Makalah Kelompok 1 (sistem Perpajakan Dan Riset Perpajakan Di Indonesia).docx

  • Uploaded by: miftahur rahmah
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Kelompok 1 (sistem Perpajakan Dan Riset Perpajakan Di Indonesia).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,338
  • Pages: 30
SISTEM PERPAJAKAN DAN RISET PERPAJAKAN DI INDONESIA

Disusun Oleh kelompok 1 Atika Hariyanti (P2C318029) Rina Rusdiana (P2C318001) Miftahur Rahma (P2C318019)

Dosen Pengampu Mata Kuliah: Dr. Enggar Diah Puspa Arum, S.E.Ak, M.Si, CA

PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU AKUNTANSI UNIVERSITAS JAMBI 2018

BAB I PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG Pajak (dari bahasa latin taxo; "rate") merupakan

iuran rakyat kepada negara

berdasarkan undang-undang, sehingga dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang paling besar. Dari tahun ke tahun pajak juga menjadi perbincangan dari pemerintah sendiri karena dari realisasi penerimaan yang kurang dari target yang sudah direncanakan oleh Menteri Keuangan. Oleh karena itu perlu adanya perhatian yang khusus dari semua kalangan baik dari Menteri Keuangan, Direktorat Jendral Pajak, maupun masyarakat itu sendiri. Pajak menempati posisi terpenting di sebagian besar negara berkembang karena pajak merupakan sumber utama penerimaan negara.Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan.Penggunaaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat.Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintah dan pembiayaan pembangunan.

1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah dalam makalah ini adalah: Bagaimana kita mengetahui tentang Sistem Perpajakan dan Riset Perpajakan di Indonesia?

1.3.

TUJUAN

Berdasarkan uraian dari latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam makalah ini adalah untuk 1.

Memberikan wawasan mengenai apa itu Definisi, Fungsi, system, hukum Pajak di Indonesia

2.

Memberikan penerangan mengenai Mekanisme Pajak Menurut UU KUP

3.

Perkembangan Penelitian Pajak di Indonesia

BAB II PEMBAHASAN

2.1.

PENGERTIAN PAJAK Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan

oleh para ahli diantaranya adalah : a) Rifhi Siddiq Pajak adalah iuran yang dipaksakn pemerintahan suatu negara dalam periode tertentu kepada wajib pajak yang bersifat wajib dan harus dibayarkan oleh wajib pajak kepada negara dan bentuk balas jasanya tidak langsung b) Leroy Beaulieu Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah c) P. J. A. Adriani Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan d) Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment' e) Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.

2.2. PENGELOMPOKAN PAJAK Penggolongan Pajak Dalam berbagai literatur llmu Keuangan Negara dan Pengantar llmu Hukum Pajak terdapat pembedaan atau penggolongan pajak (classes of taxes, kind of taxes) serta jenis-jenis pajak. Penggolongan pajak diatur menurut sifat dan sistem pemungutannya,

dan

penggolongan-penggolongan

tersebut

semuanya

dilakukan

berdasarkan wajib pajak. Aturan mengenai perpajakan di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak pemerintah terkait bertujuan untuk membangun infrastruktur sebuah negara. Seperti Rumah Sakit Umum Daerah, Jalan Raya, dan fasilitas umum lainnya yang berguna untuk masyarakat. Pada umumnya pajak digolongkan atas beberapa bagian seperti Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung, penggolongan pajak pusat dan pajak daerah, menurut golongan pajak, pajak subjektif dan objektif serta menurut pajak pribadi atau menurut pajak kebendaan. OECD juga membuat penggolongan tersendiri atas kriteria tertentu. a. Menurut golongannya: 1. Pajak langsung, pajak yang dikenakan pada wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan pada orang lain. Dalam arti ekonomis ialah pajak yang beban pembayarannya harus dipikul sendiri oleh wajib pajak bersangkutan dan tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain. Pajak angsung dalam arti administratif ialah pajak yang dipungut secara erkala. Contoh: pajak penghasilan (Pph) 2. Pajak tidak langsung, pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau ilimpahkan kepada orang lain. Dalam pengertian ekonomis adalah ajak yang beban pembayarannya dapat dilimpahkan kepada orang lain, ang menanggung beban pajak pada akhirnya adalah konsumen. Dalam engertian administratif adalah pajak uang dipungut setiap terjadi eristiwa yang menyebabkan terhutangnya pajak. Misal saat penyerahanpenjualan dari produsen pada konsumen, saat pembuatan akta, suratpersetujuan (sewa menyewa, jual beli, pinjam meminjam), pajak pertambahan nilai (Ppn), pajak bea materai (pajak atas dokumen), bea balik nama, pajak tontonan dan sebagainya. b. Menurut sifatnya 1. Pajak Subjektif (pajak perseorangan); ialah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Dalam pemungutannya pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi pembayarnya (subyeknya). Status pembayar pajak akan mempengaruhi besar kecilnya pajak yang akan dibayarkan. Misal status bujangan atau perawan, status kawin, jumlah tanggungan keluarga dalam pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi.

2. Pajak objektif. (pajak kebendaan); yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Dalam pemungutannya pertama-tama melihat obyeknya baik berupa benda, keadaan perbuatan dan peristiwa yang menyebabkan kewajiban membayar pajak. Besar kecilnya pajak tidak dipengaruhi oleh keadaan subyeknya, setelah ketemu obyeknya baru dicari subyeknya (orang atau badan yang bersangkutan), contoh: PPN, PKB dan PBB. c. Menurut lembaganya pemungutnya a. Pajak Pusat Pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Kementerian Keuangan. Adapun pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak. Contoh: Pajak penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. b. Pajak Daerah Pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda), antara lain : 1. Pajak Provinsi seperti Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor; Pajak Air Permukaan; dan Pajak Rokok. 2. Pajak Kabupaten/Kota seperti pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame,Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan serta Pajak Parkir.

2.3. FUNGSI PAJAK Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya didalam pelasaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu: 1. Fungsi anggaran (budgetair) Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan

pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang,pemeliharaan,dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah,yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin.Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. 2. Fungsi mengatur (regulerend) Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. 3. Fungsi stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien. 4. Fungsi redistribusi pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan

kerja,

yang pada akhirnya

akan dapat

meningkatkan

pendapatan masyarakat.

2.4. SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA Sejak tahun 1983, pemerintah Indonesia telah mengubah sistem pemungutan pajak yang semula menggunakan official assessment (dipakai saat era kolonial Belanda) menjadi self assessment. Apa perbedaan dua sistem tersebut? Salah satu inti perbedaan dari dua sistem pemungutan pajak ini adalah wewenang menetapkan besaran pajak terutang. Jika pada official assessment, wewenang penetapan besaran pajak ada pada pemerintah, sedangkan pada self assessment wewenang tersebut ada pada wajib pajak.

Upeti Sebagai Cikal Bakal Pajak Di era pra kolonial (sebelum masuknya Belanda), pajak dikenal dengan istilah upeti. Upeti dipungut oleh raja untuk kepentingan pribadi dan operasional kerajaannya. Contohnya seperti membangun istana atau membiayai rumah tangga kerajaan. Jenis pajak yang diberlakukan di era ini misalnya pajak tol dan pajak candu.

Perpajakan di Indonesia Pada Masa Belanda Saat Indonesia dijajah oleh Belanda, saat itulah sistem kita mengenal sistem perpajakan modern. Salah satu jenis pajak yang berlaku saat itu di antaranya pajak rumah tinggal yang diberlakukan tahun 1839 dan pajak usaha. Pemerintah Kolonial Belanda juga membedakan besar tarif pajak berdasarkan kewarganegaraan wajib pajak. Pada tahun 1885 misalnya, pemerintah memberlakukan kenaikan pajak tinggal untuk warga Asia menjadi 4%. Pada era pra kemerdekaan, penjajah Belanda dan Inggris juga telah memperkenalkan sistem pemungutan pajak yang sistematis. Sistem Pemungutan Pajak Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak menetapkan sendiri jumlah pajak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Self assessment System memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk : - Menghitung sendiri pajak yang terutang; - Memperhitungkan sendiri pajak yang kurang atau lebih dibayar; - Membayar sendiri; dan - Melaporkan sendiri pajak yang terutang Official Assessent System adalah suatu system pemungutan pajak, dimana aparatur pajak menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang. Dalam sisitem ini inisiatif dan kegiatan dalam menghitung dan menetapkan pajak sepenuhnya berada di tangan aparatur pajak. Withholding System Adalah suatu system pemungutan pajak, dimana penghitungan, pemotongan dan pembayaran serta pelaporan dipercayakan kepada pihak ke tiga oleh pemerintah.Yang dimaksud pihak ketiga, misalnya Badan, Ditjen Bea Cukai, Ditjen Anggaran, dan Bendaharawan.

2.5. JENIS JENIS PAJAK a) Menurut lembaga Pemungutnya : 1. Pajak Pusat / Pajak Negara adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, Kementerian Keuangan dan pelaksananya adalah Kantor Pelayanan Pajak.Contoh : PPN & PPnBM, PPh, dll 2. Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh daerah Propinsi dan atau Kabupaten dan Kota Contoh : Pajak Kendaraan, Pajak Restoran, Pajak Hotel, dll b) Menurut Sifatnya : 1. Pajak Subjektif adalah pajak-pajak yang pemungutannya berpangkal pada diri orangnya (subjeknya), keadaan diri wajib pajak dapat mempengaruhi besar kecilnya jumlah pajak yang harus dibayar. Contoh : Pajak Penghasilan Pajak objektif 2. Pajak objektif adalah pajak yang pemungutannya berpangkal pada objeknya dan pajak ini dipungut karena keadaan, perbuatan dan kejadian yang dilakukan atau terjadi dalam wilayah Negara dengan tidak mengindahkan kediaman atau subjeknya, Contoh: cukai rokok, tanpa memandang subjeknya kaya atau miskin, bujangan atau sudah berkeluarga, dll. c) Menurut golongan 1. Pajak langsung adalah pajak-pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan tanpa dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Penghasilan 2. Pajak Tidak Langsung adalah suatu pajak yang pada akhirnya dapat dilimpahkan (digeserkan) kepada pihak lain Contoh : Pajak Pertambahan Nilai  yang menanggung adalah pihak konsumen (pihak ketiga) terakhir.

2.6. HUKUM PERPAJAKAN Dasar Hukum Perpajakan di Indonesia 1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diatur dalam UU No. 6/1983 dan diperbarui oleh UU No. 16/2000. 2. Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang diatur dalam UU No. 7/1983 dan diperbarui oleh UU No. 17/2000. 3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan yang diatur oleh UU No. 8/1983 dan diganti menjadi UU No. 18/2000. 4. Undang-undang penagihan pajak dan surat paksa yang diatur dalam UU No. 19/1997 dan diganti menjadi UU No. 19/2000. 5. Undang-Undang Pengadilan Pajak yang diatur dalam UU N0. 14/2002.

Hukum Pajak Formal : Peraturan-peraturan mengenai cara-cara untuk menjelmakan hukum material menjadi suatu kenyataan. Memuat cara-cara penyelenggaraan penetapan suatu utang pajak, kontrol oleh pemerintah terhadap penyelenggaraannya, kewajiban Wajib Pajak (sebelum dan setelah menerima ketetapan pajak), kewajiban pihak ketiga dan prosedur pemungutannya Untuk melindungi fiskus dan WP, memberi jaminan hukum pajak material akan dapat diselenggarapan setepat-tepatnya. Contoh : UU KUP, UU PPSP, UU PP Hukum Pajak Material : mengatur norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan, dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak; siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, apa objek pajaknya dan berapa besar pajaknya. Hukum yang mengatur segala sesuatu tentang timbul, besar dan hapusnya utang pajak serta mengatur hubungan antara pemerintah dengan Wajib Pajak Contoh : UU PPh, UU PPN&PPn BM, UU Bea Materai

A. Konsep Dasar Hukum Pajak Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Akan tetapi, negara sering mengalami kesulitan untuk melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak membayar pajak. Untuk itu, pemerintah memberikan kelonggaran dengan memberikan perngatan melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Sekalipun demikian, banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak, bahkan menghindari kewajiban tersebut. Saat ini, penyelesaian persamalahan sengketa di bidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak, yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Keberadaan Pengadilan Pajak menimbulkan kerancuan karena objek sengketa pajak adalah

Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang masih merupakan lingkup objek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

1. Pengertian Hukum Pajak Menurut Rochmat Soemitro (1992), hukum pajak adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Pendapat senada juga dikemukakan Bohari (1995) bahwa hukum pajak adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebaga pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Beberapa hal yang diatur dalam hukum pajak. a. subjek pajak dan wajib pajak; b. objek pajak; c. kewajiban pajak terhadap pemerintah; d. timbul dan hapusnya utang pajak; e. cara penagihan pajak; f. cara mengajukan keberatan dan banding. 2. Kedudukan Hukum Pajak Menurut Rochmat Soemitro (1992), hukum pajak mempunyai kedudukan di antara hukum-hukum berikut. a. Hukum Perdata, yaitu ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan individu dalam masyarakat. b. Hukum Publik, yaitu hukum yan mengatur hubungan pemerintah dengan rakyatnya. Hukum publik terdiri atas: 1) hukum tata negara; 2) hukum tata usaha; 3) hukum pidana; 4) hukum pajak. Dengan demikian, kedudukan hukum pajak bagian dari huku publik. 3. Fungsi Hukum Pajak Fungsi hukum pajak berkaitan erat dengan fungsi negara, yaitu sebagai berikut: a. Menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat; negara yang sukses dan maju adalah negara yang dapat membuat masyarakat bahagia secara umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan; b. Melaksanakan ketertiban; untuk menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif dan damai diperlukan pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh masyarakat;

c. Pertahanan dan keamanan; negara harus memberikan rasa aman serta menjaga dari segala ancaman dan gangguan, baik yang datang dari dalam maupu luar; d. Menegakkan keadilan; negara membentuk lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warga meminta keadilan di segala bidang. Untuk menjalankan fungsi tersebut, negara membutuhkan biaya yang jumlahnya besar dan sifatnya rutin. Biaya tersebut harus ditanggung oleh setiap warga negara yang dinilai mampu memberikan sumbangsih, yang kemudian dikenal sebagai pajak.

B. Sejarah dan Perubahan Hukum Pajak Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara, baik pada bidang kenegaraan maupun bidang sosial dan ekonomi. Pada awalnya pajak bukan merupakan pemungutan, melainkan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan negara, seperti menjaga kepentingan negara terhadap serangan musuh dari luar, membuat jalan umum, membiayai pegawai kerajaan, dan sebagainya. Penduduk yang tidak melakukan penyetoran dalam bentuk natura diwajibkan melakukan pekerjaan untuk kepentingan umum selama beberapa hari dalam satu tahun. Adapun orang-orang yang memiliki status sosial yang tinggi termasuk orang-orang yang kaya, dapat membebaskan diri dari kewajiban melakukan pekerjaan untuk kepentingan umum tadi, dengan cara membayar uang ganti rugi. Besarnya pembayaran ganti rugi ditetapkan sesuai dengan jumlahuang yang diperlukan untuk membayar orang yang menggantikan melakukan pekerjaan itu, yang seharusnya dilakukan sendiri oleh orang kaya yang memiliki status sosial yang tinggi.

Perubahan Hukum Pajak 1. Pemungutan Pajak Harus Adil Seperti halnya produk, hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak, baik dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaanya. Contohnya: a. mengatur hak kewajiban para wajib pajak; b. pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak; c. sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran.

2. Pengaturan Pajak Harus Berdasarkan UU Sesuai dengan pasal 23 UUD 1945, “Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyususnan UU tentang pajak, yaitu: a. pemungutan pajak untuk dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya; b. jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum; c. jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para wajib pajak. 3. Pungutan Pajak Tidak Mengangu Perekonomian Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan maupun jasa. Pemungutan pajak tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah. 4. Pemungutan Pajak Harus Efisien Biaya yang dikeluarkan dalam pemungutan pajak harus diperhitungkan agar pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam mengalami pembayaran pajak, baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu. 5. Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana Sistem yang sederhana memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga memberikan dampak positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang semakin enggan membayar pajak.

C. Sumber dalam Hukum Pajak Dalam setiap undang-undang pajak, hukum materil dan hukum formal dapat berdampingan walaupun dalam undang-undang yang terpisah. Dalam ilmu hukum, sumber hukum dapat berbentuk tertulis ataupun tidak tertulis, meliputi berikut ini: 1. Sumber Hukum Materiil Sumber hukum materiil, yaitu faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum (hukum pajak), misalnya faktor-faktor yang berupa hubungan sosial, politik, ekonomi, ataupun hubungan internasional.

Hukum pajak materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan tentang pihakpihak yang dikenakan pajak dan pihak-pihak yang dikecualikan dari pengenaan pajak, halhal yang dikenakan pajak, dan besarnya pajak yang harus dibayar. Dengan kata lain, dan pola hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. 2. Sumber Hukum Formal Sumber hukum formal, yaitu sumber suatu peraturan hukum memperoleh kekuatan hukum atau cara yang menyebabkan peraturan hukum tersebut berlaku secara formal. Misalnya, peraturan perundang-undangan (asas pancasila, UUD 1945, dan lain-lain), traktat (tax treaty), yurisprudensi, dan doktrin. Hukum pajak formal adalah hukum yang memuat ketentuan tentang mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Dengan demikian, hukum pajak formal merupakan ketentuan yang mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. 3. Sumber Hukum Pajak yang Sifatnya Tertulis a. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A Sebelum amandemen UUD 1945, ketentuan mengenai pajak diatur pada Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan, “segala pajak untuk keperluan negara harus berdasarkan undang-undang”. Ketentuan ini mengandung asas legalitas yang melakukan kewenangan pada negara untuk memungut pajak apabila negara membutuhkannya, tetapi dengan syarat harus berdasarkan undang-undang. Tidak ada pajak tanpa persetujuan antara rakyat melalui wakilnya di dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan pemerintah yang diatur dengan undang-undang. b. Perjanjian Perpajakan Tiap negara memiliki peraturan pajak yang berbeda dengan negara lain yang menyebabkan mudahnya terjadi pengenaan pajak ganda internasional sehingga menimbulkan beban yang tinggi terhadap wajib pajak. Untuk mengatasi hal tersebut, negara-negara yang berkepentingan mengadakan perjanjian penghindaran pajak internasional agar wajib pajak dari setiap negara yang bersangkutan tidak dikenakan pajak ganda. Selain itu, perjanjian perpajakan juga dapat mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance) dan penyeludupan pajak (tax evasion). c. Yurisprudensi Perpajakan Yurisprudensi perpajakan adalah putusan pengadilan mengenai perkara pajak, yang meliputi sengketa pajak dan tindak pidana yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang berkaitan dengan sengketa pajak adalah Putusan Pengadilan Pajak ataupun Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat para

pihak yang bersengketa, sedangkan putusan pengadilan yang berkaitan dengan tindak pidana pajak adalah Putusan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum ataupun Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat. d. Doktrin Perpajakan Agar doktrin dapat menjadi sumber hukum pajak, substansinya harus berada dalam konteks di bidang perpajakan yang dikemukakan ahli hukum pajak karena substansi hukum yang terkandung dalam hukum pajak memiliki perbedaan yang sangat prinsipiil dengan hukum lainnya. Pendapat ahli hukum pajak, untuk saat ini belum dapat diharapkan untuk menunjang pengembangan hukum pajak. Hal ini dikarenakan kelangkaan ahli hukum pajak yang dapat memberi corak tersendiri dalam perkembangan hukum pajak. e. Sanksi Pajak Sanksi administrasi menurut UU KUP dibagi atas tiga macam, yaitu denda, bunga dan kenaikan. Denda dikenakan terhadap pelanggaran peraturan yang bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi administrasi dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akibat pelanggarannya pada umumnya tidak merugikan negara. Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dikenakan terhadap wajib pajak yang membetulkan SPT, dikenakan SKPKB ( Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ), tidak melunasi utang pajak pada saat jatuh tempo, terlambat membayar SKPKB dan SKPKBT, mengangsur atau menunda pembayaran pajak serta menunda penyampaian SPT. Adapun sanksi administrasi berupa kenaikan (Kenaikan pajak atau tambahan pajak) dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan perundangundangan perpajakan, yang akibat pelanggaran itu negara dirugikan. Menurut UndangUndang KUP tahun 2000, kenaikan adalah sanksi administrasi yang menaikan jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak dengan persentase antara 50-100% dari jumlah pajak yang tidak/kurang bayar.

D. Perkembangan Hukum Pajak Secara umum, pemungutan pajak yang teratur dan permanen telah dikenakan pada masa kolonial. Sekalipun demikian, pada masa kerajaan dahulu juga telah ada pungutan seperti pajak, yang dipersembahkan kepada raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja. Figur raja dalam hal ini dapat dipandang sebagai manifestasi dari kekuasaan

tunggal kerajaan (negara). Pada awal kemerdekaan pernah dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan pajak penjualan (PPn) 1951. Pengenaan pajak secara sistematis dan permanen dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah. Hal ini telah ada pada zaman kolonial. Shopar Lumbantoruan dalam bukunya Akuntansi Pajak, membagi perkembangan hukum pajak adalah sebagai berikut. 1. Hukum Pajak Landerent (Sewa Tanah) Pajak ini disebut landerent (sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut landrente. Peraturan tentanglandrente dikeluarkan pada tahun 1907 kemudian diubah dan ditambah dengan Ordonansi Landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan Ordonansi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 1964. 2. Hukum Pajak Tanah Pada tahun 1960 dikeluarkan UU Nomor 5 tahun 1960 yang mengemukakan bahwa hukum atas tanah berlaku atas semua tanah di Indonesia, yang ditegaskan lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet Tanggal 10 Februari tahun 1967 Nomor 87/Kep/U/4/1967 dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada pemerintah daerah. 3. Iuran Pembagunan Daerah (IPEDA) Pajak Hasil Bumi yang kemudian namanya diubah menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) diatur berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No. PM.PP 1-13 Tanggal 29 November 1965 yang berlaku mulai 1 November 1965. Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak Penghasilan sudah dilakukan pada zaman Romawi Kuno. Antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi. 2.7. TEORI PAJAK 1. Teori Asuransi, negara menganggap dirinya sebagai perusahaan asuransi dan Wajib Pajak sebagai tertanggung yg wajib membayar premi (pajak). 2. Teori Kepentingan, negara berhak memungut pajak, karena penduduk negara punya kepentingan pada negara. Makin besar kepentingan penduduk pada negara, makin besar perlindungan yang diberikan padanya, dan makin besar pula pajak yang dibayarkan. 3. Teori Bakti, penduduk adalah bagian dari suatu negara, terikat pada keberadaan negara, karenanya harus berbakti pada negara dengan membayar pajak. Teori ini menganjurkan untuk tidak bertanya apa dasar negara pungut pajak.

4. Teori daya beli, pembenaran pemungutan pajak terletak pada efek/akibat pemungutan pajak. Pemungutan pajak membawa efek positip hampir di semua negara, yaitu tersedianya dana yang cukup guna membiayai pengeluaran umum negara. 5. Teori Pembangunan, dana yang terkumpul dari pajak guna pembangunan yg membuat rakyat menjadi adil, makmur, sejahtera. 6. Teori Kontrak, pajak semata-mata suatu jumlah tertentu yang diberikan penduduk kepada pemerintah sebagai penggganti jasa atas perlindungan pada penduduk. 7. Teori organisasi, penduduk secara bersama-sama mempunyai kewajiban secara alamiah untuk menunjang negara dengan membayar pajak. 8. Teori daya pikul, dalam pemungutan pajak pemerintah harus memperhatikan daya pikul/ kemampuan WP. Maka dalam PPh dikenal PTKP, dlm PBB ada NJOPTKP.

2.8. AZAS PERPAJAKAN DI INDONESIA Sejak tahun 1983 telah berlaku Undang-Undang No. 6 tahun 1983, Undang-Undang NO. 7 tahun 1983 dan Undang-Undang No. 8 tahun 1983. Dalam Undang-Undang Perpajakan tahun 1983 berlaku asas perpajakan Indonesia, yaitu: a. Asas kegotongroyongan nasional terhadap kewajiban kenegaraan, termasuk membayar pajak. b. Asas keadilan, dalam pemungutan pajak, kewenanga yang dominan tidak lagi diberikan kepada aparat pajak untuk menentukan jumlah pajak yang harus dibayar. c. Asas kepastian hukum, wajib pajak diberikan ketentuan yang sederhana dan mudah dimengerti serta pelaksanaan administrasi pemungutan pajaknya tidak birokratis. d. Asas kepercayaan penuh, masyarakat memberikan kepercayaan penuh untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya, termasuk keaktifan pelaksanaan administrasi perpajakan. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 6, 7, dan 8 tahun 1983, sistem perpajakan Indonesia secara mutlak manganut sistem self assesment dan kewenangan aparat pajak tidak lagi seluas kewenangan yang diperolehnya dalam Undang-Undang perpajakan yang lama. Di samping memiliki dasar hukum, perpajakan di Indonesia juga memiliki asas yang jelas. Berikut ini berbagai asas perpajakan yang berlaku di Indonesia. o

Asas Finansial.

o

Asas Ekonomis.

o

Asas Yuridis.

o

Asas Umum.

o

Asas Sumber.

o

Asas Kebangsaan atau Nasionalitas.

o

Asas Wilayah atau Teritorial.

Ajaran Azas Pemungutan Pajak Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya An Inquiri into The Nature and Causes of the Wealth of Nations, sbb :  Asas Equality, bahwa tekanan pajak diantara subjek pajak masing-masing dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masingmasing. Tidak dibolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak.  Asas certainty, Pajak yang dibayar mempunyai kepastian hukum dan tidak mengenal kompromi. Kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek, objek, besarnya pajak dan ketentuan mengenai jangka waktu pembayaran pajaknya.  Conveinent of payment, Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan yang bersangkutan.  Asas Efisiensi, Bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya, jangan sekali-kali biaya pemungutan lebih besar dari pemasukan pajaknya. Azas pemungutan pajak lainnya  Asas Tempat Tinggal / Domisili Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan WP yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan dari dalam negeri maupun dari luar negeri.  Asas Sumber Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari wilayahnya tanpa memperhatikan dimana WP tersebut berdomisili.  Asas Kebangsaan Pemungutan pajak yang dihubungkan dengan kebangsaan sessorang di suatu Negara. Indonesia menganut asas kebangsaan secara negative melalui Pajak bangsa Asing, yakni pengenaan pajak bagi bangsa asing yang bertempat tinggal di Indonesia. 2.9. MEKANISME MENUR UT UU PPH, PPN DAN U U KUP A.UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN (UU PPH) Undang-undang pajak penghasilan merupakan rujukan untuk memahami perpajakan di Indonesia. Wajib pajak diharapkan dapat memahami hal-hal penting dalam pajak penghasilan secara lebih cepat dan mudah. Sehingga, wajib pajak tidak lagi bingung dengan

ketentuan pelaksanaan pemungutan/pemotongan pajak penghasilan.Di Indonesia, pajak penghasilan diatur melalui Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Namun, undang-undang ini sebenarnya telah mengalami beberapa kali perubahan. Berikut ini perkembangan Undang-Undang pajak penghasilan di Indonesia: o

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan merupakan undangundang pertama yang dibuat tentang pajak penghasilan.

o

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

o

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 7 tahun 1991

o

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Pajak Penghasilan ini dapat dsebut sebagai Undang-Undang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Pajak Penghasilan tahun 1984.

o

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Ruang Lingkup Undang -Undang Pajak Penghasilan Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur tentang pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak ini disebut juga sebagai wajib pajak. Apa saja yang diatur dalam Undang -Undang Pajak Penghasilan? Ada beberapa hal yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu: 1. K e t e n t u a n U m u m U n d a n g U n d a n g P a j a k P e n g h a s i l a n Ketentuan umum berisi tentang batasan pengertian, definisi dan seluruh hal yang diatur dalam undang-undang pajak penghasilan. Pada undang-undang ini, ketentuan umum tertulis sebagai berikut: Pajak Penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak. 2.S u b j e k P a j a k P e n g h a s i l a n

Subjek pajak penghasilan berasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Adalah 1. Orang pribadi atau perseorangan. 2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 3. Badan yang terdiri dari PT, CV, BUMN, BUMD, badan dan bentuk usaha tetap, persekutuan, perseroan, perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap. 3. Objek Pajak Penghasilan Objek Pajak Penghasilan (PPh) adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan.Contoh objek pajak penghasilan adalah: o

Gaji, upah, komisi, bonus, atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan.

o

Honorarium, hadiah undian dan penghargaan.

o

Laba bruto usaha.

o

Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,anggota, serta karena likuidasi.

Cara Menghitung Pajak Penghasilan Dalam menentukan besarnya pajak penghasilan yang terutang, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai Penghasilan Kena Pajak. Cara perhitungan pajak penghasilan dan seluk beluknya diuraikan dalam Bab IV Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pelunasan Pajak dalam Tahun Berjalan Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, diatur juga mengenai pelunasan pajak dalam tahun berjalan yakni: 1. Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh wajib pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Pelunasan dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan menteri keuangan. 2. Pelunasan pajak melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain serta pembayaran pajak oleh wajib pajak tersebut, merupakan angsuran pajak yang akan

dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang untuk seluruh tahun pajak yang bersangkutan.

Perhitungan Pajak pada Akhir Tahun Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar oleh wajib pajak ataupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.

Ketentuan lainnya Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh dalam undang-undang perpajakan adalah diterapkannya perlakukan yang sama terhadap wajib pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang hakikatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Penutup Hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Pajak Penghasilan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasan lebih rinci terkait pajak penghasilan dapat dilihat langsung dari dokumen Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Perlu juga diketahui, bahwa ada aturan lain yang merupakan peraturan pelaksanaan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008,yaitu Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak. B.UNDANG-UNDANG PPN PPN merupakan pungutan yang dikenakan dalam setiap proses produksi maupun distribusi. Pemungutan PPN ini diatur dalam Undang-Undang PPN (UU PPN). Nama resmi UU PPN adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Dalam UU PPN ditetapkan, pihak yang menanggung beban pajak adalah konsumen akhir atau si pembeli. Oleh karena itu, sebagai bukti bahwa PPN merupakan kewajiban seorang pembeli, setiap melakukan transaksi pembelian suatu barang, penjual akan memberikan struk pembayaran. Anda bisa menemukan nilai pajak yang dipotong penjual melalui struk belanja atau bukti pembelian

tersebut. Sebelum ditetapkan sebagai pajak pertambahan nilai, ternyata terdapat beberapa model pemungutan pajak serupa dan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Nah, berikut ini perjalanan panjang pemungutan pajak pertambahan nilai di Indonesia dari waktu ke waktu.

Pajak Pembangunan I Sebelum adanya PPN, pemerintah secara resmi mengadakan pemungutan Pajak Pembangunan I (PPb I) pada 1 Juli 1947. Pajak ini dikenakan atas usaha rumah makan, penginapan dan penyerahan jasa di rumah makan. Sebelumnya, PPb I berstatus pajak pusat, namun sejak tahun 1957 berubah menjadi pajak daerah.

Pajak Peredaran Tahun 1950 Pengenaan pajak peredaran berdasarkan atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan di Indonesia. Pemungutan pajaknya dilakukan secara berjenjang pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi. Pajak Peredaran berlaku sejak 1 Oktober 1951. Tarif yang digunakan untuk pajak peredaran adalah 2,5%. Undang-Undang yang mengatur Pajak Peredaran adalah Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pajak Peredaran. Namun, pemungutan pajak peredaran ini tidak berlangsung lama dan tergantikan dengan pajak penjualan. Pajak Penjualan Seperti telah disebutkan pada poin sebelumnya, pajak peredaran yang diatur dalam UndangUndang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pajak Peredaran tidak berlangsung lama. Selanjutnya, pajak peredaran digantikan dengan pajak penjualan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 1953 tentang Penetapan “Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan” (Lembaran-Negara Nomor 94 Tahun 1951) Sebagai Undang-Undang. UU inilah yang kemudian menjadi dasar hukum pemungutan pajak penjualan yang dikenal dengan Pajak Penjualan 1951.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)  Pengesahan pajak, Pajak Penjualan 1951 akhirnya direformasi dengan munculnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah. Undang-Undang yang mengatur tentang PPN dan PPnBM tersebut akhirnya disahkan pada 1 April 1985. Sejak Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 ditetapkan, hingga saat ini sudah ada tiga kali perubahan UU PPN di Indonesia.  Perubahan kedua, Setelah perubahan pertama pada 1983, UU PPN mengalami perubahan kedua yang disebut sebagai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Ada pun sasaran yang ingin diwujudkan dari perubahan kedua UU PPN tersebut adalah menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, sederhana, dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat serta dapat mengamankan dan meningkatkan penerimaan negara.  Perubahan ketiga, Perubahan UU PPN ketiga adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Hingga tahun 2018, undang-undang ini masih digunakan dan belum ada rencana untuk direvisi. Tujuan dilakukannya perubahan ketiga UU PPN ini adalah untuk semakin meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana, serta mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri.

Karakteristik PPN o

PPN merupakan pajak tidak langsung. Artinya, pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah orang yang berbeda.

o

Multi tahap. Artinya, pajak dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi sejak dari pabrik.

o

Objektif. Artinya, pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak (barang dan jasa) tanpa melihat subjek pajaknya.

o

Menghindari double tax. Maksudnya, PPN hanya dikenakan pada pertambahan nilainya saja.

o

Pungutannya menggunakan faktur (struk atau bukti pembayaran pajak).

o

PPN dikenakan sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri (domestic consumtions).

o

PPN dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung, dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.

C.UNDANG-UNDANG KUP KUP adalah singkatan yang biasa dipakai untuk Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-Undang KUP memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada prinsipnya berlaku bagi undang-undang pajakk materiil, kecuali dalam undang-undang pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakannya. UU KUP telah mengalami tiga kali perubahan sejak diundangkan pertama kali dengan UU Nomor 6 Tahun 1983 yang berlaku mulai 1 Januari 1984. Perubahan pertama dilakukan dengan UU Nomor 9 Tahun 1994 yang berlaku mulai 1 Januari 1995. Perubahan kedua dilakukan dengan UU Nomor 16 Tahun 2000 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001. Dan perubahan terakhir adalah dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 yang mulai berlaku tanggal 1 Januri 2008. Apakah yang dimaksud dengan Wajib Pajak? Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam Pasal 2 angka 1 UU KUP disebutkan bahwa, “Setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak”. Apakah yang dimaksud dengan persyaratan subjektif pajak? Persyaratan subjektif dalam peraturan perpajakan, yaitu:

1. Orang pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri, dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia. 2. Badan, dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. 3. Orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. 4. Orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia bukan dari menjalan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperolah penghasilan dari Indonesia. 5. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak, dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut. Apakah yang dimaksud dengan persyaratan objektif pajak? Persyaratan objektif berdasarkan UU PPh dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Sebagai pemikul beban pajak, yaitu bagi badan atau orang pribadi yang memperoleh atau menerima penghasilan yang dikenai PPh berdasarkan UU PPh, yang terdiri dari Pajak Penghasilan Badan dan Pajak Penghasilan Orang Pribadi. 2. Sebagai pemungut atau pemotong pajak, terdiri dari pemungutan atau pemotongan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPh Pasal 15. Apakah yang dimaksud dengan Self Assessment? Self Assessment adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada masyarakat wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Adapun prinsip self assessment dalam UU KUP sebagai berikut: (Pasal 12 UU KUP) 1. Setiap wajib pajak membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.

2. Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh wajib pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. 3. Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. Apakah yang dimaksud dengan Wajib Pajak Orang Pribadi? Wajib pajak orang pribadi adalah wajib pajak yang: 1. menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas, dan 2. tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas namun jumlah penghasilannya sampai dengan suatu bulan yang disetahunkan telah melebihi Penghasilan Kena Pajak (PTKP). Yang dimaksud dengan pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja. Apakah yang dimaksud dengan Wajib Pajak Badan? Wajib pajak badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Apakah yang dimaksud dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)? PTKP adalah batas penghasilan wajib pajak orang pribadi yang tidak dikenakan pajak. Berdasarkan UU PPh tahun 2008 (yang berlaku mulai 1 Januari 2009), PTKP per tahun diberikan paling sedikit sebesar:

1. Rp15.840.000,00 (Lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri wajib pajak orang pribadi; 2. Rp1.320.000,00 (Satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk wajib pajak yang kawin; 3. Rp15.840.000,00 (Lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU PPh. 4. Rp1.320.000,00 (Satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Apakah yang dimaksud dengan Nomor Pokok Wajib Pajak atau NPWP? NPWP adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. (Pasal 1 angka 6 UU KUP). NPWP diberikan kepada wajib pajak orang pribadi atau badan yang berdasarkan UU Pajak Penghasilan (PPh) dikenai kewajiban perpajakan baik kewajiban perpajakan atas dirinya sendiri ataupun kewajiban memungut atau memotong PPh pihak lain (withholding tax). NPWP terdiri dari 15 (lima belas) digit, yaitu 9 (sembilan) digit pertama merupakan Kode Wajib Pajak dan 6 (enam) digit berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan. Apa yang dimaksud dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP)? PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN.

Apa sajakah kewajiban sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)? Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean dan/atau melakukan ekspor BKP Berwujud, ekspor JKP, dan/atau eskpor BKP Tidak Berwujud diwajibkan: 1. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

2. Memungut pajak yang terutang; 3. Menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang, dan; 4. Melaporkan penghitungan pajak. Kewajiban di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Adakah sanksi yang diberikan kepada wajib pajak bila tidak mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya? Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf a dan b UU KUP menyatakan bahwa, “setiap orang yang dengan sengaja: (a) tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, (b) menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau PKP sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.” Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. Apakah NPWP dapat dimintakan untuk dihapuskan? Penghapusan NPWP adalah tindakan menghapuskan NPWP dari tata usaha Kantor Pelayanan Pajak. Penghapusan ini hanya ditujukan untuk kepentingan tata usaha perpajakan dan tidak menghilangkan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan wajib pajak yang bersangkutan. Secara materiil, penghapusan NPWP dilakukan dalam hal: (KepDirjen Pajak Nomor Kep161/PJ/2001 tanggal 21 Februari 2001) 1. Wajib pajak orang pribadi meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan. 2. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. 3. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai subjek pajak sudah selesai dibagi.

4. Wajib pajak badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Bentuk usaha tetap yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai bentuk usaha tetap. 6. Wajib pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksud dalam huruf a dan b yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai wajib pajak.

BAB III KESIMPULAN

Dari semua uraian di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa: 1. Pajak merupakan iuran wajib yang harus di bayar oleh setiap warga Negara Indonesia berdasarkan jenisnya masing-masing. 2. Apabila terjadinya pelanggaran seperti tidak membayar iuran wajib pajak tersebut maka akan mendapatkan sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku. 3. Di dalam pembayaran iuran perpajakan tidak adanya toleransi. 4. Ketentuan pembayaran pajak sesuai menurut jenisnya masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

http://andi-wb.blogspot.com/2010/06/peran-dari-manfaat-pajak.html http://iguidepost.blogspot.com/2008/06/peranan-pajak.html http://arya-muhamad.blogspot.com/2010/05/funggsi-mengatur-dalampajak.html Miyasto,ketua Tax Centre Universitas Diponegoro-33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 TAHUN 2007 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan https://id.wikipedia.org/wiki/Pajak#cite_note-1

Related Documents


More Documents from "abid Ardiansyah"