Tolonglah, jika menyikapi kasus pelecehan/kekerasan seksual jangan berkomentar yang victimblaming dengan bilang "makannya jangan bodoh bodoh amat jadi cewek, teriak kek, lawan kek, jangan diem aja!".
Jangan paksakan standard keberanian yang sama pada orang lain. Tidak semua orang punya keberanian/kemampuan respon yang sama. Kasus pelecehan/kekerasan seksual itu sangat beragam situasinya, jadi tidak ada cara yang paling tepat atau yang paling cocok karena pribadi dan kondisi pasti beragam. What works for you may not work for someone else.
Korban bisa saja mampu berteriak, melawan, kabur, sedangkan korban lain mungkin tidak bisa. Tubuh juga bisa kaku, kemampuan motorik bisa tumpul, pengambilan keputusan juga bisa terpengaruh dalam keadaan syok atau terpengaruh akibat tekanan. Kondisi psikis saat dalam tekanan akan berbeda beda. Seperti penjelasan dibawah ini :
1. Mengalami Tonic Immobility
Tonic Immobility (Ti), atau kelumpuhan sementara, merupakan system pertahanan tubuh alami saat mengalami ketakutan luar biasa. Dimana korban kekerasan seksual akan mengalami sensasi lumpuh secara seketika saat mengalami pemerkosaan.
Arkansas Coalition Against Sexual Assault (ACASA) mengatakan bahwa kelumpuhan sementara ini terjadi akibat hormone corticosteroid mereduksi energy di dalam tubuh. Sehingga tubuh akan mengalami reaksi mati rasa dan berhentinya jaringan motoric secara seketika.
2. Tidak Hanya Terjadi Pada Korban Kekerasan Seksual
Bukan hanya pada korban kekerasan seksual, kelumpuhan sementara juga sering terjadi pada seseorang yang berada pada ancaman lain, seperti sedang di todong senjata, berhadapan dengan hewan buas, atau saat merasa melihat hantu.
Bahkan kelumpuhan sementara juga dapat terjadi kepada orang yang sedang berpidato di hadapan orang banyak. Jika tidak terbiasa, maka ia akan melupakan semua hal yang ingin ia katakan di atas podium (blank).
3. Sering Dituduh Menikmati
Korban pelecehan seksual sering dituduh menikmati proses pemerkosaan yang ia alami. Hal itu karena kebanyakan korban tidak berkutik saat berhadapan dengan pelaku.
Hasil penelitian Dr. Anna Moller, dkk. Dari Swedia pada 2017 menunjukkan bahwa dari 298 korban kekerasan seksual, 70% di antaranya mengalami kelumpuhan saat kejadian, dan 40% di antaranya mengalami kelumpuhan ekstrem.
Sayangnya, penegak hukum, juga orang di sekitar, sering melontarkan pertanyaan -- pertanyaan menyakitkan seperti, "Kok diem aja?", "kok gak teriak?", dsb.
4. Lebih Rentan Terkena Depresi
Akibat kurangnya pengetahuan akan kelumpuhan sementara ini, banyak korban yang justru menyalahkan dirinya sendiri karena tidak mampu berkutik saat kejadian berlangsung.
Belum lagi, budaya victim blaming yang masih akut dalam masyarakat menjadikan korban sebagai pesakitan karena tuduhan menikmati pemerkosaan.
Inilah yang membuat korban takut melaporkan apa yang ia alami sehingga membuatnya depresi.
5. Bukan Salah Korban
Cara terbaik untuk membuat korban merasa nyaman adalah dengan mengatakan kepadanya bahwa ia tidak bersalah hanya karena diam saat pemerkosaan.
Katakanlah bahwa itu merupakan fenomena alami yang biasa terjadi pada siapapun saat berada di bawah ancaman, bukan hanya korban kekerasan seksual. Perlu diketahui, bahwa diam saat mengalami kekerasan seksual, bukan berarti menikmati dan menerima secara sukarela.
So, menyalahkan korban karena diam saat mengalami kekerasan seksual, sama saja dengan memperkosa dua kali korban kekerasan seksual.
Kita semua pernah mengalami fenomena ini saat mengalami ketakutan luar biasa akibat berhadapan dengan ancaman apapun, bukan hanya kekerasan seksual.
Jadi, tentunya kita harus bisa berempati kepada para korban kekerasan seksual dan seharusnya kita mengerti mengapa mereka hanya terpaku dan diam.
Ingat, diam bukan berarti menerima. Mengajak untuk lebih berani melawan pelecehan/kekerasan seksual itu baik. Kita sama sama saling mendukung bahwa kita berhak dan bisa untuk katakan tidak pada pelecehan/kekerasan seksual. Tapi jangan sampai kita membodoh bodohkan korban karena berbuat/tidak berbuat sesuatu dalam melawan.
Let's have empathy, can we do that?:)