KEJANGGALAN FILM INDONESIA MAKALAH
Tugas untuk Memenuhi Nilai Akhir Semester Mata Kulaih Bahasa Indonesia Akademik pada Fakultas Budaya Universitas Indonesia
oleh
LUWI KARTIKA Jurusan Sastra Inggris No. Mhs. 0705090212
DEPOK 2007
JANGGALNYA FILM INDONESIA MAKALAH
I dedicated this paper to
Stevanus Gatot Suryanto A boy who is my best friend A stranger who critic me honestly A man who open my eyes widely And A human who has the greatest love of all
“Risiko selalu ada, jika kita tak berani mengambil resiko tak mungkin ada perbaikan” (Catatan Seorang Demonstran, Soe Hok Gie)
And I’ll always do my best and take all the risks… Just like what I’ve done…
Kata Pengantar Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Baik atas segala berkat dan rahmat-Nya yang berlimpah kepada saya sehingga makalah tipis ini dapat diselesaikan tepat waktu. Makalah yang berjudul “Kejanggalan Film Indonesia” ini saya susun dalam rangka pemenuhan tugas akhir mata kuliah Bahasa Indonesia Akademik (BIA) yang dibimbing oleh ibu Maria Josephine. Alasan saya mengapa memilih untuk membahas mengenai kejanggalan film Indonesia adalah karena saya tertarik dengan topik ini. Berdasarkan pengalaman saya yang sangat hobi menonton film baik luar maupun dalam negeri, dalam menonton sebuah film saya akan ikut tenggelam dalam film tersebut. Saya sangat menikmati ketika saya menonton sebuah film dan ikut terlibat di dalamnya. Namun, ketika ada sesuatu yang aneh atau kelihatan janggal dalam film tersebut, saya akan seperti terlempar keluar dari film tersebut dan langsung tersadar dan kemudian bertanya-tanya. Kok, aneh? Atau Kok, bisa… Setelah saya selesai menonton film itu, pasti ada rasa yang mengganjal dan tidak puas dengan film tersebut. Biasanya hal-hal yang janggal sering saya temukan dalam film Indonesia, namun tidak berarti saya tidak pernah menemukan hal yang serupa terhadap film luar. Oleh dari itu, ketika mata kuliah BIA menugaskan untuk membuat sebuah makalah sebagi tugas akhir, ide inilah yang muncul dalam benak saya. Menulis bagi saya merupakan sebuah tugas yang cukup berat, karena saya merasa menulis itu sangat susah. Namun berhubung ini adalah sebuah kewajiban dan yang akan saya tulis adalah sesuatu yang berhubungan dengan hobi saya, maka saya dengan senang hati dan berbesar hati untuk belajar menulis makalah ini dengan sebaik-baiknya. Hal tersulit yang saya rasakan ketika ingin menulis makalah ini adalah pencarian buku referensi yang berhubungan dengan tema yang saya angkat. Entah memang buku jenis ini tidak ada di perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) atau saya yang tidak teliti mencarinya, namun pada akhirnya saya menemukan sebuah buku tentang Festival Film Indonesia (FFI) di perpustakaan Pusat Universitas Indonesia yang sangat dekat dengan Fakultas saya. Lalu belakangan saya menemukan sebuah artikel yang sangat relevan dengan tema yang saya angkat dalam sebuah buku kumpulan artikel “Seks, Satra, Kita”
oleh Gunawan Moahamad milik kakak saya. Artikel ini sangat membantu sebagai referensi saya. Saya sangat berterimakasih kepada Stevanus Gatot Suryanto yang memberikan inspirasi atas penulisan makalah ini. Karena kebiasaannya yang selalu membahas film yang ditonton bersama membuat saya terbiasa untuk lebih peka dalam menonton sebuah film, dan pada akhirnya menginspirasi saya untuk menuangkannya dalam makalah ini. Terimakasih pula atas kedua orang tua yang melahirkan saya ke dunia dan juga kepada keluarga yang saya sayangi, yang memberikan motivasi dan dukungan yang berlimpah pada saya. Kemudian kepada Ibu Maria Josephine yang turut memberikan kontribusi dengan memberikan penjelasan mengenai struktur makalah yang baik dan membimbing saya dalam pengerjaan makalah ini. Dan tak lupa kepada teman-teman, yaitu Dini dan Lisa, dan teman lainnya yang ikut membantu memberikan sumbangan saran dan ide. Dan terakhir pada komputer butut Pentium I saya, dan juga orang-orang yang telah mengembangkan teknologi informasi sehingga terciptanya apa yang disebut sebagai internet. Dan terakhir, saya berharap makalah yang saya buat ini dapat bermanfaat bagi Anda bagi Anda yang membacanya. Untuk pembaca awam agar dapat lebih sensitif dalam menonton sebuah film, bagi masyarakat film agar dapat membuat film yang lebih dari baik dari sebelumnya, dan bagi masyarakat akademis mungkin dapat memberikan sumbangan saran dan kritik kepada masyarakat film setelah Anda membaca makalah ini. Namun, saya hanya seorang mahasiswi yang sedang belajar menulis, maka mungkin terdapat banyak kekurangan. Saya tidak menutup kemungkinan untuk menerima kritikkritik pedas dan juga saran-saran yang membangun. Tangerang, 25 Mei 2007 Luwi Kartika
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………
i
DAFTAR ISI………………………………………………………………..
iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang…………………………………………………..
1
B. Perumusan dan Ruang Lingkup Masalah………………………..
2
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………
2
D. Sistematika Penulisan……………………………………………
3
E. Metode Penulisan………………………………………………..
3
BAB II JANGGALNYA FILM INDONESIA A. Sejarah dan Perkembangan Film di Indonesia………………….
4
B. Kejanggalan Film Indonesia…………………………………….
6
1. setting……………………………………………………
7
2. dialog…………………………………………………….
8
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………
11
B. Saran……………………………………………………………..
11
BIBLIOGRAFI……………………………………………………………....
12
BAB I BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Beberapa tahun belakangan ini, perfilman Indonesia mulai bangkit kembali. Sebelumnya, film-film Indonesia tidak mendapatkan tempat di hati penontonnya, tergilas dengan film-film Holywood yang masuk ke Indonesia. Namun, perfilman Indonesia kini mulai kembali menggeliat dan mencoba mencari tempat di hati penonton negerinya sendiri. Hal ini terbukti dengan meningkatnya produksi film, yaitu meningkatnya frekuensi kemunculan film-film baru. Ambil saja film “Pocong” sebagai contoh, film misteri yang belum sempat tersebar luas di bioskop-bioskop Indonesia karena konflik dengan Lembaga Sensor Film ini, dalam waktu singkat mengeluarkan sekuel filmnya “Pocong 2”. Selain itu, filmfilm Indonesia juga mulai mendominasi bioskop-bioskop di Indonesia dibandingkan film luar negeri. Saat ini hampir 75% film yang yang ditayangkan di sebuah bioskop adalah film Indonesia. Misalnya di bulan Mei ini di Daan Mogot Theatre, dari tiga studio yang dimilikinya dua di antaranya memutar film Indonesia, yaitu “Angker Batu” dan “Naga Bonar”, dan lainnya adalah film Holywood “Spiderman”. Kemudian, minat penonton Indonesia terhadap terhadap film buatan negerinya sendiri juga mengalami peningkatan. Sebagai contoh, film yang berjudul “Berbagi Suami”, pemutaran filmnya hampir selama satu bulan bertahan di Daan Mogot Theatre. Ditambah lagi menjamurnya sineas-sineas Indonesia yang berbakat dan potensial dalam mengemas sebuah cerita ke dalam film sehingga mampu membangkitkan gairah penonton Indonesia untuk menonton film buatan negerinya sendiri.
Namun, disamping semua kabar baik di atas, film-film yang dihasilkan masih memiliki kekurangan yang penulis rasa cukup berarti. Dalam film-film tersebut, kadang unsur-unsur kelogisan kurang terlalu diperhatikan. Di dalam tema dan cerita yang dikemas dengan menarik, kadang muncul beberapa kejanggalan kecil. Bagi penonton yang kurang sensitif, kejanggalan ini mungkin tidak terlalu mengganggu, namun sayangnya dapat menjadi sebuah pembodohan untuk mereka. Sebaliknya, bagi penonton yang cukup kritis, kejanggalan tersebut akan sangat mengganggu ketika sedang menikmati sebuah film. Oleh sebab itu, penulis mencoba memaparkan dua kejanggalan yang paling sering ditemukan dalam sebuah film Indonesia. B. Perumusan Masalah Seperti yang dikutip dari situs Wikipedia, “film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie (semula plesetan untuk ‘berpindah gambar’) yang dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figure palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi”.1 Film dapat dibagi menjadi dua, yaitu film fiksi dan non-fiksi. Film-film non-fiksi meliputi film documenter, ilmu pengetahuan, eksperimental, dan animasi. Sedangkan film fiksi meliputi film drama, film komedi, dan lain sebagainya. Film yang baik adalah film yang memiliki dan memenuhi unsur-unsur film, seperti plot, karakter, tema, dan setting, dan lain sebagainya. Namun, ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk membuat penonton tertarik untuk menonton sebuah film, yaitu memiliki cerita yang menarik, karakter-karakter yang unik, atau mungkin juga setting dari film tersebut. Penempatan atau penggunaan komposisi yang tidak tepat unsur-unsur tersebut akan menimbulkan kejanggalan-kejanggalan yang mengganggu. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai kejanggalan dari film-film Indonesia hanya sebatas film fiksi Indonesia dengan selang waktu lima tahun belakangan ini. C. Tujuan Penulisan 1
Fi;m. http://id..wikipedia.org/wiki/Film (23 April 2007) pukul 12.30 WIB
Tujuan penulis menyusun makalah ini, yaitu penulis akan mencoba memberikan penjelasan tentang kejanggalan yang dapat ditemukan dalam sebuah film sehingga dapat menyebabkan penonton film tersebut merasa terganggu terhadap kemunculan kejanggalan tersebut. D. Sistematika Penulisan Dalam makalah ini penulis menyusunnya atas tiga bab, yaitu bab I pendahuluan, bab II janggalnya film Indonesia, dan bab III penutup. Pada bab yang pertama, penulis memberikan paparan mengenai latar belakang, perumusan dan ruang lingkup masalah, tujuan penulisan, sistematika penulisan, dan metode penulisan. Sedangkan, bab yang kedua penulis membagi atas dua bagian. Bagian yang pertama memberikan gambaran mengenai sejarah dan perkembangan film Indonesia, dan yang kedua membahas mengenai kejanggalan yang sering ditemui pada film-film Indonesia. Dan pada akhirnya di bagian ketiga, penulis memberikan kesimpulan dan saran. E. Metode Penulisan Metode yang digunakan penulis untuk mendukung kesempurnaan makalah ini adalah studi pustaka, baik cetak maupun elektronik. Selain itu, penulis juga menambahkan pengalaman penulis sendiri ke dalam makalah ini.
BAB II JANGGALNYA FILM INDONESIA
A. Sejarah dan Perkembangan Perfilman Indonesia Jika dihitung-hitung usia perfilman Indonesia sudah mencapai umur lebih dari 80 tahun. Film Indonesia pertama kali dibuat pada tahun 1926 oleh seorang Belanda Heuveldorp bersama dengan seorang Jerman Kruger yang berjudul “Loetoeng Kasaroeng” yang dibuat di Bandung.2 “Loetoeng Kasaroeng” inilah awal mulanya perfilman Indonesia dimulai, walaupun tidak dibuat oleh anak negeri sendiri namun pemeran, cerita, dan setting yang dipilih adalah seluruhnya asli Indonesia. Kehidupan perfilman Indonesia pada tahun 60-an mengalami kelesuan. Kondisi politik dan ekonomi saat itu sangatlah tidak mendukung produktifitas para pembuat film. Pada periode tersebut tidak hanya film saja yang kehilangan gigi, namun hampir semua bidang seni mengalami kesuraman. Dikarenakan isu-isu politik yang sempat mencekam sehingga kreatifitas para seniman tidak dapat diaktualisasikan dengan bebas. Keadaan berubah pada tahun 70-an, angin segar berhembus pada para pembuat film. Pada periode ini para seniman bebas berekspresi, khususnya bagi mereka yang bersentuhan dengan bidang perfilman. Dengan dikeluarkannnya Kep. No. 71 Th. 1971 oleh Menteri Penerangan Budiharjo3 pada masa itu, maka produktivitas film meningkat pesat. Kebijakan tersebut memperbolehkan para produser untuk meminjam uang sejumlah setengah dari 2 3
Departemen Penerangan RI, Festival Film Indonesia 1985-1990 (Jakarta, 1991) hal 5 Ibid.
biaya produksi film. Uang tersebut merupakan uang pemerintah yang didapatkan dari pungutan dari film-film impor. Film-film impor yang masuk Indonesia pada waktu itu diharuskan menyerahkan sumbangan wajib demi perkembangan perfilman nasional.4 Akibat adanya kebijakan tersebut, disamping meningkatnya produksi perfilman , juga terdapat dampak negatif pada proses produksi perfilman, seperti kru film yang memiliki tugas yang overlapping, ketika satu orang mengerjakan beberapa tugas yang seharusnya dikerjakan oleh sebuah tim. Namun bagaimanapun juga, film “Bernafas dalam Lumpur” produksi Sarinande arahan sutradara Turino Junaidi sukses di pasaran dan menjadi tonggak bangkitnya perfilman Indonesia.5 Beberapa nama sutradara potensial yang berusaha membangun kembali citra film Indonesia pada periode itu, yaitu Wim Umboh, Asrul Sani, Teguh Karya, Syumandjaya, Nico Pelamonia, Ami Priyono, Wahyu Sihombing Arifin C. Noer, dan Nya Abbas Akub.6 Ppada tahun 80-an perfilman Indonesia sudah dapat tampil lebih baik. Film-film yang digarap sudah mulai berani untuk bereksplorasi lebih dalam, misalnya dengan melakukan syuting di luar negeri. Selain itu, para pembuat film juga sudah mampu membuat film-film kolosal, seperti “ November 1828” atau “ Sunan Kalijaga”.7 Walaupun teknik-teknik yang digunakan belum sesempurna film-film luar negeri, namun mereka sudah dapat menggunakan efek-efek khusus dalam film mereka, seperti dalam film “Pasukan Berani Mati” atau “Lebak Membara”.8 Dalam periode ini, pemerintah tidak hanya mendukung perkembangan film Indonesia dari segi produktifitasnya saja, namun juga dalam hal kualitasnya. Perwujudan tersebut dapat dilihat dengan keluarnya SK Menteri RI No. 216/Kep/Men/1983 mengenai Dewan Film Nasional.9 Dewan Film Nasional inilah yang berfungsi
4
Goenawan Mohamad, “Film Indonesia: Catatan Tahun 1974”, Seks, Sastra, Kita (Jakarta, 1981) hal 78 Departemen Penerangan RI, Op. Cit. 6 Ibid. hal 6. 7 Ibid. 8 Ibid. 9 Ibid. 5
sebagai pendamping Menteri Penerangan Nasional dalam melakukan pembinaan perfilman nasional. Perfilman Indonesia pada tahun 90-an sampai dengan 2002 agak memprihatinkan. Produktifitas film menurun dikarenakan lagi-lagi masalah ekonomi. Pada masa itu krisis ekonomi sedang melanda Indonesia, yang berpuncak pada penurunan nilai tukar rupiah yang drastis pada tahun 1998. Film yang muncul sedikit sekali dan itupun harus bersaing dengan film-film luar negeri. Menurut data Sinematek Indonesia, film yang diproduksi pada tahun 1998 ada 4 film, tahun 1999 ada 3 film, tahun 2000 ada 3 film, dan pada tahun 2001 ada 4 film.10 Lima tahun belakangan ini keadaan perekonomian sudah dapat dikatakan agak stabil. Perindustrian film juga mulai menata kembali dirinya. Kebangkitan perindustrian film ini dimulai dengan munculnya sineas-sineas muda. Pada awalnya mereka membuat film-film pendek yang ditayangkan di televisi dengan durasi dua jam dikurangi durasi tayangan iklan yang kemudian disebut sebagai Film Televisi (FTV). Film-film yang mereka buat cukup mengagetkan karena tema yang mereka angka walaupun hanya tema-tema percintaan, entah cinta remaja atau cinta keluarga, dikemas dengan apik. Teknik-teknik pengambilan kamera, penyusunan dialog, pemilihan setting, dan pemunculan karakter-karekter bisa dibilang sangat baik. Kemudian, perkembangan ini sampai sekarang sudah mulai merambah ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu film bioskop. Delapan puluh tahun bukanlah waktu yang panjang bagi perfilman Indonesia untuk terus tumbuh dan berkembang. Selama delapan puluh tahun jatuh bangunnya film Indonesia merupakan sebuah usaha untuk menunjukkan eksistensinya. Dimulai dari seorang Belanda dan seorang Jerman, film Indonesia berusaha untuk terus memperpanjang jalan dan umurnya. Dan sekarang film Indonesia mulai menapaki jalan barunya dengan bertumpu pada para sineas muda berbakat untuk dapat memunculkan eksistensinya di luar sana agar tak kalah dengan film-film luar negeri. 10
J.B. Kristanto. Film Indonesia dan Akal sehat. http:/www.kompas.com/kompascetak/0109/07/dikbud/film38.htm (23 April 2007) 12.30 WIB
B. Kejanggalan Film Indonesia Kondisi perekonomian yang sudah mulai stabil turut membangun suasana bangkitnya perindustrian film Indonesia. Jika diperhatikan pembuatan film Indonesia mengalami kemajuan, hampir semua aspek-aspek pembuatan film dapat dikuasai dengan baik, seperti teknik-teknik pengambilan gambar, pemilihan tema cerita, pemilihan aktris dan juga musik pendukung. Selain itu ditambah dengan kemunculan para sineas muda yang berbakat dan potensial yang telah memperdalam ilmunya di luar negeri yang siap untuk mengemas cerita ke dalam sebuah film. Faktor-faktor seperti modal dan kemampuan sepertinya sudah lengkap didapatkan untuk dapat membuat karya-karya film yang siap diterima oleh masyarakat Indonesia sebagai tanda bangkitnya kembali film Indonesia.. Namun sayang, seperti peribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”, ketidaklogisan akibat munculnya kejanggalan-kejanggalan kecil dalam sebuah film seperti melunturkan betapa berat perjuangan dalam membuat sebuah film. Ada dua kejanggalan yang sering kali muncul dalam film-film Indonesia sampai saat ini, yaitu kejanggalan pada setting dan dialog. 1. Setting Setting merupakan sebuah latar belakang, baik waktu maupun tempat, terjadinya sebuah cerita dalam sebuah fim. Pemilihan setting, khususnya tempat untuk mendukung atau membangun sebuah suasana dalam film, dapat dikatakan sudah sangat baik dalam beberapa tahun belakangan ini. Contohnya dalam film “Bintang dari Surga”, sutradara dari film ini Sekar Ayu Asmara lebih memilih Yogyakarta sebagai setting tempat daripada Jakarta, agar dapat membangun suasana cerita dengan lebih baik.11 Dibalik pemilihan tempat dan waktu sebagai setting, sering terjadi ketidakcocokan antara setting tersebut dengan detail-detail yang ada dalam film tersebut. Misalnya ada ketidakcocokan antara peralatan canggih dengan setting waktu, atau ketidakcocokan antara setting tempat dengan 11
Bintang dari Surga. http:/wiwienwintarto.multiply.com/tag/film (23 April 2007) 12.30 WIB
setting waktu itu sendiri. Coba bayangkan bila ada sebuah film yang menampilkan adegan seseorang yang menggunakan sebuah pager, padahal kejadiannya mengambil waktu pada tahun 2004. Sedangkan kita semua tahu bahwa pager di awal tahun 2000-an sudah tidak muncul lagi. Maka dengan munculnya pager dalam adegan ini, film kelihatan tidak logis akibat kejanggalan tersebut. Contoh yang paling konkrit ada pada film “Mendadak Dangdut”, film yang dibintangi oleh Titi Kamal dan Kinaryosih ini memiliki sebuah kejanggalan yang penulis anggap cukup fatal, karena mengakibatkan cerita menjadi tidak logis. Seperti yang dikutip dari sebuah ulasan tentang film ini dalam sebuah situs di internet, “…bagaimana mungkin seorang bintang penyanyi terkenal menjadi buronan polisi bersembunyi dalam sebuah kampung kecil dan tidak ada seorang pun dari warga kampung tersebut mengenalinya”.12 Dalam realita, hal tersebut memang sangat tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin ada seorang pun yang tak dapat mengenali seorang artis penyanyi terkenal yang bersembunyi di kampungnya, padahal banyak media massa elektronik dan cetak di manamana. Selain itu, kampung yang menjdi setting tempat kejadian cerita tersebut hanyalah sebuah kampung di pinggiran kota yang masih memiliki akses informasi yang cukup luas. Kecuali, jika kampung tersebut merupakan sebuah kampung yang benar-benar tertinggal, seperti di pedalaman Papua, maka sangat memungkinkan tak seorang pun dapat mengenalinya. Sungguh disayangkan jika sebuah cerita menarik menjadi rusak hanya karena kejanggalan kecil. 2. Dialog Dialog sangat berperan penting dalam sebuah film. Adanya dialogdialog dalam film sangat membantu membangun suasana cerita dan membuat film lebih hidup. Dengan adanya dialog, penonton dapat mengerti akan jalan cerita dari sebuah film, dan juga dapat membawa penonton serasa terlibat dalam film tersebut. 12
Mendadak Dangdut. http:/wiwienwintarto.multiply.com/tag/film (23 April 2007) 12.30 WIB
Dialog-dialog dalan sebuah film biasanya ditulis oleh penulis skenario. Penulis skenario mempunyai tugas yang sangat berat, karena ia harus menyusun dialog per dialog sehingga dapat dirangkai menjadi sebuah cerita yang utuh. Namun, menurut pendapat penulis, keahlian penulis skenario film Indonesia bisa dibilang masih lemah. Banyak kekurangan-kekurangan yang membuat dialog menjadi janggal, tidak masuk akal, dan kurang dapat dinikmati. Ada beberapa film Indonesia yang memiliki dialog yang kurang baik dan kurang dapat dinikmati. Misalnya dialog-dialog yang dibuat terlalu pendek-pendek, atau jeda waktu yang terlalu panjang antara satu dialog dengan dialog yang lain yang tidak mampu membangun suasana cerita dalam film tersebut. Contoh lain yang paling jelas dapat ditemukan dalam fim “Banyu Biru” yang dibintangi oleh Tora Sudiro. Kejanggalan dialog terdapat pada sebuah adegan dalam sebuah gerbong kereta api yang berjalan. Saat itu Banyu sedang dalam perjalanan menuju rumah ayahnya dan duduk berhadapan dengan seorang lelaki tua. Dalam film tersebut ada dialog yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut. Lelaki tua tersebut bertanya mengenai tujuan Banyu, yang kemudian dijawab oleh Banyu bahwa ia ingin menemui ayahnya yang sudah sepuluh tahun tak ditemuinya. Anehnya, lelaki tua itu berkomentar bahwa sungguh wajar seorang anak memiliki masalah dengan orangtuanya. Sungguh janggal, seolah-olah lelaki tua tersebut telah mengetahui bahwa Banyu memang memiliki masalah dengan ayahnya. Padahal dalam realita, jika seorang bertemu dengan orang asing tentu saja orang asing tersebut mungkin akan bertanya lebih jauh mengapa sudah lama tak bertemu dengan ayahnya, atau mungkin bertanya hal yang lain, namun tidak langsung berkomnetar seperti diatas. Dua kejanggalan dari sekian kejanggalan lain yang sering muncul di dalam sebuah film akan menimbulkan dampak yang negatif terhadap kepuasan penonton. Bagi mereka yang kritis dalam menonton sebuah film, kejanggalan-kejanggalan yang muncul akan sangat mengganggu mereka.
Perhatian mereka dapat teralihkan dari cerita di film tersebut kepada kejanggalan yang muncul dalam film tersebut. Akibatnya, mereka jadi kurang menikmati film yang sedang mereka tonton.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Perfilman Indonesia sudah berumur lebih dari 80 tahun. Delapan puluh tahun merupakan waktu yang panjang untuk puas berkarya dalam seni, khususnya bagi perfilman Indonesia. Perfilman Indonesia masih punya waktu yang lebih panjang daripada itu. Selama itu perfilman Indonesia masih harus terus beljar sambil berkarya untuk menciptakan karya yang masterpiece. Masih banyak kejanggalan-kejanggalan kecil muncul dalam film Indonesia yang harus dihilangkan . Karena, disadari ataupun tak disadari oleh penontonnya, hal tersebut berakibat pda kepuasan mereka terhadap film tersebut. B. Saran Meningkatnya produksi perfilman yang berarti perfilman Indonesia sedang beranjak dari tidur menuju kebangkitanya memang menggembirakan. Namun, masih ada yang perlu diperhatikan dalam pembuatan sebuah film. Ketelitian sangat diperlukan dalam pembuatan sebuah film yang bagus, terutama dalam pemilihan setting. Sebaiknya pembentukan komposisi antara setting baik waktu dan tempat perlu lebih diperhatikan dan lebih teliti lagi. Agar tidak muncul kegajilan-keganjilan yang mengganggu. Begitu pula dalam dialog, sekali lagi ketelitian sangat diperlukan disini. Karena sebuah dialog aneh muncul, atau dialog yang tidak pas dengan situasi cerita akan sangat mengganggu para penonton yang menontonnya.
BIBLIOGRAFI
CETAK Departemen Penerangan RI. Festival Film Indonesia 1985-1990. Jakarta: Direktorat Publikasi Direktorat Jenderal PPG Departemen Penerangan RI, 1991 Mohamad, Goenawan. Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981 Irawanto, Budi. Film, Ideologi, dan Milier. Yogyakarta: Media Pressindo, 1999 Prananto, Jujur. Sebuah Skenario Jujur Pranant Ada Apa dengan Cinta. Jakarta: Metafor, 2002
ELEKTRONIK “Bintag dari Surga”. http:/wiwienwintarto.multiply.com/tag/film (23 April 2007) 12.30 WIB “Cewe Matrepolis”. http:/wiwienwintarto.multiply.com/tag/film (23 April 2007) 12.30 WIB “Issue”. http:/wiwienwintarto.multiply.com/tag/film (23 April 2007) 12.30 WIB “Mendadak Dangdut”. http:/wiwienwintarto.multiply.com/tag/film (23 April 2007) 12.30 WIB “Festival Film Indonesia”. http:/id.wikipedia.org/wiki/Festival_Film_Indonesia (23 April 2007) 12.30 WIB “Film Indonesia Masa Kini, Lemah Tema dan Cerita”. http:/www.suarapembaruan.com/News/2005/10/25/Hiburan/hib01.htm (23 April 2007) 12.30 WIB “Perfilman Indonesia”. http:/id.wikipedia.org/wiki/Perfilman_Indonesia (23 April 2007)
12.30 WIB Kristanto, J.B. “Film Indonesia dan Akal Sehat”. http:/www.kompas.cm/kompascetak/0109/07/dikbud/film38.htm (23 April 2007) 12.30 WIB