10 Film Perjuangan Indonesia Terpopuler2

  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 10 Film Perjuangan Indonesia Terpopuler2 as PDF for free.

More details

  • Words: 1,334
  • Pages: 4
10 Film Perjuangan Indonesia terpopuler Lima Tahun belakangan ini bisa disebut masa kebangkitan film Indonesia. Para sineas muda dalam negeri mulai menunjukan jati dirinya lewat film-film berkualitas. Sayngnya belum ada satu pun yang membuat film dengan latar belakang perjuangan Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Mungkin karena biaya yang dibutukan membuat film perang tak sedikit. Film perjuangan marak di bioskop tanah air pada era 1980-an. Tapi bila menilik perjalanan perfilman Indonesia, sudah ada puluhan film yang bertema pertempuran. Dari sebanyak itu, hanya beberapa yang paling sering diputar di televisi. Kami memilih 10 film bertema perjuangan yang sering diputar dan terpopuler. Daftar berikut berdasarkan tahun rilis.

Perawan Di Sektor Selatan (1971) Film durasi 137 menit yang di sutradarai Alam Surawidjaya ini mengangkat sisi lain saat perang kemerdekaan Indonesia. Secara keseluruhan film ini seperti sebuah reportase. Laura jadi titik sentral cerita film ini. karena sakit hati akan perlakuan gerilyawan republic hingga ibunya meninggal. Laura memihak Belanda dan diselundupkan sebagai mata-mata ke pasukan Kapten Wira (Kusno Sudjarwadi) di sector selatan, suatu daerah pedalaman terpencil. Laura menyamar sebagai Fatimah dan mengaku kakak anggota Laskar yang ditawan Belanda. Dia berhasil mengadu domba antara Wira dan Kobar (Lahardo). Konflik ini memuncak dengan pengepungan Kobar atasarkas Wira. Melihat situasi ini, lewat penghubungnya Laura mengundang pesawat Belanda menyerbu dan membebaskan ahli perang urat syaraf yang di tawan Wira. Merasa diketahui penyamarannya, Laura lari dan akhirnya tewas di pelukan Rengga (Dicky Zulkarnaen), anggota Laskar yangt dicintainya. Janur Kuning (1979) Janur juning di produksi pada tahun 1979. film yang disutradarai oleh Alam Rengga Surawidjaja ini dibintangi antara lain oleh Kaharudin Syah, Deddy Sutomo, Dicky Zulkarnaen, Amak Baldjun dan Sutopo H.S Film ini merupakan film kedua tentang peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 (sebelumnya film Enam Jam di Jogja yang di produksi 1951). Film ini bisa dibilnag film dengan biaya termahal saat itu, sekitar 375 juta dan sempat macet sebulan saat syuting karena kehabisan biaya. Biaya sebanyak ini digunakan untuk membuat 300 seragam tentara dan seragam untuk sekitar 8000 orang pemain figuran. Film ini mendapat Mendali Emas PARFI, FFI 1980 untuk Pameran Harapan Pria (Amak Baldjun), Plaket PPFI, FFI 1980 untuk produser Filma yang mengolah Perjuangan Bangsa. Unggulan FFI 1980 untuk Pameran Pembatu Pria (Amak Baldjun). Janur Kuning menceritakan perjuangan pejuang Indonesia dalam meraih kembali kemerdekaannya yang direbut oleh pasukan sekutu dan berhasil merebut kota Yogyakarta selama 6 jam. Janur kuning adalah lambang yang dipakai para pejuang sebagai tanda perjuangan saat itu. Serangan Fajar (1981)

Film yang disutradarai Arifin C. Noer ini menampilkan beberapa fakta sejarah yang terjadi di daerah Yogyakarta. Peristiwa-peristiwa patriotic itu di antaranya penaikkan bendera Merah Putih di Gedung Agung, penyerbuan markas Jepang di Kota Baru, penyerbuan lapangan terbang Maguwo dan seranagn beruntun di waktu fajar ke daerah sekitar salatiga, Semarang. Ada juga cerita Temon (Dani Marsuni), anak laki-laki kecil yang masih lugu ini tampil disela-sela perang bersama neneknya (Suparmi). Room (Amoroso Katamsi) dari keluarga bangsawan ikut gigih membantu pejuang. Sementara istrinya selalu takut kehilangan kasta sebagai bangsawan, karena salah satu anaknya menjalin cinta dengan seorang pemuda pejuang dari rakyat jelata. Kereta Api Terakhir (1981) Sebuah kisah dengan latar belakang gagalnya perjanjian Linggar Jati. Tentunya adegan pendekatan romantic, baik terhadap kepahlawanan maupun kisah cinta di baliknya. Markas besar tentara di yogya memutuskan menarik semua kereta api yang ada di Yogya. Letnan Sudadi (Rizawan Gayo), letnan Firman (Pupung Haris) dan sersan tobing (Gito Rollies) ditugaskan mengawal kereta yang diberangkatkan dari Stasiun Purwokerto, Sudadi mengawal kereta pertama. Firman dan Tobing mengawal kereta terakhir. Perjalanan kereta terakhir yang penuh hambatan menjadi inti cerita. Para pengungsi yang memenuhi kereta dan serangan pesawat Belanda memperkaya alur cerita. Diselipkan juga kisah cerita antara Firman dan dua Retno yang ternyata gadis kembar. Pasukan Berani Mati (1982) Masa ini terjadi pada saat perang kemerdekaan, diantara sebuah kota kecil telah direbut oleh tentara Belanda setelah menjatuhkan bom-bom dan menyerang kota tersebut dengan gencar oleh pasukan-pasukan Belanda yang di perkuat kendaraan-kendaraan Panser. Kapten Bondan sebagai komandan pasukan di kota itu memerintahkan pasukannya untuk mundur bersama penduduk guna menyusun kekuatan untuk mengadakan serangan gerilya.

Lebak Membara (1982) Dengan latar belakang penjajahan Jepang di daerah Lebak dekat Cirebon. Seorang pemuda perkasa bernama Herman (George Rudy) ditahan di markas tentara Jepang. Karena membela gurunya yang dianggap bersalah. Tapi kemudian dia dibebaskan oleh Letnan Izumi (Usman Effendy) dan Kapten Nakamura (El Manik). Tanpa setahu komandannya, serdadu Jepang memperkosa Marni (Minati Atmanegara), kekasih Herman. Kejadian ini membuat Herman marah dan kemudian bergabung dengan kelompok pejuang lalu menyerang markas Jepang. Film garapan Imam Tantowi ini menjadi film unggulan di FFI 1984 untuk scenario Terbaik dan Pameran Pembantu Wanita Terbaik (Dana Chistina). Komando Samber Nyawa Film perjuangan berdurasi 86 menit ini di sutradarai Eddy G. Bakker. Bintang utama dalam film ini adalah Barry Prima, Yenny Farida, Advent Bangun; Anton Samiat, Didier Hammel, Harry Capri. Ceritanya, Peleton Serna Hasyim dari Kompi Letnan Widodo adalah pasukan yang terdiri dari orang-orang pemberani. Untuk menggantikan anak buah Sersan Hasyim yang gugut, maka didatangkan Kopral Abimanyu. Abimanyu seorang yang perlente, tidak banyak bicara dan tidak disukai Sersan Hasyim. Hasyim mengira, abimanyu hanya pandai bersolek dan tak mampu bertempur. Namun kenyataannya lain. Abimanyu punya perhitungan matang dan kewaspadaan yang tinggi. Hal ini dia buktikan ketika berhasil menyelamatkan pasukan dari ancaman ranjau darat dan punya andilmembebaskan Desa Marga Sari dari serbuan Belanda. Dalam penyerbuan markas Belanda di Gunung Kapur, Sersan Hasyim mengerahkan anak buahnya termasuk Gardini, kekasihnya. Tanpa sepengetahuan teman-temannya, Abimanyu memasang dinamit di sekitar Gunung Kapur. Gunung Kapur berhasil diledakkan dan hancur. Nagabonar (1987)

Film berdurasi 95 menit ini digarap sutradara M.T. Risyaf pada 1987. Nagabonar (Deddy Mizwar), adalah seorang pecopet yang mendapatkan kesempatan menyebut dirinya seorang Jenderal di pasukan kemerdekaan Indonesia di Sumatera Utara. Pada awalnya Nagabonar melakukan ini hanya sekedar untuk mendapatkan kemewahan hidup sebagai seorang jenderal, akan tetapi pada akhirnya dia menjadi seorang tentara yang sesungguhnya, dan memimpin Indonesia dalam peperangan bersama pasukannya termasuk Kirana (Nurul Arifin), Bujang (Afrizal Anoda), dan Mak (Roldyah Matulessy). Film Nagabonar memborong enam Piala Citra dalam ajang FFI 1987, yakni untuk kategori Film terbaik, Aktor terbaik (Deddy Mizwar), Pemeran Pembantu Terbaik (Roldiah Matulessy), Cerita Asli dan Skenario Terbaik (Asrul Sani),

Penata Suara Terbaik (Hadi Hartomo), dan Penata Musik Terbaik (Franky Raden). Selain itu, film ini juga menjadi film Indonesia pertama yang masuk dalam seleksi film berbahasa asing di ajang Academy Award. Selain dibuat skuelnya (Nagabonar Jadi 2), tahun ini, Nagabonar kembali diputar ulang di bioskop setelah melewati proses remastering. Tjoetnya’ Dhien (1988) Film ini menceritakan tentang pejuang wanita asal Aceh, Tjoet Nya’ Dhien dan bagaimana dia dokhianati salah satu jendralnya , Pamglima Laot. Tjoet Nya’ Dhien di buat tahun 1988 distudarai Eros Djarot. Syutingnya memakan waktu sekitar 2,5 tahun dengan menghabiskan biaya sekitar 1,5 milyar rupiah. Film ini memenangkan piala Citra sebagai film terbaik. Dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nya’ Dhien, Piet Burnama sebagai panglima Laot, Rudy Wowor sebagai Snouck Hurgronje dan Slamet Raharjo sebagai Teuku Umar. Tjoet Nya’ Dhien jadi film terlaris di Jakarta pada 1988 dengan 214.458 penonton (data dari perfin). Film ini juga merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes pada tahun 1989. Film ini mendapat piala Citra FFI 1988 untuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Pameran Utama Terbaik, Cerita Terbaik, Musik Terbaik, Fotografi Terbaik, dan Artistik. Soerrabaja’45 (1990) Film ini berdasarkan kisah nyata di Surabaya saat merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Dalam pertempuran ini banyak Arek Suroboyo yang gugur. Yang kemudian terkenal dengan sebutan peristiwa 10 November. Film ini dimulai ketka Jep[ang kalah perang dan proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang di radio-radio. Ketika pasukan Inggris yang tiba di Surabaya, masyarakat menerima, sebab pasukan Inggris datang untuk melucuti tentara Jepang. Masalah-masalah muncul ketika Inggris tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Pemuda-pemuda Surabaya pun angkat senjata melawan Inggris. Film garapan Imam Tantowi ini cukup unik, karena ada lima bahasa yang digunakan dalam dialog para pemain. Yaitu ; Indonesia, Inggris, Jepang, Belanda, dan bahasa Jawa. Film yang menghabiskan biaya sekitar 1,8 Milyar rupiah ini dibintangi Usman Effendy, Leo Kristi, Tuty Koesnender dan Juari Sanjaya. Film ini juga mendapat piala Citra FFI 1991 untuk sutradara Terbaik dan penghargaan Dewan Juri FFI 1991 untuk Film yang menggambarkan semangat juang Indonesia. (AstroGuide)_

Related Documents