MAKALAH Jurnal Putusan Mahkamah Konstitusi HUKUM KONSTITUSI
Dosen : Fikri Hadin, S.H, M.H.
Disusun oleh :
Nama
: Enni Sadiaty
Nim
: 1610211320024
Kelas
: D Regular A 2016
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN 2018
Daftar Isi
Cover .................................................................................................................................................... 1 Daftar Isi .............................................................................................................................................. 2 Kata Pengantar ................................................................................................................................... 3 Bab I Pendahuluan ............................................................................................................................ 4 Bab II Pembahasan ............................................................................................................................ 5 Bab III Penutup ................................................................................................................................ 18 Daftar Pustaka........................................................................................................................19
2
Kata Pengantar Puji Syukur saya panjatkan Kehadirat Allah SWT karena berkat, rahmat, dan hidayahNya saya dapat menyelesaikan Makalah Jurnal Putusan MK Volume 7, yang sebagaimana untuk memenuhi tugas individu Mata Kuliah Hukum Konstitusi. Tak lupa saya ucapkan Terima Kasih kepada Dosen, Mahkamah Konstitusi, dan Sumber Literatur lainnya yang telah membantu, sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah Jurnal Putusan MK Volume 7 dengan waktu yang sudah ditentukan. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih jauh dari kata Kesempurnaan serta masih banyak kekurangan-kekurangan, maka dari itu saya mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk lebih menyempurnakan Makalah saya ini dilain waktu. Semoga Makalah ini memberikan manfaat dan menambah Pengetahuan dan Wawasan Mahasiswa/i mengenai Hukum Konstitusi.
Banjarmasin, 28 April 2018
Enni Sadiaty 1610211320024
3
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Mahkamah konstitusi adalah sebuah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama dengan mahkamah agung. Hari lahir Mahkamah konstitusi sendiri yaitu pada tanggal 13 agustus 2003 dan MK sendiri diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar NRI dan Undang Undang nomor 24 tahun 2003 mengenai Mahkamah konstitusi. Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) pada pokoknya memang diperlukan karena bangsa kita telah melakukan perubahan-perubahan yang mendasar atas dasar undang-undang dasar 1945. Dalam rangka perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat UUD 1945. Bangsa itu telah mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam system ketatanegaraan, yaitu antara lain dengan adanya system prinsip “Pemisahan kekuasaan dan cheeks and balance” sebagai pengganti system supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya. Sebagai akibat perubahan tersebut, maka perlu diadakan mekanisme untuk memutuskan sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antara lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenanganya ditentukan dalam Undang-Undang Dasar serta perlu dilembagakannya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip, The Rule of Majority”. Karena itu, fungsi-fungsi Judicial Review atas konstitusionalitas Undang-Undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan / Wakil Preseiden dikaitkan dengan fungsi MK. Disamping itu juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul dan tidak dapat diseleseaikan melalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa Pemilu dan tuntutan.
B. Tujuan 1. Apakah yang dimaksud dengan Mahkamah Konstitusi ? 2. Apa saja Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi ? 3. Mengenal dan mengetahui beberapa Jurnal Hukum Mahkamah Konstitusi.
4
BAB II PEMBAHASAN A.
Pengertian Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Dalam Undang-Undang dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permohonan yang diatur secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi adalah mengenai: 1. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diatur oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pembubaran partai politik. 4. Perselisihan tentang hasil pemilihan umum, atau pendapat DPR bahwa Presiden dan / Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan / atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B.
Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (Pasal 7 B dan 24C) a) Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Pasal 28 sampai engan Pasal 85); b) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 21/PMK/2009 Pedoman beracara dalam memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
5
c) Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 19/PMK/2009 Tata Tertib Persidangan d) Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 18/PMK/2009 Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference) e) Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 17/PMK/2009 Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum presiden Dan Wakil Presiden f) Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 16/PMK/2009 Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Berbeda dengan peradilan di MA yang bersifat inter partes artinya hanya mengikat para pihak bersengketa dan lingkupnya merupakan peradilan umum. Pengujian undang-undang di MK merupakan peradilan pada ranah hukum publik. Sifat peradilam di MK adalah erga omnes yang mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian putusan pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.
C.
Jurnal Hukum Mahkamah Konstitusi
Jurnal hukum merupakan salah satu sumber bacaan yang sangat penting bagi kita untuk mengupdate informasi-informasi hukum yang terbaru. Hal ini disebabkan karena jurnal hukum biasanya memuat informasi mengenai hukum yang kontemporer dan up to date. Informasi yang disajikan dalam jurnal tidak menyerupai berita seperti yang dapat kita temukan pada halaman koran namun juga memuat analisa-analisa terhadap suatu masalah hukum yang sangat baik untuk menambah khasanah berpikir kita sekaligus sebagai bahan diskusi yang cukup menarik. Selain itu dapat dijadikan sebagai referensi bagi karya tulis ilmiah seperti skripsi atau thesis. Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara dan kehidupan politik.
6
Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi. Beberapa penjelasan tentang Jurnal-jurnal hukum Mahkamah konstitusi adalah sebagai berikut:
1. Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi
7
Di dalam hukum acara, khususnya dalam hukum acara perdata terdapat pandangan yang oleh beberapa ahli telah dianggap sebagai salah satu prinsip hukum acara, yaitu hakim dilarang memutus melebihi apa yang dimohonkan (ultra petita). Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg.Karena adanya pandangan tersebut, pada saat MK memutuskan membatalkan seluruh UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan72 dan membatalkan seluruh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR)73banyak muncul tanggapan bahwa MK telah melanggar prinsip larangan ultra petita.
Namun demikian berdasarkan karakteristik perkara yang menjadi wewenang MK, tidaklah dapat dikatakan bahwa larangan ultra petita tersebut dapat diterapkan untuk peradilan di MK. Kewenangan pengujian undang-undang yang dimiliki oleh MK pada prinsipnya bersifat publik walaupun pengajuannya dapat dilakukan oleh individu tertentu yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan undang-undang. Hal itu sesuai dengan objek pengujiannya yaitu ketentuan undang-undang sebagai norma yang bersifat abstrak dan mengikat secara umum. Dalam hal pengujian UU misalnya, jelas bahwa perkara ini menyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya mengikat semua orang (erga omnes). Larangan ultra petita berlaku dalam lapangan hukum perdata karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak satu hak yang bersifat privat yang dimiliki individu tertentu terletak pada kehendak atau pertimbangan individu itu sendiri dan akibat hukumnya hanya mengikat pada individu tersebut, tidak kepada individu yang lain.
Bahkan, perkembangan dan kebutuhan pemenuhan tuntutan keadilan telah menyebabkan larangan tersebut tidak lagi diberlakukan secara mutlak. Dalam pertimbangan hukum putusan tentang UU KKR, MK menyebutkan adanya putusan Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg tentang larangan ultra petita tidak berlaku secara mutlak karena adanya kewajiban hakim bersikap aktif dan harus berusaha memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. Selain itu, dalam setiap gugatan, dakwaan, ataupun permohonan biasanya selalu dicantumkan permohonan kepada hakim untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) sehingga hakim memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan putusan lebih dari petitum.
8
2. Sifat Final Putusan Mahkamah Konstitusi
Bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi, artinya telah tertutup lagi bagi segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum setelahnya (misal Kasasi atau PK Mahkamah Agung). Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat secara hukum (binding).
9
Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan oleh Hakim Konstitusi dalam persidangan. Sedangkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Hal tersebut juga berarti tidak ada lahi upaya hukum lain yang dapat ditempuh oleh para pencari keadilan.
Mengacu pada makna final dan mengikat (binding) dari putusan Mahkamah Konstitusi secara harfiah di atas, penulis mencoba mengidentifikasi makna filosofis yuridis yang terkandung dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding) ini ke dalam beberapa bagian sebagai berikut:
a) Mewujudkan Kepastian Hukum Sifat final terhadap putusan Mahkamah Konstitusi mengacu pada keinginan untuk segera mewujudkan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Dengan demikian, sejak diucapkannya putusan oleh Hakim Konstitusi maka putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (in kracht), sehingga tidak ada lagi akses bagi para pihak untuk menempuh upaya hukum lainnya. Artinya, sejak putusan tersebut keluar, maka sudah berlaku dan segera untuk dieksekusi.
Sifat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak lain juga merupakan upaya dalam menjaga wibawa peradilan konstutusional (constitutional court). Sebab, jika peradilan konstitusi mengakomodasi adanya upaya hukum, maka tak ubahnya sebuah peradilan umum.
Pada peradilan umum biasanya perkara yang telah diputuskan akan kembali diajukan upaya hukum tingkat lanjut, maka akan memakan waktu yang panjang sampai dengan kasus tersebut selesai. Konsekuensinya, para pihak akan tersandera, baik waktu, tenaga, maupun biaya. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan asas hukum peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, sebagaimana yang berlaku dalam Mahkamah Konstitusi.
b) Mahkamah Konstitusi sebagai Pengadilan Konstitusional
Peraturan perundang-undangan, baik yang menjadi landasan konstitusional maupun landasan operasional Mahkamah Konstitusi, dengan tegas mensyaratkan untuk tidak memberi ruang bagi upaya hukum terhadap putusan yang telah dihasilkan. 10
Di samping itu, dalam UUD 1945 Pasal 24C dan UU No. 24 Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi didesain khusus sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang bersifat tunggal. Tidak memiliki peradilan di bawahnya dan tidak pula merupakan bawahan dari lembaga lain. Hal inilah yang membedakan putusan Mahkamah Konstitusi dengan putusan peradilan lainnya. Hal tersebut tidak terlepas dari kewenangan yang menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah pengadilan konstitusional yang difokuskan kepada sengketa ketatanegaraan dan berdasarkan konstitusi. Tak ayal, sifat putusan Mahkamah Konstitusi pun berbeda dengan peradilan konvensional lainnya yang memberi akses bagi para pihak untuk melakukan upaya hukum lebih lanjut.
3. Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing
11
Pekerjaan kontrak atau yang dikenal sebagai outsourcing telah dinyatakan oleh MK melanggar konstitusi kaum pekerja/buruh Indonesia yang bekerja dalam proses produksi tetap. Adapun hak kontitusi warga negara yang dilanggar oleh pasal 64 dan 65 undang-undang No. 13 tahun 2003 ke-tenagakerjaan. Kedua pasal ketenagakerjaan itu mengabaikan pasal 27 undang-undang dasar 1945 bahwa “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Kemudian yang tercakup dalam pasal 28 D ayat (2) undangundang dasar 1945 “Setiap orang bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Terakhir, pasal 33 ayat (1) undang-undang 1945 “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
Dengan dihapuskannya pekerjaan kontrak maka norma konstitusional pekerja dapat ditegakkan. Apabila masih terjadi praktik perusahaan menjalankan pekerjaan kontrak, maka merupakan norma pelanggaran hubungan kerja. Pascapenghapusan outsourcing oleh MK, masih banyak perusahaan mempraktikkan hubungan kerja waktu tertentu atau kontrak. Sumber utama yang mendorong praktik outsourcing adalah jumlah lapangan kerja yang sempit membuat para pekerja menerima sistem kerja kontrak itu. Selain itu, teknologi yang rendah di perusahaan-perusahaan, korupsi tinggi dan sumber daya manusia yang rendah menumbuhkan praktk relasi kerja kontrak.
Sementara itu, di kalangan serikat buruh/pekerja memandang praktik outsourcing sulit dihapuskan, jika perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) tetap melanggengkan sistem itu. Perusahaan pertambangan, minyak dan gas seperti Pertamina banyak mempergunakan tenaga kerja outsourcing. Demikian pula, perusahaan listrik negara (PLN) merupakan pemakai tenaga kerja outsourcing cukup masif. Untuk pelayanan gangguan PLN mempergunakan buruh outsourcing. Padahal pekerjaan itu adalah produksi pokok dari PLN, sama dengan pekerjaan pembaca meter listrik, buruh yang menuntut outsourcing dihapuskan.
Untuk penghapusan outsourcing serikat buruh diperkuat dengan menambah anggota. Serikat buruh perlu melakukan pengawasan terhadap praktik relasi kerja outsourcing yang menindas. Serikat buruh mendesakkan kesepakatan kerja bersama dengan perusahaan untuk tidak mempergunakan buruh outsourcing. Juga, serikat buruh/pekerja perlu meningkatkan keterampilan para anggotanya untuk menambah posisi tawar-menawar dengan perusahaan. Kegiatan serikat buruh menghapuskan kerja outsourcing harus menjadi gerakan buruh.
12
4. Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara sebagai Amanat Konstitusi
Kebebasan Hakim yang didasarkan pada kemandirian Kekuasaan Kehakiman diIndonesia,dijamin dalam Konstitusi Indonesia yaitu Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana dalam pasal 24 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan: “Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan
peradilan
guna
menegakkan hukum dan keadilan”. Kebebasan Hakim dalam memutus suatu perkara merupakan hal yang mutlak yang dimiliki hakim sebagaimana amanat Undang-undang. Hakim pada hakikatnya, dengan titik tolak ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman maka tugas Hakim untuk mengadili perkara berdimensi menegakkan keadilan dan menegakkan hukum. Dalam konteks Hakim menegakkan keadilan maka berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (4), Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman ditentukan, “peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 13
Konsekuensi aspek ini maka Hakim dalam memutus perkara tidak boleh hanya bersandar pada UU semata, akan tetapi juga harus sesuai dengan hati nuraninya. Kemudian dalam konteks Hakim sebagai penegak hukum hendaknya Hakim dalam mengadili perkara selain bersandar kepada UU juga bertitik tolak kepada norma-norma yang hidup dalam masyarakat sehingga putusan yang dihasilkan berdimensi keadilan. Pada proses peradilan dengan Hakim sebagai titik sentral inilah yang menjadi aspek utama dan krusial seorang Hakim dalam menggapai keadilan. Hakim dalam mengadili suatu perkara menurut hukum ada tiga langkah yang harus dilakukan : 1. Menemukan Hukum, menetapkan manakah yang akan diterapkan diantara banyak kaidah didalam suatu sistem hukum atau jika tidak ada yang dapat diterapkan, mencapai satu kaidah untuk perkara itu ( yang mungkin atau tidak mungkin dipakai sebagai suatu kaidah untuk perkara lain sesudahnya) berdasarkan bahan yang sudah ada menurut sesuatu cara yang ditujukan oleh sistem hukum. 2. Menafsirkan kaidah yang dipilih atau ditetapkan secara demikian, yaitu menentukan maknanya sebagaimana ketika kaidah itu dibentuk dan berkenan dengan keluasaannya yang dimaksud. 3. Menerapkan kepada perkara yang sedang dihadapi kaidah yang ditemukan dan ditafsirkan demikian Hakim dalam memutus suatu perkara tidak semata-mata berpandangan legalistik, maka hakim harus menafsirkan undang-undang dengan progresif, sehingga keadilan yang dihasilkan juga akan progresif. Keadilan dihasilkan dari suatu proses yang sangant bergantung pada bagaimana hakim menafsirkan dan menerapkan hukum yang ada, baik hukum formal maupun hukum materiil. Tujuan akhir hukum adalah keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum yang paling coeok dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil, bila suatu hukum konkrit, yakni undang-undang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan sebagai hukum lagi.
14
Undang-undang hanya menjadi hukum bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan.Pada akhirnya, Hakim dalam isi putusan suatu perkara, selama Hakim memegang independensinya, maka suatu putusan selalu dapat dipertanggungjawabkan sehingga putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. 5. Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia
Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan bangsa untuk mewujudkan sistem kehidupan dalam internal suatu negara itu sendiri maupun secara global, yang semakin memberikan penekanan pada aspek demokratisasi, perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, serta supremasi sipil.
15
Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia dan diakui oleh bangsa-bangsa di dunia, maka lain halnya dengan perbedaan jenis kelamin (gender) yang masih dianggap belum selesai, bukan hanya di negara terbelakang, dan negara berkembang, tetapi juga masih menjadi bagian perjuangan perempuan di negara maju. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar dan mutlak yang dimiliki setiap orang karena dia adalah manusia. Hak ini ada mengingat rentannya posisi manusia dalam proses bermasyarakat, budaya, ekonomi, sosial, dan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan. Setiap manusia memiliki hak ini walaupun sejauh mana hak-hak tersebut dipenuhi dalam praktek, sangat bervariasi dari negara ke Negara. Di dalam UU No. 7 Tahun 1984. Tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita dukungan Pemerintah Indonesia terhadap tujuan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Konvensi Wanita) yang dikemukan dalam keterangan Pemerintah di DPR Jakarta, 27 Februari 1984 antara lain menghapuskan diskriminasi dalam segala bentuk-bentuknya terhadap wanita dan mungkin dalam terwujudnya prinsip-prinsip persamaan hak bagi wanitadi bidang politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya. Pada pasal 1 di dalam konvensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan yang telah disepakati, bahwa istilah "diskriminasi terhadap perempuan" berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya bagi kaum perempuan terlepas dari status pekawinan mereka atas dasar persamaan laki-laki dan perempuan. Misalnya : perlindungan kehamilan bagi perempuan (cuti hamil, cuti haid) hal ini tidak dapat dianggap sebagai pemberian kesempatan yang diskriminatif bagi pekerja laki- laki. Pemerintah secara resmi telah menganut dan secara resmi pula menetapkan atas persamaan antara perempuan dan laki-laki sebagaimana termuat dalam UUD 45 pasal 27: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
16
Ketentuan ini sebagai dasar untuk memberikan akses, partisipasi dan kontrol bagi perempuan dan laki-laki dalam bidang ekonomi, sosial dan politik. Dan dengan ini pula Indonesia kemudian meratifikasi sejumlah konvensi Internasional tentang penghapusan diskriminasi dan peningkatan status perempuan. Namun demikian perundang-undangan dan kebijakan tersebut dalam pelaksanaannya masih belum efektif. Secara ideal Undang-undang diciptakan dengan tujuan agar kehidupan menjadi teratur dan melindungi segenap masyarakat.
17
BAB III PENUTUP
Sebagai lembaga negara yang melaksanakan cabang kekuasaan di bidang yudikatif, Mahkamah Konsitutsi telah berdiri di Indonesia sebagai salah satu buah reformasi yang bergulir sejak tahun 1998. Sebagai lembaga yudikatif, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang dan kewajiban yang cukup berat dan strategis, sebagaimana halnya lembaga sejenis di negara-negara lainnya, yakni sangat terkait erat dengan konstitusi. Dengan mengacu kepada hal tersebut, secara teoritis Mahkamah Konstitusi mempunyai dua fungsi, sebagai pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi. Mahkamah Konstitusi yang dinahkodai oleh sembilan Hakim Konstitusi dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini telah menunaikan tugas-tugas konstitusionalitasnya, dan dengan jubah merahnya para Hakim Konstitusi telah berusaha sedemikian rupa untuk mewujudkan Mahkamah Konsitusi sebagai ”rumah konstitusi” sekaligus penjaga konsitusi (the guardian of the constitution). Sudah berhasilkah Mahakamah Kosntitusi melaksanakan visinya untuk menciptakan tegaknya kosntitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang mertabat? Memang pada saat ini sesuai dengan usianya yang masih demikian muda, apa yang telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi masihlah belum terlalu banyak. Bolehlah dikatakan baru beberapa langkah dari ribuan langkah yang akan diayunkan hingga hari-hari esok. Namun langkah-langkah awal ini dipandang merupakan era peletakan dasar-dasar fundamental bagi perwujudan Mahkamah Konsitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya dalam rangka membangun konstitusionalitas Indonesia serta budaya sadar berkonstitusi diberbagai sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa yang akan datang.
18
Daftar Pustaka
Jurnal Konstitusi Volume 11 Nomor 1 hlm. 85-107 “Putusan Ultra Pelita Mahkamah Konstitusi”, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Jurnal Konstitusi Volume 11 Nomor 1 hlm. 64-84 “Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan Mahkamah Konstitusi”, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Jurnal Konstitusi Volume 9 Nomor 1 hlm. 01-26 “Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing”, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Jurnal Konstitusi Volume 12 Nomor 2 hlm. 217-236 “Prinsip Kebebsan Hakim dalam Memutus Perkara sebagai Amanat Konstitusi”, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Jurnal Konstitusi Volume 12 Nomor 3 hlm. 716-734 “Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
19