COVER MAKALAH HUKUM DAGANG TEMA: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
DOSEN PENGAMPU: IRAWAN HARAHAP, S.H., S.E., M.Kn., CLA DISUSUN O L E H EDO YULIA RAHMA
1609123646
UNIVERSITAS RIAU
FAKULTAS HUKUM TA.2017/2018 KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, dengan ini penyusun mengucapkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga dapat menyelesaikan makalah Hukum Dagang yang berjudul. Adapun makalah ini telah diusahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari banyak pihak, sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini. Oleh sebab itu, kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini, baik itu berupa isi dan materi mengenai judul makalah. Terlepas dari semua itu, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penyusun menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata penyusun berharap dari makalah ini dapat diambil manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca. Selain itu, kritik dan saran dari anda kami tunggu untuk perbaikan makalah ini nantinya.
Pekanbaru, 07Desember 2017 Penyusun
DAFTAR ISI
Contents COVER ......................................................................................................................................................... 1 KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. 2 DAFTAR ISI................................................................................................................................................. 3 BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 4 1.1
LATAR BELAKANG ................................................................................................................. 4
1.2
TUJUAN PENULISAN .............................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................................................. 5 2.1
Ketentuan Umum ........................................................................................................................ 5
2.2
Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Perdata .......................................................... 9
2.3
Pengertian hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha ............................................... 9
2.4
Klausula Buku ........................................................................................................................... 14
2.5
Badan Perlindungan Konsumen Nasional .............................................................................. 17
BAB I PENDAHULUAN 1.1LATAR BELAKANG Hukum perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian karena menyangkut aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat, bukan saja masyarakat selaku konsumen saja yang mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan, masing-masing ada hak dan kewajiban. Pemerintah berperan mengatur, mengawasi, dan mengontrol, sehingga tercipta sistem yang kondusif saling berkaitan satu dengan yang lain dengan demikian tujuan mensejahterakan masyarakat secara luas dapat tercapai. Perlindungan terhadap hak-hak konsumen dimulai dari perlindungan terhadap barang dan/atau jasa yang berkualitaas rendah, membahayakan konsumen, hingga pada izin, admistrasi, dan sertifikasi produk. Namun masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mengenal hakhaknya sebagai konsumen, sehingga selalu tertipu dengan promosi, iklan, dan reklame produk. Semangat konsumtif masyarakat Indonesia yang berlebihan, akan memberikan peluang bagi pelaku usaha untuk memasarka produknya dengan cara-cara yang tidak sehat. Pada sisi lain, konsumen Muslim memandang bahwqa kegiatan konsumsi selalu berkaitan dengan ibadah, yang berhubungan langsung antara hamba dan Allah SWT. Karena itu pula, konsumen Muslim senantiasa berharap bahwa setiap produk yang dikonsumsi adalah produk halal.
1.2TUJUAN PENULISAN Tujuan penulisan dalam hal ini adalah sebagai pemenuhan tugas makalah hukum dagang mengenai Hukum Perlindungan Konsumen yang nantinnya diharapkan juga memberikan pehaman akan bacaan tersebut.
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1: “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hokum unutk memberi perlindungan kepada konsumen.” Merupakan rumusan pengertian Perlindungan Konsumen yang terdapat dalam Pasal 1angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang peerlindungan konsumen (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen/UUPK) tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. 1 Kesewenang-wenang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan konsumen, baik dalam bidang Hukum Privat (Perdata) maupun bidang Hukum Publik (Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara). Keterlibatan berbagai disiplin ilmu sebagaimana dikemukakan di atas, memperjelas kedudukan Hukum Perlindungan Konsumen berada dalam Kajian Hukum Ekonomi. Hukum Ekonomi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah keseluruhan kaidah hukum administrasi negara yang membatasi hak-hak individu, yang dilindungi atau dikembangkan oleh hokum perdata. Peraturan-peraturan seperti ini merupakan peraturan Hukum Administrasi di bidang Ekonomi yang akhirnya dicakup dalam kategori sebagai Droit Economique. Pasal 1 angka 2: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Penjelasan: “Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan
1
Ahmadi Miru - Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 1
konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.” Pengertian konsumen dalam UUPK di atas lebih luas bila dibandingkan dengan 2 (dua) rancangan undang-undang perlindungan konsumen lainnya, yaitu pertama dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang menentukan bahwa:2 “Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdaganmgkan kembali.” Dapat diketahui pengertian konsumen dalam UUPK lebih luas daripada pengertian konsumen pada kedua Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang telah disebutkan di akhir ini, karena dalam UUPK juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan makhluk hidup lain. Hal ini berarti bahwa UUPK dapat memberikan perlindungan kepada konsumen yang bukan manusia (hewan, maupun tumbuh-tumbuhan). Pengertian konsumen yang luas seperti itu, sangat tepat dalam rangka memberikan perlindungan seluas-luasnya kepada konsumen. Walaupun begitu masih perlu disempurnakan sehubungan dengan penggunaan istilah “pemakai”, demikian pula dengan eksistensi “badan hukum” yang tampaknya belum masuk dalam pengertian tersebut. Asas dan Tujuan Pasal 2 “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hokum”. Penjelasan: Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:
2
Yayasan Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu Sumbangan Pemikiran tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen, Jakarta, 1981, hlm. 2.
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbanagn antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen manaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.3 Memperhatikan substansi Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Republik Indonesia. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatiakan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu: 1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen, 2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. Asas kepastian hokum. Menurut asas prioritas yang kasuistik, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semuanya tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus.
3
Ahmadi Miru - Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 1
Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang kehadirannya tidak secara langsung diantara para pihak tetapi melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Menyangkut asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen di samping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok di atas yaitu asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum yang disejajarkan dengan asas efisiensi. Pasal 3: perlindungan konsumen bertujuan: a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, kemandirian, konsumen untuk melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hakhaknya sebagai konsumen. d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlidungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
2.2 Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Perdata Hukum perlindungan konsumen membicarakan sejumlah hak konsumen yang perlu mendapat perlindungan hukum. Hak-hak itu adalah hak konsumen sebagai pribadi yang juga warga masyarakat (burger). Hak-hak konsumen itu adalah hak keperdataan yang dilindungi oleh perundang-undangan (hukum) perdata. Sebagai hak keperdataan, konsumen harus memperjuangkan sendiri haknya melalui saluran-saluran hukum dan instituisi hukum perdata yang disediakan oleh negara. Jelasnya jika seorang konsumen dilanggar haknya dank arena itu menimbukan kerugian baginya, konsumen itu dapat mengajukan tuntutan (gugatan) secara perdata untuk mempertahankan atau mendapatkan kembali haknya itu. Tuntutan (gugatan) diajukan ke pengadilan menurut ketentuan hukum yang berlaku. Penegakan hukum atas hak-hak konsumen dapat ditempuh secara perdata, melalui penggunaan ketentuan-ketentuanhukum perdata dan instituisi hukum perdata. Karena itulah, hukum perlindungan konsumen dapat dimasukkan ke dalam kelompok hukum perdata4
2.3 Pengertian hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha a. Pengertian Konsumen dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pengertian konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Hukum Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 ayat (2) yakni: konsumen adalah seriap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hiduplain dan tidak untuk diperdagangkan. Unsur-unsur definisi konsumen:5 1. Setiap orang Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. 2. Pemakai 4 5
Janus Sidabolok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006)58 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000) hlm. 4-9
Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta-merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract).
3. Barang dan/atau jasa UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sementara itu, jasa diartiakan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut. Kata-kata “ditawarkan kepada masyarakat” itu harus ditafsirkan sebagai bagian dari suatu transaksi konsumen. Artinya, seseorang yang karena kebutuhan mendadak lalu menjual brumahnya kepada orang lain, tidak dapat dikatakan perbuatannya itu sebagai transaksi konsumen. Si pembeli tidak dapat dikategorikan sebagai “konsumen” menurut UUPK.
4. Yang tersedia dalam masyarakat Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Bahkan, untuk jenis-jenis transaksi konsumen tertentu, seperti futures trading, keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.
5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekadar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga brang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain ( di luar diri sendiri dan nkeluarganya ), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari kepentingannya.
6. Barang dan/atau jasa itu tidak dapat untuk diperdagangkan Pengertian konsumen dalamUUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara.
b. Hak-hak Konsumen Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. 6 Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu: a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety); b. Hak untuk mendapatkan informasi ( the right to be informed ); c. Hak untuk memilih ( the right to choose ) d. Hakl untuk disengar ( the right to be heard )
Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasiorganisai konsumen yang tergabung dalam The Iternational Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
6
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) hlm. 22-41
Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus diawali dengan upaya untuk memahami hak-hak pokok konsumen, yang dapat dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut. Hak konsumen sebagaimana tertuang pada Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 adalah sebagai berikut: a. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen g. Hak untuk dilakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif h. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak nuntuk dilindungi dari dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dalam hukum dikenal dengan terminolgi “persaingan curang” ( unfair competition ). Dalam hukum positif Indonesia, masalah persaingan curang ( dalam bisnis ) ini diatur secara khusus pada Pasal 382 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selanjutnya, sejak 5 Maret 2000 diberlakukan juga UU No. 5 Tahun1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. c. Pengertian Pelaku Usaha, Hak, dan Kewajibannya Dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 8 Tahun 1999 disebutkan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dalam Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1999 Produsen disebut sebagai pelaku usaha yang mempunyai hak sebagai berikut: a. Hak untuk menerima bayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutmya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan Adapun dalam Pasal 7 diatur kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut: a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mecoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan g. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
2.4 Klausula Buku
1. Pengertian klausula buku Teori due care tentang kewajiban perusahaan terhadap konsumen didasarkan pada gagasan, bahwa pembeli dan konsumen tidak saling sejajar, dan bahwa kepentingan konsumen sangat rentan terhadap tujuan perusahaan yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang tidak dimiliki konsumen. Karena produsen berada pada posisi yang lebih menguntungkan, maka mereka berkewajiban untuk menjamin kepentingan konsumen agar tidak dirugikan.7 Karena konsumen harus bergantung pada keahlian produsen dan pelaku usaha, maka produsen tidak hanya berkewajiban memberikan produk yang sesuai dengan klaim yang dibuatnya. Namun juga harus berhati-hati untuk mencegah kerugian konsumen, meskipun produsen secara eksplisit menolak pertanggungjawaban seperti ini dan konsumen menerima penolakan tersebut bdalam bentuk perjanjian klausula buku. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan, klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-sayrat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangklan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Adapun klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian, di mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum. Perjanjian baku dengan klausula eksonerasinya pada prinsipnya hanya menguntungkabn pelaku usaha dan merugikan konsumen, karena klausulanya tidak seimbang dan tidak mencerminkan keadilan. Dominasi pengusaha lebih besar dibandingkan dengan dominasi konsumen, dan konsumen hanya menerima perjanjian dengan klausula baku terseburt begitu saja karena dorongan kepentingan dan kebutuhan. Beban yang seharusnya dipikul oleh pelaku usaha, menjadi beban konsumen karena adanya klausula eksonerasi tersebut.
7
John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kadaluarsa, (Jakarta: Pelangi Cendikia, 2007), hlm. 54
`sudaryatmo merngungkapkan karakteristik klausula baku sebagai berikut: a. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat dari konsumen b. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian c. Dibuat dalam bentuk tertulis dan masssal d. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh faktor kebutuhan.
2. Aspek Kontrak Bisnis dalam Klausula Baku Dalam pengertian yang luas, kontrak adalah kesepakatan yang mendefinisikan hubungan antara dua pihak atau lebih. Adapun kontrak bisnis dalam pengertiannya yang paling sederahana adalah kesepakatan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih untuk melakukan transaksi bisnis. Kontrak bisa bersifat lisan dan bisa juga bersifat tulisan. Pernyataan kontrak tertulis bisa berupa memo, sertifikat, atau kuitansi. Karena hubungan kontraktual yang dibuat oleh dua pihak atau lebih memiliki potensi kepentingan yang saling bertentangan, persyaratan kontrak biasanya dilengkapai dan dibatasi oleh hukum. Dukungan dan pembatasan oleh hukum tersebut berfungsi untuk melindungi pihak yang menjalin nkontrak untuk mendefinisikan hubungan khusus diantara mereka seandainya ketentuannya tidak jelas, mendua arti, dan bahkan tidak lengkap8. Kontrak tidak lain adalah perjanjian yang mengikat, dalam Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari perjanjian dan undang-undang. Kontrak dalm burgelijk wetboek (BW) disebut overeenkomst yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti perjanjian. Bahwa perjanjian memiliki arti yang lebih luas daripada kontrak. Kontrak mengacu kepada suatu pemikiran akan adanya keuntungan komersial yang akan diperoleh kedua belah pihak. Sedangkan perjanjian dapat saja berarti social agreement yang belum tentu menguntungkan kedua belah pihak secara komersial. Perjanjian dalam pengertian pada Pasal 1313 KUH Perdata yaitu merupakan perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
8
Zuham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 68-75
Dari berbagai definisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa: pertama, kontrak tersebut merupakan media atau piranti yang dapat menunjukkan apakah suatu perjanjian dibuat sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian. Kedua, kontrak tersebut dibuat secara tertulis untuk dapat saling memantau diantara para pihak, apakah prestasi telah dijalankan atau bahkan telah terjadi suatu wanprestasi. Ketiga, kontrak tersebut sengaja dibuat sebagai suatu alat bukti bagi mereka yang berkepentingan, sehingga apabila ada pihak yang dirugikan telah memiliki alat bukti untuk mengajukan suatu tuntutan ganti rugi kepada pihak lainnya. Pasal 1320 KUH Perdata telah mengatur syarat sahnya suatu kontrak, yang menyebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat sebagai berikut: 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Kausa yang legal Akibat hukum suatu kontrak pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum dari suatu perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban inilah yang merupakan salah satu bentuk dari akibat hukum suatu kontrak. Kemudian, hak dan kewajiban ini tidak lain adalah hubungan timbal balik dari para pihak.
3. Pengaturan Pencantuman Klausula Baku Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) melarang pelaku usaha mencantumkan klausula baku pada setiap perjanjian dan dokumen apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha b. Menyatakan bahwa pelaku usah berhak menolak pernyerahan kembali barang yang dibeli konsumen c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
2.5 Badan Perlindungan Konsumen Nasional
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada presiden.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas: a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen b. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen. c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen. d. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. e. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
Keberpihakan kepada konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi terhadap konsumen (wise consumerism). f. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha g. Melakukan survey yang menyangkut kebutuhan konsumen.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional.9
.
9
C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 230
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan dan Saran