BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai suatu profesi keperawatan memiliki kode etik profesi,dimana kode etik tersebut merefleksikan prinsip etik yang secara luas diterima oleh anggota profesi dan diterima secara umum oleh semua anggota keperawatan (Kozier,1995) Tujuan kode etik keperawatan adalah sebagai aturan dasar terhadap hubungan antara perawat,pasien,tenaga kesehatan,masyarakat dan profesi. Selain itu juga sebagai standar dasar itu mengeluarkan perawat yang tidak menaaati peraturan dan untuk melindungi perawat yang menjadi pihak tertuduh secara adil dan juga sebagai dasar pengembangan kurikulum keperawatan serya mengorientasi lulus baru pendidikan keperawatan dalam memasuki jajaran praktik keperawatan professional. Melanjutkan dari hal itu,dalam penerapan kode etik keperawatan dilingkup dunia profesi juga banyak mendapat tantangan,salah satunya keberadaan pelanggaran kode etik malpraktik. Malpraktik pada dunia keperawatan sudah masuk kepada tahap yang memprihatinkan. Banyak kasus malpraktik yang terdengar di publik yang kian meresahkan karena berakibat fatal pada keselamatan klien, oleh karena itu, sangat penting bagi kita sebagai mahasiswa program studi keperawatan untuk mengetahui dan mendalami terkait masalah-masalah seputar malpraktik lewat penyusunan makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah 1.Apa pengertian dari malpraktik? 2.Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya malpraktik? 3.Apa penyebab terjadinya malpraktik? dan apa akibat yang ditimbulkan? 4.Bagaimana cara menangani malpraktik? 5.Apa saja dasar hukum malpraktik? 6.Apa saja contoh kasus dari malpraktik?
1.3 Tujuan 1. Mengetahui dan pengertian malpraktik.
2. Mengetahui faktor penyebab terjadinya malpraktik. 3. Mengetahui penyebab dan akibat terjadinya malpraktik. 4. Mengetahui cara menangani malpraktik. 5. Mengetahui dasar hukum malpraktik. 6. Mengetahui contoh kasus malpraktik.
1.4 Manfaat Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan terutama yang berkaitan dengan malpraktik tenaga medis. Serta memahami tuntutan hukum dan upaya-upaya untuk mencegah malpraktik tenaga medis.
1.5 Metode Penulisan Dalam menyusun makalah ini, kami menggunakan metode literature yaitu dengan metode studika ke perpustakaan dan melalui media internet. Selain itu kami menggunakan diskusi kelompok untuk mengembangkan pemahaman tentang malpraktik.
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Malpraktik Malpraktik terdiri dari dua suku kata kata mal dan praktik. Mal berasal dari kata yunani yang berari buruk. Sedangkan praktik menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti menjalankan perbuatan yang tersebut dalam teori atau menjalankan perkerjaan atau profesi. Jadi, malpraktik berati menjalankan pekerjaan yang buruk kualitasnya. Malpraktik sebagai kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya didalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama (Guwandi,1994) Malpraktik merupakan batasan yang spesifik dari kelalaian (negligence) yang ditujukan pada seseorang yang telah terlatih atau berpendidikan yang menunjukan kinerjanya sesuai bidang tugas/pekerjaannya (Ellis dan Hartley,1998) Malpraktik merupakan
sikap tindak profesional yang salah dari
seseorangan yang berprofesi , seperti dokter, perawat, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan, dan sebagainya (Choughlin’s Law Dictionary) Malpraktik adaalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya didalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazimnya diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka dilingkungan wilayah yang sama (Valentin v. Society se Bienfaisance de Los Angelos California,1956) Malpraktik yaitu sikap-sikap yang salah, (hukum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis, tindakan yang ilegal untuk
memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam profesi kepercayaan (The Oxford Illustrated Dictionary) 2.2 Faktor-faktor Penyebab Malpraktik Malpraktik biasa terjadi karena beberapa faktor berikut ini yaitu, minimnya pengalaman tenaga medis, kesalahan diagnosis, dokter palsu (dokter yang kurang mumpuni) dan juga karena factor ketidaksengajaan dan berikut penjelasannya: 1. Minimnya pengalaman tenaga medis menyebabkan peluang terjadinya kesalahan tindakan medis (malpraktik) saat memberikan tindakan kepada pasien seperti contohnya, kesalahan pemberian obat, kesalahan prosedur atau tindakan yang semestinya harus dilakukan. 2. Kesalahan diagnosis dapat berakibat fatal bagi pasien, akibatnya bisa bermacam-macam, seperti terjadinya kelumpuhan, kerusakan organ dalam, dan juga dapat berakibat fatal yang berujung dengan kematian. 3. Dokter aspal (asali tapi palsu atau dokter yang kurang mumpuni), di zaman seperti ini banyak sekali orang yang memanfaatkan uangnya untuk masuk dalam sekolah kedokteran di universitas. Tak sedikit dari mereka mempunyai gelar dokter tapi kurang menguasai ilmu kedokteran, sedangkan untuk menjadi seorang dokter harus mempunyai kecerdasan yang benarbenar mumpuni agar menjadi dokter yang sesungguhnya dan segala tindakan medisnya bisa dipertanggungjawabkan. 4. Factor ketidaksengajaan, factor ini bisa terjadi karena kelalaian dari petugas medis, atau mungkin ketidaktelitian petugas medis saat menangani pasien. 5. Factor dari kurang telitinya perawat dalam pemberian anestesi (pembiusan) yang kurang tepat menyebabkan efek samping kelumpuhan. 6. Lupa melakukan aspirasi adalah kesalahan dalam injeksi IM. Aspirasi adalah cara untuk mengetahui apakah posisi jarum kita tepat atau tidak. 7. Hal yang sering terlupakan adalah mengeluarkan udara dari spuit setelah memasukkan obat ke dalam spuit. 8. Lupa komunikasi, karena komunikasi diharapkan dapat membuat pasien rileks dan mengurangi sakit saat injeksi disuntikan.
9. Salah obat, karena akan ditemukan obat tersebut harus dimasukkan dengan cara IM atau IV 10. Tidak memasukkan hal secara sempurna, jika teknik yang digunakan salah maka akan injeksi IM pun tidak akan berhasil. 11. Salah sudut, karena dalam penyuntikan untuk melakukan injeksi ini adalah dengan 90 derajat, tegak lurus dengan permukaan kulit. Namun bisa dimodifikasi dengan mengurangi sedikit sudutnya.
2.3 Sebab dan Akibat Terjadinya Malpraktik Berdasarkan Coughlin’s Law Dictionary, malpraktik adalah sikap tindak professional yang salah dari seseorang yang berprofesi, seperti dokter, perawat, akuntan, dokter gigi, dokter hewan, dan sebagainya. Malpraktik bisa diakibatkan karena sikap tindak yang bersifat tidak peduli, kelalaian, atau kekurang keterampilan atau kehati-hatian dalam pelaksanaan kewajiban profesionalnya, tindakan salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis. 2.3.1 Malpraktik Administrasi Seperti yang tertera dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 188 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Menteri dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”. Lebih lanjut pada ayat (3) “tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa : a. Peringatan secara tertulis. b. Pencabutan izin sementara atau izin tetap. Kemudian
dalam
Peraturan
Menteri
Kesehatan
No.1796/MENKES/PER/VIII/2C11 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan Pasal 12 point b disebutkan bahwa STR akan dicabut atas dasra peraturan perundangundangan. Alasan pencabutan izin biasanya pada individu tenaga kesehatan yang telah menyalahgunakan wewenang, gagal mempertahankan pendidikan, dan
keterampilan sesuai dengan ketentuan tahun atau periode praktik tenaga kesehatan, menjadi tertuduh dalam tindak criminal, dan melakukan tindakan tidak professional. Pencabutan dilakukan dengan mengeluarkan tindakan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi ketetapan baru yang isinya menarik kembali dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi ketapan yang terdahulu. Pencabutan ini berarti meniadakan hak-hak yang terdapat dalam ketetapan itu oleh organ pemerintah. Hak-hak dan kewajiban yang timbul setelah terbitnya ketetapan tersebut menjadi hapus atau tidak ada sebagaimana sebelum terbitnyaa ketetapan tersebut dan sanksi ini dilakukan sebagai reaksi terhadap tindakan yang bertentangan dengan hukum.
2.3.2 Malpraktik perdata Ditinjau dari hukum perdata, hubungan hukum yang terjadi antara tenaga kesehatan dan pasien yaitu hubungan perikatan, dimana tenaga kesehatan dan pasien telah mengikatkan diri dengan kesepakatan-kesepakatan atau perjanjian yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Dilihat dari sumber lahirnya perikatan, terdapat dua kelompok perikatan hukum. Pertama, perikatan yang disebabkan oleh kesepakatan dan apabila kesepakatan ini dilanggar akan menyebabkan wanprestasi. Kedua yaitu perikatan yang disebabkan oleh UU, apabila kesepakatan ini dilanggar akan menyebabkan perbuatan melawan hukum.
a. Wanprestasi Wanprestasi adalah prestasi yang buruk, yang pada dasarnya melanggar isi/kesepakatan dalam suatu perjanjian/kontrak oleh salah satu pihak. Pihak yang melanggar disebut debitur dan pihak yang dilanggar kreditur. Bentuk nyata pelanggaran debitur ada empat macam yaitu : 1. Tidak memeberikan
prestasi
sama sekali
sebagaimana
yang
diperjanjikan. 2. Memberikan prestasi tidak sebagaimana mestinya, tidak sesuai kualitas atau kuantitas dengan yang diperjanjikan.
3. Memberikan prestasi tetapi sudah terlambat atau tidak tepat waktu sebagaimana yang diperjanjikan. 4. Memberikan prestasi yang lain dari yang diperjanjikan. Prestasi tenaga kesehatan dalam hal ini adalah memberikan pelayanan kesehatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar operasional prosedur dan standar yang berlaku umum bagi profesi kesehatan. Selain adanya unsur pelanggaran isi perjanjian, dalam wanprestasi juga ada unsur kerugian. b. Perbuatan melawan hukum Jika ada tenaga kesehatan melakukan perbuatan yang menyimpang dari standar operasional prosedur atau standar yang berlaku yang menimbulkan kerugian bagi pasien maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Salah satu indikator apakah kerugian karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum yaitu apakah malpraktik tersebut telah masuk atau tidaak dalam ranah hukum pidana. Apabila tindakan tersebut masuk ranah hukum pidana, hal ini berarti kerugian tersebut karena perbuatan melawan hukum bukan karena wanprestasi. Kerugian seperti kehilangan harapan kesembuhan, rasa penderitaan atau kesakitan yang berkepanjangan, kehilangan bagian tubuh tertentu, hilang ingatan, luka-luka, bahkan sampai pada kematian pasien bukan kerugian yang dapat dituntut atas dasar wanprestasi, akan tetapi kerugian yang dituntut atas dasar perbuatan melawan hukum. Suatu perbuatan dikategorikan melawan hukum apabila memenuhi salah satu atau beberapa diantara empat syarat sebagai berikut : 1. Bertentangan dengan hak orang lain. 2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. 3. Bertentangan dengan nilai-nilai/norma kesusilaan. 4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau berbeda. Berdasarkan pengertian perbuatan melawan hukum yang terdapat pada rumusan Pasal 1365 BW, maka ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut kerugian adanya perbuatan melawan hukum, yaitu : 1. Adanya perbuatan (daad) yang termasuk kualifikasi perbuatan melawan hukum.
2. Adanya kesalahan (doleus maupun culpoos) si pembuat. Dalam pasal 1365 BW tidak membedakan antara kesalahan dalam bentuk kesengajaan (doleus) dan kesalahan dalam bentuk kurang hatihati (culpoos). Seseorang tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan melanggar hukum, bilamana ia melakukan sesuatu perbuatan karena keadaan yang mendesak (overmacht), keadaan darurat (noodweer) dan hak pribadi. 3. Adanya akibat kerugian (schade) Kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melanggar hukum dapat berupa kerugiaan materii dan immaterial. Kerugian materri terdiri dari kerugian yang nyata diderita dan hilangnya keuntungan yang diharapkan. Sedangkan kerugian immaterial adalah kerugian berupa pengurangan kesenangan hidup misalnya luka atau cacatnya bagian anggota tubuh. 4. Adanya hubungan perbuatan dengan akibat kerugian (oorzakelijk verband dan casual verband) orang lain Untuk dapat menuntut ganti rugi terhadap orang yang melakukan pelanggaran hukum, selain harus ada kesalahan, juga adanya hubungan kausal (dalam Pasal 1365 BW) artinya hubungan sebab-akibat antara perbuatan melanggar hukum dan kerugian. Jadi, kerugian itu harus timbul sebagai akibat perbuatan orang yang merupakan perbuatan melanggar hukum tersebut. c. Zaakwarnering Zaakwarnering adalah suatu perbuatan dimana sesorang dengan sukarela dan tanpa mendapat perintah, mengurus kepentingan orang lain, dengan atau tanpa sepengetahuan orang tersebut. Dalam bidang kesehatan, digunakan pada kasus darurat, dimana pasien tidak mempunyai daya upaya untuk memberikan informed consent. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdaasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu perawat berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Syarat-syarat adanya zaakwarnering adalah :
1. Yang diurus oleh zaakwarnering adalah kepentingan orang lain, bukan kepentingan dirinya sendiri. 2. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan zaakwarnering dengan sukarela, artinya karena kesadaran sendiri tanpa mengharapkan imbalan/upah apapun, dan bukan karena kewajiban yang timbul dari UU maupun perjanjian. 3. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan oleh zaakwarnering tanpa adanya perintah (kausa) melainkan inisiatif sendiri. 4. Harus terdapat suatu keadaan yang membenarkan inisiatif seseorang untuk bertindak sebagai zaakwarnering misalnya, keadaan yang mendesak untuk berbuat. 2.3.3 Malpraktik Pidana Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni : 1. Perlakuan (asuhaan keperawatan) Perlakuan adalah wujud konkret sebagai bagian dari perlakuan atau pelayanan kesehatan. Semua perbuatan dalam pelayanan kesehatan dapat mengalami kesalahan (sengaja atau lalai) yang pada ujungnya menimbulkan malpraktik, apabila dilakukan secara menyimpang. 2. Sikap batin Sikap batin adalah sesuatu yang adal di dalam batin sebelum seseorang berprilaku. Dalam alam batin dapat berupa kehendak, pengetahuan, pikiran, perasaan, dan apapun yang melukiskan keadaan batin seseorang.
Apabila
kemampuan
berpikir,
berperasaan,
dan
berkehendak itu tidak digunakann sebagaimana mestinya dalam melakukan suatu perbuatan yang pada kenyataannya dilarang, maka sikap batin tersebut dinamakan kelalaian. Jika karena kelalaian atau keteledoran dan kurangnya pengetahuan yang dimana ia tidak menyadari
bahwa
perbuatannya
adalah
terlarang,
padahal
kedudukannya sebagai seorang professional ia memikul kewajiban untuk mengetahuinya. Dengan demikian telah terjadi kelalaian
mengenai sifat melawan hukum atas perbuatannya. Apabila dalam kondisi dan situasi dan dengan syarat yang bagi orang pada umumnya, tidak memilih perbuatan yang telah menjadi pilihan orang itu, makan dalam mengambil pilihan perbuatan ini mengandung kelalaian. 3. Adanya akibat kerugian Dari sudut hukum pidana, akibat merugikan masuk dalam lapangan. Apabila jenis kerugian disebut dalam rumusan kejahatan unsur tindak pidana akibat kematian atau luka merupakan kejahatan Pasal 359 dan 360, maka bila kelalaian perlakuan medis terjadi dan mengakibatkan kematian atau luka sesuai jenis yang ditentukan dalam pasal ini maka perlakuan medis masuk kedalam malpraktik pidana.
2.4 Cara Menanggulangi Terjadinya Malpraktik Setiap tindak pidana selalu terdapat unsur sifat melawan hukum. Pada sebagian kecil tindak pidana sifat melawan hukum dicantumkan secara tegas dalam rumusan, tetapi pada sebagian larangan berbuat, maka setiap tindak pidana mengandung unsur sifat melawan hukum. Bagi tindak pidana yang tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum dalam rumusannya, unsur tersebut terdapat secara terselubung pada unsur-unsur yang lain. Bisa melekat pada unsur perbuatan, objek Penanggulangan Malpraktek yang perbuatan, akibat perbuatan atau unsur keadaan yang menyertainya. Ada banyak dan pelayanan medik yang dilakukan dokter atau tenaga medis lainnya yang berpotensi merupakan malpraktek yang dilaporkan masyarakat tapi tidak diselesaikan secara hukum. Bagi masyarakat hal ini sepertinya menunjukkan bahwa para penegak hukum tidak berpihak pada pasien terutama masyarakat kecil yang kedudukannya tentu tidak setara dengan tenaga medis.
Secara umum letak sifat melawan hukum malpraktek dibidang kesehatan terletak pada dilangarnya kepercayaan atau amanah pasien dalam kontrak terapeutik. Kepercayaan atau amanah tersebut adalah kewajiban tenaga kesehatan untuk berbuat sesuatu dengan sebaik-baiknya, secermat-cermatnya, penuh kehatihatian, tidak berbuat ceroboh, berbuat yang seharusnya diperbuat dan tidak berbuat apa yang seharusnya tidak diperbuat. Secara khusus latak sifat melawan hukum perbuatan malpraktek tidak selalu sama, bergantung pada kasus, terutama syarat yang menjadi penyebab timbulnya malpraktek. Faktor sebab dalam kasus malpraktek selalu ada, yaitu timbulnya akibat yang merugikan kesehatan atau nyawa pasien. “Setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan” Penanggulangan malpraktek dapat dilakukan melalui 2 upaya yaitu: 1. Upaya Penal Upaya penal merupakan penanggulangan suatu kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar.8 Berdsarkan pendapat Devi Puspa Sari maka diketahui upaya penal yang dilakukan oleh Polda Lampung dalam menanggulangi dugaan malpraktek dilakukan secara represif (penegakan hukum) berdasarkan tugas di bidang penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Polda Lampung memiliki unit khusus untuk melakukan upaya ini, yaitu Reskrimsus bagian Kasubdit IV yang bertugas melakukan penindakan dan penyidikan terhadap kasus dugaan malpraktek dalam rangka penegakan hukum. ( Barda Nawawi Arif. Masalah Penegakan Hukum dan KebijakanHukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana, Jakarta, 2008,hlm. 12. ) Berdasarkan wawancara dengan Devi Puspa Sari menerangkan penyelidikan yang dilakukan terkait kasus dugaan malpraktek diawali dengan
pemberitaan melalui broadcast adanya dugaan malpraktek, karena sebagian besar dalam kasus dugaan malpraktek tidak adanya laporan dari keluarga korban. Seperti yang terjadi dalam kasus dugaan malpraktek di salah satu rumah sakit wilayah lampung yang saat ini sudah SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara). Alasan mengapa kasus tersebut dijatuhan SP3 yaitu dikarenakan kurangnya bukti yang mendukung sehingga penyidik Polda Lampung menghentikan proses penyidikan tersebut. Setiap korban (keluarga korban) mempunyai hak untuk melakukan Praperadilan, karena dengan dikeluarganya SP3 tidak menutup kemungkinan kasus ini akan ditindak lanjuti kembali setelah dilakukannya Praperadilan. Apabila penyidik mengetahui adanya dugaan malpraktek maka pihak reskimsus segera melakukan penyelidikan dengan meminta bantuan para ahli yang berasal dari IDI, MKEK, dan PUSDOKKES Polri. Upaya penal dalam dugaan malpraktek melibatkan banyak pihak yang ikut serta dalam pembuktiannya baik dari pihak kepolisian maupun dari pihak kesehatan. Penyelesaian sengketa medik diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Apabila tindakan dokter bertentangan dengan etika dan moral serta kode etik kedokteran Indonesia (Kodeki) yang telah dibuktikan oleh Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), maka bisa dikatakan malpraktik dan dapat diajukan gugatan hukum. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) merupakan salah satu organisasi yang turut serta dalam prosedur penanganan dugaan malpraktek. Menurut Fatah.W. berikut ini adalah prosedur yang dilakukan MKEK: 1) Menerima Pengaduan Melalui
IDI
Cabang/Wilayah/Pusat
atau
langsung
ke
MKEK
Cabang/Wilayah/Pusat, sesuai tempat kejadian perkara kasus aduan tersebut. Apabila menerima aduan secara tertulis maka harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Identitas pengadu b. Nama dan alamat tempat praktik dokter dan waktu tindakan dilakukan c. Alasan sah pengadu
d. Bukti-bukti dan keterangan saksi atau petunjuk yang menunjang dugaan pelanggaran etika tersebut Apabila pengaduan tersebut tidak lengkap atau tidak atau berisi keterangan yang dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk pembinaan pengabdian profesi, maka ketua MKEK dapat menolak atau meminta pengaduan memperbaiki atau melengkapinya. 2) Pemanggilan pengadu dan teradu Pemanggilan ini dapat dilakukan sampai 3 kali berturut-turut dan jika setelah 3 kali pengadu tetap tidak dating tanpa alasan yang sah, maka pengaduan tersebut dinyatakan batal, dan jika pada pemanggilan ke 3 teradu tidak dating dengan alasan yang sah maka pananganan kasus dilanjutkan tanpa kehadiran teradu dan putusan yang ditetapkan dinyatakan sah dan tidak dapat dilakukan banding. 3) Penelaahan Kasus Penelaahan kasus dugaan malpraktek dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Mempelajari keabsahan surat pengaduan b. Bila perlu mengundang pasien atau keuarga pangadu untuk klarifikasi awal pengaduan yang disampaikan c. Bila perlu mengundang dokter teradu untuk klarifikasi awal yang diperlukan d. Bila diperlakukan melakukan kunjungan ketempat kejadian/perkara e. Diakhir penelaahan, ketua MKEK menetapkan pengaduan tersebut layak atau tidak layak untuk disidangkan oleh majelis pemeriksa. Pada saat penelaahan dilaksanakan maupun pada saat persidangan, dokter teradu berhak didampingi oleh pembela. 4) Sidang Majelis Pemeriksaan Divisi Kemahkamahan MKEK Sidang ini dilakukan apabila perkara tersebut sudah memenuhi syarat dan benar adanya. Dalam siding ini pengadu,teradu, dan saksi tidak diambil sumpah melainka diminta kesediaan untuk menandatangani pernyataan tertulis di depan
MKEK bahwa semua keterangan yang diberikan adalah benar. Para pihak dapat mengajukan saksi namun keputusan penerimaan kesaksian atau kesaksian ahli ditentukan oleh Ketua Majelis Pemeriksa. 5) Keputusan Majelis Pemeriksa Divisi Kemahkamahan MKEK Keputusan Majelis Pemeriksa diambil ketentuan sebagai berikut : a. Diambil atas dasar musyawarah dan mufakat atau atas dasar suara terbanyak dari Majelis Pemeriksa, dengan tetap mencatat perbedaan pendapat b. Bersifat rahasia, kecuali dinyatakan lain c. Berupa dinyatakan melanggar atau tidak melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia d. Dapat dilakukan banding paling lambat 2 minggu setelah putusan ditetapkan. Selain upaya yang dilakukan di atas menurut Fatah.W, MKEK selalu mengupayakan mediasi setelah menerima pengaduan dan mendapatkan klarifikas dalam penanganan malpraktek. Menurut penulis, perlu dilakukan pembinaan khusus terhadap setiap tenaga kesehatan, agar dalam menjalankan tanggungjawab mereka tidak melakukan kesalahan dalam hal memberikan penanganan medis terhadap pasien, serta perlu memberikan pengalaman penanganan medis yang lebih kepada tenaga kesehatan, karena dengan pengalaman yang cukup mereka akan memberikan pelayanan kesehatan yang baik. Selain itu diperlukan juga pengadilan tersendiri bagi tenaga kesehatan dalam penanganan malpraktek karena sampai saat ini banyaknya persepsi yang salah muncul dimasyarakat bahkan bagi aparat penegak hukum dengan perkara dugaan malpraktek. Adanya kerja sama yang baik antara pihak kepolisian selaku penyidik dengan pihak di bidang kesehatan seperti IDI,MKEK,dan MKDKI diharapkan dapat menyatukan perpsepsi dalam penanganan duga malpraktek agar setiap kasus dugaan malpraktek dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Karena terkadang sangat sulit membuktikan kesalahan dokter. Sebagian besar kasus malpraktek
diselesaikan secara damai yang dilakukan di luar jalur litigasi, karena dokter tidak menghendaki reputasinya rusak apabila dipublikasikan negatif, walaupun ada kemungkinan dokter yang bersangkutan tidak bersalah. 2. Upaya Non penal Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan.9 Upaya non penal dalam menanggulangi kasus malpraktek dapat dilaksanakan dengan cara preventif (pencegahan terjadi tindak pidana), yaitu dengan cara melakukan penyuluhan atau pun sosialisasi kepada tenaga kesehatan. Agar setiap tenaga kesehatan lebih berhati-hati lagi dalam melakukan tugasnya sebagai tenaga medis. (Barda Nawawi Arif. Op.Cit. hlm.158) Upaya penanggulangan terhadap kasus dugaan malpraktek sebenarnya yang lebih berwenang adalah Tim dari kesehatan itu sendiri karena merekalah yang lebih paham terhadap apa yang mereka lakukan, apakah sudah sesuai dengan ilmu yang mereka pelajari atau tidak. Berdasarkan hasil wawancara dengan Fatah.W menyatakan upaya nonpenal yang dilakukan oleh IDI dan MKEK adalah dengan cara melakukan pemberian pembekalan baik secara etik maupun disiplin kepada setiap anggota (tenaga kesehatan). Pembekalan dilakukan dengan cara mewajibkan mengikuti setiap kegiatan ilmiah, seminar, simposium yang dalam kegiatan tersebut akan ada penetapan SKP (Satuan Kredit Partisipasi) sebagai penilaian dalam kegiatan seminar atau simposium tersebut. Dalam setiap kegiatan ilmiah, seminar dan simposium yang dilakaukan selalu disisipkan penyampaian tentang pelanggaran etik dan disiplin dalam tindakan medis sebagai cara untuk mengingatkan setiap tenaga medis agar bertindak hati-hati dalam tugasnya. Menurut penulis sendiri upaya penanggulangan malpraktek yang dilakukan merupakan upaya yang sesuai dengan ketentuan yang terkait. Upaya penanggulangan kejahatan non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor
penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Upaya non penal yang dilakukan IDI dan MKEK dilakukan untuk mencapai kesejahteraan dan sekaligus mencakup perlindungan kepada masyarakat (pasien) untuk itu dalam hal pencegahan tersebut IDI, MKEK, kepolisian, harus berkoordinasi dengan pihak Rumah Sakit dan para tenaga kesehatan dalam hal melakukan tindakan preventif.
2.5 Dasar Hukum Malpraktik Ketentuan dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan,
mewajibkan
perawat
untuk
melengkapi
prasarana
pelayanan
keperawatan sesuai dengan standar pelayanan keperawatan, memberikan pelayanan, merujuk pasien kepada perawat lain jika perawat tidak dapat menangani, mendokumentasikan asuhan keperawatan, memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas dan mudah dimengerti oleh pasien tentang tindakan keperawatan yang akan diberikan kepadanya sesuai dengan batas kewenangan perawat, melaksanakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain seperti dokter dengan syarat memberikan delegasi secara tertulis dari dokter. Dengan demikian perawat melaksanakanstandar
pelayanan
keperawatan,
sehingga
bila
terjadi
suatu
kesalahan/kelalaian, maka perawat dapat bertanggung jawab. Oleh karena itu lahirnya hak dan kewajiban perawat, maka hubungan anggota masyarakat dilindungi oleh hukum, maka mereka harus mentaati hubungan hukum ini. Kehendak untuk mentaati hubungan hukum ini disebut tanggung jawab hukum ( legal liability ). Tanggung jawab hukum dimaksudkan sebagai terhadap ketetntuan-ketentuan hukum. Jika perawat melakukan suatu kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan pasien mengalami kerugian dalam menjalankan praktik mandiri perawat, maka perawat harus bertanggung jawab untuk menerima sanksi administrasi sebagaimana dalam Pasal 58 Ayat (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 18 Ayat (1), Pasal 21, Pasal 24 Ayat (1), dan Pasal 27 Ayat (1) dikenai sanksi administrasi; Ayat (2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat berupa: a) teguran lisan; b) peringatan tertulis; c) denda administratif dan; d) pencabutan izin praktik; Ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Perbuatan melanggar hukum (Onrechtmatigedaad) sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 1366 KUH Perdata “Setiap tindakan yang menimbulkan kerugian atas diri orang lain berarti orang sebagai yang melakukannya harus membarayar kompensasi sebagai pertanggung jawaban kerugian dan seseorang harus betanggung jawab tidak hanya karena kerugian yang dilakukannya dengan sengaja, tetapi juga karena kelalaian atau kurang berhati-hati”. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, maka seorang perawat yang melakukan kesalahan dalam menjalankan fungsi independennya yang mengakibatkan kerugian pada pasien, maka ia wajib memikul secara mandiri. Pada peraturan perundang-undangan Indonesia yang sekarang berlaku tidak ditemukan pengertian mengenai malpraktik. Akan tetapi makna atau pengertian malpraktik justru didapati dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (“UU Tenaga Kesehatan”) yang telah dinyatakan dihapus oleh UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Oleh karena itu secara perundang-undangan, menurut Dr. H. Syahrul Machmud, S.H., M.H., ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan dapat dijadikan acuan makna malpraktik yang mengidentifikasikan malpraktik dengan melalaikan kewajiban, berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan: Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratip dalam hal sebagai berikut: a. Melalaikan kewajiban b. Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga
kesehatan,
baik
mengingat
sumpah
jabatannya
maupun
mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan c. Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan d. Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini.
Kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dapat terjadi di bidang hokum pidana, diatur antara lain dalam pasal 263, 267, 294 ayat (2), 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 351, 359, 360, 361, 531 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Mengenai criminal malpractice yang berupa kecerobohan/kelalaian banyak kasus yang muncul di Rumah Sakit. Menurut norma hokum pidana sebagaimana diatur dalam KUHP malpraktek dapat di pidana berdasarkan pasal 359 dan 360 KUHP. Pasal 359 tersebut menyatakan bahwa: “Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”. Pasal 360 ayat (1) mengatur bahwa; ‘Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun’. Pasal 360 ayat (2) diatur pula bahwa; ‘Barangsiapa karena kesalahanya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.450.000,-‘. Rumusan pasal 360 ayat (1) dan (2) ini, hamper sama dengan rumusan pasal 359. Bedanya terletak pada akibat dari pebuatan pelaku. Kalau pada pasal 359 akibatnya adalah meinggal dunia, tapi dalam pasal 360 ayat (1) akibatnya adalah orang (pasien) luka berat, sedangkan dalam ayat (2) akibatnya adalah luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara. Dalam hukum perdata kesalahan/kelalaian/kealpaan yang menimbulkan malpraktik dilakukan oleh tenaga kesehatan bisa digugat perdata berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata yaitu karena melakukan perbuatan melawan hokum atau onrechtsmatigedaad. Sedangkan kesalahan/kelalaian/kealpaan menimbulkan luka
dapat dituntut dengan pasal 360 ayat (1) KUHP. Apabila malpraktik itu menimbulkan kematian, maka dapat dituntut berdasarkan pasal 359 KUHP. Dari
uraian
tersebut
diatas
dapat
ditarik
kesimpulan
bahwa
pertanggungjawaban tenaga kesehatan terhadap pasien dalam hal ini terjadi malpraktek oleh tenaga kesehatan bisa berupa tanggung jawab perdata dan pidana. 2.6 Contoh Kasus Malpraktik Kasus Malpraktek Mengenai Cairan Infus An.R usia 7 bulan berjenis kelamin laki-laki,datang kerumah sakit “K” dengan keluhan demam yang naik turun selama 3 hari, mual muntah, BAB cair 2x sehari. An.R masuk ke ruang “D”lantai 12 dengan diagnose IBA (Infeksi bakteri akut) dan Diare, An.R mendapatkan terapi Ka-En 1B 500ml/ 12 jam,dengan BB=6,7kg, TB:49cm suhu:38˚C. Ubun-ubun besar teraba cekung, An.R tampak lemas, pucat, dan rewel.
Namun, pada pengamatan kelompok kami, perawat di RS.K telah melakukan tindakan malpraktek atau tidak sesuai SOP. Kami melihat pada saat pergantian infus 1 ke infus 2 tidak steril. Ketika pergantia infus Ka-En 1B yang kedua, perawat membiarkan jarum infus atau tusukan pipa infus tergeletak di tempat tidur pasien dalam kondisi terbuka. Seharusnya jarum infus dapat di gantungkan di tiang infus dalam posisi tertutup untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Seperti SOP pemasangan infus yang telah di jelaskan di bab 2. Sedangkan menurut kepustakan hukum kesehatan khusus, yang dimaksud medical malpraktik mengandung unsur :
a.Negligent medical caredalam arti kealpaan/ kelalaian besar.
b.Standard of care
Standar profesi yang menjadi ukuran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam menjalankan profesi. Dalam malpraktik,standar tersebut tidak sesuai dengan perkembangan pengetahuan.
c.Ada atau tidaknya kecelakaan/resiko dalam perawatan atau adanya kesalahan dalam pembuatan keputusan sebagai resiko medis.
d. Ada atau tidaknya inform consentyang terkait dengan rekam medis atau rahasia medis.
e. Medical liability (tanggung jawab medis) baik yang bersifatstrict liability.
f.Ada atau tidaknya dasar alasan pemaaf (tidak dipertanggung jawabkan kesalahannya).
Vastel K.W. (1995) mengatakan bahwa untuk mengatakan secara pasti malpraktik, apabila penggugat dapat menunujukkan hal-hal dibawah ini :
a. Duty Pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibannya yaitu,kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untukmenyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi. Hubungan perawat-klien menunjukkan, bahwa melakukan kewajiban berdasarkan standar keperawatan.
b.Breach of the duty Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilalaikan menurut standar profesinya. Contoh pelanggaran yang terjadi terhadap pasien antara lain, kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit.
c. Injury Seseorang mengalami cedera(injury) atau kemsakan (damage) yang dapat dituntut secara hukum, misalnya pasien mengalami cedera sebagai akibat pelanggaran. Kelalaian nyeri, adanya penderitaan atau stres emosi dapat dipertimbangkan sebagai, akibat cedera jika terkait dengan cedera fisik.
d. Proximate caused Pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terk dengan cedera yang dialami pasien. Misalnya, cedera yang terjadi secara langsung
berhubungan
dengan pelanggaran kewajiban perawat terhadap pasien.
Walaupun dalam tindakan ini tidak sepenuhnya perbutan malpraktik yang dapat terjadi efek samping jangka pendek, namun ada kemungkinan bisa mengakibatkan efek samping jangka panajang yang merugikan pasien, sepertiphlebitis. Dan sesuai UU RI No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, BAB III hakdan kewajiban dalam pasal 4 bahwa “Setiap orang berhak atas kesehatan”. Dalamhal ini klien berhak mendapatkan pengobatan guna mendapatkan kesehatan dan setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,bermutu, serta terjangkau. Namun, pada kasus ini, An.R tidak mendapatkan penanganan aman saat penggantian infus(tidak steril). Untuk itu dalam hal ini perawat atau tenaga kesehata tidak dapat di jatuhi hukuman,karena tidak mengakibatkan kematian ataupun kehilangan nyawa seseorang, seperti peraturan yang tertera yaitu Pasal 359 KUHP yang menjelaskan bahwa:
“Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidanakurungan paling lama satu tahun.”
Pada kasus ini, perawat telah melanggar kode etik dalam penangan pasien, yaitu pemasangan infus yang tidak steril atau tidak sesuai SOP rumah sakit. Untuk itu agar tidak menjadi sebuah kebiasaan di RS.KOJA, sebaikanya Rumah sakit segera menangani masalah ini.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan diatas jelas bahwa masalah malpraktik bersifat sangat kompleks karena berbagai faktor yang terkait didalamnya. Sebagai perawat profesional dituntut untuk selalu meningkatkan kemampuannya dengan mengikuti perkembangan yang terjadi didunia keperawatan,untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Saat ini perawat dihadapkan pada berbagai tuntutan pelayanan profesional melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang apabila melakukan kesalahan dan kelalaian akan dihadapkan pada suatu tuntutan baik dari organisasi profesi, organisasi pelayanan kesehatan, dan tututan hukum. Perawat di Indonesia sangat berisiko melakukan malpraktik karena tidak didukung oleh kemampuan yang memadai (profesional dalam bidangnya), banyak mengerjakan tindakan kolaboratif/tindakan invasif yang mungkin bukan bidang pekerjaannya sebagai layaknya seorang perawat profesional. Sehingga untuk masalah ini diperlukan pembinaan dari semua pihak yang terkait. Organisasi profesi sebagai wadah para anggotanya bertanggung jawab untuk meningkatkan mutu tenaga keperawatan sebagai konsekuensi perannya untuk meningkatkan
mutu
pelayanan
kesehatan
dan
kesejahteraan
anggotanya.
Operasionalisasi kegiatan organisasi PPNI terjadi disemua tingkat organisasi baik di Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Komisariat
Instituasi pendidikan sebagai lembaga yang menghasilkan tenaga keperawatan profesional bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan secara berkualitas dengan cara mengembangkan dan mengorganisasikan kurikulum nasional kedalam kurikulum institusi, menyediakan segala sumber daya yang dapat mendukung sepenuhnya kegiatan pendidikan. Demikian pula perlu didukung tersedianya lahan praktik yang memungkinkan mengimplementasikan teori-teori kedalam situasi nyata, serta berbagai kebijakan yang mendukung.
B. Saran 1. Dalam memberikan pelayanan keperawatan , hendaknya berpedoman pada kode etik keperawatan dan mengacu pada standar praktek keperawatan 2. Perawat diharapkan mampu mengidentifikasi 3 area yang memungkinkan perawat berisiko melakukan kesalahan, yaitu tahap pengkajian keperawatan (assessment errors), perencanaan keperawatan (planning errors), dan tindakan intervensi keperawatan (intervention errors) sehigga nantinya dapat menghindari kesalahan yang dapat terjadi 3. Perawat
harus
memiliki
kredibilitas
tinggi
dan
senantiasa
meningkatkan
kemampuannya untuk mencegah terjadinya malpraktek. 4. Perawat harus memahami tentang kode etik keperawatan agar dapat memberikan pelayanan yang baik terhadap pasien. 5. Perawat sebaiknya melakukan pelayanan kesehatan secara hati-hati dan professional, agar pasien merasa aman dan nyaman.