SNI 3932-2008 sebagai Standar Mutu Karkas dan Daging Sapi di Indonesia
MAKALAH PRAKTIKUM MANAJEMEN KESEHATAN DAN KESEJAHTERAAN TERNAK
Oleh : Kelas: A Kel: 8 Ikhwan Maulana
200110170006
Muhammad Ikhsan Lazuardi
200110170015
Hesti Septiyanti
200110170136
Lathifa Nur Aziza
200110170171
Rachmat Farhan Basri
200110170183
Tengku Evita Putri Zurayma
200110170193
LABORATORIUM PRODUKSI TERNAK PERAH FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN SUMEDANG 2019
ii
KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa, atas rahmat hidayah dan izinnya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “SNI 3932-2008 sebagai Standar Mutu Karkas dan Daging Sapi di Indonesia” dimana dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tugas ini merupakan tugas dari mata kuliah “Fisiologi Ternak” penyusunan laporan ini kami mengalami kendala atau hambatan namun semua dapat di atasi dengan baik karena bantuan dari semua pihak yang membantu kami dalam penyusunan laporan ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Kami yakin makalah ini, masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi penyempurnaan makalah kami berikutnya.
Sumedang, 10 Maret 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI Bab
I.
Halaman KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iii
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
4
1.2. Rumusan Masalah
4
1.3. Maksud dan Tujuan
5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Sapi
6
2.2. Total Koloni Bakteri Dagin Sapi
6
2.3. pH Daging Sapi
8
2.4. Kadar Air Daging Sapi
9
III. PEMBAHASAN 3.1. Istilah dan Definisi
11
3.2. Daging Sapi Masakan
12
IV. PENUTUP 5.1. Kesimpulan
16
DAFTAR PUSTAKA
17
4
I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang
sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzimenzim yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang akhirnya menyebabkan pembusukan daging. Daging yang tidak aman dapat membahayakan kesehatan konsumen. Beberapa kriteria daging yang tidak baik adalah bau dan rasa tidak normal, warna daging tidak normal, konsistensi daging tidak normal, kekenyalan rendah, dan daging yang busuk. Bau dan rasa yang tidak normal biasanya akan segera tercium sesudah hewan dipotong. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya kelainankelaianan seperti Hewan sakit, terutama yang menderita radang yang bersifat akut pada organ dalam, akan menghasilkan daging yang berbau seperti mentega tengik. Hewan dalam pengobatan, terutama dengan pemberian antibiotika, akan menghasilkan daging yang berbau obat-obatan. Warna daging yang tidak normal tidak selalu membahayakan kesehatan konsumen, namun akan mengurangi selera konsumen. Konsistensi daging yang tidak sehat yaitu mempunyai kekenyalan rendah (jika ditekan dengan jari akanterasa lunak), apalagi diikuti dengan perubahan warna yang tidak normal, maka daging tersebut tidak layak dikonsumsi. Daging yang busuk dapat mengganggu kesehatan konsumen, karena dapat menyebabkan gangguan saluran
5
pencernaan. Pembusukan dapat terjadi karena penanganan yang kurang baik pada waktu pendinginan, sehingga aktivitas bakteri pembusuk meningkat, atau karena dibiarkan di tempat terbuka dalam waktu relatif lama pada temperatur kamar, sehingga terjadi proses fermentasi oleh enzim-enzim membentuk asam sulfida dan amonia (Lawrie, 1995). 1.2
Identifikasi Makalah
(1)
Bagaimana isi dari SNI 3932-2008
1.3
Maksud dan Tujuan
(1)
Mengetahui isi dari SNI 3932-2008
6
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Daging Sapi Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk
hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 1994). Daging sapi merupakan bagian dari hewan potong yang digunakan manusia untuk bahan makanan (Saptarini, 2009). Daging sapi merupakan produk ternak yang merupakan sumber protein hewani. Daging sapi merupakan bahan pangan yang mengandung gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk pertumbuhan dan kesehatan (Arifin et al., 2008). Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan asal ternak yang mengandung nutrisi berupa air, protein, lemak, mineral, dan sedikit karbohidrat sehingga dengan kandungan tersebut menjadikan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri dan menjadikan mudah mengalami kerusakan (Nurwantoro et al., 2012a). Bahan pangan asal ternak menjadi berbahaya dan tidak berguna apabila tidak aman, oleh karena itu, perlu penjagaan yang mutlak dalam keamanan pangan supaya menjadikan berguna bagi tubuh (Bahri, 2008). Komposisi daging sapi terdiri dari 19% protein, 5% lemak, 70% air, 3,5% zat-zat non protein, dan 2,5% mineral (Forrest et al., 1992). Sumber lain menyatakan bahwa daging sapi terdiri dari 75% air, 19% protein, 3,5% substansi non protein yang larut, dan 2,5% lemak (Lawrie, 2003). 2.2
Total Koloni Bakteri Daging Sapi Bahan pangan asal ternak seperti daging, susu dan telur merupakan bahan
pangan yang mudah rusak dan media yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri.
7
Daging sangat memenuhi persyaratan untuk perkembangan bakteri perusak dan pembusuk karena mempunyai kadar air tinggi, kaya akan zat yang 6 mengandung nitrogen dengan kompleksitasnya berbeda, mengandung senyawa karbohidrat yang dapat di fermentasi, kaya akan mineral dan kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme, dan mempunyai pH yang menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme (Soeparno, 1994). Daging mudah mengalami kerusakan oleh bakteri dengan ditandai perubahan bau dan timbul lendir yang biasanya terjadi jika jumlah bakteri menjadi jutaan atau ratusan juta sel atau lebih per 1 cm luas permukaan danging dan kerusakan tersebut disebabkan oleh bakteri pembusuk (Sa’idah et al. , 2011). Cemaran bakteri pada pangan asal ternak yang dapat membahayakan Enterococci,
kesehatan
manusia
Staphylococcus
aureus,
adalah
Coliform,
Clostridium
sp.,
Escherichia Salmonella
coli, sp.,
Champhylobacter sp. dan Listeria sp (Syukur, 2006). Pencemaran bakteri terjadi dari rumah pemotongan hewan sampai ke pasar. Sumber pencemaran tersebut antara lain adalah : 1) hewan (kulit, kuku, isi jeroan), 2) pekerja/manusia yang mencemari produk ternak melalui pakaian, rambut, hidung, mulut, tangan, jari, kuku, alas kaki, 3) peralatan (pisau, alat potong/talenan, pisau, boks), 4) bangunan (lantai), 5) lingkungan (udara, air, tanah), dan 6) kemasan (Gustiani, 2009). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri pada daging dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor interinsik dan faktor eksterinsik. Faktor interinsik terdiri dari nilai nutrisi daging, kadar air, pH potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi penghalang atau penghambat, sedangkan faktor eksterinsik terdiri dari temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen, dan bentuk atau kondisi (Soeparno, 1994). Proses pemotongan khususnya pengulitan dan pengeluaran jeroan merupakan titik paling rentan terhadap terjadinya kontaminasi dari bagian
8
luar kulit dan isi saluran 7 pencernaan (Bukle el al., 1987). Awal pencemaran pada daging sapi terjadi pada saat penyembelihan dengan alat-alat yang digunakan tidak steril dan pencemaran daging sapi semakin memburuk pada saat distribusi karena daging sapi dari RPH sudah terkontaminasi bakteri dan mengalami pertumbuhan bakteri (Arifin et al., 2008). Semua hal yang kontak langsung dengan daging seperti halnya meja, peralatan, penjual, pembeli, dan lingkungan dapat menjadi sumber kontaminasi (Kuntoro et al., 2013). Syarat mutu mikrobiologis daging sapi sesuai (SNI 3932:2008b) ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Syarat Mutu Mikrobiologis Dagin Sapi
2.3
pH Daging Sapi Nilai pH merupakan salah satu kriteria dalam menentukan kualitas daging.
Pada saat hewan masih dalam keadan hidup nilai pH pada otot yaitu sekitar 7,0 7,2. pH daging sapi berkisar antara 5,46 sampai 6,29 (Yanti et al., 2008), menurut Abustam (2012) mengatakan bahwa pH daging sapi relatif asam yaitu 5,5 sampai 5,8. Proses yang terjadi dalam perubahan pH daging yaitu proses glikolisis. Perbedaan nilai pH disebabkan oleh perbedaan kandungan glikogen dalam daging sehingga kecepatan glikolisis berbeda. Semakin rendah kadar glikogen daging, 8 maka makin lambat proses glikolisis dan pH semakin rendah (Komariah et al., 2009). Penurunan pH otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis
9
postmortem serta cadangan glikogen otot dan pH daging ultimat, normalnya antara 5,4 - 5,8. Stres sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang menghasilkan variasi pH daging (Soeparno, 1994). Penurunan pH pada ternak bervariasi, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor interinsik dan ekterinsik. Faktor interinsik antara lain spesies, tipe otot, glikogen otot, dan variabilitas diantara ternak, sedangkan faktor eksterinsik antara lain adalah temperatur lingkungan, perlakuan adanya bahan tambahan sebelum pemotongan dan stress sebelum pemotongan (Lawrie 2003). Setelah fase rigormortis pH terendah yang dapat dicapai daging 5,1 dan tertinggi 6,2 apabila pH sudah melebihi pH tertinggi maka akan menjadikan ideal untuk pertumbuhan bakteri dan semakin banyak bakteri akan menjadikan pH meningkat (Suradi, 2012). Semakin lama daging sapi berada pada suhu ruang akan menjadikan semakin banyak basa yang dihasilkan akibatnya semakin meningkatnya aktivitas bakteri dan terjadi proses pembusukan yang diikuti peningkatan pH dan peningkatan pertumbuhan bakteri selain itu maksimal pemaparan terhadap suhu ruang dari daging yang masih berada pada pH normal yaitu sampai 6 jam karena masih berada pada proses glikolisis posmortem (Jay, 1978). 2.4
Kadar Air Daging Sapi Batas ambang kadar air daging sapi yaitu 65 - 80% (Winarno dan Koswara,
2002). Kadar air dalam daging segar tercatat memiliki rata-rata 75%, untuk batas normal antara 65 - 80% (Lawrie 2003). Kadar air daging sekitar 75,83% (Kuswati 2006). Kadar air yang tersedia dalam daging sangat mempengaruhi tingkat pertumbuhan mikroorganisme. Kualitas karkas yang berhubungan dangan umur
10
dan lemak intramuskuler mempunyai pengaruh terhadap kadar air daging dan sapi yang mendapat pakan berenergi tinggi akan meninmbun lemak intramaskular lebih cepat dibanding sapi yang diberikan pakan berenergi rendah sehingga jumlah deposisi lemak intramaskular lebih banyak dan berdampak pada presentase kadar air yang rendah (Soeparno, 1994). Kadar air dalam daging juga dipengaruhi oleh kandungan lemak intramuskuler yang terdapat dalam otot (Nurwantoro et al., 2012). Kadar air pada daging selain dipengaruhi oleh lemak intramaskuler pada otot dipengaruhi pula oleh umur ternak, ternak muda memiliki kadar air yang lebih tinggi daripada yang lebih tua karena semakin meningkatnya umur semakin meningkat deposisi lemak intramaskuler yang menjadikan penurunan kadar air (Hidayat et al. , 2009). Penurunan kadar air disebabkan karena adanyan tekanan osmosis. Tekanan osmosis merupakan pertukaran air antara sel dengan lingkungan karena perbedaan konsentrasi (Kuntoro et al., 2007). Kebusukan pada daging sapi berhubungan dengan kadar air yang ada, dengan terjadi kebusukan menjadikan perubahan nilai kadar air (Suradi, 2012).
11
III PEMBAHASAN 3.1
Istilah dan Definisi
(1)
Karkas Bagian dari tubuh sapi sehat yang telah disembelih secara halal sesuai dengan CAC/GL 24-1997, telah dikuliti, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala dan kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah; organ reproduksi dan ambing, ekor serta lemak yang berlebih.
(2)
Daging Bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku.
(3)
Daging SegarDaging yang belum diolah atau tidak ditambahkan dengan bahan apa pun
(4)
Daging Segar Dingin Daging yang mengalami proses pendinginan setelah penyembelihan sehingga temperatur bagian dalam daging antara 00C dan 40C.
(5)
Daging Beku Daging yang sudah mengalami proses pembekuan di dalam blast freezer dengan temperatur internal minimum -180C.
(6)
Marbling Butiran lemak putih yang tersebar dalam jaringan otot daging (lemak intra muskular).
(7)
Perubahan Warna
12
Penyimpangan warna karena terdapat memar, pendarahan, “freeze burn” dan atau perubahan warna lainnya yang disebabkan oleh mikroorganisme atau zat-zat kontaminan (8)
Memar Perubahan warna pada daging akibat benturan fisik
(9)
Freeze Burn Perubahan warna pada daging akibat kontak dengan permukaan yang sangat dingin, di bawah temperatur -180C
(10)
Ketebalan Lemak Karkas jaringan lemak subkutan (sub cutaneous)
(11)
Konformasi Karkas Jaringan otot skeletal da jaringan lemak sebagai unti komersial yang berhubungan dengan ukuran tulang rangka (skeleton)
(12)
Warna Karkas Warna pada sayatan segar otot punggung (black muscle) atau otot daging kelapa pada paha belakang (round)
(13)
Nomor Kontrol Veteriner (NKV) S Sertifikat sebagai bukti tulis yang sah telah dipenuhinya persyaratan higiene-sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan pada unit usaha pangan asal hewan.
3.2
Daging Sapi untuk Masakan Standar mutu karkas dan daging sapi dapat kita temukan dalam SNI
3932:2008, karkas yang dimaksud di sini adalah bagian tubuh sapi sehat yang telah disembelih secara halal, sedangkan daging adalah bagian otot skeletal dari karkas
13
sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku. Mutu daging yang paling baik dapat kita ketahui dari teksturnya yang halus, dengan warna daging merah terang skor 1-5, memiliki warna lemak putih skor 1-3 dan marbling atau butiran lemak putih yang tersebar jaringan otot daging pada skor 9-12. Potongan daging sapi ini didapat dari karkas sapi, mutu karkas yang paling baik adalah yang bebas dari memar akibat perubahan warna akibat benturan fisik dan freeze burn yaitu perubahan warna pada daging akibat kontak dengan permukaan yang sangat dingin atau di bawah temperatur -18 ◦C. Karkas ini memiliki ketebalan lemak kurang dari 12 mm dengan konformasi atau jaringan otot berbentuk cekung sampai dengan agak cekung dan memiliki warna dengan skor 1 – 3 berdasarkan standar warna karkas sapi.
Standar Warna Daging Sapi Menurut SNI 3932:2008
14
Standar Warna Lemak Daging Sapi Menurut SNI 3932:2008
Standar Marbling Daging Sapi Menurut SNI 3932:2008
Menurut SNI, setiap potongan daging masuk ke golongan tertentu, yang termasuk dalam golongan kelas I adalah potongan daging has dalam (tenderloin), has luar (sirloin) dan lamusir (cuberoll) sedangkan potongan daging yang termasuk pada golongan kelas II adalah tanjung (rump), kelapa (round), penutup
15
(topside), pendasar (silverside), gandik (eye round), kijen (chuck tender), sampil besar (chuck) dan sampil kecil (blade), terakhir untuk potongan daging golongan III yaitu sengkel (shin/shank), daging iga (rib meat), samcan (thin flank) dan sandung lamur (brisket). Potongan daging golongan dua dapat digunakan dalam masakan yang lebih bervariasi, untuk membuat rendang, bistik, empal, dendeng, abon dan kari, kita bisa menggunakan bagian tanjung, penutup dan gandik. Sementara bagian kelapa bisa kita gunakan untuk kornet dan daging giling, bagian kijen, sampil besar dan sampil kecil dapat digunakan untuk membuat semur, dan masih cocok juga untuk membuat empal, kari dan abon.
16
IV PENUTUP 4.1
Kesimpulan
17
DAFTAR PUSTAKA Abidin, A dan D Simanjuntak. 1997. Ternak Sapi Potong. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta Abidin, Z (2002), Penggemukan Sapi Potong, Jakarta: Agro Media Pustaka Adiwilaga,A.1982. IlmuUsahatani. Bandung. Penerbit Alumni Arifin, B. 2004. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian (Diagnosis of Political of Food and Agriculture). Rajawali Pers Publisher. Jakarta. Arintawati, M. 2006. Memilih Daging Sehat dan Halal. www.Republika.com Aritonang, A. 1993. Babi, Perencanaan dan Pengelolaan Usaha. Bandung: Penebar Swadaya. Brigham, E.F. dan Houston. 2006. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan. Jakarta: Salemba Empat. Chamdi, AN. 2003. Kajian Profil Sosial Ekonomi Usaha Kambing di Kecamatan Kradenan Kabupaten Grobogan, Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor: Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian. Djajanegara, A. 2007. Nutrisi dan Pakan Ternak. BPT Ciawi, Bogor Fauzia, L. dan H. Tampubolon. 1991. Pengaruh Keadaan Sosial Ekonomi Petani terhadap Keputusan Petani dalam Penggunaan Sarana Produksi. Medan: Universitas Sumatera Utara Press. Garbutt, D. 1979. Teknik Merencanakan Laba. Penerbit Erlangga, Jakarta Gudjarati, D, 2004. Ekonometrika Dasar. Jakarta: Erlangga
18
Hadi, Sutrisno. 2002. Statistik. Yogyakarta: YPFP UGM. Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging, dan Telur. Liberty,Yogyakarta. Hakim, D.B. 1995. Peluang Pasar Produk Peternakan di Indonesia. Majalah Pengembangan Ilmu-ilmu Peternakan dan Perikanan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semaran Hancock, D. R. dan B Algozzine.2006.Doing Case Study Research PracticalGuide for Beginning Researchers. Teachers College Columbia University New York and London Hasan, I. 2002. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. Bumi Aksara, Jakarta Hatardi, H., S Reksohadiprojo, dan A.D. Tilman. 1986. Tabel Komposisi Bahan Pakan untuk Indonesi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hernanto, F. 1993. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). 2007. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat. Imam, G. 2001. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Undip. Ingram, T. 2005. Sales Management. Singapore: Thomson South Western. Kasmir dan Jakfar, 2005. Study Kelayakan Bisnis Edisi Pertama. Kencana Perdana Media Grup, Jakarta.
19
Kotler, P. 2005. Manajemen Pemasaran Edisi Kesebelas Jilid Kedua. PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta. Lawrie. R. A. 1995. Ilmu Edisi Lima. Universitas Indonesia Press, Jakarta Lipsey, R.G; P.N. Courant. Steiner, dan P.Peter. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Binaputra Aksara, Jakarta. Mubyarto, 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit LP3ES. PT. Intermasa, Jakarta. Mursaid, M. 1997. Manajemen Pemasaran. Bumi Aksatra, Jakarta. Murtidjo, B.A. 1993. Memelihara Kambing sebagai Ternak Potong dan Perah. Yogyakarta: Kanisius. Nurbiyati, T. dan M. Machfoedz. 2005. Manajemen Pemasaran Kontemporer. Penerbit Kayon, Yogyakarta. Parakkasi, A. 1998. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Jakarta: UI Press. Peraturan Daerah Tingkat II Semarang no 8 Tahun 1983 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Rumah Pemotongan Hewan dan Instalasi Pendingin Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang. Rangkuti, F. 2002. Creating Effektive Marketing Plan. PT. Gramedia, Jakarta 54 Rasyaf, M. 2002. Manajemen Peternakan Ayam broiler. Cetakan V. Penebar Swadaya, Jakarta. Rianto, E dan E. Purbowati. 2009. Pedoman Lengkap Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta
20
Riyanto, B. 2001. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Samuelson, PA dan William D Nordheus. 1995. Ilmu Mikro Ekonomi. Jakarta: PT Media Global Edukasi Santosa, U. 1997. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Jakarta: Penebar Swadaya. Saragih, B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. USESE. Foundation dan Pusat Pembangunan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sawir, A. 2005. Analisis Kinerja Keuangan dan Perencanaan Keuangan Perusahaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sigit, S. 1982. Pengantar Ekonomi Perusahaan Praktis. Armunita, Yogyakarta. Siregar, S. B. 1997. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta. Soekartawi. 2003. Agribisnis: Teori dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sosroamidjojo, M.S. 1991. Ternak Potong dan Kerja, Yasaguna, Jakarta. Sudarman, A. 1989. Teori Ekonomi Mikro. Yogyakarta: BPFE. Sudjana. 1996. Metode Statistik. Tarsito. Bandung. Sugeng, Y. B. 1999. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta. Suharsono, B dan Nazarudin. 1994. Ternak Komersil, Jakarta: Penebar Swadaya. Supranto, J. 2003. Statistik Teori dan Aplikasi. Jakarta: Erlangga
21
Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan. Suryanto, B. 2006. Profitabilitas Usaha Jagal Sapi di Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah. J Indon Trop Anim Agric. 31 (3), 184-188. 55 Syamsuddin, L. 1998. Manajemen Keuangan Perusahaan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Tafal, ZB. 1981. Ranci Sapi. Jakarta: Bharata Karya Aksara. Thornton, H. and J. F. Gracey. 1974. Textbook of Meet Hygien. 6th Edition. Baillur Tindall and Lox, London. Tjiptoherijanto, P. 1995. Arah kebijakan makro pemerintah dalam mengantisipasi pasar global. Makalah disampaikan pada seminar Bisnis STIEIPWI, Jakarta. Usman, H dan P.S. Akbar. 2003. Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara Widiarto, W., W. Rini, dan I.G.S., Budisatria. 2009. Pengaruh berat potong dan harga pembalian domba dan kambing betina terhadap gross margin Jagal di RPH Mentik, Kresen, Bantul. Bulletin Peternakan volume 33 (2) : 119 – 128 Winardi. 2002. Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen. PT Raja Grafindo. Jakarta. Yanti, H. Hidayati dan Elfawati. 2008. Kualitas daging sapi dengan kemasan plastik PE dan plastik PR di Pasar Arengan Kota Pekan Baru. Universitas Islam Negri Sulsan Syarif Karim, Riau.
22
Yusuf, E. dan Williams, L. 2007. Manajemen Pemasaran: Studi Kasus Indonesia. PPMT, Jakarta.