pandhapa
Peradaban Digital Dalam sebuah ruang kelas, tampak sekelompok siswa sedang belajar dengan tenang. Mereka menunduk, menatap notebook mungil yang ada di hadapannya masing-masing. Suasana hening. Di sekolah-sekolah yang lain, suasana semacam ini biasanya terjadi hanya setahun sekali, yakni pada saat Ujian Nasional. Lamat-lamat, mengalun pelan musik pengiring belajar, piano sonata, memancar dari pengeras suara permanen yang dipasak ke langit-langit ruangan. Tak ada suara berisik. Yang terdengar hanya desah pendingin ruangan. Lho, mana gurunya? Kelas kok tidak ada gurunya! Jangan-jangan... Tidak perlu su'uddhan! Itu tidak baik. Memang, betulbetul tidak ada guru di ruang kelas itu. Tak ada sesosok lelaki tua yang biasanya berdiri di samping papan tulis, dengan tangan kanan belepotan debu kapur dan tangan kiri memegang penghapus, juga dengan suara lantang untuk mengimbangi kakofoni yang ditimbulkan oleh kegaduhan siswa. "Kami sedang mengikuti pelajaran geografi melalui kelas online. Kami melangsungkan proses pembelajaran sendiri dengan menunjuk beberapa orang di antara kawan kami dalam bentuk tim sebagai moderator proses pembelajaran. Kami berdiskusi lalu melaksanakan evaluasi belajar di kelas. Guru kami sedang ke luar negeri, tetapi pembelajaran tetap berjalan karena beliau tetap memandu kami secara langsung melalui teleconferencing. Beliau juga tetap mengetahui proses pembelajaran dengan bantuan streaming..." Ruang kelas sekolah manakah itu? Entahlah, saya juga tidak tahu, ruang kelas madrasah/sekolah mana yang saya deskripsikan tersebut. Tetapi, sebentar lagi, suasana tersebut akan segera kita jumpai di pelosok-pelosok desa, di Dasuk, Guluk-Guluk, atau Gapura, di kota atau di desa. Pemandangan di atas barangkali menjadi impian di benak sebagian orang, tetapi mungkin juga menjadi mimpi buruk di sebagian kepala yang lain. Alasan pengembangan tadris "dengan" teknologi atau pengaburan nilai taklim "karena" teknologi adalah ambivalensi. la seperti halnya produkproduk kebudayaqn manusia yang selalu meninggalkan jejak ketaksaan. Namun, menghadapi hal semacam itu, tugas kita bukanlah menolak, melainkan memilih. Sebab, ramalan Bill Gates, "educators who embrace PCs as a new teaching tool and learning tool will be agents of change", tampaknya mulai mengejawantah. Meskipun masyarakat kita masih cenderung gagap, takut, bahkan su'uddhan terhadap teknologi (informasi), toh pada kenyataannya, semakin hari, kehidupan kita, termasuk dunia pendidikan, semakin tidak dapat melepaskan diri dari teknologi. Ini tidak terbantah.
JURNAL EDUKASI. NO.X.2008
r»i Proses komputerisasi dan digitalisasi sektor-sektor kehidupan menjadi bukti bahwa teknologi informasi dan komunikasi telah merambah, bahkan menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia itu sendiri. Begitu cepatnya perkembangan teknologi informasi itu sehingga apa yang akan ditemukan di bulan depan seolah-olah tidak dapat dibayangkan pada hari ini. Beberapa tahun yang silam, kita masih butuh waktu duatiga hari lamanya untuk bertukar kabar dengan kawan sekabupaten. Kini, kita hanya butuh sekali klik untuk berkirim pesan antarbenua: suatu hal yang dulu barangkali belum sempat dibayangkan oleh Alexander Graham Bell di saat ia mengembangkan teknologi telepon. Sebetulnya, teknologi informasi sama halnya dengan pisau: di dapur, ia dipakai ibu kita untuk merajang bawang atau mengiris tomat; tetapi ia juga dapat digunakan untuk menghabisi nyawa oleh orang yang pikirannya hanya nge-link pada darah, nyawa, dan kebencian, dan bukan mengidentikkannya dengan rempah-rempah dan sayuran. Saat ini, pengembangan teknologi untuk pendidikan masih terasa mewah, terutama karena untuk mendapatkan sistem operasi (OS) yang "bersih dan halal" harus membayar mahal pada, terutama, Microsoft. Namun, ini bukan masalah. OS gratis semacam Linux (seperti distro Edubuntu yang dirilis untuk membantu pengembangan pendidikan berbasis komputer) mudah didapatkan. Tidak hanya itu, masih banyak open source lain yang menyediakan program-program gratis bagi kita yang ingin mengembangkan pendidikan berbasis komputer jika enggan dibilang "haram-tidak-barokah" karena menggunakan software bajakan. Teknologi informasi terus akan berproses untuk menempatkan dirinya pada peringkat primer dalam kehidupan manusia. Bersamanya, hidup kita bregerak menuju peradaban digital. Seperti halnya korek untuk memantik api dan mobil untuk transportasi, pengupayaan tersebut bergerak menuju perbaikan kualitas kehidupan manusia. Jika produk dianggap baik, ia akan diterima dan diakses secara global, jadilah globalisasi. Setelah itu, suatu produk tidak lagi mewakili ras, komunitas, atau kelompok masyarakat tertentu, melainkan menjadi milik umat manusia secara massal. Karenanya, kita pun dapat mencicipi dan memanfaatkannya, termasuk untuk mengembangkan pendidikan. Teknologi (informasi) merupakan proyek kebudayaan manusia yang paling menakjubkan. la telah menopang banyak kemudahan dalam kehidupan. Namun, ia juga membawa dampak yang buruk. Di sana, yang najis dan suci, berbaur menjadi satu. Dalam sekeping laptop— yang beratnya kurang dari 2 kilogram saja—kita dapat menyimpan data kotor dan busuk berdampingan dengan ribuan kitab turats. Nah, tugas kita sekarang adalah bagaimana kita tetap dapat memanfaatkan teknologi informasi (untuk pengembangan pendidikan) juga memberinya "sentuhan nilai keimanan". Semoga, ini tercapai. Amin.