Makalah Agama.docx

  • Uploaded by: PENYO' BOY
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Agama.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,553
  • Pages: 16
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Agama Hindu Agama Hindu (Sanskerta: Sanātana Dharma सनातन धर्म "Kebenaran Abadi"), atau dalam istilah lain Vaidika-Dharma ("Pengetahuan Kebenaran") adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa.

Agama Hindu merupakan percampuran antara kepercayaan dan agama yang dibawa bangsa Arya dengan kepercayaan bangsa Dravida atau bangsa asli India. Sehingga masuknya agama Hindu ke India kira-kira pada tahun 1500 SM melalui bangsa Arya yang masuk ke India pada tahun tersebut. Perlu diketahui, bangsa Dravida memiliki tingkat kebudayaan yang tinggi sebelum kedatangan bangsa Arya. Ini dibuktikan dengan adanya bukti sejarah di lembah sungai Indus yang cukup maju pada tahun 2500 SM.

Dinamakan adat-istiadat,

budi

agama

Hindu,

pekerti,

dan

karena gambaran

di

dalamnya

kehidupan

mengandung

orang-orang

Hindu.

Agama ini juga dinamakan Agama Brahma yang wujudnya sejak permulaan abad

ke-8

pengaruh seperti

SM, yang

suatu

tersembunyi

membaca

korban-korban.

yaitu

doa-doa,

Selain

kekuasaan yang

menyanyikan

agama

Brahma,

yang

besar

memerlukan lagu Hindu

yang

amalan-amalan

pemujaan, juga

memiliki

dan

memiliki

daya ibadat,

memberikan nama

lain,

seperti agama Weda, agama Dharma, agama Upanishad, atau agama Sri Khrisna.

Agama Hindu adalah suatu agama yang berevolusi sekaligus merupakan kumpulan

adat-istiadat

dan

kedudukan

yang

timbul

dari

hasil

penyusunan

bangsa Arya terhadap kehidupan mereka yang terjadi dari generasi ke generasi. Setelah

datang

ke

(bangsa

Dravida),

India,

mereka

kemudian

dapat

membentuk

menundukkan

suatu

masyarakat

penduduk tersendiri

asli di

luar penduduk asli. Oleh karena bangsa Arya menang setelah mengalahkan bangsa

Dravida,

maka

kebudayaan

bangsa

Arya

lebih

unggul

dan

dominan terhadap kebudayaan bangsa Dravida.

B. Sejarah Perkembangan Agama Buddha Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya sang Buddha Siddharta Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama

tertua

yang

masih

dianut

di

unsur

dunia.

sementara

berkembang,

kebudayaan

unsur-unsur

kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia

Selama

masa

India,

ini,

agama

ditambah

Tengah

Asia

ini

dengan

Timur dan Asia

Tenggara. Dalam proses perkembangannya ini, agama ini praktis telah menyentuh hampir

seluruh

benua

Asia.

Sejarah

agama

Buddha

juga

ditandai

dengan

perkembangan banyak aliran dan mazhab, serta perpecahan-perpecahan. Yang utama

di

antaranya

adalah

aliran

tradisi Theravada , Mahayana,

dan Vajrayana (Bajrayana), yang sejarahnya ditandai dengan masa pasang dan surut.

C. Sejarah Perkembangan Agama Konghucu sejarah agama konghucu dimulai sejak raja yao,saat itu dikenal dengan nama ru jiao,agama bagi orang yang terpelajar. agama

konghucu

sendiri

diajarkan

oleh

meng zi

dimana

ajaran

ini

menegaskan bahwa manusia akan hidup bahagia apabila negara makmur dan sejahtera, untuk itu manusia harus melaksana kan perintah tuhan atau tian ming.

D. Keyakinan Agama Hindu Agama Hindu tidak memiliki seorang pendiri dan tidak berpedoman pada satu kitab suci. Meskipun demikian, ada keyakinan yang kerap dijumpai dalam berbagai tradisi

Hindu. Perihal

yang

umum dijumpai dalam berbagai

keyakinan

masyarakat

Hindu namun tidak untuk terbatas pada beberapa hal tersebut meliputi kepercayaan akan zat Yang Mahakuasa (dapat disebut sebagai Iswara, Awatara, Dewata, Batara, dan

lain-lain), darma (etika/kewajiban), samsara (siklus

kematian,

dan

kelahiran

akibat), moksa (kebebasan

kembali

yang

dari samsara),

kelahiran,

kehidupan,

berulang-ulang), karma (sebab dan

dan

berbagai yoga (jalan atau praktik

spiritual).

E. Keyakinan Agama Buddha Dalam agama Sanskerta:

Pali: saddhā, bahasa

Buddha, keyakinan (bahasa

śraddhā)

mengacu

kepada

komitmen

tulus

untuk

mempraktikkan

ajaran Buddha dan percaya dengan para makhluk tercerahkan atau mereka yang telah

maju

dalam

pelatihan

diri,

seperti

para Buddha atau bodhisatwa (mereka

yang beraspirasi untuk mencapai Buddha). Umat Buddha umumnya mengakui beberapa objek keyakinan, namun beberapa umat Buddha secara khusus membaktikan diri kepada tokoh tertentu, seperti Buddha tertentu. Keyakinan tak hanya bakti kepada seseorang, namun bakti muncul karena ada hubungan dengan konsep ajaran Buddha seperti efikasi karma dan kemungkinan pencerahan.

Keyakinan

dalam Buddhisme

awal berfokus

pada Tiga

Permata,

yang

meliputi Buddha; ajarannya (Dharma); dan terakhir, komunitas para pengikut yang maju dalam hal spiritual atau komunitas monastik yang mencari pencerahan (Saṅgha). Seorang umat yang taat disebut upāsaka atau upāsika, sebuah status yang tidak memerlukan inisiasi resmi. Buddhisme awal menjunjung tinggi pembuktian personal atas keyakinan spiritual merupakan yang tertinggi dalam memegang keyakinan seperti itu, dan menganggap kitab suci, alasan atau keyakinan kepada seorang guru bukanlah sumber otoritas utama. Seperti halnya keyakinan, ini merupakan

langkah

pertama

menuju kebijaksanaan dan pencerahan,

dan

keyakinan ini nanti juga akan usang atau mengalami perubahan penafsiran pada tahap akhir

perjalanan

persembahan

spiritual.

damai

Buddhisme

kepada dewa-dewi.

awal

secara

Sepanjang

moral sejarah

tidak agama

mengecam Buddha,

penghormatan

dewa-dewi,

seringkali

berasal

dari

keyakinan

pra-Buddhis

dan animis, disesuaikan atau diubah menjadi praktik dan kepercayaan Buddhis. Sebagai bagian dari proses itu, dewa-dewi tersebut dinyatakan sebagai bawahan dari Tiga Permata, yang masih terus memegang peran utama.

F. Keyakinan Agama Konghucu Dalam kitab suci umat Khonghucu terdapat istilah yang sering disebut Thian atau Tee, yang artinya Tuhan Yang Maha Besar atau Tuhan Yang Maha Menguasai Langit dan bumi. Di dalam kitab Ngo King, biasa diberi kata sifat sebagai berikut: 1.

Shiang Thian (Tuhan Yang Maha Tinggi)

2.

Hoo Thian (Tuhan Yang Maha Besar)

3.

Chong Thian (Tuhan Yang Suci)

4.

Bien Thian (Tuhan Yang Pengasih)

5.

Hong Thian (Tuhan Yang Kuasa, Maha Pencipta)

6.

Siang Tee (Tuhan Yang Menciptakan Alam Semesta). Konfusius

meyakini

bahwa

adil

alam

semesta,

terdapat

Dzat

yang

bernamaThian yang harus selalu dihormati dan dipuja, karena Dia-lah yang menjaga alam semesta. Oleh karena itu, manusia harus melakukan upacara-upacara sederhana dan dengan penuh khidmat agar mendapatkan berkah dari Sang Maha

Kuasa tersebut,

yaituThian. Dalam kaitan ini, umat manusia harus mencermati dan meneladani tingkah laku orang tua, karena menurut ajaran Khonghucu, orang tua merupakan wakil dari Thian. Konsep ketuhanan dalam agama Khonghucu menegaskan bahwa Tuhan tidak dapat diperkirakan dan ditetapkan, namun tiada satu wujud pun yang tanpa Dia. Dilihat tiada tampak, didengar tidak terdengar, namun bisa dirasakan oleh orang yang beriman.

G. Kitab Suci Agama Hindu Kitab suci agama Hindu ialah kitab Weda. Kitab suci ini mengandung kepercayaan-kepercayaan, adat-istiadat, dan hukum-hukum juga tidak memiliki pencipta yang pasti. Penganut agama Hindu mempercayai kitab Weda adalah suatu kitab yang ada sejak

dahulu yang tidak mempunyai tanggal permulaannya. Sebagaimana halnya agama Hindu yang tidak memiliki pendiri, kitab Weda tidak mempunyai pencipta. Kitab suci agama Hindu ini terdiri dari empat macam, yaitu: a. Rig Weda Kitab ini merupakan kitab yang termasyhur, terpenting, dan paling lengkap di antara keempat kitab-kitab Weda yang lain. Kitab ini disusun pada sekitar 3000 tahun Sebelum Masehi, yang mengandung 1.017 buah nyanyian agama. Kitab ini umumnya memuat puji-pujian bagi Dewa-dewa (hymne) yang oleh para pemeluknya dinyanyikan untuk dewa-dewa mereka, yakni Agni (dewa api), Varuna, dan Surya (dewa matahari). b. Sana Weda Sana Weda ini isinya hampir sama dengan Rig Weda, hanya saja ada sedikit tambahan. Kitab ini berisi bunga rampai penjelasan dari Rig Weda yang dilengkapi dengan nyanyian-nyanyian, yang diiringi dengan musik pengiring pada saat sedang menjalankan ritual upacara dan pembacaan doa. c. Yajur Weda Kitab ini mengandung ayat-ayat prosa dan mantra-mantra yang dibaca oleh para pendeta ketika akan menyerahkan persembahan dalam ritual upacara keagamaan yang lebih kecil. d. Atharva Weda Kitab ini juga disebut atharwan karena merupakan kitab suci khusus bagi para pendeta golongan atharwan (suatu bagian dari kasta Brahmana). Kitab ini mengandung beberapa uraian tentang sihir, kekuatan-kekuatan gaib, dan kepercayaan-kepercayaan semu yang menyatu dengan saduran purbakala. Kehidupan Hindu yang tertulis dalam kitab Atharva Weda ini penuh dengan dosa dan keadaan alam yang menakutkan dan dipenuhi setan-setan. Tuhan-tuhan tidak lagi berbuat baik dan tidak menolak kejahatan. Kitab ini juga menceritakan bagaimana manusia menuju kepada perkara-perkara yang salah, kekuatan-kekuatan gaib serta sihir dengan tujuan untuk melindungi diri.

Selain itu, di dalamnya juga terdapat hymne yang harus dipakai dalam persembahan Soma, penyembuhan penyakit, menyambung cinta kasih, keuntungan dagang, dan sampai maksud dan tujuan cita-cita. Sedangkan isi kitab Weda terdiri beberapa bagian, yaitu: a. Mantra/Samhita Sebagian besar isi Weda adalah mantra yang terdiri dari doa-doa dan nyanyian-nyanyian suci, yang dilakukan oleh para pendeta ketika menghi-dangkan sesajen bagi para Dewa. Di samping itu, juga terdapat semacam mantra yang digunakan untuk tenung, guna-guna, dan juga sebagai penghalau makhluk halus. Disebut juga samhita karena terdapat banyak kumpulan ayat-ayat puisi seperti gubahan yang terdapat dalam Rig Weda dan Sama Weda. Sementara gubahan di dalam Atharva Weda adalah berupa doa-doa yang diberikan oleh penduduk India purba kepada Tuhan mereka sebelum kedatangan bangsa Arya, sehingga mempunyai nilai sejarah yang tinggi. b. Brahmana Brahmana adalah petunjuk yang diberikan oleh golongan Brahmana kepada para penduduk negeri mereka dan di tengah-tengah keluarga mereka. Brahmana berisi uraian atau penjelasan mengenai upacara korban, agar supaya korban itu diterima oleh para Dewa, dan dosa-dosa orang yang berkorban dapat diampuni. c. Aranyaka Aranyaka adalah petunjuk-petunjuk dan panduan-panduan yang diberikan kepada orang-orang tua yang meninggalkan keluarganya untuk tinggal di gua-gua dan hutan-hutan. Aranyaka mengajarkan beberapa amalan yang mudah dilaksanakan sebagai pengganti korban-korban yang di luar penguasaan mereka. d. Upanisyad Upanisyad terdiri dari dua kata, “Upani” yang berarti dekat, dan “syad” artinya duduk, sehingga artinya ialah duduk dekat dengan seorang guru.

Upanisyad merupakan rahasia-rahasia dan penglihatan jiwa yang dilakukan oleh golongan tasawwuf, yang disusun sebagai petunjuk kepada golongan-golongan pendeta dan ahli ibadat yang konsisten kepada kehidupan batin dan meninggalkan segala bentuk kehidupan luar. Upanisyad ini adalah sebuah bentuk mazhab rohani yang memiliki kedudukan tertinggi dalam tingkatan agama. Di dalam Upanisyad ini, segala bentuk dan upaya menuju Brahma atau ketuhanan kurang mendapat perhatian. Mereka berlepas diri dari bayang-bayang Brahma menuju kepada kebebasan beragama. Doa-doa yang dilakukan lebih tenang dan upaya pengorbanan juga semkin jarang, perenungan ketuhanan menurun dan digantikan dengan ilmu pengetahuan. Maka dari itu, Upanisyad hanyalah berupa pandangan falsafah kehidupan saja. Isi Upanisyad antara lain mengenai ketuhanan jiwa manusia, penjelmaan jiwa yang berganti-ganti, dan sebagainya. H. Kitab Suci Agama Buddha Kitab suci yang dipergunakan dalam agama Buddha Theravada adalah kitab suci Tripitaka yang dikenal sebagai Kanon Pali (Pali Canon). Kitab suci Agama Buddha

yang

paling

tua,

yang

diketahui

hingga

sekarang,

tertulis

dalam

Bahasa Pali/Magadhi Kuno, yang terbagi dalam tiga kelompok besar (yang disebut sebagai "pitaka" atau "keranjang") yaitu: Vinaya Pitaka, Sutta Piṭaka, dan Abhidhamma Pitaka. Karena terdiri dari tiga kelompok tersebut, maka Kitab Suci Agama Buddha dinamakan Tipitaka (Pali).

I. Kitab Suci Agama Khonghucu Kitab suci agama Khonghucu dibagi menjadi dua kelompok: Wu Jing (五 經) (Kitab Suci yang Lima) yang terdiri atas: 1. Kitab Sanjak Suci 詩經 Shi Jing 2. Kitab Dokumen Sejarah 書經 Shu Jing 3. Kitab Wahyu Perubahan 易經 Yi Jing

4. Kitab Suci Kesusilaan 禮經 Li Jing 5. Kitab Chun-qiu 春秋經 Chunqiu Jing Si Shu (Kitab Yang Empat) yang terdiri atas: 1. Kitab Ajaran Besar - 大學 Da Xue 2. Kitab Tengah Sempurna - 中庸 Zhong Yong 3. Kitab Sabda Suci - 論語 Lun Yu 4. Kitab Mengzi - 孟子 Meng Zi Selain itu masih ada satu kitab lagi: Xiao Jing (Kitab Bhakti).

J. Peraturan – Peraturan Dalam Agama Hindu Sebagaimana diketahui, struktur kemasyarakatan dalam agama Hindu terbagi menjadi beberapa kasta, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya dan Syudra. Pembagian kasta tersebut didasari atas keunggulan bangsa Arya atas bangsa Dravida yang berpengaruh pada pembagian masyarakat berdasar tingkatan (strata) sosial. Sebagaimana diutarakan pada bab sebelumnya, kebudayaan bangsa Arya lebih unggul daripada bangsa Dravida yang mengakibatkan terpecahnya sistem sosial kemasyarakatan. Dari bangsa Arya ada yang menjadi golongan pendeta, tentara, raja-raja, saudagar atau orang-orang kaya. Sedangkan dari bangsa Dravida, pada umumnya membentuk golongan petani miskin dan pekerja kasar, kecuali mereka yang telah melakukan perkawinan dengan bangsa Arya. Masing-masing dari pembagian kasta tersebut akan dibahas lebih detail berikut: a. Kasta Brahmana Kasta Brahmana terdiri dari golongan pendeta dan pendidik. Golongan ini berkewajiban mempelajari kitab-kitab Weda dan mengajarkannya kepada kaumnya, dan bertanggung jawab memelihara undang-undang dan agama. Mereka juga memegang hak mutlak dalam menerima pemberian korban yang dilakukan oleh kaumnya. Banyak keistimewaan yang dimiliki oleh para Brahmana, sehingga tergolong sebagai kasta yang disucikan dan dihormati. Semua yang ada di alam ini adalah milik Brahmana. Ketika seorang Brahmana berkehendak, maka ia berhak

memiliki harta benda kaum Sudra yang sudah menjadi hamba kepadanya. Dan Raja tidak berhak menghukum Brahmana atas perbuatannya. Raja juga tidak boleh memungut pajak Para Brahmana yang sedang mempelajari kitab suci, meskipun Raja benar-benar berhasrat untuk memungutnya. Begitu pula ketika Brahmana sedang lapar, maka Raja jangan hanya berdiam diri. Raja dilarang membunuh Brahmana sekalipun ia melakukan kesalahan besar, namun ia boleh diusir dari kerajaan tetapi harta bendanya tidak boleh diusik. Begitu halnya dalam bermusyawarah, Raja jangan sekali-kali memberi keputusan sebelum mendengar pendapat dari kaum Brahmana. b. Kasta Ksatria Kasta ksatria terdiri atas golongan raja dan tentara/panglima. Orang-orang yang telah memperkaya akal pikirannya dengan kitab-kitab Weda sangat patut dan layak dijadikan sebagai pemimpin, raja, tentara, panglima, dan hakim bagi manusia. Golongan ini sangat dihormati dan jangan sekali-kali direndahkan. Terutama dari kalangan Raja, mereka sangat diagungkan karena sifat ketuhanan meresap dari dirinya berupa manusia. Sedangkan dari kalangan panglima dan prajurit, mereka tidak boleh terlepas dari tugas-tugas ketentaraan. Raja harus selalu menyediakan perlengkapan perang bagi mereka, dan harus selalu siap berperang bila sewaktu-waktu ada serangan dari musuh. c. Kasta Waisya Kasta waisya terdiri dari golongan pedagang, saudagar, dan petani. Mereka harus mengetahui undang-undang perniagaan dan peraturan memungut bunga (riba). Seorang waisya harus mengetahui semua yang berkaitan dengan aktivitas perdagangan dan pertanian, seperti cara-cara mengelola lahan dan menabur benih, dan juga memiliki pengetahuan bagaimana cara menimbang dan mengukur dalam aktivitas jual beli.

Mereka diharuskan kawin dengan perempuan dari golongannya juga, memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam pekerjaannya, dan senantiasa memelihara binatang-binatang ternak. d. Kasta Sudra Kasta sudra adalah kastanya golongan para kuli dan hamba sahaya. Golongan ini harus mematuhi perintah dari golongan Brahmana yang menjadi pemuka agama yang arif dalam mengajarkan kitab Weda kepadanya. Dengan kepatuhan ini diharapkan ia diberi kebahagiaan setelah mati dengan suatu penghidupan baru yang lebih tinggi. Mereka harus taat kepada para Brahmana dan jangan sampai menyinggung perasaannya. Mereka para sudra tidak layak mengumpulkan harta berlebihan sekalipun mereka mampu melakukannya. Bahkan apabila golongan sudra berani menyamakan dirinya dengan derajat kaum Brahmana, maka mereka akan dihukum, seperti dipotong tangannya apabila mengangkat tangan melebihi tangan para Brahmana, potong kaki jika menendang dengan kakinya, mulutnya akan dimasukkan pisau panas apabila tidak memperlihatkan rasa hormat kepada para Brahmana, dan mulut atau telinganya dituang minyak panas apabila mengabaikan perintah atau pesan yang diberikan para Brahmana kepadanya. Selain keempat kasta di atas, ada lagi golongan yang tingkatannya lebih rendah dari kasta sudra. Golongan tersebut dinamakan Paria, yang dalam bahasa Tamil berarti tukang tambur atau golongan paling bawah dalam agama Hindu. Golongan ini dinisbatkan kepada bangsa Dravida yang tidak memiliki pekerjaan tetap (gelandangan) yang umumnya terdesak ke daerah selatan India. Mereka bukan lagi termasuk kasta sudra, akan tetapi disebut bangsa Paria, sehingga dianggap sebagai bangsa yang tak berkasta. Oleh karena tidak memiliki kasta, maka mereka dijauhkan dari pergaulan hidup sehari-hari.

K. Peraturan – Peraturan Agama Buddha Sang Buddha mengajarkan berbagai macam ajaran yang keseluruhannya dapat digolongkan menjadi tiga inti ajaran, yaitu Sila, Samadhi dan Panna. Inti dari Sila adalah tidak melakukan kejahatan dan selalu berbaut kebajikan. Inti dari Samadhi adalah mensucikan pikiran dengan melaksanakan samadhi. Tujuan akhir dari ajaran Sang Buddha tersebut adalah untuk membawa para pelaksananya pada pembebasan (Panna). Sila, sebagai landasan moral bagi pelaksanaan Dhamma selanjutnya merupakan ‘hukum’ yang jika ditaati akan membawa kebaikan dan jika tidak ditaati akan menyebabkan manusia tidak dapat maju kualitas batinnya. Namun para pengikut Sang Buddha terdiri dari dua macam yaitu para Gharavasa (umat perumah tangga) dan Pabbajita (para pertapa). Oleh karena itu Sang Buddha menetapkan peraturan yang berbeda bagi keduanya. Peraturan moral bagi para perumah tangga dikenal sebagai Sila sedangkan peraturan bagi para bhikkhu dikenal sebagai Vinaya, meski sebenarnya keduanya adalah Vinaya.

Sila (Agariya Vinaya) Sila berasal dari bahasa Sansekerta dan bahasa Pali. Sila yang digunakan dalam kebudayaan Buddhis mempunyai banyak arti. Pertama, berarti norma (kaidah), peraturan hidup, perintah. Kedua, kata itu menyatakan pula keadaan batin terhadap peraturan hidup, hingga dapat berarti juga ‘sikap, keadaban, perilaku, sopan-santun’ dan sebagainya. (Teja S.M Rashid, 1996: 3). Ciri dari sila adalah ketertiban dan ketenangan. Dalam agama Buddha, sila merupakan dasar utama dalam pelaksanaan ajaran agama, mencakup semua perilaku dan sifat-sifat baik yang termasuk dalam ajaran moral dan etika agama Buddha. Penyebab terdekat sila adalah Hiri dan Otappa. Sila sebagai latihan moral bagi umat awam (Gharavasa) terdiri dari berbagai macam jenis. Berdasarkan aspeknya, sila terbagi menjadi dua jenis, yaitu: 1. Varita-sila (aspek negatif), yaitu sila yang dilakukan dengan cara ‘menghindari’, terdiri dari: Pancasila Buddhis, Atthasila, Dasasila. 2. Carita-sila (aspek poritif), yaitu sila yang dilakukan dengan cara ‘melakukan”, terdapat dalam Sutta-sutta misalnya: Vyagghapajja Sutta, Maha Manggala Sutta, Sigalovada Sutta, Parabhava Sutta.

Vinaya (Anagariya Vinaya) Vinaya memiliki arti ‘mengusir, melenyapkan, memusnahkan segala perilaku yang menghalangi kemajuan dalam peningkatan rohani’ atau sesuatu yang membimbing keluar dari samsara (Teja S.M Rashid, 1996: 24). Tujuan dari vinaya adalah untuk menjauhkan dari hal-hal yang merugikan. Sang Buddha menetapkan vinaya bagi para bhikkhu dan bhikkhuni, samanera-samaneri adalah untuk: 1.

Kebaikan Sangha

2.

Kesejahteraan Sangha

3. Mengendalikan para bhikkhu yang tidak teguh. 4. Kesejahteraan bhikkhu yang berkelakuan baik. 5. Melindungi dari atau melenyapkan kilesa. 6. Mencegah timbulnya kilesa baru. 7. Memuaskan mereka yang belum puas. 8. Menambah keyakinan mereka yang telah mendengar Dharma. 9. Menegakkan Dharma yang benar. 10. Manfaat vinaya itu sendiri. Seorang siswa Sang Buddha yang telah bertekad (diupasampada) menjadi bhikkhu harus menjalankan 227 peraturan latihan yang disebut Patimokkha-sila. Patimokkha-sila terdiri dari: 1. Parajika 4 2. Sanghadisesa 13 3. Aniyata 2 4. Nissagiya Pacittiya 30 5. Pacittiya 92 6. Patidesaniya 4 7. Sekhiyadhamma 75 8. Adhikarana 7 Patimokkha-sila untuk para bhikkhuni terdiri dari 311 peraturan, yaitu: 1. Parajika 8 2. Sanghadisesa 17

3. Nissahiya Pacittiya 30 4. Pacittiya 116 5. Patidesaniya 8 6. Sekhiyadhamma 75 7. Adhikaranasamatha 7

Pelanggaran-pelanggaran hukum/peraturan Peraturan yang dibuat oleh Sang Buddha disebut ‘pannati’. Pelanggaran terhadap peraturan (pannati) yang menjadikan seseorang mendapat hukuman disebut sebagai ‘apatti’. Apatti terjadi melalui ucapan dan perbuatan badan jasmani. Apatti dapat terjadi memalui enam cara yaitu: dengan jasmani, ucapan, jasmani dan pikiran, ucapan dan pikiran, ucapan dan jasmani, ucapan, jasmani dan pikiran. Enam kondisi yang dapat menyebabkan apatti yaitu: alajjhita (tanpa malu), ananata (tanpa diketahui), kukucca-pakataka (ragu-ragu), merasa boleh padahal tidak boleh, dengan pikiran boleh padahal terlarang dan dilakukan dalam keadaan bingung. Pelanggaran terhadap peraturan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh umat awam (Gharavasa) dan pelanggaran oleh para bhikkhu/bhikkhuni (Pabbajita). Pelanggaran yang dilakukan oleh keduanya berbeda dalam pemberian sanksi dan penyelesaiannya. Pelanggaran yang dilakukan oleh seorang umat perumah tangga berupa pelanggaran terhadap Sila-sila yang jumlahnya lebih sedikit dibanding sila bagi para Pabbajita. Sedangkan pelanggaran (apatti) oleh Pabbajita adalah pelanggaran terhadap Patimokkhasila atau Vinaya.

Penyelesaian pelanggaran Setiap pelanggaran, baik dilakukan oleh Gharavasa maupun Pabbajita pasti ada cara penyelesaiannya. Penyelesaian pelanggaran sila bagi kaum Gharavasa adalah berupa sanksi moral dari masyarakat tempat tinggal, misalnya: diusir dari daerah tersebut, dikucilkan dan lain-lain. Bila pelanggaran itu termasuk kategori berat (misalnya membunuh atau mencuri) maka pelaku dapat dikenakan sanksi oleh pemerintah dimana ia tinggal. Namun

pelanggaran apapun yang dilakukan oleh seorang Gharavasa tidak akan menyebabkan ia dikeluarkan dari statusnya sebagai Gharavasa. Pelanggaran yang dilakukan oleh Pabbajita akan diselesaikan sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan. Ditinjau dari berat ringan dan akibat pelanggaran, maka apatti dalam vinaya terdapat dalam tiga tingkat, yaitu: 1. Kesalahan berat (Garukapatti) Garukapatti yaitu pelanggaran yang menyebabkan seseorang dikeluarkan dari kebhikkhuannya dan seumur hidup tidak dapat menjadi bhikkhu lagi. Hal ini terjadi pada pelanggaran terhadap Parajika 4. 2. Kesalahan menengah (Majjhimapatti) Majjhimapatti dapat diperbaiki dalam sidang sangha yang minimal terdiri dari dua puluh orang. Kesalahan dapat juga diperbaiki dengan cara melakukan Manatta (duduk berdiam diri dan melakukan doa pertobatan selama enam malam penuh). Hal ini terjadi bila bhikkhu/bhikkhuni melakukan Sanghadisesa. 3. Kesalahan ringan (Lahukapatti) Lahukapatti dapat diselesaikan dengan cara mengakui kesalahan di hadapan bhikkhu lain.

Kadangkala dalam Sangha juga terjadi perselisihan. Perselisihan dalam Sangha disebut Adhikarana. Dalam vinaya dikelompokkan menjadi empat Adhikarana, yaitu: 1. Vivadhadikarana, yaitu perselisihan mengenai mana yang Dhamma dan mana yang bukan Dhamma, mana yang Vinaya dan mana yang bukan Vinaya. 2. Anuvadadhikarana, yaitu perselisihan yang timbul karena tuduhan terhadap seorang bhikkhu melakukan apatti, penyimpangan dalam pengamalan, pandangan benar dan penghidupan benar. 3. Apattadhikarana, yaitu perselisihan yang timbul karena tuduhan terhadap seorang bhikkhu telah melanggar vinaya. 4. Kiccadhikarana, yaitu perselisihan sehubungan dengan keputusan atau peraturan yang dikeluarkan oleh Sangha.

Sang Buddha memberikan tujuh peraturan untuk menyelesaikan empat Adhikarana tersebut yang disebut sebagai Adhikarana-samatha. Adhikaranasamatha adalah sidang sangha yang harus dihadiri minimal dua puluh orang bhikkhu untuk mengadili dan memutuskan kesalahan (pelanggaran) yang telah dilakukan oleh seorang bhikkhu. Cara yang dilakukan adalah dengan pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha. Bunyi butir aturan itu adalah sebagai berikut: 1. Sammukhavinaya yaitu penyelesaian dilakukan dihadapan Sangha, di hadapan seseorang, di hadapan benda yang bersangkutan dan di hadapan Dhamma. Cara ini dapat untuk menyelesaikan semua Adhikarana. 2. Sativinaya yaitu pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha, bahwa seorang bhikkhu yang telah mencapai tingkat arahat adalah orang yang penuh kesadaran sehingga tidak seorangpun layak menuduhnya melakukan Apatti. 3. Amulhavinaya yaitu pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha, bahwa seorang bhikkhu yang sudah sembuh dari penyakit jiwanya tidak sepatutnya dituduh melakukan Apatti yang mungkin dilakukannya pada waktu dia masih terganggu jiwanya. 4. Patinnatakavinaya yaitu penyelesaian suatu Apatti sesuai dengan pengakuan yang diberikan oleh tertuduh yang mengakuinya secara jujur tentang apa yang telah dilakukannya. 5. Yebhuyyatakarana yaitu keputusan dibuat berdasarkan suara terbanyak. 6. Tassa-papiyasida yaitu pemberian hukuman kepada bhikkhu yang telah melakukan kesalahan. 7. Tina-vattharaka yaitu pelaksanaan perdamaian antara kedua belah pihak yang berselisih tanpa terlebih dahulu melakukan penyelidikan tentang sebab musabab terjadinya perselisihan. Sativinaya, Amulhavinaya dan Tassa-papiyasika dapat digunakan untuk menyelesaikan Anuvadadhikarana.

Sedangkan

Patinnakarana

dan

Tinavattharaka

menyelesikan Apattadikarana. Yebhuyyasika dipergunakan untuk Vivaddadhikarana.

hanya

dapat

menyelesaikan

Related Documents

Makalah
June 2020 40
Makalah
July 2020 39
Makalah
October 2019 94
Makalah
July 2020 62
Makalah
November 2019 85
Makalah
October 2019 95

More Documents from ""