Makalah Hukum Pemerintahan Pusat.docx

  • Uploaded by: Hinggil Drajad
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Hukum Pemerintahan Pusat.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,448
  • Pages: 16
MAKALAH HUKUM PEMERINTAHAN PUSAT

KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DAN UPAYA MENGHIDUPKAN GBHN

DISUSUN OLEH:

Parulian Aditya (160512548) Benediktus Gusti (160512557) Hinggil Drajad P (160512574) Nicole Danang (160512577)

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA Fakultas Hukum 2019

I. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan ini terdiri dari dua bentuk, yaitu membagi kekuasaan yang ada kepada tugas lembaga negara dan pembagian kekuasaan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Pembagian kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara ada tiga, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan salah satu lembaga tinggi Negara yang memiliki peran yang sangat penting. Bersama dengan lembaga DPR, MPR merupakan lembaga yang menampung suara rakyat dan merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan legislatif di Negara Indonesia. Hal ini berarti MPR memiliki fungsi untuk membuat dan juga menyusun undang-undang, yang dapat menyuarakan suara rakyat, sehingga dapat memunculkan suatu peraturan perundang-undangan baru yang dapat mengayomi kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia secara luas dan umum. Selain didaulat untuk memiliki fungsi sebagai lembaga legislatif yang memiliki peran besar dalam memajukan operasional pemerintahan, MPR juga memiliki beberapa tugas dan juga wewenang tersendiri, yang tentu saja merupakan salah satu tugas berat yang dimiliki oleh MPR sebagai lembaga legislatif di Indonesia. UUD (grodwet) sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:

(1)

hasil

perjuangan

politik

bangsa

yang

lampau,

(2)

tingkat-tingkat

tertinggiperkembangan ketatanegaraan bangsa, (3) pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendakdiwujudkan, (4) suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin1. Dalam UUD 1945 berisi tentang wewenang dan kedudukan Majelis Permusyawaratan (MPR). Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan lembaga tertinggi Negara yang mengalami perubahan struktur ketatanegaraannya setelah adanya amandemen UUD 1945. Perubahan pada MPR sangat jelas terlihat pada amandemen UUD 1945 yang pertama hingga amandemen keempat. Dalam perubahan UUD 1945, MPR tetap dipertahankan keberadaannya dan diposisikan sebagai lembaga negara, namun kedudukannya bukan lagi sebagai lembaga tertinggi tetapi sebagai lembaga Negara yang sejajar posisinya dengan lembaga-lembaga Negara 1

Syafruddin Muhtamar, et all. Relevansi Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Amanat Konstitusi,Konsentrasi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin.

yang lain. Tugas dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam UU nomor 17 tahun 2014 dan Pasal 3 UUD 1945 yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hokum dasar Negara yang mengatur hal-hal penting dan mendasar. Oleh karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaituUndang-Undang Dasar mempunyai keterkaitan yang erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang semula berposisi sebagai lembaga tertinggi Negara menjadi sama posisinya dengan lembaga-lembaga Negara yang lain. Kesamaan posisi dari lembaga-lembaga Negara yang ada menunjukkan adanya kewenangan satu dengan yang lain pada tugasnya masing-masing yang tidak dapat saling menjatuhkan satu terhadap yang lain. Dalam posisi yang demikian nampaknya kewenangan MPR menjadi lebih sempit dan kurang strategis serta sangat terbatas, karena apa yang menjadi kewenangannya ditegaskan dalam beberapa pasal yang ada dalam Perubahan UUD 1945 hanyalah satu kewenangan rutin yang dilakukan sekali dalam lima tahun sebagai kewenangan penetapan semata, sedangkan kewenangan yang lain berupa kewenangan incidental yang muncul seandainya ada kejadiankejadian yang sifatnya penyimpangan. Fungsi MPR sebelum dan sesudah adanya amendemen UUD 1945 tetap sama seperti berikut: 

MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat mengawasi jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan eksekutif agar kekuasaan pemerintah tidak menindas rakyat. Dengan demikian, kekuasaan MPR tidak dijalankan secara sewenangwenang.



Sebagai pemegang kekuasaan legislatif untuk menjalankan keinginan rakyat yang diinterpretasikan dalam undang-undang dan sebagai pembuat UUD.

Dalam hal ini, tugas dan wewenang MPR yang di atur dalam Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 : 1. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Artinya bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam mengubah Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Melantik Presiden dan Wakil Presiden. Artinya bahwa MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR. Sebelum reformasi, MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan suara terbanyak, namun sejak reformasi bergulir, kewenangan itu dicabut sendiri oleh MPR. 3. Memutuskan

usul

DPR

berdasarkan

putusan

Mahkamah

Konstitusi

untuk

memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. 4. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, atau diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya. 5. Memilih dan melantik Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari. 6. Memilih dan melantik Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik yang paket calon presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari. 7. Menetapkan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik. 8. Memilih dan menetapkan Pimpinan Majelis. 9. Membentuk alat kelengkapan Majelis. Selain itu anggota MPR juga memiliki beberapahakdan kewajibanuntuk para anggotanya. Berikut hak anggota MPR yang diatur dalam pasal 10 UU nomor 17 tahun 2014 : 1. Mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan.

Hak ini merupakan hak dasar yang ada pada anggota MPR. Mereka berhak menentukan sendiri sikap dan pilihan mereka, dengan tidak melanggar aturan yang berlaku. 3. Memilih dan dipilih. Anggota MPR diberikan hak oleh Negara untuk memilih siapapun yang telah memenuhi syarat untuk menjadi pimpinan MPR. Hak untuk dipilih menjadi pimpinan juga terdapat pada anggota MPR. 4. Membela diri. Hak membela diri ialah hak yang diberikan agar para anggota MPR dalam menjalankan tugas yang penuh dengan aturan hukum. 5. Imunitas. Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan atau pendapat yang dikemukakan baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidang atau rapat MPR ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR. Namun, hak imunitas tidak berlaku dalam hal anggota MPR mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 6. Protokoler. Hak protokoler adalah hak anggota MPR untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya, baik dalam acara kenegaraan, dalam acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya. 7. Keuangan dan administratif. Dan berikut kewajiban anggota MPR yang diatur dalam pasal 11 UU nomor 17 tahun 2014 : 1. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila. 2. Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan. 3. Memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika; 4. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5. Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. 6. Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah

II. PERMASALAHAN

Sebelum adanya amandemen UUD 1945 MPR sebagai lembaga tertinggi negara diberi kekuasaan tak terbatas dan MPR adalah yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden. Sesuai dengan bunyi pasal 3 ayat (1) UUD 1945 sebelum diamandemen “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan GarisGaris Besar dari pada Haluan Negara”. Sesudah Perubahan UUD 1945, kewenangan MPR meliputi2 : 

Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;



Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;



Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.

Dalam struktur ketetanegaraan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan, MPR sebagai lembaga Negara tertinggi menetapkan kebijakan tentang garisgaris besar haluan Negara dan melalui garis-garis besar haluan Negara ini pemerintahan dijalankan, yang kemuadian disingkat menjadi GBHN. Garis-garis besar haluan Negara merupakan pedoman pemerintah (Presiden) dalam menjalankan roda pemerintahan. Jadi Presiden dalam menjalankan pemeritahan berpedoman pada garis-garis besar haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR. Apabila Presiden melanggar garis-garis besar haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR, maka Presiden dapat diberhentikan oleh MPR. Hal ini dianggap wajar sebab Presiden adalah mandataris MPR, maksudnya MPR memberikan mandate kepada Presiden untuk menjalankan pemerintahan, bila Presiden melanggar mandate yang diberikan oleh rakyat maka rakyat dapat memberhentikan Presiden. Akan tetapi setelah perubahan UUD, MPR juga tidak lagi memiliki kewenangan menetapkan GBHN dan tidak lagi mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR), kecuali berkenaan dengan menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi 2

Dyah Silvana Amalia. “Politik Hukum Dalam Pembangunan Hukum Nasional”, Jurnal Online

Universitas Abdurachman Saleh Situbondo (Maret,2013).

kekosongan Wapres, atau memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama. Saat ini, MPR lebih banyak berperan pada fungsi legislative yang mengawasi kegiatan eksekutif, yang dalam hal ini adalah presiden dan juga wakil presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah amandemen, MPR berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK. Untuk saat ini tidak ada yang berwenang untuk membuat atau menetapkan GBHN karena hukum atau undang-undang tidak memberikan wewenang untuk berbuat itu. Berbeda dengan dulu pada saat orde lama dan orde baru masih terdapat lembaga negara yang berwenang untuk membuat GBHN, yaitu MPR berdasarkan pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945. Setelah diamandemen MPR tidak lagi berwenang membuat GBHN karena pada saat itu MPR merupakan suatu lembaga tertinggi yang seharusnya MPR tersebut sejajar dengan lembaga negara lainnya. GBHN sebagai upaya merumuskan agenda pembangunan bangsa secara berkelanjutan jelaslah sangat diharapkan sebagai sebuah visi bangsa. Visi bangsa yang bersifat visioner. Apalagi dalam upaya mewujudkan penyelarasan system perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Lebih lanjut, terkait GBHN sebagai bagian dari visi bangsa haruslah tidak menyimpang dari semangat proklamasi kemerdekaan. Sebagai visi bangsa GBHN haruslah mencakup berbagai aspek dari pembangunan bangsa, baik di bidang sosial, budaya, politik, hokum dan ekonomi. Dengan kata lain, GBHN sebagai visi bangsa haruslah mencakup upaya pengembangan sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan sumberdaya budaya. Berbagai karakteristik dari cirri bangsa Indonesia harus dapat disatukan dari berbagai macam keberagaman. Seperti nyata bahwa bangsa ini adalah bangsa yang pluralistik. Yang tertulis dalam GBHN adalah sebuah wacana tentang haluan pembangunan negara republik indonesia yang dibuat MPR lalu dilaksanakan dengan sebaik baiknya oleh presiden. Isi wacana yang sudah tersemat didalam GBHN tidak diperbolehkan bersimpangan atau bertentangan dan berbeda tujuan dengan UUD 1945. Proses berjalannya pembangunan nasional harus didukung, disemangati dan dibantu oleh menteri menteri yang telah di beri mandat dan kepercayaan oleh presiden. GBHN di rancang dan disahkan oleh MPR melalui keputusan daan ketetapaan MPR yang sebelumnya telah mempunyai tujuan utama yaitu memperhatikan,

mensejahterakan

dan memberi solusi terbaik untuk segala bentuk masalah yang terjadi

dimasyarakat indonesia secara menyeluruh. Pada GBHN 1978 terdapat penambahan substansionalpada pola dasar pembangunan nasional, yaitu3 : 1. Asas GBHN 1973, yaitu asaskeimanandanketakwaan, asas manfaat, asas demokrasi, asas adil dan merata, asas keseimbangan, ditambah dua asas yaitu asas hukum dan asas kemandirian, (dan pada GBHN 1993 bertambah lagi dengan asas kejuangan, asas ilmu pengetahuan dan teknologi: seluruh asas menjadi 9). 2. Modal dasar GBHN 1973 adalah kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia, jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, wilayah nusantara, kekayaan alam, penduduk, rohaniah dan mental, budaya bangsa, potensi dan kekuatan efektif bangsa (antara lain Golongan Karya), ditambah ABRI sebagai kekuatan pertahanan keamanan. 3. Faktor Dominan GBHN 1973 adalah kependudukan dan sosial budaya, wilayah, sumber daya alam, kualitas manusia Indonesia, disiplin nasional, manajemen nasional, perkembangan nasional, kemungkinan pengembangan. 4. Konsepsi Ketahanan Nasional disamping konsep Wawasan Nusantara sebagai acuan pembangunan nasional. Dalam GBHN 1978 ditekankan akan pentingnya upaya: pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, pembangunan politik untuk kesadaran berbangsa dan bernegara serta mewujudkan pemerintah yang bersih dan berwibawa, menciptakan suasana kemasyarakatan, koperasi sebagai salah satu bentuk badan usaha. Selain Landasan atau Asas juga terdapat fungsi dari GBHN. Berikut adalah beberapa fungsi GBHN4 : A. Sebagai visi dan misi rakyat indonesia yang ditujukan untuk rencana pembangunan nasional dimana proses pembangunan yang akan dijalankan harus sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat secara merata adil dan makmur. 3

Minto Rahayu. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan : Perjuangan Menghidupi Jati Diri Bangsa. Jakarta: Grasindo. 4 M. Ilham Dwi Putranto. Implikasi dari penghidupan GBHN dalam ketatanegaraan Indonesia. Academia.edu

B. Sebagai tata cara, perilaku, cara bertindak dan cara pemersatu di dalam pembangunan nasional tanpa lagi melihat perbedaan suku, agama dan ras. C. Sebagai landasan penting untuk menentukan arah dan tujuan yang tepat sasaran yaitu mewujudkan masyarakat indonesia yang lebih demokratif, saling melindungi dan membela hak asasi manusia selama tidak merugikan pihak lain, berkeadilan sosial, menjalankan serta menegakkan supremasi hukum didalam kehidupan bermasyarakat, berbudaya dalam kurun waktu lima tahun kedepan dan lima tahun selanjutnya. D. Sebagai arah dan pondasi kuat serta strategi pembangunan nasional untuk menjadikan masyarakat indonesia sebagai masyarakat yang makmur, bersatu dan saling gotong royong demi terwujudnya cita cita yang berdasarkan paancasila. E. Pembanguanan nasional yang dilaksanakan hanya semata mata dari rakyat, oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Pelaaksanaannya mencakup beberapa aspek penting yaitu aspek kehidupan berbangsa, politik, sosial budaya, pertahaanan keamanan dan ekonomi, dimana dilakukan dengan memperkuat manfaat dari sumber daya manusia, sumber daya alam dan memperkuat ketahanan nasional secara merata. F. Pembangunan yang dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir batin masyarakat indonesia, mencapai kemajuan disegala bidang yang saling menguntungkan, terciptanya rasa aman, keadilan, saling menghargai, menyayangi, menciptakan lingkungan yang tentram dan menjamin rakyatnya untuk mengeluarkan pendapat. G. Sebagai pemersatu antara pemerintah dan masyarakat, agar terwujud saling mendukung, saling bekerja sama, saling melengkapai dan saling bersatu didalam satu tujuan demi terwujudnya pembangunan nasional yang adil dan makmur. H. Sebagai penguat tegaknya kedaulataan masyarakat indonesia disegala bidang dan aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. I. Sebagai pedoman untuk mewujudkan pengamalan, pelaksanaan dan pendukungan penuh terhadap ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat agar tercipta rasa iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa demi persatuan seluruh indonesia yang hidup saling bertoleransi, rukun, damai dan sejahtera seperti pada fungsi pancasila. J. Sebagai perisai untuk menghadang segala pengaruh globalisasi yang masuk kedalam NKRI (negara kwesatuan republik indonesia) yang diharapkan masyarakat mampu hidup dengan cara bersosial budaya yang memakai kepribadian yang kreatif, berfikiran positif

kedepan, dinamis dan dapat menimbang manfaat serta kerrugian dari masuknya pengaruh dari luar.

III. ANALISIS Untuk kembali memberlakukan GBHN diperlukan tahap yang bias dibilang tidak mudah. Namun yang menjadi permasalahan adalah lembaga Negara mana yang akan diberi wewenang untuk membuat GBHN tersebut, apakah tetap seperti dulu yaitu MPR atau member lembaga lain wewenang untuk itu atau membuat lembaga baru yang berwenang untuk itu. Tarik ulur terjadi mengenai kedudukan dan kewenangan MPR ini dalam perdebatan para perumus amandemen konstitusi sangatlah bervariasi, beragam keyakinan dari berbagai fraksi yang status quo terhadap kedudukan MPR sebagai pengejawantahan kedaulatan rakyat ditanggapi sebagai usaha untuk tetap mempertahankan MPR sebagai keunikan yang dimiliki oleh Indonesia dalam susunanan kelembagaan negara5. Pemikiran untuk menghadirkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara, dalam system ketatanegaraan Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Ketiadaan GBHN juga menyebabkan perencanaan pembangunan hanya tergantung pada visi misi presiden terpilih selama berkampanye. Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum amandemen sebagai lembaga tertinggi penjelmaan sepenuhnya kedaulatan rakyat telah mengalami perubahan pasca amandemen, pemangkasan kewenangan MPR yang semula berwenang untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara memposisikan MPR sebagai lembaga pendistribusi kedaulatan rakyat yang dianggap telah habis diberikan seluruhnya kepada MPR untuk kemudian mendistribusikan kewenangan tertentu kepada lembaga-lembaga tinggi Negara lainnya. Karena menurut kelompok kami, pada dasarnya konsep dasar negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila yang berintikan kekeluargaaan dan kebersamaan adalah negara yang beraliran integralistik. Pancasila bersifat integralistik, hal ini dikarenakan Pancasila mengandung seangat gotong royong dan kekeluargaan dalam kebersamaan, memelihara persatuan dan kesatuan dan mengutamakan musyawarah untuk mufakat6. Pola pembangunan nasional saat ini tidak berkonsepsikan negara integralistik yang dianut oleh Indonesia. Hal ini dapat ditunjukkan

5

Laga Sugiarto, dkk. Rekonseptualisasi Garis-Garis Besar Haluan Negara Dalam Pemilihan Presiden Langsung, Penelitian Dosen Universitas Negeri Semarang (Maret, 2015). 6 Dra. Hj. Siti Afiyah, S.H., M.H. 2015. Pancasila Yuridis Kenegaraan. Surabaya: R.A.De.Rozarie.

dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, untuk selanjutnya disebut UU SPPN, yang merupakan dasar hukum pembangunan nasional Indonesia, yang hanya menitikberatkan pada partisipasi masyarakat melalui DPR. Oleh karena sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yang tertuang pada alinea keempat UUD NRI 1945, pemberlakuan kembali GBHN sangat diperlukan. Mengambil contoh Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik RI sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara (Tap MPRS No I/MPRS/1966) dan serangkaian GBHN yang lahir semasa Orde Baru, produk hukum ini tidak mungkin dilepaskan dari posisi MPR dalam UUD 1945. Sebagai kesepakatan bersama antara pemerintah dan MPR sebagai penjewantahan rakyat dalam melaksanakan visi, misi, tujuan dan program pemeritahan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, GBHN akan menjadikan pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah menjadi lebih konsisten dan berkesinambungan sehingga amanah konstitusi dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 akan terwujud. Undang-Undang Dasar 1945 adalah suatu konstitusi yang merupakan hukum dasar dan sumber hukum sebagai kendali yuridis setiap hukum, undang-undang, peraturan-peraturan yang lebih rendah tingkatnya, tetapi saat ini Indonesia tidak memiliki rambu-rambu kendali politis yang ditentukan oleh hukum. Oleh karena itu, pemberlakuan kembali GBHN merupakan langkah yang penting, karena GBHN merupakan garis kendali politis dan hukum bagi pengelola Negara dalam membuat perencanaan, kebijakan dan pelaksanaan pembangunan Indonesia. Dalam posisi sebagai pemegang daulat rakyat, lembaga negara yang tertinggi, dan yang memilih presiden/wakil presiden, MPR memiliki wewenang sangat kuat untuk mengatur penyelenggaraan negara oleh presiden. Bahkan, jika presiden

melanggar

haluan

negara,

MPR

melaksanakan

sidang

istimewa

meminta

pertanggungjawaban presiden. Dengan adanya GBHN akan membuat Presiden menjadi tersandera karena Presiden hanya berwenang untuk melaksanakan isi dari GBHN saja, bukan sebagai Presiden yang seutuhnya dengan melaksanakan program-program pembangunan yang ia yakini. Itu artinya dengan adanya GBHN akan membuat tekanan politik yang tidak sehat kepada Presiden karena Presiden tidak mampu untuk kreatif dan mandiri dalam merencanakandan menjalankan pembangunan.

Wacana tentang pemberlakuan kembali GBHN dilatarbelakangi oleh adanya anggapan bahwa GBHN lebih jelas dalam menentukan arah pembangunan bangsa dibandingkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Setelah terjadinya perubahan UUD 1945, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Perubahan tersebut mengakibatkan perubahan pertanggungjawaban presiden yang semula bertanggungjawab kepada MPR selaku pemberi mandat, kini beralih kepada rakyat Indonesia. Perubahan pola pertanggungjawaban tersebut mengakibatkan pula terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan. Peralihan kekuasaan Presiden yang dapat berlangsung setiap lima tahunan sesuai dengan ketentuan UUD 1945 mengakibatkan masingmasing calon presiden yang dalam proses demokratisasi pengisian jabatan kepresidenan memiliki program-program pembangunan sendiri yang harus ditawarkan kepada para pemilih untuk menyakinkan mereka dalam menentukan pilihannya masing-masing7. GBHN akan dapat mengoptimalkan penggunaan keuangan negara. Hal ini dikarenakan GBHN akan dapat memetakan rencana pembangunan yang akan dilakukan oleh pemerintah sehingga anggaran yang diperlukan dalam pembangunan tersebut menjadi lebih jelas, dan tidak akan terjadi pemborosan. Beberapa pihak juga tetap merasa optimis karena pada dasarnya GBHN tidak hilang namun akan digantikan oleh program-program pembangunan yang telah disampaikan oleh Presiden terpilih pada saat Pemilu. Namun tentunya masih harus dikaji kembali apakah keberadaan program kerja Presiden tersebut dapat menggantikan peranan GBHN atau bahkan menjadi lebih efektif. Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan Ketetapan MPR berada di bawah UUD NRI 1945 dan di atas Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Ketika materi muatan GBHN yang sudah semestinya ditetapkan dalam bentuk Ketetapan MPR bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tidak ada lembaga negara yang berhak menguji ketetapan MPR tersebut.

7

Jimly Asshiddiqie. 2005. Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum

Nasional. Mahkah Konstitusi Republik Indonesia.

IV. PENUTUP

MPR tidak berwenang lagi membuat GBHN karena dalam UUD MPR tidak disebutkan lagi dapat membuat GBHN, sedangkan menurut penjelasan UUD 1945 MPR merupakan penyelenggara negara tertinggi atau sekarang diistilahkan sebagai lembaga tertinggi negara. Dalam kekuasaan MPR ini seluruh aturan ketatanegaraan dirancang dan diawasi. Dalam menjalankan kekuasaan ini MPR bertindak seakan tidak pernah salah, kekuasaan yang tidak terbatas inilah yang telah digunakan MPR untuk membuat berbagai ketetapan di luar kewenangan dan tata cara yang ditentukan oleh UUD 1945.

Yang berhak menetapkan GBHN sekarang ini tidak ada karena MPR, menurut UUD NRI 1945 tidak lagi berwenang untuk membuat atau menetapkan GBHN. Jadi jika MPR ingin membuat atau menetapkan GBHN kembali maka harus dilakukan amandemen UUD NRI 1945. Menurut kelompok kami, juga melihat fakta bahwa situasi politik saat ini, siapa pun yang terpilih menjadi presiden hampir dapat dipastikan tidak akan memiliki kemampuan untuk mengendalikan secara total kekuatan-kekuatan politik di MPR.Maka dapat dikatakan proses untuk membuat GBHN setelah adanya amandemen adalah melakukan amandemen terhadap UUD NRI 1945 karena menurut kelompok kami hanya itulah satu-satunya jalan untuk memberlakukan GBHN kembali.

DAFTAR PUSTAKA Amalia, Dyah Silvana. “Politik Hukum Dalam Pembangunan Hukum Nasional”, Jurnal Online Universitas Abdurachman Saleh Situbondo (Maret,2013). Asshiddiqie, Jimly. 2005. Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional. Mahkah Konstitusi Republik Indonesia. Dra. Hj. Siti Afiyah, S.H., M.H. 2015. Pancasila Yuridis Kenegaraan. Surabaya: R.A.De.Rozarie. Muhtamar, Syafruddin, et all. Relevansi Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Amanat Konstitusi,Konsentrasi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin. Rahayu, Minto. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan : Perjuangan Menghidupi Jati Diri Bangsa. Jakarta: Grasindo. Putranto, M. Ilham Dwi. Implikasi dari penghidupan GBHN dalam ketatanegaraan Indonesia. Academia.edu Sugiarto, Laga, dkk. Rekonseptualisasi Garis-Garis Besar Haluan Negara Dalam Pemilihan Presiden Langsung, Penelitian Dosen Universitas Negeri Semarang (Maret, 2015).

Related Documents


More Documents from "Abdur Rahman"