MAKALAH “AL-FARABI” Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam Yang dibimbing oleh: Dr. Fawaizul Umam, M.Ag
Disusun oleh : Imam Pujo Laksono
(U20174002)
Citra Bhakti Wiryani
(U20174012)
Siti Fatimatuzzahro
(U20174029)
PROGRAM STUDISEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER (IAIN) Maret 2019
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al- Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang sangat ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar a tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani : Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Konstribusinya
terletak diberbagai
bidang seperti
matematika,
filosofi,
pengobatan, bahkan musik. Al- Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. AlFarabi muda belajar ilmu-ilmu Islam dan musik di Bukhara. Setelah mendapat pendidikan awal, Al- Farabi belajar logika kepada orang Kristen Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuhanna Ibn Hailan. Pada kekhalifahan Al- Muktafi tahun 902-908 M dan awal kekhalifahan Al- Muqtadir pada tahun 908-923 M AlFarabi dan Ibn Hailan meninggalkan Baghdad menuju Harran. Dari Baghdad AlFarabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal disana selama delapan tahun serta mempelajari seluruh silabus filsafat. Dalam makalah ini, kami akan membahas secara lengkap tentang tokoh filosof Muslim Al- Farabi, boigrafi, pendidikan, karya-karyanya, pemikirannya, dan kritik kami terhadapnya. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana biografi Al- Farabi ? 2. Apa saja pokok-pokok pemikiran Al- Farabi ? 3. Apa saja karya-karya Al- Farabi ? 4. Bagaimana kritik penulis terhadap pemikiran Al- Farabi ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui biografi Al- Farabi. 2. Menjelaskan pokok-pokok pemikiran Al- Farabi. 3. Memaparkan karya-karya Al- Farabi. 4. Menyampaikan pendapat kritik terhadap pemikiran Al- Farabi.
2
BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Tokoh Filosof Islam Al- Farabi Latar belakang keluarga atau kehidupan awal al-Farabi sangat sedikit yang diketahui dengan pasti. Meski mempunyai beberapa murid dekat, dia tidak pernah mendiktekan otobiografinya kepada salah seorang dari mereka, dan ia pun tidak menulis otobiografinya sendiri.1 Sehingga bahan-bahan yang dipakai sebagai rujukan oleh para biografer al-Farabi selama ini, keabsahan, kebenaran dan keaslian datanya masih bersifat sementara dan masih membuka peluang bagi para penulis berikutnya untuk melakukan revisi-revisi sesuai akurasi data yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.2 Salah satu bentuk in-akurasi data tersebut terlihat dari beberapa tulisan tentang tahun kelahiran al-Farabi. DR. Ahmad Daudy, dalam Kuliah Filsafat Islam menyebut kelahiran al-Farabi adalah tahun 259 H/872 M,3 sedangkan Harun Nasution menunjuk angka 870 M,4 dan Osman Bakar menulis tahun 257/890M.5 Perbedaan lain seputar tokoh yang memiliki nama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Auzalagh al-Farabi ini adalah soal asal-usul kebangsaan/keturunannya. Ada yang menyebutnya berkebangsaan Persia dan ada pula yang menyatakan keturunan bangsa Turki. Hal ini disebabkan karena
ayahnya
(Muhammad
ibn
Tharkhan)
adalah
seorang
Jenderal
berkebangsaan Persia dan ibunya adalah wanita keturunan Turki.6 Meskipun dalam sumber-sumber tertentu ayahnya disebutkan keturunan bangsawan Persia, namun keluarga al-Farabi dianggap sebagai orang Turki. Bukan hanya karena mereka berbicara dalam bahasa Sogdia atau sebuah dialek Turki, tetapi karena gaya hidup dan kebiasaan kultural mereka mirip orang Turki.7 Sebutan al-Farabi sebenarnya diambil dari nama kota Farab sebuah distrik (setingkat Kabupaten/Kota) provinsi Transoxiana, Turkestan, yakni 1
Bakar, O, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut Al-Farabi, AlGhazali, Quthb al-Din al-Syirazi, (Bandung : Penerbit Mizan 1998), hlm 25-26. 2 Ian, RN, Al-Farabi and His School, (Roudledge : London and New York, 1992), hlm 4. 3 Daudi A, “Kuyliah Filsafat Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm 25. 4 Nasution H, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan-Bintang, 1973), hlm 26. 5 Bakar ,O, Op.Cit, hlm26. 6 Zar, Sirajuddin, “Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya”, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), hlm 65. 7 Bakar O, Op.Cit, hlm 27.
3
distriktempat kelahiran beliau, tepatnya di desa kecil bernamaWasij. Menurut catatan Ibn Khallikan, di wilayah ini pula Abu Nasher menghabiskan masa remajanya.8Konon ia dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa, dengan empat bahasa yang paling dikuasai yakni Arab, Persia, Turki dan Kurdi.9 Selain di kampung halamannya, al-Farabi pernah berdomisili di Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu religius lainnya. Kota Bukhara yang saat itu berada dalam pemerintahan Nashr ibn Ahmad (260-279 H/874-892 M) dikenal sebagai masa awal kebangkitan sastra dan budaya Persia dalam Islam. Di sini lah al-Farabi mempelajari musik untuk pertama kalinya. Dan di kota ini pula ia pernah menjadi hakim (qadhi). Hanya beberapa saat menjadi hakim, al-farabi mendengar adanya seorang guru yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis. Segera ia melepaskan jabatan itu dan mulai tenggelam dalam kesibukan mempelajari ilmu logika dan filsafat Aristotelian kepada Yuhanna ibn Hailan di kota Merv (Marw) Khurasan.10 Saat berusia 40 tahun, al-Farabi hijrah ke Baghdad yang kala itu merupakan pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia. Di sana ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu bakar al-Saraj juga belajar ilmu logika serta filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibn Yunus.11Menurut Osman Bakar, Al-Farabi berangkat ke Baghdad itu adalah sekitar tahun 287 H/ 900 M dari kota Merv bersama gurunya ibn Hailan. Jadi,selain berguru kepada yang lain, selama di Baghdad al-Farabi tetap belajar pada Ibn Hailan. Bahkan pada fase selanjutnya al-Farabi pun ikut pindah ke Harran mengikuti sang guru. Besar kemungkinan Ibn Hailan lah yang mempengaruhi al-Farabi untuk melanjutkan studinya ke Konstatinopel yang erat pertautannya dengan mazhab filsafat Alexandria. Al-Farabi menetap di Konstatinopel selama delapan tahun hingga menyelesaikan studi ilmu-ilmu dan seluruh silabus filosofis.12 Barulah pada rentang waktu antara 297-307 H / 910-920 M al-Farabi kembali ke Baghad dan tercatat sebagai siswa Matta ibn Yunus, salah seorang
Menurut ibnu Abi Usaibi’ah al-Farabi melewatkan masa remajanya di Damaskus. Namun Hasil penelitian lain lebih meyakini Distrik Farab sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya alFarabi. Ibid. 9 Sjadzali, M, Islam dan tata Negara, (Jakarta : Ui-press, 1993), h.49. Ibrahim Madkur menilai riwayat penguasaan 70 macam bahasa ini lebih mirip dongeng dari pada kenyataan. Sebab jumlah bahasa yang berkembang kala itu, termasuk bahasa ibu al-Farabi sendiri tidak sampai 70 macam.(Zar, S, Op.Cit, hlm 66-67). 10 Bakar O, Op.Cit, hlm 30. 11 Zar, S, Op.Cit, hlm 66. 12 Bakar, O, Op.Cit, hlm 34. 8
4
filosof Nestorian. Di bawah bimbingan Matta inilah, al-Farabi mampu menguraikan
gagasan-gagasan
abstrak
menjadi
mudah
difahami
dan
mengungkapnya dengan istilah yang sederhana. Bahkan kemudian, ajaran dan tulisan-tulisan al-Farabi pada masa ini dengan cepat memantapkan reputasinya sebagai filosoft muslim terkemuka, melebihi gurunya Matta ibn Yunus dalam bidang logika.13 Pada tahun 330 H / 941 M, Al-Farabi pindah ke Damsyik (DamaskusSuria) dan berkenalan dengan Said al-Daulah al-Hamdani, Sulthan dinasti Hamdan di Halab (Aleppo). Sulthan tampaknya amat terkesan dengan kealiman dan keintelektualan beliau, hingga mengajaknya pindah ke Aleppo. Di Aleppo sulthan memberikan kedudukan yang baik kepada al-Farabhi sebagai penasehat istana sampai ia wafat di sana sekitar tahun 337 H/950 M dalam usia 80 tahun.14 B. Pokok-pokok Pemikiran Al- Farabi Bagi al-Farabi, tujuan filsafat dan agama adalah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakiniy dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedangkan agama memakai cara iqna’iy (pemuasan perasaan) dan kiasan-kiasan serta gambaran untuk semua orang. Pemahaman ini didasarkan pada pengertian al-Farabi tentang filsafat sebagai upaya untuk mengetahui semua yang wujud karena ia wujud (al-ilm bil maujudat bima hiya maujudah).15 Falsafah al-Farabi merupakan suatu intelektual dalam bentuk kongkrit dari apa yang disebut “Falsafah Pemaduan” (al-Falsafah at-Taufiqiyah) sebagai ciri yang sangat menonjol dari falsafah Islam. Pemikirannya merupakan pemaduan falsafah Aristoteles, Plato dan New-Platonisme dengan pemikiran Islam yang bercorak aliran Syiah Imamiyah. Dalam ilmu logika dan fisika ia dipengaruhi oleh Aristoteles, dalam masalah akhlak dan politik ia dipengaruhi oleh Plato, dan dalam masalah metafisika ia dipengaruhi oleh Platinus. Oleh karena itu al-Farabi dipandang sebagi filosof Islam yang mula kali menciptakan falsafah Taufiqqiyah karena ia percaya adanya “Kesatuan Falsafah”(wahdatu alFalsafah). Baginya, kebenaran itu hanya satu, sedangkan perbedaan pendapat hanyalah pada lahirnya saja, tidak pada hakikat. Sebenarnya usaha pemaduan ini 13
Ibid, hlm 35. Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), hlm 31. Sirajuddin Zar menulis angka tahun masehi 330 H ini dengan 945 M, Zar, S, Lok-Cit 15 Sebuah Pengantar oleh Prof. H.Mukhtar Yahya dalam Hanafi, Ahmad, “Pengantar Filsafat islam”,(Jakarta : Bulan-Bintang, 1991) 14
5
sudah lama dimulai sebelum al-Farabi, dan telah mendapatkan pengaruh yang luas dalam lapangan falsafah, terutama sejak munculnya aliran neoplatonisme. Namun demikian, usaha al-Farabi lebih luas lagi karena ia bukan saja mempertemukan aneka aliran falsafah yang bermacam-macam, tetapi juga berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda corak-ragamnya.16 Untuk itu guna memahami pemikiran Plato dan Aristoteles, al-Farabi secara khusus membaca karya kedua pemikir besar Yunani itu, yakni On the Soul sebanyak 200 kali dan Physics 40 kali. al-Farabi pun akhirnya mampu mendemonstrasikan dasar persinggungan antara Aristoteles dan Plato dalam sejumlah hal, seperti penciptaan dunia, kekekalan ruh, serta siksaan dan pahala di akhirat kelak. Konsep Farabi mengenai alam, Tuhan, kenabian, esensi, dan eksistensi tak dapat dipisahkan antara keduanya. Mengenai proses penciptaan alam, ia memahami penciptaan alam melalui proses pemancaran (emanasi) dari Tuhan sejak zaman azali. 1. Filsafat Metafisika dan Teori Emanasi Secara bahasa Metafisika berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physika (sesudah fisika). Istilah ini merupakan judul yang diberikan Andronikos terhadap empat belas buku karya Aristoteles yang ditempatkan sesudah fisika yang terdiri dari delapan buku. Aristoteles sendiri tidak menggunakan istilah metafisika, melainkan filsafat pertama (Proote Philosophy). Dalam bahasa Arab, istilah metafisika dikenal dengan ungkapan ma ba’d al-thabi’ah atau segala sesuatu dibalik realitas yang tampak.17 Saat ini kata metafisika memiliki beragam arti. Bisa berarti upaya untuk mengkarakterisasi eksistensi atau realitas sebagai suatu keseluruhan dan bisa pula bemakna upaya untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman, atau menyelidiki apa yang berada di balik realitas. Akan tetapi secara umum metafisika dapat dikatakan sebagai suatu pembahasan filsafat yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada.18 Dalam kajian-kajian kuno, filsafat metafisika lebih banyak bertumpu pada soal eksistensi (wujud) tuhan dan kuasa-Nya serta soal penciptaan alam. 16
Daudy, A, Op.Cit, hal, 29. Esha, MI, Menuju Pemikiran Filsafat, (Malang : UIN Maliky-Press, 2010), hal. 86 18 Kanisius 1996, Pengantar Filsafat (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2000), h. 44 17
6
Dalam konteks inilah pembicaraan tentang teori emanasi menjadi populer. Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya: Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”. Menurut al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda. Konsep ini erat kaitannya dengan teori wujud (eksistensi) yang oleh al- Farabi dibagi menjadi dua bagian, yaitu : 1) Wujud yang mungkin ada karena lainnya (mumkin al-Wujub). Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurt tabi’atnya bisa wujud dan bisa pula tidak. Karena matahari telah wujud, maka cahaya itu menjadi wujud disebabkan wujudnya matahari. Wujud yang mungkin ini menjuadi bukti adanya sebab yang pertama, karena segala yang mungkin harus berakhir pada suatu wujud yang nyata dan pertama kali ada. 2) Wujud yang ada dengan sendirinya ( wajib al-wujud). Wujud ini adalah wujud yang tabi’atnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Kalau ia tidak ada, maka yang lainpun tidak akan ada sama sekali, ia adalah sebab pertama bagi semua wujud yang ada. Dan wujud yang wajib ada inilah Tuhan.19 Berdasarkan konsep ini, al-Farabi berpendirian, bahwa seluruh yang ada (maujud) tidak terlepas dari keadaan wajibul wujud atau mumkin wujud. Yang mumkinul wujud lahir karena ada sebab, sedangkan yang wajibul wujud adalah ada dengan tidak bersebab, ia memiliki zat yang agung dan sempurna, ia memiliki kesanggupan mencipta dalam keseluruhan sejak azali.32 Sesuai dengan firman Allah dalam Surat Yasin ayat 82. ”Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin ayat 82). Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat materi. Sedangkan wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut
19
Mustofa, HA, “Sejarah Filsafat Islam”, (Bandung : Pustaka Setia, 2015),, hal.134
7
Akal Kedua (al aklu tsani). Lebih lanjut, urutan-urutan emanasi al-‘Aqil itu dapat digambarkan sebagai berikut : a. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya hingga timbullah Langit Pertama (al-Asmaul awwal), b. Wujud III / Akal kedua menimbulkan Wujud IV/Akal Ketiga yakni bintangbintang), c. Wujud IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet Saturnus d. Wujud V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni Planet Jupiter, e. Wujud VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni Planet Mars, f. Wujud VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni Matahari, g. Wujud VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni Planet Venus, h. Wujud IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni Planet Mercurius, i. Wujud X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni Bulan. Wujud yang dimaksud adalah Wujud Tuhan. Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi yang menjadi dasar dari keempat unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah. Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah akal dibataskan kepada bilangan sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah sembilan. Selain itu, ditiap-tiap akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan)? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut
8
Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah al-Farabi menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh dan bintang-bintang tetap. Ia menyatakan bahwa jumlah akal ada sepuluh, sembilan di antaranya untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan, sedangkan akal kesepuluh yaitu akal bulan yang mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi. 2. Filsafat kenabian Filsafat kenabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya dengan agama. Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit). Dalam agama Islam Nabi adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi adalah utusan Allah yang mengemban tugas keagamaan. Nabi adalah utusan Allah yang diberikan AlKitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari nafsunya sendiri. Allah berfirman pada Surat an-An-Najm ayat 3-5 : ”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang mempunyai jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan akal fa’al. Sebab lahirnya filsafat ke- Nabian ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi. Ia adalah seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya tentang keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW. Di antara kritikan yang di gambarkan olehnya adalah: pertama, Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah mengaruniakan manusia akal tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan larangan-Nya. Kedua, ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya Thawaf di Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa dan Marwa dengan tempattempat lainnya. 9
Ketiga, mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat menerima batu bisa bertasbih dan srigala bisa berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam perang Badar dan mengapa dalam perang Uhud tidak. Keempat, al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa. Orang yang non-Arab jelas saja heran dengan balaghah al-Qur’an, karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah Khalifah yang paling fasahah dikalangan orang Arab. Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi, daripada membaca kitab suci, lebih berguna membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi, logika dan obat-obatan menurutnya. Pendapat yang telah diungkapkannya adalah pendapat yang sangat bertentangan dengan al-Qur’an Surat An-Najm ayat 3-5 tersebut. Dalam ajaran Islam, al-Qur’an adalah Wahyu Ilahi yang merupakan sumber inspirasi yang benar, dapat diterima akal, dipercaya melalui keyakinan, dan sumber pedoman hidup manusia. Siapa yang mengingkari Wahyu berarti ia telah menolak Islam secara keseluruhannya. Bahkan perbuatan ini dipandang sebuah pelanggaran dalam kehidupan. Dalam al-Qur’an ada dijelaskan: ”Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (Q.S. al-Baqarah: 2-3). Nabi adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi, maka dari itu ciri khas seorang Nabi menurut al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan Akal Fa’al dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan al-farabi adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari Akal kesepuluh. Pendapat al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan Nabi ada kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari filsafat semata tanpa 10
mempelajari Wahyu (al-Qur’an) ia akan tersesat, karena antara keduanya samasama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Begitu pula mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat merupakan sebuah kebenaran dari hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal Mustafad. Penjelasan di atas adalah sebagian dari teori ke-Nabian al-Farabi yang telah ia capai dari hasil realitas serta dihubungkan dengan keadaan sosial dan kejiwaan. Menurutnya, Nabi dan filosof adalah dua sosok pribadi shaleh yang akan memimpin sebuah kehidupan masyarakat di sebuah Negeri, karena keduanya dapat berhubungan dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan Negeri. Perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah, jikalau Nabi meraih hubungan dengan Akal Fa’al melalui imajinasinya, sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa kejiwaan.20 C. Karya-karya Al- Farabi Karya-karya al-Farabi tersebar di setiap cabang ilmu pengetahuan yang dikenal dunia pada abad pertengahan. Para bibliografer tradisional menisbahkan lebih dari seratus karya kepada al-Farabi. Namun karya-karya yang lebih banyak berbentuk naskah tersebut sebagiannya hanya ditemukan dalam terjemahantulisan Ibrani atau Latin dan baru sedikit yang disunting dan diterbitkan. Sehingga sulit untuk memberikan catatan komprehensif tentang berbagai segi dari karya dan pemikiran al-Farabi.21 Di antara karya-karya Al-Farabi itu adalah : 1. Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles), 2. Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan), 3. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan), 4. Fususu Al Taram (hakikat kebenaran), 5. Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan) 6. As Syiasyah (ilmu politik), 7. Fi Ma’ani Al Aqli, (makna Berfikir) 8. Ihsha’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu), 9. Isbatu Al Mufaraqat, (Ketetapan Berpisah)
20 21
Mustofa, Op.Cit, hal. 143 Bakar O, Op-Cit, h.37
11
10. Al Ta’liqat. (Ketergantungan)22 Buku al-Farabi yang bejudul “Ihsaul Ulum” merupakan teori keilmuan dan cabang-cabangnya yang meliputi ilmu Bahasa, Mantiq, matematika, fisika, politik, hukum dan ketuhanan yang sebenarnya telah pernah dibahas oleh para penulis lain. Namun yang membuat buku itu istimewa adalah karena al-farabi mengkaitkan semua cabang ilmu tersebut dengan teori-teroi keislaman yang ia rangkum dalam dua cabang ilmu baru, yakni Fiqih (hukum Islam) dan ilmu Kalam yang sangat populer dibicarakan pada masa itu.23 D. Kritik Terhadap Pemikiran Al- Farabi Konsep pemikiran filosof muslim Al- Farabi memiliki corak warna yang mirip dengan Plato dan Aristoteles yang keduanya memiliki pegaruh kuat terhadap pemikiran Eropa, baik itu sebelum renaisans atau sesudahnya. Dalam buku Majid Fakhry (2002:31) mengungkapkan bahwa Al- Farabi memulai risalahnya dalam karyanya al- Jam bayna Ra’ya al- Hakimayn dengan menjelaskan alasannya melakukan rekonsilasi (penyatuan) antara pemikiran Plato dan Aristoteles berdasarkan pada fakta observasi yang didapatnya mengenai kedua tokoh ini dalam dunia kontemporer saat itu bahwa perselisihan keduanya dalam pertanyan-pertanyaan tentang apakah dunia ini abadi atau hanya bersifat sementara dan berlanjut pada pernyataan keduanya mengenai ketidak sepahaman atas beberapa pertanyaan tentang eksistensi sang pencipta, sifat alami, dari jiwa dan akal. Jika kita melihat ini, dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh AlFarabi hanya mencoba mendamaikan antara pemikiran kedua guru ini, dengan mempertemukan pikiran-pikiran keduanya yang pada dasarnya memiliki persamaan. Menurutnya perbedaan pendapat antara Plato dan Aristoteles hanyalah berada dipermukaan saja, sedangkan dalam substansinya keduanya sejati adalah sama. Bahkan jikalau ada perbedaan tersebut hanyalah dimungkinkan dalam tiga hal saja yakni : 1. Definisi Filsafat 2. Pendapat komentator kedua tokoh tersebut tentang pikiran-pikiran filsafat mereka 3. Pengetahuan dan pengalaman kehidupan keduanya yang berbeda
22 23
Mustofa, Op-Cit, hal.127-128 Sudarsono, Op.Cit, h.32
12
Meskipun
secara
umum,
Al-
Farabi
memang
telah
berhasil
merekonsiliasikan banyak hal tentang ajaran filsafat sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles, juga antara agama dan filsafat, sehingga banyak kalangan menilainya sebagai filosof sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Kendati Al- Farabi dalam upaya pemaduan pikiran falsafah tersebut telah menunjukkan kesungguhan dan kemahiran yang cukup tinggi, namun usahanya itu tidak menghasilkan apa-apa karena asumsi yang dipakainya dibangun di atas pondasi yang sangat ,lemah, yakni kepercayaan akan kesatuan filsafat.24 Bahkan beberapa upaya tersebut tampak seperti dipaksakan. Sebagaimana telah dibuktikan oleh sejumlah kalangan bahwa Al- Farabi pernah keliru menganggap tidak terdapat perbedaan antara Plato dan Aristoteles. Letak kekeliruannya adalah ketika ia menduga bahwa buku Theologia (alRububiyyat) merupakan karangan Aristoteteles. Padahal sesungguhnya buku tersebut adalah karya Plotinus. Artinya, Al- Farabi dalam hal ini bukan merekonsiliasi Aristoteles dengan Plato, melainkan Plotinus dengan Plato yang secara prinsip memang sejalan.25 Bentuk rekonsiliasi yang “seolah dipaksakan” itu juga tampak pada teori emanasi yang dikemukannya melalui sepuluh akal, yang secara struktural jelas dipengaruhi oleh temuan saintis saat itu, yakni sembilan planet dan satu bumi. Karena itu, ia membutuhkan sepuluh akal. Setiap akal mengurusi satu planet termasuk bumi. Sekiranya Al- Farabi hidup saat ini, tentu saja ia akan membutuhkan banyak sekali akal sebanyak planet yang ditemukan saintis sekarang.26 Di sisi lain, konsep Al- Farabi yang menyatakan hanya ada satu kebenaran, sehingga baik agama dan filsafat tidak akan bertentangan, seolah-olah telah menempatkan posisi para filosoft menjadi sederajat dengan para nabi, bahkan lebih tinggi lagi. Lebih lanjut, A.Hanafi merangkum tiga pokok pikiran yang mengkritik faham tersebut : Pertama, teori Al- Farabi telah menempatkan Nabi di bawah filosof karena pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran lebih tinggi dari pada yang diperoleh melalui imajinasinya. Akan tetapi nampaknya Al- Farabi tidak menganggap penting terhadap perbedaan tersebut, sebab selama sumbernya sama, yaitu Akal Fa’al, dan nilai keluarnya juga sama, maka tentang cara 24
Daudi, A., Op.Cit, hal, 32-33 Zar, S, Op.Cit, hal, 94 26 Ibid, hal, 78 25
13
memperolehnya tidak menjadi sebuah persoalan. Dengan perkataan lain, nilai suatu kebenaran tidak bergantung pada cara memperolehnya, melainkan keppada sumbernya. Selain itu dalam bukunya tersebut ia mengatakan; seorang Nabi dapat naik ke alam atas melalui pikiran, karena ada pikiran ada kekuatan suci yang memungkinkannya naik ke alam cahaya, tempat menerima perintah-perintah Tuhan. Jadi, Nabi memperoleh Wahyu bukan hanya melalui imajinasinya saja, tetapi melalui kekuatan pikirannya yang besar. Kedua, apabila seoarang Nabi dapat berhubungan dengan Akal Fa’al melalui pemikiran dan renungan, maka artinya kenabian menjadi semacam ilmu pengetahuan yang bisa dicapai oleh setiap orang, atau menjadi perkara yang bisa dicari (muktasab), sedangkan menurut Ahlusunnah, ke-Nabian bukanlah sifatsifat (keadaan) yang berasal dari diri Nabi, bukan pula tingkatan yang bis a dicapai seseorang melalui ilmu dan usahanya, juga bukanlah kesediaan psikologis yang memungkinkan dapat berhubungan dengan alam rohani, melainkan suatu kasih sayang yang diberikan oleh Tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Akan tetapi sekiranya perlu dicatat bahwa Al- Farabi berkata : filsafat itu tidak mudah diperoleh, sebab setiap orang bisa berfilsafat, akan tetapi yang bisa mencapai filsafat yang sebenarnya hanyalah sedikit saja. Al- Farabi juga menetapkan bahwa seorang Nabi mempunyai imajinasi yang luar biasa atau kekuatan rahasia tertentu. Boleh jadi menurut pendapatnya, imajinasi dan kekuatan tersebut bersifat Fitrah (mempunyai potensi dari sejak lahir), bukan yang bisa dicari, meskipun ia tidak jelas-jelas mengatakan demikian. Ketiga, kalau sekiranya Al- Farabi dapat terlepas dari kedua kritik tersebut di atas, maka sukarlah ia terlepas dari kritik ketiga, yaitu bahwa tafsiran psikologis terhadap Wahyu banyak berlawanan dengan nas-nas agama, di mana 20 Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk manusia biasa kadang terdengar oleh Nabi seperti bunyi lonceng.27 Di atas semua kritikan atas kelemahan-kelemahan tersebut, sebenarnya usaha Al- Farabi bukanlah sesuatu yang mengikuti hawa nafsunya. Melainkan sebagai upaya membela Islam dari serangan para filosoft yahudi dan atheis. Beliau sangat mendasarkan hidupnya atas kemurnia jiwa, bahwa kebersihan jiwa dari kotoran kotoran merupakan syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya. Baginya, dasar berfilsafat adalah memperdalam ilmu dengan segala yang maujud hingga membawa pengenalan kepada Allah sebagai penciptanya. 27
Mustofa, Op.Cit, hal, 143
14
Terkait faham kenabian yang seolah-olah ekstrim tersebut, sebelumnya telah disinggung bahwa teori sumber kebenaran itu dikemukakannya untuk menjawab serangan filosoft-filosoft yang menentang agama, seperti Ibn ar- Rawandi dan arRazi. Pada prinsipnya, kedua orang ini beranggapan bahwa nabi itu tidak perlu ada dan tidak ada yang berhak dianggap sebagai nabi, karena semua manusia itu sama sehingga tidak boleh ada manusia yang diistimewakan atas yang lainnya.
15
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Al-Farabi mempunyai nama lain di antaranya adalah Abu Nashr Muhammad Ibn Thorkhan Ibn Al-UzalaghAl-Farabi, dikalangan orang-orang latin abad pertengahan Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunasaer). Sebenarnya nama julukan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, Beliau dilahirkan di desa Wasij di Distrik Farab (Utara, provinsi Transoxiana, Turkestan)
pada
tahun
257
H
(870M).
Al-Farabimeninggaldi
Damaskuspadabulan Rajab 339 H/Desember 950 M padausia 80 tahun, dandimakamkandiluargerbangkecil (al-Babal-Saghir)kotabagianselatan. Bagi al-Farabi, tujuan filsafat dan agama adalah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakiniy dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedangkan agama memakai cara iqna’iy (pemuasan perasaan) dan kiasan-kiasan serta gambaran untuk semua orang. Pemahaman ini didasarkan pada pengertian al-Farabi tentang filsafat sebagai upaya untuk mengetahui semua yang wujud karena ia wujud (al-ilm bil maujudat bima hiya maujudah). Karya-karya al-Farabi tersebar di setiap cabang ilmu pengetahuan yang dikenal dunia pada abad pertengahan. Para bibliografer tradisional menisbahkan lebih dari seratus karya kepada al-Farabi. Namun karya-karya yang lebih banyak berbentuk naskah tersebut sebagiannya hanya ditemukan dalam terjemahan tulisan Ibrani atau Latin dan baru sedikit yang disunting dan diterbitkan. Sehingga sulit untuk memberikan catatan komprehensif tentang berbagai segi dari karya dan pemikiran al-Farabi.
16
DAFTAR PUSTAKA
Bakar, O, 1998,” Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut AlFarabi, AlGhazali, Quthb al-Din al-Syirazi”, (Bandung : Penerbit Mizan). Daudi A, 1986, “Kuyliah Filsafat Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang). Esha, MI, 2010 “Menuju Pemikiran Filsafat”, (Malang : UIN Maliky-Press). Ian, RN, 1992, “Al-Farabi and His School”, (Roudledge : London and New York,). Kanisius 1996, “Pengantar Filsafat” (Yogyakarta : Penerbit Kanisius). Mustofa, 2015, “Sejarah Filsafat Islam”, (Bandung : Pustaka Setia). Nasution H, 1973, “Falsafat & Mistisisme dalam Islam”, (Jakarta : Bulan-Bintang). Sudarsono, 1997, “Filsafat Islam”, (Jakarta : Rineka Cipta). Zar, Sirajuddin, 2012, “Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya”, (Jakarta : Rajawali Pers).
17