Saat Gelombang Tsunami Menggulung Aceh Tahun 2004
S
epuluh Tahun lalu atau 26 Desember 2004 seorang wanita bernama Umi Kalsum sedang sibuk menanam bunga di Desa Alu Naga, Kabupaten Aceh Besar. Perempuan yang tengah larut menggeluti hobinya itu tibatiba dikagetkan oleh guncangan gempa dengan episentrum di lepas pesisir barat Sumatera, Indonesia, tepatnya di bujur 3.316° N 95.854° E, kurang lebih 160 km sebelah barat Aceh sedalam 10 kilometer.
ombak tsunami. "Kami sudah teraduk-aduk dalam air, sesaat sempat saya lihat cucu saya dalam air, saya coba raih tapi tidak dapat, yang ada tangan saya kesangkut di pagar, ini hampir putus," cerita Umi.
Kala itu, sekitar pukul 07.58 WIB, gempa berkekuatan 9,1 skala Richter (SR) menghantam Aceh, Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka, bahkan sampai Pantai Timur Afrika. Beberapa menit kemudian, gelombang tsunami menerjang. Umi langsung bergegas lari. Sang anak sempat memintanya untuk tidak lari, tapi wanita yang saat itu berumur 48 tahun memilih berlari mengajak cucunya. Baru beberapa meter berlari, tubuh Umi dan cucuknya terhempas
Umi Kalsum pun hilang kesadarannya karena terombang-ambing gelombang pekat tsunami. Tapi tiba-tiba ada ular yang mendekat dan melilitnya. "Saya sadar pertama sudah di jembatan ini (Jembatan Kajhu), ya subhanallah mulut ular itu di depan mata saya, tubuh saya itu dililitnya," ujar Umi Kalsum dalam bahasa Aceh. Si ular terus membawanya mendekat ke relawan. Tiga pemuda dari PMI kemudian menjemputnya dan melepaskan lilitan ular dari tubuhnya. "Sempat saya bilang sama anak itu, pas ditarik saya, nak ada ular, tidak apa-apa katanya dia nggak ganggu
kita," cerita nenek yang juga kehilangan 30 sanak saudaranya saat tsunami menghantam desanya. Selain itu Umi juga melihat ayam jago miliknya juga selamat berenang di atas sehelai papan tidur miliknya. "Ayam meutuah (mulia) itu juga selamat di atas papan tidur saya, itulah mungkin kuasa Allah," ujar Umi. Umi merupakan salah satu dari sekian korban selamat gempa bumi dan tsunami 2004. Ada sejumlah korban yang beruntung masih bisa hidup hingga sekarang. Seperti Martunis, yang kala itu berumur 7 tahun. Martunis yang kala itu mengenakan kostum pemain Portugal Rui Costa bernnomor punggung 10, bertahan selama 21 hari di atas pepohonan dengan mayat bergelimpangan di sana-sini. Untuk bertahan hidup ia memungut makanan dan air mineral yang terseret gelombang. Hingga akhirnya diselamatkan relawan.
Tsunami yang puncak tertingginya mencapai 30 m atau sekitar 98 kaki ini dilaporkan telah mengakibatkan lebih dari 230.000 orang tewas dari 14 negara dan menenggelamkan banyak permukiman tepi pantai. Gempa terbesar ketiga yang pernah tercatat di seismograf dan memiliki durasi terlama sepanjang sejarah sekitar 8,3 sampai 10 menit ini juga mengakibatkan seluruh planet Bumi bergetar 1 cm dan menciptakan beberapa gempa lainnya sampai wilayah Alaska. Meski begitu, total tenaga yang dihasilkan oleh gempa ini adalah 4,0×1022 joule (4,0×1029 erg),[25] sebagian besar di bawah tanah. Jumlah ini 360.000 kali lebih besar daripada ME (ME, artinya potensi kerusakan seismik), setara dengan 9.600 gigaton ekuivalen TNT (550 juta lebih besar daripada Hiroshima) atau 370 tahun pemakaian energi di Amerika Serikat tahun 2005 (sebesar 1.08×1020 J).
Penderitaan yang dialami masyarakat dan pemerintah korban bencana membuat seluruh dunia bersimpati dan mengirimkan bantuan kemanusiaan. Secara keseluruhan, masyarakat dunia menyumbangkan lebih dari US$ 14 miliar untuk bantuan kemanusiaan. Kini sejumlah kawasan Aceh yang terkena dampak gempa dan tsunami 10 tahun silam telah pulih. Bangunan pemerintah dan perumahan kembali dibangun. Aktivitas warga kembali normal. Diharapkan dengan adanya sistem peringatan dini tsunami German Indonesian Tsunami Early Warning System (GITEWS), bencana yang berakhir tragis ini bisa diantisipasi.