Makalah Agama Islam KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM
Disusun Oleh :
1. Nanda Nurazizah Aini L1C017003 2. Dinar Fadita Ramasari L1C017008 3. Azalea Salsabilla Indari L1C017041 4. Rifki Ramdhanu L1C017045
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PURWOKERTO 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmatNya kami tim penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Agama Islam yang sederhana ini.Makalah ini membahas tentang “Konsep Ketuhanan Dalam Islam”. Kami pula sangat berterimakasih kepada dosen pengampu bapak Rifki Ahda Sumantri, S.PD.I, M.PD.I yang telah membimbing kami dalam proses pembelajaran. Makalah ini juga akan membahas poin-poin penting yaitu Filsafat ketuhanan dalam islam , keimanan dan ketaqwaan serta implementasi iman dan taqwa dalam kehidupan modern. Harapan kami melalui makalah ini dapat menggugah rasa ingin tahu bagaimana kita mencintai tuhannya. Kami selaku tim penyusun yang masih terus belajar tentang bagaimana menjadi seorang muslim yang baik, dan belajar untuk mencintai Tuhannya. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan baik secara teknik penulisan maupun pembahasan materi itu sendiri. Semoga melalui makalah yang singkat ini dapat menambah wawasan paca pembaca tentang konsep ketuhanan dalam islam.
Purwokerto, 07 Maret 2019
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. 2 DAFTAR ISI ............................................................................................................. 3 BAB I .PENDAHULUAN ........................................................................................ 4 1.1. Latar Belakang……........................................................................................... 4 1.2. Rumusan Masalah............................................................................................ 5 1.3. Tujuan................................................................................................................ 5 BAB II PEMBAHASAN............................................................................................ 6 2.1. Filsafah Ketuhanan Dalam Islam.....................................................................6 2.2. Keimanan Dan Ketaqwaan...............................................................................8 2.3. Implementasi Iman dan Taqwa dalam Kehidupan Modern…………………..8 BAB III PENUTUP.................................................................................................12 3.1. Kesimpulan .................................................................................................... 12 3.2. Saran ............................................................................................................... 12 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 13
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Pengetahuan tentang Tuhan dan kesetiaan terhadap aturan-aturan-Nya merupakan dasar bagi tiap agama, baik agama langit atau pun bumi. Namun kesadaran manusia akan eksistensinya menggiring ia untuk melihat bahwa eksistensinya dipengaruhi oleh tiga sifat; faktisitas, transendensi dan kebutuhan untuk mengerti.Faktisitas berarti, bahwa eksistentsi selalu nampak di depan kesadaran manusia sebagai sesuatu yang sudah ada.Sedangkan yang dimaksud dengan transendensi pada eksistensi manusia merupakan sifat yang nampak secara langsung dalam kesadaran manusia bahwa ia manusia, bukan hanya sekedar tubuh yang nampak dalam ruang dan waktu bersama “ada” yang lain, namun manusia adalah makhluk yang dapat melampaui dirinya melebihi dari batas ruang dan waktu dalam kesadarannya. Aspek keimanan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan nilai. Aspek ini belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan diri dan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang perlu diperhatikan dan diutamakan dalam menyempurnakan cabang-cabang keimanan. Sesungguhnya amalah lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak akan mencapai kesempurnaan, kecuali jika didasari dan diramu dengan nilai keutamaan tersebut. Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang dalam setiap gerak serta perilaku keseharian. Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan kontemplasi tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam
bidang pemikiran filsafat. Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filosofis tentang
eksistensi
Tuhan
dapat
dilihat
bagaimana
filosof
Aristoteles
menggunakan gerak-gerak yang nampak di alam dalam membuktikan adanya penggerak yang tak terlihat. Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek permasalahan filsafat. Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka sesungguhnya kita pun membahas tentang eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud Tuhan tak terpisahkan dari eksistensi alam, begitu pula sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari keberadaan Tuhan. Filsafat tidak mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang dan waktu atau salah satu faktor dari ribuan faktor yang berpengaruh atas alam. Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat bukan seperti penelitian terhadap satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh faktor tertentu. Implementai ketuhanan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak pandai membina jiwa generasi mendatang, “dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dalam nalar, pikir dan akal budi mereka”, maka mereka tidak akan selamat dari pengaruh negatif pendidikan modern. Mungkin mereka merasa ada yang kurang dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari sumber-sumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang terbuka tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran spiritualitas Islam. Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar, pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka mana yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola pikir teologis yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi akidah, Islam
hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai ajaran akidah yang benar dan lurus.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana filsafat ketuhanan dalam islam?
Apakah pengertian keimanan dan ketaqwaan dalam islam?
Bagaimana implementasi iman dan taqwa dalam kehidupan modern?
1.3 Tujuan
Mengetahui filsafat ketuhanan ketuhanan dalam islam
Mengertahui pengertian keimanan dan ketaqwaan dalam islam
Mengetahui implementasi iman dan taqwa dalam kehidupan modern
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Filsafat Ketuhanan Dalam Islam Siapakah Tuhan itu? Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45 (Al-Jatsiiyah): 23, yaitu: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya….?” Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri: “Dan Fir’aun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut: Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian. Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadaNya,merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M.Imaduddin, 1989:56) Atas dasar definisi ini, Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang pasti, manusia tidak mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka. Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan 1. Pemikiran Barat Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:
Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah
(Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun nama tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.
Animisme
Masyarakat primitif pun mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yangmembidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).
Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat
internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme. Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orangorang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifatsifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain. Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993:26-27). 2. Pemikiran Umat Islam Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan metodologi dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat Islam yang lain memahami dengan pendekatan antara kontektual dengan tektual sehingga lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional. Ketiga corak pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam. Aliran tersebut yaitu: Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil dari paham Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah muncul abad kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun dengan kalahnya mereka dalam perselisihan dengan kaum Islam ortodoks. Mu’tazilah lahir
sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij. b. Qodariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. c. Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan. d. Asy’ariyah dan Maturidiyah yang pendapatnya berada di antara Qadariah dan Jabariah Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat islam periode masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan ia keluar dari islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Di antara aliran tersebut yang nampaknya lebih dapat menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan etos kerja adalah aliran Mu’tazilah dan Qadariah. Tuhan Menurut Agama-agama Wahyu Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya didasarkan atas pengamatan dan pengalaman serta pemikiran manusia, tidak akan pernah benar. Sebab Tuhan merupakan sesuatu yang ghaib, sehingga informasi tentang Tuhan yang hanya berasal dari manusia biarpun dinyatakan sebagai hasil renungan maupun pemikiran rasional, tidak akan benar. Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan antara lain tertera dalam: 1. QS 21 (Al-Anbiya): 92, “Sesungguhnya agama yang diturunkan Allah adalah satu, yaitu agama Tauhid. Oleh karena itu seharusnya manusia menganut satu agama, tetapi mereka telah berpecah belah. Mereka akan kembali kepada Allah dan Allah akan menghakimi mereka.
Ayat tersebut di atas memberi petunjuk kepada manusia bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan konsep tentang ajaran ketuhanan sejak zaman dahulu hingga sekarang. Melalui Rasul-rasul-Nya, Allah memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang dibawa para Rasul, Adam sebagai Rasul pertama dan Muhammad sebagai terakhir. Jika terjadi perbedaan-perbedaan ajaran tentang ketuhanan di antara agama-agama adalah karena perbuatan manusia. Ajaran yang tidak sama dengan konsep ajaran aslinya, merupakan manipulasi dan kebohongan manusia yang teramat besar. 2. QS 5 (Al-Maidah):72, “Al-Masih berkata: “Hai Bani Israil sembahlah Allah Tuhaku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya syurga, dan tempat mereka adalah neraka. 3. QS 112 (Al-Ikhlas): 1-4, “Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Tuhan adalah Allah. Kata Allah adalah nama isim jumid atau personal name. Merupakan suatu pendapat yang keliru, jika nama Allah diterjemahkan dengan kata “Tuhan”, karena dianggap sebagai isim musytaq. Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya. Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-quran memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan. Pembuktian Wujud Tuhan 1. Metode Pembuktian Ilmiah Tantangan zaman modern terhadap agama terletak dalam masalah metode pembuktian. Metode ini mengenal hakikat melalui percobaan dan pengamatan, sedang akidah agama berhubungan dengan alam di luar indera, yang tidak mungkin dilakukan percobaan (agama didasarkan pada analogi dan induksi). Hal inilah yang
menyebabkan menurut metode ini agama batal, sebab agama tidak mempunyai landasan ilmiah. Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal, sebab juga tidak mempunyai landasan ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud sesuatu, walaupun belum diuji secara empiris. Di samping itu metode ini juga tidak menolak analogi antara sesuatu yang tidak terlihat dengan sesuatu yang telah diamati secara empiris. Hal ini disebut dengan “analogi ilmiah” dan dianggap sama dengan percobaan empiris. Suatu percobaan dipandang sebagai kenyataan ilmiah, tidak hanya karena percobaan itu dapat diamati secara langsung. Demikian pula suatu analogi tidak dapat dianggap salah, hanya karena dia analogi. Kemungkinan benar dan salah dari keduanya berada pada tingkat yang sama. 2. Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak boleh tidak memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya, suatu “Akal” yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan. Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya tentang adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan: <
> adalah suatu pernyataan yang tidak benar. Belum pernah diketahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana akan percaya bahwa alam semesta yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta? 3. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika Sampai abad ke-19 pendapat yang mengatakan bahwa alam menciptakan dirinya sendiri (alam bersifat azali) masih banyak pengikutnya. Tetapi setelah ditemukan “hukum kedua termodinamika” (Second law of Thermodynamics), pernyataan ini telah kehilangan landasan berpijak. Hukum tersebut yang dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori pembatasan perubahan energi panas membuktikan bahwa adanya alam tidak mungkin
bersifat azali. Hukum tersebut menerangkan bahwa energi panas selalu berpindah dari keadaan panas beralih menjadi tidak panas. Sedang kebalikannya tidak mungkin, yakni energi panas tidak mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas menjadi panas. Perubahan energi panas dikendalikan oleh keseimbangan antara “energi yang ada” dengan “energi yang tidak ada”. Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika di alam terus berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal itu membuktikan secara pasti bahwa alam bukan bersifat azali. Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam sudah kehilangan energinya, sesuai dengan hukum tersebut dan tidak akan ada lagi kehidupan di alam ini. Oleh karena itu pasti ada yang menciptakan alam yaitu Tuhan. 4. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi Benda alam yang paling dekat dengan bumi adalah bulan, yang jaraknya dari bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi dan menyelesaikan setiap edarannya selama dua puluh sembilan hari sekali. Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil dari matahari berputar pada porosnya dengan kecepatan seribu mil per jam dan menempuh garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali. Di samping bumi terdapat gugus sembilan planet tata surya, termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan kecepatan luar biasa. Metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan keserasian alam tersebut oleh Ibnu Rusyd diberi istilah “dalil ikhtira”. Di samping itu Ibnu Rusyd juga menggunakan metode lain yaitu “dalil inayah”. Dalil ‘inayah adalah metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan manfaat alam bagi kehidupan manusia (Zakiah Daradjat, 1996:78-80).
2.2 Keimanan dan Ketaqwaan Dalam islam
KEIMANAN
Iman yang dalam bahasa Arab disebut dengan imân merupakan inti ajaran semua agama.1Dalam teologi Islam, diskursus tentang imân ditemukan pada ajaran dasarnya (ushûl al-dîn). Kata ini dipakai dalam Bahasa Arab secara leksikal dengan arti „percaya.” Sejalan dengan makna ini, maka orang yang percaya disebut mu'mîn(Ind. mukmin). Ketika Rasulullah saw. menjawab pertanyaan seorang lakilaki berbaju putih yang datang menghampirinya ia bersabda, “Imânadalah percaya kepada Allah...” Karena kata kuncinyaadalah percaya, maka kedudukan imânselalu diposisikan –pada ajaran teologis-berada di dalam hati (qalb),3yaitu sesuatu yang menjadi unsur batin (esoteris) manusia. Unsur batin tersebut sukar –atau tidak bisauntuk diukur eksistensinya tanpa melihat ekspresi lahiriah dari imânseorang yang beriman(mu'min). Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani iman didefnisikan dengan keyakinan dalam hati dan diikrarkan dengan lisan dan diwujudkan dengan amal perbuatan Al'Immaanu. Dengan demikian iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati ucapan dan laku perbuatan serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup. Kata iman merupakan bentuk kata yang tidak harus ditafsirkan, kecuali menurut penafsiran yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Dengan penafsiran seperti ini, pengertian syari’at tethadap kata itu akan dapat ditentukan. Bila kita perhatikan penggunaan kata iman dalam Al-Quran, kita mendapatinya dalam dua pengertian dasar, yaitu : 1. Iman dengan pengertian membenarkan 2. Iman dengan pengertian amal atau ber-iltizam dengan amal.
Iman Dengan Pengertian Membenarkan Diantara dalil-dalil yang menunjukkan penggunaan iman untuk pengertian ini, yaitu perkataan Nabi Ibrahim as., ketika beliau meminta Allahmenunjukan kepadanya bagaimana Dia berkuasa menghidupkan yang telah mati. Firmaan Allah dalam surat Al-Baqarag ayat 260 yang artinya Allah berfirman “ Apakah kamu belum percaya? Ibrahim menjawab “ saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya (dengan imanku)
Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiaptiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”.
Iman Dengan Pengertian Amal Kata iman diartikan sebagai amal atau iltizam dengan amal. Amal yang dikehendaki di sini adalah amal iman, yakni segala perbuatan kebijakan yang tidak bertentangan dengan hokum yang telah digariskan oleh syara’.
Islam harus selalu didasari iman, tetapi aspek di luar keyakinannya, bukan termasuk iman. Penyebut-an bagian atau amalan yang termasuk Islam se-bagai iman dapat dilakukan karena Islam harus selalu didasari iman, jika tidak, maka dikategorikan sebagai kufur, yaitu, bukan termasuk Islam dan iman atau menjadi kebalikan dari Islam atau iman. Artinya, harus selalu ada iman di dalam Is-lam, tetapi tidak sebaliknya. Shalat, umpamanya, merupakan bentuk pelaksanaan ajaran Islam, tetapi ia dianggap memenuhi syarat keislaman jika didasari iman. Karena itu, dalam konteks iman yang selalu mendasari atau menyatu de-ngan Islam ini, al-Asy’ari menyatakan bahwa Is-lam lebih luas dibanding iman dari segi cakupan aktivitasnya yang mencakup aspek keimanan dan keislaman, jika dilakukan pemilahan.
KETAQWAAN 1. Takwa Menurut Etimologi
Para pengarang ensiklopedi sepakat mengatakan bahwa akar kata takwa adalah waqa wiqayah yang berarti memelihara dan menjaga. Seperti diungkapkan oleh alKhalil bin Ahmad, al-Azhary dalam Maqayis al-Lughah, al- Jauhary dalam alShihhah, dan juga al-Ashfahany dalam al-Mufradat fi Gharib al-Quran. Dari makna dasar itulah secara bahasa takwa mengandung beberapa pengertian: Pertama : menjaga sesuatu dari yang menyakitkan dan membahayakan. Kedua : menjaga diri dari yang ditakutkan (al- Ashfahany, t.th : 530). Ketiga: menghalangi antara dua hal (Ibnu Ismail, 1996 : 3/169). Keempat: bertameng (berlindung) dengan sesuatu atau dengan orang ketika menghadapi musuh atau sesuatu yang dibenci. Kelima: menghadapi sesuatu dan melindungi diri (dari bahayanya). Keenam: mengambil perisai untuk menutupi dan menjaga. Ketujuh: menjaga diri dan menolak hal-hal yang tidak disukai. Kedelapan: hati-hati, waspada dan menjauh dari yang
menyakitkan. Kesembilan takut kepada Allah dan merasakan pengawasan-Nya (AlBuzy, 2011 : 101-103). 2. Takwa Menurut Terminologi Banyak ulama dari masa sahabat hingga abad ini mendefinisikan takwa. Seperti Ali bin Abi Thalib (Al- Shalaby, 2005: 396) mengatakan: "Takwa adalah tidak mengulangulang perbuatan maksiat, dan tidak terperdaya dengan merasa puas melakukan ketaatan". Di bagian lain beliau menambahkan : "Takwa adalah rasa takut kepada Allah, mengamalkan Al-Quran, qana'ah (merasa cukup) dengan yang sedikit, dan bersiap-siap untuk hari kematian". Dari definisi di atas, sekurang-kurangnya ada lima unsur yang terkandung dalam definisi takwa, yaitu sebagai berikut : 1. Memiliki rasa takut Rasa takut adalah unsur takwa yang terpenting. Rasa takut muncul dari keyakinan terhadap keagungan Allah, sehingga lahirlah kesadaran untuk memuliakan kedudukan Nya dan mentaati-Nya. Orang yang takut kepada Allah sadar dengan pengawasan-Nya yang sangat jeli terhadap setiap gerak-gerik, kata dan waktu, sehingga ia merasa selalu bersama- Nya, merasa malu dan penuh kehati-hatian dalam bersikap dan berbuat. Ia memahami kedahsyatan hari akhirat, maka selalu memperbanyak ketaatan dan berpaling dari kemaksiatan sebagai bekal menuju akhirat. 2. Beriman Iman adalah bagian dari takwa dan bukan sebaliknya.Adanya unsur iman dalam takwa dikarenakan iman adalah sumber dan dasar takwa. Iman yang benar adalah yang tidak bercampur dengan keraguan, dan melahirkan semangat untuk beramal/perbuatan baik. Perbuatan baik tidak dapat melahirkan pahala kecuali dengan iman. 3. Berilmu Mengetahui keagungan Allah dan syariat-Nya adalah modal utama terwujudnya rasa takut dan takwa yang sebenarnya. Bagaimana orang akan takut kepada Allah bila tidak mengetahui hakikat keesaan, kekuasaan dan keperkasaanNya?. Bagaimana seseorang akan bertakwa bila tidak mengetahui peraturan, perintah
dan larangan?. Karena sangat vitalnya unsur ilmu dalam takwa, Allah membatasi orang yang takut kepada-Nya hanya pada kelompok orang-orang yang berilmu (ulama). Tujuan ilmu dalam Islam adalah melahirnya rasa takut dan ketakwaan kepada Allah. Para ulama mengambil kesimpulan dari ayat di atas bahwa orang yang tidak takut kepada Allah adalah orang bodoh (Al-Buzy, 2011 :121). Dengan kata lain tetap dikatakan bodoh walaupun berilmu. 4. Berkomitmen dan continue dalam ketaatan dengan perintahperintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya
menjalankan
Takwa lahir dari kecintaan yang lebih besar kepada Allah dan Rasulullah serta hari akhirat. Kecintaan itu menguatkan keyakitan atas kebenaran ajaran yang disampaikan Rasul-Nya, dan keyakinan mendorong untuk selalu mentaati-Nya, yang dibuktikan dengan ketidakjemuan dalam beramal/berbuat sesuai dengan perintahNya, dan kebencian untuk melanggar larangan-Nya. Orang yang bertakwa tidak membeda bedakan amalan yang besar maupun yang kecil semua ia lakukan, karena tidak ada yang luput dalam hitungan Allah. Ia juga menjauhi dosa yang kecil apalagi yang besar. Yang ia pandang bukan kecilnya dosa yang dilakukan tapi melihat keagungan Allah dan hak-hak-Nya yang dia abaikan. 5. Sangat ingin mendapatkan keridhaan/balasan Allah dan terbebas dari murka/azab-Nya. Inilah tujuan takwa. Sebagian orang khususnya ahli sufi tidak memandang penting ketertarikan kepada surga dan rasa takut kepada neraka, dan lebih menekankan kecintaan pada Sang Khalik. Padahal mengharapkan surga dan takut pada neraka merupakan bagian dari takwa. Ada 3 alasan yang membuat unsur ini penting dalam takwa : Pertama : Keinginan yang sangat kepada keridhaan Allah dan surga-Nya dan rasa takut kepada murka dan neraka, merupakan pendorong yang efektif untuk beribadah dan beramal. Abd al-Rahman al-Sa'dy (2000 : 90) mengatakan : "Orang yang takut azab Allah akan berhenti melakukan perbuatan yang mendatangkan azab. Sebagaimana orang yang mengharapkan balasan Allah akan termotivasi melakukan amalan yang mendatangkan pahala. Adapun orang yang tidak takut pada azab dan tidak mengharapkan pahala dapat membuatnya melakukan yang diharamkan dan berani meninggalkan kewajiban".
Kedua : Allah memuji orang yang takut hari akhirat (azab neraka) dan mengharapkan rahmat-Nya (surga) sebagaimana firman-Nya: (Apakah kamu hai orang kafir yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?. Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang orang yang tidak mengetahui?". Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS. Al-Zumar : 9). Ketiga : Islam mengakui tabiat manusia yang memiliki rasa takut dan pengharapan. Oleh karena itu al-Quran memadukan antara janji (kabar baik) dan ancaman (kabar buruk) ketika mengajak kepada ketauhidan dan ketakwaan. 2.3 Implementasi Iman dan Taqwa dalam Kehidupan Modern Iman tidak cukup disimpan didalam hati. Iman harus dilahirkan dalam bentuk perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal sholeh atau perilaku yang baik. Disamping itu, pengertian tersebut juga membawa makna bahwa iman tidak sekedar beriman kepada apa yang disebutkan di dalam “rukun iman” saja, yaitu iamn kepada Allah, iamn kepada malaikat-malaikat-Nya, iman kepada hari akhir, dan iamn kepada qadha’ dan qadar, tetapi lebih dari itu, cakupan iman meliputi pengimanan terhadap segala hal yang dibawa oleh Nabi Muhammad selain rukun iman tersebut. Misalnya, iman terhadap kewajiban sholat, zakat, puasa, haji, dan juga tentang halal haram. Taqwa adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki setiap muslim. Signifikansi taqwa bagi umat islam diantaranya adalah sebagai spesifikasi pembeda dengan umat lain bahkan dengan jin dan hewan, karena taqwa adalah refleksi iman seorang muslim. Seorang muslim yang beriman tidak ubahnya seperti binatang, jin dan iblis jika tidak mangimplementasikan keimanannya dengan sikap taqwa, karena binatang, jin dan iblis mereka semuanya dalam arti sederhana beriman kepada Allah yang menciptakannya, karena arti iman itu sendiri secara sederhana adalah “percaya”, maka taqwa adalah satu-satunya sikap pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Seorang muslim yang beriman dan sudah mengucapkan dua kalimat syahadat akan tetapi tidak merealisasikan keimanannya dengan bertaqwa dalam arti menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, dan dia juga tidak mau terikat dengan segala aturan agamanya dikarenakan kesibukannya atau asumsi pribadinya ang mengaggap eksistensi syariat agama sebagai pembatasan berkehendak yang itu adalah hak asasi manusia, kendatipun dia beragama akan tetapi agamanya itu hanya sebagai identitas pelengkap dalam kehidupan sosialnya, maka orang semacam ini tidak sama dengan binatang akan tetapi kedudukannya lebih
rendah dari binatang, karena manusia dibekali akal yang dengan akal tersebut manusia dapat melakukan analisis hidup, sehingga pada akhirnya menjadikan taqwa sebagai wujud implementasi dari keimanannya. Dalam situasi yang serba bisa dan sangat plural ini dirasa perlu menjaga pandangan (dalam arti mata dan telinga) dari hal – hal yang dilarang agama sebagai cara awal dan utama dalam mendidik diri menjadi muslim yang bertaqwa. Menjaga mata, telinga, pikiran, hati dan perbuatan dari hal-hal yang dilarang agama, menjadikan seorang muslim memiliki kesempatan besar dalam memperoleh taqwa. Karena taqwa adalah sebaik–baik bekal yang harus kita peroleh dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana dan pasti hancur ini, untuk dibawa kepada kehidupan akhirat yang kekal dan pasti adanya. Adanya kematian sebagai sesuatu yang pasti dan tidak dapat dikira-kirakan serta adanya kehidupan setelah kematian menjadikan taqwa sebagai obyek vital yang harus digapai dalam kehidupan manusia yang sangat singkat ini. Memulai untuk bertaqwa adalah dengan mulai melakukan hal-hal yang terkecil seperti menjaga pandangan, serta melatih diri untuk terbiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, karena arti taqwa itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Imam Jalaluddin Al-Mahally dalam tafsirnya bahwa arti taqwa adalah “imtitsalu awamrillahi wajtinabinnawahih”, menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganya. Di antara cirri-ciri orang yang bertaqwa kepada Allah itu adalah : 1. Gemar menginfaqkan hartab bendanya dijalan Allah, baik dalam waktu sempit maupun lapang. 2. Mampu menahan diri dari sifat marah. 3. Selalu memaafkan orang lainyang telah membuat salah kepadanya ( tidak pendendam ). 4. Tatkala terjerumus pada perbuatan keji dan dosa atau mendzalimi diri sendiri,ia segera ingat Allah, lalu bertaubat, memohon ampun kepada-Nya atas dosa yang telah dilakukan. 5. Tidak meneruskan perbuatan keji itu lagi, dengan kesadaran dan sepengetahuan dirinya.
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.(yaitu) orangorang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia."(QS.Al Anfal 2-4) Dari Ayat tersebut telah jelas lah bahwa beberapa tanda-tanda orang yang benarbenar beriman kepada Allah adalah: 1. Bila disebut nama Allah gemetarlah Hatinya 2. Apabila Dibacakan Ayat-ayat Allah bertambahlah Imannya 3. Mereka selalu bertawakal Kepada Allah 4. Mendirikan Shalat 5. Menafkahkan (berinfaq, shadaqoh) itulah tanda-tanda orang yang benar-benar beriman selain tanda-tanda yang lain yang Allah Gambarkan dalam surat Al fatihah dan surat-surat yang lainnya. 5 Tanda orang beriman : 1. Orang yang beriman adalah orang yang sejahtera dengan perintah-perintah Allah. Sejahtera bermaksud tidak merasa berat atau susah dalam menjalankan
perintah Allah dan rasulNya. Sejahtera itu juga membawa makna seronok dan gembira dalam menjalankan perintah-perintah Allah. 2. Orang yg beriman adalah yang sentiasa redha kepada ketentuan dan ketetapan Allah. Orang yang apabila ditimpakan ujian dia redha dan berusaha. Orang yang redha tetapi tidak berusaha adalah tergolong dalam golongan org yg berputus asa. 3. Orang yg beriman juga sangat yakin kepada Allah dengan apa yang diperintahkan olehNya. Tidak ragu-ragu walau sedikitpun dengan perintah dan suruhannya. 4. Orang yg beriman sentiasa bertawakkal dan hanya bergantung penuh kepada Allah. Bergantung kepada selain dari Allah adalah bersifat sementara. Hanya kepada Allah datangnya setiap sesuatu dan hanya kepada Allah kembalinya setiap sesuatu. Tiada apa yang berlaku tanpa izinNya. 5. Orang yang bersabar dengan segala masalah yang datang kepadanya. Kesusahan dan kepayahan dihadapi dengan sabar.
BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Filsafat Ketuhanan Dalam Islam
Filsafat dalam islam disini, Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam AlQuran dipakai untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, terdapatbdalam QS 45 (Al-Jatsiiyah): 23. Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah.Adapun Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan yaitu pemikiran barat dan pemikiran umat manusia. Adanya Pembuktian Wujud Tuhan yaitu Metode Pembuktian Ilmiah, Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan, Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika, dan Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi.
Keimanan dan Ketaqwaan Dalam islam
Iman yang dalam bahasa Arab disebut dengan imân merupakan inti ajaran semua agama.1Dalam teologi Islam, diskursus tentang imân ditemukan pada ajaran dasarnya (ushûl al-dîn). Kata ini dipakai dalam Bahasa Arab secara leksikal dengan arti „percaya.” Sejalan dengan makna ini, maka orang yang percaya disebut mu'mîn(Ind. mukmin). Ketika Rasulullah saw. menjawab pertanyaan seorang laki-laki berbaju putih yang datang menghampirinya ia bersabda, “Imânadalah percaya kepada Allah...” Karena kata kuncinyaadalah percaya, maka kedudukan imânselalu diposisikan –pada ajaran teologis-berada di dalam hati (qalb),3yaitu sesuatu yang menjadi unsur batin (esoteris) manusia. Unsur batin tersebut sukar –atau tidak bisauntuk diukur eksistensinya tanpa melihat ekspresi lahiriah dari imânseorang yang beriman(mu'min). Takwa Menurut Etimologi, Para pengarang ensiklopedi sepakat mengatakan bahwa akar kata takwa adalah waqa wiqayah yang berarti memelihara dan menjaga. Seperti diungkapkan oleh al-Khalil bin Ahmad, al-Azhary dalam Maqayis al-Lughah, al- Jauhary dalam al-Shihhah, dan juga al-Ashfahany dalam al-
Mufradat fi Gharib al-Quran. Takwa Menurut Terminologi Banyak ulama dari masa sahabat hingga abad ini mendefinisikan takwa. Seperti Ali bin Abi Thalib (AlShalaby, 2005: 396) mengatakan: "Takwa adalah tidak mengulangulang perbuatan maksiat, dan tidak terperdaya dengan merasa puas melakukan ketaatan". Di bagian lain beliau menambahkan : "Takwa adalah rasa takut kepada Allah, mengamalkan AlQuran, qana'ah (merasa cukup) dengan yang sedikit, dan bersiap-siap untuk hari kematian".
Implementasi keimanan dan Ketaqwaan Dalam Islam
Iman tidak cukup disimpan didalam hati. Iman harus dilahirkan dalam bentuk perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal sholeh atau perilaku yang baik. Disamping itu, pengertian tersebut juga membawa makna bahwa iman tidak sekedar beriman kepada apa yang disebutkan di dalam “rukun iman” saja, yaitu iamn kepada Allah, iamn kepada malaikat-malaikat-Nya, iman kepada hari akhir, dan iamn kepada qadha’ dan qadar, tetapi lebih dari itu, cakupan iman meliputi pengimanan terhadap segala hal yang dibawa oleh Nabi Muhammad selain rukun iman tersebut. Misalnya, iman terhadap kewajiban sholat, zakat, puasa, haji, dan juga tentang halal haram. Taqwa adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki setiap muslim. Seorang muslim yang beriman dan sudah mengucapkan dua kalimat syahadat akan tetapi tidak merealisasikan keimanannya dengan bertaqwa dalam arti menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, dan dia juga tidak mau terikat dengan segala aturan agamanya dikarenakan kesibukannya atau asumsi pribadinya ang mengaggap eksistensi syariat agama sebagai pembatasan berkehendak yang itu adalah hak asasi manusia, kendatipun dia beragama akan tetapi agamanya itu hanya sebagai identitas pelengkap dalam kehidupan sosialnya, maka orang semacam ini tidak sama dengan binatang akan tetapi kedudukannya lebih rendah dari binatang, karena manusia dibekali akal yang dengan akal tersebut manusia dapat melakukan analisis hidup, sehingga pada akhirnya menjadikan taqwa sebagai wujud implementasi dari keimanannya.
3.2 Saran Dalam pembuatan makalah ini memang tidaklah mudah, haruslah lebih teliti lagi dalam pembuatan makalah ini, kata-kata yang dipakai memang agak sulit dipahami. Pengumpulan materi-materinya pun banyak karena di dalam materi konsep ketuhanan dalam islam memang yang dikaji lumayan banyak.
DAFTAR PUSTAKA