A. Pendahuluan Persoalan metodologi dan metode merupakan persoalan yang sangat signifikan dalam sejarah pertumbuhan ilmu. Pemahaman terhadap metodologi dan metode akan sangat mempengaruhi laju kemajuan dunia ilmu. Dalam kerangka ini, perlu diketahui bahwa pada abad pertengahan, Eropa menghabiskan waktu seribu tahun dalam keadaan stagnasi dan masa kebodohan. Namun kondisi semacam itu berubah secara revolusioner, terjadi kebangkitan di berbagai bidang kehidupan, sains, seni, politik, ekonomi dan seterusnya. Ali syari’ati (1933 – 1977), seorang intelektual dari iran, menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan stagnasi pemikiran, peradaban, dan kebudayaan abad itu adalah metode – metode yang nantinya akan ditempuh guna lebih mendalami obyek ilmu. Metode ilmiah dibangun dari cara berpikir deduktif dan induktif. Dengan deduktif diharapkan mampu memberikan sifat rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan berpikir induktif adalah untuk memberikan pembenaran empirik kepada pengetahuan yang telah dirasionalisasi oleh berpikir deduktif. Kedua hal ini sangat penting. Tanpa salah satu dari pemikiran tersebut, maka ilmu itu akan pincang. Metode ilmiah setelah pengetahuan diberikan penjelasan rasional / deduktif, sebelum teruji secara empirik / induktif semua penjelasan tersebut hanyalah bersifat sementara, penjelasan sementara ini biasa kita sebut dengan istilah hipotesis. Sebenarnya kita dapat mengajukan hipotesis sebanyak-banyaknya sesuai dengan hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistik. Didalam terapan ilmiah, obyeklah yang menentukan metode dan bukan sebaliknya, metode menentukan obyek misalnya : ada pendapat bahwa suatu gejala yang tak bisa dikualifikasikan, tidak dapat dinilai sebagai suatu gejala yang dapat dipandang sebagai obyek studi ilmiah. Lain pendapat mengatakan bahwa suatu gejala yang tidak memungkinkan dilaksanakannya metode eksperimen, juga tidak dapat dijadikan obyek studi ilmiah.1tidak memungkinkan dilaksanakannya
B. Permasalahan 1
Fuad hassan dan koentjaraningrat, dalam (koentjaraningrat, 1997 : 7 – 9)
1. Apakah perbedaan antara metodologi dan metode ilmu? 2. Bagaimanakah pengaruh metodologi dan metode keilmuan dari Ilmu Tauhid Amali dalam laju dunia ilmu?
C. Pembahasan 1. perbedaan antara metodologi dan metode ilmu Istilah metode berasal dari bahasa Yunani (meta = sepanjang dan hodos = jalan) di atas memang berarti jalan menuju: oleh karena itu, menurut Menne. Yang dimaksud dengan metode ialah prosedur atau cara, yang dengannya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dapat dicapai secara efektif. Sebagai bagian utuh dari proses alih keberagamaan masa rasul ke masa modern ini, ilmu tauhid amali harus menerima posisi Al – qur’an dan sunnah. Penolakan terhadapnya akan dengan sendirinya menggugurkan status sebagai pemeluk ajaran islam dan mengubah status perilaku iman. Al – qur’an dan sunnah didudukkan sebagai sumber pertama dan utama dalam metode ilmu ini. Kitab suci Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang – orang bertakwa.2 Pengertian yang perlu didalam kosa kata “ petunjuk” adalah unsur sebagai sumber dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh orang beriman. Pengertian sumber ini berarti didalamnya ditemukan bahan – bahan yang diperlukan oleh Ilmu Tauhid Amali, agar memenuhi fungsinya sebagai pendukung proses alih keberagamaan. Disini diperlukan tafsir dengan metode yang dapat diterima, dan terutama adalah tafsir dengan metode yang memungkinkan pengembangan pemahaman, mengembangkan potensi ilmu tersebut3. Diantara ragam metode ilmu tafsir yang memiliki potensi adalah tafsir Al – ilmi, disamping metode – metode lainnya. Melalui metode tafsir ini posisi Al – Qur’an dan sunnah sebagai sumber kebenaran bagi Ilmu Tauhid Amali dapat semakin dikembangkan dengan telaah tentang struktur logis dari ayat dan proposisi yang terkandung didalamnya. Sedangkan pengertian metodologi ilmu adalah ilmu mengenai metode. Dalam pengertian yang lebih luas, metodologi membahas prosedur intelektual dalam totalitas komunitas ilmiah. munculnya metode maupun metodologi keilmuan yang berbeda untuk ikut berkontestasi dalam mengembangkan suatu disiplin keilmuan dirasa lebih berguna. 2 3
(Rasyid Ridho, 1987 :87). (muslim. Kadir, 2003 : 89)
Konsekuensinya, apapun hipotesis maupun teori yang digunakan, baik itu rasional maupun yang paling tidak masuk akal, harus diakui secara sebagai sebuah bagian dari metodologi keilmuan. Kemudian tolak ukur keberhasilan dari teori-teori yang baru tersebut tidak harus selalu mengekor teori lama, ataupun harus mengacu kepada suatu bentuk yang dianggap mendekati sempurna. Kemunculan teori-teori baru itupun sudah dianggap sebagai kemajuan karena memang sangat sulit untuk memunculkan paradigmaparadigma lain dengan berbagai faktor akademis maupun budaya dan politik yang ikut mengekang jalannya suatu keilmuan. “Ada pemisahan antara negara dan agama, tapi tidak ada pemisaha antara negara dan ilmu pengetahuan.”.4 2. Pengaruh Metodologi dan Metode Keilmuan dari Ilmu Tauhid Amali dalam Laju Dunia Ilmu Kerangka berfikir dan metodologi klasik yang tekstualistik dan mengalami proses mistifikasi, untuk masa kini tampaknya tidak lagi diharapkan mampu memberikan jawaban pemecahan atas berbagai persoalan kehidupan yang senantiasa berjalan bersama dengan proses perubahan kehidupan yang terus bergulir. Realitas yang tak terbantahkan menunjukkan bahwa produk-produk pemikiran tradisional kaum muslimin tidak mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Keadaan ini seharusnya menyadarkan kaum muslimin untuk menelaah kembali tradisi pemikiran mereka secara kritis. kaum muslimin harus membangun kembali konstruksi keilmuan dan metodologinya sebagaimana yang pernah dimiliki.. Ilmu-ilmu Islam harus dikembangkan untuk dapat memasuki wacana-wacana kontemporer dengan menggunakan metodologi yang relatif lebih sesuai dengan perkembangan modernitas dan intelektualitas manusia modern. Beberapa metode yang pernah digunakan kaum muslimin awal sudah waktunya untuk digali dan diaktualisasikan kembali. Pertama adalah cara pandangan dikotomistik antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum harus sudah diakhiri,. Kedua, pandangan-pandangan yang selama ini berkembang bahwa “ijtihad” telah tertutup dan tidak mungkin ada lagi orang yang mampu menandingi kwalifikasi intelektual generas awal, juga perlu ditinjau kembali. Untuk hal ini tentu saja dituntut kesediaan dan keberanian kaum muslimin untuk melakukan kerja-kerja intelektual yang mampu menerobos kebuntuan-kebuntuan dinamika kaum muslimin. 4
Paul Feyerabend,
Feyerabend%20dan%20Anarkhisme%20Metodologi%20«%20SAV%20Independent%20Voice.htm
Produk – produk penemuan ilmiyah berikut metodologinya pada dasarnya bukanlah sesuatu yang eksklusif. Penemuan ilmu pengetahuan pada dasarnya berlaku bagi siapa saja dan di mana saja. Setiap penemuan ilmiyah oleh siapapun, terlepas dari latarbelakangnya, sepanjang dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia, harus dapat diapresisasi oleh kaum muslimin dan dipandang sebagai produk-produk yang Islami. Kedua adalah pendekatan empiris. Pendekatan ini menunjukkan realitas sebagai kebenaran yang tidak dapat diingkari. Al Syafi’i, pendiri mazhab fiqh, telah menggunakan metode ini untuk keputusan-keputusan fiqhnya, misalnya ketika ia melakukan penelitian untuk menentukan masa haid dan kedewasaan seseorang. Dalam wacana fiqh, metode ini dikenal dengan sebutan “istiqra”. Metoda ini dapat digunakan bukan hanya untuk disiplin ilmu-ilmu alam dan pasti tetapi juga untuk untuk disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora. Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan : “al haqiqah fi al a’yan la fi al zhan” (hakikat kebenaran terletak pada wilayah realitas-empiris dan bukan pada wilayah spekulasi intelektual). Pengakuan atas kebenaran realitas empiris juga dikemukakan oleh Al Razi al Syafi’i. Ia mengatakan :”Secara jujur harus dikatakan bahwa kebenaran makna teks harus didasarkan pada bukti-bukti empiris dan sumber-sumber yang “mutawatir”. Ketiga, sumber-sumber otoritas keagamaan perlu dikaji dan dianalisis melalui pendekatan konteks bahasa (al siyaq al lisani), konteks sejarah social (siyaq al zhuruf wa al ahwal al ijtima’iyah) dan kebudayaan (siyaq al ahwal al madaniyah) ketika teksteks tersebut diturunkan atau disampaikan. Pendekatan ini menjadi sangat penting untuk dapat memahami teks secara benar. Sebab tidak satu tekspun yang dapat melepaskan diri dari kondisi-kondisi, ruang dan waktu. Ia tidak mungkin diturunkan atau disampaikan dalam ruang yang hampa. Teks bagaimanapun diarahkan kepada orang baik secara individual maupun kolektif dalam nuansa-nuansa, zaman dan tempat tertentu. Konsekwensi logis dari pendekatan ini adalah bahwa keputusan ilmiyah pada suatu masa dan suatu tempat tidak bisa selalu relevan dengan tempus dan lokus yang lain.
Tidak dapat diingkari siapapun bahwa alam selalu
memperlihatkan perubahan-perubahan yang tidak pernah berhenti. Dalam arti lain kehidupan manusia selalu dalam proses perubahan yang terus menurus, sebuah proses yang dinamis. Pendekatan teks melalui konteks kesejarahan dewasa ini dikenal dengan istilah pendekatan kontekstual.
Keempat, kaum muslimin tidak seharusnya menutup diri dari pikiran-pikiran dan produk-produk ilmiyah orang lain hanya karena mereka berbeda agama, jika ia memang bermanfaat. Sikap eksklusif adalah bertentangan dengan norma ilmu pengetahuan. Watak ilmu pengetahuan adalah terbuka bagi siapa saja dan di mana saja. Pada sisi lain sikap ini juga tidak sejalan dengan anjuran Nabi Muhammad saw yang menyatakan :”uthlubu al ‘ilma wa lau bi al shin” carilah ilmu pengetahuan walaupun di negeri Cina. Nabi juga menyatakan : “Al Hikmah dhallah al Mukmin Haitsu ma wajada al mukmin dhallatah falyujmi’ha ilaihi” (ilmu pengetahuan adalah barang yang hilang dari tangan kaum muslimin. Maka jika dia menemukannya hendaklah dia mengambilnya kembali”. Di sinilah tugas kaum muslimin sekarang; mengambil kembali supermasi ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki di manapun dia melihatnya di Timur maupun di Barat, dan bukannya menutup diri atau bahkan menolaknya hanya karena mereka adalah ”the others”.
3. Kesimpulan metode ialah prosedur atau cara, yang dengannya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dapat dicapai secara efektif. Sedangkan pengertian metodologi ilmu adalah ilmu mengenai metode. metode yang pernah digunakan kaum muslimin awal sudah waktunya untuk digali dan diaktualisasikan kembali. Pertama adalah cara pandangan dikotomistik antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum harus sudah diakhiri, Kedua adalah pendekatan empiris, pendekatan ini menunjukkan realitas sebagai kebenaran yang tidak dapat diingkari, Ketiga, sumber-sumber otoritas keagamaan perlu dikaji dan dianalisis melalui pendekatan konteks bahasa (al siyaq al lisani), konteks sejarah social (siyaq al zhuruf wa al ahwal al ijtima’iyah) dan kebudayaan (siyaq al ahwal al madaniyah) ketika teks-teks tersebut diturunkan atau disampaikan, Keempat, kaum muslimin tidak seharusnya menutup diri dari pikiran-pikiran dan produk-produk ilmiyah orang lain hanya karena mereka berbeda agama, jika ia memang bermanfaat.
4. Penutup
Demikian makalah yang dapat kami sampaiakan kurang lebihnya mohon di maafkan, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan, jika ada kesalahan mohon di ingatkan dan dibenarkan, sebagai perbaikan kami ke depan. Semoga apa yang tertera disini bisa membawa manfaat untuk kita semua dan bisa menambah wawasan kita semua dalam kompeterensi terkait. 5. Referensi ♠ Moh. Dzofir, M.Ag, Ulya, M.Ag, Adri Efferi, M.Ag, Ilmu Tauhid Amali, proyek peningkatan Perguruan Tinggi Agama Islam/STAIN Kudus ♠ Soegeng Hardiyanto, Metodologi Keilmuan:Pengenalan Awal Sebuah Pemahaman ♠ Husein Muhammad, Mengambil Kembali Keilmuan Islam yang Hilang, Tuesday, 21 October 2008, (fahmina%20institute%20cirebon%20%20Mengambil%20Kembali%20Keilmuan%20Islam%20yang%20Hilang .htm) ♠ Feyerabend dan Anarkhisme Metodologi (Feyerabend%20dan%20Anarkhisme%20Metodologi%20«%20SAV%20I ndependent%20Voice.htm)