Makalah Idk.docx

  • Uploaded by: Bella Desriani
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Idk.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,946
  • Pages: 30
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eutanasia merupakan upaya untuk mengakhiri hidup orang lain dengan tujuan untuk menghentikan penderitaan yang dialaminya karena suatu penyakit atau keadaan tertentu. Dijaman modern ini, tercatat telah banyak sekali

kasus-kasus

eutanasia,

baik

yang

terekspos

maupun

yang

tersembunyikan. Terdapat dua unsur utama yang menjadikan eutanasia menjadi bahan perdebatan yang sengit di kalangan dokter dan bahkan masyarakat umum.Yang pertama, eutanasia jelas-jelas suatu tindakan yang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, namun selain itu justru alasan dilakukannya eutanasia adalah untuk menghindarkan pasien dari rasa sakit atau penderitaan yang dianggap terlalu menyiksa. Di beberapa Negara di dunia, eutanasia merupakan suatu tindakan yang dilegalkan, sehingga seorang dokter memiliki kewenangan untuk menjalankan prosedur eutanasia,namun tentu saja dengan seijin pihak keluarga dan melalui prosedur perijinan yang sangat ketat. Sedangkan di beberapa Negara yang lain, pelaku eutanasia ditangkap karena dianggap melakukan tindakan yang melanggar hukum. Saat ini terdapat banyak Negara yang melarang penyelenggaraan eutanasia, namun masih banyak pula dokter-dokter yang tetap melakukan eutanasia, baik yang diketahui

maupun

tidak,

dengan

berbagai

alasan.

Kampanye

anti

eutanasiapun banyak kita lihat di situs-situs internet, hal ini menunjukkan bahwa praktek eutanasia memang masih kerap terjadi. Dalam makalah ini, akan dipaparkan lebih jauh tentang eutanasia, mengenai pengertiannya, sejarahnya, pendapat-pendapat seputar eutanasia dan juga pandangan beberapa Negara dan beberapa Agama tentang penerapan eutanasia serta hukum terkait eutanasia.

1

1.2RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah yang dapat kami angkat yaitu : 

Apa yang dimaksud dengan euthanasia?



Apa saja macam-macam euthanasia?

1.3 TUJUAN Adapun tujuan ditulisnya makalah ini, yaitu :    

Pembaca mengetahui pengertian dari eutanasia? Pembaca mengetahui apa saja jenis-jenis eutanasia yang pernah dilakukan? Pembaca mengetahui bagaimana sejarah penerapan eutanasia? Pembaca mengetahui bagaimana hukum eutanasia pada beberapa Negara di dunia?

2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH EUTHANASIA 

Pengertian Euthanasia Eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu eu yang artinya "baik"dan thanatos yang berarti“kematian” adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya. Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaandari individu yang akan mengakhiri hidupnya. Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.

3

Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara bagian.Setelah masa Perang Saudara,beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela. Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk diInggris pada tahun 1935 dan diAmerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif,walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris. Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss

sepanjang

pasien

yang

bersangkutan

tidak

memperoleh

keuntungan dari padanya. Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan". Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu "program" eutanasia terhadap anakanak di bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh,ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengannama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia. setelah perang dunia,Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia,terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika.

4

2.2 EUTHANASIA DITINJAU DARI SUDUT PELAKSANAANNYA Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu eutanasia agresif,eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif. 

Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.



Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.



Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan

memberhentikan

pemberian

bantuan

medis

yang dapat

memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia

berat,

meniadakan tindakan operasi

yang

seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat Penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian.

5

Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit. Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena Ketidaksaanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yangtidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa" Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.

2.2 EUTHANASIA DITINJAU DARI SUDUT PEMEBERIAN IZIN Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu : 

Eutanasia di luar kemauan pasien : yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.



Eutanasia secara tidak sukarela : Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapa pun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus TerriSchiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.



Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasiensendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.

\

6

2.4 EUTHANASIA DITINJAU DARI SUDUT TUJUAN Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :  Pembunuhan berdasarkan belaskasihan (mercy killing)  Eutanasia hewan  Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain dari pada eutanasia agresif secara sukarela.

2.5 SYARAT DILAKUKANNYA EUTHANASIA Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral dan kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata dan sungguhsungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda dan di negara bagian Oregon-Amerika Serikat. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain: a)

Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit dan tidak dapat diobati misalnya kanker.

b)

Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil dan tinggal menunggu kematian.

c)

Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.

d)

Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan Euthanasia. Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan. Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa‟, tidak mungkin menerima tindakan “euthanasia aktif”.

7

Mengenai “euthanasia pasif” merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah. (Fadli: 2000)

2.6 ASPEK- ASPEK DALAM EUTHANASIA a) Aspek Hukum Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, & tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia dewasa dan sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati”.

8

Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit masih memiliki pandangan serta kebijakan yang berlainan. Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya

biasa

dikatakan

sebagai

pasal

pembunuhan

yang

direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut „concursus idealis‟ yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa: Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturanaturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas „lex specialis derogat generalis‟, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum. b. Aspek Hak Asasi Hak Asasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

9

C.Aspek Ilmu Pengetahuan Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan

untukmendapat

kesembuhan ataupun pengurangan

penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya. Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya keuangan. D.Aspek Agama Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan dan bukan hak manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan.Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendakieuthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa dan putus asa tidak berkenan di hadapan Tuhan. Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar dan tentunya sangat tidak ingin mati dan tidak sedang dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini.

10

Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya. Kalau memang umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya melawan kehendak Tuhan. Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan hukum positif. Sebab didalam hukum agama juga terdapat dimensidimensi etik & moral yang juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara. (Ismail: 2005)

2.7 EUTHANASIA DI INDONESIA Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia? Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of self determination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat disimpangi oleh siapapun dan menuntut penghargaan serta pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.

2.8 EUTHANASIA DIBERBAGAI NEGARA  AMERIKA Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkanpasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi 11

disembuhkan) mengakhirihidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematianyang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang ini hanyamenyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yangdiwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas bolehminta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalamenam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana duakali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secaratertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungankeluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambilkeputusan

itu

tidak

berada

dalam

keadaan

gangguan

mental.Hukum juga mengatursecara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan,jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan dimasa depan,sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini.Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. BulanFebruari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll)menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya eutanasi.

 BELANDA Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002 ,yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasipraktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan taktersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formalEuthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatankriminal. Sebuah karangan berjudul "The

12

Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikutibeberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakankonsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokteruntuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansikehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasustertentu tidak akan dihukum.  BELGIA Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002.Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiaptahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini,namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini Sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian". Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dannegara bagian Oregon di Amerika ).Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusunrancangan undangundang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yangmenderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memilikihak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saatakhir hidupnya.

13

 INGGRIS Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasieutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secarasaksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukumdi kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British MedicalAssociation-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.  INDONESIA Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itusendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapapun. Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloekdalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yangdianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.

14

2.9

EUTHANASIA DALAM PANDANGAN AGAMA

Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai

aturan

Tuhan.

Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan

euthanasia,

apapun

alasannya.

Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar & melawan kehendak Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus

asa,

&

putus

asa

tidak

berkenan

di

hadapan

Tuhan.

Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, & tentunya sangat tidak ingin mati, & tidak sedang dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan

dengan

pernyataan

agama

yang

satu

ini.

Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya? Kalau memang umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan

sebagai

upaya

melawan

kehendak

Tuhan.

Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan hukum positif. Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara.

15

1. Euthanasia Menurut Agama Islam Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir almaut. Euthanasia merupakan suatu tindakan medis yang dilakukan secara sadar untuk mengakhiri suatu kehidupan untuk melepaskannya dari penderitaan yang tidak ada perlakuan/pengobatan yang memungkinkan. Masalah euthanasia merupakan satu diantara sekian banyak masalah etis yang dihadapi oleh profesi kedokteran. Jika kita berbicara tentang hak mutlak Tuhan atas kehidupan dan kematian, maka kita harus sadar kehidupan harusnya dianggap suci, artinya kita tidak berhak mengintervensi dalam bentuk apapun terhadap hak mutlak tersebut tanpa sebuah alasan yang kuat. Menurut agama Islam sendiri euthanasia memiliki berbagai pendapat dari segi diperbolehkannya atau tidak diperbolehkanyna melakukan tindakan euthanasia karena alasan-alasan tertentu. Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. a. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam? Hukum Euthanasia dalam syariah islam dapat di jawab menurut macamnya, yakni : 1) Euthanasia Aktif Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram,walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya Firman Allah SWT : Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-An’am : 151)

16

Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).(QS An-Nisaa` : 92) Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29). Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah : Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (QS Al-Baqarah : 178). Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan

memaafkan),

qishash

tidak

dilaksanakan.

Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), ataumemaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT : Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) (QS Al-Baqarah : 178) Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting,berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (AlMaliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113). Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan

17

kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepadaNya,yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.(HR Bukhari dan Muslim). 2) Euthanasia Pasif Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam? Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah). Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA) Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li aththalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul : Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab 18

“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (AnNabhani, 1953) Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat. Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW

lalu

berdoa

untuknya.

(HR

Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan

wajib

(Zallum,

1998:69).

Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak

berfungsi.

19

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak— hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500;

Utomo,

2003:182).

Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523). Menurut MUI ( Majlis Ulama’ Indonesia ) Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Lebih lanjut, KH Ma’ruf Amin ( Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ) mengatakan, euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat

khusus.

Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya dicabut alat medis perawatan, tetapi memang

harus

dimatikan.

Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan “euthanasia”, dia menjelaskan dalilnya secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputusasaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Dia mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang tidak terdapat secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. “Hak untuk mematikan seseorang ada pada Allah SWT,” ujarnya menambahkan. 2. Euthanasia Menurut Agama Hindu

20

Pandangan agama

Hindu terhadap

euthanasia

didasarkan

pada

ajaran

tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari “karma” yang buruk adalah menjadi penghalang “moksa” yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa merupakan prinsip “anti kekerasan” atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang didalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan “karma” buruk. Kehidupan manusia merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma” nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal 3. Euthanasia Menurut Agama Budha Euthanasia atau mercy killing baik yang aktif atau pasif tidak dibenarkan dalam agama Buddha karena perbuatan membunuh atau mengakhiri kehidupan seseorang ini, walaupun dengan alasan kasih sayang, tetap melanggar sila pertama dari Pancasila Buddhis. Perbuatan membunuh atau mengakhiri hidup seseorang ini sesungguhnya tidak mungkin dapat dilakukan dengan kasih sayang atau karuna. Orang yang memiliki kasih sayang tidak mungkin akan melakukan perbuatan mengakhiri hidup seseorang karena ia menyadari bahwa sesungguhnya hidup merupakan milik yang paling berharga bagi setiap makhluk. Ia yang memiliki kasih sayang tentu akan menghargai kehidupan setiap makhluk. Ia yang memiliki kasih sayang tentu selalu ingin berusaha untuk menghilangkan penderitaan makhluk lain, tetapi tentunya niat yang luhur ini diwujudkan dengan cara yang benar dan 21

tepat. Terhadap orang yang sedang sakit parah, ia akan mengusahakan secara maksimal agar orang tersebut dapat sembuh. Sesungguhnya orang yang ‘membunuh karena kasih sayang’ mempunyai ‘dosa citta’ atau pikiran kebencian karena ia sesungguhnya tidak senang melihat keadaan orang yang sedang menderita sakit itu. Ia tentu kesal dengan keadaan orangtuanya yang tidak kunjung sembuh dari penyakitnya. Ia kesal karena ia harus mengeluarkan biaya yang besar untuk pengorbanan orangtuanya itu. Mungkin untuk itu, ia harus meminjam uang ke sana ke mari yang nantinya harus dikembalikan. Ia merasa direpotkan dengan hal-hal semacam itu. Sang Buddha pernah bersabda sebagai berikut: “Orang itu, jika meninggal dunia pada saat itu, pasti tumimbal lahir di alam dewa, sebab batin orang itu tenang. Orang itu, jika meninggal dunia pada saat itu, pasti tumimbal lahir di alam neraka, sebab batin orang itu gelisah”. Dari sabda Sang Buddha tersebut di atas, jelas bahwa batin atau pikiran seseorang pada saat ia akan meninggal dunia sangat menentukan keadaan kehidupannya yang akan datang. Jika seseorang yang akan meninggal dunia itu mempunyai pikiran yang tenang dan penuh cinta kasih, maka ia akan terlahir kembali di alam yang menyenangkan. Namun, sebaliknya jika mempunyai pikiran yang tidak tenang dan penuh dengan kebencian, maka ia akan terlahir kembali di alam yang menyedihkan. Dalam hal ini, batin seseorang dapat tenang atau tidak menjelang saat kematiannya tentu tidak terlepas dari perbuatan yang pernah dilakukannya pada masa kehidupan lampau. Ada orang yang sakit parah itu meninggal dengan pikiran yang tenang. Namun, pada umumnya orang yang sedang menderita sakit itu mempunyai pikiran yang tidak tenang, kacau, gelisah, dan takut. Jadi kalau kita mengakhiri hidup orang yang sedang sakit itu, maka ini berarti kita menjerumuskannya ke alam yang menyedihkan. 4. Euthanasia Menurut Agama Kristen Katolik Gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral Gereja mengenai euthanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII tidak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, Paus Yohanes Paulus II prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik “Evangelium Vitae” (No. 64) memperingatkan kita agar melawan “gejala 22

yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian’. Katekismus Gereja Katolik (No 2276-2279) memberikan ikhtisar penjelasan ajaran Gereja Katolik. Mengenai masalah ini, prinsip-prinsip berikut mengikat secara moral: Pertama, Gereja Katolik berpegang teguh bahwa baik martabat setiap individu maupun anugerah hidup adalah kudus. Kedua, setiap orang terikat untuk melewatkan hidupnya sesuai rencana Allah dan dengan keterbukaan terhadap kehendak-Nya, dengan menaruh pengharapan akan kepenuhan hidup di surga. Ketiga, dengan sengaja mengakhiri hidup sendiri adalah bunuh diri dan merupakan penolakan terhadap rencana Allah. Eutanasia secara harfiah diterjemahkan sebagai kematian yang baik atau kematian tanpa penderitaan, adalah “tindakan atau pantang tindakan menurut hakikatnya atau dengan maksud sengaja mendatangkan kematian, dengan demikian menghentikan setiap rasa sakit” (Declaratio de Euthanasia). Dengan kata lain, eutanasia menyangkut mengakhiri hidup dengan sengaja melalui suatu tindakan langsung, seperti suntik mati, atau dengan suatu pantang, seperti membiarkan kelaparan atau kehausan. Perlu dicatat bahwa eutanasia biasa dikenal sebagai “membunuh karena kasihan”; istilah ini paling tepat sebab tindakan yang dilakukan bertujuan untuk membunuh dengan sengaja, tak peduli betapa baik tujuannya, misalnya, untuk mengakhiri penderitaan. Para Uskup Gereja Katolik mengukuhkan bahwa eutanasia itu pelanggaran berat hukum Allah, karena berarti pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moril tidak dapat diterima” (Evangelium Vitae, No. 65). Pasien atau wali dalam kasus pasien tidak sadarkan diri berhak menolak secara tulus atau mengakhiri prosedur-prosedur luar biasa tersebut, yang tidak lagi menjawab situasi nyata pasien, tidak menawarkan manfaat yang proporsional, tidak menawarkan pengharapan yang masuk akal akan manfaatnya, yang mendatangkan beban teramat berat bagi pasien maupun keluarga, atau sekedar karena “kegagahan”. Keputusan yang demikian adalah yang paling tepat apabila kematian jelas di ambang pintu serta tak terhindarkan. Di sini, orang dapat menolak bentuk-bentuk perawatan yang hanya sekedar memperpanjang hidup dengan disertai resiko dan beban berat. Dalam kasus-kasus demikian, orang dapat menyerahkan diri ke dalam tangan kasih Tuhan dan bersiap diri meninggalkan dunia ini, sembari mempertahankan sarana-sarana perawatan kesehatan biasa. Sebagai contoh ada orang yang menghadapi ajal karena prostrate yang telah menjalar keseluruh tubuhnya. Terakhir kali saya menjenguknya di rumah sakit, ia telah dalam

23

keadaan koma. ia makan lewat selang makanan dan bernapas lewat respirator. Ia mengalami gagal ginjal pula. Para dokter menyampaikan kepada keluarga bahwa tak ada lagi yang dapat mereka lakukan dan bahwa situasinya tak dapat berubah. Hingga tahap itu, teknologi medis tak dapat memberikan pengharapan kesembuhan atau manfaat, melainkan hanya sekedar menunda proses kematian. Keluarga memutuskan untuk menghentikan respirator, yang sekarang telah menjadi sarana luar biasa, dan beberapa menit kemudian oaring tersebut pun pergi menjumpai Tuhan-nya. Tindakan ini secara moral dibenarkan dan dibedakan dari tindakan mengakhiri hidup secara sengaja. 5. Euthanasia Menurut Agama Kristen Protestan Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya : Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : ” penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut”. Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan

dan hidrasi sebagai

suatu

perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi. Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik. Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.

24

Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah “bunuh diri” dan “pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut “kekudusan kehidupan” sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.

25

2.10 EUTHANASIA DALAM PANDANGAN MEDIS

Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.” Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya. Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungksi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu. Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu 26

tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis

27

BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu eu yang artinya "baik" dan thanatos yang berarti “kematian” adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya. Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan. Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu eutanasia agresif,eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.  Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebutadalah tablet sianida.  Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkuta . 28



Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkahlangkah aktif untuk mengakhiri kehidupan

seorang

pasien.

Eutanasia

pasif

dilakukan

dengan

memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat Penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupunpihak keluarga yang menghendakikematian seseorang, misalnya

akibat

keputusasaan

keluarga

karena

Ketidaksaanggupan

menanggungbeban biaya pengobatan. Padabeberapa kasus keluarga pasien yangtidak mungkin membayar biayapengobatan, akan ada permintaandari pihak rumah sakit untukmembuat "pernyataan pulang paksa" Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiahsebagai upaya defensif medis.

3.2

SARAN Eutanasia merupakan suatu tindakan yang kontroversial, disatu sisi, ada niatan baikuntuk membantu menghentikan penderitaan pasien, disisi lain, bagaimanapun eutanasia merupakan suatu praktik menghilangkan nyawa orang lain atau hewan. Saran kami, pembaca lebih banyak lagi mengkaji terkait dengan isu euthanasia ini, sehingga dapat memandang eutanasia secara holistic dan menanggapi fenomena euthanasia ini secara bijaksana.

29

DAFTAR PUSTAKA

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Eutanasia https://akademikita.blogspot.co.id/2016/10/etika-keperawataneuthanasia.html?m=1 http://nerseducation.blogspot.co.id/2012/02/etika-keperawataneutanasia-etika.html?m=1

30

Related Documents

Makalah
June 2020 40
Makalah
July 2020 39
Makalah
October 2019 94
Makalah
July 2020 62
Makalah
November 2019 85
Makalah
October 2019 95

More Documents from ""