan secara alami sudah pasti memajukan tempat atau daerah pertambangan tersebut, dengan cara membuat membagun tempat-tempat yang memungkinkan akan di datangi oleh banyak orang. ( misalnya membuat sebuah hotel pada daerah tersebut yang dimana daerah pertambangan itu sudah tidak digunakan, sehingga dibuatlah sebuah hotel). Konsep berkelanjutan pada kegiatan pertambangan yang pasti suatu saat akan terjdi karena sumberdaya pada penambangan yang tidak dapat diperbaharui. Hal yang sudah umum diketahui bahwa cadangan, baik mineral dan batubara, betapapun banyaknya, suatu saat akan habis ditambang mengingat sifatnya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Bahkan umur proyek yang tidak lebih dari 10 tahun sering ditemui pada tambang-tambang skala menengah dan kecil dengan volume cadangan yang sangat terbatas. kelanjutan lingkungan, adalah tujuan secara fisik, kualitas lingkungan, dan ketersediaan sumberdaya alam. Kelanjutan ekonomi ditekankan pada pengelolaan lingkungan alam unuk mendukung kelanjutan hidup dan keindahan, seperti udara dan air, sumberdaya energi dan sumberdaya mineral untuk ekonomi manusia. Selain itu juga ditekankan pada kepercayaan bahwasanya lingkungan alam adalah unuk kepentingan mereka, tiap tiap orang menggunakan lingkungan alam untuk aktivitas mereka.kelanjutan ekonomi, ditekankan pada perkembangan yang berkelanjuan pada standar kehidupan manusia dan keadaan manusia yang lebih baik. Yang ketiga adalah kelanjutan sosial dan budaya, yang ditekankan pada hukum sosial. bentuk ini difokuskan pada keadilan dan pemerataan. Tema berkelanjutan dalam industri pertambangan merupakan turunan dari konsep pembangunan berkelanjutan yang secara kontemporer terus dikampanyekan di berbagai sektor. Khusus pada bidang pertambangan, konsep berkelanjutan

memiliki posisi yang unik karena barang tambang bukanlah sumberdaya yang dapat diperbaharui. Sekali cadangan habis ditambang, maka selesailah kegiatan pertambangan tersebut. Tidak peduli betapa menguntungkan ia pada awalnya dan betapa banyak orang yang menggantungkan hidup darinya, tambang harus tetap ditutup. Sekali berarti, sesudah itu mati. Selanjutnya,

JPOI mengindentifikasi

tiga

bidang prioritas

untuk

memaksimalkan potensi keberlanjutan di sektor pertambangan, yaitu: 1. Menganalisa dampak dan keuntungan sosial, kesehatan, ekonomi dan lingkungan sepanjang siklus kegiatan pertambangan, termasuk kesehatan dan keselamatan pekerja. 2.

Meningkatkan

partisipasi

para

pemangku

kepentingan,

termasuk

masyarakat adat dan lokal serta kaum perempuan. 3. Menumbuhkan praktek-praktek pertambangan berkelanjutan melalui penyediaan dukungan teknis, pembangunan kapasitas dan keuangan, kepada negara berkembang dan miskin. Dengan demikian dapat dipahami bahwa konsep keberlanjutan dalam pertambangan tidak berarti kegiatan tersebut harus dilakukan terus menerus, begitu pula jika diasumsikan secara sederhana dengan membuat tambang baru untuk melanjutkan tambang lain yang sudah ditutup. Konsep keberlanjutan dalam industri ini diarahkan pada upaya untuk memaksimalkan manfaat pembangunan pertambangan dan pada saat yang sama mampu meningkatkan keberlanjutan lingkungan dan sosial. Artinya, konsep keberlanjutan pada sektor ekstraksi mineral dan batubara ditekankan pada optimalisasi dampak-dampak positif yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut dengan menitikberatkan pada akulturasi pilarpilar ekonomi, sosial dan lingkungan (the triple bottom-line).

2.2 Strategi Pengembangan wilayah pertambangan berkelanjutan Pada

dasarnya persoalan

kegiatan

masyarakat

yang

menambang

dapat diatasi dengan dua strategi, yakni: (1) dengan menempatkan dan membina masyarakat penambang untuk melaksanakan aktivitas pertambangan tersebut dalam sebuah WilayahPertambangan Rakyat (WPR); (2) atau menjadikan

mereka sebagai mitra tidak sederajat dengan perusahaan pertambangan yang memiliki konsesi tempat mereka menambang.Kedua strategi tersebut dapat direalisasikan sepanjang pemerintah memiliki keinginan atau komitmen, kesiapan dan kemampuan dalam melaksanakannya. 2.2.1 Menempatkan dan membina masyarakat penambang dalam WPR Seperti yang tercantum dalam UU No.4 tahun 2009, bahwa kegiatan masyarakat yang menambang itu hanya dapat dilakukan secara legal dalam bentuk suatu kegiatan PR di suatu Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Dalam konteks ini,

tahapan

untukmenempatkan

dan

membina

masyarakat

agar

dapat melaksanakan kegiatan penambangannya dengan baik, benar, efektif, efisien dan berwawasan lingkungan, dapat dilakukan dalam skenario tiga tahapan besar, yakni: a. Tahapan Penentuan dan Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR); b. Tahapan Pengelolaan Kegiatan Pertambangan Rakyat (PR) dan c. Tahapan Pengelolaan Lingkungan. Pada tahapan penentuan dan penetapan WPR, strategi tersebut akan mencakup

tiga

aspek

penting,

yakni

aspek kebijakan, mekanisme

dan

kelembagaan. Hal inidisebabkan karena dalam penentuan dan penetapan WPR diperlukan kesamaan cara pandang dan kerjasama yang saling mendukung diantara komponen

pimpinan daerah

sehingga

WPR

dapat

menjadi

solusi persoalan masyarakat yang menambang di wilayah tersebut. Tahapan ini juga merupakan tahapan yang paling penting, karena bila WPR yang sudah ditetapkan tersebut tidak memiliki cadangan komoditi tambang yang memadai dan tidak diketahui secara jelas keberadaannya, maka bisa dipastikan para penambang tersebut akan pergi meninggalkan wilayah itu dan mencari serta menambang di wilayah baru secara illegal. 2.2.2

Masyarakat sebagai mitra perusahaan tidak sederajat

Strategi kedua yang dapat diterapkan dalam mewadahi kegiatan masyarakat yang menambang adalah dengan membangun kemitraan tidak sederajat antara masyarakat penambang dengan perusahaan penambangan yang memiliki konsesi di suatu wilayah, terutama di lokasi tempat masyarakat sudah menambang jauh

sebelum perusahaan tersebut beroperasi di wilayah tersebut. Disebut sebagai kemitraan tidak sederajat karena kehadiran masyarakat yang menambang di wilayah tersebut hanya dimungkinkan bila perusahaan berkenan menerima kegiatan mereka di dalam wilayah konsesi perusahaan. Dalam kasus ini, perusahaan dapat mengalokasikan wilayah konsesi mereka yang memiliki potensi cadangan terbatas untuk masyarakat karena wilayah tersebut tidak ekonomis bila ditambang dalam skala perusahaan. Hasil penambangan masyarakat tersebut haruslah dijual kepada pihak perusahaan dan agar proses reklamasinya nanti tidak menyulitkan perusahaan, maka kegiatan penambangan yang dilakukan oleh masyarakat haruslah mengikuti disain yang sudah dibuat oleh perusahaan. Dengan demikian akan terjalin suatu kemitraan yang saling menguntungkan antara perusahaan dan masyarakat serta sekaligus akan dapat menghindarkan perusahaan dari potensi konflik dengan masyarakat, terutama dari konflik akibat kegiatan penambangan illegal masyarakat.

2.3 Tujuan Kegiatan Pengembangan Pertambangan Yang Berkelanjutan Tujuan dari kegiatan Pengembangan pertambangan yang berkelanjutan bertujuan untuk menciptakan keuntungan jangka panjang bagi semua pemangku kepentingan dan mencoba mendapatkan dukungan, kerja sama, dan kepercayaan dari masyarakat di sekitar daerah pertambangan. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. Salah dua tujuan usaha pertambangan yakni, mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing

2.4 Hal-hal

di

tingkat

nasional,

yang Diperlukan

Dalam

regional,

Kegiatan

dan

internasional.

Pertambangan

yang

Berkelanjutan Manajemen tambang yang berkelanjutan merupakan tantangan utama. Manajemen berkelanjutan menawarkan berbagai manfaat potensial sebagai berikut:

a. Reputasi perusahaan meningkat dengan risiko kerugian rendah. b. Efisiensi operasional yang lebih tinggi dengan pengelolaan keselamatan dan kesehatan, penggunaan energi, sumber daya, dan proses produksi yang berkelanjutan. c. Perencanaan dan pengendalian dari pelaksanaan sistem manajemen dan filsofi perbaikan terus-menerus berkaitan dengan pengelolaan yang berkelanjutan dapat ditingkatkan. d. Akses terhadap sumber daya mineral lebih mudah sehingga biaya untuk memperolehnya lebih rendah dan tingkat kegagalannya berkurang. e. Perekrutan dan pemberdayaan sumber daya manusia lebih mudah sehingga kepemimpinan, motivasi, inisiatif, dan pengmbilan kebijakan dilaksanakan secara bertanggung jawab. f. Proyek pembiayaan lebih mudah dan ekonomis. g. Biaya pengembangan proyek lebih rendah dengan bantuan dari pihak-pihak terkait sehingga proses perizinan lebih cepat.

2.5 Kebijakan Pemerintah Dalam Pengelolaan Kegiatan Usaha Penambangan Dan Implementasinya Ada beberapa hal penting yang menjadi perhatian dalam pengelolaan sumber daya alam pada periode reformasi (GBHN 1999-2004). Pertama adalah peningkatan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan. Kedua, pendelegasian wewenang secara bertahap dari Pemerintah (Pusat) kepada Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga. Ketiga, pendayagunaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang. Semuanya ini merupakan paradigma baru didalam menentukan kebijakan konservasi bahan galian sebagai bagian dari pengelolaan sumber daya mineral.

Oleh karena itu, setiap kebijakan konservasi bahan galian diarahkan kepada pembangunan untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat, dan desentralisasi atau dekonsentrasi pengelolaan sumber daya mineral dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah, serta optimalisasi manfaat dan minimalisasi dampak lingkungan

untuk

mewujudkan

pembangunan

yang

berkelanjutan.Secara

dikotomis, pengelolaan sumber daya mineral selalu dihadapkan pada dua kepentingan besar, yaitu usaha peningkatan produksi (atau konsumsi) bahan galian dan usaha proteksi (atau pelestarian) lingkungan hidup. Pada satu sisi, pemanfaatan bahan galian adalah langkah positif yang tak terhindarkan untuk mencukupi kebutuhan komoditi mineral yang selalu mendorong upaya eksploitasi bahan galian semaksimal mungkin. Pada sisi lainnya, kegiatan pertambangan dapat dikatakan sebagai penggunaan teknologi yang membawa dampak kerusakan lingkungan. Hal ini menjadi bahan perdebatan yang tak kunjung selesai. Semangat liberalisasi dunia industri mineral mendorong pengusaha terus mengeksplorasi dan mengeksploitasi bahan tambang seraya menolak upaya proteksi lahan. Sebaliknya kepentingan lain yang mengatasnamakan perlindungan lingkungan hidup dan hak-hak asasi manusia mendorong kelompok swadaya masyarakat dan pengelola lingkungan hidup terus memperjuangkan kampanye anti pertambangan. Konservasi Bahan Galian (KBG) pada hakekatnya adalah upaya perlindungan, perbaikan dan penggunaan bahan galian secara bijaksana yang dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang

tinggi,

menjaga

kelestarian

fungsi

lingkungan,

serta

menjamin

kesinambungan pembangunan bagi masyarakat. Berdasarkan kenyataan dan permasalahan di atas, perlu adanya kebijakan dalam pengelolaan dan perlindungan bahan tambang pasir. Untuk itu telah terbit kebijakan pemerintah

yaitu Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya

Mineral. Kebijakan umum Pengelolaan sumber daya mineral memiliki beberapa landasan hukum antara lain: UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 3, UU. No. 4 / 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok lingkungan hidup, UU. No. 23 / 1997 tentang lingkungan hidup, UU No. 22 / 1999 tentang pemerintahan daerah, UU No. 25 / 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. PP No. 20 / 1990 tentang pengendalian pencemaran air, Keputusan Menteri

No.1261/K/25/MPE/ umum,

1999

tentang

pengawasan

produksi

pertambangan

Keputusan Menteri No.1453/K/29/ MEM/2000 tentang pedoman

pengawasan konservasi bahan galian pertambangan umum, Keputusan Menteri No. 51/1995 tentang AMDAL, PP No. 25 / 2000, tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom. Berbeda dengan konservasi sumber daya hayati, KBG lebih diarahkan kepada pemanfaatan sumber daya dan cadangan secara optimal bagi kepentingan masyarakat,

pencegahan

penyia-nyiaan

bahan

galian,

teknik

penambangan/pengolahan yang berwawasan lingkungan, serta pembangunan komunitas yang berkelanjutan. Dalam implementasinya, kebijakan konservasi memerlukan strategi dasar yang berbeda untuk kawasan Indonesia bagian barat dan timur sesuai dengan karakter masing-masing wilayah tersebut. Untuk Kawasan Barat Indonesia (KBI), khususnya Pulau Jawa dan Sumatra yang dinilai lebih maju dibandingkan dengan Kawasan Timur Indonesia, kebijakan pemanfaatan bahan galian yang bersifat protektif lebih diutamakan. Sedangkan bagi Kawasan Timur Indonesia (KTI), kebijakan yang mengarah kepada peningkatan aspek ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakatnya perlu diprioritaskan. Hal ini sesuai dengan pengembangan ekonomi KTI dalam jangka pendek yang masih mengandalkan ekploitasi sumber daya mineralnya. Dalam hubungan dengan peningkatan investasi di sektor pertambangan, kebijakan konservasi bahan galian diharapkan dapat mendorong pemanfaatan bahan galian yang memiliki nilai tambah dan potensi pasar yang tinggi, serta industri pertambangan yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Kebijakan ini menyangkut proses perijinan sejak penyelidikan umum, eksplorasi sampai tahap eksploitasi atau produksi tambang. Selain itu juga termasuk kebijakan yang menyangkut standarisasi pengelolaan usaha pertambangan yang berasaskan optimalisasi bahan galian, berpihak kepada masyarakat lokal dan berwawasan lingkungan. Peranan pengusaha swasta sangat diperlukan untuk penerapan kebijakan ini terutama untuk pengembangan pertambangan skala besar. Sedangkan pemerintah hanya menjalankan fungsi administratif dan fasilitator, tanpa perlu terjun sebagai pelaku bisnis pertambangan umum.

Dalam RUU Pertambangan Umum (versi Agustus 2002) disebutkan bahwa dalam pengelolaan pertambangan umum, Pemerintah memiliki kewenangan dalam pembuatan kebijakan nasional, peraturan dan standarisasi nasional di bidang pertambangan bahan galian, termasuk kebijakan di bidang pemasaran, pemanfaatan dan konservasi bahan galian. Selain itu Pemerintah (Pusat dan Daerah) dapat memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP) kepada Badan Usaha Milik Negara/Daerah, perusahaan swasta maupun perorangan untuk melakukan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi sampai operasi produksi. Di sisi lain pemegang IUP atau PUP memiliki kewajiban untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi, konservasi sumber daya dan cadangan dan penanganan limbah sampai penutupan tambang. Meskipun demikian, ketentuan-ketentuan dalam bidang konservasi sumberdaya mineral belum diatur lebih lanjut dalam bentuk perundangundangan. Karena tidak adanya peraturan kebijakan tentang pengelolaan bahan galian secara nasional menyebabkan terjadinya berbagai masalah konservasi dalam usaha pertambangan umum. Dalam periode 2001 – 2003, Subdirektorat Konservasi telah menyusun beberapa konsep regulasi konservasi, yaitu:

Konsep rancangan peraturan

perundang-undangan tentang konservasi bahan galian· Konsep pedoman teknis tata cara penetapan dan pengawasan sumberdaya dan cadangan bahan galian Konsep pedoman teknis tata cara pengawasan recovery penambangan dalam rangka konservasi bahan galian Konsep kriteria dan tata cara penetapan bahan galian lain dan mineral ikutan Konsep pedoman teknis pengawasan konservasi bahan galian pada pertambangan logam laterit. Perhitungan

sumber

daya

dan

cadangan

pada

umumnya

hanya

mempertimbangkan aspek ekonomi perusahaan, lingkungan fisik dan kimia tanpa mempertimbangkan aspek konservasi, dan kuantitasnya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi ekonomi dan teknologi. Oleh karenanya aspek konservasi perlu diterapkan dalam perhitungan sumber daya dan cadangan sehingga tercapai pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan. Untuk menghindari kesalahan dalam

perhitungan dan penyalahgunaan hak pemanfaatan sumber daya dan cadangan, pemerintah memandang perlu untuk menerbitkan suatu pedoman teknis tata cara penetapan dan pengawasan sumber daya dan cadangan bahan galian yang dapat menjadi acuan bagi pemerintah dan pelaku usaha pertambangan. Selain itu parameter penting lainnya adalah metoda estimasi sumber daya dan cadangan dan skala peta yang dipergunakan. Penetapan cadangan bahan galian, selain menggunakan parameter tersebut diatas, juga harus memperhitungan parameter dari berbagai aspek teknik, ekonomi, hukum dan lingkungan. Parameter aspek keteknikan dalam perhitungan cadangan meliputi sistem penambangan, sistem pengolahan/pemurnian, sistem pengangkutan, stripping ratio dan cut off grade. Parameter aspek ekonomi adalah infra struktur, tenaga kerja, harga komoditas bahan galian, jenis produk utama dan sampingan, serta nilai dan prospek bahan galian. Parameter aspek lingkungan mencakup rencana pengelolaan lingkungan sesuai dengan peraturan yang berlaku, diantaranya mengenai tailing atau limbah, air keluaran tambang, reklamasi, dan lain-lain. Recovery Penambangan adalah perbandingan antara hasil penambangan menggunakan metode tertentu dengan jumlah cadangan layak tambang berdasarkan penghitungan cadangan terbukti dan desain penambangan. Pada usaha pertambangan umum, recovery penambangan memiliki

pengaruh dalam

menentukan kinerja dan keberhasilan kegiatan penambangan. Penambangan yang efektif dan efisien seharusnya mampu menambang cadangan layak tambang secara optimal sehingga menunjukkan nilai recovery penambangan yang baik.Namun pada kenyataannya masih ada usaha pertambangan yang hanya mementingkan aspek ekonomi saja tanpa menghiraukan kaidah konservasi dalam melaksanakan kegiatan penambangannya sehingga negara dirugikan. Oleh karena itu, dalam rangka penerapan KBG perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi recovery penambangan berdasarkan pedoman teknis pengawasan recovery penambangan. Pedoman teknis ini adalah acuan bagi pemerintah dan pelaku usaha pertambangan dalam mengawasi optimalisasi perolehan tambang dan mencegah

penyimpangan

penambangan. Pengawasan

recovery

dalam penambangan

pelaksanaan dilaksanakan

sistem terhadap

pemegang IUP, PUP dan IPR, baik secara administrasi maupun teknik, untuk setiap periode tertentu kegiatan penambangan yang dilakukan. Pengawasan administratif dilakukan dengan menelaah, melakukan perhitungan dan mengevaluasi laporan perusahaan tambang yang berkaitan dengan perizinan, studi kelayakan (penetapan recovery penambangan), rencana kerja dan biaya dan hasil kegiatan perusahaan serta produksi tambang. Sedangkan pengawasan teknis dilakukan dengan cara pengecekan, pengukuran, korelasi data, pengambilan conto, analisis contoh di lapangan atas data kegiatan teknis pertambangan. Pemeriksaan teknis secara langsung di wilayah usaha pertambangan dilakukan terhadap beberapa hal penting diantaranya: keadaan bahan galian (bentuk, sebaran, kadar/kualitas) cadangan layak tambang (batas, geometri, kadar/kualitas) desain penambangan, pada tambang terbuka meliputi tata letak bukaan tambang, batas bukaan tambang, pit slope, rencana pengupasan tanah pucuk (top soil) dan lapisan/tanah penutup (overburden), penambangan bahan galian, jalan tambang, waste disposal area, tempat pengolahan, tempat penimbunan bahan galian, tailing pond dan jadual penambangan desain penambangan, pada tambang bawah tanah meliputi lorong tambang, sistem ventilasi, batas cadangan yang akan ditambang, panel, stope, pillar, ore pass, dll jumlah, kapasitas dan cara kerja peralatan penambangan termasuk peralatan

pengupasan,

pembongkaran,

penggalian,

pemuatan

dan

pengangkutan target dan realisasi produksi (tahunan, triwulan, bulanan dan mingguan) realisasi recovery penambangan penanganan produk sampingan (by product), bahan galian lain, mineral ikutan, bahan galian tertinggal, bahan galian kadar marginal dan kadar rendah (jika diperlukan) pemercontoan produk utama, produk sampingan, bahan galian lain, mineral ikutan dan bahan galian tertinggal penanganan cadangan yang belum ditambang dan sisa cadangan pada saat sebagian atau seluruh blok penambangan diakhiri, dan kompetensi dan kualifikasi tenaga pelaksana penambangan. Dalam rancangan peraturan tentang konservasi bahan galian, disebutkan bahwa pada pelaksanaan penambangan, apabila terdapat bahan galian lain dan mineral ikutan yang tergali atau terganggu keberadaannya, harus diupayakan untuk ditempatkan di suatu lokasi dan ditangani dengan baik. Pada saat yang tepat bahan

galian dan mineral ikutan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat atau, jika telah memiliki nilai ekonomis, dapat diusahakan untuk dipasarkan.Kegiatan usaha pertambangan bahan galian mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Berdasarkan penilaian dan evaluasi tersebut, bahan galian lain dapat digolongkan menjadi 3 tipe. Tipe 1: Bahan galian lain berpotensi pengusahaan, yaitu kelompok bahan galian yang memiliki potensi tinggi untuk diusahakan; Tipe 2: Bahan galian lain berpotensi pengembangan, yaitu kelompok bahan galian yang memiliki

potensi

sedang/menengah

dan

memiliki

kemungkinan

untuk

dikembangkan sebagai komoditas usaha pertambangan; Tipe 3: Bahan galian lain berpotensi sumber daya, yaitu kelompok bahan galian yang memiliki potensi rendah dan belum dapat dikembangkan sebagai komoditas usaha pertambangan. Berdasarkan penilaian kategori teknologi terhadap kelompok mineral ikutan 1 sampai 4, maka mineral ikutan dapat digolongkan menjadi 3 tipe: Tipe 1: Mineral ikutan berpotensi pengusahaan, yaitu kelompok mineral ikutan yang memiliki potensi tinggi untuk diusahakan; Tipe 2: Mineral ikutan berpotensi pengembangan, yaitu kelompok mineral ikutan yang memiliki potensi sedang/menengah dan memiliki

kemungkinan

untuk

dikembangkan

sebagai

komoditas

usaha

pertambangan; Tipe 3: Mineral ikutan berpotensi sumberdaya, yaitu kelompok mineral ikutan yang memiliki potensi rendah dan belum dapat dikembangkan sebagai komoditas usaha pertambangan. Pada saat ini penambangan laterit kurang memperhatikan manfaat mineral ikutan, bahan galian lain dan bijih (nikel atau bauksit) berkadar marginal atau rendah. Tanah penutup sering dibuang begitu saja meskipun masih mengandung bahan logam berharga seperti kromit, kobal, titan, dan lainnya. Lapisan limonit yang memiliki kadar nikel rendah, misalnya, sering tidak diolah dan hanya dianggap waste materials. Selain itu tailing hasil pengolahan bijih nikel atau bauksit masih dapat dimanfaatkan ulang (reuse/recycle). Ditambah lagi penambangan logam laterit selalu mengakibatkan perubahan rona awal permukaaan bumi yang luas sehingga dampak lingkungannya sangat besar.

2.6 Kondisi Pengelolaan pertambangan yang Diharapkan Serta Upaya Untuk Mencapainya Pengelolaan pertambangan adalah suatu upaya yang dilakukan baik secara teknis maupun non teknis agar kegiatan pertambangan tersebut tidak menimbulkan permasalahan, baik terhadap kegiatan pertambangan itu sendiri maupun terhadap lingkungan. Pengelolaan pertambangan sering hanya dilakukan pada saat penambangan saja. Hal ini dapat dimengerti, karena pada tahap inilah dinilai paling banyak atau sering menimbulkan permasalahan apabila tidak dikelola dengan baik dan benar. Persepsi yang demikian kurang tepat. Pengelolaan pertambangan sebaiknya dilakukan sejak awal hingga akhir tahapan seperti tersebut di atas. Bahkan untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan, maka sebelum suatu deposit bahan tambang ditambang, perlu dilakukan kajian terlebih dahulu apakah deposit tersebut layak untuk ditambang ditinjau dari berbagai aspek. Tata cara pengawasan teknis di lapangan menyangkut pemeriksaan terhadap hal berikut ini: 1. Tahap Eksplorasi: 

Metoda eksplorasi dan estimasi sumber daya laterit dan mineral ikutannya;



Profil laterit hasil pemboran dan sumur uji, kadar bijih laterit dan mineral ikutannya pada lapisan laterit;



Penentuan cut off grade untuk high grade saprolitic ore dan low grade saprolitic ore.

2. Tahap Penambangan: 

Rencana dan desain penambangan,



Jumlah, kapasitas dan peralatan penambangano target dan realisasi produksi.



Realisasi recovery penambangan.



Data dan cara penanganan bahan galian lain, bahan galian tertinggal, limonit kadar tinggi dan kadar rendah



Data dan cara penanganan cadangan yang belum ditambang dan cadangan tersisa.



Kompetensi dan kualifikasi tenaga pelaksana penambangan.

3. Tahap Pengolahan dan Pemurnian yaitu Metoda dan proses pengolahan jumlah, kapasitas dan cara kerja peralatan pengolahan dan pemurnian. 

Target dan realisasi produksi realisasi recovery pengolahan.



Data dan cara penanganan slago data dan cara penanganan bahan-bahan pencampur (batubara, antrasit, batugamping).



Data dan cara penanganan cadangan (stock pile) yang belum diolah.



Kompetensi dan kualifikasi tenaga pelaksana pengolahan dan pemurnian.

2.7 Dampak Dari Kegiatan Usaha Penambangan Kegiatan pertambangan mengakibatkan berbagai perubahan lingkungan, antara lain perubahan bentang alam, perubahan habitat flora dan fauna, perubahan struktur tanah, perubahan pola aliran air permukaan dan air tanah dan sebagainya. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan dampak dengan intensitas dan sifat yang bervariasi. Selain perubahan pada lingkungan fisik, pertambangan juga mengakibatkan perubahan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi. Dampak kegiatan pertambangan terhadap lingkungan tidak hanya bersumber dari pembuangan limbah, tetapi juga karena perubahan terhadap komponen lingkungan yang berubah atau meniadakan fungsi-fungsi lingkungan. Semakin besar skala kegiatan pertambangan, makin besar pula areal dampak yang ditimbulkan. Perubahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dapat bersifat permanen, atau tidak dapat dikembalikan kepada keadaan semula. Perubahan topografi tanah, termasuk karena mengubah aliran sungai, bentuk danau atau bukit selama masa pertambangan, sulit dikembalikan kepada keadaannya semula. Kegiatan pertambangan juga mengakibatkan perubahan pada kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Perubahan tata guna tanah, perubahan kepemilikan tanah, masuknya pekerja, dan lain-lain. Pengelolaan dampak pertambangan terhadap lingkungan bukan untuk kepentingan lingkungan itu sendiri tetapi juga untuk kepentingan manusia.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Tujuan dari Kegiatan Pertambangan yang Berkelanjutan adalah untuk menciptakan keuntungan jangka panjang bagi semua pemangku kepentingan dan mencoba mendapatkan dukungan, kerja sama, dan kepercayaan dari masyarakat di sekitar daerah pertambangan. Lalu, yang diperlukan dalam Kegiatan Pertambangan yang Berkelanjutan adalah komitmen perusahaan terhadap nilai-nilai berkelanjutan. Selain itu, struktur organisasi sistem manajemen yang memadai juga diperlukan. Strategi dasar itu akan dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi alam dan jenis komoditi yang ditambang serta sosial budaya masyarakat setempat. Bila WPR tersebut difokuskan pada eksploitasi komoditi tambang primer (seperti emas primer), maka diperlukan modifikasi dalam teknik penggalian dan ekstraksi serta pengelolaan limbahnya, namun secara prinsip semuanya menuju kepada konsep good mining practice dalam skala pertambangan rakyat. Modifikasi ini juga perlu mempertimbangkan aspek sosial budaya masyarakat agar tidak berbenturan dengan sistem nilai yang mereka anut, karena bila hal itu terjadi maka mekanisme pengelolaan tersebut akan menghadapi hambatan pada tataran implementasinya. 3.2 Saran Dari kesimpulan di atas perlu dikemukakan beberapa saran yang berkaitan dengan pengelolaan penambangan ini, yaitu : 1. Membentuk lembaga khusus yang menangani pengelolaan kegiatan penambangan untuk Penyusunan zonasi pertambangan yang memuat lokasi-lokasi

yang

dicadangkan

untuk

penambangan

berdasarkan

keberadaan deposit bahan tambang dan pertimbangan ekologis 2. Penggantian iuran reklamasi dalam bentuk jaminan reklamasi untuk penambang besar sehingga mereka mempunyai rasa tanggung jawab untuk melaksanakan penataan lahan pasca penambangan. 3. Pemberdayaan ekonomi masyarakat berdasarkan potensi lokal, sehingga ketergantungan terhadap sumber bahan tambang menjadi berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S .1989.Konservasi Tanah dan Air . IPB Bogor.

https://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_berkelanjutan

www.academia.edu/2073326/Strategi_Pengembangan_Wilayah_Pertambangan _Rakyat_di_Bombana_Sulawesi_Tenggara

Mantra,Ida Bagus. 2004. Demografi Umum, Edisi 3. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Morgan, R.P.C. 1988. Soil Erosion and Conservation. Longman Group.Hongkong.

Rahim, F.1995. Sistem dan Alat Tambang. Akademi Teknik Pertambangan NasionalBanjarbaru.

Soemarwoto,Otto. 2003. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah MadaUniversity Press.Yogyakarta.

Suripin. 2002.Pelestarian Sumber daya Tanah dan Air. Gadjah Mada.Yogyakarta.

Yakin,Addinul.2004.Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. AkademikaPresindo.Jakarta.


Related Documents


More Documents from ""