Makalah Inovasi Kb.pdf

  • Uploaded by: resta
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Inovasi Kb.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 36,581
  • Pages: 137
ADOPSI INOVASI PROGRAM KELUARGA BERENCANA (Di: Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor)

ARIE FIRDHA AMALIA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2017

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Adopsi Inovasi Program Keluarga Berencana di Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari peneliti lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2017

Arie Firdha Amalia NIM.I34130104

ABSTRAK ARIE FIRDHA AMALIA. Adopsi Inovasi Program Keluarga Dibimbing oleh NINUK PURNANINGSIH. Pertumbuhan penduduk Indonesia yang semakin cepat menimbulkan kekhawatiran akan meledaknya jumlah penduduk sehingga dapat menimbulkan permasalahan di berbagai bidang. Salah satu upaya pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan penduduk adalah dengan melakukan difusi inovasi program keluarga berencana (KB) khususnya penggunaan metode kontrasepsi. Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat pengetahuan, tingkat persepsi, dan keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Responden merupakan wanita usia subur yang pernah menggunakan metode kontrasepsi. Responden yag dipilih sebanyak 40 pasangan wanita usia subur. Responden dipilih dengan metode sample random sampling. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi tergolong tinggi. Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif, kerumitan, dan kemudahan dicoba tergolong tinggi. Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kesesuaian dan kemudahan diamati metode kontrasepsi tergolong sedang. Mayoritas akseptor KB memutuskan untuk melanjutkan penggunaan metode kontrasepsi pada tahap konfirmasi adopsi metode kotrasepsi. Motivasi dan ketersediaan sarana berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif metode kontrasepsi. Usia, motivasi, dan frekuensi mengakses media massa berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan diamati metode kontrasepsi. Jumlah tanggungan rumah tangga, motivasi, dan frekuensi mengunjungi sumber informasi berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. Kata kunci: adopsi, difusi, inovasi, program keluarga berencana

ii

ABSTRACT ARIE FIRDHA AMALIA. Adoption of Innovation Family Planning Program Supervised by NINUK PURNANINGSIH. Indonesian popultion growth accelerated raising fears of population explosion that can cause problems in various sector. One of the government’s efforts to reduce the rate of population growth is to conduct innovation diffusion of family planning programs in particular the use of contraceptive methods. The research aims to analyze the level of knowledge, the level of perception, family planning acceptors decision at the confirmation stage of adoption of contraceptive methods and the factors that influence. This research is using quantitative approach and supported by qualitative data. Respondents are women of childbearing age who have ever used a contraceptive methods. Respondents were selected by using purposive. The results indicate that the majority of respondents are in the category of high level knowledge. The preceived level of acceptors of family planning programs based on the features of relative advantage, complexity, and ease tested is high. The preceived level of acceptors of family planning programs on traits suitability and ease of contraceptive methods observed moderate. The majority of family planning programs decide to continue the use of contraceptive methods at the confirmation stage of adoption of contraceptive methods. Motivation and availability of an effect on the preceived level of acceptors of family planning programs on the charateristics of relative advantages contraceptive method. Age, motivation, and the frequency of access to the mass media effect on the preceived level of acceptors of family planning programs baed on the features observed ease of contraceptive methods. Number of household dependents, motivation, and visit frequency resources effect on the ease of family planning acceptors decision at the confirmation stage of adoption of contraceptive methods. Keyword: adoption, diffusion, family planning programs, innovation

iii

ADOPSI INOVASI PROGRAM KELUARGA BERENCANA (Studi Kasus: Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor)

ARIE FIRDHA AMALIA I34130104

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2017

v

PRAKATA Untaian puji syukur peneliti ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, yang masih memberikan nikmat jasmani dan rohani serta waktu yang bermanfaat bagi peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Adopsi Inovasi Program Keluarga Berencana di Keluarhan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor dengan baik tanpa hambatan dan masalah yang berarti. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini,dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ibu Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran, kritik dan koreksi selama proses penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. 2. Pemerintah dan masyarakat Kelurahan Tanah Baru, khususnya Ibu-Ibu Kader Posyandu Kelurahan Tanah Baru yang telah memberikan izin dan para responden yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk membantu kelancaran penelitian. 3. Ibu Darni dan Ayah Bambang Setiahadi selaku orangtua dan Abizard Daffa Putra selaku adik yang telah memberikan dukungan dan doa yang tak terbatas kepada penulis hingga mampu menjalani banyak hal sampai pada tahapan ini. 4. Agung Prasetya yang telah memberikan motivasi dan membantu penulis selama proses penulisan. 5. Teman-teman SKPM 50 khususnya Dini Hanifa, Shafiera Hemi, Rahmat Ardani, Era Setyaningrum, Himmatul Ulya, Agung Kurnia, Anggoro Wakhid, Yunianingrum, dan Kurnia Ilarahmi yang senantiasa mengajarkan banyak hal yang tidak didapatkan di bangku kuliah kepada penulis. 6. Prajna Agnisa sahabat seperjuangan penulis. Tempat berbagi keluh kesah dan saling menguatkan selama menjadi mahasiswa tingkat akhir. 7. Rekan-rekan BEM FEMA kabinet TERASA MANIS dan ARJUNA, khususnya departemen pengembangan budaya, olahraga dan seniyang telah memotivasi dan memberikan pengalaman luar biasa kepada penulis. 8. Rekan-rekan CENTURY dan IKAMAJU periode 2013/2014 dan 2014/2015, Tim Sukses Jejak Sepatu 2014, dan Tim Sukses Jadi baik 2015 yang telah memberikan kebersamaan dan kesan mendalam kepada penulis. Semoga hasil penelitian ini nantinya akan bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Februari 2017

Arie Firdha Amalia NIM. I34130104

vi

DAFTAR ISI DAFTAR ISI

vi

DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Rumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian

5

PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka

7 7

Pengertian Program Keluarga Berencana

7

Tujuan Program Keluarga Berencana

8

Manfaat Program Keluarga Berencana

9

Sejarah Perkembangan Program Keluarga Berencana

10

Metode Kontrasepsi

13

Inovasi

15

Adopsi Inovasi

17

Difusi Inovasi

21

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi dan Difusi Inovasi

23

Kerangka Pemikiran

33

Hipotesis Penelitian

34

METODE PENELITIAN

37

Lokasi dan Waktu Penelitian

37

Metode Penelitian

37

Teknik Penentuan Responden dan Informan

37

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

38

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

38

Definisi Operasional

39

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

45

Keadaan Geografis

45

Keadaan Demografis

45

PROFIL RESPONDEN AKSEPTOR KELUARGA BERENCANA Karakteristik Internal

53 53

Metode Kontrasepsi yang Digunakan oleh Akseptor KB

53

Usia

53

Tingkat Pendidikan

54

Tingkat Pendapatan

55

vii

Jumlah Tanggungan Rumah Tangga

55

Motivasi

56

Mengunjungi Sumber Informasi

58

Mengakses Media Massa

59

Karakteristik Eksternal

60

Tingkat Ketersediaan Informasi

60

Intensitas Penyuluhan

61

Tingkat Ketersediaan Sarana

62

PENGETAHUAN DAN PERSEPSI AKSEPTOR KB MENGENAI CIRI METODE KONTRASEPSI

65

Pengetahuan Mengenai Metode Kontrasepsi

65

Persepsi Mengenai Ciri Metode Kontrasepsi

66

Keuntungan Relatif

66

Kesesuaian

68

Kerumitan

69

Kemudahan Dicoba

71

Kemudahan Diamati

72

KEPUTUSAN AKSEPTOR KB PADA TAHAP KONFIRMASI ADOPSI METODE KONTRASEPSI

75

PENGETAHUAN AKSEPTOR KB MENGENAI METODE KONTRASEPSI DAN FAKTORFAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 77 TINGKAT PERSEPSI AKSEPTOR KB MENGENAI CIRI METODE KONTRASEPSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 79 Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Persepsi Akseptor KB tentang ciri Keuntungan Relatif Metode Kontrasepsi 80 Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Persepsi Akseptor KB tentang ciri Keseseuaian Metode Kontrasepsi 80 Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Persepsi Akseptor KB tentang ciri Kerumitan Metode Kontrasepsi 81 Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Persepsi Akseptor KB tentang ciri Kemudahan Dicoba Metode Kontrasepsi 81 Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Persepsi Akseptor KB tentang ciri Kemudahan Diamati Metode Kontrasepsi 81 KEPUTUSAN AKSEPTOR KB PADA TAHAP KONFIRMASI ADOPSI METODE KONTRASEPSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

83

PENGARUH TINGKAT PENGETAHUAN TERHADAP TINGKAT PERSEPSI AKSEPTOR KB TENTANG CIRI METODE KONTRASEPSI 85 Pengaruh Tingkat Pengetahuan Aksepor KB mengenai Metode Kontrasepsi terhadap Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Keuntungan Relatif Metode Kontrasepsi 85 Pengaruh Tingkat Pengetahuan Aksepor KB mengenai Metode Kontrasepsi terhadap Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Kesesuaian Metode Kontrasepsi 86 Pengaruh Tingkat Pengetahuan Aksepor KB mengenai Metode Kontrasepsi terhadap Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Kerumitan Metode Kontrasepsi 86 Pengaruh Tingkat Pengetahuan Aksepor KB mengenai Metode Kontrasepsi terhadap Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Kemudahan Dicoba Kontrasepsi 87

viii

Pengaruh Tingkat Pengetahuan Aksepor KB mengenai Metode Kontrasepsi terhadap Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Kemudahan Diamati Metode Kontrasepsi 87 PENGARUH FAKTOR PENGETAHUAN TERHADAP KEPUTUSAN AKSEPTOR KB PADA TAHAP KONFIRMASI ADOPSI METODE KONTRASEPSI 89 PENGARUH TINGKAT PERSEPSI TERHADAP KEPUTUSAN AKSEPTOR KB PADA TAHAP KONFIRMASI ADOPSI METODE KONTRASEPSI

91

ANALISIS JALUR TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN AKSEPTOR KB PADA TAHAP KONFIMRASI ADOPSI METODE KONTRASEPSI

93

PENUTUP

97

SIMPULAN

97

SARAN

97

DAFTAR PUSTAKA

99

ix

DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20 Tabel 21 Tabel 22 Tabel 23 Tabel 24

Urutuan jenjang kepentingan sifat inovasi yang berkaitan dengan kecepatan adopsi inovasi Definisi operasional faktor internal Definisi operasional faktor eksternal Definisi operasional pengetahuan tentang inovasi Definisi operasional persepsi tentang ciri inovasi Jumlah kepala keluarga berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru Jumlah pemeluk agama berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian pokok dan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru Pendidikan terakhir penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru Jumlah prasarana kesehatan di Kelurahan Tanah Baru Jumlah sarana kesehatan di Kelurahan Tanah Baru Jumlah peserta KB aktif dan baru berdasarkan lokasi pelayanannya di Kelurahan Tanah Baru Penyebaran penggunaan metode kontrasepsi yang dipilih akseptor KB aktif dan baru di Kelurahan Tanah Baru Jumlah pasangan usia subur dan akseptor KB di Kelurahan Tanah Baru Jumlah petugas yang hadir ketika pelaksanaan posyandu di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan metode kontrasepsi yang digunakan di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan usia di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat pendidikan di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat pendapatan di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan jumlah tanggungan rumah tangga di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan motivasi di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase motivasi menjadi akseptor KB di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan frekuensi mengunjungi sumber informasi di Kelurahan Tanah Baru

17 39 41 42 43 45 46 46 47 48 48 49 50 51 51 52 53 54 54 55 56 56 57 58

x

Tabel 25 Tabel 26 Tabel 27

Tabel 28 Tabel 29

Tabel 30 Tabel 31 Tabel 32 Tabel 33 Tabel 34 Tabel 35 Tabel 36 Tabel 37

Tabel 38 Tabel 39 Tabel 40 Tabel 41

Tabel 42 Tabel 43

Tabel 44

Jumlah dan persentase frekuensi akseptor KB mengunjungi sumber informasi program KB di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan frekuensi mengakses media massa di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB mengakses media massa untuk mencari informasi mengenai program keluarga berencana di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat ketersediaan infromasi di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase tingkat ketersediaan informasi mengenai program keluarga berencana di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan intensitas penyuluhan di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase intensitas penyuluhan program keluarga berencana di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat ketersediaan sarana di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase tingkat ketersediaan sarana metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat pengetahuan di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan peresentase tingkat pengetahuan akseptor KB di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat persepsi keuntungan relatif di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase perbandingan harga metode kontrasepsi yang dipilih akseptor KB dengan metode kontrasepsi jenis lain di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat persepsi kesesuaian di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase kesesuaian metode kontrasepsi yang dipilih akseptor KB di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat persepsi kerumitan di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase perbandingan cara penggunaan metode kontrasepsi yang dipilih akseptor KB dengan metode kontrasepsi jenis lain di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat persepsi kemudahan dicoba di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase perbandingan biaya yang dikeluarkan untuk mencoba metode kontraepsi yang dipilih akseptor KB dalam skala dengan metode kontrasepsi jenis lain di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat persepsi kemudahan diamati di Kelurahan Tanah Baru

58 59 59

60 61

61 62 63 63 65 65 66 67

68 68 70 70

71 72

73

xi

Tabel 45

Tabel 46

Tabel 47 Tabel 48 Tabel 49

Tabel 50

Tabel 51

Tabel 52

Jumlah dan persentase perbandingan tingkat keberhasilan metode kontrasepsi yang dipilih responden dibanding metode kontraesepsi jenis lai di Kelurahan Tanah Baru Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan keputusan pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru Pengarh faktor internal dan eksternal terhadap tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi Pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi Pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi Pengaruh tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi Pengaruh tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi Pengaruh tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi

73

75

77 79 83

85

89

91

xii

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Gambar 2

Gambar 3

Gambar 4

Gambar 5

Model dan tahapan dalam proses pengambilan keputusan inovasi Kerangka pemikiran pengambilan keputusan akseptor KB untuk melanjutkan penggunaan metode kontrasepsi pada tahap konfirmasi adopsi inovasi Pengaruh variabel motivasi dan tingkat ketersediaan sarana terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif metode kontrasepsi Pengaruh variabel usia, motivasi, dan frekuensi mengakses media massa terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan diamati metode kontrasepsi Pengaruh variabel jumlah tanggungan rumah tangga, motivasi, dan frekuensi mengunjungi sumber informasi terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi

19 34

93

94

95

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8

Peta Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2016-2017 Dokumentasi Kerangka Responden Kuesioner Panduan Wawancara

104

Hasil uji statistik deskriptif

117

Hasil uji regresi linear

120

105 106 108 109 115

PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan penduduk terpadat kelima di kawasan As-sociation of South East Asian Nations (ASEAN) dan berada peringkat ke delapan terpadat di kawasan South East Asia Region (SEARO). Pertumbuhan penduduk Indonesia 5 tahun lebih cepat dari proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS). Hal ini disebabkan masih banyaknya wanita menikah yang masih usia dini. Perkawinan usia dini mencerminkan rendahnya status wanita dan merupakan tradisi sosial yang menopang tingginya tingkat kesuburan. Indonesia merupakan negara yang memiliki persentase perkawinan yang tinggi di dunia dengan menempati rangking ke-37 sedangkan di kawasan ASEAN tertinggi ke-2 setelah Kamboja (BKKBN 2012). Berdasarkan Riskesda (2013) wanita yang menikah pertama kali pada usia kurang dari 15 tahun sebesar 2.6 persen dan yang menikah pada usia 15 sampai 19 tahun sebesar 23.9 persen. Pernikahan yang terlalu dini merupakan awal permasalahan kesehatan reproduksi karena semakin muda umur menikah maka semakin panjang masa reproduksi wanita yang berdampak pada banyaknya anak yang dilahirkan. Penggunaan kontrasepsi menjadi sangat penting untuk menjarangkan dan membatasi kehamilan (Kemenkes 2013). Wanita yang kawin di usia dini perlu mendapatkan perhatian karena akan berdampak pada peningkatan total fertility rate (TFR) (Soebijanto dan Sriudiyani 2011). TFR merupakan gambaran banyaknya anak yang dilahirkan oleh seorang wanita selama masa reproduksi. TFR Indonesia saat ini mengalami stagnansi selama periode tahun 2002 sampai 2012 sebesar 2.6. Angka ini jauh dari target yang diharapkan pemerintah yang tertuang dalam target RPJM 2014 yaitu 2.36. Selain itu, angka fertilitas menurut kelompok umur (age specific fertility rate atau ASFR) di Indonesia mengalami peningkatan dari 35 per 1000 wanita usia 15-19 tahun menjadi 48 per 1000 wanita usia 15-19 tahun. Hasil survei sosial ekonomi masyarakat nasional 2010 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 43.227.100 jiwa dan pada tahun 2015 mencapai 46.709.600. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2020 diperkirakan sebanyak 49.935.700 (BPS 2016). Tingginya laju pertumbuhan penduduk ditandai dengan tingginya angka kehamilan, berdasarkan data profil kesehatan Indonesia tahun 2011 diketahui jumlah ibu hamil sebanyak 5.060.637 dan di Jawa Barat sebanyak 917.553 ibu hamil (Kemenkes 2012). Hal ini diperparah dengan angka kematian dan kesakitan ibu di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan SDKI, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia telah berhasil diturunkan dari angka 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008 dan 2009 menjadi 270 pada tahun 2010, 262 pada tahun 2011, dan 248 pada tahun 2012. Walaupun AKI mengalami penurunan dari tahun ke tahun, namun angka ini masih jauh dari yang telah ditetapkan pemerintah dalam target MDGS yaitu 102 dari 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Oleh karena itu upaya penurunan AKI serta peningkatan derajat kesehatan ibu merupakan salah satu prioritas utama dalam penanganan bidang kesehatan.

2

Salah satu upaya pemerintah dalam mengendalikan laju pertumbuhan penduduk adalah dengan melaksanakan program keluarga berencana (KB) bagi Pasangan Usia Subur (PUS). Berdasarkan laporan pencapaian program KB, peserta KB baru secara nasional sampai dengan bulan Agustus 2013 sebanyak 5.547.543 peserta. Apabila dilihat per kontrasepsi maka persentasenya adalah sebagai berikut: 348.134 peserta IUD (7.8 persen), 85.137 peserta MOW (1.5 persen), 475.463 peserta implant (8.5 persen), 2.748.777 peserta suntikan (49.5 persen), 1.458.464 peserta pil (26.2 persen), 9.375 peserta MOP (0.2) persen, dan 330.303 peserta kondom (5.9 persen). Mayoritas peserta KB baru bulan Agustus 2013, didominasi oleh peserta KB yang menggunakan Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (Non MKJP), yaitu sebesat 81.7 persen dari seluruh peserta KB baru. Sedangkan peserta KB baru yang menggunakan metode jangka panjang seperti IUD, MOW, MOP dan implant hanya sebesar 18.2 persen (BKKBN 2013). Di Jawa Barat menurut BKKBN (2013) jumlah peserta KB pasca persalinan atau pasca keguguran menurut metode kontrasepsi Agustus tahun 2013 sebanyak 152.673, dengan IUD 24.520 (16.0 persen), MOW 3.319 (2.1 persen), MOP 132 (0.09 persen) kondom 1.830 (1.2 persen), implant 9.880 (6.4 persen), suntikan 81.933 (53.6 persen), dan pil 31.059 (20.3 persen). Selain mengendalikan jumlah penduduk, program KB juga bermanfaat untuk mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015 seperti yang tercantum dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2015 indikator 5b yaitu meningkatkan pemakaian kontrasepsi cara modern, meningkatkan Contraceptive Prevalence Rate (CPR) menjadi 65.0 persen dan menurunkan Unmet Need hingga 5.0 persen pada tahun 2015. Begitu juga dengan target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2010-2014 antara lain tentang meningkatkan pencapaian CPR menjadi 65.0 persen, termasuk peningkatan peserta aktif metode kontrasepsi jangka panjang (MJKP) sebesar 25.9 persen dan pencapaian perserta baru MJKP sebesar 12.9 persen. Sehubungan dengan hal tersebut, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) beberapa tahun ini memprioritaskan peningkatan kesertaan KB jangka panjang (BKKBN 2011). Pencpaaian poin ke-5 pada MDGs 2015 menemukan beberapa hambatan utnuk mencapai target pada tahun 2015, misalnya pada angka unmet need. Menurut cara perhitungan baru SDKI 2012, 11.0 persen wanita berstatus kawin di Indonesia tidak terpenuhi kebutuhan pelayanan KB. Persentase ini jauh dari targert MDG’s yaitu 5.0 persen untuk unmet need di Indonesia. Tujuan dari program keluarga berencana adalah untuk membangun manusia Indonesia sebagai obyak dan subyek pembangunan melalui peningkatan kesejahteraan ibu, anak, dan keluarga. Selain itu program KB juga ditujukan untuk menurunkan angka kelahiran dengan menggunakan salah satu jenis kontrasepsi secara sukarela yang didasari keinginan dan tanggung jawab seluruh masyarakat (Bappeda 2014). Untuk menghindari risiko-risiko selama kehamilan dan persalinan, pasangan usia subur sebaiknya melahirkan pada periode usia 20-35 tahun. Jadi selama periode 20 sampai 35 tahun disarankan mempunyai 2 anak dengan jarak anak pertama dan kedua 7 sampai 8 tahun. Upaya ini dilakukan agar ibu dapat memberikan asi yang banyak dan lama sehingga dapat menghasilkan generasi yang berkualitas. Program KB Nasional terdiri atas 3 periode, yaitu: (1) Periode 1970 sampai 1980 yang berbasis management for the people dengan ciri pemerintah lebih banyak

3

berinisiatif, partisipasi masyarakat sangat rendah, kurang demokratis dan terkesan memaksa serta berorientasi pada target; (2) Periode 1980 sampai 1990 berbasis management with the people dengan ciri pemaksaan dikurangi, dimulainya program safari KB (1980), dimulainya program KB lingkaran biru (1958-1988) sehingga masyarakat bebas memilih kontrasepsi yang ingin dipakainya, meskipun masih tetap dipilihkan jenis kontrasepsinya, dan program KB lingkaran emas di mana peserta bebas memilih alat kontrasepsi yang akan digunakan asalkan metode atau alat itu sudah terdaftar di Departemen Kesehatan dan masyarakat mengeluarkan uang pribadi untuk menggunakan metode kontrasepsi; Tahun 1990 hingga sekarang di mana pelaksanaan program KB berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga selain dengan program KB juga disertai dengan usaha-usaha peningkatan pendapatan keluarga dengan tag line “keluarga berkualitas”. Berubahnya orientasasi program KB menjadi keluarga berkualitas dimana jumlah anak disesuaikan dnegan kemampuan keluarga, membuat paradigma masyarakat berubah. Apabila dirasa mampu, keluarga tersebut diperbolehkan untuk memilik anak lebih dari dua. Hal ini diperparah dengan berubahnya sistem pengelolaan Program Keluarga Berencana yang dilaksanakan oleh BKKBN. Dengan berakhirnya Pemerintahan Orde Baru dan mulai berdirinya Orde Reformasi banyak hal yang terjadi di Indonesia, banyak kebijakan-kebijakan baru yang dibuat. Kemudian tak lama pada tahun 1999 munculah undang-undang baru yang menjadi tonggak sejarah baru di Indonesia dengan lahirnya Undang-Undang menegenai Otonomi Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Kerakteristik pemerintahan yang semula bersifat sentralistik lambat tapi pasti sudah mulai berubah menjadi desentralisasi yang lebih terbuka dan memungkinkan tiaptiap daerah untuk dapat mengatur dan mengelola daerahnya sendiri secara lebih optimal menyesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki masing-masing daerah. Dengan Otonomi Daerah ini tiap-tiap daerah di Indonesia mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk dapat mengelola daerahnya masing-masing. Sebagai imbasnya tiap-tiap daerah harus mulai mandiri dan mengurangi ketergantungannya terhadap pemeritah pusat. Termasuk di antaranya adalah mulai diserahkannya kewajiban dan hak untuk mengelola organisasi dan institusi pemerintahan di daerah masing-masing termasuk juga dalam pengelolaan BKKBN di tiap daerah. Penyerahan kewenangan BKKBN ke daerah ditandai dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001, di mana BKKBN merupakan salah satu instansi pemerintah yang harus diserahkan kewenangannya kepada pemerintah daerah. Penyerahan kewenangan tesebut dilakukan secara bertahap dimulai tahun 2002 sampai dengan tahun 2003 dengan pertimbangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan tiap-tiap daerah. Akan tetapi dengan adanya otonomi daerah keberlangsungan BKKBN akan tergantung oleh pemerintah daerah apakah tetap menggunakan BKKBN ataukah meniadakannya. Namun, pada pelaksanaannya BKKBN daerah merasa bahwa pelaksanaan program KB adalah tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan menurut pemerintah pusat, kini penyelenggaraan BKKBN sudah diserahkan kepada masing-masing BKKBN pada tingkat daerah. Sehingga, penelitian tentang adopsi inovasi program keluarga berencana penting dilakukan. Pertama, secara empiris berkaitan dengan potensi dan tantangan yang dihadapi dalam berbagai program pembangunan nasional baik yang berkaitan dengan kepentingan praktis di lapangan maupun kebijakan mengenai program keluarga berencana. Program keluarga berencana sebagai suatu inovasi berpotensi

4

untuk menjadi strategi menekan angka kelahiran, melalui penggunaan beragam metode kotrasepsi. Kedua, secara konseptual berkaitan dengan perkembangan kajian dan teori tentang adopsi inovasi teknologi. Menguji secara empiris teori adopsi, menganalisis faktor-faktor yang paling menentukan ketika keputusan pada setiap fase adopsi inovasi program keluarga berencana. Penerapan suatu inovasi selain tergantung pada inovasi yang ditawarkan ditentukan oleh kesediaan adopter dalam mengadopsi metode tersebut. Dengan kata lain faktor kunci dalam adopsi suatu inovasi adalah adopter sebagai pengambil keputusan dan dalam pengambilan keputusan tersebut terdapat lima tahapan, yaitu tahap pengenalan, tahap persuasi, tahap keputusan, tahap implementasi, dan tahap konfirmasi (Rogers 1983). Berdasaran uraian tersebut maka perlu dikaji bagaimana keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi? Rumusan Masalah Keberhasilan proses pengambilan keputusan inovasi berhubungan dengan berbagai faktor. Rogers (2003) mendefinisikan pengambilan keputusan inovasi sebagai suatu proses yang mencakup suatu rangkaian penerimaan atau penolakan inovasi oleh unit pengambilan keputusan dan terjadi dalam lima tahap yaitu tahap pengenalan, tahap persuasi, tahap keputusan, tahap penerapan, dan tahap konfirmasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan tahap konfirmasi adopsi inovasi yaitu, karakteristik individu, persepsi terhadap karakteristik inovasi, saluran komunikasi, dan kondisi sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian Nasution (2012) didapatkan data bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan pemilihan alat kontrasepsi di Kecamatan Ngesrep Semarang. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Manuaba (1998) yang menyatakan bahwa di dalam menentukan pilihan pengunaan metode kontrasepsi pasangan memerlukan informasi yang benar dan tepat, sebab setiap metode kontrasepsi yang ada selalu memiliki kelebihan dan kekurangan yang mana akan menimbulkan suatu kerugian apabila tidak diinformasikan dengan baik. Selanjutnya, penelitian Susanti (2008) membagi faktor-faktor yang telah dijabarkan Rogers (2003) menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dijabarkan sebagai faktor yang melekat pada unit pengambilan keputusan inovasi, antara lain meliputi: umur, tingkat pendidikan, luas lahan, dan tingkat pendapatan. Faktor eksternal didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari luar unit pengambilan keputusan, meliputi: lingkungan ekonomi, lingkungan sosial, dan sifat inovasi. Berbeda halnya dengan penggolongan faktor pengaruh keputusan inovasi yang dilakukan oleh Rizka (2015), sifat atau karakteristik inovasi dijadikan faktor tersendiri. Penjelasan berikut mengantarkan pada pertanyaan penelitian yaitu: 1. Bagaimana tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru? 2. Bagaimana tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru? 3. Bagaimana keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru?

5

4. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru? 5. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru? 6. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru? Tujuan Penelitian Tujuan dilakukan penelitian adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu: 1. Menganalisis tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru. 2. Menganalisis tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru. 3. Menganalisis keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru. 4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru. 5. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru. 6. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru. Manfaat Penelitian Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai pihak, di antaranya ialah: 1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontraspesi. Selain itu penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai adopsi inovasi program keluarga berencana sehingga mampu memberikan kontribusi gambaran realitas di masyarakat sebagai pertimbangan implementasi program pembangunan. 2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan untuk menentukan arah kebijakan dan langkah strategis dalam upaya peningkatan proses adopsi metode kontrasepsi guna mendukung terwujudnya keluarga berkualitas. 3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta kesadaran kritis untuk berpartisipasi dalam program keluarga berencana.

6

7

PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Pengertian Program Keluarga Berencana Dalam kamus Barat pada umumnya, Family Planning diatikan sebagai pembatasan kelahiran dan jarak antar anak. The American Heritage (2007) menyebutkan bahwa KB adalah suatu program untuk mengatur jumlah dan jarak anak dalam keluarga melalui penggunaan kontrasepsi atau metode pengaturan kelahiran lainnya (WHO 2011). Dalam konteks Indonesia, definis Family Planning dapat dilihat dalam Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Disebutkan bahwa Keluarga Berencana adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, serta peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai penjawaban visi dan misi Pemerintah untuk kurun waktu 2004-2009, menyebutkan Program KB Nasional merupakan rangkaian pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas sebagai langkah penting dalam mencapai pembangunan keberlanjutan. Pembangunan ini diarahkan sebagai upaya pengendalian kuantitas penduduk. Program Keluarga Berencana merupakan suatu program kebijakan pemerintah yang dilakukan dalam rangka menyikapi perkembangan pertambahan penduduk yang tidak terkendali. Program KB adalah program yang dijalankan dengan harapan akan mampu mengendalikan angka kelahiran dan mengatur jarak kehamilan seorang ibu yang nantinya akan berpengaruh positif terhadap masalahmasalah sosial yang dapat timbul karena banyaknya jumlah penduduk dengan kualitas yang rendah. Seperti terdapat dalam Undang-Undang RI Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, secara umum KB adalah upaya untuk mengatur kelahiran anak, jarak kelahiran, dan usia ideal melahirkan serta mengatur kehamilan. KB dilakukan melalui kegiatan promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi pasangan usia subur untuk dapat mewujudkan keluarga yang berkualitas. KB adalah daya dan upaya manusia untuk mengatur atau membatasi kelahiran, baik untuk sementara atau untuk selamanya. Upaya-upaya dalam KB ini dilakukan semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan jumlah anak yang tidak banyak serta jarak kelahiran yang ideal tentu akan membuat kehidupan keluarga mampu menciptakan manusiamanusia yang berkualitas. Usia ideal untuk perkawinan yang diharapkan dilakukan oleh masyarakat bertujuan agar masyarakat mempunyai cukup kesadaran dan kesiapan yang matang dalam perilakunya sehingga akan mampu berpikir secara tepat mengenai masa depan keluarga yang dibangun, meliputi jumlah anak dan jarak kelahiran yang ideal.

8

Tujuan Program Keluarga Berencana Program KB mempunyai maksud dan tujuan, yang secara umum untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, bangsa, dan negara dengan cara menurunkan angka kelahiran. Dalam dalam UU No. 52 Tahun 2009 pasal 21 ayat 2 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, disebutkan bahwa kebijakan program KB bertujuan untuk: 1. Mengatur kehamilan yang diinginkan. 2. Menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak. 3. Meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling dan pelayanan KB, dan kesehatan reproduksi. 4. Meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktek KB. 5. Mempromosikan penyusuan bayi sebagai upaya untuk menjarangkan kehamilan. Melalui KB seorang ibu akan mampu mengatur waktu yang tepat kapan ingin hamil, dengan begitu akan dapat mengurus anaknya dengan baik. Selain itu antara kehamilan pertama dengan kehamilan selanjutnya, ibu akan dapat memulihkan kondisi pasca melahirkan dan memberikan ASI yang merupakan makanan pertama dan utama bagi bayi yang baru dilahirkan dan diharapkan kondisi kesehatan ibu dan bayi akan meningkat sehingga dimungkinkan dapat menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Dengan menjarangkan kehamilan seorang ibu perlu didukung pula oleh partisipasi pria dalam ber-KB, tidak hanya terkonsentrasi pada perempuan. Oleh karena itu diperlukan adanya kemudahan akses informasi dan pelayanan KB ke seluruh warga masyarakat agar pengetahuan masyarakat mengenai KB meningkat dan akhirnya keikutsertaan masyarakat meningkat pula. Misi program KB sangat menekankan pentingnya upaya menghormati hak-hak reproduksi, sebagai upaya integral dalam meningkatkan kualitas keluarga. Hal tersebut dijabarkan ke dalam misi program KB, yaitu: 1. Memberdayakan masyarakat untuk membangun keluarga kecil berkualitas. 2. Menggalang kemitraan dalam meningkatkan kesejahteraan, kemandirian, dan ketahanan keluarga. 3. Meningkatkan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. 4. Meningkatkan promosi, perlindungan, dan upaya mewujudkan hak-hak reproduksi. 5. Meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender melalui program KB. 6. Mempersiapkan Sumber Daya Manusia berkualitas sejak pembuahan dalam kandungan sampai dengan lanjut usia (Saifudin 2003). Secara umum misi program KB adalah mengupayakan agar masyarakat secara sadar membentuk keluarga kecil yang berkualitas, bahagia dan sejahtera yang akan menjadi penentu masa depan kehidupan masyarakat melalui anak-anak yang dilahirkannya. Dalam pelaksanaannya, program KB nasional mempunyai target tiga dimensi, yaitu perluasan jangkauan, pembinaan, dan pelembagaanpembudayaan (BKKBN 1985). Ketiga hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Perluasan jangkauan, yang meliputi usaha untuk mengajak para peserta KB baru sebanyak-banyaknya sehingga akan mempunyai arti positif dalam pengendalian kelahiran. Pada dimensi ini dikembangkan pula institusi-

9

institusi baru, atau meningkatkan yang telah ada dan mengajaknya untuk ikut serta menjadi penanggung jawab program KB sebaik-baiknya. Sehingga dengan demikian akan dapat segera dicapai pemerataan program secara memadai. 2. Pembinaan, yang meliputi usaha untuk membangun kesadaran masyarakat agar lebih memantapkan penerimaan ide KB maupun keikutsertaan dalam pengelolaan program Keluarga Berencana. 3. Pelembagaan-pembudayaan, yang meliputi usaha untuk meningkatkan diterimanya Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera secara membudaya. Disini termasuk pula usaha untuk meningkatkan peranan masyarakat dan petugas pemerintah dalam ikut serta menggarap program KB dan kependudukan serta pembangunan lainnya yang mendukung diterimanya Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera. Melalui program KB diharapkan masyarakat dapat lebih terjamin dan sejahtera kehidupannya. Hal ini akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan oleh keluarga tersebut. Orang tua akan lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, tempat tinggal dan terutama pendidikan jika anaknya tidak terlalu banyak. Thomas Robert Malthus mengemukakan pendapatnya tentang hubungan antara pertambahan penduduk dengan persediaan pangan. Malthus berpendapat bahwa jika tidak ada pengekangan, kecenderungan pertambahan jumlah manusia akan lebih cepat dari pertambahan pangan (Rusli 2012). Perkembangan penduduk akan mengikuti deret ukur sedangkan perkembangan pangan mengikuti deret hitung. Teori dari Malthus ini memberi gambaran betapa menderitanya kehidupan manusia di dunia ini jika jumlah manusia tak terkendali. Untuk itu diperlukan adanya program KB sebagai pengendali kelahiran yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan keluarga, bangsa, dan negara dengan menurunkan angka kelahiran. Manfaat Program Keluarga Berencana Banyak manfaat yang dirasakan jika keluarga ikut KB, diantaranya untuk Ibu, untuk anak-anak yang dilahirkan, untuk anak-anak yang lain, untuk ayah, dan untuk seluruh keluarga. Dengan mengatur jumlah dan jarak kelahiran, ibu mendapat manfaat berupa perbaikan kesehatan badan karena tercegahnya kehamilan yang berulang kali dalam waktu yang terlalu pendek dan peningkatan kesadaran mental dan sosial yang dimungkinkan adanya waktu yang cukup dalam mengasuh anak– anak, untuk beristirahat dan menikmati waktu luang serta melakukan kegiatan – kegiatan lainnya. Manfaat untuk anak–anak yang dilahirkan, yaitu anak–anak yang akan dilahirkan dapat tumbuh secara wajar karena ibu yang mengandungnya dalam keadaan sehat dan sesudah lahir anak tersebut akan memperoleh perhatian, pemeliharaan dan makanan yang cukup karena kehadiran anak tersebut memang diinginkan dan direncanakan. Selain itu, anak–anak yang lain akan mendapat manfaat berupa kesempatan kepada mereka agar perkembangan fisiknya lebih baik karena setiap anak memperoleh makanan yang cukup dari sumber yang tersedia dalam keluarga dan perkembangan mental serta sosialnya lebih sempurna karena pemeliharaan yang lebih baik dan lebih banyak waktu yang diberikan oleh ibu untuk setiap anak serta perencanaan kesempatan pendidikan yang lebih baik karena

10

sumber–sumber pendapatan keluarga tidak habis untuk sekedar mempertahankan hidup semata. Memberikan kesempatan untuk ayah agar dapat memperbaiki kesejahteraan fisiknya dan kesehatan mental serta sosialnya karena kecemasan berkurang sehingga memiliki waktu luang lebih banyak untuk keluarganya. Manfaat yang dapat dirasakan untuk seluruh keluarga adalah kesehatan fisik mental dan sosial setiap anggota keluarga bergantung dari kesehatan seluruh keluarga serta setiap anggota keluarga mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk memperoleh pendidikan. Sejarah Perkembangan Program Keluarga Berencana Beberapa negara melaksanakan program KB dalam upaya mengurangi tingkat kelahiran dan mencegah ledakan penduduk. Di China, sebagai negara dengan penduduk terbanyak di dunia, program KB mulai benar-benar diterapkan tahun 1970-an. Program yang dicanangkan adalah: menunda perkawinan, menunda memunyai anak serta menjaga jarak kelahiran antar-anak. Slogannya adalah: satu anak itu baik, dua anak masih dapat diterima, dan tiga anak itu terlalu banyak. Dengan menerapkan program KB, diperkirakan dapat menekan 300 juta kelahiran antara tahun 1970-1994. Pada awalnya, masyarakat tradisional Cina lebih suka menikah muda, mempunyai anak pada usia muda serta memunyai banyak anak. Mereka biasanya mempunyai anak antara 5 sampai 6 orang. Dalam pandangan mereka, lebih banyak anak berarti suatu kebahagiaan yang besar. Meskipun secara formal disebutkan bahwa kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki di bidang politik, ekonomi, social, dan kehidupan keluarga, akan tetapi dalam kenyataannya beban kaum perempuan dalam program KB masih lebih berat. Tahun 1992, tingkat partisipasi KB wanita adalah 83.5 persen. Adapun sisanya adalah tingkat partisipasi laki-laki, yang berarti masih di bawah 20 persen. Alat kontrasepsi yang popular di kalangan laki-laki adalah vasektomi yang dipilih oleh sekitar 22.6 juta laki-laki. Kondisi ini tidak meningkat jauh. Partisipasi laki-laki dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang kompleks seperti sosial, ekonomi, politik, dan terutama budaya. Kunci keberhasilan pelaksanaan KB mereka adalah pada tiga hal yang utama yakni: pendidikan, pelayanan regular, dan penggunaan alat kontrasepsi. Di India, program KB dimulai tahun 1950-an, tetapi belum optimal. Akhir 1960-an, barulah dilakukan program besar-besaran untuk menurunkan kelahiran dari 41 per 1000 menjadi 20 sampai 25 per 1000 pada pertengahan tahun 1970-an. Kebijakan Kependudukan Nasional yang diadopsi tahun 1976 menyatakan perlunya pengintegrasian antara program KB dengan tingkat kesejahteraan penduduk. Pembuat kebijakan berasumsi bahwa ukuran/jumlah keluarga yang terlalu besar adalah bagian dari kemiskinan, sehingga harus dikikis dengan strategi terintegrasi. Untuk itu, pendidikan tentang kependudukan dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum sekolah. Di Malaysia, Family Planning dimulai sekitar 1950. Metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan adalah pil. Menurut survei tahun 1957, sebanyak 31.0 persen perempuan di kota dan dua persen di desa menggunakan alat tersebut. Saat ini, kebutuhannya adalah: melatih petugas kesehatan, menginformasikan dan memotivasi keluarga untuk menerima KB, melanjutkan program pendididikan,

11

mereformasi hukum anti aborsi, serta mengintegrasikan pelayanan KB dengan pelayanan kesehatan. Di Banglades yang pada tahun 2003 menjadi negara terpadat terbanyak ke7 di dunia (sekitar 135 juta jiwa) yang hampir setengahnya miskin, program KB mulai dilaksanakan tahun 2003 dengan nama The Health Nutrition and Population Sector Program (HNPSP). Kebijakan program ini adalah meningkatkan jumlah petugas lapangan dan klinik-klinik pembantu yang menyediakan layanan KB serta kunjungan rumah ke rumah.. Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa program KB merupakan salah satu solusi bagi negara-negara “besar” dalam upaya mengendalikan penduduk. Pelaksanaan program KB dilakukan oleh para petugas yang secara resmi diberi mandat untuk itu. Mereka adalah para pegawai negeri sipil baik yang berstatus sebagai penyuluh fungsional (yang disebut dengan Penyuluh KB/PKB) maupun bukan fungsional (yang disebut Petugas Lapangan Keluarga Berencana/PLKB). Usaha membatasi kelahiran (Birth Control) sebenarnya secara individual telah banyak dilakukan di Indonesia. Diantaranya yang paling banyak diketahui adalah cara yang banyak digunakan di kalangan masyarakat Jawa. Oleh karena penelitian mengenai hal ini banyak dilakukan di Jawa. Tetapi bukan berarti daerahdaerah di luar Jawa tidak melakukannya, misalnya seperti di Irian Jaya, Kalimantan Tengah dan sebagainya. Jamu-jamu untuk menjarangkan kehamilan juga banyak dikenal oleh orang, meskipun ada usaha untuk menyelidiki secara ilmiah ramuanramuan tradisional itu. Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu program pemerintah yang pada awalnya diatur berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, namun dalam perkembangannya telah disempurnakan dengan terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan kependudukan dan Pembangunan Keluarga, begitupula pada pengertian Keluarga Berencana sudah ditetapkan. Pengertian KB ternyata juga mengalami perubahan yaitu dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1992 pengertian KB adalah peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kehamilan, peningkatan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 disebutkan bahwa KB yaitu upaya untuk mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga berkualitas. Keluarga Berencana menurut WHO (World Health Organization) adalah tindakan yang membantu pasangan suami isteri untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan, mengatur interval di antara kelahiran, mengontrol waktu kelahiran, dan menentukan jumlah anak dalam keluarga. Tujuan umum program KB adalah membentuk keluarga kecil sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi dengan cara pengaturan kelahiran anak agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Di Indonesia adanya keluarga berencana masih baru dibandingkan dengan negara -negara barat. Di negara-negara barat jauh sebelum itu sudah ada usaha -

12

usaha untuk mencegah kelangsungan hidup seorang bayi/anak yang karena tidak diinginkan, atau pencegahan kelahiran/kehamilan karena alasan-alasan ekonomi, sosial dan lain-lain. Sejalan dengan perkembangan KB di luar negeri, di Indonesia telah banyak dilakukan usaha membatasi kelahiran secara tradisional dan bersifat individual. Dalam kondisi angka kematian bayi dan ibu yang melahirkan di Indonesia cukup tinggi, upaya mengatur kelahiran tersebut makin meluas terutama di kalangan dokter. Sejak tahun 1950-an para ahli kandungan berusaha mencegah angka kematian yang terlalu tinggi dengan merintis bagian kesehatan ibu dan anak (BKIA). Pada tahun 1957, didirikan Perkumpulan Keluarga Berencana yang dalam perkembangannya berkembang menjadi perkumpulan keluarga berencana indonesia (PKBI). Namun dalam kegiatan penerangan dan pelayanan masih dilakukan terbatas mengingat PKBI, sebagai satu-satunya organisasi sosial yang bergerak dalam bidang KB masih mendapat kesulitan dan hambatan, terutama KUHP nomor 283 yang melarang penyebarluasan gagasan keluarga berencana (KB). Pada tahun 1967 PKBI diakui sebagai badan hukum oleh Departemen Kehakiman. Menkesra pada tanggal 11 Oktober 1968 mengeluarkan Surat Keputusan No.35/KPTS/Kesra/X/1968 tentang Pembentukan Tim yang akan mengadakan persiapan bagi pembentukan Lembaga Keluarga Berencana. Pada tanggal 17 Oktober 1968 dibentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) dengan Surat Keputusan No. 36/KPTS/Kesra/X/1968. Lembaga ini statusnya adalah sebagai Lembaga Semi Pemerintah. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dibentuk berdasarkan Keppres No. 8 Tahun 1970. Dua tahun kemudian, pada tahun 1972 keluar Keppres No. 33 Tahun 1972 sebagai penyempurnaan Organisasi dan tata kerja BKKBN yang ada. Status badan ini berubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan langsung dibawah Presiden. Kedudukan BKKBN dalam Keppres No. 38 Tahun 1978 adalah sebagai lembaga pemerintah non-departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Tugas pokoknya adalah mempersiapkan kebijaksanaan umum dan mengkoordinasikan pelaksanaan program KB nasional dan kependudukan yang mendukungnya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah serta mengkoordinasikan penyelenggaraan pelaksanaan di lapangan. Pada masa Kabinet Pembangunan IV muncul pendekatan baru antara lain melalui pendekatan koordinasi aktif, penyelenggaraan KB oleh pemerintah dan masyarakat lebih disinkronkan pelaksanaannya melalui koordinasi aktif tersebut ditingkatkan menjadi koordinasi aktif dengan peran ganda, yaitu selain sebagai dinamisator juga sebagai fasilitator. Disamping itu, dikembangkan pula strategi pembagian wilayah guna mengimbangi laju kecepatan program. Pada periode ini secara resmi KB Mandiri mulai dicanangkan pada tanggal 28 Januari 1987 oleh Presiden Soeharto dalam acara penerimaan peserta KB Lestari di Taman Mini Indonesia Indah. Program KB Mandiri dipopulerkan dengan kampanye lingkaran biru (LIBI) yang bertujuan memperkenalkan tempat-tempat pelayanan dengan logo Lingkaran Biru KB. Pada tahun 2009, diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, BKKBN berubah dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Republik

13

Indonesia Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, di mana BKKBN kemudian direstrukturisasi menjadi badan kependudukan, bukan lagi badan koordinasi. Program KB di Indonesia telah diakui secara nasional dan internasional sebagai salah satu program yang telah berhasil menurunkan angka fertilitas secara nyata. Hasil surveiSDKI 2003, Total Fertility Rate (TFR) sebesar 2.4 menurun menjadi 2.3 pada SDKI 2007. Namun bukan berarti masalah kependudukan di Indonesia selesai, akan tetapi program tersebut diupayakan tetap dipertahankan. Salah satu masalah dalam pengelolaan program KB yaitu masih tingginya angka unmet need KB di Indonesia. Jumlah PUS yang ingin menunda kehamilan atau tidak menginginkan tambahan anak tetapi tidak ber-KB meningkat dari 8.6 persen SDKI 2003 menjadi 9.1 persen SDKI 2007 dan kembali meningkat menjadi 11.0 persen di tahun 2012, di mana diharapkan pada akhir tahun 2014 dapat diturunkan menjadi sebesar 5.0 persen. Penggunaan kontrasepsi KB di Indonesia yang berusia 15 sampai 49 tahun yang menggunakan metode suntikan 58.2 persen, pil KB 24.3 persen, IUD 7.2 persen, implant 4.1 persen, MOW 3.1 persen, MOP 1.0 persen, kondom 0.6 persen, Intraviganal Tissue 0.1 persen, dan metode tradisional 1.0 persen (BPS 2010). Di Jawa Barat penggunaan IUD juga masih rendah dibandingkan dengan suntik. Hal ini terlihat dari data, pemakaian kontrasepsi secara keseluruhan yaitu suntik 57.7 persen, pil 19.3 persen, implant 8.6 persen, IUD 6.4 persen, kondom 5.4 persen, MOW 2.0 persen, dan MOP 0.4 persen. Dengan data yang didapatkan, penggunaan KB kontrasepsi hormonal lebih tinggi disbanding metode kontrasepsi non hormonal dengan jumlah sebesar 86.7 persen (Depkes 2009). Jumlah PUS di Kabupaten Bogor tahun 2010 sebanyak 884.001 dan yang sudah menjadi akseptor adalah 735.434 orang (85.2 persen) yang terdiri dari 539.934 adalah peserta KB aktif dan 139.040 adalah peserta KB baru. Rincian pemakaian setiap kontrasepsi yaitu IUD 4.4 persen, MOP/MOW 2.1 persen, implant 2.8 persen, suntik 47.2 persen, dan pil 29.8 persen (Profil Dinkes Bogor 2010). Dan tahun 2011 dari 913.344 PUS, 816.546 (89.4 persen) yang sudah menjadi akseptor baru dan aktif yang terdiri dari IUD 4.4 persen, MOP/MOW 2.0 persen, implant 3.0 persen, kondom 0.7 persen, suntik 49.1 persen, pil 30.0 persen sedangkan untuk kontrasepsi vaginal tidak ada (Profil Dinkes Bogor 2011). Metode Kontrasepsi Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti ‘mencegah’ atau ‘melawan’ dan konsepsi yang berarti pertemuan antara sel telur yang matang dan sel sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma tersebut (Hartanto 2004). Pelayanan kontrasepsi merupakan salah satu komponen dalam pelayanan kependudukan atau keluarga berencana. Selain pelayanan kontrasepsi juga terdapat komponen pelayanan kependudukan atau keluarga berencana lainnya seperti komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), konseling, pelayanan infertilitas, pendidikan seks (sex education), konsultasi pra-perkawinan, dan konsultasi perkawinan, konsultasi genetik, tes keganasan, dan adopsi (Depkes 2005).

14

Pelaksanaan program KB diperlukan kesadaran dan kemauan dari masyarakat. Dan tugas pemerintah adalah mendorong serta mensosialisasikan semua hal mengenai KB. KB sendiri dilakukan dengan metode kontrasepsi, yakni metode yang dilakukan untuk mencegah terjadinya pembuahan yang akan menyebabkan terjadinya sebuah kehidupan baru (kehamilan). Tidak ada satupun metode kontrasepsi yang aman dan efektif bagi semua klien karena masing-masing mempunyai kesesuaian dan kecocokan individual bagu setiap klien. Namun secara umum persyaratan metode kontrasepsi ideal adalah: 1. Aman, artinya tidak akan menimbulkan komplikasi berat jika digunakan. 2. Berdaya guna, dalam arti jika digunakan sesuai aturan akan dapat mencegah kehamilan. Ada beberapa komponen dalam menentukan keefktifan dari suatu metode kontrasepsi diantaranya adalah keefektifan teoritis, keefektifan praktis, dan keefektifan biaya. Kefektifan teoritis (theoritical effectiveness) yaitu kemampuan dari suatu cara kontrasepsi untuk mengurangi terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, apabila cara tersebut digunakan terus menerus dan sesuai dengan petunjuk yang diberikan tanpa kelalaian. Keefektifan praktis (use effectiveness) adalah keefektifan yang terlihat dalam kenyataan di lapangan setelah pemakaian jumlah besar, meliputi segala sesuatu yang mempengaruhi pemakaian seperti kesalahan, pengehentian, kelalaian, dan lain-lain (Saefuddin 2006). 3. Dapat diterima, bukan hanya oleh klien melainkan juga oleh lingkungan budaya di masyarakat. Ada dua macam penerimaan terhadap kontrasepsi yakni penerimaan awal (initial acceptability) dan penerimaan lanjut (continued acceptability). Penerimaan awal tergantung pada bagaimana motivasi dan persuasi yang diberikan oleh petugas KB. Penerimaan lanjut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur, motivasi, budaya, sosial ekonomi, agama, sifat yang ada pada KB, dan faktor daerah (desa/kota). 4. Terjangkau harganya oleh masyarakat. Bila metode tersebut dihentikan penggunaannya, klien akan segera kembali kesuburannya, kecuali untuk kontrasepsi mantap. Metode kontrasepsi terbagi menjadi metode mekanik dan kimiawi juga meliputi cara-cara alami dan sterilisasi (Lucas et al. 1984). 1. Cara alamiah  Senggama terputus, metode ini merupakan metode KB tradisional, di mana pria mengeluarkan alat kelaminnya dari vagina sebelum pria ejakulasi sehingga sperma tidak masuk ke dalam vagina dan kehamilan dapat dicegah.  Pantang berkala, metode ini dilakukan dengan cara menghindari hubungan suami-istri selama masa subur istri. Hal ini berangkat dari pengetahuan siklus masa haid istri.  Puasa penuh (Abstinence), hal ini dilakukan dengan cara tidak melakukan hubungan suami-istri sama sekali. Metode ini 100 persen efektif mencegah kehamilan. 2. Mengunakan alat bantu  Kondom merupakan sebuah kantong yang terbuat dari karet tipis, vinil atau bahan alami (produksi hewani) yang penggunaannya dipasang pada alat kelamin pria sebelum melakukan hubungan suami istri. Kondom mencegah sperma masuk ke dalam vagina. Kondom hanya bisa dipakai satu kali lalu

15











 



dibuang. Secara teori efektivitas kondom sebesar 98 persen namun dalam prakteknya hanya mencapai 85 persen (Saefuddin 2006). Pil, merupakan kombinasi dari hormon-hormon sintetis. Pil mencegah indung telur untuk melepas sel-sel telur. Pil diminum oleh perempuan satu kali sehari selama 21 hari berturut-turut setiap bulan, dimulai lima hari setelah masa haid. Keragaman dari pil akan menyebabkan bahaya bila diminum saat hamil. Suntik, cara suntik merupakan penyuntikan kombinasi beberapa ramuan komposisi obat-obatan yang dilakukan oleh petugas medis kepada perempuan. Jarak antara suntikan pertama dengan suntikan berikutnya biasanya 12 minggu. Intra Uterine Device (IUD) atau spiral, alat ini kecil dan terbuat dari plastik stainless steel. Alat ini dimasukkan ke dalam rahim wanita oleh seorang dokter yang terlatih dan meninggalkannya di sana tanpa batas waktu tertentu. Umumnya alat ini mampu mencegah kehamilan hingga 5 sampai 8 tahun. Implant, metode ini dilakukan dengan penanaman suatu batang/silinder yang panjangnya tak lebih dari 4 cm dan berdiameter 2 mm. Susuk terbuat sari silastik atau batang putih lentur yang diisi dengan obat-obatan yang mencegah kehamilan. Alat ini ditanam di lengan bagian dalam dan dapat bekerja hingga 5 tahun. Diafragma, adalah kap berbentuk bulat cembung seperti mangkuk kecil, terbuat dari lateks (karet) yang diinsersikan ke dalam vagina sebelum berhubungan suami-istri dan menutup serviks. Alat ini mencegah sperma agar tidak dapat mencapai saluran alat reproduksi bagian atas. Penyemprotan, dilakukan dengan menyemprot vagina dengan suatu larutan kimia langsung, gunanya adalah untuk membunuh atau menghanyutkan sperma. Spermisida, spermisida adalah bahan kimia (biasanya non oksinol-9), digunakan untuk menonaktifkan atau membunuh sperma. Spermisida dikemas dalam bentuk aerosol (busa); tablet vaginal, suppositoria, atau dissolvable film; dan krim. Spermisida ini menyebabkan sel membrane sperma terpecah, memperlambat pergerakan sperma dan menurunkan kemampuan pembuahan sel telur. Sterilisasi, sterilisasi adalah suatu bentuk pencegahan kehamilan dengan cara operasi yang dilakukan oleh dokter dengan cara mengikat saluran indung telur agar pertemuan antara sel telur dengan sperma tidak membuahkan kehamilan. Sterilisasi pada wanita dinamakan tubektomi. Sterilisasi bagi pria dinamakan vasektomi, yaitu dengan cara pengikatan saluran air mani, sehingga air mani yang keluar itu tidak mengandung sperma.

Inovasi Rogers (2003) mengartikan inovasi sebagai ide-ide baru, praktik-praktik baru atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. Pengertian “baru” di sini, mengandung makna bukan sekedar “baru diketahui” oleh pikiran (cognitive), akan

16

tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap (attitude) dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan atau diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat. Soekartawi (1988) mendefinisikan inovasi sebagai suatu ide yang dipandang perlu oleh seseorang dengan latar belakang yang berbeda-beda, mempengaruhi penilaian obyektif apakah suatu ide yang dimaksud tergolong baru atau tidak. Oleh sebab itu kebaruan suatu inovasi sangat relatif sifatnya. Sifat baru tersebut kadang-kadang menentukan reaksi seseorang. Reaksi ini tentu saja berbeda-beda antara individu satu dengan yang lain. KB Pria di Indonesia bisa disebut sebagai suatu inovasi di mana pengertian inovasi adalah segala sesuatu ide, cara-cara ataupun objek yang dipersepsikan oleh seorang sebagai sesuatu yang baru (Rogers 1983). Baru dalam ide yang inovatif tidak berarti harus baru sama sekali kebaruan inovasi ini diukur secara subyektif menurut pandangan individu yang menangkapnya. Jika sesuatu ide dianggap baru oleh seseorang maka itu adalah inovasi (bagi orang itu). Leeuwis (2004) mengungkapkan bahwa keberhasilan inovasi tergantung bagaimana inovasi tersebut mampu menciptakan keselarasan atau tidak. Masuknya inovasi pada suatu komunitas merupakan awal dari sebuah perubahan dan perubahan tidak pernah datang sendirian. Proses penyebaran inovasi merupakan upaya yang disengaja untuk menciptakan efek. Penyebaran inovasi harus memperhatikan unsur teknis dan sosial. Jika inovasi memenuhi unsur teknis dan unsur sosial dalam sebuah masyarakat, maka keselarasan yang dimaksud sebelumnya akan tercipta. Inovasi “gagal” (tidak dapat diterima pada skala yang signifikan) sering disebabkan oleh keselarasan yang tidak seimbang. Hal tersebut disebabkan karena kebanyakan ilmuwan atau penemu inovasi hanya bekerja pada dimensi teknis tetapi lupa untuk membangun jaringan yang efektif. Banyak produkproduk yan memiliki dimensi teknis yang lebih unggul ternyata gagal diadopsi oleh masyarakat karena kurangnya dukungan jaringan, sedangkan produk dengan kualitas teknik lebih rendah mampu diterima masyarakat luas karena upaya membangun jaringan yang bagus. Oleh karena itu Leeuwis (2004) menyatakan bahwa tahap awal keberhasilan inovasi tergantung dari bagaimana memobilisasi ide-ide baru “di atas meja” dengan cara membangun hubungan dengan “orang luar” yang mungkin mempunyai pandangan lebih luas terhadap sasaran inovasi. Proses pengubahan sosial tersebut meliputi tiga tahap yang berurutan, yaitu: (1) Invensi, yaitu suatu proses di mana ide baru diciptakan dan dikembangkan; (2) Difusi, adalah proses di mana ide baru itu dikomunikasikan ke dalam sistem sosial dan (3) Konsekuensi, yaitu berbagai pengubahan yang terjadi dalam suatu sistem sosial sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi (Rogers 1995). Bila dilihat dari Tabel 1, semakin tinggi urutan jenjang kepentingan dari sifat inovasi maka semakin cepat pengadopsiannya (Rogers 1987). Inovasi tidak sekedar sebagai sesuatu yang baru tetapi lebih luas dari itu, yaitu sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu (Lionberger dan Gwin diacu dalam Mardikanto 2009). Inovasi adalah sesuatu ide, perilaku, produk, inofrmasi, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perubahan-perubahan di segala

17

aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan (Mardikanto 2009). Tabel 1. Urutuan jenjang kepentingan sifat inovasi yang berkaitan dengan kecepatan adopsi inovasi Urutan Jenjang Sifat Inovasi Kepentingan 1 Tingkat keuntungan (profitability) 2 Biaya yang diperlukan (cost of innovation) 3 Tingkat kerumitan/kesederhanan (complexity/simplicity) 4 Kesesuaian dengan lingkungan fisik (physical compatiability) 5 Kesesuaian dengan lingkungan budaya (cultrual compatiability) 6 Tingkat mudahnya dikomunikasikan (communicability) 7 Penghematan tenaga kerja dan waktu (saving of labour and time) 8 Dapat/tidaknya dipecah atau dibagi (divisibility) Bila dikaji secara menyeluruh tentang uraian inovasi tersebut, maka inovasi adalah suatu hal yang sangat subyektif penilaiannya, jadi sangat tergantung dari individu yang memandangnya. Mengenai hal yang meyangkut kebaruannya, baik berupa teknologi, ideologi, maupun tindakan. Setiap ide atau gagasan pernah menjadi inovasi dan setiap inovasi selalu mengalami perubahan seiring dengan perubahan zaman. Adopsi Inovasi Menurut Notoatmodjo (2003), adopsi adalah perilaku baru seseorang sesuai dengan latar belakang pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap rangsangan atau stimulus. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi telah melalui proses seperti ini, di mana didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran tidak akan berlangsung lama. Rogers dan Shoemaker (1971) mengatakan adopsi adalah proses mental, dalam mengambil keputusan untuk menerima atau menolak ide baru dan menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan dan penolakan ide baru tersebut. Proses adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis karena menyangkut proses pengambilan keputusan yang dipengaruhi banyak faktor. Soekartawi (1988) menjelaskan tentang proses pengambilan keputusan untuk melakukan adopsi inovasi dalam suatu sistem sosial dibutuhkan jangka waktu tertentu. Proses adopsi terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut mengadopsi dalam arti menerima, menerapkan sampai betul-betul menggunakan hal baru tersebut (Slamet 1978). Pendapat ini didukung

18

oleh Rogers (1983) yang menyebutkan bahwa adopsi merupakan keputusan untuk menggunakan secara penuh suatu ide baru sebagai cara yang terbaik. Mengadopsi inovasi ada keputusan manusiawi dan keputusan itu dapat didasarkan pada empat hal, yaitu (1) kemauan untuk melakukan sesuatu, (2) tahu cara yang akan dilakukan, (3) tahu cara melakukannya, dan (4) mempunyai sarana untuk melakukannya. Selama perkembangannya, dikenal dua teori atau dua model mengenai proses adopsi yaitu pandangan tradisional tentang proses adopsi dan proses pengambilan keputusan inovasi. Dikutip dari Mugniesyah (2006) pandangan tradisional yang dikenal dengan konsep adopsi pertama diterima sebagai dalil oleh The North Central Rural Sociology Subcomittee for The Study of Farm Practices dalam pertemuan ilmiah pada tahun 1955. Diungkapkan oleh Rogers (2003) bahwa peneliti yang fokus pada peneltian tentang difusi merumuskan lima tahapan kumulatif yang terjadi dalam proses adopsi. Tahap-tahap tersebut dijelaskan sebagai berikut: (1) tahap kesadaran (awareness), yakni seseorang mengetahui atau menyadari adanya ide atau inovasi baru; (2) tahap minat (intersest), yakni seseorang mulai menaruh minat terhadap inovasi ditandai dengan individu tersebut mulai mencari informasi lebih banyak mengenai inovasi itu; (3) tahap penilaian (evaluation), yaitu tahap ketika individu mulai bersikap untuk menyukai atau tidak inovasi yang ada. Menurut Mugniesyah (2006) tahap ini disebut juga sebagai tahap “mencoba secara mental”. Individu mencoba mendapatkan bukti-bukti internal; (dari dalam pikirannya sendiri) untuk membandingkan apakah dengan menerapkan inovasi tersebut berdampak positif pada situasi masa depannya. Jika evaluasi yang dilakukan positif maka ia akan meneruskan perkembangan perilakunya ke tahap selanjutnya; (4) tahap percobaan (trial), yakni seseorang menerapkan ide baru dalam skala kecil untuk menentukan kegunaannya, sesuai atau tidak dengan situasi dirinya untuk lebih meyakinkan penilaiannya; (5) tahap penerimaan (adoption), yakni seseorang menggunakan ide baru secara tetap dalam skala besar. Perkembangan kajian adopsi memunculkan kritikan terhadap model tradisional proses adopsi yang diungkapkan Rogers (2003). Kritikan tersebut adalah sebagai berikut. Belakangan diketahui bahwa konsep “proses adopsi” tersebut mengandung beberapa kelemahan, antara lain: (1) proses tersebut selalu diakhiri dengan keputusan mengadopsi, padahal kenyataannya mungkin saja diakhiri dengan penolakan, (2) kelima tahapan proses tersebut tidak selalu dilalui secara berurutan dan mungkin saja beberapa tahap proses tersebut terlewati, misalnya tahap percobaan. Penilaian biasanya juga tidak terjadi pada salah satu tahap saja tetapi terjadi pada keseluruhan proes, (3) proses tersebut jarang berakhir dengan adopsi. Biasanya proses berlanjut dengan mencari informasi pendukung untuk mengkonfirmasi atau menguatkan keputusan, atau individu bisa saja mengubah keputusannya dari yang awalnya mengadopsi menjadi menolak (a discontinuance). Catatan kaki pada buku Communication of Innovations edisi kedua tulisan Rogers dan Shoemaker (1971), dituliskan bahwa model empat tahap merupakan model perbaikan dari model tradisional “adopsi inovasi”. Model baru ini dapat menggambarkan kemungkinan terjadinya penolakan atau rejection terhadap suatu inovasi dan memungkinkan adanya peninjaun keputusan oleh individu yang akan menguatkan atau membalikkan keputusan yang telah dibuatnya. Secara konseptual model empat tahap ini berkaitan dengan konsep pengambilan keputusan, proses pembelajaran dan reduksi disonansi.

19

Bentuk kritik terhadap model lima tahap sebelumnya, Rogers dan Shoemaker (1971) merumuskan model baru proses adopsi yang hanya memuat empat tahapan dalam prosesnya yaitu tahap knowledge (pengenalan), persuasion (persuasi), decision (keputusan), dan confirmation (konfirmasi) yang kemudian dikenal dengan istilah proses pengambilan keputusan inovasi. Empat tahapan pengambilan keputusan inovasi yang diungkapkan Rogers dan Shoemaker (1971) dikoreksi oleh Rogers (2003) menjadi lima tahapan yaitu tahap knowledge (pengetahuan), persuasion (persuasi), decision (keputusan), implementation (penerapan), dan confirmation (konfirmasi). Kondisi sebelumny a: 1.Praktek sebelumny a 2.Merasa membutuh kan/masala h 3.Keinovati van 4.Norma sistem sosial

Knowledge

Persuasio

Decision

Implementatio

Confirmation

Terima terus Karakteristik unit pembuat keputusan: 1.Karakterist ik sosial ekonomi 2. Peubah personalitas 3. Perilaku Komunikasi

Karakteristik yang dirasakan penerima inovasi: 1.Keuntungan relatif 2.Kompatibilita s 3. Kompleksitas 4. Triabilitas 5.Observabilitas

Adopsi Berhenti

Tolak

Adopsi lambat Terus menolak

Gambar 1. Model dan tahapan dalam proses pengambilan keputusan inovasi (Rogers 1983) Berdasarkan Gambar 1, proses adpsi inovasi pengaruhi oleh saluran atau sumber informasi, kondisi awal sebelum masuknya inovasi, karakteristik dari unit pembuat keputusan, dan persepsi terhadap ciri inovasi itu sendiri. Pada model tersebut, terdapat empat tahap penting: Pertama pengetahuan inovasi itu sendiri dan gagasan apapun yang dipandang baru oleh khalayak sasaran. Pada tahap ini, melalui saluran komunikasi tertentu sasaran mengetahui bahwa ada sesuatu yang baru. Proses pengetahuan terjadi ketika seorang individu (unit pembuat keputusan) membuka diri terhadap keberadaan inovasi. Individu tersebut dikenalkan pada keberadaan inovasi dan memperoleh beberapa pengertian apa manfaat inovasi tersebut. Informasi yang diterima individu pada tahap ini bersifat umum. Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui media elektronik, media cetak, maupun komunikasi interpersonal di antara masyarakat. Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Selama tahap ini individu akan menetapkan “apa inovasi itu? bagaimana dan mengapa ia bekerja?”. Menurut Rogers (1983), pertanyaan ini akan membentuk tiga jenis pengetahuan (knowledge) : 1. Awareness-knowledge merupakan pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu untuk belajar lebih

20

banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka maka masyarakat tidak merasa memerlukan akan inovasi tersebut. Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media massa seperti radio, televisi, koran, atau majalah sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi. 2. How-to-knowledge, yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan penggunaan inovasi ini. 3. Principles-knowledge, yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja. Suatu inovasi dapat diterapkan tanpa pengetahuan ini, akan tetapi penyalahgunaan suatu inovasi akan mengakibatkan berhentinya inovasi tersebut. Peranan para agen perubahan dalam menghasilkan ketiga jenis pengetahuan tersebut kebanyakan memusatkan perhatian pada usaha untuk menciptakan awareness-knowledge yang sebenarnya untuk tujuan ini akan lebih efisien dengan menggunakan jalur media masa. Tahap kedua adalah saluran komunikasi tertentu (media) mempengaruhi (persuasi) sasaran untuk mengadopsinya. Persuasi terjadi ketika seorang indvidu membentuk sikap suka atau tidak suka terhadap inovasi. Pada tahap ini seseorang lebih terlibat secara psikologis dengan inovasi dan giat mencari keterangan atau informasi mengenai inovasi. Tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran calon pengguna. Seseorang akan mengukur keuntungan yang akan ia dapat jika mengadopsi inovasi tersebut secara personal. Berdasarkan evaluasi dan diskusi dengan orang lain, ia mulai cenderung untuk mengadopsi atau menolak inovasi tersebut. Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi, maka tahap ini berlangsung setelah knowledge stage dalam proses keputusan inovasi. Rogers menyatakan bahwa knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan mempengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi. Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Tahap pengambilan keputusan terjadi bila individu melakukan aktivitas-aktivitas yang akan membawanya membuat suatu pilihan untuk menolak atau menerima inovasi. Menurut Rogers adoption (menerima) berarti bahwa inovasi tersebut akan digunakan secara penuh, sedangkan menolak berarti “not to adopt an innovation”. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena

21

biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi ini. Rogers menyatakan ada dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan passive rejection. Activerejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi dan berfikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak inovasi tersebut. Passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berfikir untuk mengadopsi inovasi. Namun bukan berarti setelah melakukan pengambilan keputusan ini lantas menutup kemungkinan terdapat perubahan dalam pengadopsian. Tahap keempat adalah tahap implementasi di mana individu melaksakan apa yang telah diputuskannya. Pada tahap ini seseorang mulai menggunakan inovasi sambil mempelajari lebih lanjut tentang inovasi tersebut. Pada tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidakpastiannya akan terlibat dalam difusi. Ketidakpastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Maka pengguna akan memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena dalam sebuah inovasi jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan inovasi ini akan lebih banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda Tahap terakhir adalah tahap konfirmasi, di mana individu mencari penguatan atau pengukuhan terhadap keputusan inovasi yang telah dibuatnya, tetapi dia mungkin menolak keputusan yang telah dibuat sebelumnya bila dihadapkan pada informasi yang bertentangan dengan keputusan inovasi yang telah dilaksanakan. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu. Peranan media massa dalam proses ini sangatlah krusial karena karakteristik inovasi sebagaimana dipahami penerima mempengaruhi peluang dan tingkat adopsi. Pada dasarnya, proses adopsi memiliki selang waktu antar tahapan satu dengan yang lainnya yang tidak selalu sama (tergantung sifat inovasi, karakteristik sasaran, keadaan lingkungan (fisik maupun sosial) dan aktivitas/kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh (Ismilaili 2015). Hal ini yang menjadikan penelitian mengenai proses pengambilan keputusan inovasi agak rumit dilakukan karena untuk menggali informasi pada setiap tahapan yang sudah terlewati memerlukan waktu yang lama. Seperti dipaparkan Indraningsih (2011) dalam penelitiannya yang hanya membatasi penelitian proses pengambilan keputusan inovasi hanya pada satu tahap yaitu tahap keputusan inovasi dengan tujuan menghindari data yang tidak valid dan tidak reliabel. Difusi Inovasi Difusi merupakan proses menyebarnya inovasi melalui saluran tertentu di antara anggota sistem sosial atau dari satu sistem sosial satu ke sistem sosial yang

22

lain (Rogers 1983). Pendapat yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Soekartawi (1988), yang menyatakan bahwa difusi adalah proses sehingga ide baru disebarluaskan pada individu atau kelompok dalam sistem sosial tertentu. Proses difusi adalah proses menyebarnya inovasi dari seseorang yang telah mengadopsi kepada orang-orang lain dalam masyarakat. Kroeber dengan menggunakan pendekatan antropologi, yang berbeda dengan pendekatan evolusioner dan struktural fungsional, mengemukakan bahwa difusi itu cenderung menjelang tentang perubahan dalam suatu masyarakat dalam masyarakat yang lain. Difusi itu adalah suatu proses yang unsur-unsur atau sistemsistem budaya itu disebarkan. Salah satu perspektif komunikasi yang berbicara mengenai penyebaran hal baru adalah Diffusion of inovations Model (model difusi inovasi). Model difusi banyak digunakan dalam komunikasi pembangunan, terutama di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Kebudayaan mencakup semua yang dapat dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perikelakuan-perikelakuan yang normatif, yaitu mencakup segala caracara berfikir, merasakan, dan bertindak objek kebudayaan itu bisa berupa rumahrumah, jembatan-jembatan, alat-alat komunikasi, dan sebagainya. Dengan demikian yang dimaksud inovasi disini adalah kebudayaan yang mencakup berbagai pengetahuan baru. Penyebaran (difusi) budaya dalam suatu masyarakat itu pasti terjadi. Proses persebaran bervariasi tergantung karakteristik masyarakat, yang dimaksud budaya disini adalah inovasi. Inovasi atau sesuatu hal yang baru itu dapat berupa apa saja, apa itu peraturan, cara kerja, kebiasaan, makanan atau apa saja yang bisa dikatakan hal baru bagi suatu kelompok masyarakat. Proses penyebaran inovasi (difusi) mempunyai hubungan yang sangat erat dengan adopsi. Proses adopsi terjadi pada orang secara individual, sedang proses difusi terjadi di masyarakat. Penyebarluasan inovasi pada prinsipnya merupakan suatu transfer teknologi dari hasil-hasil penelitian kepada para pengguna (Lionberger dan Gwin 1991). Hasil-hasil penelitian, percobaan dan penemuan lain yang disampaikan kepada petani (pengguna akhir) tentu tidak semudah yang diharapkan, banyak kendala atau halangan yang harus dilalui. Rogers dan Shoemaker (1971) berpendapat, dalam riset difusi biasanya lebih memusatkan perhatian pada terjadinya perubahan tingkah laku yang tampak (over behavior), yaitu menerima atau menolak ide (budaya) baru daripada hanya sekedar pengetahuan dan sikap saja. Difusi adalah suatu tipe khusus komunikasi (Rogers dan Shoemaker 1971). Mengenai terjadinya hubungan antara dua budaya, Hall dan Whyte (1990) menyatakan bahwa hubungan antara dua budaya dijembatani oleh perilaku-perilaku komunikasi antara administrator yang mewakili suatu budaya dan orang-orang yang mewakili budaya lain. Dari pendapat diatas dihubungkan dengan proses difusi Inovasi, dapat dipahami bahwa difusi kebudayaan mengandung pengertian, tersebarnya suatu kebudayaan atau masuknya unsur budaya masyarakat ke dalam masyarakat lain melalui interaksi sosial. Bentuk kongkrit dari interaksi itu adalah komunikasi. Pada prakteknya, target sebagian besar usaha-usaha penyebaran (difusi) inovasi Menurut McQuail dan Windahl (1984) selalu adalah para petani dan anggota masyarakat pedesaan. Usaha ini pertama kali dilakukan pada tahun 1920-an dan 1930-an di Amerika Serikat dan kini menjadi gambaran bagi sebagian besar program

23

pembangunan di Negara Dunia Ketiga. Dalam perakteknya usaha ini tidak hanya berhubungan dengan masalah pertanian, tetapi juga dengan kesehatan, kehidupan sosial dan politik. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi dan Difusi Inovasi Proses adopsi adalah proses yang dimulai dari saat seorang sadar akan adanya sesuatu yang baru (inovasi) sampai menerima atau menolak inovasi tersebut. Dalam konteks ini “sadar” tidak sekedar bermakna sasaran tahu adanya inovasi baru, akan tetapi lebih kesadaran atas relevansi praktis untuk dipraktekan. Mencapai kesadaran hingga taraf ini merupakan, pemicu bagi sasaran untuk mengumpulkan informasi tentang inovasi itu, untuk membantu keputusan mereka atas apakah akan mencoba inovasi itu atau menolaknya. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pengambilan keputusan untuk menerima dan selanjutnya menerapkan atau menolak suatu inovasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang mempunyai hubungan dengan adopsi inovasi pada individu adalah faktor anteseden. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan faktor-faktor anteseden mempunyai hubungan dengan pengetahuan atau keputusan adopsi inovasi. Rogers dan Shoemaker (1971) mengungkapkan bahwa faktor anteseden terdiri dari variabel individu penerima inovasi dan variabel sistem sosial. Lionberger dan Gwin (1982) menyatakan bahwa faktor anteseden terdiri atas variabel personal dan situasional. Variabel personal adalah karaktersitik yang dimiliki individu sebagai hasil kombinasi keturunan dan pengalaman, sedangkan variabel situasional adalah variabel di luar diri individu. Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa variabel individu penerima inovasi meliputi karakteristik personal, sosial, dan lain-lain. Lionberger dan Gwin (1982) menjelaskan bahwa variabel personal bervariasi antar individu dan keragaman tersebut menyebabkan perbedaan pengetahuan dan adopsi inovasi. Rogers (2003) mengidentifikasi empat faktor yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan yaitu faktor kondisi sebelumnya, faktor karakteristik unit pengambil keputusan (karakteristik sosial-ekonomi, karakteristik pribadi dan perilaku komunikasi), faktor persepsi terhadap inovasi, dan saluran komunikasi. Berdasarkan hasil penelitian Handayani (2010) tentang faktor ekonomi mempengaruhi ibu memilih AKDR yaitu hampir semua ibu-ibu menyatakan bahwa biaya tidak menjadi masalah karena biaya gratis dan hanya sebagian kecil yang mengatakan memakai AKDR mengeluarkan biaya namun dirasa tidak mahal. Hal ini sesuai dengan pendapat Manuaba (1998) yaitu salah satu keuntungan memakai AKDR adalah kontrol medis yang ringan. Menurut Pendit (2006), faktor biaya adalah apakah suatu metode yang diinginkan membutuhkan biaya besar hanya satu kali atau serangkaian biaya ringan selama beberapa rangkaian. Penelitian Susanti (2008) membagi faktor-faktor yang telah dijabarkan Rogers (2003) menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dijabarkan sebagai faktor yang melekat pada unit pengambilan keputusan inovasi, antara lain meliputi: umur, tingkat pendidikan, luas lahan, dan tingkat pendapatan. Faktor eksternal didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari luar unit pengambilan keputusan, meliputi: lingkungan ekonomi, lingkungan sosial dan sifat inovasi. Berbeda halnya dengan penggolongan faktor pengaruh keputusan inovasi

24

yang dilakukan oleh Rizka (2015), sifat atau karakteristik inovasi dijadikan faktor tersendiri. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa variabel sistem sosial terdiri dari norma, toleransi dan lain-lain. Norma dan toleransi merupakan budaya suatu masyarakat (Mulyana dan Rakhmat 1990). Lionberger dan Gwin (1982) menyatakan bahwa variabel situasional meliputi keluarga individu, kelompok sosial, dan lain-lain. Variabel situasional bervariasi dari satu komunitas ke komunitas lain dan variabel tersebut menyebabkan perbedaan adopsi inovasi (Lionberger dan Gwin 1982). Keyakinan PUS pria berpengaruh terhadap peran sertanya untuk menjadi akseptor KB pria, karena walaupun pada dasarnya agama tidak melarang pemeluknya untuk ber-KB tetapi metode atau cara pelaksanaan KB tersebut seringkali terdapat pertentangan (Nasution 2012). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Putra (2009). Berdasarkan hasil penelitian Ekarini tahun 2008 tentang analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi pria dalam keluarga berencana di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali, menyatakan responden tidak mendukung terhadap KB dikarenakan menurut pernyataan mereka bahwa vasektomi/MOP dilarang agama. Berkaitan dengan koreksi yang dilakukan Rogers (1983) terhadap tahapan keputusan inovasi, dikemukakan pula beberapa faktor yang mempengaruhi proses keputusan inovasi, yaitu: 1. Kondisi awal sistem sosial, yang teridiri atas: (a) pengalaman sebelumnya, (b) kebutuhan yang dirasakan (permasalahan), (c) keinovatifan, dan (d) norma dari sistem sosial. 2. Karaktristik individu (pembuat keputusan) terdiri atas: (a) karakteristik sosial ekonomi, (b) variabel kepribadian, dan (c) perilaku komunikasi. 3. Saluran komunikasi yang digunakan. 4. Sifat inovasi. Adapun karakteristik sosial ekonomi anggota masyarakat yang lebih inovatif menurut Rogers dan Shoemaker (1971) adalah: (1) lebih berpendidikan; (2) mempunyai stsatus sosial yang lebih tinggi ditandai dengan pendapatan, tingkat kehidupan, kesehatan, prestise pekerjaan/jabatan dan sebagainya; (3) mempunyai tingkat mobilitas ke atas lebih besar; (4) mempunyai ladang lebih luas; (5) lebih berorientasi pada ekonomi komersil; (6) memiliki sifat lebih berkenaan terhadap kredit; dan (7) mempunyai pekerjaan yang lebih spesifik. Variabel kepribadian anggota masyarakat yang lebih inovatif adalah (1) memiliki empati lebih besar, (2) kurang dogmatis, (3) mempunyai kemampuan abstraksi lebih besar, (4) mempunyai kemampuan rasionalitas lebih besar, (5) mempunyai intelegensi yang lebih tinggi, (6) memiliki sikap lebih berkenan terhadap perubahan, (7) memiliki sikap mau mengambil resiko, memiliki sikap lebih berkenan terhadap pendidikan dan pengetahuan, (8) kurang percaya pada nasib, (9) motivasi untuk menigkatkan taraf hidup lebih tinggi, dan (10) asprirasi terhadap pendidikan dan pekerjaan lebih tinggi. Selanjutnya perilaku komunikasi anggota masyarakat yang lebih inovatif adalah: (1) partisipasi sosial lebih tinggi, (2) lebih sering mengadakan komunikasi interpersonal dengan anggota masyarakat lainnya, (3) lebih sering mengadakan hubungan denan orang asing di luar sistem sosial, (4) lebih sering mengadakan hubungan dengan agen pembaharu; (5) lebih sering bertatap dengan media massa;

25

(6) mencari lebih banyak informasi mengenai inovasi, (7) lebih tinggi tingkat kepemimpinannya, dan (8) menjadi anggota sistem yang bernorma lebih modern. Rogers dan Shoemakaer (1971), Slamet (1978), dan Soekartawi (1988), menyatakan bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan adopsi adalah: sifat-sifat inovasi, jenis keputusan inovasi, saluran komunikasi, ciri-ciri sistem sosial, kegiatan promosi oleh penyuluh, interaksi individual, dan kelompok, sumber informasi dan faktor diri ”adopter”. Berkaitan dengan ciri-ciri atau sifat inovasi, ada lima ciri/sifat inovasi yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi oleh sasarana yang dikemukaan oleh Rogers (1983). Kelima ciri tersebut adalah: (1) keuntungan relatif, (2) kompatibilitas, (3) kompleksitas, (4) triabilitas, dan (5) observabilitas. Keuntungan relatif merupakan tingkatan di mana suatu ide baru dianggap suatu yang lebih baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya. Tingkat keuntungan relatif dinyatakan dalam bentuk keuntungan ekonomis/finansial sedikitnya persyaratan kerja. Adaptor menilai keuntungan secara ekonomi bila menggunakan inovasi tersebut dibandingkan dengan teknologi yang dipakai sebelumnya. Suatu krisis menyebabkan keuntungan relatif suatu inovasi lebih menonjol dan karena itu mempengaruhi kecepatan adopsinya. Dari penyelidikan yang ada (Rogers dan Shoemaker 1971) menunjukan bahwa ada hubungan positif antara keuntungan relatif suatu inovasi menurut pengamatan masyarakat, semakin cepat inovasi itu diadopsi. Kompabilitas adalah sejauh mana suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai sosial,budaya, dan kepercayaan, gagasan yang ada dalam masyarakat gagasan yang telah diperkenalkan sebelumnya atau dengan kebutuhan yang dirasakan petani sangat penting, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan penerima. Kompabilitas inovasi dengan situasi klien berhubungan positif dengan tingkat pengadopsiannya, meskipun analisis statistik menunjunkan bahwa kompatibilitas inovasi relatif kurang penting dalam memprediksi kecepatan inovasi relatif kurang penting dalam memprediksi kecepatan inovasi dibandingkan dengan keuntungan relatif. Kompabilitas memberi jaminan lebih besar dan resiko lebih kecil bagi penerima dan membuat ide baru itu lebih berarti baginya. Suatu inovasi akan kompatibel apabila memiliki kesesuaian dengan: (1) nilai dan kepercayaan sosiokultural, (2) dengan ide-ide yang telah diperkenalkan lebih dulu, dan (3) dengan kebutuhan klien terhadap inovasi (Rogers 1995). Adopsi inovasi pada suatu masyarakat dipengaruhi efisiensi teknis dan nilai sosial inovasi tersebut, sehingga suatu inovasi yang terbukti efisien secara teknis belum tentu diadopsi oleh masyarakat, karena masih ada pertimbangan nilai sosial. Kompleksitas adalah tingkat di mana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti atau digunakan. Suatu ide baru mungkin digolongan ke dalam kontinium rumit-sederhana. Suatu inovasi tertentu begitu mudah dapat dipahami oleh penerima tertentu, sedangkan orang lain tidak. Inovasi sering gagal karena tidak diimplementasikan dengan tepat. Banyak di antaranya yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan mendalam. Misalnya, mungkin saja perlu untuk mengitrodusikan beberapa inovasi sederhana, tetapi banyak dan saling berkaitan. Jika dilihat satu per satu sebenernya sederhana, tetapi hubungan antara inovasi itu, bisa jadi sangat sulit dipahami. Kerumitan suatu inovasi menurut pengamatan sasaran berhubungan negatif dengan kecepatan adopsinya. Inovasi yang cukup rumit untuk diterapkan akan

26

mempengaruhi kecepatan proses adopsi inovasi. Semakin mudah teknologi baru tersebut untuk dipraktekan, maka semakin cepat pula diadopsi. Oleh karena itu, agar proses adopsi inovasi dapat berjalan lebih baik, maka penyajian inovasi tersebut harus lebih sederhana (Soekartawi 1988). Inovasi yang rumit akan sulit diadopsi (Jahi 1988). Keterampilan individu dalam mengatasi kesulitan suatu hal akan mempengaruhi kemauan individu menggunakan hal tersebut, sehingga individu yang memiliki keterampilan untuk mengatasi kompleksitas suatu inovasi cenderung mau mengadopsi inovasi tersebut dibandingkan individu yang tidak memiliki keterampilan tersebut (Soemanto 1990). Triabilitas adalah suatu tingkat di mana suatu inovasi dapat dicoba pada skala kecil. Dapat dicobanya suatu inovasi menurut anggapan sasaran berhubungan positif dengan kecepatan adopsinya. Suatu inovasi yang dapat dicoba akan memperkecil resiko bagi adopter. Ide baru yang dapat dicoba biasanya diadopsi lebih cepat daripada inovasi yang tidak dapat dicoba lebih dulu. Suatu inovasi yang dapat dicoba akan memperkecil resiko bagi adopter. Beberapa inovasi tertentu mungkin lebih sulit untuk dicoba terlebih dahulu daripada inovasi lain. Walaupun tidak banyak bukti penelitian, dapat disimpulkan bahwa dapat dicobanya suatu inovasi menurut anggapan sistem sosial berhubungan positif dengan kecepatan adospinya (Rogers 1995). Observabilitas adalah tingkat di mana hasil-hasil suatu inovasi dapat dilihat dan dikomunikasikan kepada orang lain menurut anggapan sistem sosial berhubungan positif dengan kecepatan aodpsinya (Rogers 1995). Observabilitas suatu inovasi menurut anggapan sasaran berhubungan positif dengan kecepatan adopsinya. Serupa dengan keuntungan relatif, kompatibilitas dan traibilitas, keteramatan juga berkorelasi positif dengan tingkat adopsi dari suatu inovasi. Secara ringkas, Rogers (2003) berpendapat bahwa inovasi relatif menawarkan keuntungan lebih, kompatibilitas, kesederhanaan, trailabiltas dan keteramatan akan diadopsi lebih cepat daripada inovasi lainnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif, kesesuaian, kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi. Kelima variabel tersebut sangat berpengaruh terhadap kecepatan adopsi inovasi baik pengadopsian secara individu maupun secara kelompok, variabel-variabel tersebut akan saling mempengaruhi dan berkaitan dalam mempercepat terjadinya adopsi. Bila kelima variabel tersebut dilaksanakan secara tepat situasi dan kondisi masyarakat maka selayaknyalah suatu inovasi akan cepat teradopsi oleh masyarakat tersebut. Jangka waktu adopsi inovasi dapat dibedakan antara makro dan mikro. Jangka waktu yang makro menyangkut tahap-tahap perubahan sosial dan jangka waktu mikro menyangkut kecepatan individu untuk menanggapi adanya suatu inovasi. Bila suatu inovasi mempunyai validitas yang tinggi, kemanfaatan besar, tidak kompleks dan kompatibel maka relatif akan sangat mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi inovasi tersebut, terutama pada jangka waktu yang mikro. Dikatakan pula oleh Rogers (1983) bahwa dalam suatu sistem sosial, tidak semua orang mengadopsi suatu inovasi secara bersamaan, melainkan dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Berdasarkan perbedaan kecepatan pengadopsian tersebut, pengadopsian diklasifikasikan menjadi lima kategori, yaitu: inovator (innovator),

27

pelopor (early adopter), pengikut dini (early majority), pengikut akhir (late majority) dan kelompok lamban/kolot (laggard). Inovator adalah seorang adopter yang langsung mencoba menerapkan inovasi sebelum adopter lainnya mencoba bahkan sebelum penyuluh merekomendasikannya, umumnya adalah seseorang yang tergolong muda dengan sumber keuangan yang cukup. Pelopor adalah adopter yang mencoba menerapkan inovasi setelah mengamati dan berusaha menyebarkannya kepada orang lain. Pengikut dini adalah adopter yang mencoba menerapkan inovasi setelah mempertimbangkan berulang kali dan melihat tokoh sudah menerapkannya. Pengikut akhir adalah adopter yang mau mencoba menerapkan inovasi bila telah melihat sebagian besar menerapkannya dan berhasil atau menerapkannya karena segan dengan teman. Petani kolot adalah petani yang menolak atau menentang inovasi. Saluran komunikasi berkaitan dengan inovasi yang dikomunikasikan secara interpersonal akan lebih cepat diadopsinya daripada yang disalurkan melalui media massa. Ciri-ciri sistem sosial, masyarakat yang modern akan lebih cepet mengadopsi inovasi daripada masyarakat tradisional. Jika suatu inovasi masuk ke dalam sistem sosial tertentu, biasanya akan terdapat bermacam persepsiatau pandangan terhadap inovasi tersebut. Orang yang mempunyai persepsi yang positif terhadap inovasi cenderung untuk menerapkan daripada orang yang mempunyai persepsi negatif terhadap inovasi tersebut. Lingkungan pergaulan juga memiliki hubungan erat dengan pengadopsian suatu metode baru oleh seseorang. Orang yang mempunyai lingkungan pergaulan yang luas (kosmopolit) dan karenanya mempunyai kesempatan memperoleh informasi lebih dahulu dan lebih lengkap, cenderung lebih responsif terhadap inovasi dibanding orang yang hanya mempunya lingkungan terbatas (lokalit) (Soekartawi 1988). Kegiatan promosi oleh penyuluh, semakin giat penyuluh mempromosikan inovasi yang disuluhkannya maka akan semakin mempercepat adopsi inovasi yang bersangkutan. Analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) KB dengan pemilihan MKJP (Mahmudah 2015). Dengan melakukan KIE berarti bidan membantu calon akseptor untuk dapat menentukan jenis kontrasepsi yang terbaik untuk dirinya dan membantu akseptor KB dalam menggunakan kontrasepsinya lebih lama dan meningkatkan keberhasilan KB (Kusumastuti 2013). Pada tahap mengetahui dan berminat, umumnya saluran komunikasi yang digunakan adaah media massa karena sangat efektif untuk menjangkau sasaran dalam jumlah banyak. Selain itu, penyuluh, pemimpin formal, dan informal biasa juga digunakan pada tahap ini. Pada tahap keputusan, saluran komunikasi yang lazim digunakan adalah saluran antarpribadi, seperti: penyuluh, pemimpin formal dan informal serta orang-orang terpercaya lainnya. Pada tahap pelaksanaan dan konfirmasi, saluran komunikasi yang lazim digunakan adalah saluran antarpribadi, seperti: penyuluh, pemimpin informal, dan orang-orang terpercaya lainnya. Rogers (1983) mengatakan bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi kecepatan adopsi antara lain persepsinya terhadap sifat-sifat inovasi dan salurakan komunikasi yang digunakan. Pendapat ini diperkuat oleh Van den Ban dan Hawkins (1999) serta Roling (1986) bahwa peubah-peubah yang berhubungan positif dengan tingkat adopsi antara lain: (a) peubah sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan,

28

tingkat melek huruf, status sosial, dan luas usahatani; (b) peubah personal seperti rasionalitas, sikap terhadap perubahan dan sikap terhadap ilmu pengetahuan; dan (c) peubah komunikasi seperti partisipasi sosial, kekosmopolitan, hubungan dengan agen pembaharu, keterdedahan terhadap media massa, keterdedahan terhadap media interpersonal, aktivitas mencati informasi, dan tingkat kepemimpinan. Soekartawi (1988), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses difusi inovasi adalah faktor sosial, kebudyaan, personal, dan situasional. Faktor sosial mencakup keluarga, tetangga, klik sosial, kelompok referensi, kelompok formal yang diikuti dan status sosialnya. Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa individu yang memiliki status sosial tinggi cenderung cepat mengetahui inovasi. Jahi (1988) juga mengungkapkan bahwa individu yang memiliki status sosial yang lebih tinggi cenderung lebih mengetahui inovasi atau mengadopsi inovasi, karena individu tersebut memiliki banyak sumber daya, sehingga individu tersebut dapat memiliki hubungan dan sumber informasi yang luas. Faktor kebudayaan mencakup adat budaya masyarakat setempat, seperti keterbukaan terhadap orang luar, kepercayaan dan yang terkait dengan sikap masyarakat terhadap teknologi baru dan sebagainya. Adopsi inovasi mempunyai hubungan dengan budaya suatu masyarakat, karena masyarakat yang akan mengadopsi suatu inovasi apabila sesuai dengan nilai-nilai yang ada (Sosrodihardjo 1987). Suatu inovasi yang melanggar nilai-nilai primer pada suatu masyarakat cenderung ditolak untuk menghindari resiko. Nilai-nilai primer meliputi kepercayaan, harga diri, dan agama sedangkan nilai-nilai sekunder meliputi hal-hal yang bersifat praktis, seperti pola tanam dan pola makan. Berdasarkan hasil penelitian, budaya (agama islam) mempunyai hubungan dengan pemilihan alat kontraspsi hormonal. Islam menganjurkan umatnya untuk memiliki keturunan yang sangat banyak tapi juga harus mengacu pada pencapaian kualitas anak yang bermutu. Islam mengatakan bahwa hukum KB bisa haram apabila bertujuan untuk membatasi kelahiran karena di Islam tidak ada pembatasan kelahiran. Tapi hukum menggunakan KB bisa menjadi mubah apabila dapat membahayakan kondisi ibu (Angio 2011). Ada hubungan antara budaya dengan pemilihan MKJP (Mahmudah 2015). Nilai agama merupakan bagian penting dari nilai budaya kelompok yang memiliki satu agama dominan. Nilai agama bila dikaitkan dengan budaya manapun dapat mempengaruhi banyak aspek kehidupan, salah satunya keluarga berencana. KB bukan hanya masalah demografi dan klinis, tetapi juga mempunyai dimensi sosial budaya dan agama, khususnya perubahan sistem nilai dan norma masyarakat (Kusumaningrum 2009). Namun, berdasarkan hasil penelitian yang menunjukan bahwa ada hubungan antara keyakinan dengan penggunaan alat KB (Kustriyanti 2013) penggunaan alat kontrsepsi sering bertentangan dengan faktor agama, sebab ada sebagian agama yang jelas-jelas melarang untuk menggunakan alat kontrasepsi tertentu. Tetapi ada sebagian agama yang membolehkan dalam penggunaan metode kontrasepsi dengan alasan untuk meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat. Faktor personal mencakup: (1) umur, orang yang lebih tua cenderung kurang responsif terhadap ide-ide baru; dan (2) pendidikan, dapat menciptakan dorongan mental untuk menerima inovasi yang menguntungkan dan ciri-ciri psikologis, sifat orang yang kaku akan lebih sulit menerima inovasi.

29

Hasil penelitian Preputri (2014) dan Natalia (2014) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara umur dengan pemilihan alat kontrasepsi. Hal ini juga disebabkan karena pemilihan alat kontrasepsi pada responden bukan karena faktor umur, namun dikarenakan responden dalam penelitian ini memilih alat kontrsepsi berdasarkan kenyamanan dan rasa aman terhadap alat kontrasepsi tersebut.Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugiarti (2012) di Kelurahan Cipari Kota Tasikmalaya, Yusuf (2001) dan Musdalifah (2013) yang menyatakan ada hubungan antara umur dengan pemilihan jenis kontrasepsi pada WUS. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Padmowihardjo (1994) mengatakan usia bukan merupakan faktor psikologis, tetapi sesuatu yang diakibatkan oleh usia adalah faktor fisiologis. Usia mempengaruhi kecepatan perubahan perilaku, karena usia akan mempengaruhi kemampuan fisik dan kemampuan fikir. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan usia. Faktor pertama adalah mekanisme belajar dan kematangan otak, organ-organ sensual, dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar lainnya. Orang yang lebih tua cenderung kurang responsif terhadap ide-ide baru. Bird (1989) mengatakan bahwa seseorang yang muda usia mungkin memiliki pengalaman dan pendidikan kurang, tetapi memiliki energi atau semangat untuk mencoba usahanya; sedangkan orang yang sudah berumur memiliki pengalaman dan pendidikan lebih tinggi sehingga menentukan keberhasilan dalam usahanya. Hal ini sesuai dengan teori dan hasil penelitian yang menyatakan bahwa usia akan mempengaruhi seseorang dalam pemilihan metode KB karena semakin bertambahnya usia maka semakin bertambahnya kedewasaan, kematangan berpikir dan bertindak sehingga lebih mudah dalam mendapatkan informasi baru serta mendapatkan pengalaman (Indrayani 2013). Lamanya mengikuti pendidikan formal, dilengkapi pendidikan nonformal, dan terlebih pendidikan khusus menambah pengalaman dan kedewasaan berpikir seseorang. Pendidikan memiliki tujuan menciptakan manusia-manusia yang 25 berkualitas, termasuk dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan hasil penelitian (Karningsih, Hamidah, Fratidhina 2014), adanya hubungan tingkat pendidikan dengan pemilihan metode kontrasepsi. Hal ini sesuai dengan Notoatmodjo (2010), yang mengatakan bahwa semakin tingggi tingkat pendidikan individu maka semakin banyak bahan atau sumber informasi yang diperoleh untuk mencapai perubahan perilaku dari penggunaan metode kontrasepsi jangka pendek menjadi berubah pilihan ke metode kontrasepsi jangka panjang. Penelitian lain juga mengatakan hal yang sama, bahwa ada hubungan yang sangat bermakna antara tingkat pendidikan dengan pemilihan metode kontrasepsi. Menurut Widyastuti (2009) bahwa tingkat pendidikan responden yang tinggi, lebih banyak memilih metode kontrasepsi jangka panjang, hal ini terjadi karena banyak informasi yang mudah dipahami oleh responden tentang metode kontrasepsi baik melalui pendidikan kesehatan dari petugas kesehatan maupun dari sumber informasi melalui media cetak maupun elektronik. Tingkat pendidikan responden yang rendah mengakibatkan kurangnya pengetahuan yang dimiliki individu. Jadi pendidikan menjadi urutan pertama dalam menentukan tingkat keinovatifan seseorang (Rogers & Shoemaker 1971) dan seseorang yang berpendidikan tinggi lebih mudah untuk menerima informasi dan berkemampuan

30

menganalisis masalah yang dihadapinya (Maryani 1995). Maka penyuluhan merupakan strategi tepat bagi pendidikan orang dewasa. Faktor situasional mencakup: (1) pendapatan usahatani, pendapatan yang tinggi ada hubungannya dengan tingkat adopsi dan difusi inovasi; (2) ukuran usahatani, berhubungan positif dengan difusi inovasi; (3) status kepemilikian lahan. Kepemilikikan lahan yang lebih leuasa membuat keputusan utnuk mengadopsi sesuatu; (4) prestise masyarakat, kedudukan seseorang dalam masyarakat berhubungan positif dengan adopsi dan difusi inovasi; dan (5) sumber-sumber informasi, jumlah sumber informasi yang digunakan berhubungan positif dengan tingkat adopsi dan difusi inovasi. Tingkat keinovatifan yang dimaksud mengacu pada konsep innovationdecision periode yang diungkapkan oleh Rogers (2003) dan definisi dalambeberapa penelitian (Marwandana 2014; Sumarno 2010), tingkat keinovatifandiartikan sebagai selang waktu yang dibutuhkan unit pengambil keputusan darimengenal inovasi sampai memutuskan untuk mengadopsi inovasi tersebut. Kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat keinovatifan petani berhubungandengan tahap pengambilan keputusan inovasi. Menurut Bertrand (1980) seperti dikutip Nazilah (2012) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kontrsepsi adalah faktor sosiodemografi, faktor sosio-psikologi, dan faktor yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Faktor sosio-demografi yang berpengaruh adalah pendidikan, pendapatan, pekerjaan, umur, paritas, suku, dan agama. Penggunaan kontrasepsi lebih banyak pada wanita yang berumur 20-30 tahun dengan jumlah anak lebih dari 2 orang. Penerimaan keluarga berencana lebih banyak pada mereka yang memiliki standar hidup yang lebih tinggi. Faktor sosio-psikologi yang penting adalah ukuran anak ideal, pentingnya nilai anak laki, sikap terhadap keluarga berencana, komunikasi suami istri, dan persepsi terhadap kematian anak. Faktor yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan adalah keterlibatan dalam yang berhubungan dengan keluarga berencana, pengetahuan tentang sumber kontrasepsi, jarak kepusat pelayanan dan keterlibatan dengan media masa. Teori yang dikembangkan oleh Philips dan Morrison (1998) yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan yaitu faktor lingkungan yang melihat hubungan antara system layanan kesehatan dengan lingkungan luarnya dan karakteristik populasi yang mencakup karakteristik pendukung (predisposing factor), faktor pemungkin (enablingfactor), dan faktor kebutuhan (needs). Kedua faktor tersebut akan mempengaruhi pola perilaku kesehatan yang terdiri dari pilihan kesehatan perorangan dan penggunaan pelayanan kesehatan. Ketiga kelompok variabel yang saling berhubungan tersebut pada gilirannya akan memberikan dampak pada derajat kesehatan, yang digambarkan antara lain dengan tingkat morbiditas dan mortalitas (Kemenkes 2013). Woyanti (2005) mengatakan bahwa harga perolehan kontrasepsi, biaya hidup anak dan pendapat keluarga mempengaruhi pemilihan kontrasepsi wanita. Varney (2006) mengatakan bahwa faktor yang akan mempengaruhi pemilihan metode kontrasepsi adalah keinginan untuk mengendalikan kelahiran secara permanen atau sementara, keefektifan metode yang digunakan, pengaruh media, kemungkinan efek samping, dan pertanyaan yang mungkin muncul tentang keamanan suatu metode, kemungkinan manfaat kesehatan yang dapat diperoleh dari setiap metode, kemampuan suatu metode untuk mencegah penyakit (HIV,

31

penyakit menular seksual, kanker), perkiraan lamanya penggunaan metode kontrasepsi, biaya, frekuensi hubungan seksual, jumlah pasangan seksual, faktor seksual, faktor agama (apakah metode tertentu dikenakan sanksi oleh badan-badan keagamaan yang dianut individu atau pasangan, faktor psikologis (perasaan tentang setiap aspek yang terkait dengan metode tertentu misalnya pengalaman dimasa lalu yang tidak menguntungkan karena penggunaan metode tertentu), dan kemudahan menggunakan suatu metode tertentu. Maryatun (2009) mengatakan bahwa faktor-faktor pada ibu yang mempengaruhi pemakain metode kontrasepsi IUD adalah hubungan umur, paritas, persepsi ibu tetang demand/alasan KB, metode kontrasepsi IUD, dukungan suami dengan pemakaian metode kontrasepsi IUD. Faktor yang paling berpengaruh terhadap pemakain metode kontrasepsi IUD adalah persepsi ibu tentang metode kontrasepsi IUD khususnya pada persepsi ibu yang menyebutkan bahwa metode kontrasepsi IUD mengganggu aktivitas sehari-hari. Ibu yang umurnya lebih dari 35 tahun lebih cenderung memilih IUD dengan jumlah anak lebih dari 2 orang. Tedjo (2009) mengatakan bahwa ada hubungan keikutsertaan dalam jamkesmas dan dukungan pasangan dengan pemilihan jenis kontrasepsi yang digunakan pada keluarga miskin sedangkan variabel lain tidak berhubungan. Kusumaningrum (2009) mengatakan bahwa umur istri, jumlah anak, dan tingkat pendidikan mempengaruhi pemilihan jenis kontrasepsi yang digunakan pada PUS dan setelah dilakukan uji binary logistic diketahui bahwa umur istri merupakan faktor yang paling berpengaruh. Menurut Ali (2013) menyatakan bahwa pengetahuan, pendidikan, dan ketersedian alat kontrasepsi berhubungan dengan pemakaian alat KB pada PUS. Pengetahuan karena banyaknya informasi yang diperoleh oleh akseptor baik dari petugas kesehatan maupun dari media menjadikan pengetahuan akseptor menjadi lebih baik. Pendidikan berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi pada PUS karena rendahnya pendidikan PUS menjadikan kontrasepsi kurang diminati, hal ini berdampak pada banyaknya anak yang dilahirkan dengan jarak persalinan yang dekat. Faktor ketersediaan alat kontrasepsi juga mempengaruhi PUS untuk menggunakan kontrasepsi, kontrasepsi yang tersedia dengan lengkap dan mudah diperoleh dapat meningkatkan pemilihan kontrasepsi. Menurut Musdalifah et al. (2013) mengatakan bahwa umur, dukungan suami, efek samping dan pemberian informasi petugas KB berhubungan dengan pemilihan kontrasepsi hormonal. Umur merupakan salah satu faktor yang menentukan perilaku seseorang dalam menentukan pemakain kontrasepsi, semakin tua seseorang maka pemilihan kontrasepsi ke arah kontrasepsi yang mempunyai efektifitas lebih tinggi yaitu metode kontrasepsi jangka panjang. Dukungan suami berpengaruh besar terhadap pemilihan kontrasepsi yang dipakai istri, bila suami tidak setuju dengan kontrasepsi yang dipakai istrinya maka sedikit istri yang akan memakai alat kontrasepsi tersebut. Efek samping berhubungan dengan pemilihan kontrasepsi karena efek samping yang ditimbulkan oleh kontrasepsi tersebut membuat ibu tidak ingin menggunakannya lagi. Selain itu, pemberian informasi petugas KB berhubungan dengan pemilihan kontrasepsi, petugas kesehatan berperan dalam memberikan informasi, penyuluhan dan penjelasan tentang alat kontrasepsi. Calon akseptor yang masih ragu-ragu dalam pemakai alat kontrasepsi akhirnya memutuskan untuk memakai alat kontrasepsi tersebut atas saran dari petugas kesehatan.

32

Arliana et al. (2013) mengatakan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi hormonal yang menunjukkan kemaknaan secara statistik adalah umur ibu sekarang, umur melahirkan pertama, jumlah anak hidup, pendapatan keluarga, biaya alat kontrasepsi, dan dukungan suami. Klien yang diberikan dukungan oleh suami akan menggunakan kontrasepsi secara terus menerus sedangkan yang tidak mendapat dukungan suami akan sedikit menggunakan kontrasepsi. Sitopu (2012) mengatakan bahwa pengetahuan akseptor KB berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi. semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin baik pengetahuan seseorang tentang alat kontrasepsi, dan semakin rasional dalam menggunakan alat kontrasepsi. Tingginya tingkat pendidikan seseorang juga akan mendukung mempercepat penerimaan informasi KB pada pasangan usia subur. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan secara kualitatif oleh Handayani et al. (2012) bahwa masih banyak akseptor yang menentukan metode yang dipilih hanya berdasarkan informasi dari akseptor lain berdasarkan pengalaman masingmasing. Sebagian besar petugas kesehatan kurang melakukan konseling dan pemberian informasi yang menyebabkan kurangnya pengetahuan klien dalam memilih jenis KB. Namun masyarakat mentolerir pelayanan KB meskipun pelayanan KB belum seluruhnya memenuhi syarat pelayanan berkualitas. Informasi yang baik dari petugas membantu klien dalam memilih dan menentukan metode kontrasepsi yang dipakai. Informasi yang baik akan memberikan kepuasan klien yang berdampak pada penggunaan kontrasepsi yang lebih lama sehingga membantu keberhasilan KB.

33

Kerangka Pemikiran Program KB merupakan salah satu inovasi pemerintah yang bertujuan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk.Studi tentang peserta aktif program keluarga berencana dalam mengadopsi metode kontrasepsi merujuk pada teori pengambilan keputusan inovasi (Rogers 1995), di mana tindakan peserta aktif program keluarga berencana sebagai konsekuensi atas keputusan yang telah diambilnya dikategorikan menjadi: (1) mengadopsi atau menerapkan metode kontrasepsi dan (2) tidak mengadopsi atau menolak metode kontrasepsi. Metode kontraspesi dapat dikatakan sebagai suatu inovasi, yaitu sesuatu yang baru bagi masyarakat. Pengertian baru di sini bisa benar-benar baru atau cara-cara lama yang mengalami pembaharuan. Penerapan suatu inovasi selain tergantung pada inovasi yang ditawarkan ditentukan oleh kesediaan adopter dalam mengadopsi inovasi tersebut. Keputusan pasangan usia subur untuk menerapkan atau tidak menerapkan dipahami sebagai tindakan rasional berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Analisis proses menerapkan metode kontrasepsi dan alasan-alasan menerapkan metode kontrasepsi atau menolak menerapkan metode kontrasepsi menjadi dasar pemahaman terhadap makna keputusan yang diambil oleh pasangan usia subur. Keberhasilan proses pengambilan keputusan inovasi berhubungan dengan berbagai faktor. Rogers (2003) mendefinisikan pengambilan keputusan inovasi sebagai suatu proses yang mencakup suatu rangkaian penerimaan atau penolakan inovasi oleh unit pengambilan keputusan dan terjadi dalam lima tahap yaitu tahap pengenalan, tahap persuasi, tahap keputusan, tahap penerapan, dan tahap konfirmasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan pengambilan keputusan pada tahap konfirmasi inovasi yaitu, karakteristik individu, karakteristik inovasi, saluran komunikasi dan kondisi sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian Nasution (2012) terdapat hubungan antara pengetahuan dengan pemilihan metode kontrasepsi di Kecamatan Ngesrep, Semarang. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Manuaba (1998) yang menyatakan bahwa dalam menentukan pilihan pengunaan metode kontrasepsi, individu memerlukan informasi yang benar dan tepat, sebab setiap metode kontrasepsi yang ada selalu memiliki kelebihan dan kekurangan yang mana akan menimbulkan suatu kerugian apabila tidak diinformasikan dengan baik. Selain itu, penelitian Susanti (2008) membagi faktor-faktor yang telah dijabarkan Rogers (2003) menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dijabarkan sebagai faktor yang melekat pada unit pengambilan keputusan inovasi, antara lain meliputi: umur, tingkat pendidikan, luas lahan dan tingkat pendapatan. Faktor eksternal didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari luar unit pengambilan keputusan, meliputi: lingkungan ekonomi, lingkungan sosial, dan sifat inovasi. Beberapa variabel yang mempengaruhi keputusan individu pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi di Kota Bogor adalah faktor internal, faktor eksternal, pengetahuan tentang metode kontrasepsi, dan persepsi tentang ciri metode kontrasepsi. Faktor internal terdiri atas: (1) usia, (2) pendidikan, (3) pendapatan, (4) jumlah tanggungan rumah tangga, (5) motivasi, dan (6) kekosmopolitan; faktor eksternal yang terdiri dari: (1) ketersediaan sumber informasi, (2) intensitas penyuluhan, dan (3) ketersediaan sarana. Faktor lainnya adalah pengetahuan tentang metode kontrasepsi; serta persepsi tentang ciri inovasi

34

yang terdiri atas: (1) keuntungan relatif (relative advantage), (2) kesesuaian (compatibility), (3) kerumitan (complexity), kemudahan dicoba (triability) dan (5) kemudahan diamati (observability). Secara skematis kerangka berfikir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. (X1.6) Tingkat Kekosmopolitan (X1) Faktor Internal (X1.1) Usia (X1.2) Tingkat Pendidikan (X1.3) Tingkat Pendapatan (X1.4) Jumlah Tanggungan Rumah Tangga (X1.5) Motivasi

5

(Y3) Keputusan

akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi

4

2 6

1

(Y1) Tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi

3

(X2) Faktor Eksternal

(Y2) Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi (Y2.1) Keuntungan relatif (Y2.2) Kesesuaian (Y2.3) Kerumitan (Y2.4) Kemudahan dicoba (Y2.5) Kemudahan diamati

(X2.1) Tingkat Ketersediaan Informasi (X2.2) Intensitas Penyuluhan (X2.3) Tingkat Ketersediaan Sarana Keterangan :

mempengaruhi

Gambar 2. Kerangka pemikiran keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut: 1. Diduga faktor internal dan faktor eksternal berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi. 2. Diduga faktor internal dan faktor eksternal berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB mengenai ciri metode kontrasepsi.

35

3. Diduga tingkat pengetahuan mengenai metode kontrasepsi berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB mengenai ciri metode kontrasepsi. 4. Diduga faktor internal dan faktor eksternal berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. 5. Diduga tingkat pengetahuan mengenai metode kontrasepsi berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. 6. Diduga tingkat persepsi mengenai ciri metode kontrasepsi berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi.

36

37

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat (Lampiran 1) dan difokuskan pada RW 07 dan RW 10. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive sampling (sengaja) karena berdasarkan hasil penjajakan yakni terdapat relevansi kondisi lapang dengan masalah penelitian yang diangkat karena Kelurahan Tanah Baru merupakan salah satu kelurahan terbaik se-Indonesia dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan, salah satunya Program Keluarga Berencana. Selain itu, dengan mempertimbangkan jumlah pasangan usia subur yang terlibat dalam program keluarga berencana khususnya penggunaan metode kontrasepsi memadai. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu tujuh bulan, terhitung mulai bulan Juni 2016 sampai dengan Februari 2017, diluar bulan Juli dan Agustus 2016 (Lampiran 2). Kegiatan dalam penelitian ini meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data di lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji kelayakan skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang didukung dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data kuantitatif diperoleh dengan menggunakan instrumen utama yaitu kuesioner Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui wawancara secara mendalam dengan para responden dan informan. Informasi yang diperoleh melalui pendekatan kualitatif digunakan untuk mendukung dan sebagai interpretasi terhadap data yang didapatkan dari pendekatan kuantitatif mengenai tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi, tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi, dan keputusan akseptor KB untuk melanjutkan penggunaan metode kontrasepsi pada tahap konfirmasi adopsi inovasi. Teknik Penentuan Responden dan Informan Sumber data dalam penelitian ini adalah responden dan informan. Responden adalah orang yang memberikan informasi mengenai diri mereka sendiri sebagai sumber data. Informan adalah orang yang memberikan infromasi ataupun keterangan tambahan yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Sampel dalam penelitian ini menggunakan metode survei. Populasi penelitian ini adalah wanitapasangan usia subur (PUS) di Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor yang merupakan peserta program keluarga berencana dan pernah menggunakan metode kontrasepsi. Sampel dalam penelitian ini adalah anggota populasi yang menjadi sumber data penelitian. Teknik pengambilan responden

38

dalam penelitian ini yaitu sample random sampling. Jumlah sampel yang dijadikan responden berjumlah 40 orang yang berlokasi di RW 07 dan RW 10 (Lampiran 4). Penelitian ini difokuskan di RW 07 dan RW 10 karena di RW tersebut jumlah pasangan usia subur yang banyak dan pelayanan program keluarga berencananya baik serta jumlah tenaga medis yang aktif banyak. Orang-orang yang dijadikan informan dalam penelitian ini yaitu kader posyandu setempat, Bidan Kelurahan Tanah Baru dan PLKB Kelurahan Tanah Baru. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan langsung di lokasi penelitian dengan cara observasi, kuesioner dan wawancara kepada responden dan informan. Sementara itu, data sekunder diperoleh dari pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti, perangkat pemerintah, kader posyandu, bidan desa, dan PLKB.Data sekunder yang diperoleh dari lembaga-lembaga tersebut adalah data yang terkait dengan penelitian seperti profil desa dan data posyandu Kelurahan Tanah Baru. Data sekunder juga diperoleh melalui kajian pustaka dan menganalisis berbagai literatur terkait dengan penelitian. Kuesioner sebagai alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini akan diujikan terlebih dahulu untuk mengetahui seberapa baik hasil pengukuran di lapangan dilihat dari validitasdan reliabilitas(Singarimbun dan Effendi 1989). Uji validitas dan reliabilitas dilakukan kepada 10 orang warga Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. Hasil uji validitas menunjukan bahwa kueioner valid dalam rentang koefisien 0.527-0.968 sehingga dapat digunakan. Selanjutnya, hasil reliabilitas menunjukan bahwa kuesioner tersebut sangat reliabel dengan koefisien 0.881. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner dan pertanyaan terstruktur sebagai pedoman wawacara mendalam. Kuesioner akan digunakan untuk mengumpulkan data kuantitatif, sedangkan pertanyaan terstruktur digunakan untuk mengumpulkan data kualitatif. Data kuantitatif akan diolah menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2013dan SPSSfor windows versi 23.0.Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan uji regresi linier berganda dan dilanjutkan dengan analisis jalur. Analisis jalur adalah suatu teknik pengembangan dari regresi linier berganda. Teknik ini digunakan untuk menguji besarnya sumbangan (kontribusi) yang ditunjukkan oleh koefisien jalur pada setiap diagram jalur dari hubungan kausal antar variabel Xterhadap Y serta dampaknya terhadap Z.Hubungan antar variabel dilihat dari variabel X1 dan X2 berpengaruh terhadap variabel Y1, Y2 dan Y3. Variabel Y1 berpengaruh terhadap variabel Y2 dan Y3. Selanjutnya, variabel Y2 berpengaruh terhadap variabel Y3. Uji regresi linier berganda dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis pengaruh dari semua variabel secara langsung maupun tidak langsung.

39

Data kualitatif dianalisis melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Pertama ialah proses reduksi data dimulai dari proses pemilihan dan penyederhanaan data hasil wawancara mendalam berupa catatan lapangan, observasi, dan studi dokumen yang di reduksi dalam tulisan tematik. Tujuan dari reduksi data ini ialah untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak perlu. Kedua ialah penyajian data dengan menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan berupa kutipan atau tipologi. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah untuk mendukung data kuantitatif. Definisi Operasional Definisi operasional dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini dipaparkan sebagai berikut: Faktor Internal Faktor internal adalah ciri-ciri pribadi adopter yang diduga berhubungan dengan adopsi inovasi metode kontrasepsi yang terdiri atas: Tabel 2. Definisi operasional faktor internal Variabel Umur

Jumlah tanggungan rumah tangga

Tingkat Pendidikan

Pengukuran Parameter Untuk Definisi Operasional Uji Statistik Uji Statistik Deskriptif Inferensia Usia adalah lama Berdasarkan nilai Jumlah lama hidup responden kuartil diperoleh hidup pada saat penelitian kategori responden dilakukan, yang dalam satuan dihitung sejak Rendah: <30 tahun tahun kelahiran responden Sedang: 30-41 tahun dinyatakan dalam Tinggi: >41 tahun satuan tahun Banyaknya anggota Berdasarkan nilai Jumlah orang keluarga yang masih kuartil diperoleh yang masih dalam tanggungan kategori dalam responden termasuk tanggungan dirinya sendiri, baik Rendah: <4 orang yang berada atau Sedang: 4-5 orang tinggal dalam satu Tinggi: >6 orang rumah maupun yang tidak tinggal dalam satu rumah. Tahapan pendidikan Berdasrkan nilai Jumlah lama yang ditetapkan kuartil diperoleh tahun sekolah berdasarkan tingkat kategori perkembangan peserta didik.

40

Tingkat Pendapatan

Motivasi

Tingkat Kekosmopolitan

Tingkat pendidikan ini terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Jumlah penerimaan atau pemasukan yang diterima oleh responden dalam waktu satu bulan dan dalam satuan rupiah (RP.)

Rangsangan atau dorongan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok masyarakat yang ingin bekerjasama secara maksimal dalam melakukan sesuatu yang sudah direncanakan untuk mencapai sebuah tujuan yang sudah ditetapkan. Sifat-sifat seseorang yang dapat digunakan untuk menggambarkan upayanya mencari informasi yang dibutuhkan mengenai metode kontrasepsi baik ke dalam maupun ke luar sistem sosialnya, yang

Rendah: Tidak sekolah-5 SD Sedang: 6 SD-3 SMA Tinggi: Diploma dan sarjana

Berdasarkan nilai kuartil diperoleh kategori Rendah: Rp4.375.000 Jawaban “ya” skor 1, “tidak” skor 0 Dari seluruh item dikelompokan menjadi Rendah: indeks <4 Sedang: indeks 4-7 Tinggi: indeks >7

Masing-masing kriteria diberi skor 3,2,1 untuk kategori >2 kali, 1-2 kali, tidak pernah Dari seluruh item dikelompokan menjadi Rendah: indeks <13 Sedang: indeks 1316 Tinggi: indeks >16

Jumlah rupiah yang didapatkan setiap bulan

Jumlah motivasi menjadi akseptor KB

Frekuensi mengunjungi sumber informasi

41

diukur selama tiga bulan terakhir.

Masing-masing kriteria diberi skor 3,2,1 untuk kategori >2kali, 1-2 kali, tidak pernah

Frekuensi mengakses media massa

Dari seluruh item dikelompokan menjadi Rendah: indeks <4 Sedang: indeks 4-5 Tinggi: indeks >5 Faktor Eksternal Faktor eksternal didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari luar unit pengambilan keputusan yang diduga berhubungan dengan adopsi inovasi metode kontrasepsi yang terdiri atas: Tabel 3. Definisi operasional faktor eksternal Pengukuran Parameter Untuk Variabel Definisi Operasional Uji Statistik Uji Statistik Deskriptif Inferensia Tingkat Banyaknya sumber Jawaban “ya” skor Penjumlahan atau ketersediaan informasi yang dapat 1, “tidak” skor 0 indeks dari seluruh informasi memberikan skor ketersediaan informasi kepada Rendah: Indeks informasi yaitu responden mengenai <8 total skor: 0 s/d 28 jenis, harga, efek Sedang: Indeks dan standarisasi samping, dan tingkat 8-20 keberhasilan Tinggi: Indeks penggunaan metode >20 kontrasepsi. Intensitas Pengetahuan Masing-maisng Penjumlahan atau penyuluhan responden mengenai item dengan skor indeks dari seluruh jadwal dan durasi 3,2,1 untuk skor intensitas penyelenggaran kategori >2 kali, 1- penyuluhan, yaitu penyuluhan yang 2 kali, tidak total skor: 6 s/d 18 dilakukan oleh pernah, atau >2jam, dan standarisasi sumber penyuluhan 1-2 jam, <1jam, tidak tahu Rendah: Indeks <7 Sedang: Indeks 7-11 Tinggi: Indeks >12

42

Tingkat Kondisi ketersediaan ketersediaan, sarana kuantitas, dan kualitas metode kontrasepsi.

Masing-masing item dengan skor 4,3,2,1 untik kategori selalu, sering, jarang, tidak pernah

Penjumlahan atau indeks dari seluruh skor ketersediaan sarana, yaitu total skor: 21 s/d 84 dan standarisasi

Rendah: Indeks <36 Sedang: Indeks 36-66 Tinggi: Indeks >66 Faktor Pengetahuan Tentang Inovasi Pengetahuan responden tentang jenis metode kontrasepsi, tujuan menerapkan metode kontrasepsi dan efek samping apabila menerapkan metode kontrasepsi yang terdiri atas : Tabel 4. Definisi operasional pengetahuan tentang inovasi Pengukuran Parameter Untuk Variabel Definisi Operasional Uji Statistik Uji Statistik Deskriptif Inferensia Pengertian Pemahaman Masing-Masing item Penjumlahan program responden mengenai dengan skor 1 atau indeks dari keluarga arti program Salah: skor 1 seluruh skor berencana keluarga berencana Kurang tepat: skor 2 ketersediaan Benar: skor 3 sarana, yaitu Tujuan Pemahaman Masing-Masing item total skor: 5 s/d 15 dan menggunakan responden mengenai dengan skor 1. standarisasi metode kegunaan dari Salah: skor 1-2 kontrasepsi penggunaan metode Kurang tepat: skor kontrasepsi 3-4 Benar: skor 5-6 Jenis metode Pemahaman Masing-Masing item kontrasepsi responden mengenai dengan skor 1. banyaknya jenis Salah : skor 1-2 metode kontrasepsi Kurang tepat: skor 3-4 Benar: skor 5-7 Tempat Pemahaman Masing-Masing item mendapatkan responden mengenai dengan skor 1. pelayanan lokasi yang Salah: skor 1 penggunaan menyediakan Kurang tepat: skor metode pelayanan metode 2-3 kontrasepsi kontrasepsi Benar: skor 4-5

43

Efek samping menggunakan metode kontrasepsi

Pemahaman responden mengenai dampak dari penggunaan metode kontrasepsi

Masing-Masing item dengan skor 1. Salah: skor 1-2 Kurang tepat: skor 3-5 Benar: skor 6-8

Faktor Persepsi Tentang Ciri Metode Kontrasepsi Persepsi tentang ciri inovasi adalah penilaian responden tentang ciri-ciri yang dimiliki oleh inovasi metode kontrasepsi yang terdiri atas: Tabel 5. Definisi operasional persepsi tentang ciri inovasi Pengukuran Parameter Untuk Definisi Variabel Uji Statistik Uji Statistik Operasional Deskriptif Inferensia Tingkat Perbandingan Masing-masing item Penjumlahan atau keuntungan harga dengan skor 3,2,1 indeks dari seluruh relatif pemasangan untuk kategori lebih skor keuntungan metode murah, sama saja relatif,yaitu total kontrasepsi yang dan lebih mahal skor: 7 s/d 21 dan digunakan standarisasi responden Rendah: Indeks 7-11 dibanding dengan Sedang: Indeks 12metode 16 kontrasepsi lain Tinggi: Indeks 17-21 Tingkat Kesesuaian Masing-masing item Penjumlahan atau kesesuaian penggunaan dengan skor 3,2,1 indeks dari seluruh metode untuk kategori skor kesesuaian, kontrasepsi yang sangat sesuai, sesuai yaitu total skor: 5 digunakan dengan dan kurang sesuai s/d 21 dan nilai, budaya, standarisasi aturan, norma Rendah: Indeks 5-7 kesopanan dan Sedang: Indeks 8-11 norma agama. Tinggi: Indeks 12-15 Tingkat Perbandingan Masing-masing item Penjumlahan atau kerumitan kerumitan dengan skor 3,2,1 indeks dari seluruh menerapkan untuk kategori lebih skor metode mudah, sama saja kerumitan,yaitu kontrasepsi yang dan lebih sulit total skor: 7 s/d 21 digunakan dan standarisasi responden Rendah: Indeks 7-11 dibanding dengan Sedang: Indeks 12metode 16 kontrasepsi lain Tinggi: Indeks 17-21 Tingkat Perbandingan Masing-masing item Penjumlahan atau kemudahan skala dan modal dengan skor 3,2,1 indeks dari seluruh dicoba yang dibutuhkan untuk kategori lebih skor kemudahan

44

Tingkat kemudahan diamati

untuk mencoba menerapkan metode kontrasepsi yang digunakan responden dibanding dengan metode kontrasepsi lain Perbandngan tingkat keberhasilan penggunaan metode kontrasepsi yang digunakan responden dibanding dengan metode kontrasepsi lain.

sedikit, sama saja, lebih banyak

dicoba, yaitu total skor: 7 s/d 21 dan standarisasi

Rendah: Indeks 7-11 Sedang: Indeks 1216 Tinggi: Indeks 17-21

Masing-masing item dengan skor 3,2,1 untuk kategori lebih tinggi, sama saja dan lebih rendah Rendah: Indeks 7-11 Sedang: Indeks 1216 Tinggi: Indeks 17-21

Penjumlahan atau indeks dari seluruh skor kemudahan diamati,yaitu total skor: 7 s/d 21 dan standarisasi

45

GAMBARAN UMUM PENELITIAN Keadaan Geografis Kelurahan Tanah Baru merupakan salah satu kelurahan yang masuk dalam wilayah Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kelurahan Tanah Baru 3.117 Ha dan memiliki batas-batas wilayah, yaitu sebelah Utara adalah Kelurahan Ciluar, sebelah Selatan adalah Kelurahan Katulampa dan Baranangsiang, sebelah Barat adalah Kelurahan Cimahpar, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Cibuluh, Tegal Gundil dan Tegal Lega. Pada umumnya lahan yang terdapat di Kelurahan Tanah Baru digunakan untuk pemukiman dan prasarana umum lainnya. Dari total luas wilayah 3.117 Ha, sebagian besar lahan digunakan sebagai pemukiman seluas 2.836 Ha, prasarana umum lainnya seluas 133 Ha, sisanya digunakan untuk persawahan (63 Ha), pekarangan (58 Ha), perkebunan (13 Ha), taman (6 Ha), perkantoran (6 Ha) serta kuburan seluas 2 Ha. Infrastruktur Kelurahan Tanah Baru cukup memadai ditandai dnegan jalan yang sudah diaspal sehingga mudah diakses dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Kendaraan umum yang melitasi daerah ini adalah angkutan umu 17 dan 05. Infrastruktur lainnya yang berada di Kelurahan Tanah Baru berupa sarana pendidikan tersedia hingga jenjang perguruan tinggi meskipun hanya terdapat satu perguruan tinggi. Namun tidak terdapat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Selebihnya terdapat empat Sekolah Menengah Atas (SMA), dua Sekolah Dasar (SD), empat Taman Kanak-Kanak (TK), sembilan Taman Bermain Anak, dan satu perpustakaan desa atau kelurahan. Keadaan Demografis a) Jumlah Penduduk Keadaan demografi pada dasarnya menggambarkan keadaan penduduk dan jumlah penduduk yang berada pada suatu wilayah. Tabel 6. Jumlah kepala keluarga berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru No Tahun KK Laki-Laki KK Perempuan Total KK 1 Tahun 2015 3.565 1.226 4.791 2 Tahun 2016 4.114 577 4.791 3 Persentase Perkembangan 15,4 persen -44,7 persen 0 Sumber: Profil Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 Berdasarkan Tabel 6 Jumlah penduduk laki-laki maupun perempuan masing-masing mengalami penurun dibanding tahun 2015 sebesar 0.14 persen dan 0.15 persen. Tabel 7 menyajikan data jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru. Jumlah penduduk di Kelurahan Tanah Baru pada bulan September 2016 mencapai 20.914 jiwa, yang terdiri dari 10.808 jiwa yang berjenis

46

kelamin laki-laki dan 10.106 jiwa yang berjenis kelamin perempuan. Penduduk Kelurahan Tanah Baru paling banyak adalah penduduk balita (bayi di bawah lima tahun) dan penduduk usia tua (>50 tahun). Banyaknya penduudk usia tua memnunjukan bahwa tingkat kesehatan di Kelurahan Tanah Baru cukup baik. Tabel 7. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru No Indikator Laki-Laki (Jiwa) Perempuan (Jiwa) Total 1 0-12 bulan 53 124 177 2 1-5 tahun 2.129 1.398 3.527 3 6-10 tahun 1.366 1.770 3.136 4 11-15 tahun 625 616 1.241 5 16-20 tahun 713 621 1.334 6 21-25 tahun 584 574 1.158 7 26-30 tahun 564 596 1.160 8 31-35 tahun 597 569 1.166 9 36-40 tahun 623 742 1.365 10 41-45 tahun 500 510 1.010 11 46-50 tahun 563 518 1.081 12 Di atas 50 tahun 2.491 1.618 4.109 Total 10.808 10.106 20.914 Sumber: Profil Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 Semua penduduk Kelurahan Tanah Baru berkebangsaan Warga Negara Indonesia. Penduduk Kelurahan Tanah Baru umumnya beragama Islam, baik lakilaki mapun perempuan, masing-masing sebanyak 10.225 orang dan 9.395 orang yang dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah pemeluk agama berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru No Agama Laki-Laki (Jiwa) Perempuan (Jiwa) Total (Jiwa) 1 Islam 10.225 9.395 19.620 2 Kristen 280 278 558 3 Katholik 135 258 393 4 Hindu 134 145 279 5 Budha 32 27 59 6 Konghucu 2 3 5 Total 10.808 10.106 20.914 Sumber: Profil Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 b) Lingkugan Sosial Ekonomi Lingkungan Sosial Ekonomi meliputi mata pencaharian yang sangat penting dalam kelangsungan hidup rumah tangga, dapat juga menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu daerah dan perkembangan tenaga kerja. Tabel 9 menyajikan data mata pencaharian pokok penduduk Kelurahan Tanah Baru. Mayoritas penduduk di Kelurahan Tanah Baru bekerja sebagai buruh harian lepas, baik laki-laki maupun perempuan. Ada 5.250 laki-laki dan 1.950 perempuan yang bekerja sebagai buruh harian lepas. Mata pencaharian pokok laki-

47

laki yang dominan setelah buruh harian lepas adalah pedagang kecil dan pengusaha kecil, menengah, dan besar sebanyak 1.325 orang dan 785 orang. Selanjutnya, mata pencaharian dominan perempuan setelah buruh harian lepas adalah pembantu rumah tangga dan pedagang keliling sebanyak 2.350 orang dan 72 orang. Baik lakilaki maupun perempuan tidak ada yang bekerja menjadi nelayan karena bukan merupakan wilayah pesisisr. Banyaknya tenaga kerja sebagai buruh harian lepas, pedagang kecil, maupun pengusaha atau wirausaha dikarenakan sebagian besar masyarakat hanya tamat SMP. Rendahnya tingkat pendidikan terakhir yang dikenyam oleh masyarakat Kelurahan Tanah Baru, menyebabkan minimnya kemampuan untuk bekerja di bidang formal sehingga masyarakat cenderung bekerja di sektor informal seperti pedagang keliling dan pengusaha. Umumnya pedagang keliling menjajakan makanan seperti bakso, siomay, cilok, dan pengusaha kecil, menengah, dan besar umumnya berupa toko klontong yang dibedakan berdasarkan ukuran usahanya. Tabel 9. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian pokok dan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru No

Jenis Pekerjaan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Petani Buruh Migran Pegawai Negeri Sipil Pengrajin Nelayan Montir Dokter Swasta Bidan Swasta Ahli Pengobatan Alternatif TNI Pengusaha kecil, menengah dan besar Pedagang Keliling Pembantu Rumah Tangga Karyawan Perusahaan Swasta Buruh Harian Lepas

12 13 14 15 Total

Laki-Laki (Jiwa) 30 11 321 150 0 250 11 0 8 150 785 1325 0 580 5.250 8.871

Perempuan (Jiwa) 4 0 138 25 0 5 11 25 2 100 235

Total (Jiwa) 34 11 459 175 0 255 22 25 10 250 1.020

725 2.350 580 1.950 6.450

2.050 2.350 1.160 7.200 15.321

Sumber: Profil Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 c) Pendidikan Tingkat pendidikan menunjukan kemajuan suatu daerah, semakin tinggi pendidikan di suatu daerah maka makin majulah daerah tersebut. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi derajat kesehatan seseorang. Salah satu indikator pokok untuk menilai kualitas pendidikan formal adalah pendidikan yang ditamatkan atau tidak oleh penduduk Kelurahan Tanah Baru tahun 2016. Berdasarkan Tabel 10, mayoritas penduduk Kelurahan Tanah baru merupakan tamatan SMP/sederajat. Selain itu sebagian besar penduduk Kelurahan Tanah Baru tidak sekolah karena usiannya belum mencukupi untuk masuk sekolah.

48

Tabel 10. Pendidikan terakhir penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Tanah Baru Tingkatan Laki-Laki Perempuan Total No Pendidikan (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) 1 Tidak Sekolah 2.346 2.438 4.784 2 SD/sederajat 1.871 1.966 3.837 3 SMP/sederajat 2.766 3.007 5.773 4 SMA/sederajat 1.210 1.250 2.460 5 Diploma 375 330 705 6 Sarjana 748 416 1.164 Total 9.316 9.407 18.723 Sumber: Profil Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 d) Sarana Kesehatan Sarana kesehatan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta merupakan komponen penting dalam upaya meningkatkan derjat kesehatan masyarakat. Tabel 11 dan Tabel 12 menunjukan sarana kesehatan yang ada di wilayah Kelurahan Tanah Baru: Tabel 11. Jumlah prasarana kesehatan di Kelurahan Tanah Baru No Prasarana Kesehatan Jumlah (Unit) 1 Puskesmas 1 2 Puskesmas pembantu 1 3 Poliklinik/balai pengobatan 3 4 Apotik 4 5 Posyandu 13 6 Jumlah rumah/kantor praktek dokter 5 7 Rumah bersalin 4 Sumber: Profil Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 Ketersediaan prasarana dan sarana kesehatan di Kelurahan Tanah Baru cukup memadai dan lengkap. Berdasarkan Tabel 11 prasarana kesehatan yang paling banyak dijumpai adalah posyandu yang berjumlah 13 posyandu yang tersebar di 11 RW. Puskesmas terletak di RW 04 dan puskesmas pembantuk terletak di RW 06. Di RW 4 dan 5 terdapat 2 buah posyandu karena RW tersebut memiliki RT yang paling banyak dan jumlah akseptor keluarga berencana yang cukup banyak.Untuk RW lainnya masing-masing terdapat satu posyandu. Sarana kesehatan yang paling banyak adalah perawat, kemudian bidan baik swasta maupun bidan desa. Penduduk Kelurahan Tanah Baru didominasi dengan keluarga sejahtera 2 yang berjumlah 1.912 keluarga, selanjutnya keluarga prasejahtera berjumlah 111 keluarga, keluarga sejahtera 1 sebanyak 1.957 keluarga, keluarga sejahtera 3 berjumlah 1.559 keluarga dan keluarga sejahtera 3 plus sebanyak 254 keluarga.

49

Tabel 12. Jumlah sarana kesehatan di Kelurahan Tanah Baru No Sarana Kesehatan Jumlah (Jiwa) 1 Dokter umum 2 Dokter gigi 3 Dokter spesialis lainnya 4 Paramedis 5 Bidan 6 Perawat 7 Dukun pengobatan alternative 8 Dokter praktek 9 Laboratorium kesehatan Sumber: Profil Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016

11 1 2 5 22 25 11 1 2

Peningkatan Kesejahteraan keluarga utamanya digagas dan digerakan oleh Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kelurahan Tanah Baru. Mekanisme dan jaringan kerja PKK dari Tim Penggerak PKK Pusat sampai dengan Tim Penggerak PKK Desa/Kelurahan, Kelompok PKK Dusun/lingkungan, Kelompok PKK RT/RW, dan Kelompok Dasa Wisma terbentuk karena gerakan PKK adalah bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan masyarakat, karena itu PKK menggunakan mekanisme penyelenggaraan pembangunan masyarakat. Terdapat 10 Program Pokok PKK, yaitu: (1) penghayatan dan pengamalan pancasila, (2) gotong royong, (3) pangan, (4) sandang, (5) perumahan dan tatalaksana rumah tangga, (6) pendidikan dan keterampilan, (7) kesehatan, (8) pengembangan kehidupan berkoperasi, (9) kelestarian lingkugan hidup, dan (10) perencanaan kesehatan. Untuk melaksanakan 10 program pokok PKK tersebut, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanan, pembinaan sampai memfasilitasi, telah dilakukan oleh 4 kelompok kerja secara luwes dan koordinatif, yaitu: mengelola program penghayatan dan pengamalan pancasila dan program gotong royong; mengelola program pendidikan dan keterampilan serta pengembangan kehidupan berkoperasi; mengelola program pangan, sandang, perumahan, dan tata laksana rumah tangga; mengelola program kesehatan, kelestarian lingkungan hidup, dan perencanaan sehat. Prioritas program kelompok kerja IV adalah memantapkan keluarga sadar gizi (KADARZI) dalam upaya menurunkan prefalensi anak balita kurang gizi; penyediaan makanan tambahan bagi anak sekolah (PMT-AS); upaya penambahan kalori di sekolah; menjadikan PHBS sebagai kebiasaan hidup sehari-hari; usaha kesehatan sekolah (UKS); membudayakan lima imunisasi dasar lengkap (LIL) dan rutin untuk menurunkan angka kematian anak dan ibu; meningkatkan kesadaran pasangan usia subur (PUS) tentang manfaat pemakaian alat kontrasepsi, meningkatkan penyuluhan pencegahan penyakit menular; meningkatkan tanam dan pelihara pohon dalam upaya kelestarian lingkungan hidup dan mengurangi dampak pemanasan global; mendorong swadaya masyarakat dalam upaya penurunan angka kematian ibu (AKI); angka kematian bayi (AKB), angka kematian balita (AKBAL); pemahaman tertib administrasi dalam rangka meningkatkan dan mewujudkan tertib administrasi kependudukan di keluarga, optimaisasi posyandu, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan keluarga. Di samping kegiatan tersebut, program keluarga berencana juga merupakan faktor penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat karena program keluarga berencana

50

merupakan suatu upaya jumlah penduduk akan dapat terkontrol dengan baik untuk mewujudkan keluarga sejahtera. Tabel 13. Jumlah peserta KB aktif dan baru berdasarkan lokasi pelayanannya di Kelurahan Tanah Baru Peserta KB aktif Peserta KB baru No RW Pemerintah Swasta Pemerintah Swasta 1 I 66 153 0 0 2 II 66 150 0 1 3 III 54 160 1 2 4 IV 72 212 3 0 5 V 64 224 0 1 6 VI 78 185 0 3 7 VII 101 161 1 2 8 VIII 26 104 0 1 9 IX 33 141 0 0 10 X 84 177 0 0 11 XI 76 165 0 1 Total 720 1.832 5 11 Sumber: Data Posyandu Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 Berjalannya Program Keluarga Berencana di Kelurahan Tanah Baru dapat dilihat pada data peserta KB aktif dan peserta KB baru pada Tabel 13. Akseptor KB baik aktif maupun baru umumnya lebih banyak mengunjungi tempat pelayanan KB swasta seperti bidan swasta dan rumah sakit swasta dibanding pemerintah seperti puskesmas dan rumah sakit umum daerah. Alasan ini didominasi oleh jam pelayanan KB dan jarak antara rumah dengan lokasi pelayanan KB. Jam pelayanan KB di puskesmas hanya dari pukul 08.00-12.00. Pada waktu tersebut, akseptor KB yang sebagian besar adalah wanita, masih sibuk melakukan aktivias rumah tangga sehari-hari, seperti menyapu, mengepel, menyiapkan makanan dan mengurus anak istri. Tabel 14 menyajikan data mengenai penyebaran metode kontrasepsi yang digunakan oleh responden. Responden umumnya menggunaka metode kontrasepsi hormonal sperti implant, suntik dan pil. Selain itu, umumnya resdponden cenderung menggunakan metode kontrasepsi jangka pendek seperti suntik dan pil.hal tersebut terjadi karena masih berkembangnya mitos di kalangan masyarakat. Seperti bahwa metode kontrasepsi implant atau IUD bisa berpindah ke organ lain. Hal tersebut sangat tidak dimungkinkan. Dukungan suami pun menjadi hal penting dalam pemilihan metode kontrasepsi, apabila responden ingin menggunakan metode kontrasepsi tertentu tetapi tidak diperbolehkan oleh suaminya, cenderung akan mengurungkan niatnya.

51

Tabel 14. Penyebaran penggunaan metode kontrasepsi yang dipilih akseptor KB aktif dan baru di Kelurahan Tanah Baru No

RW

1 I 2 II 3 III 4 IV 5 V 6 VI 7 VII 8 VIII 9 IX 10 X 11 XI Total Aktif Total Baru

Kondom P S 1 0 0 6 1 0 5 4 0 4 0 0 2 1 2 0 2 0 0 0 0 3 13 18 0 0

Non Hormonal IUD MOW P S P S 28 25 4 2 28 14 5 3 28 9 2 2 33 22 2 1 33 28 2 3 36 9 5 0 37 6 12 5 15 65 1 14 15 68 2 10 33 47 12 1 35 28 13 9 321 321 60 50 0 2 1 0

MOP P S 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 2 0 1 1 6 3 0 0

Implant P S 20 0 15 1 4 0 6 1 4 0 22 0 8 0 0 0 1 0 12 0 3 0 95 2 3 0

Hormonal Suntik P S 8 114 9 105 11 137 14 163 9 178 5 157 16 124 5 20 8 48 10 95 14 96 109 1237 3 9

Pil P 4 9 7 12 16 10 25 5 15 34 28 116 0

S 12 20 11 21 11 19 25 5 15 34 28 201 0

Sumber: Data Posyandu Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 Berdasarkan Tabel 15, rata-rata tingginya angka akseptor KB dipengaruhi oleh beberapa hal. Salah satunya ketersediaan sarana dan prasarana untuk mendapatkan pelayanan penggunaan alat kontrasepsi. RW VIII dan RW I memiliki persentase penggunaan metode kontrasepsi yang paling banyak dibanding dengan RW lain dengan peresentase 84.42 persen dan 81.1 persen. Selain itu, RW 7 memiliki peresentase akseptor KB terendah dibandingkan dengan RW lain meskipun jumlah pasangan usia subur dan akseptor KB-nya banyak. Tabel 15. Jumlah pasangan usia subur dan akseptor KB di Kelurahan Tanah Baru No RW Pasangan Usia Subur (Jiwa) Akseptor KB (Jiwa) Persentase (%) 1 I 270 219 81.11 2 II 272 216 79.41 3 III 265 214 80.75 4 IV 383 284 74.15 5 V 377 288 76.39 6 VI 331 263 79.46 7 VII 397 262 65.99 8 VIII 154 130 84.42 9 IX 236 174 73.73 10 X 322 261 81.06 11 XI 304 241 79.28 Total 3311 2552 77.08 Sumber: Data Posyandu Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016 Tabel 16 menyajikan data mengenai petugas yang hadir ketika pelaksanaan posyandu di setiap RW. Kader PKK atau posyandu yang paling banyak terdapat di Posyandu Bogenville yang berlokasi di RW 10. Selain memiliki kader posyandu yang banyak, kader posyandu yang aktif pun merupakan yang terbanyak, meski ketika pelaksanaan posyandu jarang hadir namun bidan desa setempat seringkali hadir untuk membantu pelaksanaan posyandu. Kader posyandu yang paling sedikit

52

ada di Posyandu Kenanga. Kader posyandu di Posyandu Kenanga hanya berjumlah 4 orang, namun PLKB dan bidan desa seringkali mendampingi ketika pelaksanaan posyandu sedang berlangsung. Tabel 16. Jumlah petugas yang hadir ketika pelaksanaan posyandu di Kelurahan Tanah Baru No Posyandu Jumlah Petugas Hadir (Jiwa) Kader PKK/Posyandu PLKB Medis dan Paramedis 1 Melati 5 0 2 2 Mekarsari 6 1 1 3 Dahlia 4 1 3 4 Hanjuang A 6 0 2 5 Hanjuang B 5 1 1 6 Delima 5 1 1 7 Puspa 6 0 1 8 Kenanga 4 1 2 9 Cempaka 6 0 1 10 Sakura 7 1 1 11 Dewi Sartika 7 0 1 12 Bogenville 9 0 2 13 Teratai 6 0 2 Total 76 6 20 Sumber: Data Posyandu Kelurahan Tanah Baru Tahun 2016

53

PROFIL RESPONDEN AKSEPTOR KELUARGA BERENCANA Karakteristik Internal Faktor internal adalah faktor yang melekat pada unit pengambilan keputusan inovasi. Faktor Internal akseptor KB RW 07 dan RW 10 Kelurahan Tanah Baru terdiri dari umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, beban tanggungan rumah tangga, motivasi, dan kekosmopolitan. Keenam variabel tersebut dipilih dan dibahas karena penulis menduga keenam variabel tersebut dapat mempengaruhi individu dalam keikutsertaan mereka menjadi akseptor KB, yang nantinya akan dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya. Metode Kontrasepsi yang Digunakan oleh Akseptor KB Tabel 17 menyajikan data mengenai jumlah dan persentase metode kontrasepsi yang digunakan oleh akseptor KB. Tabel 17. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan metode kontrasepsi yang digunakan di Kelurahan Tanah Baru Metode Kontraspesi Jumlah (N) Persentase (%) Suntik 3 bulan 16 40.0 Pil 10 25.0 IUD 5 12.5 Suntik 1 bulan 3 7.5 Implant 3 7.5 Steril 3 7.7 Total 40 100.0 Tabel 17 menunjukan bahwa metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan oleh akseptor KB adalah suntik dengan jangka waktu 3 bulan sejumlah 16 orang (40.0 persen). Hal ini dikarenakan metode kontrasepsi suntik relatif murah dan mudah didapatkan seperti di bidan praktek, puskesmas, dan rumah sakit. Selain itu, responden menilai waktu penggunaan metode kontrasepsi suntik efektif karena dilakukan tiga bulan sekali sesuai dnegan jadwal yang telah ditetapkan. Tabel 17 menunjukan bahwa masih minimnya responden yang menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang seperti IUD, implant, dan steril. Usia Tabel 18 menyajikan data mengenai jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan usia. Berdasarkan usia, akseptor KB terbagi menjadi dewasa, pertengahan dan tua.Usia akseptor KB bervariasi, terendah mulai dari 24 tahun dan tertinggi 60 tahun.

54

Tabel 18. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan usia di Kelurahan Tanah Baru Usia Jumlah (N) Persentase (%) Dewasa (<30 tahun) 9 22.5 Pertengahan (30-41 tahun) 21 52.5 Tua (>41 tahun) 10 25.0 Total 40 100.0 Data pada Tabel 18 menunjukan bahwa rata-rata akseptor KB berada pada usia pertengahan (52.5 persen). Hal ini disebabkan pada usia tersebut termasuk dalam usia subur karena selain mereka masih aktif melakukan aktivitas produktif, mereka juga masih aktif dalam proses maupun fungsi seksual dan reproduksinya bersama pasangan. Tingkat Pendidikan Tabel 19 menyajikan data mengenai jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat pendidikan. Tabel 19. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat pendidikan di Kelurahan Tanah Baru Tingkat Pendidikan Jumlah (N) Persentase (%) Rendah (Tidak sekolah-5 SD) 5 12.5 Sedang (6 SD-3 SMA) 26 65.0 Tinggi (Diploma dan sarjana) 9 22.5 Total 40 100.0 Tabel 19 menunjukan bahwa rata-rata akseptor KB tergolong tingkat pendidikan sedang sebanyak 26 orang (65.0 persen). Pendidikan terendah yang ditempuh oleh akseptor KB adalah tidak sekolah dan pendidikan tertinggi yang ditempuh akseptor KB adalah tamat strata 1. Mayoritas akseptor KB merupakan tamatan SMA (25.0 persen). Hal ini dikarenakan fasilitas pendidikan untuk Sekolah Menengah Atas tersedia cukup banyak, yaitu terdapat empat bangunan SMA/sederajat yang tersebar di beberapa lokasi di wilayah Kelurahan Tanah Baru. Fasilitas pendidikan di Kelurahan Tanah Baru cukup memadai, hal tersebut dibuktikan dengan tersedianya sarana pendidikan mulai jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, namun di Kelurahan Tanah Baru tidak terdapat fasilitas pendidkan untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Banyaknya akseptor KB yang tamat SMP dikarenakan responden bukan merupakan penduduk asli Kelurahan Tanah Baru, tetapi penduduk yang mengalami perpindahan karena mengikuti suami. Mereka mengenyam bangku SMP tidak di Kelurahan Tanah Baru, tetapi di daerah asalanya. Selain itu, untuk mejadi akseptor KB tidak ada prasyaratan tingkat pendidikan kepada akseptor, sehingga tingkat pendidikan akseptor beragam.

55

“Saya sekolahnya cuma sampai kelas 3 SD karena pas mau naik ke kelas 4, bapak saya meninggal, jadi kata ibu saya berhenti saja sekolahnya karena tidak ada biaya.” (YA, 32 tahun). “Saya nggak lanjut ke SMA karena kata ibu saya perempuan nggak perlu sekolah tinggi-tinggi karena ujung-ujungnya hanya mengurusi rumah.” (SA, 28 tahun). Tingkat Pendapatan Tabel 20 menyajikan data mengenai jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat pendapatan.Berdasarkan Tabel 20, rata-rata akseptor KB memiliki pendapatan sedang sebanyak 20 orang (50.0 persen). Tabel 20. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat pendapatan di Kelurahan Tanah Baru Tingkat Pendapatan Jumlah (N) Persentase (%) Rendah (4.375.000) 10 25.0 Total 40 100.0 Hal tersebut dikarenakan umumnya akseptor bekerja sebagai wirausaha 10 orang (25.0 persen). Akseptor KB yang bekerja sebagai wirausaha membuka usaha berupa warung di depan rumah yang menjual makanan jadi ataupun keperluan rumah tangga. Mereka memiliki sumber penghasilan yang cukup karena toko yang mereka miliki barang dagangannya laris dibeli oleh warga sekitar. Dalam penelitian ini jumlah pendapatan rata-rata perbulan akseptor KB tertinggi adalah Rp12.500.000 sebanyak 1 orang dan terendah Rp0 atau tidak memiliki pendapatan karena merupakan ibu rumah tangga. “Penghasilan rata-rata dari untung warung sehari bisa sampai Rp200.000 kalau lagi ramai yang beli, kalo lagi sepi paling cuma dapet Rp50.000. Rata-rata perbulan Rp3.000.000 karena hasil tiap harinya beda-beda. Hasilnya lumayan, sudah bisa untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, jadi gaji bapaknya bisa dtabung.” (DE, 34 tahun). “Saya pribadi nggak memiiki penghasilan karena di rumah aja ngurus anak dan rumah. Cuma ngandelin uang bulanan yang dikasih sama bapaknya.” (EB, 29 tahun). Jumlah Tanggungan Rumah Tangga Tabel 21 menyajikan data mengenai jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan jumlah tanggungan rumah tangga.Tabel 21 menunjukan bahwa ratarata akseptor KB memiliki jumlah tanggungan rumah tangga pada kategori

56

sedangsebanyak 21 orang (52.5 persen), karena umumnya responden hanya memiliki 2 atau 3 anak dan tidak ada sanak saudara yang ikut tinggal bersama mereka. Selain itu, jumlah tanggungan rumah tangga akseptor KB di Kelurahan Tanah Baru tergolong sedang karena tingkat partisipasi pasangan usia subur, baik wanita maupun pria dalam program KB cukup tinggi. Tabel 21. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan jumlah tanggungan rumah tangga di Kelurahan Tanah Baru Tanggungan Rumah Tangga Jumlah (N) Persentase (%) Rendah (<4 orang) 9 22.5 Sedang (4-5 orang) 21 52.5 Tinggi (>5 orang) 10 25.0 Total 40 100.0 Jumlah tanggungan rumah tangga paling sedikit sebanyak 3 orang, namun masih terdapat rumah tangga yang memiliki jumlah tanggungan sebanyak 11 orang. Hal ini terjadi dikarenakan sebelumnya wanita usia subur tersebut tidak menggunakan alat kontrasepsi karena tidak mendapatkan izin dari suaminya. “Saya di rumah tinggal berempat sama suami dan dua orang anak saya. Anak-anak udah pada sekolah semua.” (IK, 35 tahun). “Saya di rumah tinggal bersepuluh sama suami, ibu dan bapak mertua serta enam anak saya. Yang sudah menikah sudah pada tinggal di rumahnya masing-masing.” (RO, 44 tahun). Motivasi Motivasi adalah rangsangan atau dorongan yang dimiliki oleh seseorang yang ingin bekerja secara maksimal dalam melakukan sesuatu yang sudah direncanakan untuk mencapai suatu tujuan. Pada penelitian ini, responden diberikan 10 pernyataan yang berkaitan dengan alasan responden menjadi akseptor KB dengan jawaban ya dan tidak. Total skor dari kesepuluh pernyataan tersebut dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu, motivasi rendah, sedang, dan tinggi. Tabel 22. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan motivasi di Kelurahan Tanah Baru Motivasi Jumlah (N) Persentase (%) Rendah 9 22.5 Sedang 24 60.0 Tinggi 7 17.5 Total 40 100.0 Tabel 22 menunjukan rata-rata motivasi akseptor KB berada pada kategori tinggi (60.0 persen). Tabel 23 menyajikan data motivasi responden untuk menjadi akseptor KB dengan motivasi dominan untuk mengatur jarak kelahiran antar anak (82.5 persen).

57

Tabel 23. Jumlah dan persentase motivasi menjadi akseptor KB di Kelurahan Tanah Baru No Motivasi Ya (N) Ya(%) 1 Mengatur jarak kelahiran antar anak 33 82.5 2 Mencegah kehamilan 28 70.0 3 Anjuran dari kader posyandu 28 70.0 4 Anjuran dari bidan 28 70.0 5 Anjuran dari keluarga atau kerabat 28 70.0 6 Anjuran dari tetangga atau teman 27 67.5 7 Menjaga kesehatan 15 37.5 8 Anjuran dari Perangkat Pemerintah 13 32.5 9 Anjuran dari PLKB 5 12.5 10 Anjuran dari tokoh agama 5 12.5 Rata-rata akseptor menggunakan metode kontrasepsi agar interval antar anaknya tidak terlalu dekat, sehingga pengasuhannya bisa optimal dan dapat menghasilkan anak yang berkualitas. Motivasi selanjutnya adalah mencegah kehamilan, anjuran dari kader posyandu, bidan, dan keluarga atau kerabat. Umumnya akseptor KB yang sudah memiliki anak sesuai dengan jumlah anak yang diinginkan atau sudah melebihi, sehingga mereka menggunakan metode kotrasepsi sebagai bentuk usaha mencegah kehamilan berikutnya. Motivasi responden menjadi akseptor KB juga dipengaruhi oleh intensitas bertemu responden dengan kader posyandu, bidan, dan keluarga atau kerabat. Hal ini didukung dengan kader posyandu yang menyebar di setiap RW di Kelurahan Tanah Baru dan memiliki intensitas pertemuan yang cukup sering dengan warga karena merupakan warga RW tersebut, sehingga sering bertemu baik ketika pelaksanaan suatu program atau melakukan aktivitas sehari-hari. Mayoritas akseptor KB mendapatakan pelayanan metode kontrasepsi di puskesmas atau bidan praktek dan yang menjadi tenaga medisnya adalah bidan, sehingga responden sering berkonsultasi mengenai metode kotrasepsi oleh bidan dan diberikan anjuran untuk menggunaka metode kontrasepsi tertentu yang sesuai dengan situasi dan kondisi responden. Keluarga atau kerabat dalam hal ini suami dan orangtua atau kakak dan adik merupakan orang-orang yang sering berkomunikasi dengan responden karena umumnya rumah dengan keluarga atau kakak dan adik berdekatan, sehingga responden sering mendapatkan anjuran untuk menjadi akseptor KB dari mereka. “Saya ikut KB karena mau mengatur jarak antara anak saya, biar tidak terlalu berdekatan. Kalau beda usianya terlalu dekat, repot ngurusnya karena saya dan suami kerja.” (NO, 28 tahun). “Saya ikut KB karena disaranin sama kader posyandu. Ketika saya membawa anak saya untuk melakukan imunisasi di posyandu, saya dianjurkan untuk menggunakan metode kontrasepsi agar bisa

58

memulihkan kondisi pasca melahirkan terlebih dahulu dan bayi usia 6 bulan masih butuh perhatian lebih.” (NM, 26 tahun).

Tingkat Kekosomoplitan Tingkat kekosmoplitan adalah sifat seseorang yang dapat menggambarkan upaya mencari informasi yang dibutuhkan mengenai program keluarga berencana baik ke dalam maupun ke luar sistem sosialnya, yang diukur selama tiga bulan terakhir. Kekosmpolitan dibagi menjadi dua, yaitu frekuensi mengunjungi sumber informasi dan mengakses media massa mengenai program keluarga berencana. Responden diberikan masing-masing 11 dan 3 pernyataan yang berkaitan dengan tingkat kekosmopolitan. Total skor dari pertanyaan tersebut dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu, rendah, sedang, dan tinggi. Mengunjungi Sumber Informasi Tabel 24 menyajikan data mengenai jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan jumlah pendapatan. Tabel 24. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan frekuensi mengunjugi sumber informasi di Kelurahan Tanah Baru Mengunjugi Sumber Informasi Jumlah (N) Persentase (%) Rendah 10 25.0 Sedang 27 67.5 Tinggi 3 7.5 Total 40 100.0 Berdasarkan Tabel 24 rata-rata akseptor KB berada pada kategori sedang (67.5 persen) karena meskipun akseptor KB mengunjungi sumber informasi secara berkala, namun sumber informasi yang dikunjungi hanya di wilayah Kelurahan Tanah Baru dan Kecamatan Bogor Utara (lokalit). Tabel 25. Jumlah dan persentase frekuensi akseptor KB mengunjungi sumber informasi program KB di Kelurahan Tanah Baru 1-2 Kali >2 Kali No Mengunjungi Sumber Informasi N % N % 1 Kader Posyandu di Kelurahan Tanah Baru 17 42.5 11 27.5 2 Bidan di Kelurahan Tanah Baru 20 50.0 4 10.0 3 Bidan di Kecamatan Bogor Utara 13 42.5 3 7.5 4 PLKB di Kelurahan Tanah Baru 3 7.5 3 7.5 5 Dokter puskesmas di Kecamatan Bogor Utara 4 10.0 0 0.0 6 Dokter puskesmas di Kelurahan Tanah Baru 4 10.0 0 0.0 7 Dokter spesialis di Kelurahan Tanah Baru 3 7.5 0 0.0 8 Dokter RSU di Kelurahan Tanah Baru 3 7.5 0 0.0 9 Dokter spesialis di Kecamatan Bogor Utara 3 7.5 0 0.0 10 Dokter RSU di Kecamatan Bogor Utara 3 7.5 0 0.0 11 Dokter RSU di Kota Bogor 2 5.0 0 0.0

59

Hal tersebut dapat terlihat dari data yang tersaji pada Tabel 25 yang menunjukan bahwa dalam tiga bulan terakhir akseptor KB hanya mengunjungi sumber informasi (kader, bidan, PLKB, dan dokter) di wilayah Kelurahan tanah Baru dan Kecamatan Bogor Utara karena jarak yang relatif dekat. Hanya terdapat 5.0 persen yang mengunjungi sumber informasi di Kota Bogor dikarenakan keduanya mengikuti program safari KB yang diadakan di rumah sakit di Kota Bogor. “Saya selama tiga bulan terakhir hanya bertemu sekali dengan kader posyandu, karena sekalian membawa anak saya ditimbang dan diukur tinggi badannya, sekalian memberitahukan efek setelah menggunakan metode kontrasepsi IUD ternyata nggak seserem kata orang-orang.” (NM, 26 tahun). Mengakses Media Massa Tabel 26 menyajikan data mengenai jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan jumlah pendapatan. Tabel 26. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan frekuensi mengakses media massa di Kelurahan Tanah Baru Mengakses Media Massa Jumlah (N) Persentase (%) Rendah 12 30.0 Sedang 23 57.5 Tinggi 5 12.5 Total 40 100.0 Tingkat kekosmopolitan akseptor KB juga dapat terlihat dari frekuensi responden dalam mengakses media massa untuk mencari infromasi yang berkaitan dengan program keluarga berencana. Berdasarkan Tabel 26, sama halnya dengan frekuensi mengunjungi sumber informasi, frekuensi mengakses media massa akseptor KB pun dominan berada pada kategori sedang sejumlah 25 orang (57.5 persen) karena mayoritas responden hanya mengakses media massa tertentu untuk mencari informasi mengenai program keluarga berencana. Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 27, dalam tiga bulan terakhir media massa yang paling banyak diakses akseptor KB untuk mencari informasi mengenai program KB adalah buku. Tabel 27. Jumlah dan persentase akseptor KB mengakses media massa untuk mencari informasi mengenai program keluarga berencana di Kelurahan Tanah Baru 1-2 Kali >2 Kali No Mengakses Media Massa N % N % 1 Buku 23 57.5 5 12.5 2 Internet 2 5.0 4 10.0 3 Televisi 5 12.5 0 0.0

60

Buku yang mereka baca adalah buku kesehatan ibu dan anak, karena dalam buku tersebut terdapat informasi mengenai program keluarga berencana. Informasi mengenai program keluarga berencana yang didaptkan melalui televisi hanya berupa iklan layanan masyarakat mengenai himbauan penggunaan metode kontrasepsi. Rendahnya frekuensi akseptor KB mengakses media massa karena minimnya waktu luang yang dimiliki oleh responden. Selain itu, umumnya responden lebih senang mencari tahu mengenai program keluarga berencana dengan bertanya kepada orang terdekatnya seperti kader posyandu, bidan dan keluarga atau kerabat. “Saya membaca buku kesehatan ibu dan anak ketika ingin membawa anak saya ke posyandu untuk ditibang dan diukur tinggi badannya. Dalam buku itu terdapat informasi mengenai cara ber-KB untuk suami dan istri.” (NM, 26 tahun). Karakteristik Eksternal Faktor eksternal didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari luar unit pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini, faktor eksternal yang diteliti, yaitu ketersediaan informasi, intensitas penyuluhan, dan ketersediaan sarana. Tingkat Ketersediaan Informasi Tingkat ketersediaan informasi diidentifikasikan sebagai sumber informasi di mana akseptor KB dapat memperoleh infomasi mengenai jenis, harga, efek samping, dan tingkat keberhasilan pengunaan metode kontrasepsi dari kader posyandu, bidan, PLKB, perangkat pemerintah, keluarga atau kerabat, temen atau tetangga, dan tokoh agama. Responden diberikan masing-masing 28 pernyataan yang berkaitan dengan ketersediaan infromasi dengan jawaban ya dan tidak. Total skor dari pertanyaan tersebut dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu, rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan Tabel 28, rata-rata tingkat ketersediaan infromasi di Kelurahan Tanah Baru berada pada kategori sedang (85.0 persen). Ketersediaan informasi tergolong sedang dikarenakan alternatif sumber informasi yang dapat ditemui dan ditanyai oleh responden mengenai jenis, harga, efek samping, dan tingkat keberhasilan cukup beragam. Tabel 28. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat ketersediaan infromasi di Kelurahan Tanah Baru Ketersediaan Informasi Jumlah (N) Persentase (%) Rendah 1 2.5 Sedang 34 85.0 Tinggi 5 12.5 Total 40 100.0

61

Tabel 29 menyajikan data ketersediaan infromasi mengenai jenis, harga, efek samping dan tingkat keberhasilan yang diberikan oleh sumber informasi. Ketersediaan informasi paling tinggi diperoleh dari bidan, yaitu masing-masing sebesar (77.5 persen), (75.0 persen), (77.5 persen) dan (77.5 persen), kecuali pada bagian harga didominasi oleh keluarga atau kerabat (77.5 persen). Hal ini dikarenakan banyaknya responden yang memilih pelayanan menggunakan metode kontrasepsi di bidan, baik bidan desa yang berada di puskesmas (40.0 persen) maupun bidan swasta yang membuka praktek secara mandiri (20.0 persen), sehingga dimungkinkan untuk bertanya dengan bidan tersebut. Selain itu, bidan memiliki kapasitas pengetahuan yang cukup untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh responden dengan baik. Informasi paling sedikit diperoleh dari tokoh agama, karena umumnya responden jarang mengikut pengajian disebabkan penyelenggaraan pengajian yang tidak rutin dan kesibukan lainsehingga jarang bertatap muka dengan tokoh agama. Tokoh agamapun tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai metode kontrasepsi. Tabel 29. Jumlah dan persentase tingkat ketersediaan informasi mengenai program keluarga berencana di Kelurahan Tanah Baru Jenis No 1 2 3 4 5 6 7

Sumber Informasi Bidan Keluarga atau kerabat Teman atau tetangga Kader posyandu Perangkat pemerintah PLKB Tokoh agama

Harga

Efek Samping Ya Ya (N) (%) 31 77.5 29 72.5

Tingkat Keberhasilan Ya Ya (N) (%) 31 77.5 31 77.5

Ya (N) 31 31

Ya (%) 77.5 77.5

Ya (N) 30 31

Ya (%) 75.0 77.5

28

70.0

28

70.0

28

70.0

28

70.0

28

70.0

27

67.5

28

70.0

28

70.0

19

47.5

15

37.5

17

42.5

17

42.5

6 5

15.0 12.5

5 5

12.5 12.5

6 5

15.0 12.5

6 5

15.0 12.5

“Saya paling sering nanya tentang metode kontrasepsi ke bidan sekalian jadwal menggunkan KB suntik. Kalo nanya-nanya ke bidan lebih enak karena sama-sama wanita dan pengetahuannya mumpuni, sehingga saya bisa mendapatkan jawaban yang legkap dan jelas.” (YA, 32 tahun). Intensitas Penyuluhan Intensitas penyuluhan merupakan pengetahuan responden mengenai waktu dan durasi pelaksaan penyuluhan yang diadakan oleh kader posyandu, bidan, dan PLKB. Total skor dari pertanyaan tersebut dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu, rendah, sedang, dan tinggi.

62

Tabel 30. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan intensitas penyuluhan di Kelurahan Tanah Baru Intensitas Penyuluhan Jumlah (N) Persentase (%) Rendah 7 17.5 Sedang 24 60.0 Tinggi 9 22.5 Total 40 100.0 Berdasarkan Tabel 30, rata-rata pengetahuan akseptor KB mengenai waktu dan durasi mengenai penyuluhan berada pada kategori sedang sejumlah 23 (60.0 persen). Sesuai dengan data yang tersaji pada Tabel 31, akseptor KB umumya hanya mengetahui waktu penyuluhan yang diselenggarakan oleh kader posyandu dan bidan. Akseptor KB paling banyak mengetahui mengenai penyelenggaraan penyuluhan yang diadakan oleh kader posyandu karena kader posyandu tersebar di seluruh RW yang ruang lingkupnya lebih kecil sehingga penyebaran informasi menjadi lebih merata, karena biasanya informasi mengenai penyuluhan disampaikan secara door to door oleh kader posyandu kepada para pasangan usia subur. Selain itu, keadaan geografis yang saling berdekatan antara kader posyandu dan warga RW tersebut memungkinkan penyebaran informasi mengenai jadwal penyuluhan menjadi lebih luas. Pelaksanaan penyuluhan yang diadakan oleh kader posyandu pun rutin dilakukan setiap bulannya sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dan dibarengi dengan jadwal imunisasi, sehingga umumnya responden sudah menjadwalkan waktu di tanggal tersebut. Untuk kategori durasi waktu penyuluhan umumnya responden mengetahui durasi penyelenggaraan penyuluhan yang diadakan oleh bidan karena durasi waktu penyuluhan rata-rata sama pada setiap pertemuannya. Jumlah dan persentase intensitas penyuluhan program keluarga berencana di Kelurahan Tanah Baru Frekuensi Durasi Sumber Penyuluhan 1-2 Kali >2 Kali 1-2 Kali >2 Kali N % N % N % N % Kader Posyandu 16 40.0 11 27.5 30 75.0 0 0.0 Bidan 13 32.5 8 20.0 24 60.0 3 7.5 PLKB 0 0.0 6 15.0 3 7.5 3 7.5

Tabel 31.

No 1 2 3

“Biasanya penyuluhan dari kader posyandu dilaksanakan setiap bulan dibarengi dengan jadwal imunisasi anak. Biasanya ibu-ibu dateng karena sekalian nganterin anaknya imuniasi atau nimbang berat badan dan ngukur tinggi badan.“ (EB, 29 tahun). Tingkat Ketersediaan Sarana Tingkat ketersediaan sarana di lokasi responden mendapatkan pelayanan keluarga berencana juga merupakan hal penting yang penting untuk diperhatikan, baik ketersediaannya, kuantitas yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan akseptor dan kualitas dari metode kontrasepsi tersebut. Responden diberikan masing-masing

63

21 pernyataan yang berkaitan dengan ketersediaan sarana dengan jawaban selalu, sering, jarang, dan tidak pernah. Total skor dari pertanyaan tersebut dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu, rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan Tabel 32 rata-rata akseptor KB termasuk dalam kategori tingkat ketersediaan sarana sedang karena mayoritas responden mendapatkan pelayanan program KB di puskesmas (62.5 persen) yang memiliki ketersediaan metode kontrasepsi yang cukup dan baik kecuali untuk jenis metode kontrasepsi MOP dan MOW karena tidak dapat dilakukan di puskesmas. Tabel 32. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat ketersediaan sarana di Kelurahan Tanah Baru Ketersediaan Sarana Jumlah (N) Persentase (%) Rendah 9 20.0 Sedang 24 62.5 Tinggi 7 17.5 Total 40 100.0 Berdasarkan Tabel 33 ketersediaan metode kontrasepsi dengan kuantitas yang mecukupi dan kualitas yang baik dengan persentase tertinggi adalah metode kontrasepsi pil karena metode kontrasepsi pil paling mudah didapatkan. Berbeda halnya dengan metode kontraspesi MOP dan MOW, kedua jenis metode kontrasepsi tersebut umumnya hanya bisa didapatkan di rumah sakit tertentu. Jumlah dan persentase ketersediaan sarana metode Kelurahan Tanah Baru Ketersediaan Kuantitas Mencukupi Metode No Kontrasepsi Ya Ya Ya (N) Ya (%) (N) (%) 1 Pil 38 95.0 37 92.5 2 Suntik 32 80.0 32 80.0 3 Kondom 27 67.5 27 67.5 4 IUD 23 57.5 23 57.5 5 Implant 23 57.5 23 57.5 6 MOP 7 17.5 7 17.5 7 MOW 7 17.5 7 17.5

Tabel 33.

kontrasepsi di Kualitas Baik Ya (N) 37 32 27 23 23 7 7

“Saya pake metode kontrasepsi pil. Pilnya beli di puskesmas. Di puskesmas metode kontrasepsinya lengkap mulai dari pil, suntik, kondom, IUD, dan implant. Tetapi nggak ada MOW dan MOP. Selain itu, kalau lagi kepepet saya beli pilnya di warung atau apotek dekat rumah.“ (NE, 42 tahun).

Ya (%) 92.5 80.0 67.5 57.5 57.5 17.5 17.5

64

65

PENGETAHUAN DAN PERSEPSI AKSEPTOR KB MENGENAI CIRI METODE KONTRASEPSI Pengetahuan Mengenai Metode Kontrasepsi Tingkat pengetahuan merupakan derajat pengetahuan responden mengenai program keluarga berencana meliputi, pengertian program KB, tujuan penggunaan metode kontrasepsi, jenis metode kontrasepsi, lokasi yang menyediakan pelayanan metode kontrasepsi, dan efek samping penggunaan metode kontrasepsi. Tingkat pengetahuan responden dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi. Tabel 34. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat pengetahuan di Kelurahan Tanah Baru Pengetahuan Jumlah (N) Persentase (%) Rendah 1 2.5 Sedang 19 47.5 Tinggi 20 50.0 Total 40 100,0 Berdasarkan Tabel 34 pengetahuan akseptor KB didominasi kategori tinggi (50.0 persen). Meski umumnya akseptor KB berada pada kategori rendah untuk mengunjungi informasi di luar sistem dan mengakses media massa, namun informasi yang didapatkan dari sumber informasi (kader posyandu, bidan, PLKB, perangkat pemerintah, keluarga atau kerabat, teman atau tetangga, dan tokoh agama) di sekitarnya baik di wilayah Keluarahan Tanah Baru maupun Kecamatan Bogor Utara cukup lengkap terbukti dengan tingginya pengetahuan akseptor KB mengenai program keluarga berencana. Tabel 35. Jumlah dan peresentase tingkat pengetahuan akseptor KB di Kelurahan Tanah Baru Salah Kurang Tepat Benar No Indikator N % N % N % 1 Jenis 1 2.5 9 22.5 30 75.0 2 Lokasi Pelayanan 0 0.0 19 47.5 21 52.5 3 Efek samping 2 5.0 20 50.0 18 45.0 4 Tujuan 10 25.0 12 30.0 18 45.0 5 Pengertian 15 37.5 12 30.0 13 32.5 Tabel 35 menyajikan data tingkat pengetahuan akseptor KB paling tinggi adalah mengenai jenis metode kontrasepsi. Sebanyak 30 responden mengetahui jenis-jenis metode kontrasepsi, yaitu kondom, pil, suntik, IUD, implant, MOP, dan MOW. Pengetahuan responden mengenai lokasi untuk mendapatkan pelayanan metode kontrasepsi didominasi pada kategori tinggi (52.5 persen). “Alat metode kontrasepsi yang saya ketahui pil, suntik, kondom, implant, IUD, steril wanita dan pria.” (NO, 28 tahun).

66

Responden mengetahui lokasi untuk mendapatkan pelayanan metode kontrasepsi di posyandu, puskesmas, dan dokter/bidan swasta yang membuka praktek secara mandiri, klinik KB, rumah sakit umum atau rumah sakit bersalin dan lainnya seperti warung dan apotek. Hal ini terjadi karena sudah banyak lokasi yang dapat diakses oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan untuk penggunaan metode kontrasepsi. Pengetahuan responden mengenai tujuan keluarga berencana didominasi kategori tinggi (45.0 persen) karena responden mengetahui tujuan meggunakan metode kontrasepsi tidak hanya untuk menunda, menjarangkan, dan menghentikan kehamilan serta membatasi jumlah anak, tetapi juga kontrasepsi untuk menjaga kesehatan dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Pengetahuan responden mengenai efek samping penggunaan metode kontrasepsi didominasi kategori sedang (45.0 persen). Umumnya responden mengetahui efek samping penggunaan metode kontrasepsi tertentu dari pengalaman sendiri atau cerita dari orang-orang terdekatnya. Pengetahuan responden mengenai pengertian keluarga berencana umumnya berada pada kategori rendah (37.5 persen) karena umumnya pengertian program menurut responden hanya sebatas upaya menjarangkan dan mencegah kehamilan, sedangkan pengertian keluarga berencana sendiri lebih dalam dari itu yaitu membentuk keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera. Persepsi Mengenai Ciri Metode Kontrasepsi Rogers (2003) menyebutkan bahwa karakteristik inovasi atau ciri inovasi terdiri dari lima hal yaitu tingkat keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat kerumitan, tingkat kemudahan dicoba dan tingkat kemungkinan diamati. Kelima karakteristik inovasi tersebut diduga berpengaruh dengan keputusan yang diambil oleh akseptor untuk melanjutkan penerapan metode kontrasepsi atau tidak. Keuntungan Relatif Tingkat keuntungan relatif merupakan derajat suatu inovasi dipersepsikan lebih baik dibanding dengan gagasan atau teknologi sebelumnya. Derajat keuntungan relatif, lebih sering dilihat dari keuntungan ekonomi yaitu biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk menggunakan metode kontrasepsi yang mereka pilih dibanding dengan semua metode kontrasepsi jenis lain. Responden diberikan masing-masing 21 pernyataan yang berkaitan dengan keuntungan relatif dengan pilihan jawaban lebih mahal, sama saja, dan lebih murah. Total skor dari pertanyaan tersebut dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu, rendah, sedang, dan tinggi. Tabel 36.

Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat persepsi keuntungan relatif di Kelurahan Tanah Baru Persepsi Keuntungan Relatif Jumlah (N) Persentase (%) Tidak menguntungkan 2 5.0 Cukup menguntungkan 13 32.5 Sangat menguntungkan 25 62.5 Total 40 100.0

67

Berdasarkan Tabel 36 rata-rata tingkat persepsi keuntungan relatif responden berada pada kategori sangat menguntungkan (62.5 persen) di mana akseptor KB merasa metode kontrasepsi yang digunakan lebih murah dibanding dengan kontrasepsi lain. Harga yang ditawarkan untuk setiap jenis metode kontrasepsi sangat beragam. Selain itu, kini terdapat pelayanan safari KB untuk jenis metode kontrasepsi tertentu, seperti implant, IUD, dan sterilisasi baik MOP maupun MOW. Para akseptor KB dapat menikmati pelayanan pemasangan metode kontrasepsi tersebut dengan gratis di waktu dan lokasi tertentu saat safari KB diselenggarakan. Umumnya program safari KB diadakan setiap bulannya di Kota Bogor. Tidak hanya itu, para pemilik kartu kesehatan yang memang diberikan bagi masyarakat yang tergolong tidak mampu bisa mendapatkan pelayanan KB secara gratis, sehingga pelayanan pemasangan metode kontrasepsi dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Tabel 37. Jumlah dan persentase perbandingan harga metode kontrasepsi yang dipilih akseptor KB dengan metode kontrasepsi jenis lain di Kelurahan Tanah Baru Perbandingan harga metode kontrasepsi yang digunakan dibanding dengan metode kontrasepsi lain Metode No Kontrasepsi Lebih Mahal Sama Saja Lebih Murah N % N % N % 1 MOW 6 15.0 1 2.5 33 82.5 2 MOP 4 10.0 3 7.5 33 82.5 3 Suntik 10 25.0 1 2.5 29 72.5 4 IUD 10 25.0 2 5.0 28 70.0 5 Implant 10 25.0 3 7.5 27 67.5 6 Pil 12 30.0 5 12.5 23 57.5 7 Kondom 24 60.0 1 2.5 15 37.5 a) Lebih Mahal Berdasarkan Tabel 37, responden berpersepsi bahwa metode kontrasepsi yang mereka gunakan lebih mahal dibandingkan dengan metode kontrasepsi kondom (60.0 persen). Mayoritas responden menjawab demikian karena berdasarkan harga per satuan karena harga metode kontrasepsi kondom yang relatif murah dan bisa dibeli dengan jumlah yang sedikit. “Saya pake IUD. Lebih mahal pake IUD. Kalo menggunakan kondom harganya sekitar Rp5.000, tetapi kalo menggunakan IUD lebih mahal dari itu.” (EV, 54 tahun). b) Sama Saja Data yang tersaji pada Tabel 37 menunjukan hanya sebagian kecil responden yang menjawab harga metode kontrasepsi yang mereka gunakan sama saja dengan metode kontrasepsi jenis lain. Responden cenderung akan menjawab sama saja ketika responden tersebut menggunakan kartu jaminan kesehatan atau mengikuti program safari KB sehingga tidak mengeluarkan biaya apabila menggunakan metode kontrasepsi jenis apapun.

68

c) Lebih Murah Persepsi harga menurut akseptor KB tegantung sudut pandang akseptor KB ketika menjawab pertanyaan mengenai hal ini. Seperti yang tersaji pada Tabel 37 umumnya responden berpersepsi bahwa metode kontrasepsi yang mereka gunakan lebih murah dibandingkan dengan metode kontrasepsi MOW dan MOP karena harga metode kontrasepsi MOW dan MOP relatif lebih mahal karena harus melalui operasi kecil dan dilokasi yang menyediakan sarana yang lengkap seperti di rumah sakit. Kesesuaian Tingkat kesesuaian adalah derajat suatu inovasi dipandang konsisten atau sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya setempat, pengalaman budaya sebelumnya, dan kebutuhan akseptor terhadap inovasi tersebut. Untuk mengukur tingkat kesesuaian metode kontrasepsi digunakan oleh responden berdasarkan indikator kesesuaian dengan nilai, budaya, aturan, norma kesopanan, dan norma agama setempat. Responden diberikan masing-masing 15 pernyataan yang berkaitan dengan persepsi kesesuaian dengan jawaban kurang sesuai, cukup sesuai dan sangat sesuai. Total skor dari pertanyaan tersebut dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu, rendah, sedang, dan tinggi. Tabel 38.

Jumlah dan persentase akseptor KB kesesuaian di Kelurahan Tanah Baru Persepsi Kesesuaian Jumlah (N) Rendah Sedang Tinggi Total

berdasarkan tingkat persepsi Persentase (%) 1 29 10 40

2.5 72.5 25.0 100.0

Berdasarkan tabel 38, tingkat persepsi kesesuaian akseptor KB cenderung berada pada kategori sedang (72.5 persen). Tabel 39 menyajikan data persentase tingkat perspesi kesesuaian pengggunaan metode kontrasepsi. Penggunaan metode kontrasepsi yang digunakan oleh akseptor KB sangat sesuai dengan nilai setempat (50.0 persen). Tabel 39.

Jumlah dan persentase kesesuaian metode kontrasepsi yang dipilih akseptor KB di Kelurahan Tanah Baru

Kesesuaian penggunaan metode kontrasepsi dnegan indikator No Indikator Kurang Sesuai Cukup Sesuai Sangat Sesuai N % N % N % 1 Nilai 8 20.0 12 30.0 20 50.0 2 Aturan 8 20.0 14 35.0 18 45.0 3 Norma kesopanan 10 25.0 18 45.0 12 30.0 4 Norma agama 14 35.0 14 35.0 12 30.0 5 Budaya 19 47.5 10 25.0 11 27.5

69

a) Kurang Sesuai Berdasarkan Tabel 39, tingkat kesesuaian metode kontrasepsi yang digunakan oleh responden paling rendah adalah kesesuaian dengan budaya setempat (47.5 persen). Budaya setempat adalah budaya orang sunda yaitu menjaga kecantikan wajah atau tubuh. Umumnya akseptor KB yang menggunakan metode kotrasepsi non hormonal akan menjawab sangat sesuai karena biasanya pengguna metode kontrasepsi non hormonal tidak mengalamai kenaikan berat badan yang signifikan dan tidak menyebabkan flek hitam atau jerawat di wajah yang umumnya dirasakan oleh pengguna metode kontrasepsi hormonal seperti pil dan suntik. Banyaknya akseptor KB yang menjawab kurang sesuai dengan budaya setempat dikarenakan mayoritas akseptor KB masih menggunakan metode kontrasepsi hormonal. b) Cukup Sesuai Mayoritas responden menjawab metode kontrasepsi yang mereka gunakan cukup sesuai dengan norma kesopanan setempat (45.0 persen). Menurut responden norma kesopanan setempat berkaitan dengan cara penggunaan metode kontrasepsi. Umumnya akseptor KB akan menjawab cukup sesuai apabila menggunakan metode kontrasepsi tidak harus memperlihatkan auratnya kepada orang lain atau apabila memperlihatkan aurat hanya kepada bidan yang umumnya sama-sama berjenis kelamin perempuan. “Metode kontrasepsi suntik yang saya gunakan cukup sesuai dengan norma kesopanan, karena ketika disuntik yang menyuntik adalah sama-sama wanita (bidan).” (YA, 32 tahun). c) Sangat Sesuai Tingkat kesesuaian paling tinggi adalah penggunaan metode kontrasepsi yang responden pilih dengan nilai setempat (50.0 persen). Menurut responden, tingkat kesesuaian dengan nilai setempat yaitu nurut dengan perkataan suami atau orangtua. Bagi akseptor KB yang mengikuti saran dari suami atau orangtua khususnya ibu mengenai pemilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan cenderung akan menjawab sangat sesuai. Kerumitan Tingkat kerumitan adalah derajat suatu inovasi dianggap sulit untuk dimengerti dan digunakan. Indikator pengukuran tingkat kerumitan penggunaan metode kontrasepsi dapat dilihat dari perbandingan cara penggunaan metode kontrasepsi yang digunakan oleh responden dibanding semua metode kontrasepsi jenis lain. Responden diberikan masing-masing 21 pernyataan yang berkaitan dengan persepsi kerumitan dengan jawaban lebih sulit, sama saja, dan lebih mudah. Total skor dari pertanyaan tersebut dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu, rendah, sedang dan tinggi.

70

Tabel 40.

Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat persepsi kerumitan di Kelurahan Tanah Baru Persepsi Kerumitan Jumlah (N) Persentase (%) Sulit 0 0.0 Cukup Sulit 10 25.0 Mudah 30 75.0 Total 40 100.0 Berdasarkan Tabel 40, rata-rata tingkat persepsi kerumitan akseptor KB berada dalam kategori mudah (75.0 persen) di mana akseptor KB merasa metode kontrasepsi yang mereka pilih lebih mudah digunakan dibanding dengan metode kontrasepsi lain. Tabel 41 menyajikan data persepsi cara penggunaan metode kontrasepsi yang akseptor KB pillih dibandingankan dengan metode kontrasepsi lain didominasi pada jawaban lebih mudah. Tabel 41. Jumlah dan persentase perbandingan cara penggunaan metode kontrasepsi yang dipilih akseptor KB dengan metode kontrasepsi jenis lain di Kelurahan Tanah Baru Perbandingan cara penggunaan metode kontrasepsi yang digunakan dibanding dengan metode kontrasepsi lain Metode No Kontrasepsi Lebih Sulit Sama Saja Lebih Mudah N % N % N % 1 Kondom 5 12.5 1 2.5 34 85.0 2 Suntik 5 12.5 3 7.5 32 80.0 3 MOW 0 0.0 8 20.0 32 80.0 4 Pil 0 0.0 9 22.5 31 77.5 5 IUD 9 22.5 1 2.5 30 75.0 6 Implant 8 20.0 2 5.0 30 75.0 7 MOP 8 20.0 3 7.5 29 72.5 a) Lebih Sulit Responden berpersepsi bahwa penggunaan metode kontrasepsi yang mereka gunakan lebih sulit dibanding dengan menggunakan metode kontrasepsi IUD karena responden cenderung merasa penggunaan metode kontrasepsi IUD praktis karena tindakan pemasangan hanya sebnetar dan durasi pemakaian dalam jangka waktu lama. Selain itu, apabila mereka masing ingin mempunya anak, mereka bisa melepasnya. b) Sama Saja Pada Tabel 41 dapat terlihat bahwa hanya sebagian kecil responden yang menjawab penggunaan metode kontrasepsi lain memiliki tingkat kerumitan yang sama dengan metode kontrasepsi yang dipilih oleh responden. Responden yang menjawab metode kontrasepsi yang mereka gunakan memiliki tingkat kerumitan yang sama paling banyak dengan metode kontrasepsi pil karena metode kontrasepsi pil dapat digunakan sendiri karena hanya perlu meminumnya. Namun, metode kontrasepsi pil harus diminum setiap hari dan dianjurkan untuk digunakan pada waktu yang sama. c) Lebih Mudah Mayoritas responden berpersepsi bahwa metode kontrasepsi yang mereka gunakan lebih mudah dibanding dengan menggunakan metode kontrasepsi

71

kondom (85.0 persen) karena penggunan metode kontrasepsi MOW harus digunakan setiap kali ingin bersenggama. Selain itu, metode kontrasepsi kondom, bisa melukai pihak pria ataupun wanita. “Lebih mudah menggunakan metode kontrasepsi suntik dibandingkan dengan menggunakan metode kontrasepsi kondom karena penggunaan metode kontrasepsi suntik durasinya lebih lama.” (YA, 32 tahun). Kemudahan Dicoba Tingkat kemudahan dicoba adalah derajat suatu inovasi dianggap dapat dicoba dalam skala kecil dengan biaya yang relatif sedikit. Indikator pengukuran tingkat kemudahan dicoba penggunaan metode kontrasepsi dapat dilihat dari cara membandingkan besaran biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk mencoba metode kontrasepsi yang mereka pilih dalam skala kecil dibanding dengan semua metode kontrasepsi jenis lain. Responden diberikan masing-masing 21 pernyataan yang berkaitan dengan persepsi kemudahan dicoba dengan jawaban lebih banyak, sama saja, dan lebih sedikit. Total skor dari pertanyaan tersebut dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu, rendah, sedang, dan tinggi. Tabel 42. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat persepsi kemudahan dicoba di Kelurahan Tanah Baru Persepsi Kemudahan Dicoba Jumlah (N) Persentase (%) Sulit 6 15.0 Cukup sulit 5 12.5 Mudah 29 72.5 Total 40 100.0 Tabel 42, rata-rata akseptor KB termasuk dalam kategori mudah (72.5 persen) di mana responden merasa bahwa metode kontrasepsi yang mereka gunakan lebih mudah dicoba dibandingkan dengan metode kontrasepsi lain. Tabel 43 menyajikan tingkat persepsi perbadingan biaya yang dikeluarkan untuk mencoba metode kontrasepsi yang dipilih responden dalam skala kecil dibandingkan dengan metode kontrasepsi lain.

72

Tabel 43. Jumlah dan persentase perbandingan biaya yang dikeluarkan untuk mencoba metode kontraepsi yang dipilih akseptor KB dalam skala dengan metode kontrasepsi jenis lain di Kelurahan Tanah Baru Perbandingan biaya yang dikeluarkan untuk mencoba metode kontrasepsi yang digunakan dalam skala kecil Metode dibanding metode kontrasepsi jenis lain No Kontrasepsi Lebih Banyak Sama Saja Lebih Sedikit N % N % N % 1 MOW 2 5.0 0 0.0 38 95.0 2 IUD 4 10.0 1 2.5 35 87.5 3 MOP 5 12.5 3 7.5 32 80.0 4 Implant 5 12.5 3 7.5 32 80.0 5 Suntik 10 25.0 1 2.5 29 72.5 6 Pil 27 67.5 3 7.5 10 25.0 7 Kondom 27 67.5 10 25.0 3 7.5 a) Lebih Banyak Berdasarkan Tabel 43, mayoritas responden menjawab metode kontrasepsi yang mereka gunakan membutuhkan biaya yang lebih banyak dibandingkan metode kontrasepsi pil dan kondom dalam skala kecil (67.5 persen) karena metode kontrasepsi pil dan kondom harganya lebih murah dan dapat mereka gunakan untuk dicoba dalam skala kecil per stauan. Apabila responden tidak cocok, responden tersebut dapat mengganti dengan metode kontrasepsi jenis lain. “Lebih mudah mencoba menggunakan metode kontrasepsi pil dan kondom karena harganya relatif murah dan tidak dalam bentuk permanen. Harga kondom dan pil dimulai dari harga Rp5.000. apabila tidak cocok digunakan bisa langsung dibuang dan mengganti metode kontrasepsi jenis lain.” (RO, 44 tahun) b) Sama Saja Tabel 43 menyajikan data bahwa biaya yang dikeluarkan untuk mencoba metode kontrasepsi yang mereka gunakan sama dengan metode kontrasepsi kondom (25.0 persen) untuk mencoba dalam skala kecil. c) Lebih Sedikit Mayoritas responden menjawab biaya yang dikeluarkan lebih sedikit untuk mencoba metode kontrasepsi yang mereka gunakan dalam skala kecil dibanding dengan metode kontrasepsi MOW (95.0 persen) karena metode kontrasepsi MOW tidak dapat dicoba dalam skala sifatnya lebih permanen dan harganya relatif mahal. Kemudahan Diamati Tingkat kemudahan diamati adalah derajat keberhasilan suatu inovasi. Indikator pengukuran tingkat kemudahan diamati penggunaan metode kontrasepsi dapat dilihat dari tingkat keberhasilan metode kontrasepsi yang mereka pilih

73

dibanding dengan semua metode kontrasepsi jenis lain. Responden diberikan masing-masing 21 pernyataan yang berkaitan dengan persepsi kemudahan dicoba dengan jawaban lebih rendah, sama saja, dan lebih tinggi. Total skor dari pertanyaan tersebut dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu, rendah, sedang, dan tinggi. Tabel 44. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan tingkat persepsi kemudahan diamati di Kelurahan Tanah Baru Persepsi Kemudahan Diamati Jumlah (N) Persentase (%) Rendah 7 17.5 Sedang 20 50.0 Tinggi 13 32.5 Total 40 100.0 Berdasarkan Tabel 44 rata-rata tingkat persepsi kemudahan diamati metode kontrasepsi yang akseptor KB gunakan dibandingkan dengan metode kontrasepsi jenis lain berada pada kategori tinggi (50.0 persen) di mana responden merasa metode kontrasepsi yang dipilih memiliki tingkat keberhasilan yang paling tinggi dibandingkan dengan metode kontrasepsi jenis lain. Tabel 45.

Jumlah dan persentase perbandingan tingkat keberhasilan metode kontrasepsi yang dipilih responden dibanding metode kontraesepsi jenis lain di Kelurahan Tanah Baru Perbandingan tingkat keberhasilan metode kontrasepsi yang digunakan dibanding dengan metode kontrasepsi Metode lain No Kontrasepsi Lebih Rendah Sama Saja Lebih Tinggi N % N % N % 1 Kondom 0 0.0 5 12.5 35 87.5 2 Pil 0 0.0 12 30.0 28 70.0 3 IUD 16 40.0 4 10.0 20 50.0 4 Suntik 18 45.0 2 5.0 20 50.0 5 Implant 16 40.0 5 12.5 19 47.5 6 MOW 22 55.0 4 10.0 14 35.0 7 MOP 22 55.0 5 12.5 13 32.5 a) Lebih Rendah Berdasarkan Tabel 45, responden cenderung menjawab tingkat keberhasilan metode kontrasepsi yang mereka gunakan lebih rendah dibanding metode kontrasepsi MOW dan MOP (55.0 persen) karena menurut mereka, mereka belum pernah melihat dan mendengar akseptor KB yang menggunakan sterilisasi mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. “Yang memiliki tingkat keberhasilan paling tinggi adalah metode kontrasepsi MOW dan MOP karena lebih permanen. Jadi lebih mantap.” (EB, 29 tahun).

74

b) Sama Saja Berdasarkan Tabel 45 dapat terlihat bahwa responden cenderung menjawab metode kontrasepsi pil memilki tingkat keberhasilan yang sama dengan metode kontrasepsi yang digunakan oleh responden (30.0 persen) karena metode kontrasepsi pil dapat memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi apabia digunakan secara rutin setiap harinya dan minum pada jam yang sama. c) Lebih Tinggi Mayoritas responden menjawab metode kontrasepsi yang mereka gunakan memiliki tingkat keberhasilan lebih tinggi dibanding metode kotrasepsi kondom karena metode kontrasepsi kondom rawan bocor sehingga dapat menyebabkan kehamilan. Oleh karena itu, tidak ada responden yang menggunakan metode kontrasepsi kondom.

75

KEPUTUSAN AKSEPTOR KB PADA TAHAP KONFIRMASI ADOPSI METODE KONTRASEPSI Keberhasilan proses pengambilan keputusan inovasi berhubungan dengan berbagai faktor. Rogers (2003) mendefinisikan pengambilan keputusan inovasi sebagai suatu proses yang mencakup suatu rangkaian penerimaan atau penolakan inovasi oleh unit pengambilan keputusan dan terjadi dalam lima tahap yaitu tahap knowledge (pengetahuan), persuasion (persuasi), decision (keputusan), implementation (penerapan), dan confirmation (konfirmasi). Pada dasarnya, proses adopsi memiliki selang waktu antar tahapan satu dengan yang lainnya yang tidak selau sama. Dalam proses tersebut khususny pada tahap konfirmasi adopsi inovasi individu dipengaruh oleh saluran atau sumber informasi, kondisi awal sebelum masuknya inovasi, karakteristik dari unit pembuat keputusan, dan persepsi terhadap ciri inovasi itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian Nasution (2012) didapatkan data bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan pemilihan alat kontrasepsi di Kecamatan Ngesrep Semarang. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Manuaba (1998) yang menyatakan bahwa dalam menentukan pilihan jenis metode kontrasepsi pasangan memerlukan informasi yang benar dan tepat, sebab setiap metode kontrasepsi selalu memiliki kelebihan dan kekurangan yang akan menimbulkan suatu kerugian apabila tidak diinformasikan dengan baik. Selain itu, penelitian Susanti (2008) menambahkan faktor membagi faktor-faktor yang telah dijabarkan Rogers (2003) menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Pada penelitian ini dibatasi proses pengambilan keputusan inovasi hanya pada satu tahap yaitu tahap konfirmasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi responden untuk mengambil keputusan pada tahap konfirmasi adopsi inovasi diklasifikasikan menjadi 4, yaitu faktor internal, faktor eksternal, pengetahuan mengenai metode kontrasepsi, dan persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi. Faktor internal terdiri atas: (1) umur, (2) tingkat pendidikan, (3) pendapatan, (4) jumlah tanggungan rumah tangga, (5) motivasi, dan (6) kekosmopolitan; faktor eksternal yang terdiri dari: (1) ketersediaan sumber informasi, (2) intensitas penyuluhan dan (3) ketersediaan sarana. Faktor lainnya adalah persepsi tentang ciri inovasi yang terdiri atas: (1) keuntungan relatif (relative advantage), (2) kesesuaian (compatibility), (3) kerumitan (complexity), kemudahan dicoba (triability) dan (5) kemudahan diamati (observability); serta pengetahuan tentang metode kontrasepsi. Tabel 46 menunjukan bahwa mayoritas responden terus menggunakan metode kontrasepsi (72.5 persen). Tabel 46. Jumlah dan persentase akseptor KB berdasarkan keputusan pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi di Kelurahan Tanah Baru Keputusan Akseptor KB Jumlah (N) Persentase (%) Tidak 11 27.5 Ya 29 72.5 Total 40 100.0 “Saya masih lanjut menggunakan metode kontrasepsi, karena saya sudah memiliki dua anak yang sesuai dengan keinginan saya dan

76

suami. Apabila di masa yang akan datang saya dan suami berencana untuk menambah jumlah anak, saya akan menghentikan penggunaan metode kontrasepsi. Oleh karena itu, sekarang saya menggunakan metode kontrasepsi suntik.” (EB, 29 tahun). Faktor internal berperan dalam mempengaruhi akseptor KB untuk melanjutkan menggunakan metode kontrasepsi. Jumlah usia yang masih termasuk dalam usia produktif menjadi salah satu penyebab utama yang mendorongresponden untuk menjadi akseptor KB. Meski tingkat pendidikan akseptor KB didominasi pada kategori sedang, namun pengetahuan responden mengenai program KB tergolong tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan informasi yang mencukupi mengenai program keluarga berencana dari orang di sekitar responden (lokalit). Meski responden tergolong lokalit, baik dalam mengunjungi sumber informasi maupun mengakses media massa karena sumber informasi yang dikunjungi hanya berada pada wilayah Kelurahan Tanah Baru dan Kecamatan Bogor Utara serta media massa yang digunakan untuk mencari informai pun kurang beragam namun hal itu diimbangi dengan tingkat ketersediaan sarana dan tingkat intensitas penyuluhan yang juga tergolong pada kategori sedang. Keputusan responden diperkuat dengan persepsi mereka seperti keyakinan bahwa metode kotrasepsi yang digunakan oleh responden lebih murah, lebih mudah digunakan dan lebih mudah dicoba dibandingkan dengan mtode kontrasepsi jenis lain. Selain itu, tingkat kesesuaian dan kemudahan dicoba yang tergolong cukup membuat responden lebih termotivasi untuk menggunakan metode kontrasepsi.

77

PENGETAHUAN AKSEPTOR KB MENGENAI METODE KONTRASEPSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA Tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan rumah tangga, motivasi, frekuensi mengunjungi sumber informasi, dan frekuensi mengakses media massa. Faktor eksternal terdiri dari tingkat ketersediaan informasi, intensitas penyuluhan, dan tingkat ketersediaan sarana. Pengaruh faktor internal dan faktor eksternal terhadap tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi dapat dilihat pada Tabel 47. Hipotesis: Faktor internal dan faktor eksternal berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi. Tabel 47. Pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap tingkat pegetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi Faktor Internal dan Eksternal Tingkat Pengetahuan Usia -0.006 Tingkat pendidikan 0.049 Tingkat pendapatan 0.189 Jumlah tanggungan rumah tangga -0.039 Motivasi 0.162 Mengunjungi sumber informasi 0.124 Mengakses media massa 0.083 Tingkat ketersediaan informasi 0.385 Intensitas penyuluhan -0.084 Tingkat ketersediaan sarana 0.063 Keterangan : *signifikan pada p≤0.05 Tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi dinilai melalui beberapa indikator, yaitu pemahaman akseptor KB tentang pengertian program keluarga berencana, tujuan menggunakan metode kontrasepsi, jenis metode kontrasepsi, lokasi mendapatkan pelayanan metode kontrasepsi, dan efek menggunakan metode kontrasepsi. Pada tabel 47 tidak terdapat variabel yang memiliki nilai signifikan yang berpengaruh nyata terhadap tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi. Tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi tergolong tinggi. Rata-rata akseptor KB mengetahui jenis-jenis metode kontrasepsi, yaitu kondom, pil, suntik, IUD, implant, MOP, dan MOW. Akseptor KB mengetahui lokasi untuk mendapatkan pelayanan metode kontrasepsi karena berada di sekitar lingkungan tempat tinggal responden seperti posyandu, puskesmas, bidan swasta yang membuka praktek secara mandiri, dan rumah sakit. Sebagian besar responden mengetahui tujuan menggunakan metode kontrasepsi seperti menunda kehamilan, menjarangkan jarak antar anak dan menghentikan kehamilan karena sesuai dengan tujuan mereka menggunakan metode kontrasepsi. Umumnya akseptor KB mengetahui mengetahui efek samping menggunakan metode kontrasepsi berdasarkan pengalaman sendiri dan melihat

78

pada orang terdekatnya. Pengetahuan responden mengenai pengertian metode kontrasepsi hanya sebatas upaya untuk menjarangkan interval anak dan mecegah kehamilan. “Saya menggunakan metode kontrasepsi karena lebih efektif untuk menunda kehamilan dibanding dengan cara alamai.” (NO, 28 tahun). Faktor internal dan faktor eksternal tidak berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi. Faktor internal dan faktor eksternal tidak memiliki nilai signifikan yang nyata terhadap tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi.. Hal tersebut disebakan oleh data yang homogen yaitu tergolong tinggi pada tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi. Oleh karena itu, hipotesis faktor internal dan faktor eksternal berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi tidak diterima.

79

TINGKAT PERSEPSI AKSEPTOR KB MENGENAI CIRI METODE KONTRASEPSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan rumah tangga, motivasi, frekuensi mengunjungi sumber informasi, dan frekuensi mengakses media massa. Faktor eksternal terdiri dari tingkat ketersediaan informasi, intensitas penyuluhan, dan tingkat ketersediaan sarana. Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi terdiri dari lima ciri yaitu keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, kemudahan diamati, dan kemudahan dicoba. Pengaruh faktor internal dan faktor eksternal terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi dapat dilihat pada Tabel 48. Hipotesis: Faktor internal dan faktor eksternal berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB mengenai metode kontrasepsi. Tabel 48.Pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi Faktor Internal dan Eksternal Usia Tingkat pendidikan Tingkat pendapatan Jumlah tanggungan rumah tangga Motivasi Mengunjungi sumber informasi Mengakses media massa Tingkat ketersediaan informasi Intensitas penyuluhan Tingkat ketersediaan sarana

Keuntungan Kesesuaian Kerumitan Relatif 0.277 0.019 -0.123

Kemudahan Dicoba -0.284

Kemudahan Diamati -0.430*

0.135

-0.037

-0.129

0.037

-0.180

-0.043

-0.076

0.124

-0.314

-0.023

-0.010

-0.282

0.352

-0.106

0.237

1.054*

0.172

-0.313

-0.079

1.090*

0.144

0.335

0.024

-0.056

-0.165

-0.017

0.392

-0.038

-0.096

-0.382*

-0.417

0.029

0.729

-0.480

-0.508

-0.576

-0.453

-0.098

0.252

0.017

-0.613*

-0.152

0.388

-0.359

0.238

Keterangan : *signifikan pada p≤0.05

80

Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Persepsi Akseptor KB tentang ciri Keuntungan Relatif Metode Kontrasepsi Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif metode kontrasepsi merupakan derajat suatu inovasi dipersepsikan lebih baik dibanding dengan gagasan atau teknologi sebelumnya atau lainnya. Tingkat persepsi keuntungan relatif dilihat dari keuntungan ekonomi yaitu perbandingan biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk menggunakan metode kontrasepsi yang mereka pilih dibandingkan dengan metode kontrasepsi jenis lain. Pada Tabel 48 terlihat variabel yang memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan reatif adalah motivasi dan tingkat ketersediaan sarana. Semakin banyak motivasi untuk menjadi akseptor KB dan semakin tersedia sarana metode kontrasepsi yang cukup dengan kualitas yang baik berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif metode kontrasepsi. Motivasi akseptor KB didominasi untuk mengatur interval antar anak. Motivasi berpengaruh nyata (p≤0.05) terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif metode kontrasepsi. Tingkat ketersediaan sarana juga memiliki nilai signifikan yang nyata terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif metode kontrasepsi. Metode kontrasepsi yang paling tersedia dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang baik adalah metode kontrasepsi. Akseptor KB berpersepsi bahwa metode kontrasepsi yang mereka gunakan lebih mahal dibanding dengan metode kontrasepsi pil, sehingga dapat dkatakan bahwa metode kontrasepsi pil harganya lebih murah dibanding dengan metode kontrasepsi yang digunakan oleh responden. “Saya menggunakan metode kontrasepsi IUD. Lebih mahal menggunakan metode kontrasepsi IUD dibanding dengan metode kontrasepsi pil. Kalo beli pil KB harganya ada yang Rp4.000, selain itu pil KB bisa dibeli dimana-mana, mulai dari warung, apotek, puskesmas hingga rumah sakit. Pil KB bisa efektif mencegah kehamilan apabila digunakan secara rutin.” (EV, 54 tahun). Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Persepsi Akseptor KB tentang ciri Keseseuaian Metode Kontrasepsi Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kesesuaian metode kontrasepsi adalah derajat suatu inovasi dipandang konsisten atau sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya setempat, pengalaman budaya sebelumnya, dan kebutuhan akseptor terhadap inovasi tersebut. Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kesesuaian metode kontrasepsi dilihat dari tingkat kesesuaian metode kontrasepsi yang digunakan oleh responden dibanding dengan metode kontrasepsi jenis lain. Pada Tabel 48 tidak terdapat variabel yang memiliki nilai signifikan yang berpengaruh nyata terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kesesuaian metode kontrasepsi. Tingkat kesesuaian metode kontrasepsi yang mereka gunakan dengan nilai, budaya, aturan, norma kesopanan, dan norma agama tergolong sedang. Hal ini berkaitan dengan norma kesopanan yang tergolong sedang. Sebagian besar akseptor KB berpersepsi bahwa penggunaan metode kontrasepsi yang mereka

81

gunakan cukup sesuai dengan norma kesopnan setempat dalam hal ini adalah aurat mereka. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Persepsi Akseptor KB tentang ciri Kerumitan Metode Kontrasepsi Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kerumitan metode kontrasepsi adalah derajat suatu inovasi dianggap sulit untuk dimengerti dan digunakan. Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kerumitan metode kontrasepsi dilihat dari perbandingan cara penggunaan metode kontrasepsi yang dipilih oleh responden dibanding dengan metode kontrasepsi jenis lain. Pada Tabel 48 tidak terdapat variabel yang memiliki nilai signifikan yang berpengaruh nyata terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kerumitan metode kontrasepsi. Tingkat kerumitan metode kontrasepsi yang mereka gunakan dibanding dengan metode kontrasepsi jenis lain tergolong lebih mudah. Sebagian besar akseptor KB berpersepsi bahwa metode kontrasepsi yang mereka pilih lebih mudah digunakan dibanding dengan metode kontrasepsi kondom karena penggunaan metode kontrasepsi kondom harus dilakukan setiap kali ingin bersenggama dan dapat melukai alat kelamin wanita maupun pria. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Persepsi Akseptor KB tentang ciri Kemudahan Dicoba Metode Kontrasepsi Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba metode kontrasepsi adalah derajat suatu inovasi dianggap dapat dicoba dalam skala kecil dengan biaya yang relatif sedikit. Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba metode kontrasepsi dilihat dari perbandingan besaran biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk mecoba metode kontrasepsi yang mereka pilih dalam skala kecil dibanding dengan metode kontrasepi jenis lain. Pada Tabel 48 tidak terdapat variabel yang memiliki nilai signifikan yang berpengaruh nyata terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba metode kontrasepsi. Tingkat kemudahan dicoba metode kontrasepsi yang mereka gunakan dibanding dengan metode kontrasepsi jenis lain tergolong lebih mudah. Sebagian besar responden berpersepsi bahwa metode kontrasepsi yang mereka gunakan membutuhkan biaya yang lebih sedikit untuk mecoba dalam skala kecil dibanding dengan metode kontrasepsi MOW. Hal ini disebabkan karena metode kontrasepsi MOW bersifat permanen dan harganya relatif lebih mahal. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Persepsi Akseptor KB tentang ciri Kemudahan Diamati Metode Kontrasepsi Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan diamati metode kontrasepsi merupakan derajat keberhasilan suatu inovasi. Tingkat persepsi kemudahan diamati dapat dilihat perbandingan tingkat keberhasilan metode kontrasepsi yang mereka pilih dibandingkan dengan metode kontrasepsi jenis lain. Pada Tabel 48 terlihat variabel yang memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan diamati adalah usia, motivasi, dan frekuensi mengakses media massa. Semakin tua usia akseptor KB dan semakin

82

banyak motivasi untuk menjadi akseptor KB serta semakin sering mengakses media massa berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan diamati metode kontrasepsi. Mayoritas responden berusia 30 sampai dengan 41 tahun dimana usia tersebut merupakan usia produktif. Motivasi akseptor KB didominasi untuk mengatur interval antar anak. Motivasi berpengaruh nyata (p≤0.05) terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan diamati metode kontrasepsi. Frekuensi mengakses media massa untuk mencari informasi mengenai program keluarga berencana juga memiliki nilai signifikan yang nyata terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan diamati metode kontrasepsi. Responden paling sering membaca buku untuk mencari informasi mengenai program keluarga berencana, buku yang dibaca adalah buku kesehatan ibu dan anak. Hal ini berkaitan dengan mayoritas responden berpersepsi bahwa metode kontrasepsi MOW dan MOP memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibanding dengan met0de kontrasepsi yang mereka gunakan. Responden berpersepsi demikian, namun masih banyak responden yang belum menggunakan metode kontrasepsi MOW dan MOP karena metode kontrasepsi steril bersifat permanen, sedangkan mayoritas respondne menggunakan metode kontraspesi karena ingin mengatur jarak antar anak. Pada buku yang dibaca oleh responden tersedia informasi apabila responden tidak ingin menambah jumlah anak lagi dianjurkan menggunakan metode kontrasepsi MOW dan MOP karena memiliki tingkat keefektifan yang tinggi. “Metode kontrasepsi yang paling berhasil untuk mencegah keberhasilan adalah metode konrasepsi MOW dan MOP. Tapi metode kontrasepsi tersebut bersifat permanen, sedangkan saya masih ingin menambah jumlah anak di kemudian hari, sehingga belum mau menggunakan metode kontraepsi tersebut.” (EB, 29 tahun). Faktor internal dan eksternal berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi. Faktor internal dan eksternal berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif dan kemudahan diamati metode kontrasepsi. Faktor internal dan faktor eksternal tidak memiliki nilai signifikan yang nyata terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kesesuaian, kerumitan, dan kemudahan cioba. Hal tersebut disebakan oleh data yang homogen yaitu tergolong tinggi pada tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kesesuaian, kerumitan, dan kemudahan dicoba. Oleh karena itu, hipotesis faktor internal dan faktor eksternal berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi diterima.

83

KEPUTUSAN AKSEPTOR KB PADA TAHAP KONFIRMASI ADOPSI METODE KONTRASEPSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA Keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi tentang ciri metode kontrasepsi dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan rumah tangga, motivasi, frekuensi mengunjungi sumber informasi, dan frekuensi mengakses media massa. Faktor eksternal terdiri dari tingkat ketersediaan informasi, intensitas penyuluhan, dan tingkat ketersediaan sarana. Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi terdiri dari lima ciri yaitu keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, kemudahan diamati, dan kemudahan dicoba. Keputusan akseptor KB dalam tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi terdiri dari menolak atau menerima untuk melanjutkan penggunaan metode kontrasepsi. Pengaruh faktor internal dan faktor eksternal terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfrimasi adopsi metode kontrasepsi dapat dilihat pada Tabel 49. Hipotesis: Faktor internal dan faktor eksternal berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. Tabel 49. Pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap keputusan akseptor pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi Faktor Internal dan Eksternal Keputusan akseptor KB Usia -0.228 Tingkat pendidikan 0.060 Tingkat pendapatan -0.080 Jumlah tanggungan rumah tangga 0.345* Motivasi 0.686* Mengunjungisumber informasi 0.608* Mengakses media massa 0.213 Tingkat ketersediaan informasi -0.217 Intensitas penyuluhan -0.376 Tingkat ketersediaan sarana -0.211 Keterangan : *signifikan pada p≤0.05 Keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi dpaat menolak atau menerima untuk melanjutkan penggunaan metode kontrasepsi. Pada Tabel 49 terlihat variabel yang memiliki pengaruh nyata terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi adalah jumlah tanggungan rumah tangga, motivasi, dan frekuensi mengunjungi sumber informasi. Semakin banyak jumlah tanggungan rumah tangga dan semakin tua usia akseptor KB serta semakin sering mengunjungi sumber informasi yang dapat memberikan informasi mengenai program keluarga berencana berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. Mayoritas jumlah tanggungan rumah tangga responden adalah 2 sampai 3 orang. Motivasi akseptor KB didominasi untuk mengatur interval antar anak. Motivasi berpengaruh nyata (p≤0.05) terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. Frekuensi mengunjungi sumber informasi

84

untuk mencari informasi mengenai program keluarga berencana juga memiliki nilai signifikan yang nyata terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfrimasi adopsi metode kontrasepsi. Hal ini berkaitan dengan mayoritas responden memutuskan untuk melanjutkan penggunaan metode kontrasepsi karena ingin mengatur jarak antar anak. Agar dapat memberikan perhatian dan pengasuhan dengan optimal sehingga menghasilkan anak yang berkualitas. Selain itu, responden merasa bahwa jumlah anak mereka rata-rata 2 sampai 3 orang sehinga ada kemungkinan untuk menambah jumlah anak di kemudian hari. Responden umumnya jarang mengunjungi sumber infomasi untuk menanyakan mengenai program keluarga berencana karena umumnya responden hanya mengunjungi sumber informasi bertepatan dengan jadwal penggunaan metode kontrasepsi. “Saya biasanya menanyakan mengenai program keluarga berecana ketika ingin suntik KB.” (YA, 32 tahun). Faktor internal dan eksternal berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. Faktor internal berupa jumlah tanggungan rumah tangga, motivasi, dan frekuensi mengunjungi sumber informasi berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi. Faktor internal berupa usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan frekuensi megakses media massa serta faktor eksternal berupa tingkat ketersediaan informasi, intensitas penyuluhan, dan tingkat ketersediaan sarana tidak memiliki nilai signifikan yang nyata terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. Oleh karena itu, hipotesis faktor internal dan faktor eksternal berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontraspesi diterima.

85

PENGARUH TINGKAT PENGETAHUAN TERHADAP TINGKAT PERSEPSI AKSEPTOR KB TENTANG CIRI METODE KONTRASEPSI Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi dapat dilihat dan diukur melalui persepsi ciri keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, kemudahan dicoba, dan kemudahan diamati. Selain dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal, tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi juga dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi.Pengaruh tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi pada Tabel 50. Hipotesis: Tingkat pengetahuan akseptor KB tentang metode kontrasepsi berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi. Tabel 50.

Pengaruh tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi

Pengetahuan Pengetahuan

Keuntungan Kemudahan Kemudahan Kesesuaian Kerumitan Relatif Dicoba Diamati 0.054

0.351*

0.539*

-0.555*

0.049

Keterangan : *signifikan pada p≤0.05 Pengaruh Tingkat Pengetahuan Aksepor KB mengenai Metode Kontrasepsi terhadap Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Keuntungan Relatif Metode Kontrasepsi Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif tentang ciri metode kontrasepsi adalah derajat suatu inovasi dipersepsikan lebih baik dibanding dengan gagasan atau teknologi sebelumnya. Derajat keuntungan relatif lebih sering dilihat dari keuntungan ekonomi yaitu perbandingan biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk menggunakan metode kontrasepsi yang mereka pilih dibanding dengan metode kontrasepsi jenis lain. Pada Tabel 50 tingkat pengetahuan akseptor mengenai metode kontrasepsi tidak memiliki nilai signifikan yang berpengaruh nyata terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif metode kontrasepsi. Hal ini disebabkan tingkat persepsi tentang ciri keuntungan relatif metode kontrasepsi yang tinggi pada akseptor KB. Hal ini juga didukung dengan tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi tergolong pada kategori tinggi dimana mayoritas responden paham mengenai tujuan, lokasi mendapatkan, jenis, dan efek samping metode kontrasepsi.

86

Pengaruh Tingkat Pengetahuan Aksepor KB mengenai Metode Kontrasepsi terhadap Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Kesesuaian Metode Kontrasepsi Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kesesuaian metode kontrasepsi adalah derajat suatu inovasi dipandang konsisten atau sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya setempat, pengalaman budaya sebelumnya, dan kebutuhan akseptor terhadap inovasi tersebut. Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kesesuaian metode kontrasepsi dilihat dari tingkat kesesuaian metode kontrasepsi yang digunakan oleh responden dibanding dengan metode kontrasepsi jenis lain. Pada Tabel 50 terlihat variabel tingkat pengetahuan memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan diamati metode kontraspsi. Semakin tinggi pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kesesuaian metode kontrasepsi. Mayoritas responden mengetahui jenis-jenis metode kontrasepsi, sehingga umumnya mereka menggunakan metode kontrasepsi yang sesuai dengan nilai setempat yaitu suntik. Dimana penggunaan metode kontrasepsi suntik disetujui oleh suami ataupun orang tua akseptor KB sehingga sesuai dengan nilai setempat yaitu nurut dengan suami atau orangtua. “Saya memilih menggunakan metode kontrasepsi suntik dibanding dengan metode kontrasepsi jenis lain karena suami inginnya saya menggunakan metode kontrasepsi suntik.” (RA, 30 tahun)

Pengaruh Tingkat Pengetahuan Aksepor KB mengenai Metode Kontrasepsi terhadap Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Kerumitan Metode Kontrasepsi Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kerumitan metode kontrasepsi adalah derajat suatu inovasi dianggap sulit untuk dimengerti dan digunakan. Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kerumitan metode kontrasepsi dilihat dari perbandingan cara penggunaan metode kontrasepsi yang dipilih oleh responden dibanding dengan metode kontrasepsi jenis lain.Pada Tabel 50 terlihat variabel tingkat pengetahuan memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kerumitan metode kontraspsi. Semakin tinggi pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kerumitan metode kontrasepsi. Mayoritas responden mengetahui jenis-jenis metode kontrasepsi. Mayoritas responden berpersepsi bahwa metode kontrasepsi yang mereka pilih lebih mudah digunakan dibanding dengan metode kontrasepsi kondom, sehingga tidak ada akseptor KB yang menggunakan metode kontrasepsi kondom. “Saya tidak menggunakan metode kontrasepsi jenis kondom karena penggunaannya ribet, yaitu harus menggunakan setiap ingin bersenggama”. (YA, 32 tahun).

87

Pengaruh Tingkat Pengetahuan Aksepor KB mengenai Metode Kontrasepsi terhadap Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Kemudahan Dicoba Kontrasepsi Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba metode kontrasepsi adalah derajat suatu inovasi dianggap dapat dicoba dalam skala kecil dengan biaya yang relatif sedikit. Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba metode kontrasepsi dilihat dari perbandingan besaran biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk mecoba metode kontrasepsi yang mereka pilih dalam skala kecil dibanding dengan metode kontrasepi jenis lain. Pada Tabel 50 terlihat variabel tingkat pengetahuan memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba metode kontraspsi. Semakin tinggi pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba metode kontrasepsi. Mayoritas responden mengetahui jenis-jenis metode kontrasepsi. Sebagian besar responden berpersepsi bahwa metode kontrasepsi yang mereka pilih membutuhkan biaya yang lebih sedikit untuk dicoba dalam skala kecil dibanding dengan metode kontrasepsi MOW, sehingga hanya sedikit akseptor KB yang menggunakan metode kontrasepsi MOW. “Saya lebih memilih menggunakan metode kontrasepsi pil, karena harganya murah dan tidak bersifat permanen, dibanding dengan metode kontrasepsi MOW yang harganya lebih mahal dan bersifat permanen.”(MU, 35 tahun). Pengaruh Tingkat Pengetahuan Aksepor KB mengenai Metode Kontrasepsi terhadap Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Kemudahan Diamati Metode Kontrasepsi Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan diamati metode kontrasepsi adalah derajat keberhasilan suatu inovasi. Indikator tingkat kemudahan diamati dapat dilihat dengan cara membandingkan tingkat keberhasilan metode kontrasepsi yang dipilih oleh responden dan metode kotrasepsi jenis lain. Pada Tabel 50 tingkat pengetahuan akseptor mengenai metode kontrasepsi tidak memiliki nilai signifikan yang berpengaruh nyata terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan diamati metode kontrasepsi. Hal ini disebabkan tingkat persepsi tentang ciri kemudahan diamati metode kontrasepsi yang sedang pada akseptor KB. Kecenderungan akseptor KB mempersepsikan bahwa metode kontrasepsi yang mereka gunakan lebih menguntungkan, lebih mudah digunakan, dan lebih mudah dicoba. Sehingga tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kesesuaian dan kemudahan diamati berada pada kategori cukup atau sedang. Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kesesuaian, kerumitan, dan kemudahan diamati. Faktor pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi tidak memiliki nilai signifikan yang

88

nyata terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif dan kemudahan diamati metode kontrasepsi. Oleh karena itu, hipotesis tingkat pengetahuan mengenai metode kontrasepsi berpengaruh terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi.

89

PENGARUH FAKTOR PENGETAHUAN TERHADAP KEPUTUSAN AKSEPTOR KB PADA TAHAP KONFIRMASI ADOPSI METODE KONTRASEPSI Tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi dapat dilihat dan diukur melalui pemahaman responden mengenai pengertian keluarga berencana, tujuan menggunakan metode kontrasepsi, jenis metode kontrasepsi, lokasi yang menyediakan pelayanan metode kontrasepsi, dan efek menggunakan metode kontrasepsi. Selain dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal, keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi juga dapat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi.Keputusan akseptor KB dalam tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi terdiri dari menolak atau menerima untuk melanjutkan penggunaan metode kontrasepsi.. Pengaruh tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi terhadap keputusan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi dapat dilihat pada Tabel 51. Hipotesis: Tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. Tabel 51. Pengaruh tingkat pengetahuan mengenai metode kontrasepsi terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi Pengetahuan Keputusan Akseptor KB Pengetahuan 0.381* Keterangan : *signifikan pada p≤0.05 Tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi dinilai melalui beberapa indikator, yaitu pemahaman akseptor KB tentang pengertian program keluarga berencana, tujuan menggunakan metode kontrasepsi, jenis metode kontrasepsi, lokasi mendapatkan pelayanan metode kontrasepsi, dan efek menggunakan metode kontrasepsi. Pada tabel 51 tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kotrasepsi memiliki nilai signifikan yang berpengaruh nyata terhadap tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi. Tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi tergolong tinggi. Rata-rata akseptor KB mengetahui jenis-jenis metode kontrasepsi, yaitu kondom, pil, suntik, IUD, implant, MOP, dan MOW. Akseptor KB mengetahui lokasi untuk mendapatkan pelayanan metode kontrasepsi karena berada di sekitar lingkungan tempat tinggal responden seperti posyandu, puskesmas, bidan swasta yang membuka praktek secara mandiri, dan rumah sakit. Sebagian besar responden mengetahui tujuan menggunakan metode kontrasepsi seperti menunda kehamilan, menjarangkan jarak antar anak dan menghentikan kehamilan karena sesuai dengan tujuan mereka menggunakan metode kontrasepsi. Umumnya akseptor KB mengetahui mengetahui efek samping menggunakan metode kontrasepsi

90

berdasarkan pengalaman sendiri dan melihat pada orang terdekatnya. Pengetahuan responden mengenai pengertian metode kontrasepsi hanya sebatas upaya untuk menjarangkan interval anak dan mecegah kehamilan. “Saya melanjutkan penggunaan metode kontrasepsi karena mengetahui jenis metode kontrasepsi yang sesuai dengan tujuan saya menggunakan metode kontrasepsi.” (NO, 28 tahun). Tingkat pengetahuan mengenai metode kontrasepsi berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfrimasi adopsi metode kontrasepsi. Tingkat pengetahuan memiliki nilai signifikan yang nyata terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. Oleh karena itu, hipotesis tingkat pengetahuan aksepor KB mengenai metode kotrasepsi berpengaruh terhadap akseptor KB mengenai metode kontrasepsi diterima.

91

PENGARUH TINGKAT PERSEPSI TERHADAP KEPUTUSAN AKSEPTOR KB PADA TAHAP KONFIRMASI ADOPSI METODE KONTRASEPSI Keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi tentang ciri metode kontrasepsi dipengaruhi faktor tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi. Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi terdiri dari lima ciri yaitu keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, kemudahan diamati, dan kemudahan dicoba.Selain dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal, dan tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi, keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi juga dipengaruhi oleh tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi. Keputusan akseptor KB dalam tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi terdiri dari menolak atau menerima untuk melanjutkan penggunaan metode kontrasepsi. Pengaruh tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfrimasi adopsi metode kontrasepsi dapat dilihat pada Tabel 52. Hipotesis: Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi Tabel 52. Pengaruh tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi Keuntungan Kesesuaian Kerumitan Kemudahan dicoba Kemudahan diamati Keterangan : *signifikan pada p≤0.05

Keputusan akseptor KB 0.005 0.515* 0.180 -0.059* 0.310

Keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi dpaat menolak atau menerima untuk melanjutkan penggunaan metode kontrasepsi. Pada Tabel 52 terlihat variabel yang memiliki pengaruh nyata terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi adalah tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kesesuaian, kerumitan, dan kemudahan dicoba metode kontrasepsi. Semakin akseptor KB berpersepsi bahwa metode kontrasepsi yang mereka gunakan sesuai dengan metode kontrasepsi dan mudah dicoba dalam skala kecil akan semakin berpengaruh terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kesesuaian berpengaruh nyata (p≤0.05) terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. Mayoritas akseptor KB berpersepsi bahwa metode kontrasepsi yang

92

mereka gunakan cukup sesuai dengan nilai, budaya, aturan, norma kesopnana, dan norma agama setempat. Hal itu berkaitan dnegan bayaknya responden yang menggunakan metode kontrasepsi suntik, dimana akseptor KB berpersepsi bahwa penggunaan metode kontrasepsi suntik sudah sesuai dengan anjuran suami atau orang tua. Sleanjutnya, penggunaan metode kontrasepsi suntik sudah cukup sesuai dengan aturan setempat dimana lebih baik memiliki dua anak, karena metode kontrasepsi suntik terbukti efektif untuk mencegah kehamilan apabila digunakan secara rutin dan sesuai dnegan jadwal. Kemudian, penggunaan metode kontrasepsi suntik sudah cukup sesuai dengan norma kesopanan dan norma agama setempat, yaitu ketika menggunakan metode kontrasepsi suntik hanya memperlihatkan aurat kepada sesama jenis dan tidak bertujuan untuk mengehentikan kehamilan, tetapi hanya menundu. Meskipun ketika menggunakan metode kontrasepsi suntik umumnya responden mengalami kenaikan berat badan yang cukup signifikan dan timbul flek hitam pada wajah. “Saya memilih menggunakan metode kontrasepsi suntik karena mengikuti anjuran suami dan orangtua.” (YA, 32 tahun). Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba juga memiliki nilai signifikan yang nyata terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfrimasi adopsi metode kontrasepsi. Mayoritas responden berpersepsi bahwa metode kontrasepsi pil membutuhkan biaya yang lebih sedikit untuk dicoba dalam skala kecil, sehingga banyak responden yang memutuskan untuk melanjutkan penggunaan metode kontrasepsi KB dengan menggunakan metode kontrasepsi pil. “Saya menggunakan metode kontrasepsi pil, karena harganya relatif murah dan dapat dibeli dalam jumlah yang sedikit, seperti satu pak untuk pemakaian selama sebulan.” (EB, 29 tahun).

93

ANALISIS JALUR TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN AKSEPTOR KB PADA TAHAP KONFIMRASI ADOPSI METODE KONTRASEPSI Pada saat penelitian dilakukan akseptor KB di Kelurahan Tanah Baru sudah sampai pada tahap konfirmasi atau menilai kembali untuk melanjutkan atau menghentikan adopsi metode kontrasepsi. Pada bagian berikut akan dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontraspesi, tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi, dan keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi sesuai dengan kerangka pemikiran.

(X1) Faktor Internal (X1.1) Usia (X1.2) Tingkat Pendidikan (X1.3) Tingkat Pendapatan (X1.4) Jumlah Tanggungan Rumah Tangga (X1.5) Motivasi

(X2) Faktor Eksternal

5

(Y3) Keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi

4

2 6

1

(Y1) Tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi

3

(Y2) Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi (Y2.1) Keuntungan relatif (Y2.2) Kesesuaian (Y2.3) Kerumitan (Y2.4) Kemudahan dicoba (Y2.5) Kemudahan diamati

(X2.1) Tingkat Ketersediaan Informasi (X2.2) Intensitas Penyuluhan (X2.3) Tingkat Ketersediaan Sarana Gambar 2. Kerangka pemikiran keputusan akseptor KB pad tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi

94

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Akseptor KB mengenai Metode Kontrasepsi Tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi dianlisis berdasarkan pemahaman akseptor KB tentang pengertian program keluarga berencana, tujuan menggunakan metode kontrasepsi, jenis-jenis metode kontrasepsi, lokasi yang menyediakan pelayanan pemasangan metode kontrasepsi, dan efek samping dari penggunaan metode kontrasepsi. Hasil uji regresi linear berganda menunjukan bahwa faktor internal dan faktor eksternal tidak berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Metode Kontrasepsi Tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi dianalisis pada lima ciri yaitu keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, kemudahan dicoba, dan kemudahan diamati. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi dan keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan rumah tangga, frekuensi mengunjungi sumber informasi, dan frekuensi mengakses media massa. Faktor eksternal berupa tingkat ketersediaan informasi, intensitas penyuluhan, dan tingkat ketersediaan sarana. Pada bab ini dijelaskan analisis jalur yang merupakan analisis lanjutan setelah dilakukan uji regresi linier berganda.

X1.5 Motivasi

X2.3 Tingkat Ketersediaan Sarana

ρ Y2.1X1.5 = 0.054

Y2.1Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Keuntungan Relaif Metode Kotrasepsi

ρ Y2.1X2.3 = -0.613

Gambar 3. Pengaruh variabel motivasi dan tingkat ketersediaan sarana terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif metode kontrasepsi Pada Gambar 3 secara langsung motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif metode kontrasepsi. Besaran pengaruh motivasi terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif metode kontrasepsi adalah sebesar 0.054. Artinya, apabila nilai satu satuan motivasi meningkat maka akan meningkatkan nilai tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif sebesar 0.054 satuan apabila variabel lain bernilai konstan. Secara langsung, ketersediaan sarana berpengaruh negatif dan signikan terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan

95

relatif metode kontrasepsi. Besaran pengaruh ketersediaan sarana terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif metode kontrasepsi adalah sebesar -0.613. Artinya, apabila satu satuan nilai ketersediaan sarana meningkat maka akan menurunkan nilai tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif sebesar 0.613 satuan apabila variabel lain bernilai konstan. X1.1Usia

X1.5 Motivasi

ρ Y2.5X1.1 = - 0.430

ρ Y2.5X1.5 = 0.090

X1.7 Frekuensi Mengakses Media Massa

Y2.5 Tingkat Persepsi Akseptor KB tentang Ciri Kemudahan Dicoba Metode Kontrasepsi

ρ Y2.5X1.7 = -0.382

Gambar 4. Pengaruh variabel usia, motivasi, dan frekuensi mengakses media massa terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan ddicoba metode kontrasepsi Pada Gambar 4 secara parsial usia berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba metode kontrasepsi. Besaran pengaruh usia terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba metode kontrasepsi adalah sebesar -0.430. Artinya apabila nilai satu satuan usia meningkat maka akan menurunkan nilai tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba sebesar 0.430 satuan apabila variabel lain bernilai konstan. Secara parsial, motivasi berpengaruh positif dan signikan terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba metode kontrasepsi. Besaran pengaruh motivasi terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba metode kontrasepsi adalah sebesar 0.090. Artinya, apabila nilai satu satuan motivasi meningkat maka akan meningkatkan nilai tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba sebesar 0.090 satuan apabila variabel lain bernilai konstan. Secara parsial frekuensi mengakses media massa berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba metode kontrasepsi. Besaran pengaruh frekuensi mengakses media massa terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba metode kontrasepsi adalah sebesar -0.382. Artinya, apabila nilai satu satuan frekuensi mengakses media massa meningkat maka akan menurunkan nilai tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba sebesar 0.382 satuan apabila variabel lain bernilai konstan. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Akseptor KB pada Tahap Konfirmasi Adopsi Metode Kontrasepsi Terdapat dua kemungkinan keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi, yaitu melanjutkan atau menghentikan adopsi metode

96

kontrasepsi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri metode kontrasepsi dan keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan rumah tangga, frekuensi mengunjungi sumber informasi, dan frekuensi mengakses media massa. Faktor eksternal berupa tingkat ketersediaan informasi, intensitas penyuluhan, dan tingkat ketersediaan sarana. Pada bab ini dijelaskan analisis jalur yang merupakan analisis lanjutan setelah dilakukan uji regresi linier berganda.

X1.4 Jumlah Tanggungan RT X1.5 Motivasi

X1.6 Frekuensi Mengunjungi Sumber Informasi

ρ Y3X1.4 = 0.345 ρ Y3X1.5 = 0.686

Y3 Keputusan Akseptor KB pada Tahap Konfirmasi Adopsi Metode Kontrasepsi

ρ Y3X1.6 = 0.608

Gambar 5. Pengaruh variabel jumlah tanggungan rumah tangga, motivasi, dan frekuensi mengunjungi sumber informasi terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi Pada Gambar 5 secara langsung jumlah tanggungan rumah tangga bepengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontraspeis. Besaran pengaruh jumlah tanggungan rumah tangga terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi sebesar 0.345. Artinya, apabila nilai satu satuan jumlah tanggungan rumah tangga meningkat maka akan meningkatkan nilai keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi sebesar 0.345 satuan apabila variabel lain bernilai konstan. Secara langsung, motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. Besaran pengaruh motivasi terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi adalah sebesar 0.686. Artinya, apabila nilai satu satuan motivasi meningkat maka akan meningkatkan nilai keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi sebesar 0.686 satuan apabila variabel lain bernilai konstan. Secara langsung, frekuensi mengunjungi sumber informasi berpengaruh positif dan signikan terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. Besaran pengaruh frekuensi mengujungi sumber informasi terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi adalah sebesar 0.608. Artinya, apabila nilai frekuensi mengakses media massa meningkat satu satuan maka akan meningkatkan nilai keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi sebesar 0.608 satuan apabila variabel lain bernilai konstan.

97

PENUTUP SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa simpulan, yaitu: 1. Tingkat pengetahuan akseptor KB mengenai metode kontrasepsi tergolong tinggi. Terutama mengenai jenis metode kontrasepsi. 2. Tingkat persepsi akseptor KB tentang metode kontrasepsi yang mereka pilih lebih menguntungkan secara ekonomi, lebih mudah digunakan, dan membutuhkan biaya yang lebih sedikit untuk dicoba dibanding dengan metode kontrasepsi jenis lain. 3. Mayoritas akseptor KB memutuskan untuk melanjutkan penggunaan metode kontrasepsi pada tahap konfirmasi adopsi metode kotrasepsi. 4. Motivasi dan ketersediaan sarana berpengaruh langsung terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri keuntungan relatif metode kontrasepsi. 5. Usia, motivasi, dan frekuensi mengakses media massa berpengaruh langsung terhadap tingkat persepsi akseptor KB tentang ciri kemudahan dicoba metode kontrasepsi. 6. Jumlah tanggungan rumah tangga, motivasi, dan frekuensi mengunjungi sumber informasi berpengaruh langsung terhadap keputusan akseptor KB pada tahap konfirmasi adopsi metode kontrasepsi. SARAN Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa saran yang bisa dijadikan masukan sebagai bahan pertimbangan: 1. Meningkatkan intensitas penyuluhan pada pasangan usia subur agar dapat meningkatkan motivasi pasangan usia subur untuk berpartisipasi pada program keluarga berencana. 2. Meningkatkan informasi pada buku kesehatan ibu dan anak mengenai program keluarga berencana khususnya tentang metode kontrasepsi. 3. Meningkatkan kualitas informasi yang diberikan oleh bidan desa dan kader posyandu Kelurahan Tanah Baru mengenai program keluarga berencana

98

99

DAFTAR PUSTAKA Angio MC. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi Hormonal di Wilayah Kerja Puskesmas Manyaran Semarang. [Internet]. [Diunduh pada 28 Juli 2016]. Dapat diunduh di http://pmb.stikestelogorejo.ac.id/ejournal/index.php/ilmukeperawatan/arti cle/view/65. Bird BJ. 1989. Entrepreneurial Behavior. Glenviewss, Illionis (US): Scott, Foresman and Company. [BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 1985. 25 Tahun Gerakan Keluarga Berencana.Jakarta (ID): Direktorat Jaminan dan Pelayanan KB. [BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2009. Analisis Lanjut SDKI 2007. Unmet Need dan Kebutuhan Pelayanan KB di Indonesia. [Internet]. [Diunduh 17 Maret 2016]. Dapat diunduh di https://www.google.co.id/url/sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd= 1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwid5IKRuuPKAhWBUo4KHRLuAb AQFggbMAA&url=http persen3A persen2F persen2Fwww.bkkbn.go.id persen2Flitbang persenFpusna persen2FHasil persen2520Penelitian persen2FAnalisis persen2520Lanjut persen2FTahun persen25202009 persen2FUnmet persen2520Need persen2520dan persen252Kebutuhan persen2520Pelayanan persen2520KB persen2520di persen2520Indonesia.pdf&usg=AFQjCNF1WqiW9_kdO6aClOnP52RO4 lmq9w&sig2=NHHHU8anUqRx9uc7VKzQgA. [BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2011. FaktorFaktor yang Mempengaruhi Penggunaan MKJP di Enam Wilayah Indonesia. Jakarta (ID): Direktorat Pelaporan dan Statistik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. [BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2012. Laporan Umpan Balik Hasil Pelaksanaan Sub Sistem Pencatatan dan Pelaporan Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta (ID): Direktorat Pelaporan dan Statistik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. [BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2013.Hasil Pelaksanaan Sub Sistem Pencatatan dan Pelaporan Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta (ID): Direktorat Pelaporan dan Statistik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010.Laju Pertumbuam Penduduk. [Internet] [Diunduh 20 Maret 2016]. Dapat diunduh di http://sp2010bpsgoid/indexphp. [Depkes]Departemen Kesehatan. 2005. Peningkatan Keluarga Sejahtera Melalui Upaya Pengendalian Kependudukan. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan Republik Indonesia. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2009. Pedoman Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan Republik Indonesia. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2009. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Ekarini SMB. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali

100

[Thesis]. [Internet]. [Diunduh pada 20 September 2016]. Dapat diunduh dihttp://eprints.undip.ac.id. Jahi A. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga. Jakarta (ID): Gramedia. Handayani L, Suharmiati, Hariastuti I, Latifah C. 2012. Peningkatan Informasi tentang KB: Hak Kesehatan Reproduksi yang perlu Diperhatikan oleh Program Pelayanan Keluarga Berencana. BuletinPenelitian Sistem kesehatan. Vol 15 (3) : 289-297. PenelitianPusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat,Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian KesehatanRI. Handayani S. 2010. Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta (ID): Pustaka Rihama. Hartanto H. 2004. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta (ID): Pustaka Sinar Harapan. Indrayani, Lestari BW, Fatma KH. 2013. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Vasektomi Kontrasepsi. Jurnal Ilmu Kebidanan. Vol 1(1). Bandung (ID): Universitas Padjajaran. Karningsih, Hamidah, Fratidhina. 2014. Faktor Predisposing dan Enabling Terhadap Pemilihan Metode Kontrasepsi. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kesehatan. Vol 2 (1): 19-25 [Internet]. [Diunduh pada 20 Maret 2016]. Dapat diunduh dihttp://ejurnal.poltekkesjakarta3.ac.id/index.php/JITEK/article/view/76 . [Kemenkes] Kementrian Kesehatan 2012. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia. Kusumaningrum R. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jenis Kontrasepsi yang Digunkana pada Pasangan Usia Subur. Semarang (ID): UNDIP. [Internet]. [Diunduh pada 24 Juli 2016]. Dapat diunduh di http://eprints.undip.ac.id/19194/1/Radita_Kusumaningrum.pdf. Kusumastuti, Kartasurya MI, Purnami CT. 2013. Analisis Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Pelayanan Kontrasepsi oleh Bidan di Kabupaten Kebumen. Volume 8 (1):22-31. [Internet]. [Diunduh pada 12 Agustus 2016]. Dapat Di unduh di http://eprints.undip.ac.id/41293/. Kustriyanti. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi pada Wanita Subur di Puskesmas Ngesrep Kelurahan Ngesrep Kecamatan Banyumanik Semarang. [Internet]. [Diunduh pada 8 Agustus 2016]. Dapat diunduh di http://download.portalgaruda.org/article.php?article=356722&val=426&t itle=FAKTORFAKTOR%20YANG%20BERHUBUNGAN%20DENGA N%20PEMILIHAN%20ALAT%20KONTRASEPSI%20PADA%20WA NITA%20USIA%20SUBUR%20DI%20PUSKESMAS%20NGESREP% 20KELURAHAN%20NGESREP%20KECAMATAN%20BANYUMAN IK%20SEMARANG. Lionberger HF, Gwin PH. 1982. Communication Strategies: A Guide for Agricultural Change Agents.Illinois (US): The Interstate Printers and Publishers, Inc. Lionberger HF, Gwin PH. 1991. Technology Transfer from Researchers to Users. Missouri (US): University of Missouri.

101

Leewis C. 2004. Communication for Rural Communication, Rethinking Agricultural Extension. New Jersey (UK): Blackwell Publishing. Lucas, David, McDonald P, Young E & Young C. 1984. Pengantar Kependudukan. Terjemahan Nin Bakdi Sumanto & Riningsih Saladi. Yogyakarta (ID): UGM Press. Mahmudah LTN, Indrawati F. 2015. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MJKP) pada Akseptor KB Wanita di Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat. [Internet]. [Diunduh pada 20 Maret 2016]. Dapat diunduh di http://journal.unnes.ac.id/sju/index/php/ujph. Manuba IBG. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan, Buku Kedokteran. Jakarta (ID): EGC. Mardikanto T. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Surakarta (ID): Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS dan UNS Press. Maryatun. 2009. Analisis Faktor-Faktor pada Ibu yang Berpengaruh terhadap Pemakaian Metode Kontrasepsi IUD di Kabupaten Sukoharjo. Eksplomasi. Vol 8 (4). Musdalifah, Sarake M, Rahma. 2013. Faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan Kontrasepsi Hormonal Pasturi di Wilayah Kerja Lampa Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang 2013. [Internet]. [Diunduh pada 20 Maret 2016]. Dapat diunduh di http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/5657. Nasution M. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Akseptor KB Pria di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang 2012. [Internet]. [Diunduh pada 12 Agustus 2016]. Dapat diunduh di http://repository.unand.ac.id/20435/. Natalia L. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Panyingkiran Kabupaten Majalengka Tahun 2014. [Internet]. [Diunduh pada 12 Agustus 2016]. Dapat diunduh di http://ejournal.stikesypib.ac.id/jurnal.php?detail=jurnal&file=Artikel%20B u%20Lia.pdf&id=516&cd=0b2173ff6ad6a6fb09c95f6d50001df6&name= Artikel%20Bu%20Lia.pdf. Nazilah L. 2012. Kontribusi Otonomi Perempuan dalam Rumah Tangga terhadap Pemakaian Kontrasepsi di Nusa Tenggara Timur (Skripsi). Depok (ID) : Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Notoadmodjo S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Notoadmodjo S. 2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Pendit. 2006. Ragam Metode Kontrasepsi. Jakarta (ID): EGC. Preputri A. 2014. Fakor yang Berhubungan dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi pada Wanita di Wilayah Pesisir Kecamatan Bantaeng Kabupaten Bantaeng. [Internet]. [Diunduh pada 12 Agustus 2016]. Dapat diunduh di http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/10656/ANDRIA NASTI%20PREPUTRI%20K11110008.pdf;sequence=1.

102

Putra S. 2009. Faktor-Faktor Yang Berhubungan DenganKeikusertaan Pria PUS Sebagai Akseptor KB di Kecamatan Lembah Segar Kota Sawahlunto Tahun 2009. Purnaningsih N. 2006. Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran di Propinsi Jawa Barat[Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Riskesdas] Riset Keshatan Dasar. 2013. Jakarta (ID): Kementrian Kesehatan RI. Rogers EM dan FF Shoemaker. 1971. Communication of Innovation Across Cultural Approach. New York (US): Mcmilland Ltd. Rogers EM. 1983. Diffusion of Innovation. Third Edition. New York (US): The Free Press. Rogers EM. 1995. Diffusion of Innovation. Fourth Edition. New York (US): Free Press. Rogers EM. 2003. Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach. Second Edition. New Your (US): The Free Press. Roling N. 1988. Extension Science Cambridge. Cambridge (US): Cambrdge University Press. Rusli S. 2012. Pengantar Ilmu Kependudukan. Bogor (ID): LP3ES. Saefuddin AB. 2003.Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta (ID): Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjono. Saefuddin AB. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta (ID): Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjono. Singarimbun M ,Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai.Jakarta (ID): LP3ES. Slamet M. 1978. Kumpulan Bahan Bacaan Penyuluhan Pertanian. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta (ID): UI Press. Sugiarti, I, Novianti, S, Nurlina. 2012. Faktor Pasangan yang Mempengaruhi Pemilihan Jenis Kontrasepsi Pada Wanita Usia Subur. Tasikmalaya (ID): Universitas Siliwangi. Van Den Ban, Hawkins HS. 1999. Penyuluhan Pertanian. Judul Asli: Agricultural Extention (Second Edition). Yogjakarta( (ID): Kanisius. [WHO] World Health Organization. 2011. Family Planning. [Internet]. [Diunduh pada 3 Januari 2017]. Dapat diunduh di www.who.int]. Yusuf A. (2001). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemakaian Metode Kontrasepsi Jangka Panjang di Tanjung Batu Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan Tahun 2000[Skripsi]. Depok (ID): FKM UI.

103

LAMPIRAN

104

Lampiran 1. Peta Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor

Sumber: Google Maps

105

Lampiran 2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2016-2017

Kegiatan

September 1 2

Penyusun an Proposal Skripsi Uji Kelayaka n Proposal Skripsi Kolokiu m Perbaikan Proposal Skripsi Pengambi lan Data Lapang Pengolah an dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Uji Kelayaka n Skripsi Sidang Skripsi Perbaikan Laporan Skripsi

3

4

Februar i 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 Oktober

November

Desember

Januari

106

Lampiran 3. Dokumentasi

Gambar 1. Kegiatan Posyandu

Gambar 2. Wawancara dengan responden

Gambar 3. Wawancara dengan kader posyandu setempat

107

Gambar 4. Wawancara dengan PLKB

Gambar 5. Buku kesehatan ibu dan anak

108

Lampiran 4. Kerangka Responden Nomer 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40

Nama MU EB YA NO DE RA IK LI EV FA NM NE RO LL YU NI II YN IN NU SI YT EN WI NR ST SA WA YY SN ET AI AM ZU RO SM MM MI NE SF

Alamat Lengkap Jenis Kelamin RT 01 RW 10 P RT 01 RW 10 P RT 01 RW 10 P RT 02 RW 10 P RT 02 RW 10 P RT 02 RW 10 P RT 03 RW 10 P RT 03 RW 10 P RT 06 RW 10 P RT 06 RW 10 P RT 06 RW 10 P RT 04 RW 10 P RT 04 RW 10 P RT 04 RW 10 P RT 05 RW 10 P RT 05 RW 10 P RT 05 RW 10 P RT 05 RW 10 P RT 01 RW 07 P RT 01 RW 07 P RT 01 RW 07 P RT 02 RW 07 P RT 02 RW 07 P RT 02 RW 07 P RT 02 RW 07 P RT 03 RW 07 P RT 03 RW 07 P RT 03 RW 07 P RT 04 RW 07 P RT 04 RW 07 P RT 04 RW 07 P RT 05 RW 07 P RT 05 RW 07 P RT 05 RW 07 P RT 06 RW 07 P RT 06 RW 07 P RT 06 RW 07 P RT 07 RW 07 P RT 07 RW 07 P RT 07/RW 07 P

109

Lampiran 5. Kuesioner Nomor Kuesioner Tanggal Wawancara Tanggal Entri Data

Kuesioner ADOPSI INOVASI PROGRAM KELUARGA BERENCANA

PROFIL RESPONDEN Nama Alamat Lengkap RT: RW: No.: Desa Kec. Kab. Prov. Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan Pekerjaan 1. Ibu Rumah Tangga 2. Buruh 3. Pegawai negeri 4. Pegawai swasta 5. Wirausaha 6. Lainnya... Status dalam rumah 1. Kepala Rumah Tangga tangga 2. Ibu Rumah Tangga 3. Anggota Rumah Tangga Status Perkawinan 1. Menikah 2. Janda/Duda FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI INOVASI PROGRAM KELUARGA BERANCANA Faktor Internal No Indikator Piihan 1 Umur ..... tahun 2 Tingkat pendidikan 1. Tidak Tamat Sekolah terakhir Dasar 2. Tamat Sekolah Dasar 3. Tamat SMP / Sederajat 4. Tamat SMA / Sederajat

Keterangan

110

3 4 5

 No

1 2

3 4 5 6 7 8

5. Tamat Diploma I 7. Tamat Diploma III 8. Tamat Diploma IV/Sarjana I Rp ..... tanggungan ..... orang

Penghasilan Jumlah keluarga Mengapa Anda menjadi 1.Ingin mencegah akseptor keluarga kehamilan berencana? 2.Ingin mengatur jarak umur antar anak 3.Ingin sehat 4.Anjuran dari kader posyandu 5.Anjuran dari bidan 6.Anjuran dari PLKB 7.Anjuran dari perangkat pemerintah 8.Anjuran dari keluarga atau kerabat 9.Anjuran dari tetangga atau temen 10.Anjuran dari tokoh agama Mengunjungi Sumber Informasi Pertanyaan Frekuensi Dalam tiga bulan 0 1 2 3 4 5 terakhir, berapa kali Anda bertemu dengan: Dokter spesialis di Kelurahan Tanah Baru Dokter di rumah sakit umum Kelurahan Tanah Baru Dokter di puskesmas Kelurahan Tanah Baru Bidan di Kelurahan Tanah Baru Kader Posyandu Kelurahan Tanah Baru PLKB Kelurahan Tanah Baru Dokter spesialis di Luar Kelurahan Tanah Baru Dokter rumah sakit umum di Luar Kelurahan Tanah Baru

Keterangan 6

7

111

9

10 11

 No

1 2 3

Dokter puskesmas di Luar Kelurahan Tanah Baru Bidan di Luar Kelurahan Tanah Baru Dokter rumah sakit umum di Luar Kecamatan Bogor Utara Mengakses Media Massa Pertanyaan Dalam tiga bulan 0 terakhir, berapa kali Anda mengakses media massa untuk mencari informasi mengenai program KB: Buku Televisi Internet

1

2

Frekuensi 3 4 5

Keterangan 6

7

Faktor Eksternal  Tingkat Ketersediaan Informasi No Di mana Anda Jenis Harga Efek Tingkat mendapatkan Samping Keberhasilan Informasi Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak mengenai metode kontrasepsi 1 Kader Posyandu 2 Bidan 3 PLKB 4 Perangkat Pemerintah 5 Keluarga atau Kerabat 6 Tetangga atau Teman 7 Tokoh Agama  No

Intensitas Penyuluhan Siapa yang Dalam tiga bulan mengadakan terakhir, berapa penyuluhan? kali diadakan penyuluhan?

Berapa lama durasi penyuluhan?

Keterangan

112

1 2 3

Kader Posyandu Bidan PLKB

 No

Tingkat Ketersediaan Sarana KB Jenis Apakah di Apakah di Apakah di Kontrasepsi tempat tempat tempat pelayanan KB pelayanan KB pelayanan KB yang ibu yang ibu yang ibu kunjungi kunjungi kunjungi tersedia alat jumlah alat metode metode metode kontrasepsinya kontrasepsi kontrasepsinya dalam keadaan mencukupi baik? Se S J TD Se S J TD Se S J TD Kondom Pil Suntikan IUD/Spiral Implant/Susuk Sterilisasi/MOP Sterilisasi/MOW

1 2 3 4 5 6 7

Pengetahuan tentang Metode Kontrasepsi No 1

Indikator

Apakah yang dimaksud dengan program keluarga berencana?

2 Apa tujuan penggunaan metode kontrasepsi? 3 Apa saja jenis metode kontrasepsi yang Anda ketahui?

Pilihan 1.Alat yang dipakai untuk mencegah kehamilan 2.Alat yang dipakai untuk menjarangkan atau merencanakan jumlah anak 3. Peningkatan kesejahteraan keluarga unuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera 1.Menjarangkan kehamilan 2.Membatasi jumlah anak 3.Menunda kehamilan 4.Kesejahteraan keluarga 5.Kesehatan ibu dan anak 6.Menghentikan kehamilan 1.Pil 2.Suntikan 3.IUD/Sprial 4.Implant/Susuk 5.Kondom 6. Sterilisasi/MOP

Keterangan

113

4

5

7. Sterilisasi/MOW 1.RSU/RS bersalin Di mana Anda bisa 2.Puskesmas mendapatkan 3.Posyandu pelayanan 4.Klinik KB penggunaan metode 5.Dokter/Bidan praktek kontrasepsi? swasta 1.Perdarahan 2.Infeksi 3.Gangguan haid Apa efek samping 4.Keputihan dari penggunaan 5.Perubahan berat badan metode kontrasepsi? 6.Sakit kepala/pusing 7.Mual/muntah 8. Sakit perut/mules-mules Persepsi Tentang Ciri Metode Kontrasepsi

 No

1 2 3 4 5 6 7  No

1 2 3 4 5

Tingkat Keuntungan Relatif Jenis Kontrasepsi Bagaimana harga metode kontrasepsi yang Anda gunakan dibanding dengan metode kontrasepsi lain? Lebih Sama Lebih mahal murah Kondom Pil Suntik IUD/Spiral Implant/Susuk Sterilisasi/MOP Sterilisasi/MOW Tingkat Kesesuaian Norma Bagaimana kesesuaian metode kontrasepsi yang Anda gunakan dengan norma yang ada? Kurang Cukup Sangat sesuai sesuai sesuai Nilai setempat Budaya setempat Aturan setempat Norma kesopanan setempat Norma agama yang diyakini

Keterangan

Keterangan

114

 No

1 2 3 4 5 6 7  No

1 2 3 4 5 6 7  No

1 2 3 4 5 6 7

Tingkat Kerumitan Jenis kontrasepsi

Bagaimana cara penggunaan metode kontrasepsi yang Anda gunakan dibanding dengan metode kontrasepsi lain? Lebih Sama Lebih sulit mudah

Keterangan

Kondom Pil Suntik IUD/Spiral Implant/Susuk Sterilisasi/MOP Sterilisasi/MOW Tingkat Kemudahan Dicoba Jenis kontrasepsi Bagaimana biaya yang dibutuhkan untuk menggunakan metode kontrasepsi yang Anda gunakan dalam skala kecil dibanding dengan metode kontrasepsi lain? Lebih Sama Lebih banyak sedikit Kondom Pil Suntik IUD/Spiral Implant/Susuk Sterilisasi/MOP Sterilisasi/MOW Tingkat Kemudahan Diamati Jenis kontrasepsi Bagaimana tingkat keberhasilan metode kontrasepsi yang Anda gunakan dibanding dengan metode kontrasepsi lain? Lebih Sama Lebih rendah tingggi Kondom Pil Suntik IUD/Spiral Implant/Susuk Sterilisasi/MOP Sterilisasi/MOW

Keterangan

Keterangan

115

Lampiran 6. Panduan Wawancara

PANDUAN PERTANYAAN WAWANCARA MENDALAM Adopsi Inovasi Program Keluarga Berencana Topik Tujuan

: Adopsi inovasi : Faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi

Pertanyaan Penelitian Kepada Informan: 1. Apa kelemahan, keunggulan dan kenala pelaksanaan pelayanan KB di Kelurahan Tanah Baru? 2. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam penggunaan metode kontrasepsi dari tahun ke tahun? Mengapa? 3. Berapa kali kader posyandu/bidan desa/PLKB mengadakan penyuluhan mengenai program KB dalam tiga bulan terakhir? 4. Bagaimana metode sosialisasi yang bidan desa/kader posyandu/PLKB berikan kepada masyarakat terkait penggunaan metode kontrasepsi? 5. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam penyuluhan yang diadakan? 6. Berapa lama penyuluhan diadakan? 7. Apa saja informasi yang diberikan kepada pasangan usia subur terkait penggunaan metode kontraspsi? Sebutkan! 8. Apakah metode kontrasepsi tersedia? Jelaskan! 9. Apakah jumlahnya mencukupi? Jelaskan! 10. Apakah kualitasnya baik? Jelaskan! 11. Berapa biaya alat yang harus dikeluarkan oleh pasangan usia subur apabila ingin menggunakan metode kontraspsi? 12. Apa faktor yang mempengaruhi keikutsertaan pasangan usia subur? Jelaskan! 13. Apakah penggunaan metode kontrasepsi sesuai dengan nilai/budaya/aturan/norma kesopanan/norma agama yang berlaku di masyarakat? Jelaskan! 14. Siapa saja yang terlibat dalam pelaksanaan program keluarga berencana? 15. Siapakah yang paling berpengaruh dalam peningkatan jumlah akseptor KB? 16. Bagaimana interaksi antara elemen penyelenggara KB? 17. Apa harapan Anda untuk pelaksanaan KB ke depannya?

116

Panduan Wawancara Mendalam: 1. Apa jenis metode kontrasepsi yang Anda gunakan? 2. Apa Anda masih menggunakan metode kontrasepsi hingga sekarang? 3. Jika tidak, mengapa Anda berhenti menggunakan metode kontrasepsi tersebut? 4. Jika ya, sejak kapan Anda menggunakan metode kontrasepsi tersebut? 5. Berapa harga metode kontrasepsi yang Anda gunakan? 6. Dari siapa Anda mendapatkan informasi mengenai metode kontrasepsi untuk pertama kalinya? 7. Di mana pertama kali Anda mendapatkan pelayanan metode kontrasepsi yang Anda gunakan? 8. Mengapa Anda memilih tempat tersebut? 9. Selain, jenis, harga, efek samping dan efektivitas alat kontrasepsi, apa informasi yang Anda dpatkan di tempat Anda mendapatkan pelayanan metode kontrasepsi? 10. Apabila Anda pernah mengunjungi dokter spesialis/dokter di rsu/dokter di puskesmas/kader posyandu/bidan desa/PLKB, untuk urusan apa Anda mengunjungi mereka? 11. Apabila Anda pernah mencari informasi mengenai metode kontrasepsi di luar kelurahan, mengapa Anda melakukan hal tersebut? 12. Apabila Anda mengakses media massa untuk mencari informasi terkait metode kontrasepsi, apa buku/koran/majalah/radio/televisi/internet yang Anda baca? 13. Apa jenis media massa yang paling sering Anda gunakan untuk mencari informasi terkait metode kontrasepsi? Mengapa? 14. Kapan penyuluhan mengenai metode kontrasepsi diadakan? 15. Di mana penyuluhan mengenai metode kontrasepsi diadakan? 16. Bagaimana metode penyuluhan mengenai penggunaan metode kontrasepsi? Apakah sudah cocok? 17. Bagaimana kualitas sarana metode kontrasepsi di tempat Anda mendapatkan pelayanan metode kkontrasepsi? 18. Apa keluhan Anda terhadap pelayanan KB di Kelurahan Tanah Baru? 19. Berapa harga metode kontrasepsi yang Anda ketahui? 20. Mengapa metode kontrasepsi yang anda gunakan lebih sulit/sama saja/lebih mudah digunakan dibanding dengan metode kontrasepsi lainnya? 21. Seperti apa nilai, budaya, aturan, norma kesopanan dna norma agama yang berlaku di sekitar tempat tinggal Anda? 22. Siapa yang menjadi role mode Anda dalam penggunaan metode kontrasepsi? 23. Apa tujuan Anda menggunakan metode kontrasepsi? 24. Apa kekurangan dan kelebihan metode kontrasepsi yang Anda pilih? 25. Apa efek samping yang Anda rasakan ketika menggunakan metode kontrasepsi tersebut? 26. Apakah penggunaan metode kontrasepsi berpengaruh terhadap kehidupan Anda? 27. Apa saja perubahan yang Anda rasakan setelah menggunakan metode kontrasepsi ini? 28. Siapa saja anggota rumah tangga yang menjadi tanggungan Anda?

117

Lampiran 7. Hasil uji statistik deskriptif Usia Cumulative Frequency Valid

Percent

Valid Percent

Percent

1,00

9

22,5

22,5

22,5

2,00

21

52,5

52,5

75,0

3,00

10

25,0

25,0

100,0

Total

40

100,0

100,0

Pendidikan Cumulative Frequency Valid

Percent

Valid Percent

Percent

1,00

5

12,5

12,5

12,5

2,00

26

65,0

65,0

77,5

3,00

9

22,5

22,5

100,0

Total

40

100,0

100,0

Pendapatan Cumulative Frequency Valid

Percent

Valid Percent

Percent

1,00

10

25,0

25,0

25,0

2,00

20

50,0

50,0

75,0

3,00

10

25,0

25,0

100,0

Total

40

100,0

100,0

Tanggungan Cumulative Frequency Valid

Percent

Valid Percent

Percent

1,00

9

22,5

22,5

22,5

2,00

21

52,5

52,5

75,0

3,00

10

25,0

25,0

100,0

Total

40

100,0

100,0

118

Motivasi Cumulative Frequency Valid

Percent

Valid Percent

Percent

1,00

9

22,5

22,5

22,5

2,00

25

62,5

62,5

85,0

3,00

6

15,0

15,0

100,0

Total

40

100,0

100,0

Mengunjugi Sumber Informasi Cumulative Frequency Valid

Percent

Valid Percent

Percent

1,00

10

25,0

25,0

25,0

2,00

27

67,5

67,5

92,5

3,00

3

7,5

7,5

100,0

Total

40

100,0

100,0

Mengakses Meda Massa Cumulative Frequency Valid

Percent

Valid Percent

Percent

1,00

12

30,0

30,0

30,0

2,00

23

57,5

57,5

87,5

3,00

5

12,5

12,5

100,0

Total

40

100,0

100,0

Ketersediaan Informasi Cumulative Frequency Valid

Percent

Valid Percent

Percent

1,00

1

2,5

2,5

2,5

2,00

34

85,0

85,0

87,5

3,00

5

12,5

12,5

100,0

Total

40

100,0

100,0

119

Intensitas Penyuluhan Cumulative Frequency Valid

Percent

Valid Percent

Percent

1,00

7

17,5

17,5

17,5

2,00

24

60,0

60,0

77,5

3,00

9

22,5

22,5

100,0

Total

40

100,0

100,0

Ketersediaan Sarana Cumulative Frequency Valid

Percent

Valid Percent

Percent

1,00

8

20,0

20,0

20,0

2,00

25

62,5

62,5

82,5

3,00

7

17,5

17,5

100,0

Total

40

100,0

100,0

120

Lampiran 8. Hasil uji regresi linear Model Summaryb

Model

R

R Square

,727a

1

Adjusted R

Std. Error of the

Square

Estimate

,529

,366

Durbin-Watson

,79604800

1,379

a. Predictors: (Constant), Zscore(sarana), Zscore(usia), Zscore(pendidikan), Zscore(informasi), Zscore(tanggungan), Zscore(mengakses), Zscore(pendapatan), Zscore(mengunjungi), Zscore(penyuluhan), Zscore(motivasi) b. Dependent Variable: Zscore(pengetahuan) ANOVAa Model 1

Sum of Squares

df

Mean Square

Regression

20,623

10

2,062

Residual

18,377

29

,634

Total

39,000

39

F

Sig.

3,254

,006b

a. Dependent Variable: Zscore(pengetahuan) b. Predictors: (Constant), Zscore(sarana), Zscore(usia), Zscore(pendidikan), Zscore(informasi), Zscore(tanggungan), Zscore(mengakses), Zscore(pendapatan), Zscore(mengunjungi), Zscore(penyuluhan), Zscore(motivasi) Coefficientsa Unstandardized

Standardized

Collinearity

Coefficients

Coefficients

Statistics

Std. Model 1

(Constant)

B

Error

9,081E16

Zscore(usia)

Beta

,126

t

Sig.

Tolerance

VIF

,000 1,000

-,006

,156

-,006

-,038

,970

,664 1,506

Zscore(pendidikan)

,049

,186

,049

,264

,794

,468 2,138

Zscore(pendapatan)

,189

,194

,189

,973

,339

,432 2,313

Zscore(tanggungan)

-,039

,163

-,039

-,240

,812

,611 1,636

Zscore(motivasi)

,162

,399

,162

,407

,687

,102 9,773

Zscore(mengunjungi)

,124

,237

,124

,520

,607

,288 3,467

Zscore(mengakses)

,083

,175

,083

,473

,640

,532 1,879

Zscore(informasi)

,385

,331

,385 1,164

,254

,148 6,749

-,084

,259

-,084

-,323

,749

,243 4,117

,063

,221

,063

,284

,778

,332 3,012

Zscore(penyuluhan) Zscore(sarana)

a. Dependent Variable: Zscore(pengetahuan)

121

122

123

RIWAYAT HIDUP Arie Firdha Amalia dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 1995, dari pasangan Bambang Setiahadi (Ayah) dan Darni (Ibu). Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Adik penulis bernama Abizard Daffa Putra. Penulis menamtkan pendidikan jenjang Taman Kanak - Kanak Harapan Jaya pada tahun 2001 , SD Semper Barat 011 Pagi tahun 2007, SMP Negeri 30 Jakarta tahun 2010 dan SMA Negeri 8 Jakarta tahun 2013. Pada tahun 2013, penulis melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia angkatan 2013/50, melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Selain aktif dalam kegiatan pembelajaran di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan dan organisasi mahasiswa daerah. Organisasi kemahasiswaan yang diikuti oleh penulis adalah Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) Kabinet Terasa Manis (2015) dan Arjuna (2016) sebagai bendahara dan ketua departemen pengembangan budaya, olehraga dan seni serta Center of Entrepreneurship Development for Youth (CENTURY) periode 2014/2015 dan 2015/2016 sebagai anggota divisi produksi operasi dan human resource development. Organisasi mahasiswa daerah yang diikuti oleh penulis adalah Ikatan Mahasiswa Jakarta Utara (IKAMAJU). Penulis juga aktif di berbagai kegiatan kepanitiaan yaitu Masa Pengenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) 51, Open House (OH) Fema 51, TPB CUP 2014, Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) 2014, IPB Social and Health Care (ISHARE) 2014, Indonesia Ecology Expo (INDEX) 2014, IPB’s Dedication for Education (IDEA) 2014, International Scholarship and Education (ISEE) 2014, Gebyar Nusantara (GENUS) 2014, CRAFT 2014, IPB Art Contest (IAC) 2014 dan 2015, IPB Business Festival (IBF) 2014 dan 2015, Connection 2015, Newmont Goest To Campus 2014, Masa Pengenalan Fakultas (MPF) FEMA 51, Ecology Sport and Art Event (ESPENT) 2015 dan 2016, Familarity Night (FAMNIGHT) 2015 dan 2016. Penulis beberapa kali menjadi finalis lomba business plan.

Related Documents


More Documents from "Ali Mohd"