ADOPSI INOVASI PROGRAM KELUARGA BERENCANA (Di: Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor)
ARIE FIRDHA AMALIA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Adopsi Inovasi Program Keluarga Berencana di Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari peneliti lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2017
Arie Firdha Amalia NIM.I34130104
ABSTRAK ARIE FIRDHA AMALIA. Adopsi Inovasi Program Keluarga Dibimbing oleh NINUK PURNANINGSIH. Pertumbuhan penduduk Indonesia yang semakin cepat menimbulkan kekhawatiran akan meledaknya jumlah penduduk sehingga dapat menimbulkan permasalahan di berbagai bidang. Salah satu upaya pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan penduduk adalah dengan melakukan difusi inovasi program keluarga berencana (KB) khususnya penggunaan metode kontrasepsi. Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat pengetahuan, tingkat persepsi, dan keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Responden merupakan wanita usia subur yang pernah menggunakan metode kontrasepsi. Responden yag dipilih sebanyak 40 pasangan wanita usia subur. Responden dipilih dengan metode sample random sampling. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi tergolong tinggi. Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif, kerumitan, dan kemudahan dicoba tergolong tinggi. Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kesesuaian dan kemudahan diamati metode kontrasepsi tergolong sedang. Mayoritas akseptor KB memutuskan untuk melanjutkan penggunaan metode kontrasepsi pada tahap konfirmasi adopsi metode kotrasepsi. Motivasi dan ketersediaan sarana berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif metode kontrasepsi. Usia, motivasi, dan frekuensi mengakses media massa berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan diamati metode kontrasepsi. Jumlah tanggungan rumah tangga, motivasi, dan frekuensi mengunjungi sumber informasi berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. Kata kunci: adopsi, difusi, inovasi, program keluarga berencana
ii
ABSTRACT ARIE FIRDHA AMALIA. Adoption of Innovation Family Planning Program Supervised by NINUK PURNANINGSIH. Indonesian popultion growth accelerated raising fears of population explosion that can cause problems in various sector. One of the government’s efforts to reduce the rate of population growth is to conduct innovation diffusion of family planning programs in particular the use of contraceptive methods. The research aims to analyze the level of knowledge, the level of perception, family planning acceptors decision at the confirmation stage of adoption of contraceptive methods and the factors that influence. This research is using quantitative approach and supported by qualitative data. Respondents are women of childbearing age who have ever used a contraceptive methods. Respondents were selected by using purposive. The results indicate that the majority of respondents are in the category of high level knowledge. The preceived level of acceptors of family planning programs based on the features of relative advantage, complexity, and ease tested is high. The preceived level of acceptors of family planning programs on traits suitability and ease of contraceptive methods observed moderate. The majority of family planning programs decide to continue the use of contraceptive methods at the confirmation stage of adoption of contraceptive methods. Motivation and availability of an effect on the preceived level of acceptors of family planning programs on the charateristics of relative advantages contraceptive method. Age, motivation, and the frequency of access to the mass media effect on the preceived level of acceptors of family planning programs baed on the features observed ease of contraceptive methods. Number of household dependents, motivation, and visit frequency resources effect on the ease of family planning acceptors decision at the confirmation stage of adoption of contraceptive methods. Keyword: adoption, diffusion, family planning programs, innovation
iii
ADOPSI INOVASI PROGRAM KELUARGA BERENCANA (Studi Kasus: Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor)
ARIE FIRDHA AMALIA I34130104
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2017
v
PRAKATA Untaian puji syukur peneliti ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, yang masih memberikan nikmat jasmani dan rohani serta waktu yang bermanfaat bagi peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Adopsi Inovasi Program Keluarga Berencana di Keluarhan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor dengan baik tanpa hambatan dan masalah yang berarti. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini,dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ibu Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran, kritik dan koreksi selama proses penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. 2. Pemerintah dan masyarakat Kelurahan Tanah Baru, khususnya Ibu-Ibu Kader Posyandu Kelurahan Tanah Baru yang telah memberikan izin dan para responden yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk membantu kelancaran penelitian. 3. Ibu Darni dan Ayah Bambang Setiahadi selaku orangtua dan Abizard Daffa Putra selaku adik yang telah memberikan dukungan dan doa yang tak terbatas kepada penulis hingga mampu menjalani banyak hal sampai pada tahapan ini. 4. Agung Prasetya yang telah memberikan motivasi dan membantu penulis selama proses penulisan. 5. Teman-teman SKPM 50 khususnya Dini Hanifa, Shafiera Hemi, Rahmat Ardani, Era Setyaningrum, Himmatul Ulya, Agung Kurnia, Anggoro Wakhid, Yunianingrum, dan Kurnia Ilarahmi yang senantiasa mengajarkan banyak hal yang tidak didapatkan di bangku kuliah kepada penulis. 6. Prajna Agnisa sahabat seperjuangan penulis. Tempat berbagi keluh kesah dan saling menguatkan selama menjadi mahasiswa tingkat akhir. 7. Rekan-rekan BEM FEMA kabinet TERASA MANIS dan ARJUNA, khususnya departemen pengembangan budaya, olahraga dan seniyang telah memotivasi dan memberikan pengalaman luar biasa kepada penulis. 8. Rekan-rekan CENTURY dan IKAMAJU periode 2013/2014 dan 2014/2015, Tim Sukses Jejak Sepatu 2014, dan Tim Sukses Jadi baik 2015 yang telah memberikan kebersamaan dan kesan mendalam kepada penulis. Semoga hasil penelitian ini nantinya akan bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Februari 2017
Arie Firdha Amalia NIM. I34130104
vi
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
vi
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Rumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
5
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka
7 7
Pengertian Program Keluarga Berencana
7
Tujuan Program Keluarga Berencana
8
Manfaat Program Keluarga Berencana
9
Sejarah Perkembangan Program Keluarga Berencana
10
Metode Kontrasepsi
13
Inovasi
15
Adopsi Inovasi
17
Difusi Inovasi
21
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi dan Difusi Inovasi
23
Kerangka Pemikiran
33
Hipotesis Penelitian
34
METODE PENELITIAN
37
Lokasi dan Waktu Penelitian
37
Metode Penelitian
37
Teknik Penentuan Responden dan Informan
37
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
38
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
38
Definisi Operasional
39
GAMBARAN UMUM PENELITIAN
45
Keadaan Geografis
45
Keadaan Demografis
45
PROFIL RESPONDEN AKSEPTOR KELUARGA BERENCANA Karakteristik Internal
53 53
Metode Kontrasepsi yang Digunakan oleh Akseptor KB
53
Usia
53
Tingkat Pendidikan
54
Tingkat Pendapatan
55
vii
Jumlah Tanggungan Rumah Tangga
55
Motivasi
56
Mengunjungi Sumber Informasi
58
Mengakses Media Massa
59
Karakteristik Eksternal
60
Tingkat Ketersediaan Informasi
60
Intensitas Penyuluhan
61
Tingkat Ketersediaan Sarana
62
PENGETAHUAN DAN PERSEPSI AKSEPTOR KB MENGENAI CIRI METODE KONTRASEPSI
65
Pengetahuan Mengenai Metode Kontrasepsi
65
Persepsi Mengenai Ciri Metode Kontrasepsi
66
Keuntungan Relatif
66
Kesesuaian
68
Kerumitan
69
Kemudahan Dicoba
71
Kemudahan Diamati
72
KEPUTUSAN AKSEPTOR KB PADA TAHAP KONFIRMASI ADOPSI METODE KONTRASEPSI
75
PENGETAHUAN AKSEPTOR KB MENGENAI METODE KONTRASEPSI DAN FAKTORFAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 77 TINGKAT PERSEPSI AKSEPTOR KB MENGENAI CIRI METODE KONTRASEPSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 79 Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Persepsi Akseptor KB tentang ciri Keuntungan Relatif Metode Kontrasepsi 80 Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Persepsi Akseptor KB tentang ciri Keseseuaian Metode Kontrasepsi 80 Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Persepsi Akseptor KB tentang ciri Kerumitan Metode Kontrasepsi 81 Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Persepsi Akseptor KB tentang ciri Kemudahan Dicoba Metode Kontrasepsi 81 Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Persepsi Akseptor KB tentang ciri Kemudahan Diamati Metode Kontrasepsi 81 KEPUTUSAN AKSEPTOR KB PADA TAHAP KONFIRMASI ADOPSI METODE KONTRASEPSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
83
PENGARUH TINGKAT PENGETAHUAN TERHADAP TINGKAT PERSEPSI AKSEPTOR KB TENTANG CIRI METODE KONTRASEPSI 85 Pengaruh Tingkat Pengetahuan Aksepor KB mengenai Metode Kontrasepsi terhadap Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Keuntungan Relatif Metode Kontrasepsi 85 Pengaruh Tingkat Pengetahuan Aksepor KB mengenai Metode Kontrasepsi terhadap Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Kesesuaian Metode Kontrasepsi 86 Pengaruh Tingkat Pengetahuan Aksepor KB mengenai Metode Kontrasepsi terhadap Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Kerumitan Metode Kontrasepsi 86 Pengaruh Tingkat Pengetahuan Aksepor KB mengenai Metode Kontrasepsi terhadap Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Kemudahan Dicoba Kontrasepsi 87
viii
Pengaruh Tingkat Pengetahuan Aksepor KB mengenai Metode Kontrasepsi terhadap Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Kemudahan Diamati Metode Kontrasepsi 87 PENGARUH FAKTOR PENGETAHUAN TERHADAP KEPUTUSAN AKSEPTOR KB PADA TAHAP KONFIRMASI ADOPSI METODE KONTRASEPSI 89 PENGARUH TINGKAT PERSEPSI TERHADAP KEPUTUSAN AKSEPTOR KB PADA TAHAP KONFIRMASI ADOPSI METODE KONTRASEPSI
91
ANALISIS JALUR TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN AKSEPTOR KB PADA TAHAP KONFIMRASI ADOPSI METODE KONTRASEPSI
93
PENUTUP
97
SIMPULAN
97
SARAN
97
DAFTAR PUSTAKA
99
ix
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20 Tabel 21 Tabel 22 Tabel 23 Tabel 24
Urutuan jenjang kepentingan sifat inovasi yang berkaitan dengan kecepatan adopsi inovasi Definisi operasional faktor internal Definisi operasional faktor eksternal Definisi operasional pengetahuan tentang inovasi Definisi operasional persepsi tentang ciri inovasi Jumlah kepala keluarga berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru Jumlah pemeluk agama berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian pokok dan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru Pendidikan terakhir penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru Jumlah prasarana kesehatan di Kelurahan Tanah Baru Jumlah sarana kesehatan di Kelurahan Tanah Baru Jumlah peserta KB aktif dan baru berdasarkan lokasi pelayanannya di Kelurahan Tanah Baru Penyebaran penggunaan metode kontrasepsi yang dipilih akseptor KB aktif dan baru di Kelurahan Tanah Baru Jumlah pasangan usia subur dan akseptor KB di Kelurahan Tanah Baru Jumlah petugas yang hadir ketika pelaksanaan posyandu di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan metode kontrasepsi yang digunakan di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan usia di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat pendidikan di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat pendapatan di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan jumlah tanggungan rumah tangga di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan motivasi di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase motivasi menjadi akseptor KB di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan frekuensi mengunjungi sumber informasi di Kelurahan Tanah Baru
17 39 41 42 43 45 46 46 47 48 48 49 50 51 51 52 53 54 54 55 56 56 57 58
x
Tabel 25 Tabel 26 Tabel 27
Tabel 28 Tabel 29
Tabel 30 Tabel 31 Tabel 32 Tabel 33 Tabel 34 Tabel 35 Tabel 36 Tabel 37
Tabel 38 Tabel 39 Tabel 40 Tabel 41
Tabel 42 Tabel 43
Tabel 44
Jumlah dan persentase frekuensi akseptor KB mengunjungi sumber informasi program KB di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan frekuensi mengakses media massa di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB mengakses media massa untuk mencari informasi mengenai program keluarga berencana di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat ketersediaan infromasi di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase tingkat ketersediaan informasi mengenai program keluarga berencana di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan intensitas penyuluhan di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase intensitas penyuluhan program keluarga berencana di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat ketersediaan sarana di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase tingkat ketersediaan sarana metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat pengetahuan di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan peresentase tingkat pengetahuan akseptor KB di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat persepsi keuntungan relatif di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase perbandingan harga metode kontrasepsi yang dipilih akseptor KB dengan metode kontrasepsi jenis lain di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat persepsi kesesuaian di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase kesesuaian metode kontrasepsi yang dipilih akseptor KB di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat persepsi kerumitan di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase perbandingan cara penggunaan metode kontrasepsi yang dipilih akseptor KB dengan metode kontrasepsi jenis lain di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat persepsi kemudahan dicoba di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase perbandingan biaya yang dikeluarkan untuk mencoba metode kontraepsi yang dipilih akseptor KB dalam skala dengan metode kontrasepsi jenis lain di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat persepsi kemudahan diamati di Kelurahan Tanah Baru
58 59 59
60 61
61 62 63 63 65 65 66 67
68 68 70 70
71 72
73
xi
Tabel 45
Tabel 46
Tabel 47 Tabel 48 Tabel 49
Tabel 50
Tabel 51
Tabel 52
Jumlah dan persentase perbandingan tingkat keberhasilan metode kontrasepsi yang dipilih responden dibanding metode kontraesepsi jenis lai di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan keputusan pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru Pengarh faktor internal dan eksternal terhadap tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi Pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi Pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi Pengaruh tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi Pengaruh tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi Pengaruh tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi
73
75
77 79 83
85
89
91
xii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Model dan tahapan dalam proses pengambilan keputusan inovasi Kerangka pemikiran pengambilan keputusan akseptor KB untuk melanjutkan penggunaan metode kontrasepsi pada tahap konfirmasi adopsi inovasi Pengaruh variabel motivasi dan tingkat ketersediaan sarana terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif metode kontrasepsi Pengaruh variabel usia, motivasi, dan frekuensi mengakses media massa terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan diamati metode kontrasepsi Pengaruh variabel jumlah tanggungan rumah tangga, motivasi, dan frekuensi mengunjungi sumber informasi terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi
19 34
93
94
95
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8
Peta Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2016-2017 Dokumentasi Kerangka Responden Kuesioner Panduan Wawancara
104
Hasil uji statistik deskriptif
117
Hasil uji regresi linear
120
105 106 108 109 115
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan penduduk terpadat kelima di kawasan As-sociation of South East Asian Nations (ASEAN) dan berada peringkat ke delapan terpadat di kawasan South East Asia Region (SEARO). Pertumbuhan penduduk Indonesia 5 tahun lebih cepat dari proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS). Hal ini disebabkan masih banyaknya wanita menikah yang masih usia dini. Perkawinan usia dini mencerminkan rendahnya status wanita dan merupakan tradisi sosial yang menopang tingginya tingkat kesuburan. Indonesia merupakan negara yang memiliki persentase perkawinan yang tinggi di dunia dengan menempati rangking ke-37 sedangkan di kawasan ASEAN tertinggi ke-2 setelah Kamboja (BKKBN 2012). Berdasarkan Riskesda (2013) wanita yang menikah pertama kali pada usia kurang dari 15 tahun sebesar 2.6 persen dan yang menikah pada usia 15 sampai 19 tahun sebesar 23.9 persen. Pernikahan yang terlalu dini merupakan awal permasalahan kesehatan reproduksi karena semakin muda umur menikah maka semakin panjang masa reproduksi wanita yang berdampak pada banyaknya anak yang dilahirkan. Penggunaan kontrasepsi menjadi sangat penting untuk menjarangkan dan membatasi kehamilan (Kemenkes 2013). Wanita yang kawin di usia dini perlu mendapatkan perhatian karena akan berdampak pada peningkatan total fertility rate (TFR) (Soebijanto dan Sriudiyani 2011). TFR merupakan gambaran banyaknya anak yang dilahirkan oleh seorang wanita selama masa reproduksi. TFR Indonesia saat ini mengalami stagnansi selama periode tahun 2002 sampai 2012 sebesar 2.6. Angka ini jauh dari target yang diharapkan pemerintah yang tertuang dalam target RPJM 2014 yaitu 2.36. Selain itu, angka fertilitas menurut kelompok umur (age specific fertility rate atau ASFR) di Indonesia mengalami peningkatan dari 35 per 1000 wanita usia 15-19 tahun menjadi 48 per 1000 wanita usia 15-19 tahun. Hasil survei sosial ekonomi masyarakat nasional 2010 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 43.227.100 jiwa dan pada tahun 2015 mencapai 46.709.600. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2020 diperkirakan sebanyak 49.935.700 (BPS 2016). Tingginya laju pertumbuhan penduduk ditandai dengan tingginya angka kehamilan, berdasarkan data profil kesehatan Indonesia tahun 2011 diketahui jumlah ibu hamil sebanyak 5.060.637 dan di Jawa Barat sebanyak 917.553 ibu hamil (Kemenkes 2012). Hal ini diperparah dengan angka kematian dan kesakitan ibu di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan SDKI, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia telah berhasil diturunkan dari angka 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008 dan 2009 menjadi 270 pada tahun 2010, 262 pada tahun 2011, dan 248 pada tahun 2012. Walaupun AKI mengalami penurunan dari tahun ke tahun, namun angka ini masih jauh dari yang telah ditetapkan pemerintah dalam target MDGS yaitu 102 dari 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Oleh karena itu upaya penurunan AKI serta peningkatan derajat kesehatan ibu merupakan salah satu prioritas utama dalam penanganan bidang kesehatan.
2
Salah satu upaya pemerintah dalam mengendalikan laju pertumbuhan penduduk adalah dengan melaksanakan program keluarga berencana (KB) bagi Pasangan Usia Subur (PUS). Berdasarkan laporan pencapaian program KB, peserta KB baru secara nasional sampai dengan bulan Agustus 2013 sebanyak 5.547.543 peserta. Apabila dilihat per kontrasepsi maka persentasenya adalah sebagai berikut: 348.134 peserta IUD (7.8 persen), 85.137 peserta MOW (1.5 persen), 475.463 peserta implant (8.5 persen), 2.748.777 peserta suntikan (49.5 persen), 1.458.464 peserta pil (26.2 persen), 9.375 peserta MOP (0.2) persen, dan 330.303 peserta kondom (5.9 persen). Mayoritas peserta KB baru bulan Agustus 2013, didominasi oleh peserta KB yang menggunakan Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (Non MKJP), yaitu sebesat 81.7 persen dari seluruh peserta KB baru. Sedangkan peserta KB baru yang menggunakan metode jangka panjang seperti IUD, MOW, MOP dan implant hanya sebesar 18.2 persen (BKKBN 2013). Di Jawa Barat menurut BKKBN (2013) jumlah peserta KB pasca persalinan atau pasca keguguran menurut metode kontrasepsi Agustus tahun 2013 sebanyak 152.673, dengan IUD 24.520 (16.0 persen), MOW 3.319 (2.1 persen), MOP 132 (0.09 persen) kondom 1.830 (1.2 persen), implant 9.880 (6.4 persen), suntikan 81.933 (53.6 persen), dan pil 31.059 (20.3 persen). Selain mengendalikan jumlah penduduk, program KB juga bermanfaat untuk mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015 seperti yang tercantum dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2015 indikator 5b yaitu meningkatkan pemakaian kontrasepsi cara modern, meningkatkan Contraceptive Prevalence Rate (CPR) menjadi 65.0 persen dan menurunkan Unmet Need hingga 5.0 persen pada tahun 2015. Begitu juga dengan target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2010-2014 antara lain tentang meningkatkan pencapaian CPR menjadi 65.0 persen, termasuk peningkatan peserta aktif metode kontrasepsi jangka panjang (MJKP) sebesar 25.9 persen dan pencapaian perserta baru MJKP sebesar 12.9 persen. Sehubungan dengan hal tersebut, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) beberapa tahun ini memprioritaskan peningkatan kesertaan KB jangka panjang (BKKBN 2011). Pencpaaian poin ke-5 pada MDGs 2015 menemukan beberapa hambatan utnuk mencapai target pada tahun 2015, misalnya pada angka unmet need. Menurut cara perhitungan baru SDKI 2012, 11.0 persen wanita berstatus kawin di Indonesia tidak terpenuhi kebutuhan pelayanan KB. Persentase ini jauh dari targert MDG’s yaitu 5.0 persen untuk unmet need di Indonesia. Tujuan dari program keluarga berencana adalah untuk membangun manusia Indonesia sebagai obyak dan subyek pembangunan melalui peningkatan kesejahteraan ibu, anak, dan keluarga. Selain itu program KB juga ditujukan untuk menurunkan angka kelahiran dengan menggunakan salah satu jenis kontrasepsi secara sukarela yang didasari keinginan dan tanggung jawab seluruh masyarakat (Bappeda 2014). Untuk menghindari risiko-risiko selama kehamilan dan persalinan, pasangan usia subur sebaiknya melahirkan pada periode usia 20-35 tahun. Jadi selama periode 20 sampai 35 tahun disarankan mempunyai 2 anak dengan jarak anak pertama dan kedua 7 sampai 8 tahun. Upaya ini dilakukan agar ibu dapat memberikan asi yang banyak dan lama sehingga dapat menghasilkan generasi yang berkualitas. Program KB Nasional terdiri atas 3 periode, yaitu: (1) Periode 1970 sampai 1980 yang berbasis management for the people dengan ciri pemerintah lebih banyak
3
berinisiatif, partisipasi masyarakat sangat rendah, kurang demokratis dan terkesan memaksa serta berorientasi pada target; (2) Periode 1980 sampai 1990 berbasis management with the people dengan ciri pemaksaan dikurangi, dimulainya program safari KB (1980), dimulainya program KB lingkaran biru (1958-1988) sehingga masyarakat bebas memilih kontrasepsi yang ingin dipakainya, meskipun masih tetap dipilihkan jenis kontrasepsinya, dan program KB lingkaran emas di mana peserta bebas memilih alat kontrasepsi yang akan digunakan asalkan metode atau alat itu sudah terdaftar di Departemen Kesehatan dan masyarakat mengeluarkan uang pribadi untuk menggunakan metode kontrasepsi; Tahun 1990 hingga sekarang di mana pelaksanaan program KB berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga selain dengan program KB juga disertai dengan usaha-usaha peningkatan pendapatan keluarga dengan tag line “keluarga berkualitas”. Berubahnya orientasasi program KB menjadi keluarga berkualitas dimana jumlah anak disesuaikan dnegan kemampuan keluarga, membuat paradigma masyarakat berubah. Apabila dirasa mampu, keluarga tersebut diperbolehkan untuk memilik anak lebih dari dua. Hal ini diperparah dengan berubahnya sistem pengelolaan Program Keluarga Berencana yang dilaksanakan oleh BKKBN. Dengan berakhirnya Pemerintahan Orde Baru dan mulai berdirinya Orde Reformasi banyak hal yang terjadi di Indonesia, banyak kebijakan-kebijakan baru yang dibuat. Kemudian tak lama pada tahun 1999 munculah undang-undang baru yang menjadi tonggak sejarah baru di Indonesia dengan lahirnya Undang-Undang menegenai Otonomi Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Kerakteristik pemerintahan yang semula bersifat sentralistik lambat tapi pasti sudah mulai berubah menjadi desentralisasi yang lebih terbuka dan memungkinkan tiaptiap daerah untuk dapat mengatur dan mengelola daerahnya sendiri secara lebih optimal menyesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki masing-masing daerah. Dengan Otonomi Daerah ini tiap-tiap daerah di Indonesia mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk dapat mengelola daerahnya masing-masing. Sebagai imbasnya tiap-tiap daerah harus mulai mandiri dan mengurangi ketergantungannya terhadap pemeritah pusat. Termasuk di antaranya adalah mulai diserahkannya kewajiban dan hak untuk mengelola organisasi dan institusi pemerintahan di daerah masing-masing termasuk juga dalam pengelolaan BKKBN di tiap daerah. Penyerahan kewenangan BKKBN ke daerah ditandai dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001, di mana BKKBN merupakan salah satu instansi pemerintah yang harus diserahkan kewenangannya kepada pemerintah daerah. Penyerahan kewenangan tesebut dilakukan secara bertahap dimulai tahun 2002 sampai dengan tahun 2003 dengan pertimbangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan tiap-tiap daerah. Akan tetapi dengan adanya otonomi daerah keberlangsungan BKKBN akan tergantung oleh pemerintah daerah apakah tetap menggunakan BKKBN ataukah meniadakannya. Namun, pada pelaksanaannya BKKBN daerah merasa bahwa pelaksanaan program KB adalah tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan menurut pemerintah pusat, kini penyelenggaraan BKKBN sudah diserahkan kepada masing-masing BKKBN pada tingkat daerah. Sehingga, penelitian tentang adopsi inovasi program keluarga berencana penting dilakukan. Pertama, secara empiris berkaitan dengan potensi dan tantangan yang dihadapi dalam berbagai program pembangunan nasional baik yang berkaitan dengan kepentingan praktis di lapangan maupun kebijakan mengenai program keluarga berencana. Program keluarga berencana sebagai suatu inovasi berpotensi
4
untuk menjadi strategi menekan angka kelahiran, melalui penggunaan beragam metode kotrasepsi. Kedua, secara konseptual berkaitan dengan perkembangan kajian dan teori tentang adopsi inovasi teknologi. Menguji secara empiris teori adopsi, menganalisis faktor-faktor yang paling menentukan ketika keputusan pada setiap fase adopsi inovasi program keluarga berencana. Penerapan suatu inovasi selain tergantung pada inovasi yang ditawarkan ditentukan oleh kesediaan adopter dalam mengadopsi metode tersebut. Dengan kata lain faktor kunci dalam adopsi suatu inovasi adalah adopter sebagai pengambil keputusan dan dalam pengambilan keputusan tersebut terdapat lima tahapan, yaitu tahap pengenalan, tahap persuasi, tahap keputusan, tahap implementasi, dan tahap konfirmasi (Rogers 1983). Berdasaran uraian tersebut maka perlu dikaji bagaimana keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi? Rumusan Masalah Keberhasilan proses pengambilan keputusan inovasi berhubungan dengan berbagai faktor. Rogers (2003) mendefinisikan pengambilan keputusan inovasi sebagai suatu proses yang mencakup suatu rangkaian penerimaan atau penolakan inovasi oleh unit pengambilan keputusan dan terjadi dalam lima tahap yaitu tahap pengenalan, tahap persuasi, tahap keputusan, tahap penerapan, dan tahap konfirmasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan tahap konfirmasi adopsi inovasi yaitu, karakteristik individu, persepsi terhadap karakteristik inovasi, saluran komunikasi, dan kondisi sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian Nasution (2012) didapatkan data bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan pemilihan alat kontrasepsi di Kecamatan Ngesrep Semarang. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Manuaba (1998) yang menyatakan bahwa di dalam menentukan pilihan pengunaan metode kontrasepsi pasangan memerlukan informasi yang benar dan tepat, sebab setiap metode kontrasepsi yang ada selalu memiliki kelebihan dan kekurangan yang mana akan menimbulkan suatu kerugian apabila tidak diinformasikan dengan baik. Selanjutnya, penelitian Susanti (2008) membagi faktor-faktor yang telah dijabarkan Rogers (2003) menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dijabarkan sebagai faktor yang melekat pada unit pengambilan keputusan inovasi, antara lain meliputi: umur, tingkat pendidikan, luas lahan, dan tingkat pendapatan. Faktor eksternal didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari luar unit pengambilan keputusan, meliputi: lingkungan ekonomi, lingkungan sosial, dan sifat inovasi. Berbeda halnya dengan penggolongan faktor pengaruh keputusan inovasi yang dilakukan oleh Rizka (2015), sifat atau karakteristik inovasi dijadikan faktor tersendiri. Penjelasan berikut mengantarkan pada pertanyaan penelitian yaitu: 1. Bagaimana tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru? 2. Bagaimana tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru? 3. Bagaimana keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru?
5
4. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru? 5. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru? 6. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru? Tujuan Penelitian Tujuan dilakukan penelitian adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu: 1. Menganalisis tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru. 2. Menganalisis tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru. 3. Menganalisis keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru. 4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru. 5. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru. 6. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru. Manfaat Penelitian Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai pihak, di antaranya ialah: 1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontraspesi. Selain itu penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai adopsi inovasi program keluarga berencana sehingga mampu memberikan kontribusi gambaran realitas di masyarakat sebagai pertimbangan implementasi program pembangunan. 2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan untuk menentukan arah kebijakan dan langkah strategis dalam upaya peningkatan proses adopsi metode kontrasepsi guna mendukung terwujudnya keluarga berkualitas. 3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta kesadaran kritis untuk berpartisipasi dalam program keluarga berencana.
6
7
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Pengertian Program Keluarga Berencana Dalam kamus Barat pada umumnya, Family Planning diatikan sebagai pembatasan kelahiran dan jarak antar anak. The American Heritage (2007) menyebutkan bahwa KB adalah suatu program untuk mengatur jumlah dan jarak anak dalam keluarga melalui penggunaan kontrasepsi atau metode pengaturan kelahiran lainnya (WHO 2011). Dalam konteks Indonesia, definis Family Planning dapat dilihat dalam Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Disebutkan bahwa Keluarga Berencana adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, serta peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai penjawaban visi dan misi Pemerintah untuk kurun waktu 2004-2009, menyebutkan Program KB Nasional merupakan rangkaian pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas sebagai langkah penting dalam mencapai pembangunan keberlanjutan. Pembangunan ini diarahkan sebagai upaya pengendalian kuantitas penduduk. Program Keluarga Berencana merupakan suatu program kebijakan pemerintah yang dilakukan dalam rangka menyikapi perkembangan pertambahan penduduk yang tidak terkendali. Program KB adalah program yang dijalankan dengan harapan akan mampu mengendalikan angka kelahiran dan mengatur jarak kehamilan seorang ibu yang nantinya akan berpengaruh positif terhadap masalahmasalah sosial yang dapat timbul karena banyaknya jumlah penduduk dengan kualitas yang rendah. Seperti terdapat dalam Undang-Undang RI Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, secara umum KB adalah upaya untuk mengatur kelahiran anak, jarak kelahiran, dan usia ideal melahirkan serta mengatur kehamilan. KB dilakukan melalui kegiatan promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi pasangan usia subur untuk dapat mewujudkan keluarga yang berkualitas. KB adalah daya dan upaya manusia untuk mengatur atau membatasi kelahiran, baik untuk sementara atau untuk selamanya. Upaya-upaya dalam KB ini dilakukan semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan jumlah anak yang tidak banyak serta jarak kelahiran yang ideal tentu akan membuat kehidupan keluarga mampu menciptakan manusiamanusia yang berkualitas. Usia ideal untuk perkawinan yang diharapkan dilakukan oleh masyarakat bertujuan agar masyarakat mempunyai cukup kesadaran dan kesiapan yang matang dalam perilakunya sehingga akan mampu berpikir secara tepat mengenai masa depan keluarga yang dibangun, meliputi jumlah anak dan jarak kelahiran yang ideal.
8
Tujuan Program Keluarga Berencana Program KB mempunyai maksud dan tujuan, yang secara umum untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, bangsa, dan negara dengan cara menurunkan angka kelahiran. Dalam dalam UU No. 52 Tahun 2009 pasal 21 ayat 2 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, disebutkan bahwa kebijakan program KB bertujuan untuk: 1. Mengatur kehamilan yang diinginkan. 2. Menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak. 3. Meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling dan pelayanan KB, dan kesehatan reproduksi. 4. Meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktek KB. 5. Mempromosikan penyusuan bayi sebagai upaya untuk menjarangkan kehamilan. Melalui KB seorang ibu akan mampu mengatur waktu yang tepat kapan ingin hamil, dengan begitu akan dapat mengurus anaknya dengan baik. Selain itu antara kehamilan pertama dengan kehamilan selanjutnya, ibu akan dapat memulihkan kondisi pasca melahirkan dan memberikan ASI yang merupakan makanan pertama dan utama bagi bayi yang baru dilahirkan dan diharapkan kondisi kesehatan ibu dan bayi akan meningkat sehingga dimungkinkan dapat menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Dengan menjarangkan kehamilan seorang ibu perlu didukung pula oleh partisipasi pria dalam ber-KB, tidak hanya terkonsentrasi pada perempuan. Oleh karena itu diperlukan adanya kemudahan akses informasi dan pelayanan KB ke seluruh warga masyarakat agar pengetahuan masyarakat mengenai KB meningkat dan akhirnya keikutsertaan masyarakat meningkat pula. Misi program KB sangat menekankan pentingnya upaya menghormati hak-hak reproduksi, sebagai upaya integral dalam meningkatkan kualitas keluarga. Hal tersebut dijabarkan ke dalam misi program KB, yaitu: 1. Memberdayakan masyarakat untuk membangun keluarga kecil berkualitas. 2. Menggalang kemitraan dalam meningkatkan kesejahteraan, kemandirian, dan ketahanan keluarga. 3. Meningkatkan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. 4. Meningkatkan promosi, perlindungan, dan upaya mewujudkan hak-hak reproduksi. 5. Meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender melalui program KB. 6. Mempersiapkan Sumber Daya Manusia berkualitas sejak pembuahan dalam kandungan sampai dengan lanjut usia (Saifudin 2003). Secara umum misi program KB adalah mengupayakan agar masyarakat secara sadar membentuk keluarga kecil yang berkualitas, bahagia dan sejahtera yang akan menjadi penentu masa depan kehidupan masyarakat melalui anak-anak yang dilahirkannya. Dalam pelaksanaannya, program KB nasional mempunyai target tiga dimensi, yaitu perluasan jangkauan, pembinaan, dan pelembagaanpembudayaan (BKKBN 1985). Ketiga hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Perluasan jangkauan, yang meliputi usaha untuk mengajak para peserta KB baru sebanyak-banyaknya sehingga akan mempunyai arti positif dalam pengendalian kelahiran. Pada dimensi ini dikembangkan pula institusi-
9
institusi baru, atau meningkatkan yang telah ada dan mengajaknya untuk ikut serta menjadi penanggung jawab program KB sebaik-baiknya. Sehingga dengan demikian akan dapat segera dicapai pemerataan program secara memadai. 2. Pembinaan, yang meliputi usaha untuk membangun kesadaran masyarakat agar lebih memantapkan penerimaan ide KB maupun keikutsertaan dalam pengelolaan program Keluarga Berencana. 3. Pelembagaan-pembudayaan, yang meliputi usaha untuk meningkatkan diterimanya Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera secara membudaya. Disini termasuk pula usaha untuk meningkatkan peranan masyarakat dan petugas pemerintah dalam ikut serta menggarap program KB dan kependudukan serta pembangunan lainnya yang mendukung diterimanya Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera. Melalui program KB diharapkan masyarakat dapat lebih terjamin dan sejahtera kehidupannya. Hal ini akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan oleh keluarga tersebut. Orang tua akan lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, tempat tinggal dan terutama pendidikan jika anaknya tidak terlalu banyak. Thomas Robert Malthus mengemukakan pendapatnya tentang hubungan antara pertambahan penduduk dengan persediaan pangan. Malthus berpendapat bahwa jika tidak ada pengekangan, kecenderungan pertambahan jumlah manusia akan lebih cepat dari pertambahan pangan (Rusli 2012). Perkembangan penduduk akan mengikuti deret ukur sedangkan perkembangan pangan mengikuti deret hitung. Teori dari Malthus ini memberi gambaran betapa menderitanya kehidupan manusia di dunia ini jika jumlah manusia tak terkendali. Untuk itu diperlukan adanya program KB sebagai pengendali kelahiran yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan keluarga, bangsa, dan negara dengan menurunkan angka kelahiran. Manfaat Program Keluarga Berencana Banyak manfaat yang dirasakan jika keluarga ikut KB, diantaranya untuk Ibu, untuk anak-anak yang dilahirkan, untuk anak-anak yang lain, untuk ayah, dan untuk seluruh keluarga. Dengan mengatur jumlah dan jarak kelahiran, ibu mendapat manfaat berupa perbaikan kesehatan badan karena tercegahnya kehamilan yang berulang kali dalam waktu yang terlalu pendek dan peningkatan kesadaran mental dan sosial yang dimungkinkan adanya waktu yang cukup dalam mengasuh anak– anak, untuk beristirahat dan menikmati waktu luang serta melakukan kegiatan – kegiatan lainnya. Manfaat untuk anak–anak yang dilahirkan, yaitu anak–anak yang akan dilahirkan dapat tumbuh secara wajar karena ibu yang mengandungnya dalam keadaan sehat dan sesudah lahir anak tersebut akan memperoleh perhatian, pemeliharaan dan makanan yang cukup karena kehadiran anak tersebut memang diinginkan dan direncanakan. Selain itu, anak–anak yang lain akan mendapat manfaat berupa kesempatan kepada mereka agar perkembangan fisiknya lebih baik karena setiap anak memperoleh makanan yang cukup dari sumber yang tersedia dalam keluarga dan perkembangan mental serta sosialnya lebih sempurna karena pemeliharaan yang lebih baik dan lebih banyak waktu yang diberikan oleh ibu untuk setiap anak serta perencanaan kesempatan pendidikan yang lebih baik karena
10
sumber–sumber pendapatan keluarga tidak habis untuk sekedar mempertahankan hidup semata. Memberikan kesempatan untuk ayah agar dapat memperbaiki kesejahteraan fisiknya dan kesehatan mental serta sosialnya karena kecemasan berkurang sehingga memiliki waktu luang lebih banyak untuk keluarganya. Manfaat yang dapat dirasakan untuk seluruh keluarga adalah kesehatan fisik mental dan sosial setiap anggota keluarga bergantung dari kesehatan seluruh keluarga serta setiap anggota keluarga mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk memperoleh pendidikan. Sejarah Perkembangan Program Keluarga Berencana Beberapa negara melaksanakan program KB dalam upaya mengurangi tingkat kelahiran dan mencegah ledakan penduduk. Di China, sebagai negara dengan penduduk terbanyak di dunia, program KB mulai benar-benar diterapkan tahun 1970-an. Program yang dicanangkan adalah: menunda perkawinan, menunda memunyai anak serta menjaga jarak kelahiran antar-anak. Slogannya adalah: satu anak itu baik, dua anak masih dapat diterima, dan tiga anak itu terlalu banyak. Dengan menerapkan program KB, diperkirakan dapat menekan 300 juta kelahiran antara tahun 1970-1994. Pada awalnya, masyarakat tradisional Cina lebih suka menikah muda, mempunyai anak pada usia muda serta memunyai banyak anak. Mereka biasanya mempunyai anak antara 5 sampai 6 orang. Dalam pandangan mereka, lebih banyak anak berarti suatu kebahagiaan yang besar. Meskipun secara formal disebutkan bahwa kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki di bidang politik, ekonomi, social, dan kehidupan keluarga, akan tetapi dalam kenyataannya beban kaum perempuan dalam program KB masih lebih berat. Tahun 1992, tingkat partisipasi KB wanita adalah 83.5 persen. Adapun sisanya adalah tingkat partisipasi laki-laki, yang berarti masih di bawah 20 persen. Alat kontrasepsi yang popular di kalangan laki-laki adalah vasektomi yang dipilih oleh sekitar 22.6 juta laki-laki. Kondisi ini tidak meningkat jauh. Partisipasi laki-laki dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang kompleks seperti sosial, ekonomi, politik, dan terutama budaya. Kunci keberhasilan pelaksanaan KB mereka adalah pada tiga hal yang utama yakni: pendidikan, pelayanan regular, dan penggunaan alat kontrasepsi. Di India, program KB dimulai tahun 1950-an, tetapi belum optimal. Akhir 1960-an, barulah dilakukan program besar-besaran untuk menurunkan kelahiran dari 41 per 1000 menjadi 20 sampai 25 per 1000 pada pertengahan tahun 1970-an. Kebijakan Kependudukan Nasional yang diadopsi tahun 1976 menyatakan perlunya pengintegrasian antara program KB dengan tingkat kesejahteraan penduduk. Pembuat kebijakan berasumsi bahwa ukuran/jumlah keluarga yang terlalu besar adalah bagian dari kemiskinan, sehingga harus dikikis dengan strategi terintegrasi. Untuk itu, pendidikan tentang kependudukan dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum sekolah. Di Malaysia, Family Planning dimulai sekitar 1950. Metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan adalah pil. Menurut survei tahun 1957, sebanyak 31.0 persen perempuan di kota dan dua persen di desa menggunakan alat tersebut. Saat ini, kebutuhannya adalah: melatih petugas kesehatan, menginformasikan dan memotivasi keluarga untuk menerima KB, melanjutkan program pendididikan,
11
mereformasi hukum anti aborsi, serta mengintegrasikan pelayanan KB dengan pelayanan kesehatan. Di Banglades yang pada tahun 2003 menjadi negara terpadat terbanyak ke7 di dunia (sekitar 135 juta jiwa) yang hampir setengahnya miskin, program KB mulai dilaksanakan tahun 2003 dengan nama The Health Nutrition and Population Sector Program (HNPSP). Kebijakan program ini adalah meningkatkan jumlah petugas lapangan dan klinik-klinik pembantu yang menyediakan layanan KB serta kunjungan rumah ke rumah.. Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa program KB merupakan salah satu solusi bagi negara-negara “besar” dalam upaya mengendalikan penduduk. Pelaksanaan program KB dilakukan oleh para petugas yang secara resmi diberi mandat untuk itu. Mereka adalah para pegawai negeri sipil baik yang berstatus sebagai penyuluh fungsional (yang disebut dengan Penyuluh KB/PKB) maupun bukan fungsional (yang disebut Petugas Lapangan Keluarga Berencana/PLKB). Usaha membatasi kelahiran (Birth Control) sebenarnya secara individual telah banyak dilakukan di Indonesia. Diantaranya yang paling banyak diketahui adalah cara yang banyak digunakan di kalangan masyarakat Jawa. Oleh karena penelitian mengenai hal ini banyak dilakukan di Jawa. Tetapi bukan berarti daerahdaerah di luar Jawa tidak melakukannya, misalnya seperti di Irian Jaya, Kalimantan Tengah dan sebagainya. Jamu-jamu untuk menjarangkan kehamilan juga banyak dikenal oleh orang, meskipun ada usaha untuk menyelidiki secara ilmiah ramuanramuan tradisional itu. Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu program pemerintah yang pada awalnya diatur berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, namun dalam perkembangannya telah disempurnakan dengan terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan kependudukan dan Pembangunan Keluarga, begitupula pada pengertian Keluarga Berencana sudah ditetapkan. Pengertian KB ternyata juga mengalami perubahan yaitu dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1992 pengertian KB adalah peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kehamilan, peningkatan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 disebutkan bahwa KB yaitu upaya untuk mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga berkualitas. Keluarga Berencana menurut WHO (World Health Organization) adalah tindakan yang membantu pasangan suami isteri untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan, mengatur interval di antara kelahiran, mengontrol waktu kelahiran, dan menentukan jumlah anak dalam keluarga. Tujuan umum program KB adalah membentuk keluarga kecil sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi dengan cara pengaturan kelahiran anak agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Di Indonesia adanya keluarga berencana masih baru dibandingkan dengan negara -negara barat. Di negara-negara barat jauh sebelum itu sudah ada usaha -
12
usaha untuk mencegah kelangsungan hidup seorang bayi/anak yang karena tidak diinginkan, atau pencegahan kelahiran/kehamilan karena alasan-alasan ekonomi, sosial dan lain-lain. Sejalan dengan perkembangan KB di luar negeri, di Indonesia telah banyak dilakukan usaha membatasi kelahiran secara tradisional dan bersifat individual. Dalam kondisi angka kematian bayi dan ibu yang melahirkan di Indonesia cukup tinggi, upaya mengatur kelahiran tersebut makin meluas terutama di kalangan dokter. Sejak tahun 1950-an para ahli kandungan berusaha mencegah angka kematian yang terlalu tinggi dengan merintis bagian kesehatan ibu dan anak (BKIA). Pada tahun 1957, didirikan Perkumpulan Keluarga Berencana yang dalam perkembangannya berkembang menjadi perkumpulan keluarga berencana indonesia (PKBI). Namun dalam kegiatan penerangan dan pelayanan masih dilakukan terbatas mengingat PKBI, sebagai satu-satunya organisasi sosial yang bergerak dalam bidang KB masih mendapat kesulitan dan hambatan, terutama KUHP nomor 283 yang melarang penyebarluasan gagasan keluarga berencana (KB). Pada tahun 1967 PKBI diakui sebagai badan hukum oleh Departemen Kehakiman. Menkesra pada tanggal 11 Oktober 1968 mengeluarkan Surat Keputusan No.35/KPTS/Kesra/X/1968 tentang Pembentukan Tim yang akan mengadakan persiapan bagi pembentukan Lembaga Keluarga Berencana. Pada tanggal 17 Oktober 1968 dibentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) dengan Surat Keputusan No. 36/KPTS/Kesra/X/1968. Lembaga ini statusnya adalah sebagai Lembaga Semi Pemerintah. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dibentuk berdasarkan Keppres No. 8 Tahun 1970. Dua tahun kemudian, pada tahun 1972 keluar Keppres No. 33 Tahun 1972 sebagai penyempurnaan Organisasi dan tata kerja BKKBN yang ada. Status badan ini berubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan langsung dibawah Presiden. Kedudukan BKKBN dalam Keppres No. 38 Tahun 1978 adalah sebagai lembaga pemerintah non-departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Tugas pokoknya adalah mempersiapkan kebijaksanaan umum dan mengkoordinasikan pelaksanaan program KB nasional dan kependudukan yang mendukungnya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah serta mengkoordinasikan penyelenggaraan pelaksanaan di lapangan. Pada masa Kabinet Pembangunan IV muncul pendekatan baru antara lain melalui pendekatan koordinasi aktif, penyelenggaraan KB oleh pemerintah dan masyarakat lebih disinkronkan pelaksanaannya melalui koordinasi aktif tersebut ditingkatkan menjadi koordinasi aktif dengan peran ganda, yaitu selain sebagai dinamisator juga sebagai fasilitator. Disamping itu, dikembangkan pula strategi pembagian wilayah guna mengimbangi laju kecepatan program. Pada periode ini secara resmi KB Mandiri mulai dicanangkan pada tanggal 28 Januari 1987 oleh Presiden Soeharto dalam acara penerimaan peserta KB Lestari di Taman Mini Indonesia Indah. Program KB Mandiri dipopulerkan dengan kampanye lingkaran biru (LIBI) yang bertujuan memperkenalkan tempat-tempat pelayanan dengan logo Lingkaran Biru KB. Pada tahun 2009, diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, BKKBN berubah dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Republik
13
Indonesia Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, di mana BKKBN kemudian direstrukturisasi menjadi badan kependudukan, bukan lagi badan koordinasi. Program KB di Indonesia telah diakui secara nasional dan internasional sebagai salah satu program yang telah berhasil menurunkan angka fertilitas secara nyata. Hasil surveiSDKI 2003, Total Fertility Rate (TFR) sebesar 2.4 menurun menjadi 2.3 pada SDKI 2007. Namun bukan berarti masalah kependudukan di Indonesia selesai, akan tetapi program tersebut diupayakan tetap dipertahankan. Salah satu masalah dalam pengelolaan program KB yaitu masih tingginya angka unmet need KB di Indonesia. Jumlah PUS yang ingin menunda kehamilan atau tidak menginginkan tambahan anak tetapi tidak ber-KB meningkat dari 8.6 persen SDKI 2003 menjadi 9.1 persen SDKI 2007 dan kembali meningkat menjadi 11.0 persen di tahun 2012, di mana diharapkan pada akhir tahun 2014 dapat diturunkan menjadi sebesar 5.0 persen. Penggunaan kontrasepsi KB di Indonesia yang berusia 15 sampai 49 tahun yang menggunakan metode suntikan 58.2 persen, pil KB 24.3 persen, IUD 7.2 persen, implant 4.1 persen, MOW 3.1 persen, MOP 1.0 persen, kondom 0.6 persen, Intraviganal Tissue 0.1 persen, dan metode tradisional 1.0 persen (BPS 2010). Di Jawa Barat penggunaan IUD juga masih rendah dibandingkan dengan suntik. Hal ini terlihat dari data, pemakaian kontrasepsi secara keseluruhan yaitu suntik 57.7 persen, pil 19.3 persen, implant 8.6 persen, IUD 6.4 persen, kondom 5.4 persen, MOW 2.0 persen, dan MOP 0.4 persen. Dengan data yang didapatkan, penggunaan KB kontrasepsi hormonal lebih tinggi disbanding metode kontrasepsi non hormonal dengan jumlah sebesar 86.7 persen (Depkes 2009). Jumlah PUS di Kabupaten Bogor tahun 2010 sebanyak 884.001 dan yang sudah menjadi akseptor adalah 735.434 orang (85.2 persen) yang terdiri dari 539.934 adalah peserta KB aktif dan 139.040 adalah peserta KB baru. Rincian pemakaian setiap kontrasepsi yaitu IUD 4.4 persen, MOP/MOW 2.1 persen, implant 2.8 persen, suntik 47.2 persen, dan pil 29.8 persen (Profil Dinkes Bogor 2010). Dan tahun 2011 dari 913.344 PUS, 816.546 (89.4 persen) yang sudah menjadi akseptor baru dan aktif yang terdiri dari IUD 4.4 persen, MOP/MOW 2.0 persen, implant 3.0 persen, kondom 0.7 persen, suntik 49.1 persen, pil 30.0 persen sedangkan untuk kontrasepsi vaginal tidak ada (Profil Dinkes Bogor 2011). Metode Kontrasepsi Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti ‘mencegah’ atau ‘melawan’ dan konsepsi yang berarti pertemuan antara sel telur yang matang dan sel sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma tersebut (Hartanto 2004). Pelayanan kontrasepsi merupakan salah satu komponen dalam pelayanan kependudukan atau keluarga berencana. Selain pelayanan kontrasepsi juga terdapat komponen pelayanan kependudukan atau keluarga berencana lainnya seperti komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), konseling, pelayanan infertilitas, pendidikan seks (sex education), konsultasi pra-perkawinan, dan konsultasi perkawinan, konsultasi genetik, tes keganasan, dan adopsi (Depkes 2005).
14
Pelaksanaan program KB diperlukan kesadaran dan kemauan dari masyarakat. Dan tugas pemerintah adalah mendorong serta mensosialisasikan semua hal mengenai KB. KB sendiri dilakukan dengan metode kontrasepsi, yakni metode yang dilakukan untuk mencegah terjadinya pembuahan yang akan menyebabkan terjadinya sebuah kehidupan baru (kehamilan). Tidak ada satupun metode kontrasepsi yang aman dan efektif bagi semua klien karena masing-masing mempunyai kesesuaian dan kecocokan individual bagu setiap klien. Namun secara umum persyaratan metode kontrasepsi ideal adalah: 1. Aman, artinya tidak akan menimbulkan komplikasi berat jika digunakan. 2. Berdaya guna, dalam arti jika digunakan sesuai aturan akan dapat mencegah kehamilan. Ada beberapa komponen dalam menentukan keefktifan dari suatu metode kontrasepsi diantaranya adalah keefektifan teoritis, keefektifan praktis, dan keefektifan biaya. Kefektifan teoritis (theoritical effectiveness) yaitu kemampuan dari suatu cara kontrasepsi untuk mengurangi terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, apabila cara tersebut digunakan terus menerus dan sesuai dengan petunjuk yang diberikan tanpa kelalaian. Keefektifan praktis (use effectiveness) adalah keefektifan yang terlihat dalam kenyataan di lapangan setelah pemakaian jumlah besar, meliputi segala sesuatu yang mempengaruhi pemakaian seperti kesalahan, pengehentian, kelalaian, dan lain-lain (Saefuddin 2006). 3. Dapat diterima, bukan hanya oleh klien melainkan juga oleh lingkungan budaya di masyarakat. Ada dua macam penerimaan terhadap kontrasepsi yakni penerimaan awal (initial acceptability) dan penerimaan lanjut (continued acceptability). Penerimaan awal tergantung pada bagaimana motivasi dan persuasi yang diberikan oleh petugas KB. Penerimaan lanjut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur, motivasi, budaya, sosial ekonomi, agama, sifat yang ada pada KB, dan faktor daerah (desa/kota). 4. Terjangkau harganya oleh masyarakat. Bila metode tersebut dihentikan penggunaannya, klien akan segera kembali kesuburannya, kecuali untuk kontrasepsi mantap. Metode kontrasepsi terbagi menjadi metode mekanik dan kimiawi juga meliputi cara-cara alami dan sterilisasi (Lucas et al. 1984). 1. Cara alamiah Senggama terputus, metode ini merupakan metode KB tradisional, di mana pria mengeluarkan alat kelaminnya dari vagina sebelum pria ejakulasi sehingga sperma tidak masuk ke dalam vagina dan kehamilan dapat dicegah. Pantang berkala, metode ini dilakukan dengan cara menghindari hubungan suami-istri selama masa subur istri. Hal ini berangkat dari pengetahuan siklus masa haid istri. Puasa penuh (Abstinence), hal ini dilakukan dengan cara tidak melakukan hubungan suami-istri sama sekali. Metode ini 100 persen efektif mencegah kehamilan. 2. Mengunakan alat bantu Kondom merupakan sebuah kantong yang terbuat dari karet tipis, vinil atau bahan alami (produksi hewani) yang penggunaannya dipasang pada alat kelamin pria sebelum melakukan hubungan suami istri. Kondom mencegah sperma masuk ke dalam vagina. Kondom hanya bisa dipakai satu kali lalu
15
dibuang. Secara teori efektivitas kondom sebesar 98 persen namun dalam prakteknya hanya mencapai 85 persen (Saefuddin 2006). Pil, merupakan kombinasi dari hormon-hormon sintetis. Pil mencegah indung telur untuk melepas sel-sel telur. Pil diminum oleh perempuan satu kali sehari selama 21 hari berturut-turut setiap bulan, dimulai lima hari setelah masa haid. Keragaman dari pil akan menyebabkan bahaya bila diminum saat hamil. Suntik, cara suntik merupakan penyuntikan kombinasi beberapa ramuan komposisi obat-obatan yang dilakukan oleh petugas medis kepada perempuan. Jarak antara suntikan pertama dengan suntikan berikutnya biasanya 12 minggu. Intra Uterine Device (IUD) atau spiral, alat ini kecil dan terbuat dari plastik stainless steel. Alat ini dimasukkan ke dalam rahim wanita oleh seorang dokter yang terlatih dan meninggalkannya di sana tanpa batas waktu tertentu. Umumnya alat ini mampu mencegah kehamilan hingga 5 sampai 8 tahun. Implant, metode ini dilakukan dengan penanaman suatu batang/silinder yang panjangnya tak lebih dari 4 cm dan berdiameter 2 mm. Susuk terbuat sari silastik atau batang putih lentur yang diisi dengan obat-obatan yang mencegah kehamilan. Alat ini ditanam di lengan bagian dalam dan dapat bekerja hingga 5 tahun. Diafragma, adalah kap berbentuk bulat cembung seperti mangkuk kecil, terbuat dari lateks (karet) yang diinsersikan ke dalam vagina sebelum berhubungan suami-istri dan menutup serviks. Alat ini mencegah sperma agar tidak dapat mencapai saluran alat reproduksi bagian atas. Penyemprotan, dilakukan dengan menyemprot vagina dengan suatu larutan kimia langsung, gunanya adalah untuk membunuh atau menghanyutkan sperma. Spermisida, spermisida adalah bahan kimia (biasanya non oksinol-9), digunakan untuk menonaktifkan atau membunuh sperma. Spermisida dikemas dalam bentuk aerosol (busa); tablet vaginal, suppositoria, atau dissolvable film; dan krim. Spermisida ini menyebabkan sel membrane sperma terpecah, memperlambat pergerakan sperma dan menurunkan kemampuan pembuahan sel telur. Sterilisasi, sterilisasi adalah suatu bentuk pencegahan kehamilan dengan cara operasi yang dilakukan oleh dokter dengan cara mengikat saluran indung telur agar pertemuan antara sel telur dengan sperma tidak membuahkan kehamilan. Sterilisasi pada wanita dinamakan tubektomi. Sterilisasi bagi pria dinamakan vasektomi, yaitu dengan cara pengikatan saluran air mani, sehingga air mani yang keluar itu tidak mengandung sperma.
Inovasi Rogers (2003) mengartikan inovasi sebagai ide-ide baru, praktik-praktik baru atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. Pengertian “baru” di sini, mengandung makna bukan sekedar “baru diketahui” oleh pikiran (cognitive), akan
16
tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap (attitude) dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan atau diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat. Soekartawi (1988) mendefinisikan inovasi sebagai suatu ide yang dipandang perlu oleh seseorang dengan latar belakang yang berbeda-beda, mempengaruhi penilaian obyektif apakah suatu ide yang dimaksud tergolong baru atau tidak. Oleh sebab itu kebaruan suatu inovasi sangat relatif sifatnya. Sifat baru tersebut kadang-kadang menentukan reaksi seseorang. Reaksi ini tentu saja berbeda-beda antara individu satu dengan yang lain. KB Pria di Indonesia bisa disebut sebagai suatu inovasi di mana pengertian inovasi adalah segala sesuatu ide, cara-cara ataupun objek yang dipersepsikan oleh seorang sebagai sesuatu yang baru (Rogers 1983). Baru dalam ide yang inovatif tidak berarti harus baru sama sekali kebaruan inovasi ini diukur secara subyektif menurut pandangan individu yang menangkapnya. Jika sesuatu ide dianggap baru oleh seseorang maka itu adalah inovasi (bagi orang itu). Leeuwis (2004) mengungkapkan bahwa keberhasilan inovasi tergantung bagaimana inovasi tersebut mampu menciptakan keselarasan atau tidak. Masuknya inovasi pada suatu komunitas merupakan awal dari sebuah perubahan dan perubahan tidak pernah datang sendirian. Proses penyebaran inovasi merupakan upaya yang disengaja untuk menciptakan efek. Penyebaran inovasi harus memperhatikan unsur teknis dan sosial. Jika inovasi memenuhi unsur teknis dan unsur sosial dalam sebuah masyarakat, maka keselarasan yang dimaksud sebelumnya akan tercipta. Inovasi “gagal” (tidak dapat diterima pada skala yang signifikan) sering disebabkan oleh keselarasan yang tidak seimbang. Hal tersebut disebabkan karena kebanyakan ilmuwan atau penemu inovasi hanya bekerja pada dimensi teknis tetapi lupa untuk membangun jaringan yang efektif. Banyak produkproduk yan memiliki dimensi teknis yang lebih unggul ternyata gagal diadopsi oleh masyarakat karena kurangnya dukungan jaringan, sedangkan produk dengan kualitas teknik lebih rendah mampu diterima masyarakat luas karena upaya membangun jaringan yang bagus. Oleh karena itu Leeuwis (2004) menyatakan bahwa tahap awal keberhasilan inovasi tergantung dari bagaimana memobilisasi ide-ide baru “di atas meja” dengan cara membangun hubungan dengan “orang luar” yang mungkin mempunyai pandangan lebih luas terhadap sasaran inovasi. Proses pengubahan sosial tersebut meliputi tiga tahap yang berurutan, yaitu: (1) Invensi, yaitu suatu proses di mana ide baru diciptakan dan dikembangkan; (2) Difusi, adalah proses di mana ide baru itu dikomunikasikan ke dalam sistem sosial dan (3) Konsekuensi, yaitu berbagai pengubahan yang terjadi dalam suatu sistem sosial sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi (Rogers 1995). Bila dilihat dari Tabel 1, semakin tinggi urutan jenjang kepentingan dari sifat inovasi maka semakin cepat pengadopsiannya (Rogers 1987). Inovasi tidak sekedar sebagai sesuatu yang baru tetapi lebih luas dari itu, yaitu sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu (Lionberger dan Gwin diacu dalam Mardikanto 2009). Inovasi adalah sesuatu ide, perilaku, produk, inofrmasi, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perubahan-perubahan di segala
17
aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan (Mardikanto 2009). Tabel 1. Urutuan jenjang kepentingan sifat inovasi yang berkaitan dengan kecepatan adopsi inovasi Urutan Jenjang Sifat Inovasi Kepentingan 1 Tingkat keuntungan (profitability) 2 Biaya yang diperlukan (cost of innovation) 3 Tingkat kerumitan/kesederhanan (complexity/simplicity) 4 Kesesuaian dengan lingkungan fisik (physical compatiability) 5 Kesesuaian dengan lingkungan budaya (cultrual compatiability) 6 Tingkat mudahnya dikomunikasikan (communicability) 7 Penghematan tenaga kerja dan waktu (saving of labour and time) 8 Dapat/tidaknya dipecah atau dibagi (divisibility) Bila dikaji secara menyeluruh tentang uraian inovasi tersebut, maka inovasi adalah suatu hal yang sangat subyektif penilaiannya, jadi sangat tergantung dari individu yang memandangnya. Mengenai hal yang meyangkut kebaruannya, baik berupa teknologi, ideologi, maupun tindakan. Setiap ide atau gagasan pernah menjadi inovasi dan setiap inovasi selalu mengalami perubahan seiring dengan perubahan zaman. Adopsi Inovasi Menurut Notoatmodjo (2003), adopsi adalah perilaku baru seseorang sesuai dengan latar belakang pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap rangsangan atau stimulus. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi telah melalui proses seperti ini, di mana didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran tidak akan berlangsung lama. Rogers dan Shoemaker (1971) mengatakan adopsi adalah proses mental, dalam mengambil keputusan untuk menerima atau menolak ide baru dan menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan dan penolakan ide baru tersebut. Proses adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis karena menyangkut proses pengambilan keputusan yang dipengaruhi banyak faktor. Soekartawi (1988) menjelaskan tentang proses pengambilan keputusan untuk melakukan adopsi inovasi dalam suatu sistem sosial dibutuhkan jangka waktu tertentu. Proses adopsi terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut mengadopsi dalam arti menerima, menerapkan sampai betul-betul menggunakan hal baru tersebut (Slamet 1978). Pendapat ini didukung
18
oleh Rogers (1983) yang menyebutkan bahwa adopsi merupakan keputusan untuk menggunakan secara penuh suatu ide baru sebagai cara yang terbaik. Mengadopsi inovasi ada keputusan manusiawi dan keputusan itu dapat didasarkan pada empat hal, yaitu (1) kemauan untuk melakukan sesuatu, (2) tahu cara yang akan dilakukan, (3) tahu cara melakukannya, dan (4) mempunyai sarana untuk melakukannya. Selama perkembangannya, dikenal dua teori atau dua model mengenai proses adopsi yaitu pandangan tradisional tentang proses adopsi dan proses pengambilan keputusan inovasi. Dikutip dari Mugniesyah (2006) pandangan tradisional yang dikenal dengan konsep adopsi pertama diterima sebagai dalil oleh The North Central Rural Sociology Subcomittee for The Study of Farm Practices dalam pertemuan ilmiah pada tahun 1955. Diungkapkan oleh Rogers (2003) bahwa peneliti yang fokus pada peneltian tentang difusi merumuskan lima tahapan kumulatif yang terjadi dalam proses adopsi. Tahap-tahap tersebut dijelaskan sebagai berikut: (1) tahap kesadaran (awareness), yakni seseorang mengetahui atau menyadari adanya ide atau inovasi baru; (2) tahap minat (intersest), yakni seseorang mulai menaruh minat terhadap inovasi ditandai dengan individu tersebut mulai mencari informasi lebih banyak mengenai inovasi itu; (3) tahap penilaian (evaluation), yaitu tahap ketika individu mulai bersikap untuk menyukai atau tidak inovasi yang ada. Menurut Mugniesyah (2006) tahap ini disebut juga sebagai tahap “mencoba secara mental”. Individu mencoba mendapatkan bukti-bukti internal; (dari dalam pikirannya sendiri) untuk membandingkan apakah dengan menerapkan inovasi tersebut berdampak positif pada situasi masa depannya. Jika evaluasi yang dilakukan positif maka ia akan meneruskan perkembangan perilakunya ke tahap selanjutnya; (4) tahap percobaan (trial), yakni seseorang menerapkan ide baru dalam skala kecil untuk menentukan kegunaannya, sesuai atau tidak dengan situasi dirinya untuk lebih meyakinkan penilaiannya; (5) tahap penerimaan (adoption), yakni seseorang menggunakan ide baru secara tetap dalam skala besar. Perkembangan kajian adopsi memunculkan kritikan terhadap model tradisional proses adopsi yang diungkapkan Rogers (2003). Kritikan tersebut adalah sebagai berikut. Belakangan diketahui bahwa konsep “proses adopsi” tersebut mengandung beberapa kelemahan, antara lain: (1) proses tersebut selalu diakhiri dengan keputusan mengadopsi, padahal kenyataannya mungkin saja diakhiri dengan penolakan, (2) kelima tahapan proses tersebut tidak selalu dilalui secara berurutan dan mungkin saja beberapa tahap proses tersebut terlewati, misalnya tahap percobaan. Penilaian biasanya juga tidak terjadi pada salah satu tahap saja tetapi terjadi pada keseluruhan proes, (3) proses tersebut jarang berakhir dengan adopsi. Biasanya proses berlanjut dengan mencari informasi pendukung untuk mengkonfirmasi atau menguatkan keputusan, atau individu bisa saja mengubah keputusannya dari yang awalnya mengadopsi menjadi menolak (a discontinuance). Catatan kaki pada buku Communication of Innovations edisi kedua tulisan Rogers dan Shoemaker (1971), dituliskan bahwa model empat tahap merupakan model perbaikan dari model tradisional “adopsi inovasi”. Model baru ini dapat menggambarkan kemungkinan terjadinya penolakan atau rejection terhadap suatu inovasi dan memungkinkan adanya peninjaun keputusan oleh individu yang akan menguatkan atau membalikkan keputusan yang telah dibuatnya. Secara konseptual model empat tahap ini berkaitan dengan konsep pengambilan keputusan, proses pembelajaran dan reduksi disonansi.
19
Bentuk kritik terhadap model lima tahap sebelumnya, Rogers dan Shoemaker (1971) merumuskan model baru proses adopsi yang hanya memuat empat tahapan dalam prosesnya yaitu tahap knowledge (pengenalan), persuasion (persuasi), decision (keputusan), dan confirmation (konfirmasi) yang kemudian dikenal dengan istilah proses pengambilan keputusan inovasi. Empat tahapan pengambilan keputusan inovasi yang diungkapkan Rogers dan Shoemaker (1971) dikoreksi oleh Rogers (2003) menjadi lima tahapan yaitu tahap knowledge (pengetahuan), persuasion (persuasi), decision (keputusan), implementation (penerapan), dan confirmation (konfirmasi). Kondisi sebelumny a: 1.Praktek sebelumny a 2.Merasa membutuh kan/masala h 3.Keinovati van 4.Norma sistem sosial
Knowledge
Persuasio
Decision
Implementatio
Confirmation
Terima terus Karakteristik unit pembuat keputusan: 1.Karakterist ik sosial ekonomi 2. Peubah personalitas 3. Perilaku Komunikasi
Karakteristik yang dirasakan penerima inovasi: 1.Keuntungan relatif 2.Kompatibilita s 3. Kompleksitas 4. Triabilitas 5.Observabilitas
Adopsi Berhenti
Tolak
Adopsi lambat Terus menolak
Gambar 1. Model dan tahapan dalam proses pengambilan keputusan inovasi (Rogers 1983) Berdasarkan Gambar 1, proses adpsi inovasi pengaruhi oleh saluran atau sumber informasi, kondisi awal sebelum masuknya inovasi, karakteristik dari unit pembuat keputusan, dan persepsi terhadap ciri inovasi itu sendiri. Pada model tersebut, terdapat empat tahap penting: Pertama pengetahuan inovasi itu sendiri dan gagasan apapun yang dipandang baru oleh khalayak sasaran. Pada tahap ini, melalui saluran komunikasi tertentu sasaran mengetahui bahwa ada sesuatu yang baru. Proses pengetahuan terjadi ketika seorang individu (unit pembuat keputusan) membuka diri terhadap keberadaan inovasi. Individu tersebut dikenalkan pada keberadaan inovasi dan memperoleh beberapa pengertian apa manfaat inovasi tersebut. Informasi yang diterima individu pada tahap ini bersifat umum. Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui media elektronik, media cetak, maupun komunikasi interpersonal di antara masyarakat. Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Selama tahap ini individu akan menetapkan “apa inovasi itu? bagaimana dan mengapa ia bekerja?”. Menurut Rogers (1983), pertanyaan ini akan membentuk tiga jenis pengetahuan (knowledge) : 1. Awareness-knowledge merupakan pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu untuk belajar lebih
20
banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka maka masyarakat tidak merasa memerlukan akan inovasi tersebut. Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media massa seperti radio, televisi, koran, atau majalah sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi. 2. How-to-knowledge, yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan penggunaan inovasi ini. 3. Principles-knowledge, yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja. Suatu inovasi dapat diterapkan tanpa pengetahuan ini, akan tetapi penyalahgunaan suatu inovasi akan mengakibatkan berhentinya inovasi tersebut. Peranan para agen perubahan dalam menghasilkan ketiga jenis pengetahuan tersebut kebanyakan memusatkan perhatian pada usaha untuk menciptakan awareness-knowledge yang sebenarnya untuk tujuan ini akan lebih efisien dengan menggunakan jalur media masa. Tahap kedua adalah saluran komunikasi tertentu (media) mempengaruhi (persuasi) sasaran untuk mengadopsinya. Persuasi terjadi ketika seorang indvidu membentuk sikap suka atau tidak suka terhadap inovasi. Pada tahap ini seseorang lebih terlibat secara psikologis dengan inovasi dan giat mencari keterangan atau informasi mengenai inovasi. Tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran calon pengguna. Seseorang akan mengukur keuntungan yang akan ia dapat jika mengadopsi inovasi tersebut secara personal. Berdasarkan evaluasi dan diskusi dengan orang lain, ia mulai cenderung untuk mengadopsi atau menolak inovasi tersebut. Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi, maka tahap ini berlangsung setelah knowledge stage dalam proses keputusan inovasi. Rogers menyatakan bahwa knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan mempengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi. Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Tahap pengambilan keputusan terjadi bila individu melakukan aktivitas-aktivitas yang akan membawanya membuat suatu pilihan untuk menolak atau menerima inovasi. Menurut Rogers adoption (menerima) berarti bahwa inovasi tersebut akan digunakan secara penuh, sedangkan menolak berarti “not to adopt an innovation”. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena
21
biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi ini. Rogers menyatakan ada dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan passive rejection. Activerejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi dan berfikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak inovasi tersebut. Passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berfikir untuk mengadopsi inovasi. Namun bukan berarti setelah melakukan pengambilan keputusan ini lantas menutup kemungkinan terdapat perubahan dalam pengadopsian. Tahap keempat adalah tahap implementasi di mana individu melaksakan apa yang telah diputuskannya. Pada tahap ini seseorang mulai menggunakan inovasi sambil mempelajari lebih lanjut tentang inovasi tersebut. Pada tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidakpastiannya akan terlibat dalam difusi. Ketidakpastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Maka pengguna akan memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena dalam sebuah inovasi jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan inovasi ini akan lebih banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda Tahap terakhir adalah tahap konfirmasi, di mana individu mencari penguatan atau pengukuhan terhadap keputusan inovasi yang telah dibuatnya, tetapi dia mungkin menolak keputusan yang telah dibuat sebelumnya bila dihadapkan pada informasi yang bertentangan dengan keputusan inovasi yang telah dilaksanakan. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu. Peranan media massa dalam proses ini sangatlah krusial karena karakteristik inovasi sebagaimana dipahami penerima mempengaruhi peluang dan tingkat adopsi. Pada dasarnya, proses adopsi memiliki selang waktu antar tahapan satu dengan yang lainnya yang tidak selalu sama (tergantung sifat inovasi, karakteristik sasaran, keadaan lingkungan (fisik maupun sosial) dan aktivitas/kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh (Ismilaili 2015). Hal ini yang menjadikan penelitian mengenai proses pengambilan keputusan inovasi agak rumit dilakukan karena untuk menggali informasi pada setiap tahapan yang sudah terlewati memerlukan waktu yang lama. Seperti dipaparkan Indraningsih (2011) dalam penelitiannya yang hanya membatasi penelitian proses pengambilan keputusan inovasi hanya pada satu tahap yaitu tahap keputusan inovasi dengan tujuan menghindari data yang tidak valid dan tidak reliabel. Difusi Inovasi Difusi merupakan proses menyebarnya inovasi melalui saluran tertentu di antara anggota sistem sosial atau dari satu sistem sosial satu ke sistem sosial yang
22
lain (Rogers 1983). Pendapat yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Soekartawi (1988), yang menyatakan bahwa difusi adalah proses sehingga ide baru disebarluaskan pada individu atau kelompok dalam sistem sosial tertentu. Proses difusi adalah proses menyebarnya inovasi dari seseorang yang telah mengadopsi kepada orang-orang lain dalam masyarakat. Kroeber dengan menggunakan pendekatan antropologi, yang berbeda dengan pendekatan evolusioner dan struktural fungsional, mengemukakan bahwa difusi itu cenderung menjelang tentang perubahan dalam suatu masyarakat dalam masyarakat yang lain. Difusi itu adalah suatu proses yang unsur-unsur atau sistemsistem budaya itu disebarkan. Salah satu perspektif komunikasi yang berbicara mengenai penyebaran hal baru adalah Diffusion of inovations Model (model difusi inovasi). Model difusi banyak digunakan dalam komunikasi pembangunan, terutama di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Kebudayaan mencakup semua yang dapat dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perikelakuan-perikelakuan yang normatif, yaitu mencakup segala caracara berfikir, merasakan, dan bertindak objek kebudayaan itu bisa berupa rumahrumah, jembatan-jembatan, alat-alat komunikasi, dan sebagainya. Dengan demikian yang dimaksud inovasi disini adalah kebudayaan yang mencakup berbagai pengetahuan baru. Penyebaran (difusi) budaya dalam suatu masyarakat itu pasti terjadi. Proses persebaran bervariasi tergantung karakteristik masyarakat, yang dimaksud budaya disini adalah inovasi. Inovasi atau sesuatu hal yang baru itu dapat berupa apa saja, apa itu peraturan, cara kerja, kebiasaan, makanan atau apa saja yang bisa dikatakan hal baru bagi suatu kelompok masyarakat. Proses penyebaran inovasi (difusi) mempunyai hubungan yang sangat erat dengan adopsi. Proses adopsi terjadi pada orang secara individual, sedang proses difusi terjadi di masyarakat. Penyebarluasan inovasi pada prinsipnya merupakan suatu transfer teknologi dari hasil-hasil penelitian kepada para pengguna (Lionberger dan Gwin 1991). Hasil-hasil penelitian, percobaan dan penemuan lain yang disampaikan kepada petani (pengguna akhir) tentu tidak semudah yang diharapkan, banyak kendala atau halangan yang harus dilalui. Rogers dan Shoemaker (1971) berpendapat, dalam riset difusi biasanya lebih memusatkan perhatian pada terjadinya perubahan tingkah laku yang tampak (over behavior), yaitu menerima atau menolak ide (budaya) baru daripada hanya sekedar pengetahuan dan sikap saja. Difusi adalah suatu tipe khusus komunikasi (Rogers dan Shoemaker 1971). Mengenai terjadinya hubungan antara dua budaya, Hall dan Whyte (1990) menyatakan bahwa hubungan antara dua budaya dijembatani oleh perilaku-perilaku komunikasi antara administrator yang mewakili suatu budaya dan orang-orang yang mewakili budaya lain. Dari pendapat diatas dihubungkan dengan proses difusi Inovasi, dapat dipahami bahwa difusi kebudayaan mengandung pengertian, tersebarnya suatu kebudayaan atau masuknya unsur budaya masyarakat ke dalam masyarakat lain melalui interaksi sosial. Bentuk kongkrit dari interaksi itu adalah komunikasi. Pada prakteknya, target sebagian besar usaha-usaha penyebaran (difusi) inovasi Menurut McQuail dan Windahl (1984) selalu adalah para petani dan anggota masyarakat pedesaan. Usaha ini pertama kali dilakukan pada tahun 1920-an dan 1930-an di Amerika Serikat dan kini menjadi gambaran bagi sebagian besar program
23
pembangunan di Negara Dunia Ketiga. Dalam perakteknya usaha ini tidak hanya berhubungan dengan masalah pertanian, tetapi juga dengan kesehatan, kehidupan sosial dan politik. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi dan Difusi Inovasi Proses adopsi adalah proses yang dimulai dari saat seorang sadar akan adanya sesuatu yang baru (inovasi) sampai menerima atau menolak inovasi tersebut. Dalam konteks ini “sadar” tidak sekedar bermakna sasaran tahu adanya inovasi baru, akan tetapi lebih kesadaran atas relevansi praktis untuk dipraktekan. Mencapai kesadaran hingga taraf ini merupakan, pemicu bagi sasaran untuk mengumpulkan informasi tentang inovasi itu, untuk membantu keputusan mereka atas apakah akan mencoba inovasi itu atau menolaknya. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pengambilan keputusan untuk menerima dan selanjutnya menerapkan atau menolak suatu inovasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang mempunyai hubungan dengan adopsi inovasi pada individu adalah faktor anteseden. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan faktor-faktor anteseden mempunyai hubungan dengan pengetahuan atau keputusan adopsi inovasi. Rogers dan Shoemaker (1971) mengungkapkan bahwa faktor anteseden terdiri dari variabel individu penerima inovasi dan variabel sistem sosial. Lionberger dan Gwin (1982) menyatakan bahwa faktor anteseden terdiri atas variabel personal dan situasional. Variabel personal adalah karaktersitik yang dimiliki individu sebagai hasil kombinasi keturunan dan pengalaman, sedangkan variabel situasional adalah variabel di luar diri individu. Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa variabel individu penerima inovasi meliputi karakteristik personal, sosial, dan lain-lain. Lionberger dan Gwin (1982) menjelaskan bahwa variabel personal bervariasi antar individu dan keragaman tersebut menyebabkan perbedaan pengetahuan dan adopsi inovasi. Rogers (2003) mengidentifikasi empat faktor yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan yaitu faktor kondisi sebelumnya, faktor karakteristik unit pengambil keputusan (karakteristik sosial-ekonomi, karakteristik pribadi dan perilaku komunikasi), faktor persepsi terhadap inovasi, dan saluran komunikasi. Berdasarkan hasil penelitian Handayani (2010) tentang faktor ekonomi mempengaruhi ibu memilih AKDR yaitu hampir semua ibu-ibu menyatakan bahwa biaya tidak menjadi masalah karena biaya gratis dan hanya sebagian kecil yang mengatakan memakai AKDR mengeluarkan biaya namun dirasa tidak mahal. Hal ini sesuai dengan pendapat Manuaba (1998) yaitu salah satu keuntungan memakai AKDR adalah kontrol medis yang ringan. Menurut Pendit (2006), faktor biaya adalah apakah suatu metode yang diinginkan membutuhkan biaya besar hanya satu kali atau serangkaian biaya ringan selama beberapa rangkaian. Penelitian Susanti (2008) membagi faktor-faktor yang telah dijabarkan Rogers (2003) menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dijabarkan sebagai faktor yang melekat pada unit pengambilan keputusan inovasi, antara lain meliputi: umur, tingkat pendidikan, luas lahan, dan tingkat pendapatan. Faktor eksternal didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari luar unit pengambilan keputusan, meliputi: lingkungan ekonomi, lingkungan sosial dan sifat inovasi. Berbeda halnya dengan penggolongan faktor pengaruh keputusan inovasi
24
yang dilakukan oleh Rizka (2015), sifat atau karakteristik inovasi dijadikan faktor tersendiri. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa variabel sistem sosial terdiri dari norma, toleransi dan lain-lain. Norma dan toleransi merupakan budaya suatu masyarakat (Mulyana dan Rakhmat 1990). Lionberger dan Gwin (1982) menyatakan bahwa variabel situasional meliputi keluarga individu, kelompok sosial, dan lain-lain. Variabel situasional bervariasi dari satu komunitas ke komunitas lain dan variabel tersebut menyebabkan perbedaan adopsi inovasi (Lionberger dan Gwin 1982). Keyakinan PUS pria berpengaruh terhadap peran sertanya untuk menjadi akseptor KB pria, karena walaupun pada dasarnya agama tidak melarang pemeluknya untuk ber-KB tetapi metode atau cara pelaksanaan KB tersebut seringkali terdapat pertentangan (Nasution 2012). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Putra (2009). Berdasarkan hasil penelitian Ekarini tahun 2008 tentang analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi pria dalam keluarga berencana di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali, menyatakan responden tidak mendukung terhadap KB dikarenakan menurut pernyataan mereka bahwa vasektomi/MOP dilarang agama. Berkaitan dengan koreksi yang dilakukan Rogers (1983) terhadap tahapan keputusan inovasi, dikemukakan pula beberapa faktor yang mempengaruhi proses keputusan inovasi, yaitu: 1. Kondisi awal sistem sosial, yang teridiri atas: (a) pengalaman sebelumnya, (b) kebutuhan yang dirasakan (permasalahan), (c) keinovatifan, dan (d) norma dari sistem sosial. 2. Karaktristik individu (pembuat keputusan) terdiri atas: (a) karakteristik sosial ekonomi, (b) variabel kepribadian, dan (c) perilaku komunikasi. 3. Saluran komunikasi yang digunakan. 4. Sifat inovasi. Adapun karakteristik sosial ekonomi anggota masyarakat yang lebih inovatif menurut Rogers dan Shoemaker (1971) adalah: (1) lebih berpendidikan; (2) mempunyai stsatus sosial yang lebih tinggi ditandai dengan pendapatan, tingkat kehidupan, kesehatan, prestise pekerjaan/jabatan dan sebagainya; (3) mempunyai tingkat mobilitas ke atas lebih besar; (4) mempunyai ladang lebih luas; (5) lebih berorientasi pada ekonomi komersil; (6) memiliki sifat lebih berkenaan terhadap kredit; dan (7) mempunyai pekerjaan yang lebih spesifik. Variabel kepribadian anggota masyarakat yang lebih inovatif adalah (1) memiliki empati lebih besar, (2) kurang dogmatis, (3) mempunyai kemampuan abstraksi lebih besar, (4) mempunyai kemampuan rasionalitas lebih besar, (5) mempunyai intelegensi yang lebih tinggi, (6) memiliki sikap lebih berkenan terhadap perubahan, (7) memiliki sikap mau mengambil resiko, memiliki sikap lebih berkenan terhadap pendidikan dan pengetahuan, (8) kurang percaya pada nasib, (9) motivasi untuk menigkatkan taraf hidup lebih tinggi, dan (10) asprirasi terhadap pendidikan dan pekerjaan lebih tinggi. Selanjutnya perilaku komunikasi anggota masyarakat yang lebih inovatif adalah: (1) partisipasi sosial lebih tinggi, (2) lebih sering mengadakan komunikasi interpersonal dengan anggota masyarakat lainnya, (3) lebih sering mengadakan hubungan denan orang asing di luar sistem sosial, (4) lebih sering mengadakan hubungan dengan agen pembaharu; (5) lebih sering bertatap dengan media massa;
25
(6) mencari lebih banyak informasi mengenai inovasi, (7) lebih tinggi tingkat kepemimpinannya, dan (8) menjadi anggota sistem yang bernorma lebih modern. Rogers dan Shoemakaer (1971), Slamet (1978), dan Soekartawi (1988), menyatakan bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan adopsi adalah: sifat-sifat inovasi, jenis keputusan inovasi, saluran komunikasi, ciri-ciri sistem sosial, kegiatan promosi oleh penyuluh, interaksi individual, dan kelompok, sumber informasi dan faktor diri ”adopter”. Berkaitan dengan ciri-ciri atau sifat inovasi, ada lima ciri/sifat inovasi yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi oleh sasarana yang dikemukaan oleh Rogers (1983). Kelima ciri tersebut adalah: (1) keuntungan relatif, (2) kompatibilitas, (3) kompleksitas, (4) triabilitas, dan (5) observabilitas. Keuntungan relatif merupakan tingkatan di mana suatu ide baru dianggap suatu yang lebih baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya. Tingkat keuntungan relatif dinyatakan dalam bentuk keuntungan ekonomis/finansial sedikitnya persyaratan kerja. Adaptor menilai keuntungan secara ekonomi bila menggunakan inovasi tersebut dibandingkan dengan teknologi yang dipakai sebelumnya. Suatu krisis menyebabkan keuntungan relatif suatu inovasi lebih menonjol dan karena itu mempengaruhi kecepatan adopsinya. Dari penyelidikan yang ada (Rogers dan Shoemaker 1971) menunjukan bahwa ada hubungan positif antara keuntungan relatif suatu inovasi menurut pengamatan masyarakat, semakin cepat inovasi itu diadopsi. Kompabilitas adalah sejauh mana suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai sosial,budaya, dan kepercayaan, gagasan yang ada dalam masyarakat gagasan yang telah diperkenalkan sebelumnya atau dengan kebutuhan yang dirasakan petani sangat penting, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan penerima. Kompabilitas inovasi dengan situasi klien berhubungan positif dengan tingkat pengadopsiannya, meskipun analisis statistik menunjunkan bahwa kompatibilitas inovasi relatif kurang penting dalam memprediksi kecepatan inovasi relatif kurang penting dalam memprediksi kecepatan inovasi dibandingkan dengan keuntungan relatif. Kompabilitas memberi jaminan lebih besar dan resiko lebih kecil bagi penerima dan membuat ide baru itu lebih berarti baginya. Suatu inovasi akan kompatibel apabila memiliki kesesuaian dengan: (1) nilai dan kepercayaan sosiokultural, (2) dengan ide-ide yang telah diperkenalkan lebih dulu, dan (3) dengan kebutuhan klien terhadap inovasi (Rogers 1995). Adopsi inovasi pada suatu masyarakat dipengaruhi efisiensi teknis dan nilai sosial inovasi tersebut, sehingga suatu inovasi yang terbukti efisien secara teknis belum tentu diadopsi oleh masyarakat, karena masih ada pertimbangan nilai sosial. Kompleksitas adalah tingkat di mana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti atau digunakan. Suatu ide baru mungkin digolongan ke dalam kontinium rumit-sederhana. Suatu inovasi tertentu begitu mudah dapat dipahami oleh penerima tertentu, sedangkan orang lain tidak. Inovasi sering gagal karena tidak diimplementasikan dengan tepat. Banyak di antaranya yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan mendalam. Misalnya, mungkin saja perlu untuk mengitrodusikan beberapa inovasi sederhana, tetapi banyak dan saling berkaitan. Jika dilihat satu per satu sebenernya sederhana, tetapi hubungan antara inovasi itu, bisa jadi sangat sulit dipahami. Kerumitan suatu inovasi menurut pengamatan sasaran berhubungan negatif dengan kecepatan adopsinya. Inovasi yang cukup rumit untuk diterapkan akan
26
mempengaruhi kecepatan proses adopsi inovasi. Semakin mudah teknologi baru tersebut untuk dipraktekan, maka semakin cepat pula diadopsi. Oleh karena itu, agar proses adopsi inovasi dapat berjalan lebih baik, maka penyajian inovasi tersebut harus lebih sederhana (Soekartawi 1988). Inovasi yang rumit akan sulit diadopsi (Jahi 1988). Keterampilan individu dalam mengatasi kesulitan suatu hal akan mempengaruhi kemauan individu menggunakan hal tersebut, sehingga individu yang memiliki keterampilan untuk mengatasi kompleksitas suatu inovasi cenderung mau mengadopsi inovasi tersebut dibandingkan individu yang tidak memiliki keterampilan tersebut (Soemanto 1990). Triabilitas adalah suatu tingkat di mana suatu inovasi dapat dicoba pada skala kecil. Dapat dicobanya suatu inovasi menurut anggapan sasaran berhubungan positif dengan kecepatan adopsinya. Suatu inovasi yang dapat dicoba akan memperkecil resiko bagi adopter. Ide baru yang dapat dicoba biasanya diadopsi lebih cepat daripada inovasi yang tidak dapat dicoba lebih dulu. Suatu inovasi yang dapat dicoba akan memperkecil resiko bagi adopter. Beberapa inovasi tertentu mungkin lebih sulit untuk dicoba terlebih dahulu daripada inovasi lain. Walaupun tidak banyak bukti penelitian, dapat disimpulkan bahwa dapat dicobanya suatu inovasi menurut anggapan sistem sosial berhubungan positif dengan kecepatan adospinya (Rogers 1995). Observabilitas adalah tingkat di mana hasil-hasil suatu inovasi dapat dilihat dan dikomunikasikan kepada orang lain menurut anggapan sistem sosial berhubungan positif dengan kecepatan aodpsinya (Rogers 1995). Observabilitas suatu inovasi menurut anggapan sasaran berhubungan positif dengan kecepatan adopsinya. Serupa dengan keuntungan relatif, kompatibilitas dan traibilitas, keteramatan juga berkorelasi positif dengan tingkat adopsi dari suatu inovasi. Secara ringkas, Rogers (2003) berpendapat bahwa inovasi relatif menawarkan keuntungan lebih, kompatibilitas, kesederhanaan, trailabiltas dan keteramatan akan diadopsi lebih cepat daripada inovasi lainnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif, kesesuaian, kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi. Kelima variabel tersebut sangat berpengaruh terhadap kecepatan adopsi inovasi baik pengadopsian secara individu maupun secara kelompok, variabel-variabel tersebut akan saling mempengaruhi dan berkaitan dalam mempercepat terjadinya adopsi. Bila kelima variabel tersebut dilaksanakan secara tepat situasi dan kondisi masyarakat maka selayaknyalah suatu inovasi akan cepat teradopsi oleh masyarakat tersebut. Jangka waktu adopsi inovasi dapat dibedakan antara makro dan mikro. Jangka waktu yang makro menyangkut tahap-tahap perubahan sosial dan jangka waktu mikro menyangkut kecepatan individu untuk menanggapi adanya suatu inovasi. Bila suatu inovasi mempunyai validitas yang tinggi, kemanfaatan besar, tidak kompleks dan kompatibel maka relatif akan sangat mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi inovasi tersebut, terutama pada jangka waktu yang mikro. Dikatakan pula oleh Rogers (1983) bahwa dalam suatu sistem sosial, tidak semua orang mengadopsi suatu inovasi secara bersamaan, melainkan dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Berdasarkan perbedaan kecepatan pengadopsian tersebut, pengadopsian diklasifikasikan menjadi lima kategori, yaitu: inovator (innovator),
27
pelopor (early adopter), pengikut dini (early majority), pengikut akhir (late majority) dan kelompok lamban/kolot (laggard). Inovator adalah seorang adopter yang langsung mencoba menerapkan inovasi sebelum adopter lainnya mencoba bahkan sebelum penyuluh merekomendasikannya, umumnya adalah seseorang yang tergolong muda dengan sumber keuangan yang cukup. Pelopor adalah adopter yang mencoba menerapkan inovasi setelah mengamati dan berusaha menyebarkannya kepada orang lain. Pengikut dini adalah adopter yang mencoba menerapkan inovasi setelah mempertimbangkan berulang kali dan melihat tokoh sudah menerapkannya. Pengikut akhir adalah adopter yang mau mencoba menerapkan inovasi bila telah melihat sebagian besar menerapkannya dan berhasil atau menerapkannya karena segan dengan teman. Petani kolot adalah petani yang menolak atau menentang inovasi. Saluran komunikasi berkaitan dengan inovasi yang dikomunikasikan secara interpersonal akan lebih cepat diadopsinya daripada yang disalurkan melalui media massa. Ciri-ciri sistem sosial, masyarakat yang modern akan lebih cepet mengadopsi inovasi daripada masyarakat tradisional. Jika suatu inovasi masuk ke dalam sistem sosial tertentu, biasanya akan terdapat bermacam persepsiatau pandangan terhadap inovasi tersebut. Orang yang mempunyai persepsi yang positif terhadap inovasi cenderung untuk menerapkan daripada orang yang mempunyai persepsi negatif terhadap inovasi tersebut. Lingkungan pergaulan juga memiliki hubungan erat dengan pengadopsian suatu metode baru oleh seseorang. Orang yang mempunyai lingkungan pergaulan yang luas (kosmopolit) dan karenanya mempunyai kesempatan memperoleh informasi lebih dahulu dan lebih lengkap, cenderung lebih responsif terhadap inovasi dibanding orang yang hanya mempunya lingkungan terbatas (lokalit) (Soekartawi 1988). Kegiatan promosi oleh penyuluh, semakin giat penyuluh mempromosikan inovasi yang disuluhkannya maka akan semakin mempercepat adopsi inovasi yang bersangkutan. Analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) KB dengan pemilihan MKJP (Mahmudah 2015). Dengan melakukan KIE berarti bidan membantu calon akseptor untuk dapat menentukan jenis kontrasepsi yang terbaik untuk dirinya dan membantu akseptor KB dalam menggunakan kontrasepsinya lebih lama dan meningkatkan keberhasilan KB (Kusumastuti 2013). Pada tahap mengetahui dan berminat, umumnya saluran komunikasi yang digunakan adaah media massa karena sangat efektif untuk menjangkau sasaran dalam jumlah banyak. Selain itu, penyuluh, pemimpin formal, dan informal biasa juga digunakan pada tahap ini. Pada tahap keputusan, saluran komunikasi yang lazim digunakan adalah saluran antarpribadi, seperti: penyuluh, pemimpin formal dan informal serta orang-orang terpercaya lainnya. Pada tahap pelaksanaan dan konfirmasi, saluran komunikasi yang lazim digunakan adalah saluran antarpribadi, seperti: penyuluh, pemimpin informal, dan orang-orang terpercaya lainnya. Rogers (1983) mengatakan bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi kecepatan adopsi antara lain persepsinya terhadap sifat-sifat inovasi dan salurakan komunikasi yang digunakan. Pendapat ini diperkuat oleh Van den Ban dan Hawkins (1999) serta Roling (1986) bahwa peubah-peubah yang berhubungan positif dengan tingkat adopsi antara lain: (a) peubah sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan,
28
tingkat melek huruf, status sosial, dan luas usahatani; (b) peubah personal seperti rasionalitas, sikap terhadap perubahan dan sikap terhadap ilmu pengetahuan; dan (c) peubah komunikasi seperti partisipasi sosial, kekosmopolitan, hubungan dengan agen pembaharu, keterdedahan terhadap media massa, keterdedahan terhadap media interpersonal, aktivitas mencati informasi, dan tingkat kepemimpinan. Soekartawi (1988), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses difusi inovasi adalah faktor sosial, kebudyaan, personal, dan situasional. Faktor sosial mencakup keluarga, tetangga, klik sosial, kelompok referensi, kelompok formal yang diikuti dan status sosialnya. Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa individu yang memiliki status sosial tinggi cenderung cepat mengetahui inovasi. Jahi (1988) juga mengungkapkan bahwa individu yang memiliki status sosial yang lebih tinggi cenderung lebih mengetahui inovasi atau mengadopsi inovasi, karena individu tersebut memiliki banyak sumber daya, sehingga individu tersebut dapat memiliki hubungan dan sumber informasi yang luas. Faktor kebudayaan mencakup adat budaya masyarakat setempat, seperti keterbukaan terhadap orang luar, kepercayaan dan yang terkait dengan sikap masyarakat terhadap teknologi baru dan sebagainya. Adopsi inovasi mempunyai hubungan dengan budaya suatu masyarakat, karena masyarakat yang akan mengadopsi suatu inovasi apabila sesuai dengan nilai-nilai yang ada (Sosrodihardjo 1987). Suatu inovasi yang melanggar nilai-nilai primer pada suatu masyarakat cenderung ditolak untuk menghindari resiko. Nilai-nilai primer meliputi kepercayaan, harga diri, dan agama sedangkan nilai-nilai sekunder meliputi hal-hal yang bersifat praktis, seperti pola tanam dan pola makan. Berdasarkan hasil penelitian, budaya (agama islam) mempunyai hubungan dengan pemilihan alat kontraspsi hormonal. Islam menganjurkan umatnya untuk memiliki keturunan yang sangat banyak tapi juga harus mengacu pada pencapaian kualitas anak yang bermutu. Islam mengatakan bahwa hukum KB bisa haram apabila bertujuan untuk membatasi kelahiran karena di Islam tidak ada pembatasan kelahiran. Tapi hukum menggunakan KB bisa menjadi mubah apabila dapat membahayakan kondisi ibu (Angio 2011). Ada hubungan antara budaya dengan pemilihan MKJP (Mahmudah 2015). Nilai agama merupakan bagian penting dari nilai budaya kelompok yang memiliki satu agama dominan. Nilai agama bila dikaitkan dengan budaya manapun dapat mempengaruhi banyak aspek kehidupan, salah satunya keluarga berencana. KB bukan hanya masalah demografi dan klinis, tetapi juga mempunyai dimensi sosial budaya dan agama, khususnya perubahan sistem nilai dan norma masyarakat (Kusumaningrum 2009). Namun, berdasarkan hasil penelitian yang menunjukan bahwa ada hubungan antara keyakinan dengan penggunaan alat KB (Kustriyanti 2013) penggunaan alat kontrsepsi sering bertentangan dengan faktor agama, sebab ada sebagian agama yang jelas-jelas melarang untuk menggunakan alat kontrasepsi tertentu. Tetapi ada sebagian agama yang membolehkan dalam penggunaan metode kontrasepsi dengan alasan untuk meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat. Faktor personal mencakup: (1) umur, orang yang lebih tua cenderung kurang responsif terhadap ide-ide baru; dan (2) pendidikan, dapat menciptakan dorongan mental untuk menerima inovasi yang menguntungkan dan ciri-ciri psikologis, sifat orang yang kaku akan lebih sulit menerima inovasi.
29
Hasil penelitian Preputri (2014) dan Natalia (2014) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara umur dengan pemilihan alat kontrasepsi. Hal ini juga disebabkan karena pemilihan alat kontrasepsi pada responden bukan karena faktor umur, namun dikarenakan responden dalam penelitian ini memilih alat kontrsepsi berdasarkan kenyamanan dan rasa aman terhadap alat kontrasepsi tersebut.Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugiarti (2012) di Kelurahan Cipari Kota Tasikmalaya, Yusuf (2001) dan Musdalifah (2013) yang menyatakan ada hubungan antara umur dengan pemilihan jenis kontrasepsi pada WUS. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Padmowihardjo (1994) mengatakan usia bukan merupakan faktor psikologis, tetapi sesuatu yang diakibatkan oleh usia adalah faktor fisiologis. Usia mempengaruhi kecepatan perubahan perilaku, karena usia akan mempengaruhi kemampuan fisik dan kemampuan fikir. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan usia. Faktor pertama adalah mekanisme belajar dan kematangan otak, organ-organ sensual, dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar lainnya. Orang yang lebih tua cenderung kurang responsif terhadap ide-ide baru. Bird (1989) mengatakan bahwa seseorang yang muda usia mungkin memiliki pengalaman dan pendidikan kurang, tetapi memiliki energi atau semangat untuk mencoba usahanya; sedangkan orang yang sudah berumur memiliki pengalaman dan pendidikan lebih tinggi sehingga menentukan keberhasilan dalam usahanya. Hal ini sesuai dengan teori dan hasil penelitian yang menyatakan bahwa usia akan mempengaruhi seseorang dalam pemilihan metode KB karena semakin bertambahnya usia maka semakin bertambahnya kedewasaan, kematangan berpikir dan bertindak sehingga lebih mudah dalam mendapatkan informasi baru serta mendapatkan pengalaman (Indrayani 2013). Lamanya mengikuti pendidikan formal, dilengkapi pendidikan nonformal, dan terlebih pendidikan khusus menambah pengalaman dan kedewasaan berpikir seseorang. Pendidikan memiliki tujuan menciptakan manusia-manusia yang 25 berkualitas, termasuk dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan hasil penelitian (Karningsih, Hamidah, Fratidhina 2014), adanya hubungan tingkat pendidikan dengan pemilihan metode kontrasepsi. Hal ini sesuai dengan Notoatmodjo (2010), yang mengatakan bahwa semakin tingggi tingkat pendidikan individu maka semakin banyak bahan atau sumber informasi yang diperoleh untuk mencapai perubahan perilaku dari penggunaan metode kontrasepsi jangka pendek menjadi berubah pilihan ke metode kontrasepsi jangka panjang. Penelitian lain juga mengatakan hal yang sama, bahwa ada hubungan yang sangat bermakna antara tingkat pendidikan dengan pemilihan metode kontrasepsi. Menurut Widyastuti (2009) bahwa tingkat pendidikan responden yang tinggi, lebih banyak memilih metode kontrasepsi jangka panjang, hal ini terjadi karena banyak informasi yang mudah dipahami oleh responden tentang metode kontrasepsi baik melalui pendidikan kesehatan dari petugas kesehatan maupun dari sumber informasi melalui media cetak maupun elektronik. Tingkat pendidikan responden yang rendah mengakibatkan kurangnya pengetahuan yang dimiliki individu. Jadi pendidikan menjadi urutan pertama dalam menentukan tingkat keinovatifan seseorang (Rogers & Shoemaker 1971) dan seseorang yang berpendidikan tinggi lebih mudah untuk menerima informasi dan berkemampuan
30
menganalisis masalah yang dihadapinya (Maryani 1995). Maka penyuluhan merupakan strategi tepat bagi pendidikan orang dewasa. Faktor situasional mencakup: (1) pendapatan usahatani, pendapatan yang tinggi ada hubungannya dengan tingkat adopsi dan difusi inovasi; (2) ukuran usahatani, berhubungan positif dengan difusi inovasi; (3) status kepemilikian lahan. Kepemilikikan lahan yang lebih leuasa membuat keputusan utnuk mengadopsi sesuatu; (4) prestise masyarakat, kedudukan seseorang dalam masyarakat berhubungan positif dengan adopsi dan difusi inovasi; dan (5) sumber-sumber informasi, jumlah sumber informasi yang digunakan berhubungan positif dengan tingkat adopsi dan difusi inovasi. Tingkat keinovatifan yang dimaksud mengacu pada konsep innovationdecision periode yang diungkapkan oleh Rogers (2003) dan definisi dalambeberapa penelitian (Marwandana 2014; Sumarno 2010), tingkat keinovatifandiartikan sebagai selang waktu yang dibutuhkan unit pengambil keputusan darimengenal inovasi sampai memutuskan untuk mengadopsi inovasi tersebut. Kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat keinovatifan petani berhubungandengan tahap pengambilan keputusan inovasi. Menurut Bertrand (1980) seperti dikutip Nazilah (2012) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kontrsepsi adalah faktor sosiodemografi, faktor sosio-psikologi, dan faktor yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Faktor sosio-demografi yang berpengaruh adalah pendidikan, pendapatan, pekerjaan, umur, paritas, suku, dan agama. Penggunaan kontrasepsi lebih banyak pada wanita yang berumur 20-30 tahun dengan jumlah anak lebih dari 2 orang. Penerimaan keluarga berencana lebih banyak pada mereka yang memiliki standar hidup yang lebih tinggi. Faktor sosio-psikologi yang penting adalah ukuran anak ideal, pentingnya nilai anak laki, sikap terhadap keluarga berencana, komunikasi suami istri, dan persepsi terhadap kematian anak. Faktor yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan adalah keterlibatan dalam yang berhubungan dengan keluarga berencana, pengetahuan tentang sumber kontrasepsi, jarak kepusat pelayanan dan keterlibatan dengan media masa. Teori yang dikembangkan oleh Philips dan Morrison (1998) yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan yaitu faktor lingkungan yang melihat hubungan antara system layanan kesehatan dengan lingkungan luarnya dan karakteristik populasi yang mencakup karakteristik pendukung (predisposing factor), faktor pemungkin (enablingfactor), dan faktor kebutuhan (needs). Kedua faktor tersebut akan mempengaruhi pola perilaku kesehatan yang terdiri dari pilihan kesehatan perorangan dan penggunaan pelayanan kesehatan. Ketiga kelompok variabel yang saling berhubungan tersebut pada gilirannya akan memberikan dampak pada derajat kesehatan, yang digambarkan antara lain dengan tingkat morbiditas dan mortalitas (Kemenkes 2013). Woyanti (2005) mengatakan bahwa harga perolehan kontrasepsi, biaya hidup anak dan pendapat keluarga mempengaruhi pemilihan kontrasepsi wanita. Varney (2006) mengatakan bahwa faktor yang akan mempengaruhi pemilihan metode kontrasepsi adalah keinginan untuk mengendalikan kelahiran secara permanen atau sementara, keefektifan metode yang digunakan, pengaruh media, kemungkinan efek samping, dan pertanyaan yang mungkin muncul tentang keamanan suatu metode, kemungkinan manfaat kesehatan yang dapat diperoleh dari setiap metode, kemampuan suatu metode untuk mencegah penyakit (HIV,
31
penyakit menular seksual, kanker), perkiraan lamanya penggunaan metode kontrasepsi, biaya, frekuensi hubungan seksual, jumlah pasangan seksual, faktor seksual, faktor agama (apakah metode tertentu dikenakan sanksi oleh badan-badan keagamaan yang dianut individu atau pasangan, faktor psikologis (perasaan tentang setiap aspek yang terkait dengan metode tertentu misalnya pengalaman dimasa lalu yang tidak menguntungkan karena penggunaan metode tertentu), dan kemudahan menggunakan suatu metode tertentu. Maryatun (2009) mengatakan bahwa faktor-faktor pada ibu yang mempengaruhi pemakain metode kontrasepsi IUD adalah hubungan umur, paritas, persepsi ibu tetang demand/alasan KB, metode kontrasepsi IUD, dukungan suami dengan pemakaian metode kontrasepsi IUD. Faktor yang paling berpengaruh terhadap pemakain metode kontrasepsi IUD adalah persepsi ibu tentang metode kontrasepsi IUD khususnya pada persepsi ibu yang menyebutkan bahwa metode kontrasepsi IUD mengganggu aktivitas sehari-hari. Ibu yang umurnya lebih dari 35 tahun lebih cenderung memilih IUD dengan jumlah anak lebih dari 2 orang. Tedjo (2009) mengatakan bahwa ada hubungan keikutsertaan dalam jamkesmas dan dukungan pasangan dengan pemilihan jenis kontrasepsi yang digunakan pada keluarga miskin sedangkan variabel lain tidak berhubungan. Kusumaningrum (2009) mengatakan bahwa umur istri, jumlah anak, dan tingkat pendidikan mempengaruhi pemilihan jenis kontrasepsi yang digunakan pada PUS dan setelah dilakukan uji binary logistic diketahui bahwa umur istri merupakan faktor yang paling berpengaruh. Menurut Ali (2013) menyatakan bahwa pengetahuan, pendidikan, dan ketersedian alat kontrasepsi berhubungan dengan pemakaian alat KB pada PUS. Pengetahuan karena banyaknya informasi yang diperoleh oleh akseptor baik dari petugas kesehatan maupun dari media menjadikan pengetahuan akseptor menjadi lebih baik. Pendidikan berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi pada PUS karena rendahnya pendidikan PUS menjadikan kontrasepsi kurang diminati, hal ini berdampak pada banyaknya anak yang dilahirkan dengan jarak persalinan yang dekat. Faktor ketersediaan alat kontrasepsi juga mempengaruhi PUS untuk menggunakan kontrasepsi, kontrasepsi yang tersedia dengan lengkap dan mudah diperoleh dapat meningkatkan pemilihan kontrasepsi. Menurut Musdalifah et al. (2013) mengatakan bahwa umur, dukungan suami, efek samping dan pemberian informasi petugas KB berhubungan dengan pemilihan kontrasepsi hormonal. Umur merupakan salah satu faktor yang menentukan perilaku seseorang dalam menentukan pemakain kontrasepsi, semakin tua seseorang maka pemilihan kontrasepsi ke arah kontrasepsi yang mempunyai efektifitas lebih tinggi yaitu metode kontrasepsi jangka panjang. Dukungan suami berpengaruh besar terhadap pemilihan kontrasepsi yang dipakai istri, bila suami tidak setuju dengan kontrasepsi yang dipakai istrinya maka sedikit istri yang akan memakai alat kontrasepsi tersebut. Efek samping berhubungan dengan pemilihan kontrasepsi karena efek samping yang ditimbulkan oleh kontrasepsi tersebut membuat ibu tidak ingin menggunakannya lagi. Selain itu, pemberian informasi petugas KB berhubungan dengan pemilihan kontrasepsi, petugas kesehatan berperan dalam memberikan informasi, penyuluhan dan penjelasan tentang alat kontrasepsi. Calon akseptor yang masih ragu-ragu dalam pemakai alat kontrasepsi akhirnya memutuskan untuk memakai alat kontrasepsi tersebut atas saran dari petugas kesehatan.
32
Arliana et al. (2013) mengatakan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi hormonal yang menunjukkan kemaknaan secara statistik adalah umur ibu sekarang, umur melahirkan pertama, jumlah anak hidup, pendapatan keluarga, biaya alat kontrasepsi, dan dukungan suami. Klien yang diberikan dukungan oleh suami akan menggunakan kontrasepsi secara terus menerus sedangkan yang tidak mendapat dukungan suami akan sedikit menggunakan kontrasepsi. Sitopu (2012) mengatakan bahwa pengetahuan akseptor KB berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi. semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin baik pengetahuan seseorang tentang alat kontrasepsi, dan semakin rasional dalam menggunakan alat kontrasepsi. Tingginya tingkat pendidikan seseorang juga akan mendukung mempercepat penerimaan informasi KB pada pasangan usia subur. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan secara kualitatif oleh Handayani et al. (2012) bahwa masih banyak akseptor yang menentukan metode yang dipilih hanya berdasarkan informasi dari akseptor lain berdasarkan pengalaman masingmasing. Sebagian besar petugas kesehatan kurang melakukan konseling dan pemberian informasi yang menyebabkan kurangnya pengetahuan klien dalam memilih jenis KB. Namun masyarakat mentolerir pelayanan KB meskipun pelayanan KB belum seluruhnya memenuhi syarat pelayanan berkualitas. Informasi yang baik dari petugas membantu klien dalam memilih dan menentukan metode kontrasepsi yang dipakai. Informasi yang baik akan memberikan kepuasan klien yang berdampak pada penggunaan kontrasepsi yang lebih lama sehingga membantu keberhasilan KB.
33
Kerangka Pemikiran Program KB merupakan salah satu inovasi pemerintah yang bertujuan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk.Studi tentang peserta aktif program keluarga berencana dalam mengadopsi metode kontrasepsi merujuk pada teori pengambilan keputusan inovasi (Rogers 1995), di mana tindakan peserta aktif program keluarga berencana sebagai konsekuensi atas keputusan yang telah diambilnya dikategorikan menjadi: (1) mengadopsi atau menerapkan metode kontrasepsi dan (2) tidak mengadopsi atau menolak metode kontrasepsi. Metode kontraspesi dapat dikatakan sebagai suatu inovasi, yaitu sesuatu yang baru bagi masyarakat. Pengertian baru di sini bisa benar-benar baru atau cara-cara lama yang mengalami pembaharuan. Penerapan suatu inovasi selain tergantung pada inovasi yang ditawarkan ditentukan oleh kesediaan adopter dalam mengadopsi inovasi tersebut. Keputusan pasangan usia subur untuk menerapkan atau tidak menerapkan dipahami sebagai tindakan rasional berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Analisis proses menerapkan metode kontrasepsi dan alasan-alasan menerapkan metode kontrasepsi atau menolak menerapkan metode kontrasepsi menjadi dasar pemahaman terhadap makna keputusan yang diambil oleh pasangan usia subur. Keberhasilan proses pengambilan keputusan inovasi berhubungan dengan berbagai faktor. Rogers (2003) mendefinisikan pengambilan keputusan inovasi sebagai suatu proses yang mencakup suatu rangkaian penerimaan atau penolakan inovasi oleh unit pengambilan keputusan dan terjadi dalam lima tahap yaitu tahap pengenalan, tahap persuasi, tahap keputusan, tahap penerapan, dan tahap konfirmasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan pengambilan keputusan pada tahap konfirmasi inovasi yaitu, karakteristik individu, karakteristik inovasi, saluran komunikasi dan kondisi sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian Nasution (2012) terdapat hubungan antara pengetahuan dengan pemilihan metode kontrasepsi di Kecamatan Ngesrep, Semarang. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Manuaba (1998) yang menyatakan bahwa dalam menentukan pilihan pengunaan metode kontrasepsi, individu memerlukan informasi yang benar dan tepat, sebab setiap metode kontrasepsi yang ada selalu memiliki kelebihan dan kekurangan yang mana akan menimbulkan suatu kerugian apabila tidak diinformasikan dengan baik. Selain itu, penelitian Susanti (2008) membagi faktor-faktor yang telah dijabarkan Rogers (2003) menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dijabarkan sebagai faktor yang melekat pada unit pengambilan keputusan inovasi, antara lain meliputi: umur, tingkat pendidikan, luas lahan dan tingkat pendapatan. Faktor eksternal didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari luar unit pengambilan keputusan, meliputi: lingkungan ekonomi, lingkungan sosial, dan sifat inovasi. Beberapa variabel yang mempengaruhi keputusan individu pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi di Kota Bogor adalah faktor internal, faktor eksternal, pengetahuan tentang metode kontrasepsi, dan persepsi tentang ciri metode kontrasepsi. Faktor internal terdiri atas: (1) usia, (2) pendidikan, (3) pendapatan, (4) jumlah tanggungan rumah tangga, (5) motivasi, dan (6) kekosmopolitan; faktor eksternal yang terdiri dari: (1) ketersediaan sumber informasi, (2) intensitas penyuluhan, dan (3) ketersediaan sarana. Faktor lainnya adalah pengetahuan tentang metode kontrasepsi; serta persepsi tentang ciri inovasi
34
yang terdiri atas: (1) keuntungan relatif (relative advantage), (2) kesesuaian (compatibility), (3) kerumitan (complexity), kemudahan dicoba (triability) dan (5) kemudahan diamati (observability). Secara skematis kerangka berfikir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. (X1.6) Tingkat Kekosmopolitan (X1) Faktor Internal (X1.1) Usia (X1.2) Tingkat Pendidikan (X1.3) Tingkat Pendapatan (X1.4) Jumlah Tanggungan Rumah Tangga (X1.5) Motivasi
5
(Y3) Keputusan
akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi
4
2 6
1
(Y1) Tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi
3
(X2) Faktor Eksternal
(Y2) Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi (Y2.1) Keuntungan relatif (Y2.2) Kesesuaian (Y2.3) Kerumitan (Y2.4) Kemudahan dicoba (Y2.5) Kemudahan diamati
(X2.1) Tingkat Ketersediaan Informasi (X2.2) Intensitas Penyuluhan (X2.3) Tingkat Ketersediaan Sarana Keterangan :
mempengaruhi
Gambar 2. Kerangka pemikiran keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut: 1. Diduga faktor internal dan faktor eksternal berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi. 2. Diduga faktor internal dan faktor eksternal berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB mengenai ciri metode kontrasepsi.
35
3. Diduga tingkat pengetahuan mengenai metode kontrasepsi berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB mengenai ciri metode kontrasepsi. 4. Diduga faktor internal dan faktor eksternal berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. 5. Diduga tingkat pengetahuan mengenai metode kontrasepsi berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. 6. Diduga tingkat persepsi mengenai ciri metode kontrasepsi berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi.
36
37
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat (Lampiran 1) dan difokuskan pada RW 07 dan RW 10. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive sampling (sengaja) karena berdasarkan hasil penjajakan yakni terdapat relevansi kondisi lapang dengan masalah penelitian yang diangkat karena Kelurahan Tanah Baru merupakan salah satu kelurahan terbaik se-Indonesia dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan, salah satunya Program Keluarga Berencana. Selain itu, dengan mempertimbangkan jumlah pasangan usia subur yang terlibat dalam program keluarga berencana khususnya penggunaan metode kontrasepsi memadai. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu tujuh bulan, terhitung mulai bulan Juni 2016 sampai dengan Februari 2017, diluar bulan Juli dan Agustus 2016 (Lampiran 2). Kegiatan dalam penelitian ini meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data di lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji kelayakan skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang didukung dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data kuantitatif diperoleh dengan menggunakan instrumen utama yaitu kuesioner Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui wawancara secara mendalam dengan para responden dan informan. Informasi yang diperoleh melalui pendekatan kualitatif digunakan untuk mendukung dan sebagai interpretasi terhadap data yang didapatkan dari pendekatan kuantitatif mengenai tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi, tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi, dan keputusan akseptor KB untuk melanjutkan penggunaan metode kontrasepsi pada tahap konfirmasi adopsi inovasi. Teknik Penentuan Responden dan Informan Sumber data dalam penelitian ini adalah responden dan informan. Responden adalah orang yang memberikan informasi mengenai diri mereka sendiri sebagai sumber data. Informan adalah orang yang memberikan infromasi ataupun keterangan tambahan yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Sampel dalam penelitian ini menggunakan metode survei. Populasi penelitian ini adalah wanitapasangan usia subur (PUS) di Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor yang merupakan peserta program keluarga berencana dan pernah menggunakan metode kontrasepsi. Sampel dalam penelitian ini adalah anggota populasi yang menjadi sumber data penelitian. Teknik pengambilan responden
38
dalam penelitian ini yaitu sample random sampling. Jumlah sampel yang dijadikan responden berjumlah 40 orang yang berlokasi di RW 07 dan RW 10 (Lampiran 4). Penelitian ini difokuskan di RW 07 dan RW 10 karena di RW tersebut jumlah pasangan usia subur yang banyak dan pelayanan program keluarga berencananya baik serta jumlah tenaga medis yang aktif banyak. Orang-orang yang dijadikan informan dalam penelitian ini yaitu kader posyandu setempat, Bidan Kelurahan Tanah Baru dan PLKB Kelurahan Tanah Baru. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan langsung di lokasi penelitian dengan cara observasi, kuesioner dan wawancara kepada responden dan informan. Sementara itu, data sekunder diperoleh dari pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti, perangkat pemerintah, kader posyandu, bidan desa, dan PLKB.Data sekunder yang diperoleh dari lembaga-lembaga tersebut adalah data yang terkait dengan penelitian seperti profil desa dan data posyandu Kelurahan Tanah Baru. Data sekunder juga diperoleh melalui kajian pustaka dan menganalisis berbagai literatur terkait dengan penelitian. Kuesioner sebagai alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini akan diujikan terlebih dahulu untuk mengetahui seberapa baik hasil pengukuran di lapangan dilihat dari validitasdan reliabilitas(Singarimbun dan Effendi 1989). Uji validitas dan reliabilitas dilakukan kepada 10 orang warga Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. Hasil uji validitas menunjukan bahwa kueioner valid dalam rentang koefisien 0.527-0.968 sehingga dapat digunakan. Selanjutnya, hasil reliabilitas menunjukan bahwa kuesioner tersebut sangat reliabel dengan koefisien 0.881. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner dan pertanyaan terstruktur sebagai pedoman wawacara mendalam. Kuesioner akan digunakan untuk mengumpulkan data kuantitatif, sedangkan pertanyaan terstruktur digunakan untuk mengumpulkan data kualitatif. Data kuantitatif akan diolah menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2013dan SPSSfor windows versi 23.0.Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan uji regresi linier berganda dan dilanjutkan dengan analisis jalur. Analisis jalur adalah suatu teknik pengembangan dari regresi linier berganda. Teknik ini digunakan untuk menguji besarnya sumbangan (kontribusi) yang ditunjukkan oleh koefisien jalur pada setiap diagram jalur dari hubungan kausal antar variabel Xterhadap Y serta dampaknya terhadap Z.Hubungan antar variabel dilihat dari variabel X1 dan X2 berpengaruh terhadap variabel Y1, Y2 dan Y3. Variabel Y1 berpengaruh terhadap variabel Y2 dan Y3. Selanjutnya, variabel Y2 berpengaruh terhadap variabel Y3. Uji regresi linier berganda dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis pengaruh dari semua variabel secara langsung maupun tidak langsung.
39
Data kualitatif dianalisis melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Pertama ialah proses reduksi data dimulai dari proses pemilihan dan penyederhanaan data hasil wawancara mendalam berupa catatan lapangan, observasi, dan studi dokumen yang di reduksi dalam tulisan tematik. Tujuan dari reduksi data ini ialah untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak perlu. Kedua ialah penyajian data dengan menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan berupa kutipan atau tipologi. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah untuk mendukung data kuantitatif. Definisi Operasional Definisi operasional dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini dipaparkan sebagai berikut: Faktor Internal Faktor internal adalah ciri-ciri pribadi adopter yang diduga berhubungan dengan adopsi inovasi metode kontrasepsi yang terdiri atas: Tabel 2. Definisi operasional faktor internal Variabel Umur
Jumlah tanggungan rumah tangga
Tingkat Pendidikan
Pengukuran Parameter Untuk Definisi Operasional Uji Statistik Uji Statistik Deskriptif Inferensia Usia adalah lama Berdasarkan nilai Jumlah lama hidup responden kuartil diperoleh hidup pada saat penelitian kategori responden dilakukan, yang dalam satuan dihitung sejak Rendah: <30 tahun tahun kelahiran responden Sedang: 30-41 tahun dinyatakan dalam Tinggi: >41 tahun satuan tahun Banyaknya anggota Berdasarkan nilai Jumlah orang keluarga yang masih kuartil diperoleh yang masih dalam tanggungan kategori dalam responden termasuk tanggungan dirinya sendiri, baik Rendah: <4 orang yang berada atau Sedang: 4-5 orang tinggal dalam satu Tinggi: >6 orang rumah maupun yang tidak tinggal dalam satu rumah. Tahapan pendidikan Berdasrkan nilai Jumlah lama yang ditetapkan kuartil diperoleh tahun sekolah berdasarkan tingkat kategori perkembangan peserta didik.
40
Tingkat Pendapatan
Motivasi
Tingkat Kekosmopolitan
Tingkat pendidikan ini terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Jumlah penerimaan atau pemasukan yang diterima oleh responden dalam waktu satu bulan dan dalam satuan rupiah (RP.)
Rangsangan atau dorongan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok masyarakat yang ingin bekerjasama secara maksimal dalam melakukan sesuatu yang sudah direncanakan untuk mencapai sebuah tujuan yang sudah ditetapkan. Sifat-sifat seseorang yang dapat digunakan untuk menggambarkan upayanya mencari informasi yang dibutuhkan mengenai metode kontrasepsi baik ke dalam maupun ke luar sistem sosialnya, yang
Rendah: Tidak sekolah-5 SD Sedang: 6 SD-3 SMA Tinggi: Diploma dan sarjana
Berdasarkan nilai kuartil diperoleh kategori Rendah: Rp4.375.000 Jawaban “ya” skor 1, “tidak” skor 0 Dari seluruh item dikelompokan menjadi Rendah: indeks <4 Sedang: indeks 4-7 Tinggi: indeks >7
Masing-masing kriteria diberi skor 3,2,1 untuk kategori >2 kali, 1-2 kali, tidak pernah Dari seluruh item dikelompokan menjadi Rendah: indeks <13 Sedang: indeks 1316 Tinggi: indeks >16
Jumlah rupiah yang didapatkan setiap bulan
Jumlah motivasi menjadi akseptor KB
Frekuensi mengunjungi sumber informasi
41
diukur selama tiga bulan terakhir.
Masing-masing kriteria diberi skor 3,2,1 untuk kategori >2kali, 1-2 kali, tidak pernah
Frekuensi mengakses media massa
Dari seluruh item dikelompokan menjadi Rendah: indeks <4 Sedang: indeks 4-5 Tinggi: indeks >5 Faktor Eksternal Faktor eksternal didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari luar unit pengambilan keputusan yang diduga berhubungan dengan adopsi inovasi metode kontrasepsi yang terdiri atas: Tabel 3. Definisi operasional faktor eksternal Pengukuran Parameter Untuk Variabel Definisi Operasional Uji Statistik Uji Statistik Deskriptif Inferensia Tingkat Banyaknya sumber Jawaban “ya” skor Penjumlahan atau ketersediaan informasi yang dapat 1, “tidak” skor 0 indeks dari seluruh informasi memberikan skor ketersediaan informasi kepada Rendah: Indeks informasi yaitu responden mengenai <8 total skor: 0 s/d 28 jenis, harga, efek Sedang: Indeks dan standarisasi samping, dan tingkat 8-20 keberhasilan Tinggi: Indeks penggunaan metode >20 kontrasepsi. Intensitas Pengetahuan Masing-maisng Penjumlahan atau penyuluhan responden mengenai item dengan skor indeks dari seluruh jadwal dan durasi 3,2,1 untuk skor intensitas penyelenggaran kategori >2 kali, 1- penyuluhan, yaitu penyuluhan yang 2 kali, tidak total skor: 6 s/d 18 dilakukan oleh pernah, atau >2jam, dan standarisasi sumber penyuluhan 1-2 jam, <1jam, tidak tahu Rendah: Indeks <7 Sedang: Indeks 7-11 Tinggi: Indeks >12
42
Tingkat Kondisi ketersediaan ketersediaan, sarana kuantitas, dan kualitas metode kontrasepsi.
Masing-masing item dengan skor 4,3,2,1 untik kategori selalu, sering, jarang, tidak pernah
Penjumlahan atau indeks dari seluruh skor ketersediaan sarana, yaitu total skor: 21 s/d 84 dan standarisasi
Rendah: Indeks <36 Sedang: Indeks 36-66 Tinggi: Indeks >66 Faktor Pengetahuan Tentang Inovasi Pengetahuan responden tentang jenis metode kontrasepsi, tujuan menerapkan metode kontrasepsi dan efek samping apabila menerapkan metode kontrasepsi yang terdiri atas : Tabel 4. Definisi operasional pengetahuan tentang inovasi Pengukuran Parameter Untuk Variabel Definisi Operasional Uji Statistik Uji Statistik Deskriptif Inferensia Pengertian Pemahaman Masing-Masing item Penjumlahan program responden mengenai dengan skor 1 atau indeks dari keluarga arti program Salah: skor 1 seluruh skor berencana keluarga berencana Kurang tepat: skor 2 ketersediaan Benar: skor 3 sarana, yaitu Tujuan Pemahaman Masing-Masing item total skor: 5 s/d 15 dan menggunakan responden mengenai dengan skor 1. standarisasi metode kegunaan dari Salah: skor 1-2 kontrasepsi penggunaan metode Kurang tepat: skor kontrasepsi 3-4 Benar: skor 5-6 Jenis metode Pemahaman Masing-Masing item kontrasepsi responden mengenai dengan skor 1. banyaknya jenis Salah : skor 1-2 metode kontrasepsi Kurang tepat: skor 3-4 Benar: skor 5-7 Tempat Pemahaman Masing-Masing item mendapatkan responden mengenai dengan skor 1. pelayanan lokasi yang Salah: skor 1 penggunaan menyediakan Kurang tepat: skor metode pelayanan metode 2-3 kontrasepsi kontrasepsi Benar: skor 4-5
43
Efek samping menggunakan metode kontrasepsi
Pemahaman responden mengenai dampak dari penggunaan metode kontrasepsi
Masing-Masing item dengan skor 1. Salah: skor 1-2 Kurang tepat: skor 3-5 Benar: skor 6-8
Faktor Persepsi Tentang Ciri Metode Kontrasepsi Persepsi tentang ciri inovasi adalah penilaian responden tentang ciri-ciri yang dimiliki oleh inovasi metode kontrasepsi yang terdiri atas: Tabel 5. Definisi operasional persepsi tentang ciri inovasi Pengukuran Parameter Untuk Definisi Variabel Uji Statistik Uji Statistik Operasional Deskriptif Inferensia Tingkat Perbandingan Masing-masing item Penjumlahan atau keuntungan harga dengan skor 3,2,1 indeks dari seluruh relatif pemasangan untuk kategori lebih skor keuntungan metode murah, sama saja relatif,yaitu total kontrasepsi yang dan lebih mahal skor: 7 s/d 21 dan digunakan standarisasi responden Rendah: Indeks 7-11 dibanding dengan Sedang: Indeks 12metode 16 kontrasepsi lain Tinggi: Indeks 17-21 Tingkat Kesesuaian Masing-masing item Penjumlahan atau kesesuaian penggunaan dengan skor 3,2,1 indeks dari seluruh metode untuk kategori skor kesesuaian, kontrasepsi yang sangat sesuai, sesuai yaitu total skor: 5 digunakan dengan dan kurang sesuai s/d 21 dan nilai, budaya, standarisasi aturan, norma Rendah: Indeks 5-7 kesopanan dan Sedang: Indeks 8-11 norma agama. Tinggi: Indeks 12-15 Tingkat Perbandingan Masing-masing item Penjumlahan atau kerumitan kerumitan dengan skor 3,2,1 indeks dari seluruh menerapkan untuk kategori lebih skor metode mudah, sama saja kerumitan,yaitu kontrasepsi yang dan lebih sulit total skor: 7 s/d 21 digunakan dan standarisasi responden Rendah: Indeks 7-11 dibanding dengan Sedang: Indeks 12metode 16 kontrasepsi lain Tinggi: Indeks 17-21 Tingkat Perbandingan Masing-masing item Penjumlahan atau kemudahan skala dan modal dengan skor 3,2,1 indeks dari seluruh dicoba yang dibutuhkan untuk kategori lebih skor kemudahan
44
Tingkat kemudahan diamati
untuk mencoba menerapkan metode kontrasepsi yang digunakan responden dibanding dengan metode kontrasepsi lain Perbandngan tingkat keberhasilan penggunaan metode kontrasepsi yang digunakan responden dibanding dengan metode kontrasepsi lain.
sedikit, sama saja, lebih banyak
dicoba, yaitu total skor: 7 s/d 21 dan standarisasi
Rendah: Indeks 7-11 Sedang: Indeks 1216 Tinggi: Indeks 17-21
Masing-masing item dengan skor 3,2,1 untuk kategori lebih tinggi, sama saja dan lebih rendah Rendah: Indeks 7-11 Sedang: Indeks 1216 Tinggi: Indeks 17-21
Penjumlahan atau indeks dari seluruh skor kemudahan diamati,yaitu total skor: 7 s/d 21 dan standarisasi
45
GAMBARAN UMUM PENELITIAN Keadaan Geografis Kelurahan Tanah Baru merupakan salah satu kelurahan yang masuk dalam wilayah Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kelurahan Tanah Baru 3.117 Ha dan memiliki batas-batas wilayah, yaitu sebelah Utara adalah Kelurahan Ciluar, sebelah Selatan adalah Kelurahan Katulampa dan Baranangsiang, sebelah Barat adalah Kelurahan Cimahpar, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Cibuluh, Tegal Gundil dan Tegal Lega. Pada umumnya lahan yang terdapat di Kelurahan Tanah Baru digunakan untuk pemukiman dan prasarana umum lainnya. Dari total luas wilayah 3.117 Ha, sebagian besar lahan digunakan sebagai pemukiman seluas 2.836 Ha, prasarana umum lainnya seluas 133 Ha, sisanya digunakan untuk persawahan (63 Ha), pekarangan (58 Ha), perkebunan (13 Ha), taman (6 Ha), perkantoran (6 Ha) serta kuburan seluas 2 Ha. Infrastruktur Kelurahan Tanah Baru cukup memadai ditandai dnegan jalan yang sudah diaspal sehingga mudah diakses dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Kendaraan umum yang melitasi daerah ini adalah angkutan umu 17 dan 05. Infrastruktur lainnya yang berada di Kelurahan Tanah Baru berupa sarana pendidikan tersedia hingga jenjang perguruan tinggi meskipun hanya terdapat satu perguruan tinggi. Namun tidak terdapat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Selebihnya terdapat empat Sekolah Menengah Atas (SMA), dua Sekolah Dasar (SD), empat Taman Kanak-Kanak (TK), sembilan Taman Bermain Anak, dan satu perpustakaan desa atau kelurahan. Keadaan Demografis a) Jumlah Penduduk Keadaan demografi pada dasarnya menggambarkan keadaan penduduk dan jumlah penduduk yang berada pada suatu wilayah. Tabel 6. Jumlah kepala keluarga berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru No Tahun KK Laki-Laki KK Perempuan Total KK 1 Tahun 2015 3.565 1.226 4.791 2 Tahun 2016 4.114 577 4.791 3 Persentase Perkembangan 15,4 persen -44,7 persen 0 Sumber: Profil Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 Berdasarkan Tabel 6 Jumlah penduduk laki-laki maupun perempuan masing-masing mengalami penurun dibanding tahun 2015 sebesar 0.14 persen dan 0.15 persen. Tabel 7 menyajikan data jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru. Jumlah penduduk di Kelurahan Tanah Baru pada bulan September 2016 mencapai 20.914 jiwa, yang terdiri dari 10.808 jiwa yang berjenis
46
kelamin laki-laki dan 10.106 jiwa yang berjenis kelamin perempuan. Penduduk Kelurahan Tanah Baru paling banyak adalah penduduk balita (bayi di bawah lima tahun) dan penduduk usia tua (>50 tahun). Banyaknya penduudk usia tua memnunjukan bahwa tingkat kesehatan di Kelurahan Tanah Baru cukup baik. Tabel 7. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru No Indikator Laki-Laki (Jiwa) Perempuan (Jiwa) Total 1 0-12 bulan 53 124 177 2 1-5 tahun 2.129 1.398 3.527 3 6-10 tahun 1.366 1.770 3.136 4 11-15 tahun 625 616 1.241 5 16-20 tahun 713 621 1.334 6 21-25 tahun 584 574 1.158 7 26-30 tahun 564 596 1.160 8 31-35 tahun 597 569 1.166 9 36-40 tahun 623 742 1.365 10 41-45 tahun 500 510 1.010 11 46-50 tahun 563 518 1.081 12 Di atas 50 tahun 2.491 1.618 4.109 Total 10.808 10.106 20.914 Sumber: Profil Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 Semua penduduk Kelurahan Tanah Baru berkebangsaan Warga Negara Indonesia. Penduduk Kelurahan Tanah Baru umumnya beragama Islam, baik lakilaki mapun perempuan, masing-masing sebanyak 10.225 orang dan 9.395 orang yang dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah pemeluk agama berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru No Agama Laki-Laki (Jiwa) Perempuan (Jiwa) Total (Jiwa) 1 Islam 10.225 9.395 19.620 2 Kristen 280 278 558 3 Katholik 135 258 393 4 Hindu 134 145 279 5 Budha 32 27 59 6 Konghucu 2 3 5 Total 10.808 10.106 20.914 Sumber: Profil Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 b) Lingkugan Sosial Ekonomi Lingkungan Sosial Ekonomi meliputi mata pencaharian yang sangat penting dalam kelangsungan hidup rumah tangga, dapat juga menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu daerah dan perkembangan tenaga kerja. Tabel 9 menyajikan data mata pencaharian pokok penduduk Kelurahan Tanah Baru. Mayoritas penduduk di Kelurahan Tanah Baru bekerja sebagai buruh harian lepas, baik laki-laki maupun perempuan. Ada 5.250 laki-laki dan 1.950 perempuan yang bekerja sebagai buruh harian lepas. Mata pencaharian pokok laki-
47
laki yang dominan setelah buruh harian lepas adalah pedagang kecil dan pengusaha kecil, menengah, dan besar sebanyak 1.325 orang dan 785 orang. Selanjutnya, mata pencaharian dominan perempuan setelah buruh harian lepas adalah pembantu rumah tangga dan pedagang keliling sebanyak 2.350 orang dan 72 orang. Baik lakilaki maupun perempuan tidak ada yang bekerja menjadi nelayan karena bukan merupakan wilayah pesisisr. Banyaknya tenaga kerja sebagai buruh harian lepas, pedagang kecil, maupun pengusaha atau wirausaha dikarenakan sebagian besar masyarakat hanya tamat SMP. Rendahnya tingkat pendidikan terakhir yang dikenyam oleh masyarakat Kelurahan Tanah Baru, menyebabkan minimnya kemampuan untuk bekerja di bidang formal sehingga masyarakat cenderung bekerja di sektor informal seperti pedagang keliling dan pengusaha. Umumnya pedagang keliling menjajakan makanan seperti bakso, siomay, cilok, dan pengusaha kecil, menengah, dan besar umumnya berupa toko klontong yang dibedakan berdasarkan ukuran usahanya. Tabel 9. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian pokok dan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru No
Jenis Pekerjaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Petani Buruh Migran Pegawai Negeri Sipil Pengrajin Nelayan Montir Dokter Swasta Bidan Swasta Ahli Pengobatan Alternatif TNI Pengusaha kecil, menengah dan besar Pedagang Keliling Pembantu Rumah Tangga Karyawan Perusahaan Swasta Buruh Harian Lepas
12 13 14 15 Total
Laki-Laki (Jiwa) 30 11 321 150 0 250 11 0 8 150 785 1325 0 580 5.250 8.871
Perempuan (Jiwa) 4 0 138 25 0 5 11 25 2 100 235
Total (Jiwa) 34 11 459 175 0 255 22 25 10 250 1.020
725 2.350 580 1.950 6.450
2.050 2.350 1.160 7.200 15.321
Sumber: Profil Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 c) Pendidikan Tingkat pendidikan menunjukan kemajuan suatu daerah, semakin tinggi pendidikan di suatu daerah maka makin majulah daerah tersebut. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi derajat kesehatan seseorang. Salah satu indikator pokok untuk menilai kualitas pendidikan formal adalah pendidikan yang ditamatkan atau tidak oleh penduduk Kelurahan Tanah Baru tahun 2016. Berdasarkan Tabel 10, mayoritas penduduk Kelurahan Tanah baru merupakan tamatan SMP/sederajat. Selain itu sebagian besar penduduk Kelurahan Tanah Baru tidak sekolah karena usiannya belum mencukupi untuk masuk sekolah.
48
Tabel 10. Pendidikan terakhir penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru Tingkatan Laki-Laki Perempuan Total No Pendidikan (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) 1 Tidak Sekolah 2.346 2.438 4.784 2 SD/sederajat 1.871 1.966 3.837 3 SMP/sederajat 2.766 3.007 5.773 4 SMA/sederajat 1.210 1.250 2.460 5 Diploma 375 330 705 6 Sarjana 748 416 1.164 Total 9.316 9.407 18.723 Sumber: Profil Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 d) Sarana Kesehatan Sarana kesehatan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta merupakan komponen penting dalam upaya meningkatkan derjat kesehatan masyarakat. Tabel 11 dan Tabel 12 menunjukan sarana kesehatan yang ada di wilayah Kelurahan Tanah Baru: Tabel 11. Jumlah prasarana kesehatan di Kelurahan Tanah Baru No Prasarana Kesehatan Jumlah (Unit) 1 Puskesmas 1 2 Puskesmas pembantu 1 3 Poliklinik/balai pengobatan 3 4 Apotik 4 5 Posyandu 13 6 Jumlah rumah/kantor praktek dokter 5 7 Rumah bersalin 4 Sumber: Profil Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 Ketersediaan prasarana dan sarana kesehatan di Kelurahan Tanah Baru cukup memadai dan lengkap. Berdasarkan Tabel 11 prasarana kesehatan yang paling banyak dijumpai adalah posyandu yang berjumlah 13 posyandu yang tersebar di 11 RW. Puskesmas terletak di RW 04 dan puskesmas pembantuk terletak di RW 06. Di RW 4 dan 5 terdapat 2 buah posyandu karena RW tersebut memiliki RT yang paling banyak dan jumlah akseptor keluarga berencana yang cukup banyak.Untuk RW lainnya masing-masing terdapat satu posyandu. Sarana kesehatan yang paling banyak adalah perawat, kemudian bidan baik swasta maupun bidan desa. Penduduk Kelurahan Tanah Baru didominasi dengan keluarga sejahtera 2 yang berjumlah 1.912 keluarga, selanjutnya keluarga prasejahtera berjumlah 111 keluarga, keluarga sejahtera 1 sebanyak 1.957 keluarga, keluarga sejahtera 3 berjumlah 1.559 keluarga dan keluarga sejahtera 3 plus sebanyak 254 keluarga.
49
Tabel 12. Jumlah sarana kesehatan di Kelurahan Tanah Baru No Sarana Kesehatan Jumlah (Jiwa) 1 Dokter umum 2 Dokter gigi 3 Dokter spesialis lainnya 4 Paramedis 5 Bidan 6 Perawat 7 Dukun pengobatan alternative 8 Dokter praktek 9 Laboratorium kesehatan Sumber: Profil Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016
11 1 2 5 22 25 11 1 2
Peningkatan Kesejahteraan keluarga utamanya digagas dan digerakan oleh Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kelurahan Tanah Baru. Mekanisme dan jaringan kerja PKK dari Tim Penggerak PKK Pusat sampai dengan Tim Penggerak PKK Desa/Kelurahan, Kelompok PKK Dusun/lingkungan, Kelompok PKK RT/RW, dan Kelompok Dasa Wisma terbentuk karena gerakan PKK adalah bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan masyarakat, karena itu PKK menggunakan mekanisme penyelenggaraan pembangunan masyarakat. Terdapat 10 Program Pokok PKK, yaitu: (1) penghayatan dan pengamalan pancasila, (2) gotong royong, (3) pangan, (4) sandang, (5) perumahan dan tatalaksana rumah tangga, (6) pendidikan dan keterampilan, (7) kesehatan, (8) pengembangan kehidupan berkoperasi, (9) kelestarian lingkugan hidup, dan (10) perencanaan kesehatan. Untuk melaksanakan 10 program pokok PKK tersebut, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanan, pembinaan sampai memfasilitasi, telah dilakukan oleh 4 kelompok kerja secara luwes dan koordinatif, yaitu: mengelola program penghayatan dan pengamalan pancasila dan program gotong royong; mengelola program pendidikan dan keterampilan serta pengembangan kehidupan berkoperasi; mengelola program pangan, sandang, perumahan, dan tata laksana rumah tangga; mengelola program kesehatan, kelestarian lingkungan hidup, dan perencanaan sehat. Prioritas program kelompok kerja IV adalah memantapkan keluarga sadar gizi (KADARZI) dalam upaya menurunkan prefalensi anak balita kurang gizi; penyediaan makanan tambahan bagi anak sekolah (PMT-AS); upaya penambahan kalori di sekolah; menjadikan PHBS sebagai kebiasaan hidup sehari-hari; usaha kesehatan sekolah (UKS); membudayakan lima imunisasi dasar lengkap (LIL) dan rutin untuk menurunkan angka kematian anak dan ibu; meningkatkan kesadaran pasangan usia subur (PUS) tentang manfaat pemakaian alat kontrasepsi, meningkatkan penyuluhan pencegahan penyakit menular; meningkatkan tanam dan pelihara pohon dalam upaya kelestarian lingkungan hidup dan mengurangi dampak pemanasan global; mendorong swadaya masyarakat dalam upaya penurunan angka kematian ibu (AKI); angka kematian bayi (AKB), angka kematian balita (AKBAL); pemahaman tertib administrasi dalam rangka meningkatkan dan mewujudkan tertib administrasi kependudukan di keluarga, optimaisasi posyandu, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan keluarga. Di samping kegiatan tersebut, program keluarga berencana juga merupakan faktor penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat karena program keluarga berencana
50
merupakan suatu upaya jumlah penduduk akan dapat terkontrol dengan baik untuk mewujudkan keluarga sejahtera. Tabel 13. Jumlah peserta KB aktif dan baru berdasarkan lokasi pelayanannya di Kelurahan Tanah Baru Peserta KB aktif Peserta KB baru No RW Pemerintah Swasta Pemerintah Swasta 1 I 66 153 0 0 2 II 66 150 0 1 3 III 54 160 1 2 4 IV 72 212 3 0 5 V 64 224 0 1 6 VI 78 185 0 3 7 VII 101 161 1 2 8 VIII 26 104 0 1 9 IX 33 141 0 0 10 X 84 177 0 0 11 XI 76 165 0 1 Total 720 1.832 5 11 Sumber: Data Posyandu Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 Berjalannya Program Keluarga Berencana di Kelurahan Tanah Baru dapat dilihat pada data peserta KB aktif dan peserta KB baru pada Tabel 13. Akseptor KB baik aktif maupun baru umumnya lebih banyak mengunjungi tempat pelayanan KB swasta seperti bidan swasta dan rumah sakit swasta dibanding pemerintah seperti puskesmas dan rumah sakit umum daerah. Alasan ini didominasi oleh jam pelayanan KB dan jarak antara rumah dengan lokasi pelayanan KB. Jam pelayanan KB di puskesmas hanya dari pukul 08.00-12.00. Pada waktu tersebut, akseptor KB yang sebagian besar adalah wanita, masih sibuk melakukan aktivias rumah tangga sehari-hari, seperti menyapu, mengepel, menyiapkan makanan dan mengurus anak istri. Tabel 14 menyajikan data mengenai penyebaran metode kontrasepsi yang digunakan oleh responden. Responden umumnya menggunaka metode kontrasepsi hormonal sperti implant, suntik dan pil. Selain itu, umumnya resdponden cenderung menggunakan metode kontrasepsi jangka pendek seperti suntik dan pil.hal tersebut terjadi karena masih berkembangnya mitos di kalangan masyarakat. Seperti bahwa metode kontrasepsi implant atau IUD bisa berpindah ke organ lain. Hal tersebut sangat tidak dimungkinkan. Dukungan suami pun menjadi hal penting dalam pemilihan metode kontrasepsi, apabila responden ingin menggunakan metode kontrasepsi tertentu tetapi tidak diperbolehkan oleh suaminya, cenderung akan mengurungkan niatnya.
51
Tabel 14. Penyebaran penggunaan metode kontrasepsi yang dipilih akseptor KB aktif dan baru di Kelurahan Tanah Baru No
RW
1 I 2 II 3 III 4 IV 5 V 6 VI 7 VII 8 VIII 9 IX 10 X 11 XI Total Aktif Total Baru
Kondom P S 1 0 0 6 1 0 5 4 0 4 0 0 2 1 2 0 2 0 0 0 0 3 13 18 0 0
Non Hormonal IUD MOW P S P S 28 25 4 2 28 14 5 3 28 9 2 2 33 22 2 1 33 28 2 3 36 9 5 0 37 6 12 5 15 65 1 14 15 68 2 10 33 47 12 1 35 28 13 9 321 321 60 50 0 2 1 0
MOP P S 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 2 0 1 1 6 3 0 0
Implant P S 20 0 15 1 4 0 6 1 4 0 22 0 8 0 0 0 1 0 12 0 3 0 95 2 3 0
Hormonal Suntik P S 8 114 9 105 11 137 14 163 9 178 5 157 16 124 5 20 8 48 10 95 14 96 109 1237 3 9
Pil P 4 9 7 12 16 10 25 5 15 34 28 116 0
S 12 20 11 21 11 19 25 5 15 34 28 201 0
Sumber: Data Posyandu Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 Berdasarkan Tabel 15, rata-rata tingginya angka akseptor KB dipengaruhi oleh beberapa hal. Salah satunya ketersediaan sarana dan prasarana untuk mendapatkan pelayanan penggunaan alat kontrasepsi. RW VIII dan RW I memiliki persentase penggunaan metode kontrasepsi yang paling banyak dibanding dengan RW lain dengan peresentase 84.42 persen dan 81.1 persen. Selain itu, RW 7 memiliki peresentase akseptor KB terendah dibandingkan dengan RW lain meskipun jumlah pasangan usia subur dan akseptor KB-nya banyak. Tabel 15. Jumlah pasangan usia subur dan akseptor KB di Kelurahan Tanah Baru No RW Pasangan Usia Subur (Jiwa) Akseptor KB (Jiwa) Persentase (%) 1 I 270 219 81.11 2 II 272 216 79.41 3 III 265 214 80.75 4 IV 383 284 74.15 5 V 377 288 76.39 6 VI 331 263 79.46 7 VII 397 262 65.99 8 VIII 154 130 84.42 9 IX 236 174 73.73 10 X 322 261 81.06 11 XI 304 241 79.28 Total 3311 2552 77.08 Sumber: Data Posyandu Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 Tabel 16 menyajikan data mengenai petugas yang hadir ketika pelaksanaan posyandu di setiap RW. Kader PKK atau posyandu yang paling banyak terdapat di Posyandu Bogenville yang berlokasi di RW 10. Selain memiliki kader posyandu yang banyak, kader posyandu yang aktif pun merupakan yang terbanyak, meski ketika pelaksanaan posyandu jarang hadir namun bidan desa setempat seringkali hadir untuk membantu pelaksanaan posyandu. Kader posyandu yang paling sedikit
52
ada di Posyandu Kenanga. Kader posyandu di Posyandu Kenanga hanya berjumlah 4 orang, namun PLKB dan bidan desa seringkali mendampingi ketika pelaksanaan posyandu sedang berlangsung. Tabel 16. Jumlah petugas yang hadir ketika pelaksanaan posyandu di Kelurahan Tanah Baru No Posyandu Jumlah Petugas Hadir (Jiwa) Kader PKK/Posyandu PLKB Medis dan Paramedis 1 Melati 5 0 2 2 Mekarsari 6 1 1 3 Dahlia 4 1 3 4 Hanjuang A 6 0 2 5 Hanjuang B 5 1 1 6 Delima 5 1 1 7 Puspa 6 0 1 8 Kenanga 4 1 2 9 Cempaka 6 0 1 10 Sakura 7 1 1 11 Dewi Sartika 7 0 1 12 Bogenville 9 0 2 13 Teratai 6 0 2 Total 76 6 20 Sumber: Data Posyandu Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016
53
PROFIL RESPONDEN AKSEPTOR KELUARGA BERENCANA Karakteristik Internal Faktor internal adalah faktor yang melekat pada unit pengambilan keputusan inovasi. Faktor Internal akseptor KB RW 07 dan RW 10 Kelurahan Tanah Baru terdiri dari umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, beban tanggungan rumah tangga, motivasi, dan kekosmopolitan. Keenam variabel tersebut dipilih dan dibahas karena penulis menduga keenam variabel tersebut dapat mempengaruhi individu dalam keikutsertaan mereka menjadi akseptor KB, yang nantinya akan dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya. Metode Kontrasepsi yang Digunakan oleh Akseptor KB Tabel 17 menyajikan data mengenai jumlah dan persentase metode kontrasepsi yang digunakan oleh akseptor KB. Tabel 17. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan metode kontrasepsi yang digunakan di Kelurahan Tanah Baru Metode Kontraspesi Jumlah (N) Persentase (%) Suntik 3 bulan 16 40.0 Pil 10 25.0 IUD 5 12.5 Suntik 1 bulan 3 7.5 Implant 3 7.5 Steril 3 7.7 Total 40 100.0 Tabel 17 menunjukan bahwa metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan oleh akseptor KB adalah suntik dengan jangka waktu 3 bulan sejumlah 16 orang (40.0 persen). Hal ini dikarenakan metode kontrasepsi suntik relatif murah dan mudah didapatkan seperti di bidan praktek, puskesmas, dan rumah sakit. Selain itu, responden menilai waktu penggunaan metode kontrasepsi suntik efektif karena dilakukan tiga bulan sekali sesuai dnegan jadwal yang telah ditetapkan. Tabel 17 menunjukan bahwa masih minimnya responden yang menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang seperti IUD, implant, dan steril. Usia Tabel 18 menyajikan data mengenai jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan usia. Berdasarkan usia, akseptor KB terbagi menjadi dewasa, pertengahan dan tua.Usia akseptor KB bervariasi, terendah mulai dari 24 tahun dan tertinggi 60 tahun.
54
Tabel 18. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan usia di Kelurahan Tanah Baru Usia Jumlah (N) Persentase (%) Dewasa (<30 tahun) 9 22.5 Pertengahan (30-41 tahun) 21 52.5 Tua (>41 tahun) 10 25.0 Total 40 100.0 Data pada Tabel 18 menunjukan bahwa rata-rata akseptor KB berada pada usia pertengahan (52.5 persen). Hal ini disebabkan pada usia tersebut termasuk dalam usia subur karena selain mereka masih aktif melakukan aktivitas produktif, mereka juga masih aktif dalam proses maupun fungsi seksual dan reproduksinya bersama pasangan. Tingkat Pendidikan Tabel 19 menyajikan data mengenai jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat pendidikan. Tabel 19. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat pendidikan di Kelurahan Tanah Baru Tingkat Pendidikan Jumlah (N) Persentase (%) Rendah (Tidak sekolah-5 SD) 5 12.5 Sedang (6 SD-3 SMA) 26 65.0 Tinggi (Diploma dan sarjana) 9 22.5 Total 40 100.0 Tabel 19 menunjukan bahwa rata-rata akseptor KB tergolong tingkat pendidikan sedang sebanyak 26 orang (65.0 persen). Pendidikan terendah yang ditempuh oleh akseptor KB adalah tidak sekolah dan pendidikan tertinggi yang ditempuh akseptor KB adalah tamat strata 1. Mayoritas akseptor KB merupakan tamatan SMA (25.0 persen). Hal ini dikarenakan fasilitas pendidikan untuk Sekolah Menengah Atas tersedia cukup banyak, yaitu terdapat empat bangunan SMA/sederajat yang tersebar di beberapa lokasi di wilayah Kelurahan Tanah Baru. Fasilitas pendidikan di Kelurahan Tanah Baru cukup memadai, hal tersebut dibuktikan dengan tersedianya sarana pendidikan mulai jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, namun di Kelurahan Tanah Baru tidak terdapat fasilitas pendidkan untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Banyaknya akseptor KB yang tamat SMP dikarenakan responden bukan merupakan penduduk asli Kelurahan Tanah Baru, tetapi penduduk yang mengalami perpindahan karena mengikuti suami. Mereka mengenyam bangku SMP tidak di Kelurahan Tanah Baru, tetapi di daerah asalanya. Selain itu, untuk mejadi akseptor KB tidak ada prasyaratan tingkat pendidikan kepada akseptor, sehingga tingkat pendidikan akseptor beragam.
55
“Saya sekolahnya cuma sampai kelas 3 SD karena pas mau naik ke kelas 4, bapak saya meninggal, jadi kata ibu saya berhenti saja sekolahnya karena tidak ada biaya.” (YA, 32 tahun). “Saya nggak lanjut ke SMA karena kata ibu saya perempuan nggak perlu sekolah tinggi-tinggi karena ujung-ujungnya hanya mengurusi rumah.” (SA, 28 tahun). Tingkat Pendapatan Tabel 20 menyajikan data mengenai jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat pendapatan.Berdasarkan Tabel 20, rata-rata akseptor KB memiliki pendapatan sedang sebanyak 20 orang (50.0 persen). Tabel 20. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat pendapatan di Kelurahan Tanah Baru Tingkat Pendapatan Jumlah (N) Persentase (%) Rendah (