Makalah Baru Mustahalah Hadist.docx

  • Uploaded by: Rival Ahmad
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Baru Mustahalah Hadist.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,567
  • Pages: 7
1. Hadist Mutawatir dan Pembagiannya A. Pengertian hadist mutawatir Menurut bahasa mutawattir berarti mutatabi’ yang maksudnya adalah yang datang beriringan atau berturut-turut antar satu dengan yang lainnya dengan tidak ada perselangannya. Sedangkan menurut istilah: hadist mutawatir ialah hadist yang diriwayatkan oleh banyak orang, didasarkan oleh pancaindra, menurut adat kebiasaan, tidak mungkin mereka bersepakat(berkumpul) atas dusta(dalam pemberitaannya itu). Ta’rif ini kalau kita pecah-pecahkan akan terdapat tiga syarat bagi Mutawatir yaitu: 1. Hadist itu diperoleh dari Nabi atas dasar pancaindra yang yakin. Maksudnya adalah, bahwa perawi dalam memperoleh hadist Nabi ini haruslah benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Jadi bukanlah atas atas dasar pemikiran, perkiraan atau hasil istimbath dari suatu dalil dengan dalil yang lain. Demikian pula tidak termasuk hadist mutawatir apabila berita itu di peroleh dari aksioma logika ataupun dalil-dalil yang diciptakan para ahli filsafat, walaupun dalil itu diakui oleh kebenarannya oleh semua orang.. 2. Jumlah para pemberita atau perawinya banyak, mulai dari permulaan sanad-sanad sampai akhir sanad-sanad. Contohnya: di permulaan sanad yang mencatat dan mendengarkan ada 50 orang, maka dipertengahan sanad hingga di akhir sanad sahabt yang mendengarkan Nabi SAW pun sedikitnya harus 50 orang. 3. Bilangan perawinya, dilihat dari segi banyaknya, telah mencapai jumlah yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Dengan demikian, walaupun suatu berita telah memfaidahkan yakin, tetapi tidak diriwayatkan oleh orang banyak. B. Macam-macam hadist Mutawatir Terdapat tiga macam hadist mutawatir: 1. Mutawatir Laf-zhi Lafzhi artinya: secara lafazh. Jadi mutawatir Laf-zhi itu ialah hadist yang lafadz dan maknanya sama, serta kandungan hukumnya juga sama. Contohnya: Seperti sabda rasul: “Barangsiapa berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka.” Riwayat Ibnu Majah: “Barangsiapa mengada-adakan omongan atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka.”

Riwayat Hakim: “dan barangsiapa berkata atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka.” Dari tiga contoh diatas, kita tahu bahwa yang dinamakan mutawatir laf-zhi tidak mesti lafadznya semua betul-betul sama. Maknanya semua sama. Kelainan lafadz itu timbulnya boleh jadi karena Nabi mengucapkannya beberapa kali. Hadist tersebut juga diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadist, di antaranya: Bukhari, Muslim, Darimi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, Abu Hanifah dan Hakim. 2. Mutawatir Ma’nawi Ma’nawi artinya: secara makna. Hadist mutawatir ma’nawi ialah hadis mutawatir yang berasal dari berbagai hadist yang diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda tetapi apabila dikumpulkan mempunyai makna umum yang sama. Contohnya: a. Hadist tentang mengangkat tangan waktu berdoa di luar sholat. Ada sekitar 100 hadist yang bila dikumpulkan dapat disimpulkan, bahwa Nabi bila berdoa diluar sholat, beliau selalu mengangkat tangannya. Diantara hadist tersebut adalah sebagai berikut: 1. Yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim “Rasulullah saw tidak pernah mengangkat tangan dalam berdo’a sampai nampak keputihan kedua ketiaknya, kecuali pada saat melakukan do’a dalam sholat istisqa’.” 2. Yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Hakim “(pada saat berdo’a) Rasulullah mengangkat kedua tangannya, sejajar kedua pundaknya.” b. Hadist-hadist tentang syafa’ah rasulullah, tentang terbitnya air diantara jari-jari rasulullah dan sebagainya. Demikian menurut Ibnu Taimiyah.

3. Mutawatir Amaly Yakni, amalan agama(ibadah) yang dikerjakan oleh Rasulullah saw, kemudian diikuti oleh para sahabat, lalu diikuti oleh para tabi’in dan seterusnyadiikuti oleh generasi demi generasi sampai saat kita sekarang ini. Contohnya: Hadist-hadist Nabi tentang waktu sholat, tentang jumlah rakaat sholat wajib, adanya sholat Id, adanya sholat jenazah, dan lain sebagainya.

C. Kedudukan hadist mutawatir Kebanyakan ulama berpendapat bahwa keyakinan yang diperoleh dari hadist mutawatir, sama kedudukannya dengan keyakinan yang diperoleh dengan mata atau penyaksian sendir. Karenanya hadist mutawatir memfaidahkan ilmu dlarury(pengetahuan yang harus diterima) hingga membawa kepada keyakinan yang qathi’i(keyakinan yang kuat, yang tidak diragukan lagi). Oleh karena itu, petunjuk dari hadist mutawatir wajib di amalkan sebagaimana wajibnya mengamalkan petunjuk Al-Quran. Dengan demikian, maka hadist mutawatir dari segu wurud dan kandungannya, berkedudukan sama dengan Al-Quran. Oleh karenanya apabila kita mengingkari hadist mutawatir berarti sama dengan kita mengingkari Al-Quran. Karena hadist mutawatir berkedudukan sama dengan Al-Quran, maka petunjuk hadist mutawatir dapat digunakan sebagai dalil yang berkenaan dengan aqidah, disamping untuk dalil tentang masalah hukum dan sebagainya 2. Hadist A-Had dan pembagiannya A. Pengertian hadist A-Had Yang artinya: “Hadits yang tidak berkumpul padanya syarat-syarat mutawatir”. Jadi semua hadits yang jumlah perawi yang meriwayatkan tidak mencapai jumlah perawi hadits mutawatir disebut hadits A-had. Baik perawi itu seseorang, dua orang, tiga orang, empat orang, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian dengan jumlah tersebut. B. Pembagian hadist A-Had Hadits A-had ini dibagi menjadi dua, yakni: 1) Hadits masyhur 2) Hadits ghairu masyhur yang meliputi hadits ‘aziz dan hadits gharib/hadits fard. a. Pengertian dari Hadits Masyhur ini ialah: Yang artinya: “Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir”. Hadits Masyhur ini disebut dengan Hadits Mustafidl. Sebagaian Ulama juga memberikan pengertian yakni “dari awal sampai akhir sanad diriwayatkan oleh orang yang jumlahnya tidak kurang dari tiga orang perawinya”. Dan sebagaian Ulama lagi memberikan pengertian Hadits Mustafidl sebagai muradif/synonim dari Hadits Mutawatir. Hadits Masyhur tentu saja ada yang bernilai shahih, hasan dan ada pula yang bernilai dhaif, karena nilai dari suatu hadits tidak hanya didasarkan oleh jumlah perawi yang meriwayatkan, Hadits Masyhur dan bernilai shahih. Contohnya ialah Hadits:

Contoh yang bernilai dhaif ialah: Yang artinya: Dari Anas r.a. berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah (H.R. Ibnu Majah Ahmad, Albaihaqy dan selain dari kedua beliau tersebut, menganggap hadits itu dhaif). b. Pengertian Hadits ‘Aziz ini ialah: Menurut Bahasa, ‘Aziz adalah sama dengan asy syarif atau al qawiyyu = yang mulia atau yang kuat. Untuk menurut pengertiannya ialah: yang artinya: “Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang dari dua orang”. Menurut Ibnu Hibban, Hadits ‘Aziz definisi tersebut diatas tidak ada wujudnya sama sekali, oleh karena itu Ibnu Hajar memberikan pengertian Hadits ‘Aziz ialah: “Hadits ‘Aziz yaitu Hadits yang tidak diriwayatkan oleh orang yang jumlahnya kurang dari dua orang dari dua orang”. Hadits tersebut di atas juga diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui sand yang hampir sama yang ‘Abdul ‘Aziz memberitakan kepada ‘Abdul Warits. c. Pengertian Hadits Gharib ini ialah: Menurut Bahasa gharib berarti: yang jauh dari tanah air atau yang sukar difahami. Sedangkan menurut Ibnu Hajar memberikan pengertiannya dalam kitab Nukhbatul Fikr sebagai berikut: Yang artinya: “Hadits yang sendirian saja seorang perawi dalam meriwayatkan dan kesendiriannya itu terletak dimana saja dalam sanad”. Hadits Gharib ini dapat disebut dengan Hadits fard, kebanyakan ulama hadits ini mengatakan bahwa “Gharib dan Fard adalah keduanya Murafid baik dari segi bahasa maupun dari segi istilah”. Dan Hadits Gharib/Fard ini dibagi menjadi dua macam yaitu: 1) Gharib mutlaq/fard mutlaq 2) Gharib nisbi/fard nisbi. Untuk mengetahui Gharib tidaknya suatu Hadits, maka ahli hadits itu hanya mengumpulkan berbagai macam sanad kemudian menelitinya karena mungkin hadits yang tampaknya gharib, ternyata mempunyai TABI’ (atau MUTABI’) atau kadang-kadang mempunyai syahid, pengumpulannya berbagai macam sanad dan mengadakan penelitian terhadap hadits-hadits yang tampaknya gharib ini disebut I’TIBAR. Yang dimaksud dengan TABI’ (MUTABI’) ialah perawi yang menyetujui riwayat itu, yakni perawi lain yang sama-sama meriwayatkan hadits itu, sedangkan syahid ialah hadits lain yang diriwayatkan oleh sahabat lain tetapi hadits-hadits itu mempunyai makna yang sama. Hadits-hadits ini adalah dalam masalah menentukan awal dan akhir bulan ramadhan.

Hadits pertama (1) matannya berbunyi : “ bulan itu adalah 29 hari. Karena itu janganlah kamu berpuasa sebelum melihat bulan (hilal) dan janganlah kamu berbuka sebelum kamu melihatnya, jika keadaan mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan 30 hari”. Hadits tersebut pada mulanya disangka bahwa hanya Imam Syafi’i saja yang meriwayatkannya dari Imam Malik, tetapi ternyata teman-teman Malik/Ash-Habul Malik juga meriwayatkannya dengan lafadh Hadits kedua (II) berbunyi: “Maka jika keadaan mendung maka kira-kirakanlah baginya”. Dan ternyata pula bahwa hadits tersebut juga mempunyai tabi’ yang diriwayatkan dengan sanad-sanad yang lain dengan kalimat. Hadits ke tiga (III) yang berbunyi: “Maka menyempurnakanlah olehmu tiga puluh hari”. Dalam shahih Muslim dengan kalimat sebagai berikut. Hadits keempat (IV) yang berbunyi: “Maka taqdirkanlah (kira-kirakanlah) olehmu tiga puluh (hari)”. Hadits dari sahabat Abu Hurairah inilah yang merupakan syahid dari hadits-hadits dari Abdullah bin Umar. Sedangkan sanad dari hadits Abdullah yang sama-sama meriwayatkan hadits tersebut.

C. Keduduka hadist A-Had Hadist Ahad yang maqbul(antara lain yang berkualitas shahih, apabila berhubungan dengan masalah huku, maka menurut jumhur ulama, wajib diamalkan. Untuk masalah yang berkaitan dengan soal aqidah, maka ulama berselisih pendapat. Diantara mereka ada yang menyatakan, bahwa hadist ahad dapat saja digunakan sebagai dalil untuk menetapkan masalah aqidah. Alasannya, karena hadist ahad yang shahih, memfaidahkan ilmu . dan yang memfaidahkan ilmu wajib di amalkan. Dan karna wajib diamalkan, maka antara yang soal aqidah dengan soal yang bukan aqidah, tidaklah dapat di bedakan. Adapun pendapat yang kedua, untuk hadist ahad, walaupun memenuhi syarat, tetap tidak dapat dijadikan landasan(dalil) pokok terhadap penetapan aqidah. Alasannya, hadist ahad berstatus memfaidahkan dhanny. Sedangkan soal aqidah adalah soal keyakinan. Maka, yang tak dapat didasarkan dengan petunjuk yang masih dhanny atau dugaan.

3. Kesimpulan Untuk hadist mutawatir sudah pasti shahih, sehingga tidak dibahas lagi dalam ilmu sanad atau musthalah hadist, karena ilmu hadist membahas siapakah perawi hadist itu,, seorang muslim, dlabith ataukah tidak, bersambung-sambung sanadnya atau tidak dan seterusnya. Hanya yang perlu dibahas didalam hadist mutawatir adalah apakah jumlah perawi yang meriwayatkan itu sudah cukup banyak atau belum, mungkinkah yang sama memberitakan itu berdusta atau tidak, baik berdusta dengan jalan mufakat atau kebetulan saja. Sedangkan hadist a-had memberikan faedah dhanni(dugaan keras akan kebenarannya) wajib diamalkan jika sudah diakui akan keshahihannya.

4. Sumber Referensi a. Ismail, M. syahudi. 1994. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Angkasa. b. Anwar, Moh. Ilmu Musthalah Hadits. Surabaya: Al-ikhlas c. Hasan, A. Qadir. 2007. Ilmu Musthalah Hadits. Bandung: Diponegoro.

Related Documents

Baru
June 2020 44
Baru
May 2020 47
Baru
May 2020 48

More Documents from ""