Makalah Baru April.docx

  • Uploaded by: Rafael Bambang
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Baru April.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,923
  • Pages: 10
HUKUM DAGANG “URUSAN PERUSAHAAN” TUGAS INDIVIDU Oleh:

NAMA

: SISKA YESIANA

NIM

: A1012161169

KELAS

: E (APK)

DOSEN

: H. Alhadiansyah, S.H, M.H

FAKULTAS : ILMU HUKUM Judul Buku : Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Pengarang

: H.M.N. Purwosutjipto, S.H

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2018

A. Konsep Merek Dan Indikasi Geografis Merek memberikan fungsi untuk membedakan suatu produk dengan produk lain dengan memberikan tanda, seperti yang didefinisikan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Dalam masa sekarang merek adalah suatu bentuk perlindungan hak kekayaan intelektual yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-harinya. Merek bukannya hanya digunakan sebagai suatu identitas barang maupun jasa, tetapi merek juga berperan penting sebagai pemasaran suatu produk/jasa. Melalui merek ini dapat dibangun loyalitas konsumen untuk menjaga eksistensi dari produk/jasa tersebut. Merek dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda pengenal atau daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas produk atau jasa dalam suasana persaingan bisnis. Hak Merek adalah bentuk perlindungan HKI yang memberikan hak eksklusif bagi pemilik merek terdaftar untuk menggunakan merek tersebut dalam perdagangan barang dan/atau jasa, sesuai dengan kelas dan jenis barang/jasa untuk mana merek tersebut terdaftar. Satu hal yang perlu dipahami adalah, pendaftaran Merek untuk memperoleh Hak Merek bukan berarti ijin untuk menggunakan merek itu sendiri. Siapapun berhak memakai merek apapun - didaftar ataupun tidak - sepanjang tidak sama dengan merek terdaftar milik orang lain di kelas dan jenis barang/jasa yang sama. Hanya saja, dengan merek terdaftar, si pemilik merek punya hak melarang siapapun untuk menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar miliknya tadi, tentunya untuk kelas dan jenis barang/jasa yang sama. Fungsi merek dapat dilihat dari sudut produsen, pedagang dan konsumen. Dari segi produsen merek digunakan untuk jaminan nilai hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas, kemudian pemakaiannya, dari pihak pedagang, merek digunakan untuk promosi barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasaran, dari pihak konsumen, merek digunakan untuk mengadakan pilihan barang yang akan dibeli.Sedangkan, Menurut Imam Sjahputra, fungsi merek adalah sebagai berikut: a. Sebagai tanda pembeda (pengenal); b. Melindungi masyarakat konsumen ; c. Menjaga dan mengamankan kepentingan produsen; d. Memberi gengsi karena reputasi; e. Jaminan kualitas. Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk factor alam, faktor manusia, atau

kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 di Indonesia terdapat pasal yang menyebutkan mengenai Indikasi Geografis dan di dalam TRIPs terdapat pasal yang menyebutkan bahwa negara anggota harus menyediakan perlindungan khusus untuk Indikasi Geografis. Indikasi Geografis pada dasarnya memiliki kesamaan dengan merek. Perbedaannya, pada Indikasi Geografis, tanda menunjukkan daerah asal suatu barang, yang didasarkan pada faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut (Pasal 56 Undang-Undang Merek). Jadi sebenarnya Indikasi Geografis ini akan banyak dapat diterapkan pada produk-produk yang dihasilkan karena keanekaragaman plasma nutfah yang dimiliki Indonesia, Plasma nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional. dan ini satu-satunya rezim HKI yang memberikan perlindungan terhadap keunggulan komparatif negara berkembang. B. Mengharmonisasikan Trips Agreement Ke Dalam Sistem Hukum Merek Dan Indikasi Geografis Indonesia telah meratifikasi Persetujuan TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade on Counterfit Goods) yang merupakan bagian dari Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia pada tanggal 15 april 1994 (Undang-undang R.I No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization). seluruh negara anggota untuk mengharmonisasikan sistem hukum mereknya ke arah Persetujuan TRIPs akhirnya juga mewajibkan mereka tunduk pada Konvensi Paris. karena TRIPs itu sendiri mengadopsi subtansi dari konvensikonvensi HKI. Prinsip atau standar yang diatur TRIPs bagi perlindungan HKI mengacu pada prinsip utama WTO. Prinsip – prinsip yang melandasi pengaturan hubungan perdagangan bagi seluruh negara anggota WTO dikenal sebagai prinsip Most Favoured Nations Treatment (MFN),yaitu prinsip yang menekankan perlakuan yang sama bagi seluruh negara anggota WTO, serta prinsip National Treatment (NT) yaitu prinsip perlakuan nasional yang tidak boleh berbeda dengan negara anggota lainnya. UndangUndang No.15 Tahun 2001 merupakan produk hukum terbaru di bidang Merek sebagai respon untuk menyesuaikan perlindungan Merek di Indonesia dengan standar Internasional yang termuat dalam Pasal 15 Perjanjian TRIPs sebagai pengganti UndangUndang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Dalam Undang-Undang ini juga mengatur mengenai ketentuan perlindungan indikasi geografis di Indonesia. Sebagai

negara

anggota WTO,

Indonesia

mempunyai

kewajiban

untuk

memberlakukan yang diatur dalam TRIPs. TRIPs adalah salah satu perjanjian multilateral terpenting berkaitan dengan hak kekayaan intelektual, Agreement ini mulai berlaku 1 Januari 1995, Indonesia telah meratifikasinya dan berkewajiban melaksanakah dan berlaku sejak tahun 2000. Indonesia meratifikasi TRIPs melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994, dan sebagai konsekuensi keikutsertaannya, maka Indonesia berkewajiban mengharmoniskan sistem hukum HKI-nya sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan TRIPs. Adapun prinsip-prinsip yang dianut oleh TRIPs diantaranya: 1. Prinsip yang tercantum dalam TRIPs ke dalam sistem dan praktek hukum nasionalnya. Negara anggota dapat menerapkan sistem perlindungan yang lebih luas dari yang diwajibkan TRIPs sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam persetujuan ini, (Pasal 1 TRIPs). Ketentuan seperti ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa pengaturan mengenai HKI dalam persetujuan TRIPs hanyalah menyangkut masalah-masalah pokok secara global, sedangkan pengaturan secara spesifik diserahkan sepenuhnya kepada negara anggota. 2. Prinsip Intellectual Property Convention

Ketentuan yang mengharuskan negara anggotanya menyesuaikan peraturan perandang-undangannya dengan berbagai konvensi internasional di bidang HKI, khususnya Konvensi Paris, Konvensi Bern, Konvensi Roma, Integrated Circuits, (Pasal 2 ayat (2) TRIPs). 3. Prinsip National Treatment Ketentuan yang mengharuskan anggotanya memberikan perlindungan HKI yang sama antara warga negaranya sendiri dengan warga negara anggota lainnya, (Pasal 3 ayat (1) TRIPs). Prinsip perlakuan sama ini tidak hanya beriaku bagi warga negara perseorangan, tetapi juga untuk badan-badan hukum. 4. Prinsip Most-Favoured-Nation-Treatment

Ketentuan yang mengharuskan anggotanya memberikan perlindungan HKI yang sama terhadap seluruh anggotanya, (Pasal 4 TRIPs). Ketentuan ini bertujuan untuk menghindarkan terjadinya perlakuan diskriminasi suatu negara terhadap negara lainnya dalam memberikan perlindungan HKI. Setiap negara anggota diharuskan memberi perlakuan yang sama terhadap anggota lainnya.

5. Prinsip Exhaution Ketentuan yang mengharuskan angotanya, di dalam menyelesaikan sengketa, untuk tidak menggunakan satu ketentuan pun di dalam persetujuan TRIPs sebagai alasan tidak optimalnya pengaturan HKI di dalam negara mereka (Pasal 6 TRIPs). Ketentuan ini berkaitan erat dengan masalah sengketa yang mungkin timbul di antara para anggotanya, Menyangkut prosedur penyelesaian sengketa, maka hal ini diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang berada di bawah Multilateral Trade Organization (MTO). Organisasi yang pembentukannya disepakati dalam paket persetujuan GATT dengan tugas sebagai pengelola TRIPs. Peagawasan pelaksanaan TRIPs, lakukan oleh Dewan TRIPs (TRIPs Council) yang secara struktural merupakan bagian dari WTO. Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) TRIPs, Negara anggota WTO wajib melaksanakan ketentuan Indikasi Geografis (IG) terhadap peraturan nasionalnya. IG sendiri pengaturannya dalam Persetujuan TRIPs tidak mengatur lebih jauh ihwal norma tertentu yang harus diikuti Negara peserta. Standar minimum yang harus dilakukan setiap Negara peserta hanyalah melakukan cara-cara hukum dalam rangka perlindungannya, termasuk singgungannya dengan persaingan tidak sehat. Bentuk perlindungan seperti apa diserahkan pada kebijaksanaan masing-masing Negara. Aturan IG pun boleh dimasukkan di dalam ataupun di luar aturan Merek. Walaupun TRIPs sendiri mengakui bahwa baik IG maupun Merek merupakan rezim yang independen. Indonesia mengatur IG sebagai bagian dari sistem hukum merek sehingga pengaturan IG terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001, yakni pada Pasal 56 hingga Pasal 60, Pasal 92, dan Pasal 93 mengatur tentang ketentuan pidana pelanggaran IG dan indikasi asal. Pengaturan IG dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengakibatkan berbagai ketentuan dalam sistem merek berlaku juga bagi IG. Ketentuan pelaksana IG diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang IG (Perauran Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007) yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran IG. Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, IG adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas pada barang yang dihasilkan. Pengertian yang diberikan menurut undang-undang ini menunjukkan bahwa barang dengan IG akan dilekatkan tanda yang menunjukkan daerah asal barang tersebut. Wilayah

geografis asal barang yang dilekatkan tanda IG memberikan ciri dan kualitas bagi barang tersebut. Pengertian IG ini mengacu pada pengertian yang ditetapkan oleh TRIPs, walaupun tidak memasukan persyaratan reputasi pada barang dengan IG. C. Sistrem Perlindungan Merek Dan Indikasi Geografis Menurut Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mangatur jangka waktu perlindungan atas hak merek selama 10 tahun secara limitatif dengan waktu tertentu yang terhitung sejak tanggal penerimaan. Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu perlindungan termaksud dalam konsepsi pendaftaran hak atas kekayaan intelektual biasanya dicatat dalam Daftar Umum dan diumumkan dalam Berita Resmi dari kantor yang membidangi pendaftaran hak atas kekayaan intelektual termaksud. Pendaftaran

merek

bertujuan

untuk

memperoleh

kepastian

hukum

dan

perlindungan hukum terhadap hak atas merek. Pedaftaran merek dilakukan pada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual. Direktorat Jendral HKI adalah instansi pendaftaran merek yang ditugaskan untuk mendaftarkan merek yang dimohonkan pendaftarannya oleh pemilik merek. Pendaftaran merek dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah ditentukan oleh UU No. 15 Tahun 2001. Ada dua sistem yang dikenal dalam pendaftaran merek, yaitu sistem deklaratif (first to use) dan sistem konstitutif (first to file). Undang-undang merek Tahun 2001 menganut sistem pendaftaran konstitutif. Hal ini merupakan perubahan mendasar dalam Undang-undang merek di Indonesia yang semula menganut sistem deklaratif. Pada sistem kostitutif hak atas merek diperoleh melalui pendaftaran, artinya hak eksklusif atas suatu merek diberikan karena adanya pendaftaran, sehingga dapat dikatakan bahwa pendaftaran merek adalah hal yang mutlak, karena merek yang tidak di daftar, tidak akan mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum atas merek tidak hanya sekedar pembajakan yang menyerupai atau menyamai merek yang sudah terdaftar di pasaran saja melainkan juga perlindungan diberikan kepada pemilik merek terkait dengan pendaftaran merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya. Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan; a. Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut: a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;

c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal; “ Dari ketentuan Pasal tersebut jelas bahwasanya pendaftaran merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhanannya untuk barang dan atau jasa yang sejenis harus ditolak, hal ini untuk menghindari adanya pembajakan atau pemboncengan merek pihak lain yang sudah terdaftar. Adanya aturan mengenai Indikasi Geografis (IG) di Indonesia, sebagai salah satu bentuk norma perlindungan HKI. Serupa dengan perlindungan Merek di Indonesia, perlindungan IG juga mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran. Hanya saja pendaftaran dilakukan oleh kelompok masyarakat atau institusi yang mewakili atau memiliki kepentingan atas produk bersangkutan. Berbeda dengan perlindungan merek, IG tidak mengenal batas waktu perlindungan sepanjang karakteristik yang menjadi unggulannya masih tetap dapat dipertahankan. Untuk melindungi IG atas suatu produk agar tidak diambil oleh pihak lain, maka Pasal 56 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengatur bahwa IG harus didaftarkan. Adapun pihak yang dapat mengajukan pendaftaran ialah (a) Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan, yang terdiri atas (i) Pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam; (ii) Produsen barang hasil pertanian; (iii) Pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri; atau (iv) Pedagang yang menjual barang tersebut; (b) Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau (c) Kelompok konsumen barang tertentu. Berdasarkan hal tersebut, maka perlindungan IG di Indonesia ialah sistem konstitutif yang mensyaratkan adanya pendaftaran untuk mendapatkan perlindungan dari negara. Pasal ini menunjukkan bahwa IG tidak dapat dimiliki oleh satu orang, namun dimiliki secara kolektif oleh masyarakat penghasil barang IG. Hal tersebut membedakan IG dari tata cara kepemilikan HKI lainnya, seperti merek, paten, hak cipta, desain industri, dan rahasia dagang yang dimiliki secara individual. Masyarakat di daerah IG dapat menunjuk lembaga untuk mewakili mereka untuk mendaftarkan IG. Setiap orang yang menghasilkan suatu barang atau produk dengan IG yang berada di wilayah asal barang IG dapat mempergunakan tanda IG apabila barang yang dihasilkannya sesuai dengan persyaratan pendaftaran IG. Pengaturan penggunaan tanda IG diatur oleh masing-masing lembaga yang mewakili daerah tersebut. Langkah

selanjutnya

setelah

pendaftaran

indikasi

geografis

ialah

pengumuman.

Tujuan

pengumuman permohonan IG ialah agar pihak lain dapat memberikan keberatan atau sanggahan atas pendaftaran IG apabila ada. Apabila pendaftaran diterima, maka perlindungan IG diberikan selama ciri dan/atau kualitas indikasi geografis tersebut masih ada dan sesuai dengan persyaratan saat diajukan pendaftarannya. D. Poin Penting Undang-Undang No 20 Tahun 2016 Dalam rangka menunjang dan meningkatkan iklim usaha di Indonesia, Pemerintah dan DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang diberlakukan pada tanggal 25 November 2016. Di dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis tersebut terdapat poin-poin penting khususnya yang membedakan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, diantaranya adalah: 1. Perubahan judul, pada UU Merek menjadi UU Merek dan Indikasi Geografis; 2. Perluasan tipe merek, yang semula pada UU Merek yang lama hanya mengatur merek konvensional dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru dibedakan menjadi merek konvensional dan merek non tradisonal yang terdiri dari: merek tiga dimensi, merek suara, dan merek hologram; 3. Perubahan alur dalam proses pendaftaran merek, yang semula pada UU Merek lama yaitu permohonan → pemeriksaan formal → pemeriksaan subtantif → pengumuman → sertifikasi, maka pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru yaitu permohonan → pemeriksaan formal → publikasi/pengumuman → pemeriksaan subtantif → sertifikasi; 4. Jangka waktu proses pendaftaran merek sampai diberikan sertifikat, yang semula pada UU Merek lama selama 14 bulan 10 hari dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru selama 9 bulan; 5. Perpanjangan pendaftaran merek, yang semula pada UU Merek lama selama 12 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu pendaftaran merek dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru selama 6 bulan sebelum dan 6 bulan setelah berakhirnya jangka waktu pendaftaran merek; 6. Pendaftaran merek internasional, yang semula pada UU Merek lama tidak terdapat pengaturan tentang pendaftaran merek internasional dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru untuk pendaftaran merek internasional berdasarkan Madrid Protokol.

7. Pengaturan tentang Indikasi Geografis, yang semula pada UU Merek lama ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru diatur secara lebih rinci (Terdiri dari 4 Bab, Pasal 53 s/d Pasal 71); 8. Ketentuan Pidana, yang semula pada UU Merek lama tidak memuat ketentuan pemberatan sanksi pidana dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru memuat ketentuan pemberatan sanksi pidana (menggangu kesehatan dan mengancam keselamatan jiwa manusia). Sesuai pengertian merek yang diatur pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis pada dasarnya terdapat 3 (tiga) elemen merek yaitu: Tanda, Memiliki Daya Pembeda dan Digunakan untuk perdagangan barang dan/atau jasa. Daya pembeda (distinctiveness) dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Alasan absolut (absolut grounds) → Pasal 20 yaitu jenis merek yang tidak dapat didaftar; 2. Alasan relatif (relative grounds) → Pasal 21 yaitu jenis merek yang ditolak. Namun menurut penulis, adanya unsur itikad tidak baik (Pasal 21 ayat 3) seharusnya tidak diklasifikasikan dalam alasan relatif dan seharusnya diklasifikasikan dalam alasan absolut dalam Pasal 20. Dengan diberlakukan UU Merek dan Indikasi Geografis ini terdapat beberapa hal positif, yaitu diantaranya: 1. Biaya pendaftaran relatif murah karena tidak membatasi jumlah jenis barang/jasa dalam satu kelas (Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia); 2. Jangka waktu proses permohonan relatif lebih singkat; 3. Memperluas objek jenis barang dan/atau jasa yang akan didaftar karena dapat mendaftarkan merek-merek non konvensional. Selanjutnya, pengaturan untuk merek terkenal di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis pada dasarnya tidak mengatur secara rinci, namun pengaturan tentang merek terkenal dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 21 ayat 1 huruf b, yaitu: Penolakan permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek

tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu, diperhatikan pula reputasi merek tersebut yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek dimaksud di beberapa negara. Jika hal tersebut belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan. Terdapat konsep dari Amerika tahun 1920 yang dikenal dengan doktrin Dilution, yaitu merek bukan murni kreasi intelektual, namun perlindungan reputasi (well known mark

and

famous

mark).

Doktrin Dilution terdiri

dari blurring,

tarnishment,

dan cybersquatting (Prof. Dr. Rahmi Jened, S.H., M.H, Seminar Perlindungan Merek Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Universitas Surabaya, 23 Maret 2017). Doktrin dilution blurring (pengaburan) yaitu pemudaran atas kekuatan merek melalui identisifikasinya untuk produk yang tidak sejenis, meskipun kesamaan merek tersebut tidak menyebabkan kebingungan diantara konsumen kedua produk tersebut, namun masing-masing mengurangi kualitas pembeda dari merek yang bersangkutan. Contoh: Tiffany (merek perhiasan yang sudah terkenal) → Tiffany (rumah makan). Doktrin dilution tarnishment (pemudaran) merupakan akibat dari penggunaan untuk mengencarkan, menodai, menurunkan karakter atau kualitas pembeda dari merek terkenal, terutama penggunaan produk yang lebih rendah atau produk yang tidak pantas. Contoh: Starbucks Coffee (merek kedai kopi yang sudah terkenal) → Pecel Lele Lela. Doktrin dilution cybersquatting yaitu mendaftarkan nama domain yang mirip atau sama dengan sesuatu merek terkenal dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan melalui

lalu-lintas

pengunjung

yang

mengunjungi

alamat

bersangkutan. Contoh:

www.celinedion.com → seperti diketahui Celine Dion adalah merupakan penyanyi internasional yang sudah terkenal.

Related Documents

Baru
June 2020 44
Baru
May 2020 47
Baru
May 2020 48

More Documents from ""

Hukum Dagang.docx
April 2020 0
Tugas Pkn.docx
April 2020 0
Cik Atuh Bener Ah.docx
November 2019 38
Gu320a .pdf
October 2019 41