Film In Die Indonesia

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Film In Die Indonesia as PDF for free.

More details

  • Words: 9,480
  • Pages: 28
Silahkan akses di www.filmalternatif.org Air Mata Surga, Gerakan Film Independen Indonesia memadukan seni, teknik, dan mimpi Oleh: Taufik Andrie PERTENGAHAN Oktober lalu ada sebuah diskusi di Hotel Indonesia –hotel bersejarah yang dibangun Presiden Soekarno dari hasil pampasan perang dari Jepang— tentang film independen yang diwarnai dengan semangat ingin punya film sendiri buatan Indonesia. Ada sekitar 30 anak muda dari berbagai kine klub seluruh Indonesia, datang mengikutinya. Diskusi bertema "Bagaimana Distribusi dan Eksibishi Film Independen" digelar oleh Jaringan Kerja Forum Film Indonesia, biasa disingkat Forum Film –organisasi payung berbagai kine klub, dari Lampung, Jakarta, Yogyakarta, Malang, Bali hingga Makassar. Perbincangan berlangsung meriah. Hadir Mira Lesmana, sutradara-cumproduser film Kuldesak (1998), Petualangan Sherina (2000) dan Ada Apa Dengan Cinta (2002), sebagai pembicara. Berapi-api Mira bercerita tentang perlunya pengetahuan bisnis bagi indie filmmaker, baik dalam segi promosi, pemasaran, hingga strategi penayangan film. Sebagian pengalaman saat ia mengedarkan Kuldesak, ia ceritakan; bagaimana merayu manajemen jaringan bioskop 21, bagaimana memutar film di kampus-kampus, yang tiket masuknya cuma dibayar saweran sambil mengedarkan topi. "Keluhan para filmmaker selama ini kan jelas, bikin film tapi tak tahu harus diputar dimana, caranya seperti apa, perlu promosi atau nggak dan seterusnya. Di samping itu, kebanyakan dari mereka tak paham betul peta perfilman Indonesia," kata Mira. Beragam tanggapan bermunculan. Ada yang bertanya, ada yang cerita kegagalan pemutaran film indie mereka, ada pula yang menggugat konsepsi Mira dalam memasarkan film. Diskusi pun usai dengan menyisakan tanda tanya, "Bagaimana merumuskan strategi distribusi film independen dengan baik dan merata bagi pecinta film yang tersebar di berbagai daerah?" Pemandangan seperti ini tentu takkan mudah kita temukan empat atau lima tahun lalu. Kini, jangankan diskusi model begini, puluhan film indie dapat kita saksikan melalui pelbagai festival. Salah satu arena pemutaran yang paling hangat, Festival Film Video Independen Indonesia (FFVII) ke-IV pada 17-20 Oktober lalu di Hotel Indonesia yang digelar Komunitas Film Independen (Konfiden), sebuah yayasan

film di Jakarta yang berdiri pada 1999. FFVII kali ini bertema "Kualitas Dalam Berkarya" dan melibatkan 78 film Indonesia dan 39 karya undangan dari 10 negara. FFVII pertama yang digelar tahun 1999 memutar tak kurang dari 72 karya peserta. FFVII kedua tahun 2000 menggelar 87 film peserta. Sedang tahun lalu, dalam festival ketiga, FFVII menghadirkan 62 film karya peserta dan 32 film undangan dari tujuh negara. Karya undangan sebagian besar didapat dari Oberhausen International Short Film Festival di Jerman dan Tampere International Short Film Festival di Finlandia. Dampak festival itu luar biasa. Kine klub bermunculan. Pemutaran film secara reguler bergulir di mana-mana. Dari kampus ke kampus. Dari kota ke kota. Uniknya, kine klub tak hanya jadi komunitas kampus. Tak jarang anak sekolah menengah atas (SMA), bahkan sekolah menengah pertama (SMP), memiliki kelompok sejenis. Bagi mereka, bikin film jadi semacam kegemaran baru. DULU Orde Baru represif memasung kreativitas anak muda. Bikin film jadi pekerjaan mustahil bagi anak muda. Negara menetapkan pelbagai syarat untuk memproduksi film. Mulai dari izin Departemen Penerangan, aktor maupun aktris film harus ikut anggota Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi), awak film harus jadi anggota organisasi Karyawan Film dan Televisi (KFT), pembuat film harus ikut Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) dan lainnya. Repotnya, untuk jadi sutradara film harus pernah jadi asisten sutradara minimal empat kali. Belum lagi harus berurusan dengan gunting sensor dari Lembaga Sensor Film (dulu namanya Badan Sensor Film), dan membayar pajak tontonan bioskop ke Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N). Lebih lucu lagi, sempat muncul aturan pada 1980-an bahwa bikin film harus dapat izin dari Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, yang waktu itu dipimpin Laksamana Soedomo –salah satu tukang pukulnya Presiden Soeharto. Sedikitnya ada 38 lembar formulir yang harus diisi untuk proses izin pembuatan dan penayangan film. Itulah kenapa hanya orang-orang tertentu yang mampu bikin film. Kondisi ini berlangsung selama lebih dari 30 tahun. Terlebih setelah Undang-undang Nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman Indonesia diberlakukan. Menurut Hinca Pandjaitan dan Dyah Aryani dari Indonesia Media Law and Policy Centre dalam buku Melepas Pasung Kebijakan Perfilman Indonesia (2001), aturan itu membelenggu kreativitas berkarya sekaligus berandil besar dalam ambruknya industri film

nasional. Itu baru satu aspek. Di sisi lain, Gotot Prakoso, dosen matakuliah film Institut Kesenian Jakarta, melihat dominannya peran negara dalam menafsir fungsi film. Gotot mengatakan, "Kini negara memang tak lagi mengambil keputusan terhadap film. Dulu, film nasional masih dikuasai pemerintah, dengan dalih film semata-mata bukan sebagai barang dagangan, negara menjadikan film sebagai media propaganda." Film Pengkhianatan G30S PKI (1978) karya Arifin C. Noer, yang berkisah tentang apa yang dikenal sebagai upaya kudeta Partai Komunis Indonesia pada 30 September 1965, agaknya bisa jadi contoh. Propaganda visual yang tak lekang. Selama 20 tahun sejak ditayangkan TVRI tahun 1978, film ini tiap tahun ditayangkan TVRI sehingga merasuki sanubari terdalam kebanyakan warganegara Indonesia, terutama anak-anak yang lahir sejak awal 1970-an. Imbasnya, PKI jadi setan yang menakutkan. Film jadi instrumen untuk mencitrakan "musuh masyarakat" dengan apik, namun sarat propaganda. Victor C. Mambor, peneliti seni pertunjukan pada Yayasan Kelola Solo, mengatakan, "Akhir dekade 1980-an film Indonesia hanya berisikan tematema komedi, seks, seks horor, dan musik (dangdut) dengan tujuan untuk mencapai keuntungan saja. Dengan mutu yang rendah, dan asalasalan dari segi cerita dan sinematografi." Saking buruknya kualitas film, Festival Film Indonesia (FFI) yang diadakan sejak 1973 harus dihentikan penyelenggaraannya pada 1994. Saat itu juga impor film Amerika, Mandarin, dan India tengah marak. Mambor mencatat, Indonesia menerima 1000 sampai 1200 film asing per tahun melalui bioskop, televisi, video compact disk dan download melalui internet. Faktir utamanya karena merosotnya produksi film nasional. Produksi film nasional pada 1970-an mencapai 604 judul film dengan rerata produksi 60 film per tahun. Jumlah ini mengalami peningkatan pada 1980-an menjadi 721 judul film dengan rerata 70 film per tahun. Bandingkan dengan dekade 1990-an. BP2N mencatat tak sampai separuh dari jumlah produksi tahun 1980-an, yakni berkisar 200 sampai 300 film dalam 10 tahun terakhir. Sangat jauh jika dibanding industri Bollywood di India yang mampu menembus angka 1000-1500 film dalam 10 tahun. Selama rentang itu pula tema sinema Indonesia, menurut Victor C. Mambor, tak pernah bergeser dari seks, kekerasan dan sadisme mistis. Cermin kegagapan insan film atas mandeknya kreativitas akibat ketatnya aturan main pemerintah. Pula, bisa jadi cermin atas selera masyarakat.

Mambor punya permisalan menarik. Film Akibat Pergaulan Bebas (1974) meraup 311.286 penonton, 30 persen lebih banyak dibanding film Badai Pasti Berlalu (1974) garapan sutradara Slamet Raharjo Djarot yang memenangi piala Antemas untuk kategori film laris yang bermutu. Ironis bukan? Secara umum, Katinka van Heeren, peneliti gerakan film Indonesia dari Universitas Leiden Belanda, melihat ada tiga faktor yang melatari mandeknya indutri film Indonesia, "Peraturan yang membatasi yang cenderung jadi lebih mematikan. Kedua, monopoli bioskop oleh kelompok bisnis Subentra Group dengan jaringan 21 Cineplex milik Sudwikatmono, relasi Soeharto, yang merugikan film lokal dengan hanya memutar film Hollywood yang eksklusif. Ketiga, sinetron atau opera sabun yang ditayangkan TV swasta sejak awal 1990-an yang terbukti lebih populer dibanding film." WARNA baru film Indonesia justru muncul saat kelesuan produksi hampir mencapai titik nadir, dibawa seorang anak muda lulusan sekolah film Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 1986. Ia Garin Nugroho, yang gelisah atas kondisi anomali film Indonesia. Berbekal pengetahuan film dan intuisi yang tajam, Garin mampu membaca kebutuhan apresiasi masyarakat akan film nasional dengan baik. Garin datang membawa angin perubahan. Dengan pilihan tema yang realis dan kemampuan bertutur yang subtil, Garin mampu memukau penonton yang tengah dilanda dahaga apresiasi. Jika dihitung, dari awal dekade 1990an hanya film-film Garin Nugroho yang dianggap mampu bertahan dengan idealisme dan pasar tersendiri. Debutnya dalam Cinta Dalam Sepotong Roti (1991), bikin banyak kalangan tercengang. Caranya bertutur tentang kehidupan rumah tangga, problem sosial hingga perbincangan tentang seks, terkesan elegan dan tak biasa. Film ini menyabet piala citra dalam FFI tahun 1991 sebagai film terbaik. Berturut-turut Garin menyutradarai Surat Untuk Bidadari (1994), Bulan Tertusuk Ilalang (1995), Daun Di Atas Bantal (1998), Puisi Tak Terkuburkan (1999), Rembulan Di Ujung Dahan (2002), Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002) hingga puluhan serial Anak Seribu Pulau (1995) dan Pustaka Anak Nusantara (2001), yang banyak mengupas isu multikulturalisme. Dalam peluncuran film terbarunya, Aku Ingin Menciummu Sekali Saja yang berlatar budaya Papua, Garin kembali menasbihkan karakter filmfilmnya. Bingkai filmnya terutama ditujukan untuk selalu berdialog

dengan isu sosial politik mutakhir. Tak hanya diam. Kadang menggugat, kadang memperkirakan masa depan, kadang menafsirkan realitas. Selebihnya, Garin mengambil posisi diametral dengan arus utama, dalam ide dasar, cara produksi, pemilihan lokasi dan penokohan. Hingga kini Garin telah mengoleksi kurang lebih 23 penghargaan, yang ironisnya, sebagian besar didapat dari festival film internasional di luar negeri. Untuk memberi satu contoh, sebut saja Puisi Tak Terkuburkan, film terbaik dalam Festival Film Singapura ke 14, tahun 1999. GARIN boleh saja jadi ikon, tapi pelatuk yang meledakkan genre sinema independen tetap dipegang Kuldesak (1998) bikinan sekelompok anak muda yang tergabung dalam komunitas Days For Night Films. Mereka, Mira Lesmana, Riri Riza, Nan Triveni Achnas dan Rizal Mantovani. Kecuali Rizal, anak-anak muda ini lulusan sekolah film IKJ, yang tergila-gila untuk bisa bikin film sendiri. Sebelumnya mereka hanya bikin iklan, film-film pendek untuk keperluan studi dan layanan masyarakat, sesekali bikin video klip. "Keinginan bikin film sudah tinggi, sutradara-sutradara tua sedang tidak produksi, satu-satunya yang bergerak cuma Garin Nugroho. Kita cuma bermodal 50 juta waktu itu, peralatan kita pinjam, tempat kita pinjam, kita belum mikir apa akan ada yang nonton nanti," kata Mira. Mulanya Kuldesak dibikin tahun 1996. Peraturan pemerintah masih sangat ketat. Paling repot, diantara segunung persyaratan tersebut tak satupun dari mereka yang pernah jadi asisten sutradara sampai empat kali. Awalnya Mira sempat frustasi. Tapi bagaimanapun rencana harus jalan terus. Dengan modal nekat, proyek ini dikerjakan. Syuting dilakukan diamdiam. Hampir semua awak film tak dibayar; dari pemain, sutradara, kameraman, hingga pembuat lagu soundtrack, Ahmad Dhani dan Andra Ramadhan dari kelompok musik Dewa. Upahnya cuma ucapan terima kasih dan jalinan pertemanan. "Pokoknya repot deh. Masak bikin film harus pakai izin dari Kompkamtib segala, gila kan. Karena persoalan-persoalan itulah syuting Kuldesak lama, mana kita tak punya izin, belum ada yang punya lisensi sutradara. Pokoknya Kuldesak butuh 2,5 tahun, sampai 1998 baru bisa tayang di bioskop," kata Mira. Setelah melobi Sudwikatmono berkali-kali, Subentra Group yang mengangkangi jaringan bioskop 21 milik Sudwikatmono, akhirnya

menayangkan film ini. Secara bisnis, Kuldesak memang tak sukses, tapi sejarah tetap mencatat gebrakan mereka. Kuldesak kemudian jadi ikon gerakan film independen Indonesia. Kuldesak murni generasi baru film Indonesia. Film khas kehidupan anak muda metropolitan, sarat konflik dan penyelesaian yang tak biasa, tak ada unsur menggurui, namun tetap meledak-ledak. Sebagai pemicu, Kuldesak layak dibenarkan. Namun Gotot Prakoso, punya pandangan lain perihal kemunculan gerakan ini. "Secara istilah memang film independen baru muncul setelah reformasi, trigger-nya mungkin lewat Kuldesak. Sebelumnya sudah ada, cuma namanya bukan independen, namanya masih film pendek atau film mini yang diilhami munculnya trend rok mini pada dekade 1980-an yang diganyang pemerintah. Orang-orang seperti Eros Djarot, Christine Hakim, Slamet Raharjo Djarot dan Garin Nugroho, pernah mengalami masa ini. Semangatnya sudah ada, hanya istilahnya saja yang berbeda," katanya. Persoalan istilah berikut perkembangan generasi baru film Indonesia mendapat perhatian serius dari Katinka van Heeren, peneliti pada Indonesian Mediations Research Project dari Unversitas Leiden Belanda dalam papernya di International Institue for Asian Studies Newsletter edisi Agustus 2002. Ia menulis, "Yang mendorong gerakan ini bukan hanya karena kebetulan belaka akibat iklim politik pada masa reformasi, tapi lebih penting lagi, juga berdasar pada ketersediaan media audio visual baru untuk merekam dan memutar film. Satu elemen dari gerakan film baru berangkat dari istilah independen atau film independen, yang telah jadi model dan semboyan bagi banyak anak muda Indonesia untuk membuat film mereka sendiri." SOAL istilah dan kriteria memang pelik. Beragam perdebatan salingsilang, berebut kebenaran dalam mendedah definisi dan karakteristik film independen. Sebelum itu, ada baiknya kita sedikit menengok sejarah film independen di kampung asalnya, Amerika. Semangat awalnya mula-mula karena kejenuhan John Cassavettes, filmmaker yang terpengaruh gerakan film di Perancis paruh 1950 hingga 1960-an. Kebosanan Cassavettes atas tema-tema film Hollywood yang kerap mengedepankan populisme, patriotisme, drama romantik dan kekerasan diwujudkan dalam film pertamanya yang kontroversial, Shadows (1962).

Sosok Cassavettes, oleh Greg Merritt dalam bukunya Celluloid Mavericks, A History Of American Independent Film (2000), digambarkan sangat inovatif. Merritt menyebut Cassavettes seorang inovator, yang menggunakan teknologi secara benar, tak menggunakan aktor profesional, dan sarat improvisasi. Kritikus film percaya Cassavette sedang memberontak pada Hollywood. Ia dianggap benar-benar menumbuhkan semangat independen. Satu lagi pelopor indies film, Dennis Hopper, sutradara Easy Rider (1969), yang dibintangi antara lain Peter Fonda, yang berhasil meraup US$ 19 juta. Sejak itu, indies film, istilah film indie di Amerika, tak lagi dipandang sebelah mata. Mau tak mau, Hollywood akhirnya berpaling pada bakat-bakat, tema-tema dan cara pembuatan film yang tak lazim dalam sejarah industri Amerika. Di antara nama-nama besar di era 1980 hingga 1990-an seperti Steven Soderbergh (Sex, Lies and Videotape, 1989), Bob Goldthwait (Shakes The Clown, 1991) dan Peter Jackson (Bad Taste, 1987). Ada dua orang nama yang dianggap paling berpengaruh. Kritikus film menyebut mereka "Legendary Hero Of The 90s". Dua orang berbeda, namun satu karakter, yakni Quentin Tarantino dan Robert Rodriguez. Mereka berusia muda, bukan lulusan sekolah film, dan nekat. Tarantino muda hanyalah seorang penjaga kios video. Pengetahuan dan karakter filmnya dapat dijejaki dari caranya menghafal 2000 judul film lengkap dengan adegan-adegann menariknya. Kelak, kemampuannya menulis skenario ditentukan dari sini. Debutnya lewat Reservoir Dogs (1992) membelalakkan mata para Hollywooders, yang tak menyangka bakal kedatangan film drama genre baru. Reservoir Dogs yang kaku, dingin, dan tersendat-sendat dalam alur ternyata mampu membukukan penjualan sebesar US$ 2,8 juta dari modal awal yang cuma US$ 400 ribu. Tak hanya itu, film ini bahkan mampu menghasilkan penghargaan sebagai Best Director dalam Catalonian International Film Festival (1992). Selain itu juga memenangi Best Screenplay pada Stockholm Film Festival (1992) dan Newcomer Of The Year pada London Critics Circle (1992). Tarantino hanya butuh dua tahun untuk bisa sejajar dengan sutradara papan atas Hollywood. Dengan Pulp Fiction (1994) yang mampu menembus angka US$ 108 juta, ia meraup 21 penghargaan, dari Best Director, Best Screenplay hingga Best Motion Picture pada 16 ajang yang berbeda di empat negara; Amerika, Inggris, Perancis, dan Swedia. Rodriguez tak berbeda dengan Tarantino. El Mariachi (1992) dibuatnya

dalam usia 23 tahun. Dibuat hanya dalam 14 hari, dengan dana US$ 7 ribu tanpa membayar seorang pemain pun. Film ini meraup US$ 1,6 juta, bukan angka yang wah di Hollywood, tapi dengan modal setipis itu deretan angka ini jadi fantastis. Kecemerlangan Rodriguez tampak pula pada bukunya, Rebel Without A Crew (1990). Buku ini mengilhami banyak sineas muda dalam membikin film berdana rendah tanpa campur tangan pemodal, tanpa campur pendapat produser maupun distributor. Genre baru dalam melawan cara kerja film Hollywood yang melulu berorientasi pasar. Saat Rodriguez mempresentasikan El Mariachi pada suatu festival di tahun 1993, bertemulah ia dengan Tarantino. Duet keduanya menghasilkan From Dust Till Dawn (1996), film horor genre baru yang sarat serba-serbi kekerasan. Serta Four Rooms (1995) yang disutradari oleh empat orang sekaligus. Robert Rodriguez, Alison Anders, Alexandre Rockwell dan Quentin Tarantino. Berikut Desperado (1997) yang jadi cermin pembuatan ulang El Mariachi. Di Indonesia, metamorfosa sempurna El Mariachi dan Four Rooms dilihat dari cara dan semangat berkarya serta kombinasi penyutradaraan ala empat orang terpatri kuat pada Kuldesak. BERBEDA dari Amerika, Indonesia punya latar tersendiri dalam gerakan film independen. Selain dana, tema, dan kemandirian pada aras produksi dan distribusi, gerakan film independen Indonesia juga diganjal oleh aturan main negara dalam perfilman. Ada pula dimensi ideologis, yang bermuara pada film sebagai gerakan budaya. Harry Dagoe Suharyadi, sutradara film Pachinko and Everyones Happy (1999), beberapa bulan lalu, dalam satu wawancara dengan saya mengatakan, "Sinema independen di Amerika awalnya merupakan perlawanan terhadap produksi dan jalur distribusi film major yang dikuasai oleh sedikit perusahaan, seperti misalnya Warner Bross, Columbia Pictures, Paramount Pictures dan 21 Century Fox." "Sedang di sini kan jelas-jelas nggak ada industri besar. Jadi independennya lebih ke perlawanan terhadap aturan-aturan yang selama ini membelenggu kreativitas, aturan yang punya kepentingan berbeda dari kepentingan pembuat film. Pemberontakan terhadap aturan yang menghambat proses kreatif inilah karakteristik dasar gerakan sinema independen," katanya. Aturan yang dimaksud Suharyadi tak lain adalah Undang-undang perfilman No 8 tahun 1992 dan peraturan turunannya. Dalam pasal 23 dan 29 Peraturan Pemerintah No 6 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan

Usaha Perfilman hanya terdapat tiga kategori film; film komersial, film diplomatik dan film khusus. Padahal flm khusus dimaksud bermakna, "film yang dimasukkan ke Indonesia untuk tujuan khusus seperti film pendidikan, film instruksi, film untuk seminar atau festival yang tidak bersifat komersial." Artinya, secara yuridis film independen tak dikenal di Indonesia. Belum lagi jika menilik pasal 9 ayat 1 Undang-undang No 8 tahun 1992 tentang Perfilman, yang berbunyi, "Usaha perfilman di Indonesia hanya dapat dilakukan oleh warga negara Indonesia dalam bentuk badan usaha yang berstatus badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang usaha perfilman. Sedang ayat 2 berbunyi, "Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memiliki izin usaha perfilman." Kita tentu tahu, kebanyakan film indie dibikin oleh anak-anak muda yang hanya bermodal handycam pinjaman. Dana seadanya, manajemen sekedarnya dan kadang cenderung asal-asalan. Sumber dana biasanya didapat dari patungan sesama mereka. Jelas sama sekali tak berbadan hukum, apalagi mengantongi izin usaha perfilman. Ketergantungan hampir tak ada, bahkan dalam urusan distribusi. Senada dengan Suharyadi, secara eksplisit, Victor C. Mambor mengatakan, "Film independen adalah film tanpa campur tangan pemilik modal, tak memperhitungkan aspek komersial. Kita biasa menyebutnya proyek idealis." Dana alias modal jelas jadi varibel utama. Membuat film memang tak murah. Sekadar gambaran, pita seluloid 35 mm yang 1 rollnya berharga Rp 4 juta cuma mampu merekam selama empat menit. Sedang kamera Betacam SP, kasetnya seharga Rp 110 ribu dengan kemampuan merekam hingga 30 menit. Digital Video atau Digital Beta lebih murah lagi dengan Rp 400 ribu bisa merekam gambar hingga 180 menit. Itu baru kaset atau pita seluloid. Belum biaya pra-produksi, produksi dan pascaproduksi. Dari aspek pilihan instrumen, Satrya Wibawa, staf pengajar komunikasi Universitas Airlangga Surabaya, pegiat Independen Film Surabaya (INFIS), mengatakan, "Istilah ini mengerucut pada film-video yang tak diputar di bioskop. Sebagai wacana, film jenis ini memiliki kebebasan dalam berekspresi, dalam ide, mekanisme produksi maupun distribusi. Sedang secara teknis, film independen asosiatif dengan film pendek, sarat idealisme, nonkomersial, dan biasanya berupa film-video." Merunut alasan Satrya, kita bisa mereka-reka berapa rerata jumlah

yang dibutuhkan dalam satu produksi film indie. Umumnya, mereka menggunakan digital video kamera atau Betacam yang harga kasetnya berkisar Rp 110 ribu hingga Rp 400 ribu. Biaya riset, syuting dan keseluruhan dari pra-produksi hingga paska-produksi, termasuk editing butuh Rp 2-3 juta, bisa lebih kecil dari itu. Satrya bahkan pernah bikin film pendek hanya dengan Rp 350 ribu. Rinciannya, 20 ribu untuk kaset 8 mm, editing Rp 200 ribu, dan Rp 100 ribu untuk biaya lainlain. Dari segi tema, film indie agaknya tengah menemukan bentuknya. Ismet Fanany dari Yayasan Pop Corner yang getol memberikan workshop pada anak-anak sekolah mengatakan, "Sangat luas ya, dalam satu workshop yang sempat kami berikan, temanya yang diangkat macam-macam. Ada kehidupan urban, horor, cinta-cintaan, kemiskinan dan cerita-cerita seputar kehidupan mereka." Kekayaan tema inilah yang jadi kebanggaan Aryo Danusiri dari Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET). "Temanya berkembang sekali, banyak yang baru bahkan. Memang banyak juga yang masih melakukan penjelajahan, tapi variasi temanya gila-gilaan. Lihat saja Air Mata Surga, film pembuka FFVII kemarin, pencapaian teknis dan artistiknya sempurna. Pilihan temanya pas, lokal dan biasa kita temui seharihari." Secara ideologis, Tomy Taslim, administrator milis [email protected] dari Forum Film, mengatakan, "Saya lebih suka menyebut gerakan film sekarang sebagai gerakan sinema budaya, gerakan untuk mensinemakan budaya dan membudayakan sinema." Victor C. Mambor, dalam makalah "Satu Abad Gambar Idoep di Indoensia" punya definisi yang tak jauh beda. "Ada perubahan visi dari semula film sebagai industri budaya ke film sebagai gerakan budaya. Di negara-negara Eropa era 1980-an, kesadaran itu baru muncul, hampir sama seperti yang terjadi di sini sekarang. Kemunculan gerakan film independen Indonesia berangkat dari pengetahuan yang baik dalam hal sinematografi, dan paralel dengan kemudahan akses terhadap teknologi sinema," katanya. Secara lebih subtil, Garin bahkan meminta gerakan film indie diparalelkan dengan gerakan politik kontemporer. Ia mengatakan, "Gerakan film itu sama dengan gerakan politik, semuanya harus dipersiapkan. Jangan ketika gerakan selesai terus momentumnya direbut orang lain. Sistemnya harus dipersiapkan. Kalau dalam politik kan belum, dalam reformasi Undang-undang politik, Undang-undang pemilu dan kepemimpinan politik belum dipersiapkan. Akhirnya kan direbut orang lain."

Seorang kawan saya, Dimas Jayasrana, sutradara dari komunitas Youth Power Purwokerto, punya jawaban bagus, "Meminjam istilah seorang kawan di Bandung, lupakan indie, mari bikin film". Pernyataan tegas untuk tak terjebak pada idiom kosong. SEBAGAI sebuah gerakan, film indie tentu punya banyak kendala. Dari minusnya sumber daya manusia, kurangnya dukungan negara lewat LSF dan BP2N terhadap gerakan ini. Serta sedikitnya dukungan infrastruktur dari industri pertelevisian dan bioskop di Indonesia. Perkara penting yang dianggap menghambat daya inovasi dan kreasi dalam sineas Indonesia yaitu sensor. Turunan pasal 33 dan 34 Undangundang Perfilman No. 8 tahun 1992 ialah Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, lembaga yang bertugas menjaga nilai budaya bangsa dan melindungi masyarakat dari dampak negatif film. "Kalau film itu diputar untuk publik, apalagi menggunakan tiket, maka sensor harus diberlakukan. Itu ada aturannya. Kecuali film tersebut diputar di wilayah diplomatik atau di kedutaan yang mempunyai kekebalan diplomatik, kita akan menghormati hal itu," kata Tati Maliyati Wahyu Sihombing, ketua LSF. Tati Maliyati juga mengajar di jurusan teater Institut Kesenian Jakarta, pernah pula menyutradarai serial Losmen, tayangan drama terkenal TVRI pada paruh 1990-an. Sensor identik dengan menggunting film. Dalam pasal 17 disebutkan, sensor ialah menghilangkan sebagian gambar yang masuk dalam kategori penyensoran, yaitu gambar-gambar yang menyiratkan anti-Tuhan, antiagama, pornografi, adegan persenggamaan, bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, adegan kekerasan, menyiratkan paham Marxisme dan Komunisme serta hal-hal yang mengganggu ketertiban umum. "Sensor itu digunakan untuk melindungi masyarakat dari pengaruh buruk film. Kita ini kan bangsa timur, hampir 90 persen penduduk Indonesia muslim, jadi harus dihargai. Dijaga nilai-nilainya. Jadi misalkan, maaf adegan senggama kok ditayangkan untuk publik, ya tidak baik," kata Tati Maliyati. Sudut padang orang pemerintah lain dengan pekerja film. Gotot Prakoso tak sepakat jika mekanisme sensor masih dipertahankan. Ia menyarankan untuk menyerahkan mekanisme apresiasi pada penonton. "Lembaga sensor memang masih ada di beberapa negara, tapi fungsinya

hanya mengklasifikasikan usia penonton, tidak memotong film. Sedang fungsi sensor yang efektif adalah pada masyarakat. Biarkan masyarakat menilai. Insan film akan belajar dari dasar-dasar etika yang dialami dalam pengalaman empiris di masyarakat, " kata Gotot. Dyah Aryani dari Indonesia Media Law and Policy Centre (IMLPC) mengatakan perlunya rekonstruksi fungsi lembaga sensor. Menurutnya, "kriteria sensor LSF itu nggak jelas. Misalnya tentang pornografi, tak ada batasan jelas. Kriteria penyensoran dalam pasal 19 ayat (1), film yang secara tematis ditolak secara utuh adalah yang cerita dan penyajiannya mempertontonkan adegan seks lebih dari 50 persen. Bagaimana menentukan ukuran 50 persen ini? Jadi kalau sebatas untuk keperluan festival itu tak perlu disensor," katanya. Protes keras dilontarkan Satrya Wibawa dari INFIS, "Sebagai bagian dari sistem yang lebih besar, eksistensi organisasi pengatur (dalam film) ini jelas diperlukan. Tapi, pada prakteknya eksistensi badanbadan itu justru mematikan. Terutama LSF. Peraturan sensor yang tak jelas, apalagi mengatasnamakan agama dan budaya, justru disalahgunakan." Ada satu cara lagi selain menggunting film, yakni teknik bluring atau pengaburan gambar. Namun Tati Maliyati jarang menggunakannya. "Setiap kali menggunakan ini (bluring) saya sering mendapat kritik. Karena hasilnya sering tidak baik, tidak tepat. Harus hati-hati melakukan bluring, sebab butuh keahlian khusus tapi kan hasilnya film akan kelihatan jelek. Kami sebenarnya nggak suka memotong-motong, kami tahu itu karya seni, tapi kami bertugas melindungi masyarakat. Kami keberatan jika harus dipojokkan terus menerus," katanya. Selain LSF, lembaga yang jadi tumpuan pemberdayaan, pembinaan dan bertanggungjawab atas perkembangan film Indonesia adalah BP2N. Garin Nugroho, anggota Komisi Kebudayaan BP2N mengatakan, "BP2N perlu merestrukturisasi diri dengan mengubah peran formal yang selama ini diemban jadi peran sosiologis." Sejalan dengan fungsi membudayakan film yang diemban Garin. "Tidak mungkin kan kalau kita terjun ke daerah, terus memberikan pelatihan membuat film. Butuh dana besar, dan itu kan tidak efektif. Yang penting sekarang BP2N perlu mendapatkan pengakuan secara sosiologis dari insan perfilman agar mudah mengubah diri dengan pola dan cara kerja baru," katanya.

SUMBER daya manusia akan jadi bahasan penting dalam mendedah gerakan film indie. Perihal ini Garin Nugroho tak banyak berharap, kecuali memberi kesempatan seluas-luasnya pada indie filmmaker untuk belajar. "Perkembangan film nasional memang cepat. Cepat tapi pincang. Bagaimana tidak, problem sinema Indonesia ialah dalam sejarah yang begitu singkat harus mengajar banyak orang dalam euforia yang begitu tinggi. Satu sisi harus berkarya, sisi lain harus mengajar," katanya. Salah satu yang bisa meningkatkan sumber daya manusia bidang film apalagi kalau bukan sekolah film. Sayangnya, Indonesia hanya punya dua nama untuk ini, IKJ dan Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyakarta. Ada satu lagi, Pusat Pendidikan Film dan Televisi, semacam lembaga kursus bikin film bersertifikat milik Perum Produksi Film Negara (PPFN). Menilik asumsi ini, Gotot Prakoso justru memandang keliru jika kampus diminta bertanggung jawab atas peningkatan kualitas sumber daya film di Indonesia. "Universitas kan hanya memiliki kapasitas yang terbatas, paling hanya mampu menampung 150 mahasiswa per tahun. Artinya hanya mampu mendidik sebanyak itu. Lulusan sekolah film IKJ harus ada yang turun ke masyarakat, menularkan pengetahuannya pada masyarakat, lewat workshop misalnya. Seperti yang dilakukan yayasan Konfiden, SET dan Pop Corner," katanya. Alex Luthfi R, pembantu dekan III Fakultas Seni Media Rekam dan Televisi Institut Seni Indonesia, punya harapan yang tak jauh beda dengan Gotot. "Kita mencoba untuk tak membuat jarak dengan mahasiswa, kita mendorong mereka untuk diskusi, membuat kine klub dan mengadakan workshop-worshop film hingga keluar kota. Kami tak mampu berbuat banyak, fasilitas dan buku yang ada tak cukup memadai untuk menularkan pengetahuan. Mungkin lewat interaksi mahasiswa kami dengan masyarakat bisa membuat film makin membudaya," katanya. Namun Tomy Taslim, dari Four Colors Community Yogyakarta, menganggap masih ada jalan lain. Pertama, melalui buku dan kedua dengan internet. "Okelah tak banyak memang buku tentang film yang diterbitkan, jarang pula tokoh-tokoh film yang menulis buku untuk membagi pengetahuannya. Tapi kenapa tak dicoba lewat internet. Saya percaya internet mampu jadi medium belajar, terutana bagi kawan-kawan di daerah. Yang tak pernah dapat workshop, apalagi baca buku tentang film," katanya. Kesenjangan pengetahuan dan informasi inilah yang dirasakan betul oleh Dede Leman, sineas muda dari Dev. Film Sinema Korupa Makassar. "Banyak kendala yang kami alami, dari birokrasi

pemerintahan lokal yang tak tahu apa itu film independen, jadi kita musti sosialisasi, di kampus-kampus, dan di forum-forum diskusi. Kemudian soal informasi dan pengetahuan tentang film. Kami sering terlambat mengetahuinya, mungkin karena teman-teman Jawa kurang berbagi dengan teman-teman daerah khususnya saat mengalami kesulitan," katanya. "Apa saja kesulitannya?" tanya saya. "Kalau soal teknis, ada kawan lulusan dari Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) yang bisa bantu. Meski begitu, peralatan sering pinjam, kamera kami hanya pakai handycam analog. Yang sulit itu soal editing, kami tidak tahu apa-apa, disamping karena peralatannya tidak memadai," katanya. Itu baru keluhan Makassar, belum yang di Berau Kalimantan Selatan, Lampung, Banjarmasin, Palopo Sulawesi Selatan, Mataram, Papua dan Aceh. Meski begitu, Indonesia patut bersyukur mempunyai dua lembaga yang giat bergelut dalam transformasi pengetahuan film pada masyarakat. Khususnya masyarakat pinggiran yang jauh dari pusat informasi dan kekuasaan. Mereka adalah Yayasan SET dan Yayasan Pop Corner. SET didirikan 1987 lalu oleh Garin Nugroho dan Arturo GP, rekannya dari IKJ. Tahun 1999 SET berubah jadi yayasan, berbadan hukum dengan fokus kerja yang lebih jelas. SET terbagi dalam lima divisi. Ragam, yang bergerak dalam ranah multikulturalisme, divisi desain informasi, divisi pendidikan dan penerbitan, divisi televisi publik, dan divisi produksi. Sampai akhir tahun ini SET telah memproduksi lebih dari 50 film, termasuk serial film pendidikan anak-anak, Visi Anak Bangsa dan Pustaka Anak Nusantara. Aryo Danusiri menggawangi Ragam, divisi yang menjelajah ranah kreasi masyarakat Aceh dan Papua dalam beberapa sesi workshop filmnya. Film ini digunakan sebagai medium pengenalan budaya lokal, pendidikan di daerah konflik dan pengukuhan identitas mereka. Hasilnya, Penyair Negeri Linge, kisah penyair cum- tahanan politik Ibrahim Kadir di Linge, Aceh Tengah. Selain itu SET juga mengadakan workshop film di Bontang Kalimantan Timur dan Papua. "Rencana ke depan kami hendak membuat Rumah Visual di Aceh, Papua dan kelak daerah-daerah lain. Ini hanya tempat berkumpul, tempat menstimulus gagasan lanjutan paska workshop. Biayanya cukup mahal, antara Rp 100 sampai 200 juta per rumah visual, alatnya nanti ditinggal, program-programnya dibiayai," katanya.

Pop Corner lain lagi. Yayasan ini bergerak ke wilayah anak-anak usia sekolah, rentangnya antara 13-18 tahun, tepatnya anak usia SMP dan SMA. Cakupan kerjanya tak hanya film, namun merambah pula ke fotografi, sastra, penulisan script, dan olahraga. Dengan bendera Program Bimbingan Anak Sampoerna mereka memberi workshop film pada anak-anak SMP dan SMA di seputar Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Makassar. "Jika dulunya mereka cuma konsumsi, kini kita ajak untuk berproduksi. Anak-anak SMP SMA diajak untuk bisa bercerita lewat film," kata Ismet Fanany, ketua Yayasan Pop Corner. Hampir 70 komunitas film pemula yang mereka bina. Jika satu kine klub menghasilkan satu saja karya film, maka kine klub binaan Pop Corner sudah menghasilkan 70 film indie tiap sesi workshop sekali dalam setahun. Produktivitas indie filmmaker agaknya tak perlu diragukan. Mari kita hitung. Jika dalam satu FVII, masuk rata-rata 60-70 film, maka hingga tahun ke-IV, jumlahnya jadi 240-280 film. Itu baru festival Konfiden, belum festival kine klub lain, di Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dan Malang. Sedang Festival Film Independen Indonesia (FFII) SCTV Juli lalu, mampu menyedot 747 peserta dari seluruh Indonesia. Bayangkan, kalau kontinuitas ini mampu dipertahankan. FAKTOR pendukung berikutnya adalah industri televisi. Logikanya begini. Dulu, saat Orde Baru, ada 5 stasiun televisi swasta nasional dengan 400 jam tayang per minggu. Kini, Indonesia punya 11 stasiun televisi sehingga jam tayangnya diperkirakan mencapai 800 jam per minggu. Ini belum termasuk televisi lokal atau televisi komunitas. Namun Hariyanto, public officer SCTV, yang beberapa bulan lalu mengadakan FFII, tak cukup optimis dengan gagasan ini. "Kalau dilihat jam siar dari sisi content memang bisa, tapi bagaimana dengan sisi format. Bagaimanapun film independen kan film pendek, durasi dan formatnya terbatas. Padahal format televisi harus ada jeda atau break untuk mengikat pemirsa agar tak pindah channel. Break disini bukan semata-mata iklan komersial lho, tapi format bakunya memang seperti itu. Jadi, belum tentu dengan jam tayang yang makin banyak akan jadi media tayang yang baik bagi film indie," katanya. Sayang memang, di Indonesia baru SCTV yang berani dan mau menayangkan

film indie. Itupun insidental, hanya sebatas menayangkan 10 film pemenang dalam FFII. Padahal televisi bisa jadi lahan potensial penayangan film indie. Sekadar contoh, di Amerika, selain di festival tahunan di setiap kota, dari Texas hingga New York, film indie juga diputar di bioskopboskop kelas dua. Tak lupa industri televisi juga ikut menopang keberadaan mereka, misal; NBC, RCA, CBS dan ABC yang punya jam tayang reguler film indie. Metode ini memungkinkan film indie terjaga kontinuitasnya untuk diapresiasi pemirsa. Selain televisi, agaknya bioskop juga jadi faktor yang menentukan dalam perkembangan film indie ke depan. Dalam awal kemunculannya, hanya Kuldesak yang bisa masuk ke jaringan bioskop kelas satu. Sedang, sekedar contoh, film Bingkisan Buat Presiden (1999) dan Beth (2000) karya Aria Kusumadewa, Bintang Jatuh (1999) karya Rudi Sudjarwo dan Pachinko And Everyones Happy (1999) karya Harry Suharyadi hanya bisa nampang di festival dan acara pemutaran di kampus-kampus. Sebabnya jelas, monopoli bioskop. Negara hendaknya menghapus proteksi dan menerbitkan undang-undang antimonopoli bioskop. Juga memberi ruang apresiasi bagi film indie di bioskop-bioskop atau ruang tayang publik, meski cuma di kelas C atau kelas 3. Pokok masalahnya pada kebijakan pemerintah terhadap impor film. Kuota tayang bioskop dibabat habis film impor. Dari film Hollywood, Mandarin, film-film Eropa hingga India. Data di LSF dalam tiga tahun terakhir mencatat angka 275 film yang lolos sensor dan ditayangkan bioskop. Tahun 2001, film impor dari Eropa dan Amerika berjumlah sekitar 90 film, yang 61 persen diantaranya diimpor dan ditayangkan jaringan 21 Cineplex Group. Setahun kemudian, dalam kurun enam bulan terakhir, film impor mencapai 151 judul, dan 56 judul diantaranya dimonopoli oleh jaringan 21 Cineplex Group. Bandingkan dengan produksi film komersial domestik dalam lima tahun terakhir yang hanya berkisar 30 judul film. Jumlah perusahaan importir film pun membengkak. Pada 1980 hingga 1990an kita hanya mengenal PT Camila Internusa Film, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, PT Amero Mitra Film, dan PT Ace Indonesia Film sebagai importir film. Sejak tahun 2001 jumlahnya membengkak jadi 21 perusahaan importir film. Bagaimana mencapai titik equilibrium antara film produksi lokal dan film impor? Mudah, berilah kesempatan masa tayang yang sama. Termasuk beberapa sinema independen yang bermutu dan memenuhi kualifikasi

tayang di bioskop. Kedua, soal monopoli kepemilikan dan distribusi film oleh Subentra Group milik Sudwikatmono, yang menguasai jaringan bioskop 21 Cineplex Groups. Kenapa monopoli harus dihapus? Karena tak ada pemerataan putar pada jam dan hari tayang yang sama antara bioskop jaringan 21 Cineplex Group dengan yang bukan. Lebih spesifik, kesempatan menayangkan film yang sama dalam rentang waktu sama bagi bioskopbioskop daerah, diluar kota-kota besar macam Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Ada yang terlewat, yakni kewajiban membayar pajak tontonan oleh importir film dan bioskop bersangkutan untuk keperluan perfilman nasional. Celakanya, sejak departemen penerangan dibubarkan sudah tak ada lagi perusahaan importir film dan bioskop yang membayar tagihan ini. "Dulu di DKI Jakarta pajak tontonan mencapai 15-25 % harga tiket. Tapi kita tak pernah tahu larinya kemana. Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail toh tetap gitu-gitu aja kondisinya," kata Dyah Aryani. Jika dulu dana pajak tontonan menguap tak bermuara, kini malah tak dibayar sama sekali. Bagaimana bisa perfilman nasional bisa tumbuh dengan baik jika dukungan dari industri perfilman macam perusahaan bioskop dan importir film tak memadai. BANYAK yang layak disimak dan dicatat dalam 4 tahun perjalanan gerakan sinema independen sejak 1999. "Film Indonesia berada dalam sebuah fase rekonstruksi. Ada upaya dari orang-orang yang peduli pada film Indonesia yang ingin membangun kembali film Indonesia. Saya belum bisa mendeskripsikan film nasional mengalami kemajuan. Kita masih harus menunggu 5-10 tahun lagi untuk menyebut film Indonesia mengalami kemajuan," kata Victor C. Mambor. Bayu Sulistiyo, sutradara Kelolodhen (2001) dan Loud Me Loud (2002), dari Kasat Mata Yogyakarta tak terlalu pusing menanggapi isu kebangkitan film nasional. Baginya, dua film animasinya yang menang sebagai film favorit di FFVII 2002 dan ditayangkan di Jakarta International Film Festival, serta ditonton orang sudah cukup. "Aku pribadi pengin Indonesia menghasilkan film-film bermutu. Sebenarnya para sineas muda itu berpotensi, cuma nggak ada sarana dan kesempatan. Misalnya dikasih sarana untuk membuktikan, banyak yang akan berani," katanya.

Tak bisa dipungkiri banyak karya elok lahir dari besutan sutradara muda, amatir dan tak berpendidikan khusus ini. Beberapa dari mereka bahkan berhasil memenangi penghargaan internasional. Misalnya, untuk tak menyebut terlalu banyak; Di Antara Masa Lalu dan Masa Sekarang (2001) karya Eddie Cahyono pemenang Konfiden Award pada FFVII 2001. Topeng Kekasih (2001) karya Hanung Bramantyo dan Da Pupu Project (2001) karya Wahyu Aditya bahkan sempat diputar pada suatu seminar film di Leiden Belanda. Karya Hanung Bramantyo yang lain, Gelas-Gelas Berdenting (2000) pernah meraih juara III Bronze 11th Cairo International Film Festival kategori program televisi di Mesir. Karya klasik sosiolog Erich Fromm, Revolution Of Hope yang diterjemahkan jadi Revolusi Harapan (1999) serta Di Atas Rel Kereta api (2001) produksi God Spirit Film Production yang disutradarai Nanang Istiabudi meraih Silver Medal dalam kompetisi dan kategori Independent Profesional di Brno Noncommercial Film and Video Festival di Republik Ceko dalam dua tahun berturut-turut. Sekali waktu, pernah juga SBS, stasiun televisi swasta Australia membeli karya Tintin Wulia dari komunitas Kokun Bali yang berjudul Violence Against Fruits (2001) dan Are You Close Enough? (2001) untuk ditayangkan disana. Air Mata Surga karya Eddie Cahyono dan Ifa Ifansyah, yang jadi judul naskah ini terpilih jadi film pembuka FFVII 2002. Karya yang istimewa. Keceriaan anak-anak, persahabatan, layang-layang, sawah desa, tarian tradisional, warna-warni syahdu, dan ketulusan dengan teknik sinematografi yang nyaris sempurna. GERAKAN film indie punya banyak pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi. Diantaranya persoalan transfer informasi dan pengetahuan film dengan lebih merata ke seluruh pelosok nusantara. Membangun jaringan komunikasi yang lebih kokoh sekaligus berfungsi menyiapkan medium distribusi karya yang luas. Dimas Jayasrana mulai memelopori pembuatan buku saku dan pembuatan database kine klub seluruh Indonesia. "Saat ini data yang terkumpul kurang lebih antara 75 – 80 kine klub yang sudah masuk. Kita masih menunggu, sebab kemungkinan akan bertambah," katanya. Memecah kebekuan, kesenjangan informasi dan akses antara Jawa dan luar Jawa. Eksplorasi tiada henti untuk mewujudkan perfilman Indonesia jadi lebih baik. Ciptakan pasar yang mandiri.

Menanggapi masalah kesenjangan, Ifa Ifansyah, sutradara Air Mata Surga, tak sepakat, "Sebenarnya bukan berarti mengkotak-kotakkan film. Bahwa ini film Yogyakarta, Bandung, Jakarta atau luar Jawa. Ini hanya sebuah awal, kebetulan saja akhir-akhir ini teman-teman Yogya sudah mulai ikut festival di Jakarta. Ada komunitas film di sini yang ikut mensupport film nasional, salah satunya dengan saling membagi informasi dengan teman-teman komunitas film lain." Pasar yang mandiri. Istilah ini sering dipakai untuk menilik betapa lemahnya indie filmmaker berurusan dengan soal yang satu ini. Mungkin karena dianggap terlalu pragmatis. Merasa tak menguasai bidang manajeemen, bisnis dan pemasaran maka banyak indie filmmaker lebih memilih menyerah. "Gagasan lama tetap, yaitu bikin Pesta Sinema Indonesia yang berfungsi me-roadshow-kan karya ke beberapa kota yang sepakat menyelenggarakan Pesta ini secara bergiliran. Atau bioskop alternatif dengan tempat permanen, tak harus seperti bioskop yang kita kenal, tapi fungsi kontinuitasnya," kata Dimas Jayasrana. Garin Nugroho punya strategi menarik bagi gerakan ini. Ia mengatakan, "Perlunya merumuskan sistem dalam mencapai cita-cita perfilman Indonesia. Pertama, jaringan distribusi yang berkeadilan. Kedua, pasar yang berkeragaman. Ketiga, tema yang saling berkeseimbangan, baik mainstream maupun sidestream. Keempat, perlunya sistem hukum dan ekonomi yang saling berhubungan. Dan kelima, konsistensi karya dan kualitas selama 5 sampai 10 tahun. Jika kelima prasyarat tadi sudah dipenuhi maka idiom kebangkitan film nasional takkan hanya ada di awang-awang." "Lantas, apa kritik untuk gerakan film independen sekarang?" tanya saya. Dyah Aryani dengan malu-malu mengatakan, "Sudah bagus, kemarin yang saya lihat di FFVII bagus-bagus kok. Tapi kalau bisa jangan asal bikin, asal-asalan, bagaimanapun pesannya kan harus sampai ke penonton." Ifa Ifansyah lain lagi, soal kritik pada sinema independen, ia malah balik bertanya, "Lho, bukannya saya yang butuh kritik." * Home | Agenda | Berita | Artikel | Link | Forum

Kemajemukan karya sinema Indonesia: sebuah citacita? 28 September, 2007 - 13:31 :: fajar :: Kliping Artikel Perfilman Tiga tahun terakhir… mungkin tepatnya dua tahun terakhir, para penikmat, pembuat, pemerhati, kritikus atau sekedar penonton —tepatnya film-enthusiasts— di-‘hajar’ oleh gelombang wacana sinema independen. Wacana yang dibawa dalam bentuk produksi dan eksibisi karya sinema, diskusi, pengulasan maupun berbagai polemik di media massa tidak hanya datang sekali, tetapi bertubi-tubi, simultan dan mulai merebak di berbagai belahan pulau Jawa; bahkan telah mulai timbul di Lampung, Bali, Makassar dan berbagai daerah lain di Indonesia. Banyak sekali yang berharap bahwa keadaan ini bukanlah suatu euphoria maupun fenomenal sifatnya. Mungkinkah hal ini sekedar fenomena? Ketakutan ini memiliki alasan historis yang cukup kuat. Dalam catatan sejarah “film Indonesia”, sifat fenomenal seakan lekat dengan perkembangannya. Seperti misalnya film-film karya Sjumandjaja yang dianggap telah berhasil memberikan definisi “film Indonesia” ; lalu sesudah beliau tidak membuat film lagi, tidak ada yang dapat meneruskan cara bertuturnya yang sangat indigenous. Sjumandjaja adalah fenomena. Contoh lain adalah film Naga Bonar yang juga sangat sarat muatan lokal, atau film Tjoet Nja Dhien yang begitu dramatik. Keduanya adalah fenomena (bahkan Tjoet Nja Dhien adalah film pertama dan terakhir Eros Djarot!). Dan mungkin yang paling fresh dalam ingatan kita adalah fenomena penjualan film Petualangan Sherina; yang tidak bisa dipungkiri bahwa nilai penjualan sebesar itu sulit untuk dapat ditandingi oleh film lokal berbentuk apapun untuk keadaan Indonesia saat ini. Apakah wacana sinema independen juga akan berakhir sebagai sebuah tonggak fenomenal seperti beberapa contoh di atas? Apakah kemudian wacana ini hanya menjadi catatan sejarah tanpa meninggalkan suatu sistem atau skema apapun untuk peningkatan ‘harkat perfilman’ Indonesia? Kita belum tahu… Sebelum berbicara lebih jauh, saya sedikit memiliki kesulitan untuk dapat memberi batasan yang jelas tentang apa itu ‘film Indonesia’. Mungkin yang bisa digunakan adalah sebuah batasan luas yang berbunyi: “film yang dibuat oleh warga negara Indonesia.” Tetapi pemberian batasan ini semata-mata untuk mempermudah pembicaraan kita selanjutnya. Ingat, bahwa film Indonesia secara statistik ber-genre misteri dan seks sebagai mayoritas! Jadi yang kita bicarakan dalam tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari film Indonesia. APA ITU FILM INDEPENDEN? Sebagian kecil dari film Indonesia (berdurasi panjang) yang muncul belakangan ini diklaim sebagai ‘film independen’. Sebut saja mulai dari Kuldesak , lalu kemudian Bintang Jatuh (Rudy Sudjarwo, 2000), Pachinko (Harry Suharyadi, 2000), Tragedy (Rudy Sudjarwo, 2001), Video Cinta (Agus Chosu, 2001), Jakarta Project (Indra Yudhistira,

2001), dan yang terakhir ini Beth (Aria Kusumadewa, 2001). Sebenarnya apa itu ‘film independen’? Sebuah pertanyaan besar yang menjadi polemik dalam hampir setiap tulisan maupun diskusi film yang muncul akhir-akhir ini. Hampir semua pengamat mempertanyakan definisi film independen yang dibuat oleh filmmaker dan terus berkutat di masalah definisi. Istilah ‘independent film’ dan ‘independent filmmaker’ memang muncul pertama kali dan populer di Amerika sudah sejak jamannya Stanley Kubrick mulai menyutradarai film. Definisi ‘independent film’ –pun masih terus menjadi polemik besar diantara mereka masing-masing. Ada yang memberikan definisi yang sangat bersudut-pandang industri, yaitu Gregory Goodell yang mengatakan: “ … any film that is developed without ties to a major studio, regardless of where the subsequent production and/or distribution financing comes from.” (Goodell, 1998) Definisi bersudut pandang industri seperti yang disebutkan Goodell (dan tentu saja banyak praktisi perfilman Hollywood lainnya) terasa begitu ‘sempit’ untuk dapat menggambarkan apa yang disebut sebagai film independen secara universal. Untuk konteks Amerika Serikat —khususnya Hollywood— mungkin definisi ini sah-sah saja, mengingat begitu mapannya industri perfilman di sana. Jadi, dalam konteks mereka, semua film yang diproduksi diluar studio-studio milik Disney, MGM, Paramount, Sony, 20th Century-Fox, Universal dan Warner Bros. adalah film independen. Definisi ini begitu dikotomis dan.. tentu saja praktis. Akan tetapi dari sudut pandang metodologi ilmiah, jelas penarikan definisi ini tidak bijaksana. Ada juga yang memberikan batasan yang sangat teknis, seperti Moran & Willis yang menyatakan bahwa: “Independen sebagai gerakan oposisi yang keras untuk melawan praktek-praktek dominasi media dalam beberapa sektor… Dalam sektor teknologi, independen bergerak dalam dunia amatir (home video, 8mm, 16mm, 70mm) melawan profesional (35mm). Dalam sektor industri, independen bergerak dari pribadi atau kelompok-kelompok lepas melawan produksi, distribusi dan eksibisi yang terorganisir secara masal. Dalam sektor estetika, independen mengangkat segi orisinalitas, penampilan dan avant-garde melawan konvensional, generik dan residual. Dalam sektor ekonomi, independen bergerak dari segi kecintaan terhadap film melawan kecintaan terhadap uang. Dalam sektor politik, indepeden bergerak dari eksplorasi budaya-budaya marginal dan yang tertindas melawan pusat, dominasi dan kecenderungan umum.” (Moran & Willis,….) Definisi bersifat teknis ini ternyata juga bernuansa politis. Hal tersebut mengingatkan kita akan timbulnya gerakan Avant-garde Cinema di Perancis dan gerakan The New German Cinema di Jerman beberapa dekade sebelumnya. Definisi bernuansa politis semacam ini juga dianut oleh Planet Indie Festival di Kanada yang menyatakan dasar filosofis mereka: “Film independen, yang terpenting dan yang paling harus diutamakan adalah film yang tidak melibatkan peran pemerintah didalamnya.”

Dalam konteks Amerika Utara, mereka menganggap bahwa pemerintah seringkali bertujuan untuk mengangkat ‘kultur bangsa’-nya ke dunia internasional, yang hanya sekedar kedok untuk memperlihatkan bahwa mereka telah menjalankan obligasi moral mereka dalam memperhatikan kesenian negerinya. Yang paling menarik adalah hasil dari sebuah diskusi dalam kuliah Ray Carner , dimana didapatkan beberapa definisi pragmatis tentang film independen. Ada yang mengatakan bahwa film independen adalah film yang dibuat dengan dana terbatas, ada juga yang membatasinya sebagai film yang dibuat oleh sutradara muda yang belum terkenal. Dan ada juga yang menyatakan dengan nada sinis bahwa film independen adalah film apapun yang memiliki tata cahaya yang buruk dan gambar yang tidak fokus. Batasan-batasan pragmatis ini mengingatkan saya akan pengalaman lucu teman saya di Malang beberapa waktu lalu, ketika ada peserta diskusi film yang mengatakan, “ Lho mas, saya kira film independen itu film-film seperti Independence Day, lho….” (Lalu saya terbayang bahwa Janur Kuning dan Pengkhianatan G-30-S PKI adalah film independen… hi hi hi…) Di tempat asalnya, sejarah mencatat nama-nama seperti Stanley Kubrick , John Cassavette , Stanley Kramer dan Sidney Lumet sebagai pionir independent filmmaking. Pada jaman mereka, film independen —atau film yang diproduksi diluar major studio— muncul sebagai film yang sangat kreatif, inovatif dan selalu memberikan sesuatu yang baru dan menyegarkan bagi penontonnya. Dana yang terbatas memberi tantangan para pembuatnya untuk mencari cara baru dalam bercerita, sehingga film-film tersebut muncul dengan unik, berbeda dari sebelumnya dan memberikan gaya berbahasa baru dalam kazanah perfilman di Amerika Serikat. Lalu kemudian muncul David Lynch, Francis Ford Coppola dan Martin Scorsesse di dekade selanjutnya. Kemudian muncul generasi Oliver Stone dan Spike Lee yang semakin menunjukkan perkembangan teknik pembuatan film. Generasi ini digantikan ketenaran The Coen Brothers (Joel dan Ethan Coen) serta Steven Soderbergh di akhir 80-an. Di era 90-an kemudian muncul Quentin Tarantino yang berhasil menyelamatkan nama Sundance Film Festival dengan filmnya berjudul Pulp Fiction. Para pembuat film independen bermunculan di AS dengan latar belakang yang beragam. Mereka tidak hanya datang dari kalangan mahasiswa film ataupun sutradara teater (seperti yang terjadi pada kondisi Hollywood klasik), tetapi menjadi sangat plural. Misalnya saja Tarantino yang berasal dari penjaga sebuah rental video. Kemunculan mereka ini tak bisa dipungkiri juga kemungkinan merupakan akibat dari maraknya industri film porno AS di akhir dekade 70-an. Dunia industri film porno AS menjadi ajang para filmmaker untuk mencari uang dan berlatih kemampuan kamera yang kemudian ditabung untuk dapat membuat feature film-nya sendiri . Dari pembahasan singkat diatas, dapat tergambar bahwa termin berpikir ‘film independen’ memang tidak bisa lepas dari konteks Amerika Serikat, dan jelas tidak bermakna universal. Jadi, sangatlah tidak bijaksana bila kita mengambil definisi-definisi ala Amerika seperti yang telah disebutkan sebelumnya dan berusaha mengaplikasikannya di Indonesia.

Walaupun film independen tidak dapat dipisahkan dengan konteks Amerika Serikat, apakah kita (Indonesia) tidak boleh menggunakan kata-kata yang sama untuk merepresentasikan definisi yang berbeda? Tetapi apakah menjadi tabu untuk menggunakan kata independen di Indonesia? Lalu bagaimana dengan film independen Indonesia? Sangat tidak tepat bila kita menggunakan definisi ‘versi industri’ Hollywood terhadap keadaan di Indonesia, karena jika begitu, maka semua film Indonesia yang diproduksi sejak tahun 1926 sampai sekarang adalah film independen! Ingat, sebenarnya Indonesia tidak pernah punya industri perfilman yang mantap, yang kita miliki hanyalah beberapa buah ‘industri rumah tangga’. Maksudnya, seperti sebuah industri rumah tangga yang menghasilkan tempe: seseorang membeli kedele, kemudian dia yang memberi ragi, dia yang membuatnya jadi tempe, dia yang memotong-motong, dia juga yang menggoreng dan kemudian anaknya yang berjualan tempe goreng di pasar. Jelas situasi ini adalah situasi industri rumah tangga. Kita tidak pernah memiliki sistem produksi, distribusi dan eksibisi yang berjalinan satu sama lain. Kita tidak pernah memiliki regulasi yang jelas mengenai media film dan sensornya . Lalu apakah kemudian semua film Indonesia secara otomatis disebut sebagai film independen? Secara etimologis, kata independen merupakan hasil serapan dari bahasa Inggris ‘independent’ yang berakar dari kata ‘dependent’ dengan pemberian sufiks ‘in’ yang bersifat negasi. ’Independent’ diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia sebagai ‘tidak bergantung’. Jadi kata ‘independent’ tidak pernah berdiri sendiri secara kontekstual tanpa ada kausal ‘from’ (Bhs. Ind: ‘dari’). Berarti, dalam konteks bahasa Inggris, kata ‘independent’ harus dapat dipertanyakan lebih lanjut dengan kata-kata ‘independent from what? ’ Peyorisme bahasa yang terjadi sebagai akibat serapan memungkinkan di Indonesia terjadi pemahaman yang berkembang dari sekedar ‘independen dari’ menjadi ‘independen untuk’ yang memiliki arti lebih dekat dengan kata ‘mandiri’ daripada kata-kata ‘tidak bergantung’. Pemahaman akan ‘kemandirian’ inilah yang agaknya menjadi dasar berpikirnya banyak sutradara Indonesia sekarang ini untuk menyebut filmnya sebagai film independen. Umumnya, beberapa sutradara melihat independensi mereka sebagai sebuah sikap ‘siap berkarya’ tanpa tekanan dan tuntunan pihak manapun. Independen adalah ketika seseorang membuat film karena keinginan yang besar untuk membuat film, bukan karena ingin mendapatkan uang, prestasi ataupun popularitas. Keinginan untuk berkarya haruslah menjadi penyebab utama, bukan yang lainnya. Film independen muncul melalui suatu gagasan ideal dan diciptakan dengan kemandirian penggagasnya tanpa memperhitungkan unsur komersialisasi. Pernyataan yang ‘mirip’ batasan diatas, mungkin memang terlalu dini untuk disimpulkan menjadi definisi. Tetapi hal tersebut yang mendasari semangat beberapa filmmaker Indonesia saat ini, dan mungkin akan banyak lagi kedepannya.

Perdebatan tentang definisi tidak akan pernah habis. Lagipula, untuk apa terus menggunakan pola pikir logika aristotelian yang mengharuskan terbentuknya definisi sementara kita tidak pernah menghasilkan karya apapun? Sudah saatnya kita berhenti menggunakan kata ‘apa’ dalam bertanya dan mulai menggunakan kata ‘bagaimana’ dan ‘kenapa’ untuk dapat menjawabnya. Positivistik bukanlah satu-satunya paradigma berpikir yang dapat kita gunakan. Sudah saatnya berhenti berdebat tentang definisi dan mulai melakukan sesuatu. Buatlah karya seperti yang anda inginkan, titik. Biarkan penonton yang menilainya. Karena mungkin, kita dapat mengerti apa itu independensi dalam karya sinema ketika kita melaluinya sendiri, seperti yang dikatakan Morpheus kepada Neo: “There’s a difference between knowing the path… and walking the path…” (The Wachowski Brothers, The Matrix, 1999) ‘Semangat berkarya’ merupakan kata kunci dalam sinema independen. Semangat inilah yang menjadi pembeda dengan bentuk sinema lainnya. Pembedaan bukan berkutat di masalah durasi, masalah teknis sinematografi, pemilihan ide, cara penyampaian ide, ataupun alur cerita. Sinema independen tidak dibatasi oleh pengkotak-kotakkan genre. Semangat berkarya dari pembuat film independen-lah yang kemudian memberikan arti berbeda bagi sang pembuat, meski kadang kurang dapat dirasakan oleh penontonnya. Independensi adalah proses. Sinema independen tidak dapat dilihat dari seperti apa bentuk jadi suatu karya. Sinema independen tidak dapat dinilai dari hasil akhir suatu eksibisi karya sinema. Proses yang menjiwai lahirnya suatu karya, dari bagaimana ia muncul sebagai semangat sampai pelaksanaan idea-idea inilah yang membuat suatu karya menjadi independen. Merujuk pada semangat berkarya sebagai sifat utama, sinema independen bergerak secara gerilya dalam prosesnya. Seno Gumira Ajidarma pernah melontarkan idenya (atau mungkin lebih terasa sebagai sebuah manifesto) tentang apa yang disebutnya sebagai Sinema Gerilya: Sinema Gerilya jauh dari sikap kompromistis, mudah menyerah, dan uzurisme. Sinema Gerilya tidak mempertaruhkan dirinya diatas seluloid tok, ia juga menggebrak lewat tulisan di koran maupun majalah, omong besar maupun omong kecil, berbisik-bisik dari kuping ke kuping, dari sarasehan ke sarasehan, resmi maupun tidak resmi. Satu-satunya pertaruhan sinema Indonesia adalah hati nuraninya sendiri. Sinema Gerilya bersifat bersifat militan, absolut, dan anti pelacuran intelektual maupun pelacuran ketrampilan. Namun Sinema Gerilya juga anti onani jiwa, anti eskapisme, anti egoisme, anti frustasiisme, dan anti mimpi tanpa berkarya. (Seno Gumira Ajidarma) SEKILAS TENTANG FILM PENDEK Film pendek merupakan primadona bagi para pembuat film indepeden. Selain dapat diraih dengan biaya yang relatif lebih murah dari film cerita panjang, film pendek juga memberikan ruang gerak ekspresi yang lebih leluasa. Meski tidak sedikit juga pembuat

film yang hanya menganggapnya sebagai sebuah batu loncatan menuju film cerita panjang. Film pendek pada hakikatnya bukanlah sebuah reduksi dari film cerita panjang, ataupun sekedar wahana pelatihan belaka. Film pendek memiliki karakteristiknya sendiri yang berbeda dengan film cerita panjang, bukan lebih sempit dalam pemaknaan, atau bukan lebih mudah. Sebagai analogi, dalam dunia sastra, seorang penulis cerpen yang baik belum tentu dapat menulis cerpen dengan baik; begitu juga sebaliknya, seorang penulis novel, belum tentu dapat memahami cara penuturan simpleks dari sebuah cerpen. Sejalan dengan analogi tersebut, keadaan film pendek di Indonesia sekarang mirip dengan keadaan yang dialami cerpen puluhan tahun yang lalu, ketika nilai estetik sebuah novel selalu dianggap lebih tinggi dari sebuah cerpen. Akan tetapi, keadaan tersebut terselamatkan oleh maraknya media massa cetak seperti koran dan majalah yang kemudian menjadi media distribusi utama cerpen kepada pembacanya. Dalam kurun waktu yang singkat, cerpen berhasil membentuk pasarnya sendiri, membentuk definisinya sendiri, dan tentu saja mengangkat martabatnya sejajar dengan bentuk sastra tulis lainnya. Akan tetapi, keadaan tersebut tidak berlaku sama bagi film pendek dalam dunia film Indonesia. Sebagai sebuah media ekspresi, film pendek selalu termarjinalisasi –dari sudut pandang pemirsa- karena tidak mendapatkan media distribusi dan eksibisi yang pantas seperti yang didapatkan cerpen di dunia sastra. Secara teknis, film pendek merupakan film-film yang memiliki durasi dibawah 50 menit (Derek Hill dalam Gotot Prakosa, 1997) . Meskipun banyak batasan lain yang muncul dari berbagai pihak lain di dunia, akan tetapi batasan teknis ini lebih banyak dipegang secara konvensi. Mengenai cara bertuturnya, film pendek memberikan kebebasan bagi para pembuat dan pemirsanya, sehingga bentuknya menjadi sangat bervariasi. Film pendek dapat saja hanya berdurasi 60 detik, yang penting ide dan pemanfaatan media komunikasinya dapat berlangsung efektif. Yang menjadi menarik justru ketika variasivariasi tersebut menciptakan cara pandang-cara pandang baru tentang bentuk film secara umum, dan kemudian berhasil memberikan banyak sekali kontribusi bagi perkembangan sinema. Dalam sejarah film dunia, istilah ‘film pendek’ mulai populer sejak dekade 50-an. Alur perkembangan terbesar film pendek memang dimulai dari Jerman dan Perancis; para penggagas Manifesto Oberhausen di Jerman dan kelompok Jean Mitry di Perancis. Di kota Oberhausen sendiri, kemudian muncul Oberhausen Kurzfilmtage yang saat ini merupakan festival film pendek tertua di dunia; sementara saingannya adalah Festival du Court Metrage de Clermont-Ferrand yang diadakan tiap tahun di Paris. Sejak gerakangerakan ini muncul, film pendek telah mendapatkan tempatnya di pemirsa film Eropa. Festival-festival film pendek menjadi ajang eksibisi utama yang selalu sarat pengunjung, apalagi kemudian didukung dengan banyak munculnya cinema house bervolume kecil untuk dapat menonton karya-karya film pendek di hampirsetiap sudut kota di Eropa.

Di Indonesia, dimana film pendek sampai saat ini selalu menjadi pihak marjinal –sekali lagi, dari sudut pandang pemirsa- film pendek memiliki sejarahnya sendiri yang sering terlupakan. Film pendek Indonesia secara praktis mulai muncul di kalangan pembuat film Indonesia sejak munculnya pendidikan sinematografi di IKJ. Perhatian para filmenthusiasts pada era 70-an dapat dikatakan cukup baik dalam membangun atmosfer positif bagi perkembangan film pendek di Jakarta. Bahkan, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan Festival Film Mini setiap tahunnya mulai 1974, dimana format film yang diterima oleh festival tersebut hanyalah seluloid 8mm. Akan tetapi sangat disayangkan kemudian Festival Film Mini ini berhenti pada tahun 1981 karena kekurangan Dana. Pada 1975, muncul Kelompok Sinema delapan yang dimotori Johan Teranggi dan Norman Benny. Kelompok ini secara simultan terus mengkampanyekan pada masyarakat bahwa seluloid 8mm dapat digunakan sebagai media ekspresi kesenian . Hubungan internasional mulai terbangun, diantaranya dengan para filmmaker Eropa terutama dengan Festival Film Pendek Oberhausen, ketika untuk pertama kali-nya film pendek Indonesia berbicara di muka dunia di tahun 1984. Keadaan ini memancing munculnya Forum Film Pendek di Jakarta, yang berisikan para seniman, praktisi film, mahasiswa dan penikmat film dari berbagai kampus untuk secara intensif membangun networking yang baik di kalangan pemerhati film. Akan tetapi, Forum Film Pendek hanya bertahan dua tahun saja. Secara garis besar, keadaan film pendek di Indonesia memang dapat dikatakan ironis. Film pendek Indonesia hampir tidak pernah tersampaikan ke pemirsa lokal-nya secara luas karena miskinnya ajang-ajang eksibisi dalam negri. Akan tetapi di sisi lain, di dunia internasional, film pendek Indonesia cukup mampu berbicara dan eksis. Dari sejak karyakarya Slamet Rahardjo, Gotot Prakosa, Nan T. Achnas, Garin Nugroho, sampai ke generasi Riri Riza dan Nanang Istiabudi. KEADAAN PERFILMAN INDONESIA SAAT INI Kegairahan baru memang tampak muncul dalam “dunia perfilman” kita dalam tiga tahun terakhir ini. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dimulai oleh Kuldesak pada tahun 1999 untuk karya film-nya, lalu Festival Fim-Video Independen Indonesia 1999 dan Jiffest 1999 untuk ajang apresiasinya, dan berikutnya berderet sekian film baru dan sekian ajang apresiasi yang bermunculan di pulau Jawa, dan beberapa di pulau besar lainnya. Hampir 200 judul film pendek muncul dalam berbagai format di tahun-tahun ini. Dengan gaya berbicara yang sangat plural, mereka berusaha menyuguhkan idea-idea baru yang seakan telah lama berkecamuk di kepala mereka masing-masing. Tidak sedikit dari filmfilm pendek ini yang dapat perhatian internasional seperti film-film karya Nanang Istiabudi, Asep Kusdinar, Lono Abdul Hamid, Hanny R. Syahputra, Eric Gunawan, serta yang terbaru Hanung Bramantyo.

Jumlah produksi film cerita panjang pun meningkat, meskipun tidak dapat dikatakan signifikan. Usaha untuk membawanya ke dunia internasional pun terasa juga bermain gerilya. Bahkan dua film dari Aria Kusuma Dewa sempat diundang untuk dipresentasikan di Rotterdam pada pertengahan tahun ini. Di genre dokumenter, filmnya Aryo Danusiri dalam satu tahun ini bergiliran terus dari satu festival ke festival lainnya di Belanda, Inggris, Australia dan Taiwan. Ya, dunia sinema Indonesia sedang bergairah. Dan bukan hanya dari karyanya saja, tetapi juga dalam berbagai aspek lain dalam dunia perfilman. Sebut saja festival film yang makin banyak tumbuh dimana-mana, juga majalah-majalah tentang sinema –baik bersifat industri maupun gerilya- yang mulai banyak muncul di banyak tempat Akan tetapi, seluruh perkembangan gairah diatas belumlah dapat tersampaikan ke masyarakat Indonesia sendiri secara luas. Padahal, sebagai sebuah wacana alternatif, wacana sinema independen seharusnya berperang melawan singularitas bahasa media/sinema yang saat ini berlangsung di Indonesia. Bayangkan ketika pluralisme berbahasa dalam media audio-visual di Indonesia dapat tercapai, betapa berwarnawarninya dunia sinema kita, baik elektronik maupun seluloid. APA YANG MUNGKIN DILAKUKAN? Seperti yang dikatakan oleh Seno Gumira tentang cara bergerak sinema gerilya, maka kelompok-kelompok lepas yang diharapkan dapat menjadi basis pergerakan pembentukan pluralisme bahasa tersebut. Kelompok-kelompok apresiasi film, yang saat ini mulai menjelma satu persatu menjadi kelompok-kelompok yang lebih aktif dalam berproduksi dan berinisiatif dalam bidangnya masing-masing ini yang diharapkan menjadi garda depan perjuangan ini. Tidak bisa dinafikan bahwa setiap kelompok memiliki dasar, pola pikir, cara pandang , bahkan selera yang sangat berbeda-beda. Akan tetapi, masing-masingnya memiliki keinginan yang sama dalam mewujudkan dunia sinema Indonesia yang plural dan demokratis. Munculnya jalinan filmmaker dan komunitas independen yang dimulai sejak ajang NIFVF 2001 di Yogya pada semester awal tahun ini adalah sebuah usaha yang brilyan. Saling share pengalaman dan pengetahuan dalam suatu ajang pertemuan dua atau tiga bulanan seperti yang telah dirumuskan bersama sebelumnya semoga dapat terus dilanjutkan untuk lebih saling mengenal dan berinteraksi bersama satu sama lain. Entah itu Konfiden, MAF, KBBF, Kine MM, INFIS, dan berbagai komunitas lainnya. Sikap dan tujuan Konfiden sebagai bagian dari jalinan komunitas ini adalah seperti yang tertuang dalam Kredo Konfiden berikut ini. KREDO KONFIDEN BERPIKIR MERDEKA

BERKARYA MANDIRI MEMBANGUN SINEMA INDONESIA Kemerdekaan adalah kesadaran manusia yang penuh keterbatasan untuk berupaya menjadi manusia seutuhnya, karena itu kemerdekaan adalah esensi berkarya dan harus diperjuangkan. Kesadaran menumbuhkan kemerdekaan berarti melahirkan keberagaman karya sebagai ciri khas budaya bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman karya memberikan wacana beragam dalam proses berkarya dan berapresiasi bagi masyarakat. Masyarakat adalah salah satu unsur penting bagi pembangunan proses berkarya. Dibutuhkan kesadaran bersama dalam wadah aktif yang konsisten merangsang, meningkatkan proses pelayanan dan mensosialisasikan keberagaman karya melalui sinema. Komunitas Film Independen (KONFIDEN) berupaya mengembangkan masyarakat dengan didasari semangat aktif berpikir, berkarya dan berapresiasi yang berwawasan jangka panjang dalam menggali jati diri bangsa melalui sinema. Salam Independen, MERDEKA! Penulis: Alex Sihar Sumber: http://videotek.konfiden.or.id/pages/makalah03.php

Pusat D

Related Documents