Lp Trauma Servikal.docx

  • Uploaded by: Mila Ruhul
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp Trauma Servikal.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,158
  • Pages: 22
A. DEFINISI Ada tujuh tulang servikal vertebrae (tulang belakang) yang mendukung kepala dan menghubungkannya ke bahu dan tubuh. Sebuah fraktur (patah atau retak) di salah satu tulang leher disebut fraktur servikal atau kadang-kadang juga disebut patah tulang leher. Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb (Sjamsuhidayat, 1997). B. ETIOLOGI Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu : 1. Cedera traumatik Dapat disebabkan oleh : a) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara spontan. b) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan misalnya jatuh dengan kaki berjulur sehingga menyebabkan fraktur c) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat 2. Fraktur patologik Dalam hal ini, kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur yang dapat terjadi pada berbagai keadaan berikut : a) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif b) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan nyeri c) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skeletal lain biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi vitamin D atau oleh karena asupan kalsium dan fosfat yang rendah. d) Osteoporosis 3. Secara spontan

Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.

C. MANIFESTASI KLINIK Lewis (2006) menyampaikan gejala klinis dari fraktur adalah sebagai berikut: 1. Nyeri Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya. Nyeri dirasakan terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. 2. Bengkak/edama Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya. 3. Memar/ekimosis Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya. 4. Spame otot Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur. 5. Penurunan sensasi Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema. 6. Gangguan fungsi Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme

otot,

paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf. 7. Mobilitas abnormal Mobilitas abnormal adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang. 8. Krepitasi Krepitasi merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.

9. Deformitas Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya. 10. Syok hipovolemik Syok terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat. Ditandai dengan nadi cepat, kerja jantung meningkat, vasokontriksi. 11. Pemendekan tulang Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci) D. KOMPLIKASI Komplikasi awal 1. Syok Syok hipovolemik atau traumatik akibat perdarahan (baik kehilangan darah eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak. 2. Sindrom emboli lemak Setelah terjadi fraktur femur dapat terjadi emboli lemak khususnya pada dewasa muda (20-30 tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan gejalanya sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cedera, namun paling sering terjadi dalam 24 sampai 72 jam. Gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia dan pireksia. Gangguan cerebral diperlihatkan dengan adanya perubahan status mental yang bervariasi dari agitasi ringan dan kebingungan sampai delirium dan koma yang terjadi sebagai respon terhadap hipoksia, akibat penyumbatan emboli lemak di otak. 3. Sindrom kompertemen

Sindrom kompartemen disebabkan karena penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang menjerat, atau peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah. Pasien mengeluh adanya nyeri dalam, berdenyut tak tertahankan. Palpasi pada otot akan terasa pembengkakan dan keras. Komplikasi lambat 1. Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik atau distraksi fragmen tulang. Tidak ada penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-ujung patahan tulang. a) Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. b) Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. c) Non union : tulang yang tidak menyambung kembali 2. Nekrosis avaskuler tulang Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati, dapat terjadi setelah fraktur khususnya pada kolum femoris. Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorbsi dan diganti dengan tulang baru. Pasien mengalami nyeri dan keterbatasan gerak. 3. Reaksi terhadap alat fiksasi interna Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator utama telah terjadi masalah. Masalah tersebut meliputi pemasangan dan stabilisasi yang tidak memadai, alat yang cacat atau rusak, berkaratnya alat menyebabkan inflamasi lokal, respon alergi terhadap campuran logam yang digunakan dan remodeling osteoporotik di sekitar alat fiksasi. E. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Radiologi Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan

lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray: a) Bayangan jaringan lunak. b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi. c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction. d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi. Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu teknik khususnya seperti: a) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya. b) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma. c) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa. d) Computed

Tomografi-Scanning:

menggambarkan

potongan

secara

transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak. 2. Pemeriksaan Laboratorium a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang. b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang. 3. Pemeriksaan lain-lain a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi. b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.

c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur. d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan. e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. E. PENATALAKSANAAN 1. Pertolongan Pertama untuk Fraktur Servikal Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur servikalis. Sebuah fraktur servikal merupakan suatu keadaan darurat medis yang membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait cedera saraf tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat penting untuk menjaga leher . Jika ada kemungkinan patah tulang leher, leher pasien tidak boleh digerakkan sampai tindakan medis diberikan dan X-ray dapat diambil. Itu jalan terbaik untuk mengasumsikan adanya cedera leher bagi siapa saja yang terkena benturan, jatuh atau tabrakan. Gejala fraktur servikal termasuk parah dengan rasa sakit pada kepala, nyeri yang menjalar ke bahu atau lengan,memar dan bengkak di bagian belakang leher. 2. Penanganan Operasi Goal dari penanganan operasi adalah: Reduksi mal aligment, decompresi elemen neural dan restorasi spinal stability. Operasi anterior dan posterior Anterior approach, indikasi: 1) Ventral kompresi 2) Kerusakan anterior collum 3) Kemahiran neuro surgeon Posterior approach, indikasi: 1) Dorsal kompresi pada struktur neural 2) Kerusakan posterior collum Keuntungan: 3) Dikenal banyak neurosurgeon 4) Lebih mudah 5) Medan operasi lebih luas dapat membuka beberapa segmen

6) Minimal morbility 3. Pembatasan aktivitas Studi spesifik yang membandingkan keluaran dengan atau tanpa pembatasan aktivitas belum ada. Jadi toleransi terhadap respon pengobatan yang bersifat individual sebaiknya menjadi panduan bagi praktisi. Pada tahap akut sebaiknya hindari pekerjaan yang mengharuskan gerak leher berlebihan. Pemberian edukasi mengenai posisi leher yang benar sangatlah membantu untuk menghindari iritasi radiks saraf lebih jauh. Seperti contohnya : penggunaan telepon dengan posisi leher menekuk dapat dikurangi dengan menggunakan headset, menghindari penggunaan kacamata bifokal dengan ekstensi leher yang berlebihan, posisi tidur yang salah. Saat menonton pertandingan pada lapangan terbuka, maupun layar lebar sebaiknya menghindari tempat duduk yang menyebabkan kepala menoleh/berotasi ke sisi lesi. 4. Penggunaan collar brace Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi gerak leher. Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang lebih banyak dibandingkan kolar lunak (soft collars ), kecuali pada gerak fleksi dan ekstensi. Kelebihan kolar lunak : memberikan kenyamanan yang lebih pada pasien. Pada salah satu studi menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pasien untuk menggunakan kolar berkisar 68-72%. Penggunaan kolar sebaiknya selama mungkin sepanjang hari. Setelah gejala membaik, kolar dapat digunakan hanya pada keadaan khusus , seperti saat menyetir kendaraan dan dapat tidak digunakan lagi bila gejala sudah menghilang. Sangatlah sulit untuk menyatakan waktu yang tepat kolar tidak perlu digunakan lagi, namun dengan berpatokan : hilangnya rasa nyeri, hilangnya tanda spurling dan perbaikan defisit motorik dapat dijadikan sebagai petunjuk. 5. Modalitas terapi lain Termoterapi dapat digunakan untuk membantu menghilangkan nyeri. Modalitas terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat traksi servikal untuk relaksasi otot. Kompres dingin dapat diberikan selama 15-30 menit, 1 sampai 4 kali sehari, atau kompres panas /pemanasan selama 30 menit , 2 sampai 3 kali sehari jika dengan

kompres dingin/pendinginan tidak efektif. Pilihan antara

modalitas panas atau dingin sangatlah pragmatik tergantung pada persepsi pasien terhadap pengurangan nyeri.

Traksi leher merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan meskipun efektifitasnya belum dibuktikan dan dapat menimbulkan komplikasi sendi temporomandibular. Ada beberapa jenis traksi, namun yang dapat dilakukan di rumah adalah door traction. Traksi dapat dilakukan 3 kali sehari selama 15 menit , dan dapat dilakukan dengan frekuensi yang lebih sedikit selama 4 sampai 6 minggu. Setelah keluhan nyeri hilang pun traksi masih dapat dianjurkan. Traksi dikontraindikasikan pada pasien dengan spondilosis berat dengan mielopati dan adanya arthritis dengan subluksasi atlanto-aksial. Latihan yang menggerakan leher maupun merangsang nyeri sebaiknya dihindari pada fase akut. Saat nyeri hilang latihan penguatan otot leher isometrik lebih dianjurkan. Penggunaan terapi farmakologik dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan mungkin mengurangi inflamasi di sekitar radiks saraf (meskipun inflamasi sebenarnya tidak pernah dapat dibuktikan di radiks saraf maupun diskus). Jika gejala membaik dengan berbagai modalitas terapi di atas, aktivitas dapat secara progresif ditingkatkan dan terapi dihentikan atau kualitas diturunkan. Jika tidak ada perbaikan atau justru mengalami perburukan sebaiknya dilakukan eksplorasi yang lebih jauh termasuk pemeriksaan MRI dan dipertimbangkan dilakukan intervensi seperti pemberian steroid epidural maupun terapi operatif. Tidak ada patokan sampai berapa lama terapi non-operatif dilanjutkan sebelum tindakan operatif. Defisit neurologis pada herniasi diskus daerah lumbal yang cukup besar dilaporkan bisa terjadi perbaikan tanpa operasi. Mungkin hal ini juga bisa terjadi pada herniasi diskus di servikal.

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN 1. Pola Pemeliharaan dan Persepsi Terhadap Kesehatan Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup pasien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah pasien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, 1995). 2. Pola Nutrisi dan Metabolik

Pada pasien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehariharinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi pasien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas pasien. 3. Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak (Doenges, 1999). 4. Pola Tidur dan Istirahat Semua pasien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur pasien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doenges, 1999). 5. Pola Aktivitas dan latihan Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan pasien menjadi berkurang dan kebutuhan pasien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas pasien terutama pekerjaan pasien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, 1995). 6. Pola Hubungan dan Peran Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena pasien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, 1995). 7. Pola Persepsi Diri Dampak yang timbul pada pasien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, 1995). 8. Pola Perseptual

Pada pasien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, 1995). 9. Pola Seksual & Reproduksi Dampak pada pasien fraktur yaitu, pasien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami pasien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, 1995). 10. Pola Manajemen Koping Stress Pada pasien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh pasien bisa tidak efektif (Ignatavicius, 1995). 11. Pola Nilai dan Keyakinan Untuk pasien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak pasien (Ignatavicius, 1995)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan tulang punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem muskuloskeletal. 2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan ketidakmampuan untuk membersihkan sekret yang menumpuk. 3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (desakan fragmen cedera pada jaringan lunak) ditandai dengan pasien tampak meringis, laporan secara verbal terasa nyeri, perubahan posisi untuk menghindari nyeri. 4. Hipertermi berhubungan dengan respon inflamasi sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh > 37,5° C, akral teraba hangat. 5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot ditandai dengan pasien tidak mampu menggerakkan daerah yang mengalami fraktur, pasien mengeluh nyeri saat menggeser bagian yang fraktur. 6. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan vaskularisasi ditandai dengan oedema ekstremitas, sianosis, perubahan temperatur kulit.

7. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif aibat tindakan pemasangan intubasi/trakeostomi

C. RENCANA INTERVENSI KEPERAWATAN 1. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan tulang punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem muskuloskeletal. NOC Setelah diberikan asuhan keperawatan selam ….x24 jam, klien

NIC Airway management a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan

mampu menunjukan perilaku pola napas efektif, dengn kriteria hasil:

ventilasi b. Lakukan fisioterapi dada bila perlu c. Keluarkan secret dengan batuk dan suctioning

Respiratory status: ventilation, Respiratory status: Airway patency : No. 1.

2. 3

NOC Score Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara napas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspnea. Menunjukkan jalan napas yang paten. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan napas

d. Auskultasi suara napas, catat adanya suara napas tambahan e. Berikan bronkodilator bila perlu f.

Atur

intake

dan

ouput

untuk

mengoptimalkan keseimbangan.

2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan ketidakmampuan untuk membersihkan sekret yang menumpuk. NOC

NIC

setelah diberikan asuhan keperawatan Airway management selam ….x24 jam, klien mampu menunjukan perilaku mencapai bersihan jalan nafas dengan, kriteria

a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi b. Lakukan fisioterapi dada bila perlu

hasil:

c. Keluarkan

secret

dengan

batuk

dan

suctioning Respiratory status: ventilation,

d. Auskultasi suara napas, catat adanya suara

Respiratory status: Airway patency No. 1

NOC

Score

Mendemonstrasikan

napas tambahan e. Berikan bronkodilator bila perlu f. Atur

batuk efektif dan

intake

dan

ouput

untuk

mengoptimalkan keseimbangan.

suara napas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspnea. 2

Menunjukkan

jalan

napas yang paten. 3

Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan napas

3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (desakan fragmen cedera pada jaringan lunak) ditandai dengan pasien tampak meringis, laporan secara verbal terasa nyeri, perubahan posisi untuk menghindari nyeri. NOC

NIC

Setelah diberikan asuhan

Pain Management

keperawatan selama…..x …. jam,

1. Kaji karakteristik nyeri meliputi lokasi,

diharapkan nyeri dapat berkurang

waktu,

dengan kriteria hasil:

pencetus, dan intensitas nyeri 2. Kaji

Pain Control No. 1

kualitas,

faktor-faktor

yang

faktor

dapat

memperburuk nyeri pasien NOC

Pasien

mengenali

onset nyeri. 2

frekuensi,

Pasien dapat mendeskripsikan faktor penyebab.

Score

3. Monitor status TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik 4. Memastikan

pasien

mendapat

terapi

analgesik yang tepat 5. Eliminasi faktor-faktor pencetus nyeri

3

4

6. Ajarkan teknik nonfarmakologi (misalnya

Pasien menerapkan teknik manajemen

teknik relaksasi, guided imagery, terapi

nyeri non

musik,

farmakologis.

digunakan saat nyeri timbul.

Pasien menggunakan

dan

distraksi)

yang

dapat

7. Berikan dukungan selama pengobatan

analgesik sesuai

nyeri berlangsung

rekomendasi.

8. Kolaborasi pemberian analgetik

Pain Level No. 1

NOC

Score

Pasien tidak melaporkan adanya nyeri

2

Ekspresi wajah terhadap nyeri

3

Diaphoresis

4

RR

dalam

normal

batas (16-20

kali/menit) 5

Nadi dalam batas normal (60-100 kali/menit)

6

Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg)

4. Hipertermi berhubungan dengan respon inflamasi sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh > 37,5° C, akral teraba hangat. NOC

NIC

Setelah diberikan asuhan

Fever Treatment

keperawatan selama … x … jam,

1. Monitor suhu tubuh, tekanan darah,

diharapkan suhu pasien dalam batas

denyut nadi, dan respirasi rate secara

normal dengan kriteria hasil :

berkala. 2. Berikan kompres hangat.

Thermoregulation

3. Anjurkan pasien untuk mempertahankan asupan cairan adekuat.

No. 1

NOC Suhu

tubuh

Score pasien

4. Kolaborasi pemberian obat antipiretik sesuai indikasi.

normal (36-37±0,5˚C) 2

Melaporkan

rasa

nyaman 3

Tidak menggigil

Vital Signs No.

NOC

1

Suhu : 36-37±0,5˚C

2

Nadi: 60-100x/menit

3

RR: 16-20 x/menit

4

TD: 120/80 mmHg

Score

5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot ditandai dengan pasien tidak mampu menggerakkan daerah yang mengalami fraktur, pasien mengeluh nyeri saat menggeser bagian yang fraktur. NOC

NIC Bed Rest care 1. Jelaskan pada pasien tentang kemungkinan asuhan

untuk bed rest selama beberapa waktu.

keperawatan ... x … jam, diharapkan

2. Jaga agar linen tetap bersih dan kering.

kekakuan otot tidak terjadi dengan

3. Bantu pasien dalam melakukan ADL.

kriteria hasil:

4. Bersama pasien batasi gerak bagian tubuh

Setelah

diberikan

tubuh yang mengalami fraktur. No. 1

2

NOC Fleksbilitas sendi

NIC Label >> Exercise promotion 1. Beritahukan pasien mengenai manfaat,

dapat dipertahankan

prosedur dari latihan untuk kesembuhan

Otot tidak mengalami

ekstremitasnya.

atropi 3

Score

2. Kaji kemampuan pasien dalam melakukan

Otot tidak mengalami

aktivitas dan fungsi persendian, otot dan

kontraktur

kekuatan otot pasien. 3. Ajarkan pasien untuk melatih pesendian dan otot (misalnya: gerakan ekstensi dan

fleksi, memutar kemudian relaks

dan

mengkontrasikan otot). 4. Observasi

hasil

dari

latihan

yang

dilakukan (misalnya : pernafasan, nadi, nyeri) 5. Ajarkan pada pasien cara-cara dalam melakukan perubahan posisi (misalnya: dengan

menggeser

keseluruhan

ekstremitas secara bersamaan dan tidak mengangkat ekstremitas tanpa penopang). 6. Dampingi

pasien

dalam

melakukan

pergerakan (misalnya : duduk, berdiri, berjalan

pada

jarak

tertentu

dan

berbaring). 7. Dampingi pasien saat melakukan latihan pasif/aktif pergerakan sendi 8. Anjurkan pasien untuk melakukan latihan ROM 9. Monitoring posisi kesejajaran tubuh 10. Monitoring

posisi

tempat

tidur

dan

ketinggian tempat tidur pasien 11. Monitoring fiksasi eksternal pasien 12. Konsultasikan

pada

physical

therapy

untuk merencanakan aktivitas ambulasi pasien. NIC Label >> Traction/Immobilization Care 1. Pertahankan traksi pada bagian tubuh yang fraktur agar tetap terpasang dengan baik.

6. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan vaskularisasi ditandai dengan oedema ekstremitas, sianosis, perubahan temperatur kulit. NOC Setelah diberikan asuhan keperawatan

NIC Haemodynamic Regulation

selama ….x … jam, diharapkan perfusi jaringan perifer kembali efektif dengan kriteria hasil:

1. Awasi tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/membran mukosa. 2. Kaji untuk respon verbal melambat, mudah teransang agitasi, gangguan memori,

Tissue Perfussion: Peripheral No. 1

NOC

bingung. Score

Tidak ada nekrosis

dingin/lembab.

pada jari-jari. 2

4. Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh

CRT dalam batas

penurunan curah jantung mungkin

normal (kurang dari 3

dibuktikan oleh penurunan perfusi.

detik). 3

3. Pantau pucat, sianosis, kulit

5. Pantau pemeriksaan diagnostik dan

Akral hangat.

laboratorium mis EKG, elektrolit, GDA

Tidak ada sianosis pada kuku kaki ataupun

(Pa O2, Pa CO2 dan saturasi O2) dan

tangan.

pemberian oksigen.

7. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif aibat tindakan pemasangan intubasi/trakeostomi NOC

NIC

Setelah dilakukan asuhan

Infection Control

keperawatan selama .....x … jam

1. Jaga agar barier kulit yang terbuka tidak

diharapkan tidak terjadi infeksi,

terpapar lingkungan dengan cara menutup

dengan kriteria hasil :

dengan kasa steril. 2. Batasi jumlah pengunjung. 3. Ajarkan pasien dan keluarga tekhnik

Infection Severity No.

NOC

1

Tidak ada kemerahan

2

Tidak terjadi hipertermia

3

Tidak ada nyeri

4

Tidak ada pembengkakan

Score

mencuci tangan yang benar. 4. Gunakan sabun anti mikrobial untuk mencuci tangan. 5. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan. 6. Ajarkan pasien dan keluarga untuk menghindari infeksi.

5

7. Ajarkan pada pasien dan keluarga tanda-

Tidak ada drainase purulen

6

tanda infeksi.

WBC dalam batas

8. Kolaborasi pemberian antibiotik bila perlu.

normal

NIC Label >> Infection Protection 1. Monitor tanda dan gejala infeksi

Vital Signs No. 1

sistemik/lokal NOC

Suhu

dalam

Score batas

3. Berikan perawatan kulit.

normal (36,5o – 37oC) 2

4. Inspeksi kulit dan membran mukosa

Tekanan darah dalam

terhadap kemerahan, panas dan drainase

batas normal (120/80 mmHg) 3

Nadi

dalam

batas

normal (60-100 x/mnt) 4

RR dalam batas normal (12-20 x/mnt)

Risk Control No. 1

NOC Pasien mampu menyebutkan faktorfaktor risiko penyebab infeksi

2

Pasien mampu memonitor lingkungan penyebab infeksi

3

Pasien mampu memonitor tingkah laku penyebab infeksi

4

Tidak terjadi paparan saat tindakan keperawatan

5

Keluarga Pasien mampu memonitor efek pengobatan terapeutik

2. Monitor hitung granulosit, WBC

Score

BAB III WEB OF CAUTION (WOC) Cedera Fleksi

Cedera Ekstensi

Cedera Fleksi Rotasi

Cedera kompresi

Fraktur Servikal

C1 – C2

C3 – C5

Kerusakan fungsi atlantooksiptalis

Ketidakmampuan menggerakkan kepala

Kerusakan mobilitas fisik

Kerusakan batang otak

Gangguan regulasi pusat pernapasan

Gangguan ventilasi spontan

Adanya refluks gastrointestinal

Resiko aspirasi Resiko infeksi

C4 – C7

Kerusakan nervus frenikus

Kerusakan tulang servikal

Hilangnya inervasi otot pernapasan aksesori & interkosta

Penjepitan medulla spinalis oleh ligamentum flavum posterior

Penurunan compliance paru

Pola napas tidak efektif

Kebutuhan penggunaan ventilator Pemasangan intubasi / trakeostomi

Kompresi material diskus anterior

C5 – C7

Pengaruh pada otot napas (interkosta, parasternal, scalenus) & otot abdominal (diafragma, trapezius, pectoralis mayor) Pola napas tidak efektif

Stimulasi pelepasan mediator kimia Kerusakan myelin & akson Gangguan saraf sensorik & motorik

Kerusakan mobilitas fisik Kerusakan komunikasi verbal

Ketidakefektifan bersihan jalan napas Imobilisasi lama

Resiko kerusakan integritas kulit

Defisit perawatan diri

DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta : Widya Medika Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016). Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi Bahasa Indonesia Edisi Keenam. Singapore: Elsevier. Black, J.M, et al. 1995. Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company. Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta : EGC. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1999. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta Henderson, M.A. 1992. Ilmu Bedah untuk Perawat. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medika Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). NANDA International INc. Diagnosis Keperawatan : Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC. Hudak and Gallo. 1994. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC. Ignatavicius, Donna D. 1995. Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company. Long, Barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aesculapius. Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Sistem Muskuloskletal. Jakarta : EGC Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing Outcomes Classification (NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan Edisi Bahasa Indonesia Edisi Keenam. Singapore: Elsevier.

Oswari, E. 1993. Bedah dan Perawatannya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Price Sylvia, A. 1994. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Jakarta: EGC Reksoprodjo, Soelarto. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara Tucker,

Susan

Martin.

1998.

Standar

Perawatan

Pasien.

Jakarta

:

EGC

Related Documents

Lp Trauma Kepala.docx
April 2020 1
Lp Trauma Servikal.docx
December 2019 10
Trauma
November 2019 49
Trauma
April 2020 45
Trauma
April 2020 36
Trauma
July 2020 28

More Documents from "api-19916399"

Lp Trauma Servikal.docx
December 2019 10
Maternitas.docx
June 2020 5
Maternitas.docx
December 2019 12