The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
STEALTH MARKETING: Permasalahan Etika Dalam Praktek Pemasaran Terkini Oleh: Henky Lisan Suwarno dan Bram Hadianto Universitas Kristen Maranatha, Bandung, Indonesia
Abstract The degree of competition to reach consumers is rise today. Firms striving to reach consumers through today’s swell of marketing clutter frequently are employing novel marketing practices. Although many nontraditional marketing messages are effective through clever, entertaining, and, ultimately, benign means, others rely on deception to reach consumers. In particular, one form of covert marketing, known as stealth marketing, uses surreptitious practices that fail to disclose or reveal the true relationship with the company producing or sponsoring the marketing message. In addition to deception, stealth marketing can involve intrusion and exploitation of social relationships as means of achieving effectiveness. Therefore, issue on stealth marketing become important, because it is created or related to ethical problems on marketing practices. The discussion about ethical problems of stealth marketing encourage the public policy maker to protect consumer, encourage the marketers to create marketing practices that educate consumers, and encourage the consumers to become more critical to many form of stealth marketing practices. This article is a literature study which tries to explain deeply the concept of stealth marketing and its ethical problems.
Keywords: stealth marketing, ethics, deception, intrusion, exploitation, consumer criticism
I. PENDAHULUAN Persaingan di antara perusahaan untuk mendapatkan pelanggan bukan merupakan hal yang aneh lagi. Perusahaan giat melakukan banyak kegiatan pemasaran, beberapa praktisi pemasaran memperkirakan bahwa konsumen disuguhi kurang lebih dari 1000 buah iklan setiap harinya (Marsden, 2006 dan Shenk, 1998). Di Indonesia sendiri, menurut penelitian dari lembaga ACNielsen tingkat kepadatan iklan televisi mencapai angka kurang lebih 1000 buah iklan per minggu. Rata-rata orang dewasa Indonesia menonton iklan televisi sebanyak 850 buah iklan per
1
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
minggu, sedangkan ibu-ibu rumah tangga menonton iklan lebih banyak lagi yakni 1200 buah iklan per minggu (Kuswati, 2007). Tingginya tingkat kepadatan iklan (televisi) dan banyaknya jumlah iklan yang ditonton oleh masyarakat menjadikan iklan sebagai salah satu alat pemasaran yang dapat memiliki pengaruh pada masyarakat. Iklan dapat memberikan pengaruh positif jika iklan tersebut bersifat mendidik dan sebaliknya dapat memberikan pengaruh negatif jika tidak mendidik. Bersifat mendidik dalam artian iklan tersebut tidak memberikan informasi yang terlalu berlebihan, dan menyesatkan dalam membujuk konsumen. Terdapat beberapa iklan yang diberikan kepada konsumen bersifat tidak mendidik. Hal ini dapat menjadi ancaman serius bagi pelanggan, karena dapat menciptakan mind-set yang cenderung tidak masuk akal (logika) bagi konsumen dan merusak moral masyarakat. Di samping itu iklan yang bersifat tidak mendidik, juga memiliki arti iklan tersebut tidak memberikan informasi yang benar dan jelas kepada konsumen, sehingga konsumen seringkali dibodohi. Salah satu bentuk pemasaran yang kemungkinan dapat menciptakan konsumen yang tidak terdidik adalah stealth marketing. Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk membahas
tentang stealth marketing. Pembahasan yang dilakukan penulis berupa penjelasan secara lebih dalam mengenai konsep dari stealth marketing dan permasalahan etika yang dapat dimunculkannya.
II. PEMBAHASAN Stealth marketing didefinisikan sebagai penggunaan praktek-praktek pemasaran yang tidak
menunjukkan
hubungan
yang sebenarnya
dengan perusahaan-perusahaan
yang
mensponsorinya (Martin dan Smith, 2008). Stealth marketing kadang dimaksudkan untuk 2
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
menciptakan word of mouth positif, atau “buzz” dari sebuah produk, oleh karena itu tidak heran kalau stealth marketing ini juga memiliki keterkaitan dengan “buzz marketing” atau “word of mouth marketing.” Secara khusus, Word of Mouth Marketing Association (2007) mendefinisikan buzz marketing sebagai “memberikan sebuah alasan kepada orang untuk berbicara tentang produk atau jasa anda, dan membuat hal tersebut lebih mudah untuk berbicara.” Dalam pemasaran konvensional, terdapat tiga informasi antara lain product knowledge, persuasion knowledge dan agent knowledge (Martin dan Smith, 2008). Product knowledge artinya dalam komunikasi pemasaran terdapat informasi mengenai produk yang dipasarkan, misalnya fitur-fitur yang terdapat dalam produk. Persuasian knowledge artinya dalam komunikasi pemasaran terdapat unsur membujuk terhadap konsumen secara terangterangan. Agent knowledge artinya terdapat agen pemasaran yang membujuk konsumen secara terang-terangan. Secara terang-terangan artinya orang yang melihat dan mendengar sebuah komunikasi pemasaran mengetahui perusahaan mana yang mensponsorinya. Dalam stealth marketing, tiga informasi di atas tidak diperlihatkan secara terang-terangan. Stealth marketing dipertimbangkan dapat menjadi alternatif yang baik dari pemasaran konvensional karena dipersepsikan sebagai pemasaran yang lebih halus dan lebih pribadi daripada pemasaran tradisional. Oleh karena itu stealth marketing dapat menjadi teknik pemasaran yang dapat bertahan lama. Pada dasarnya, stealth marketing berupaya untuk menyajikan sebuah produk atau jasa baru dengan menciptakan “buzz” dalam sebuah cara yang tersembunyi. Stealth marketing menyajikan produk dengan fitur-fitur menarik yang dapat membuat orang yang melihatnya terkesan dengan produk yang ditawarkan. Tujuan utama dari pemasaran seperti ini adalah mendapatkan orang yang tepat untuk dapat memasarkan produk atau jasa tanpa terlihat disponsori oleh perusahaan. Esensinya, pemasaran seperti ini 3
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
menciptakan sebuah kondisi word-of-mouth yang positif, sehingga akan memunculkan konsumen-konsumen yang dapat memasarkan produk secara spontan. Pada akhirnya, pesan yang dimunculkan dalam komunikasi pemasaran tersebut dapat tersebar mulai dari trendsetter kepada para konsumen. Pesan dari komunikasi pemasaran tersebut dapat disampaikan dalam beberapa cara: secara fisik (selebritis atau trendsetters mungkin terlihat dengan merek yang dipasarkannya), secara verbal (orang-orang mungkin membicarakan merek dalam percakapan secara on-air maupun off-air), secara virtual (pesan dapat disebarkan melalui internet chatrooms, newsgroup, atau weblogs). Jika konsumen suka pada produk atau jasa baru tersebut, mereka akan mengatakannya kepada teman-teman dan kolega, sehingga tidak menutup kemungkinan pesan tersebut akan tersebar luas. Dengan menghubungkan produk dengan gaya hidup penerima pesan, stealth marketing memasarkan produk dan jasa dengan cara yang paling halus dibanding yang lain. Pendapat lain mengenai stealth marketing adalah dikemukakan oleh Kafi Kurnia, praktisi pemasaran yang menulis buku “Anti-Marketing”. Stealth marketing menurutnya dikatakan sebagai pemasaran antiradar, karena konsumen tidak mengetahui kalau dirinya merupakan obyek pemasaran. Strategi ini memang bisa dibilang nakal karena memiliki nuansa memperdaya konsumen. Contoh klasiknya adalah trik London Cake Creative Consultancy di Newcastle. Mereka membuang kemasan kosong produk minumannya, Kratingdaeng di berbagai tong sampah dekat bar dan pub di sekitar kota untuk menimbulkan kesan seolah produknya amat digandrungi. Menurut Kafi, salah seorang rekannya di Indonesia sudah meniru cara ini ketika membuka restoran baru. Di pekan awal pembukaan restoran, ia meminjam mobil teman sebanyak-banyaknya untuk diparkir di depan restorannya sehingga memancing orang penasaran dan mampir mencicipi hidangannya. Teknik sederhana itu ternyata memang tulen sakti. Orang 4
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
yang lewat dibuat penasaran dan akhirnya ikut berhenti, serta mencoba restorannya. Trik ini berhasil membuat restorannya laris tanpa harus mengeluarkan biaya iklan sepeser pun. Pemasaran antiradar juga sering dilakukan para agen dan distributor mobil. Caranya, mereka membanjiri jalan-jalan utama ibu kota dengan mobil-mobil yang baru saja diluncurkan. Lagi-lagi motivasinya untuk menggelitik dan merangsang rasa penasaran. Konsumen menjadi terpikat, karena
seringnya
melihat
mobil-mobil
baru
itu
di
jalan.
Cara itu pula yang ditempuh Toyota dengan merek Scion, yang diluncurkan 9 Juni lalu di California. Karena tahu sekarang ini mereka yang berumur 18-25 tahun tengah merancang sebuah generasi internet diperkirakan pada 2010 ada 60 juta warga di Amerika yang familier dengan
internet
Scion
pun
mengarahkan
pemasarannya
ke
sana.
Para dealer sengaja memarkir Scion di depan toko-toko musik di California. Menawari para calon langganan untuk mencoba mobil baru Scion, sambil memberikan suvenir cuma-cuma seperti CD musik. Mobil-mobil Scion juga diparkir di lapangan parkir gedung-gedung konser musik, untuk pamer. Scion tidak lagi diiklankan lewat TV, karena pemasar antiradar kebanyakan antiiklanTV. Brosur-brosur Scion hanya disebarkan lewat majalah-majalah gaya hidup generasi internet. Tujuannya, agar Scion tidak menjadi asal merek kebanyakan, melainkan sebuah merek yang berinteraksi dengan generasi internet, sehingga diakui dan diadopsi oleh generasi internet sebagai merek yang mencirikan kepribadian mereka. Scion saat ini tengah mendapat perhatian dan menjadi buah bibir berkat pemasaran antiradar mereka yang cukup kontroversial. Pemasaran antiradar atau stealth marketing menjadi trend baru. Berkat pendekatannya yang artistik. Yaitu bukannya berteriak kencang, melainkan cukup berbisik dan melirik. Tapi, kadang bisikan jauh lebih dahsyat dari suara berisik. Berbisik bisa lebih intim. Suaranya mungkin jauh
5
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
lebih perlahan, tapi kalau langsung masuk kuping, dan menyentuh pancaindra kita, intensitasnya terasa jauh lebih nyaring. (www.Gatra.com dan www.jakartaconsultinggroup.com)
Pertumbuhan Kepopuleran Stealth Marketing Pertumbuhan kepopuleran stealth marketing didorong oleh tiga faktor yang ikut berkontribusi dalam mengurangi efektivitas dari iklan televisi dan teknik-teknik periklanan lainnya (Kaikati M.A dan Kaikati G.J, 2004). 1. Tumbuhnya kritik terhadap industri periklanan secara umum Terdapat dua buku yang berisi tentang kritik terhadap industri periklanan yang dipublikasikan pada tahun 2002. Sergio Zyman memiliki argumen bahwa waktu 30 detik dari iklan di televisi tidak cukup untuk membangun awareness (perhatian) dari penonton, oleh karena itu industri periklanan harus memikirkan ulang cara pemasaran seperti itu. Al dan Laura Ries juga memiliki argument bahwa Public Relation (PR) seharusnya terlebih dahulu dilakukan untuk memasarkan produk inovasi baru, dan kemudian diikuti oleh iklan. Efektivitas biaya periklanan menjadi penyebab mengapa mereka memberi rekomendasi kepada kita untuk melakukan teknikteknik pemasaran non-tradisional. Al dan Laura Ries memberikan contoh tentang keberhasilan dari perusahaan Botox dalam memanfaatkan PR. Dia berpendapat bahwa Botox telah memiliki omset sebesar $300 juta tanpa melakukan periklanan. Krispy Kreme juga menjadi perusahaan favorit di Amerika dengan sedikit melakukan periklanan yang tradisional. 2. Pendengar iklan semakin banyak terbagi-bagi Faktor kedua yang membuat iklan tidak efektif lagi adalah bahwa pemasar menemukan bahwa saat ini untuk mengejar dan menangkap pelanggan potensial lebih sulit karena pendengar semakin banyak terbagi-bagi. Oleh karena semakin banyaknya jumlah stasiun televisi, jumlah 6
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
stasion pemancar radio, dan media komunikasi lainnya, maka pendengar dibagi-bagi ke dalam kelompok yang lebih kecil. Sehingga hal tersebut membuat pemasar lebih sulit dan tentunya lebih mahal untuk menjangkau satu pendengar dari satu ukuran tertentu. Sebagai contoh, di 200 saluran TV, program perorangan memiliki penonton yang lebih sedikit dibandingkan masa lalu. Fakta penelitian terbaru mengungkapkan bahwa semakin banyak generasi muda yang kurang suka menonton televisi, karena mereka cenderung lebih menyukai bermain video game. Penelitian yang dilakukan oleh AC Nielsen pada tahun 2003 menunjukkan bahwa pemuda usia antara tahun 18 dan 34 yang menonton televisi berkurang jumlahnya sekitar 7.7% dibandingkan satu tahun sebelumnya. 3. Munculnya Personal Televise Recorders (PVRs) atau Digital Video Recorders (DVRs) Fitur yang paling mengganggu dari alat ini adalah kemampuannya untuk tidak menayangkan (skip or eliminate) iklan yang tidak dikehendaki oleh konsumen, caranya adalah dengan memencet (klik) satu tombol di remote control jika muncul iklan yang tidak mereka kehendaki. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika terdapat beberapa penelitian yang menemukan bahwa untuk mencapai 80% dari konsumen wanita usia 18 sampai 49 tahun, terdapat peningkatan jumlah iklan dari 3 iklan di tahun 1995 sampai 97 di tahun 2000. Penelitian lain yang ditujukan kepada 112 eksekutif pemasaran dari Asosiasi Periklanan Amerika, menunjukkan bahwa 76% dari responden mengatakan akan mengurangi pembelanjaan iklan ketika PVRs menjangkau 30 juta rumah. Frustasi dengan beberapa kelemahan dari teknik pemasaran yang tradisional, dan munculnya beberapa alat yang dapat membantu penonton untuk tidak menayangkan iklan membuat pemasar perlu memikirkan cara baru dalam menyampaikan komunikasi pemasarannya.
7
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
Lebih spesifik, mereka harus memikirkan bagaimana caranya menciptakan pesan yang halus sehingga sulit bagi konsumen untuk menolaknya.
Tipe-tipe teknik stealth marketing Ada beberapa teknik pemasaran yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan kompetitif. Enam teknik stealth marketing tersebut adalah: viral marketing; brand pushers; celebrity marketing; bait-and-tease marketing; marketing in video games; and marketing in pop and rap music. Teknik stealth marketing yang berhasil adalah ketika konsumen tidak merasa sadar bahwa ada kesan komersial dibaliknya (Kaikati M.A dan Kaikati G.J, 2004). 1. Viral Marketing Istilah "viral marketing" diperkenalkan oleh Steve Jurvetson (seorang penanam modal) pada 1996 ketika dia mendeskripsikan strategi pemasaran dari e-mail gratis Hotmail dengan mengirimkan pesan "Get your private, free e-mail from Hotmail at http://www.hotmail.com" bersamaan dengan rekomendasi secara implisit dari si pengirim tentang suatu produk. Dengan demikian, stealth marketing dalam bentuk viral marketing merupakan "word of mouth" melalui suatu media digital. Pemasaran jenis ini melibatkan penyebaran pesan melalui "word of mouse" dan memastikan bahwa penerima punya daya tarik terhadap pesan tersebut. Setelah mereka tertarik dengan pesan tersebut, diharapkan mereka dapat merekomendasikannya kepada temannya. Mendapat satu rekomendasi pribadi melalui e-mail dari seseorang yang anda ketahui adalah betul-betul lebih terpercaya dibandingkan satu e-mail tanpa nama. Salah satu contoh dari viral marketing adalah weblogs, atau yang lazimnya dikenal dengan sebutan blogs. Blogs adalah buku harian seperti web sites pribadi dan tempat orang-orang berkomunikasi yang sudah menjadi trend saat-saat ini, khususnya bagi pengguna web yang 8
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
berusia muda. Tidak seperti halaman web site pribadi lainnya, blogs merupakan buku harian yang sering ditulis oleh para generasi muda yang menjadi trendsetter. Mereka biasanya menulis beberapa pendapat, seperti testimonial dan melakukan update secara teratur. Mereka biasanya berkomentar seputar dasar pemikiran dari pilihan-pilihan mereka terhadap isu-isu yang sedang dibicarakan, kemudian membangun sebuah percakapan yang interaktif. Mereka juga membangun sebuah link dengan halaman web site dan blogs lainnya yang berisi berbagai macam topik bahasan mulai dari teknologi, media, dan hiburan sampai politik, ekonomi, dan budaya. Pemanfaatan blogs untuk kegiatan pemasaran dilakukan oleh perusahaan Dr. Pepper, sebuah perusahaan yang memproduksi soft-drink. Untuk menarik calon pelanggannya, Dr. Pepper membangun sebuah blogs yang dapat memasarkan produknya secara sembunyisembunyi. Dr. Pepper juga merekrut sejumlah anak muda untuk menjadi bloggers, yang berusia remaja sampai usia 20 tahunan. Sejumlah remaja tersebut terlebih dahulu diminta untuk mengikuti masa orientasi, dengan tujuan supaya mengetahui upaya pemasaran Dr. Pepper melalui blogs, yang diisi dengan pendapat bloggers tentang antusiasme mereka terhadap produk tanpa diketahui banyak orang kalau mereka adalah para pemasar dari Dr. Pepper. 2. Brand Pushers Brand pushers adalah teknik stealth marketing dengan merekrut aktor dan aktris baru untuk menjangkau calon pelanggan secara pribadi dalam kehidupan sehari-hari dengan memasukkan pesan komersial secara implisit. Para aktor dan aktris yang dipilih ini harus yang memiliki kepribadian yang pandai merangkul orang dan menarik. Tujuan utama dari brand pushers ini adalah untuk menampilkan suatu perilaku yang baik dan menampilkan keunggulan suatu merek produk tanpa diketahui oleh orang lain.
9
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
Salah satu contoh perusahaan yang melakukan teknik stealth marketing berupa brand pushers ini adalah Sony Ericsson. Dalam memasarkan produk terbarunya, yaitu kombinasi antara telepon selular dan kamera digital mereka melakukan brand pushers. Mereka merekrut aktor dan aktris baru yang berjumlah 60 orang, mereka melakukan acting seolah-olah sebagai pasangan turis yang sedang melakukan liburan. Cara yang dilakukannya adalah mereka meminta orang lain untuk mengambil gambar mereka dengan menggunakan telepon seluler baru Sony Ericsson tipe T68i, telepon seluler yang dilengkapi dengan fasilitas kamera. Tujuan dari teknik pemasaran seperti ini adalah untuk melakukan intrik supaya orang lain tersebut mengetahui dengan sendirinya produk high-tech terbaru yang dimiliki Sony Ericson dan membiarkan mereka memiliki pengalaman sendiri dengan fitur-fitur yang ada di telepon seluler tersebut. Dengan cara seperti ini, maka calon konsumen menerima pesan pemasaran dari perusahaan bukan melalui iklan seperti biasanya, tetapi melalui demonstrasi langsung mengenai fitur-fitur produk di dalamnya. Sehingga hal seperti ini terlihat lebih efektif, karena konsumen memiliki pengalaman sendiri dengan produk. 3. Celebrity Marketing Teknik stealth marketing seperti ini dilakukan dengan merekrut seorang selibritis untuk memasarkan produk perusahaan. Perusahaan mengharapkan ketenaran dari selebritis tersebut untuk mempengaruhi calon konsumen agar mau membeli produk yang dipasarkan. Contoh kasus dari celebrity marketing ini adalah yang terjadi dalam industri kesehatan. Pada bulan Maret 2002, ketika Lauran Bacall (selebritis di Amerika) di wawancara oleh Matt Lauer, pembawa acara Today Show, dia menyebutkan bahwa salah seorang temannya mengalami sakit mata sebelah yang disebut macular degeneration. Lalu Bacall menyebutkan sebuah obat baru, Visudyne, yang dapat mengobati penyakit tersebut. Pada bulan Juli 2002, Ann Wilson, 10
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
penyanyi rock tahun 70 sampai 80-an, direkrrut oleh perusahaan pembuat alat penurun berat badan, yaitu Lap-Band. Wilson muncul dalam acara di CBS yaitu The Early Show untuk memasarkan alat tersebut. Selanjutnya pada bulan Agustus 2002, aktris Kathleen Turner muncul dalam acara Good Morning America di ABC dan CNN untuk berdiskusi tentang perjuangannya mengobati penyakit rheumatoid arthritis, yang menarik, ketika dia tidak menyebutkan secara khusus nama sebuah perusahaan atau merek, dia merekomendasikan kepada para penonton untuk mengunjungi halaman web yang disponsori oleh Amgen Inc. and Wyeth, yang memproduksi Enbrel, sebuah obat yang dapat mengobati penyakit yang dideritanya. 4. Bait and Tease Marketing Contoh kasus dari Bait and Tease Marketing ini adalah yang dilakukan oleh BMW. Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa pembeli mobil BMW adalah orang-orang yang jarang menonton TV, mereka lebih sering mencari informasi dan melakukan transaksi melalui internet. Untuk menjangkau pembeli seperti ini, maka BMW membuat film pendek tentang mobil produksinya, yang hanya bisa dilihat di halaman website, mereka membuat film yang berdurasi antara 5 sampai 7 menit yang terdapat dalam halaman website bmwfilms.com. Dengan cara yang seperti ini pesan iklan yang disampaikan oleh BMW tidak akan dapat dihindari oleh konsumen, karena disebarkan dengan jalan yang agak sedikit memaksa (compelling way), di mana informasi tentang produk hanya tersedia di halaman website. 5. Marketing in Video Games Pemasaran yang dilakukan melalui video games ini dalam bentuk memasukkan logo perusahaan dalam permainan. Teknik pemasaran seperti ini berbeda dengan pemasaran melalui media televise maupun film. Jika pemasaran melalui media televisi dan film, pesan diterima secara pasif oleh penerima, sedangkan dalam pemasaran melalui video games, penerima pesan 11
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
lebih aktif karena lebih berinteraksi. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pemasaran melalui video games ini pesan yang ingin disampaikan lebih sering dimunculkan. Salah satu contoh kasus dalam pemasaran melalui media video games ini adalah komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh McDonald’s dan Intel pada games The Sims Online yang diproduksi oleh Elecronic Arts. The Sims Online adalah sebuah game mengenai kehidupan sehari-hari, di mana gamers dapat mengontrol karakter virtual beberapa orang mengenai kehidupan mereka, game ini merupakan versi internetnya (online). Dalam game tersebut para pemain dapat mengoperasikan sebuah komputer yang berlogo Intel dan dapat membeli sebuah makanan di kios McDonald. 6. Marketing in Pop and Rap Music Teknik pemasaran seperti ini dilakukan dengan memasukkan pesan komersial dalam lagu-lagu yang berirama pop dan rap. Musik rop dan rap telah memiliki hubungan yang dekat dengan komunitas perusahaan. Sebagai contoh, grup musik Four Seasons dan Supremes pernah menyanyikan jingle Coca-cola di pertengahan tahun 60-an. Selain itu, pada tahun 1986, Run D.M.C dibayar oleh Adidas setelah mereka mempromosikan produk adidas dengan menyanyikan lagu yang berujudul “My Adidas”. Pada awalnya pujian terhadap merek yang sudah ada ikut muncul dalam gaya hidup seseorang yang mencintai musik. Merek menjadi bagian dalam lagu-lagu rap karena pilihan dari artis tersebut terhadap merek yang mereka sukai. Hal ini terbukti ketika artis tersebut menyanyikan lagu rap yang bercerita tentang kehidupannya, mereka juga menceritakan merek yang sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Situasi yang ada sekarang saat berubah, beberapa perusahaan lebih bersikap proaktif untuk mencantumkan merek mereka dalam sebuah lagu. Sebagai contoh, Jay-Z menerima 12
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
tawaran Motorola untuk mempromosikan produk dari Motorola melalui lagu yang dinyanyikannya. Motorola mengklaim bahwa penjualan produk mereka meningkat secara drastic setelah Jay-Z menyebutkan salah satu produk Motorola dalam albumnya. Contoh yang terdapat di Indonesia adalah apa yang sudah dilakukan oleh KFC. Mereka mensponsori pembuatan album rekaman dari grup band musik “Republik”, padahal mereka bukan perusahaan rekaman. Dalam cd kaset maupun album yang dirilis oleh Republik, terdapat logo KFC di dalamnya.
Permasalahan Etika Dalam Stealth Marketing Teori-teori
etika normatif banyak berbicara mengenai consequentialist dan
nonconsequentialist (Hunt dan Vitell, 1993; Kimmel dan Smith, 2001). Teori consequentialist mempertimbangkan seluruh konsekuensi yang akan muncul sebagai dasar untuk membuat penilaian terhadap permasalahan etika. Sedangkan, teori nonconsequentialist fokus pada pertanyaan apakah suatu tindakan itu dapat dikatakan etis atau tidak. Teori nonconsequentialist ini mempertimbangkan kriteria-kriteria lain
selain konsekuensi dalam menilai suatu
permasalahan etika, misalnya dari sudut pandang kerohanian ataupun dari sudut pandang moral. Oleh karena itu, dalam menilai suatu permasalahan etika stealth marketing, perlu mempertimbangkan penilaian dari perspektif konsekuensi, yaitu dengan mempertimbangkan seluruh konsekuensi yang akan muncul dari sebuah tindakan dan dari perspektif nonkonsekuensi, yaitu dengan menggunakan penilaian dari sudut pandang kerohanian dan moral. Sebagai contoh, Laczniak dan Murphy (1993) dan Dunfee, et.al (1999) menunjukkan beberapa pertanyaan yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian mengenai permasalahan etika, seperti “Apakah tindakan yang dilakukan bertentangan dengan moral yang diterima secara
13
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
umum? (nonconsequentialist theory),” dan “Apakah tindakan tersebut dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi orang maupun organisasi? (consequentialist theory).” Salah satu pedoman menilai permasalahan etika dalam praktek pemasaran adalah American Marketing Associations’s (AMA’s) Statement of Ethic (Martin dan Smith, 2008). Secara spesifik, contoh dari nilai-nilai etis yang terdapat dalam AMA’s Statement of Ethic tersebut antara lain honesty, fairness, dan openness. Honesty berbicara tentang “kejujuran dalam berhubungan dengan para pelanggan dan stakeholder.” Hal ini menghendaki bahwa dalam memasarkan produknya, para pemasar menceritakan kebenaran dalam setiap situasi dan waktu. Fairness berbicara tentang “mencoba untuk menyeimbangkan antara kebutuhan pembeli dengan kepentingan penjual.” Hal ini menghendaki bahwa dalam menjual dan mengiklankan produknya, para pemasar melakukannya dengan cara yang jelas, termasuk menghindari promosi yang bohong, menyesatkan dan menipu. Terakhir, openness berbicara tentang “menciptakan keterbukaan dalam praktek-praktek pemasaran.” Hal ini menghendaki bahwa para pemasar berusaha untuk melakukan komunikasi pemasaran secara jelas atau tidak sembunyi-sembunyi kepada seluruh masyarakat. Dalam menganalisis permasalahan etika stealth marketing penulis menggunakan hal-hal seperti deception, intrusion dan exploitation (Martin dan Smith, 2008). Berikut ini adalah analisis yang penulis lakukan. 1. Deception Deception adalah kecenderungan untuk menipu orang. Hal ini merupakan permasalahan etika, bukan hanya karena tindakannya yang menipu itu sendiri tetapi juga karena konsekuensi yang akan muncul dari tindakan menipu tersebut. Berbohong merupakan suatu kecenderungan untuk menipu. Deception ini termasuk permasalahan etika karena bertentangan dengan ajaran 14
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
kerohanian dan juga tata nilai moral yang ada di masyarakat. Deception menunjukkan kondisi yang tidak sebenarnya dari suatu keadaan, atau lebih lazim dikatakan sebagai tindakan tipu muslihat. Kondisi seperti ini dapat kita lihat dalam praktek stealth marketing. Contoh yang nampak adalah pada kasus viral marketing, secara khusus pada testimonial yang disampaikan pada suatu halaman website atau biasa disebut sebagai blog. Kasus di perusahaan Dr. Pepper menunjukkan bahwa terdapat unsur deception dalam pelaksanaan praktek komunikasi pemasarannya. Dalam upaya komunikasi pemasarannya melalui blog mereka merekrut sejumlah remaja. Oleh perusahaan sejumlah remaja ini diminta atau lebih tepatnya disuruh untuk memberikan testimoni mengenai keunggulan produk atau pengalaman mereka mengenai manfaat dari produk perusahaan, seolah-olah mereka sudah pernah menggunakan produk perusahaan. Hal seperti ini merupakan permasalahan etika karena terdapat unsur deception, mereka melakukan tipu muslihat atau menipu orang-orang yang membaca testimonial dengan menceritakan hal-hal positif dari produk perusahaan. Orang-orang yang membaca testimonial dipengaruhi sedemikian rupa sehingga mereka percaya akan adanya keunggulan produk yang diceritakan, karena mereka menganggap bahwa sejumlah remaja tersebut memiliki pengalaman menggunakan produk, padahal mereka tidak pernah menggunakan produk dari perusahaan. Contoh lain adalah yang dilakukan oleh Sony Ericson, dalam memasarkan produk terbarunya yaitu handphone berkamera mereka merekrut sejumlah pria dan wanita untuk berperan seolah-olah sebagai pasangan turis. Hal ini termasuk tindakan deception, pertama karena sejumlah pria dan wanita tersebut bisa jadi ada yang bukan merupakan pasangan, kedua mereka bukanlah turis seperti yang yang dilakonkan. Jadi, kedua contoh di atas merupakan praktek komunikasi pemasaran yang tidak etis karena terdapat unsur deception di dalamnya. Pertama, karena mereka melakukan tipu muslihat
15
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
atau menipu orang. Kedua, karena perusahaan mengajak pemasarnya untuk melakukan kebohongan. 2. Intrusion Intrusion menggambarkan suatu pelanggaran terhadap privasi atau kebebasan pribadi seseorang. Dalam stealth marketing terdapat permasalahan etika karena dalam prakteknya melanggar privasi atau kebebasan pribadi seseorang. Contoh yang nampak adalah dalam kasus SonyEricson, the fake tourists atau turis-turis gadungan yang dibayar perusahaan mengganggu privasi turis lain karena menyita waktu mereka yang sedang melakukan rekreasi, dengan melakukan pemasaran secara tersembunyi (stealth marketing). Mereka meminta turis lain untuk mengambil gambar mereka dengan handphone berkamera, yang tujuannya adalah agar turis yang dimintai bantuan tersebut tertarik dengan fitur-fitur yang terdapat dalam handphone yang baru dikeluarkan SonyEricson tersebut. Contoh lain adalah yang dilakukan oleh perusahaan Dr. Pepper. Mereka melanggar privasi seseorang, karena mereka mengatur kebebasan berpendapat sejumlah remaja yang mereka rekrut. Sejumlah remaja tersebut “dipaksa” untuk mengeluarkan pendapat yang positif saja tentang produk perusahaan, padahal belum tentu mereka setuju dengannya. Stealth marketing yang dilakukan oleh beberapa perusahaan dalam bentuk marketing in music juga mengandung unsur intrusion, karena mereka melanggar kebebasan berekspresi seseorang dalam menciptakan atau menyanyikan lagu. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, dalam marketing in music ini perusahaan meminta agar nama perusahaan atau produk mereka dimasukkan dalam lirik lagu yang akan diciptakan atau dinyanyikan penyanyi (grup band). Hal ini merupakan indikasi bahwa terdapat intervensi terhadap kebebasan pribadi
seseorang
berekspresi dalam lagu. 3. Exploitation 16
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
Exploitation dalam hal ini menggambarkan pemanfaatan sifat baik seseorang untuk memasarkan produk. Dalam stealth marketing terdapat permasalahan etika karena di dalamnya terdapat unsur exploitation. Contoh kasus yang terdapat dalam perusahaan Sony Ericson menggambarkan unsur exploitation di dalamnya. Mereka memanfaatkan sifat baik dari turis asli dalam melakukan komunikasi pemasarannya. Turis palsu (the fake tourist) meminta turis asli (the genuine tourist) untuk mengambil gambar mereka dengan menggunakan handphone Sony Ericson berkamera. Para turis asli tersebut merespon dengan baik permintaan turis palsu. Sifat baik dari turis asli tersebutlah yang dimanfaatkan Sony Ericson dalam memasarkan produknya. Kasus dari perusahaan Dr. Pepper juga mengandung unsur exploitation di dalamnya. Kebaikan sifat dari seseorang untuk membantu sesamanya dalam memberikan informasi mengenai produk dimanfaatkan untuk kegiatan yang bersifat komersial atau dengan kata lain interaksi sosial antar orang yang menunjukkan sifat saling membantu dimanfaatkan. Kasus stealth marketing seperti ini tidak etis karena pertama terdapat pemanfaatan sifat baik manusia, dan kedua praktek pemasaran seperti ini lambat laun pasti akan merusak keaslian dari interaksi sosial yang baik antar manusia karena dicampuri oleh hal yang bersifat komersial atau didasari profit-oriented.
III. KESIMPULAN Tidak efektifnya pemasaran tradisional seperti iklan di televisi, radio atau media lainnya membuat perusahaan melaksanakan praktek pemasaran yang lain. Para pemasar melakukan praktek pemasaran yang di luar (outside the box) dari praktek pemasaran seperti biasanya dalam membujuk konsumen. Salah satu yang dilakukan adalah stealth marketing yaitu pemasaran yang dilakukan secara tersembunyi, artinya konsumen tidak tahu dan sadar kalau mereka sedang dibujuk oleh pemasar untuk memiliki minat terhadap produk yang dipasarkannya. Stealth 17
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
marketing ini dirasa efektif karena praktek pemasaran seperti ini dapat menghindari atau melewati defense mechanism yang terdapat dalam diri konsumen. Jadi konsumen tidak memiliki antipati terlebih dahulu akan pesan komunikasi pemasaran yang dilakukan pemasar, hal ini terjadi karena konsumen tidak menangkap secara eksplisit pesan tersebut. Kelebihan dari stealth marketing tersebut sayangnya pada kasus-kasus tertentu menimbulkan permasalahan etika di dalamnya. Tiga hal permasalahan etika yang muncul dalam stealth marketing tersebut antara lain deception, intrusion dan exploitation. Praktek pemasaran stealth marketing tidak etis karena di dalamnya terdapat unsur deception, artinya terdapat unsur penipuan di dalamnya dan lebih berbahaya lagi praktek pemasaran seperti ini mendidik orang untuk berbohong dalam melakukan komunikasi pemasarannya. Stealth marketing juga tidak etis karena di dalamnya terdapat unsur intrusion, artinya terdapat unsur pelanggaran privasi atau kebebasan pribadi seseorang, salah satu contohnya adalah mengekang kebebasan seseorang untuk mengeluarkan pendapat yang sesuai dengan pendapat dirinya. Terakhir, stealth marketing tidak etis karena di dalamnya terdapat unsur exploitation, exploitation yang terdapat dalam kasus-kasus stealth marketing di atas adalah exploitation dalam hal pemanfaatan kebaikan sifat manusia dalam hal interaksi sosial untuk kepentingan komersial perusahaan. Dari analisis sederhana mengenai permasalahan etika dalam stealth marketing, penulis berpendapat ada beberapa implikasi dan saran dari permasalahan ini terhadap pembuat kebijakan publik, pemasar dan konsumen. Terhadap pembuat kebijakan publik, dalam hal ini pemerintah dan lembaga-lembaga pelindung konsumen memberikan sanksi kepada para pemasar yang melakukan tindakan tidak etis dalam praktek pemasarannya karena hal ini akan membahayakan masyarakat sebagai contoh jika praktek pemasaran yang tidak etis terus-menerus dilakukan maka akan berdampak pada perilaku masyarakat yang tidak sesuai norma dan ajaran kerohanian seperti 18
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
penipuan, pelanggaran kebebasan pribadi orang lain, dan eksploitasi interaksi sosial untuk kepentingan komersial. Selain itu pembuat kebijakan publik ini juga dapat melakukan kritikan yang terus menerus terhadap stealth marketing supaya masyarkat atau konsumen mengetahui dan memahami praktek-praktek pemasaran yang tidak etis seperti ini, sehingga mereka memiliki atau memperkuat defense mechanism dalam diri mereka masing-masing. Terhadap pemasar atau perusahaan, hendaknya mereka memikirkan dan melakukan cara-cara kreatif dalam praktek pemasarannya tanpa melanggar etika yang sesuai dengan norma dan ajaran kerohanian. Hal ini dituntut adanya Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan, artinya terdapat tanggung jawab sosial perusahaan dalam mendidik nilai-nilai yang positif bagi masyarakat atau lebih spesifik lagi bagi konsumen. Para pemasar juga perlu mempertimbangkan, jika terdapat banyak kritik terhadap praktek pemasaran stealth marketing yang tidak etis yang dilakukan perusahaan, maka hal ini akan berdampak buruk bagi citra perusahaan. Hal ini muncul karena, jika kritikan-kritikan tersebut diketahui oleh umum atau dipublikasikan kepada masyarakat banyak, maka konsumen juga pasti akan mengetahui kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan dan tidak menutup kemungkinan mereka akan bersikap skeptik kepada perusahaan beserta produk-produk yang dikeluarkannya. Terhadap konsumen, praktek pemasaran stealth marketing yang sedang berkembang sekarang ini membuat konsumen harus lebih berhati-hati terhadap bujukan-bujukan tersembunyi dari perusahaan. Konsumen harus lebih kritis terhadap praktek pemasaran yang tidak etis ini, karena jika tidak maka akan mudah sekali terbujuk bukan karena stealth marketing ini dilakukan melalui interaksi sosial, tapi juga karena dilakukan dengan melewati defense mechanism yang dimiliki konsumen (Obermiller dan Spangenberg, 2000; Sprott, 2008).
19
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
Artikel ini memiliki beberapa keterbatasan, pertama contoh-contoh kasus stealth marketing masih banyak menggunakan contoh-contoh kasus yang terjadi di luar negeri, sehingga ada kemungkinan konteks permasalahannya berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Kedua, kriteria yang digunakan penulis untuk mengevaluasi etis tidaknya praktek pemasaran stealth marketing masih menggunakan kriteria dari America Marketing Asociation, sehingga ada kemungkinan juga nilai-nilai yang ingi dimunculkan berbeda dengan di Indonesia. Ketiga, penentuan etis tidaknya praktek pemasaran stealth marketing masih terbatas pada pendapat penulis sendiri tentang kasus-kasus yang ada, dan tidak meminta pendapat dari konsumen, pemasar ataupun lembaga publik yang ada. Dari beberapa keterbatasan di atas maka penulis memberikan saran untuk penulisan artikel konseptual atau untuk penelitian. Pertama, untuk penulisan artikel selanjutnya sebaiknya menggunakan contoh-contoh kasus stealth marketing yang terdapat di Indonesia, hal ini dimaksudkan agar lebih konstektual dengan fenomena yang terjadi di Indonesia dan dapat memberikan informasi kepada konsumen Indonesia tentang praktek-praktek stealth marketing yang ada di Indonesia. Kedua, kriteria-kriteria yang digunakan dalam mengevaluasi etis tidaknya stealth marketing sebaiknya menggunakan kriteria dari asosiasi pemasar Indonesia, ajaran rohani dan norma-norma yang berlaku di Indonesia, atau bahkan peraturan pemerintah tentang perlindungan konsumen. Ketiga, penulis menyarankan adanya penelitian empirik mengenai permasalahan etika dalam stealth marketing. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan memperoleh informasi dari konsumen, pemasar dan lembaga publik mengenai permasalahan etika stealth marketing ini. Hal ini dimaksudkan agar terdapat bukti empirik yang tentunya memiliki tingkat obyektivitas yang lebih baik.
20
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
IV. REFERENSI
Dunfee, T.W, Smith N.C dan Ross, W.T (1999), “Social Contracts and Marketing Ethics,” Journal of Marketing, Vol. 63, pp.14-32. Hunt, Shelby D. and Scott J. Vitell (1993), “A General Theory of Marketing Ethics: A Retrospective and Revision,” Ethics in Marketing, N. Craig Smith and John A. Quelch, eds. Homewood, IL: Richard D. Irwin, 775–84. Kimmel, Allan J. and N. Craig Smith (2001), “Deception in Marketing Research: Ethical, Methodological, and Disciplinary Implications,” Psychology & Marketing, Vol. 18, No.7, pp. 663–89. Kaikati, M.A dan Kaikati, G.J (2004), “Stealth Marketing: How To Reach Consumers Surreptitiously,” California Management Review, Vol.46, No.4. Kuswati, R (2007), ”Pengaruh Orientasi Waktu Pada Perilaku Menghindari Iklan Televisi”, Tidak dipublikasikan. Laczniak, G.R, dan Murphy, P.E (1993), Ethical Marketing Decisions: The Higher Road. Needham Heights, MA: AUyn and Bacon. Marsden, P (2006), “Introduction and Summary,” in Connected Marketing: The Viral, Buzz, and Word of Mouth Revolution, Justin Kirby and Paul Marsden, eds. Oxford: Elsevier, xv– xxxv. Martin, D.K dan Smith C.N (2008), “Commercializing Social Interaction: The Ethics of Stealth Marketing,” American Marketing Association, vol. 27, pp. 45-56. Obermiller, C dan Spangenberg, E.R (2000), “On the Origin and Distinctness of Skepticism t oward Advertising,” Marketing Letters, Nov 2000, Vol.11, No.4, pp.311- 322. Shenk, D (1998), Data Smog: Surviving the Information Glut. New York: HarperCollins. Sprott, D.E (2008), “The Policy, Consumer, and Ethical Dimension of Covert Marketing: An Introduction to the Special Section,” American Marketing Association, Vol. 27, No.1, pp.4-6. http://www.womma.org/ethics/code/read. http://www.Gatra.com www.jakartaconsulting.com 21