Literature Review Cbt Jadi.docx

  • Uploaded by: AdeIwanDheywand
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Literature Review Cbt Jadi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,743
  • Pages: 18
LITERATURE REVIEW COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY PADA SKIZOFRENIA Program Profesi Ners Angkatan X/Gelombang I Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya

ABSTRAK Skizoprenia merupakan gangguan jiwa yang banyak ditemukan yaitu sekitar 0,2 – 2 % dari populasi di dunia. Angka gangguan jiwa di Indonesia, skizofrenia menempati urutan paling besar yaitu 70 %. Kasus gangguan jiwa yang ditangani di rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia 90% penyakit skizoprenia. Sekitar 75 % penderita skizofrenia mulai mengidap saat usia 16-25 tahun. Pencarian dari beberapa jurnal, terapi skizoprenia dilakukan menggunakan teknik Cognitive Behavior Therapy (CBT). Berdasarkan tingkat keberhasilannya, maka penyusun melakukan study pendahuluan Namun, pada kenyataannya teknik cognitive behaviour therapy jarang digunakan. Maka dari itu, penyusun tertarik untuk membahas literature tentang

cognitive behavior therapy (CBT) pada pasien

skizofrenia. Berdasarkan data tersebut penyusun membuat tinjauan literatur dengan topik Cognitive Behavior Theraphy pada skizoprenia. Metode yang dilakukan dalam penyusunan ini adalah literature review. Hasil dari literatur review menunjukkan bahwa teknik CBT dapat digunakan pada semua pasien skizofrenia.

Kata kunci

: .CBT, skizofrenia

A. Pendahuluan Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik, pada orang yang mengalaminya tidak dapat menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri buruk (Kaplan & Sadock, 1997 dalam Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, 2014).[9] Skizofrenia ditandai dengan gangguan dalam proses berfikir, prilaku dan mempengaruhi. Masalah orang dengan skizofrenia khas, komplek dan heterogen. Skizoprenia merupakan salah satu gangguan jiwa yang paling banyak ditemukan, prevalensi skizofrenia secara umum di dunia 0,2 – 2 % populasi (Moedjiono,2007). Menurut data statistik Direktorat Kesehatan Jiwa, pasien dengan gangguan jiwa tebesar adalah skizofrenia, yaitu 70 % (Depkes, 2003). Kelompok skizofrenia juga menempatai 90 % di rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia (Jalil, 2006). 75 % penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun (Kompas, 2009 dalam jurnal terpadu ilmu kesehatan). Menurut National Association For Mental Health (2012), CBT adalah bentuk terapi bicara yang menggabungkan terapi kognitif dan terapi perilaku. [1]

Terapi yang dapat dilakuakan untuk mengatasi skizofrenia salah satunya adalah CBT. National Association For Mental Health (2012), CBT adalah bentuk terapi bicara yang menggabungkan terapi kognitif dan terapi perilaku. CBT dapat menjadi terapi yang efektif untuk sejumlah masalah, Managemen kemarahan Kecemasan dan serangan panik, Sindrom kelelahan kronis, Nyeri kronis, Depresi, Masalah narkoba tau alkohol, Masalah makan, Masalah kesehatan umum, Perubahan suasana hati, Gangguan obsesive compulsive (OD), Fobia, Gangguan stress pasca trauma, Masalah seksual dan Masalah tidur. Penelitian the joanna briggs institute for nursing dan kebidanan menyatakan dengan menganalisis 20 ACT dan menemukan bukti kuat yang

mendukung efektivitas CBT dalam meningkatkan keseluruhan kondisi mental dan global fungsi klien dengan skizofrenia.[7] Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh A. Bechdolf (2004) didapatkan hasil bahwa pasien yang menerima CBT mengalami secara signifikan kurang rawat inap ulang selama masa tindak lanjut dibandingkan denga pasien dari kelompok PE.[14] Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni S.E (2011) menggunakan metode penelitian Quasi experimental pre-post test control group didapatkan hasil Halusinasi pada skizofrenia menurun secara bermakna pada kelompok yang mendapat CBT (p< 0,05).

Sedangkan pada kelompok yang tidak

mendapat CBT halusinasi menurun secara tidak bermakna (p> 0,05).[5] Berdasarkan uraian diatas cognitive behaviour therapy (CBT) efektif digunakan pada pasien skizofreni. Namun, pada kenyataannya teknik cognitive behaviour therapy jarang digunakan. Maka dari itu, penyusun tertarik untuk membahas literature tentang cognitive behavior therapy (CBT) pada pasien skizofrenia. B. Metode Sistematik review ini merupakan penelitian sekunder dengan menggunakan artikel / jurnal penelitian sebagai sumber data. Dilakukan penilaian kualitas artikel/jurnal dengan mengkaji secara independen artikel tersebut sehingga dapat dikategorikan sebagai sumber data yang relevan atau tidak. Informasi mengenai topik, karakteristik partisipan, intervensi dan hasil juga menjadi catatan. Tiga reviewer menskrining judul dan abstrak, kemudian mengeliminasi artikel yang tidak ada relevansinya. Full text dari semua artikel penelitian yang relevan dilakukan review oleh Tiga reviewer. C. Pencarian Literatur Pencarian artikel dengan menggunakan PROQUEST, EBSCO,dan google scholar dengan menggunakan keywords: Cognitive Behaviour Theraphy For Skizofreni tanpa pembatasan waktu dan metodologi penelitian Hasil pencarian didapatkan 13 jurnal dan 5 artikel yang berkaitan.

D. Hasil Pencarian Proses pencarian artikel dilakukan melalui 3 search engine yang berbeda yaitu PROQUEST 3 jurnal, EBSCO 10 jurnal, google sholar artikel diidentifikasi 5 artikel dan yang relevan untuk dijadikan sebagai referensi. Hasil dari analisis dan sintesis disampaikan di bawah ini : 3 jurnal proquest

18 artikel 10 jurnal ebsco

13 jurnal dan 5 artikel

5 artikel google scholar Skema 1. Seleksi Atikel

E. Hasil Sejarah Cognitive Behavior Therapy (CBT) Sejarah CBT dikatakan dan dimulai oleh Alfred Alder, salah satu penerus dari teori sigmund freud adler tidak setuju dengan ide freud bahwa penyebab emosionalitas manusia adalah “ konflik alam bwah sadar”, dengan alasan bahwa berfikir merupakan faktor yang lebih signifikan. CBT diperkenalkan pada pertengahan tahun 1950an dengan karya Allbert Ellis, seorang psikolog klinis. Ellis awalnya dilatih dalam psiko analisis, kemudian ia menjadi kecewa dengan lambatnya kemajuan kliennya. Dia mengamati bahwa mereka cenderung membaik (kliennya) ketika mereka mengubah cara berfikir tentang diri mereka sendiri, masalah mereka dan dunia. Ellis beralasan bahwa terapy akan maju lebih cepat jika berfokus langsung pada keyakinan klien dan mengembangkan metode yang sekarang dikenal sebagai Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT). Psikoterapy kognitif mayor kedua dikembangkan pada tahun 1960an oleh psikiater Aaronback yang sejalan dengan Ellis yang sebelumnya merupakan psikoanalis. Back menyebutnya pendekatan cognitive therapy (CT).

Sejak karya perintis dari Ellis dan Back, sejumlah pendekatan kognitif lainnya telah dikembangkan sebanyak, cabang dari REBT atau CT. Istilah Cognitive Behaviour Therapy mulai digunakan sekitar awal tahun 1990 awalnya digunakan oleh behavioris untuk menggambarkan terapi perilaku dengan berbagai macam kognitif. Dari tahun ketahun CBT berkembang menjadi istilah umum menyertakan seluruh jajaran psikoterapi kognitif berorintasi. Semua pendekatan ini ditandai dengan pandangan mereka bahwa kognisi adalah kunci yang menentukan faktor-faktor tentang bagai mana manusia merasa dan berprilaku, dan memodifikasi kognisi melalui penggunaan teknik kognitif dan prilaku dapat menyebabkan perubahan produktifitas disfungsional dan prilaku dalam emosi.[11]

Pengertian Cognitive Behavior Therapy (CBT) Menurut National Association For Mental Health (2012), CBT adalah bentuk terapi bicara yang menggabungkan terapi kognitif dan terapi perilaku. [1]

Menurut Williams. C & Garland, A (2002), menyatakan bahwa CBT adalah masalah jangka pendek yang terfokus pada intervensi psikososial.[2] Lau,M.A dalam vion journal (2009) Lau,M.A dalam vion journal (2009) CBT adalah bentuk terapi bicara yang berfokus pada bagaimana pikiran anak tentang diri mereka sendiri, dunia dan lain-lain berhubungan dengan apa yang mereka rasakan dan bagaimana mereka bertindak.[3] Menurut Nichole Fair Brother dalam vion journal (2009), CBT adalah sejenis terapi bicara yang digunakan untuk mengobati masalah psikologis yang berbeda.[3] Menurut Zakiyah (2014) CBT adalah suatu bentuk perawatan psikologis yang berfokus pada pikiran, perasaan, dan perilaku pasien dari perspektif pembelajaran, dan telah terbukti cukup efektif untuk gangguan kecemasan dan depresi.[4]

Jadi, dari beberapa sumber diatas dapat disimpulkan bahwa Cognitive Behavior Therapy (CBT) adalah terapi yang digunakan untuk merubah cara berfikir dan perilaku sehingga klien dapat merubah tingkah laku negative menjadi positif. Tujuan Cognitive Behavior Therapy (CBT), Menurut Lau,M.A dalam vion journal (2009), tujuan dari CBT adalah bahwa setiap orang akan memiliki akses yang sama dan berkualitas tinggi, CBT tidak peduli dimana mereka tinggal.[3] Menurut Hepple, J (2004) dalam CBT bertujuan membantu pasien untuk dapat merubah sistem keyakinan yang negatif, irasional dan mengalami penyimpangan (distorsi) menjadi positif dan rasional sehingga secara bertahap mempunyai reaksi somatik dan perilaku yang lebih sehat dan normal.[5] Menurut Williams. C & Garland, A (2002), tujuan dari BCT adalah untuk mengidentifikasi dan memecahkan setiap masalah kecemasan dan depresi.[2] Menurut Nichole Fair Brother dalam vion journal (2009), satu tujuan penting CBT adalah untuk membantu klien menjadi terapis mereka sendiri.[3] Jadi, dari beberapa sumber diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari CBT adalah untuk mengidentifikasi dan memecahkan setiap masalah serta membantu pasien merubah sistem keyakinan yang negatif menjadi positif, irasional menjadi rasional sehingga setiap orang dapat memiliki akses yang sama dan berkulitas tinggi. Kekurangan Cognitive Behavior Therapy (CBT) Menurut National Association For Mental Health (2012), CBT kurang cocok dilakukan pada seseorng yang merasa bahagia atau tidak memiliki gejala yang mengganggu atau aspek hidup tertentu.[1] Menurut Forsit, A (2008) menyatakan bahwa hambatan layanan CBT bagi pengguna adalah sebagai berikut: membutuhkan waktu yang lama, kekuranagn psikolog dan terapis psikologi dalam pengatuaran rawat inap,[6]

Menurut Salliwal & Chichan (2002) menyatakkan bahwa isu budaya merupakan salah satu hambatan dalam melakukan CBT (pengungkapan verbal, perasaan) untuk menjalin hubungan saling percaya.[7] Indikasi Cognitive Behavior Therapy (CBT) Institut nasional kesehatan dan Clinical exellence (NICE) dalam national associationfor mental health (2012), merekomendasikan CBT melalui NHS untuk gangguan mental yang umum, seperti depresi dan kecemasan.[1] Menurut Michelle Pateterson dalam vion journal (2009), CBT paling banyak digunakan untuk gangguan mood (seperti depresi) dan gangguan kecemasan. Hal ini juga digunakan untuk membantu orang dengan maslah peggunaan narkoba, gangguan kepribadian, gangguan makan, gangguan seksual, dan psikosis.[3] Menurut National Association For Mental Health (2012), CBT dapat menjadi terapi yang efektif untuk sejumlah masalah: 1

Managemen kemarahan

2

Kecemasan dan serangan panik

3

Sindrom kelelahan kronis

4

Nyeri kronis

5

Depresi

6

Masalah narkoba tau alkohol

7

Masalah makan

8

Masalah kesehatan umum

9

Perubahan suasana hati

10 Gangguan obsesive compulsive (OCD) 11 Fobia 12 Gangguan stress pasca trauma 13 Masalah seksual 14 Masalah tidur

Pedoman Pelaksanaan Cognitive Behavior Therapy (CBT) Prinsip dari pelaksanaan CBT yaitu berdasarkan teori Albert Ellis, yaitu:[17] a.

Antecendent (A) yaitu seluruh peristiwa luar yang dialami atau terpapar pada individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupkan antecendent event bagi seseorang.

b.

Belief

(B) yaitu keyakinan, pandangan nilai, atau verbalisasi dari

individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang bisa bersifat rasional ataupun irasional. Keyakinan yang rasional akan membuat seseorang berpikir logis dan mudah diterima akal sehat, sedangkan keyakinan yang irasional akan membuat orang tersebut berpikir tidak logis dan cenderung emosional. c.

Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari (A) tetapi disebabkan oleh keyakinan indivdu (B) terhadap kejadian (A). Albert Ellis menambahkan ketika konsekuensi emosional telah mampu dikenali oleh klien maka pada prakteknya terapis harus melanjutkan dengan mengajarkan cara melawan keyakinan irasional yang terjadi yang disebut dispute (D). Kemampuan melawan (D) keyakinan irasional selanjutnya akan memberikan efek (E) psikologis positif akan terbentuk keyakinan baru yang bersifat rasional. Keyakinan klien yang baru ini akan memberikan kenyamanan emosi sehingga respon perilaku yang dihasilkan akan konstrukstif. Menurut National Association For Mental Health (2012), menyatakan

bahwa CBT cenderung pendek 6 minggu sampai 6 bulan. Seseorang biasanya dilakukan CBT seminggu sekali, setiap sesi berlangsung 50 menit sampai 1 jam.

Berdasarkan Buku Saku Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa, (2013),dalam E-Journal WIDYA Kesehatan dan Lingkungan, pelaksanaan CBT dilakukan melalui 5 sesi, yaitu sebagai berikut: 1

Sesi 1; mengidentifikasi pikiran otomatis yang negatif serta akibat negatif pada perilaku.

2

Sesi 2; penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran negative.

3

Sesi 3; memodifikasi perilaku negatif menjadi positif .

4

Sesi 4; mengevaluasi perkembangan pikiran dan perilaku positif.

5

Sesi 5; menjelaskan pentingnya psikofarmaka dan terapi modalitas untuk mencegah kekambuhan dan mempertahankan serta membudayakan pikiran dan perilaku positif. N

Penggunaan CBT pada pasien Skizofrenia Pengertian Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis berbagai keadaan psikopatologis yang sangat mengganggu, melibatkan proses pikir, emosi, persepsi, dan tingkah laku dengan insidensi pada pria lebih besar daripada wanita (Fadli, S.E & Mitra, 2013).[8] Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik, pada orang yang mengalaminya tidak dapat menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri buruk (Kaplan & Sadock, 1997 dalam Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, 2014).[9] Jadi dari beberapa sumber diatas, dapat disimpulkan bahwa skizofrenia adalah gangguan psikotik kronis yang mengganggu dan melibatkan proses pikir, emosi persepsi, dan tingkah laku sehingga pada orang yang mengalaminya tidak dapat menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri buruk. Tanda dan Gejala Skizofrenia Menurut Caturini, E dan Handayani, S (2014), menyatakan bahwa tanda dan gejala dari skizofrenia yaitu: ketidakmampuan merawat diri, tidak mau bersosialisasi, merasa diri tidak berharga, dan/ atau

menunjukkan afek yang tidak wajar atau tumpul, sehingga menyebabkan tidak berfungsi secara sosial dalam kehidupan sehari-hari.[9] Menurut Bellack & Mueser (1994) dalam Journal of clinical Nursing (2002) skizofrenia ditandai dengan gangguan dalam proses berpikir (waham) dan gangguan dalam berprilaku. Menurut Gelder et all., (1996) ) dalam Journal of clinical Nursing (2002) Gejala positif yaitu delusi halusinasi dan interferensi dengan pemikiran. Sedangkan negetifnya yaitu apatis, kelambatan dan isolasi sosial, kebanyakan klien dengan pengalaan penyakit depresi, pikiran bunuh diri, devisit perawatan diri dan gangguan sosial.[7]

Cognitive Behaviour Therapy pada Skizofrenia CBT bisa menjadi pengobatan pilihan untuk orang yang menderita skizofrenia misalnya ,Tumbul (1996) ) dalam Journal of clinical Nursing (2002) menyatakan bahwa CBT efektif dalam membantu orang-orang dengan delusi dan halusinasi.[7] Kingdom & Turkington (1998) dan Jones et al., (1998) ) dalam Journal of clinical Nursing (2002) menyatakan bahwa hasil jangka panjang menggunakan CBT pada klien dengan Skizofrenia sangat menjanjikan efektif.[7] The Joanna Bringgs Institute For Nursing Bukti Berbasis dan Kebidanan (1999) dalam Journal of clinical Nursing (2002) menganalisis 20 RCT dan menemukan bukti kuat yang mendukung efektifitas CBT dalam meningkatkan keseluruhan kondisi mental dan global fungsi klien dengan skizofrenia.[7] a.

CBT Pada Halusinasi dan Perilku Kekerasan Menurut Wahyuni.,S.E..(2011). dalam Jurnal Keperawatan Indonesia, Berdasarkan hasil penelitian mengatakan bahwa CBT telah terbukti efektif dalam mengurangi gejala skizofrenia khususnya halusinasi dengan hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan peningkatan pelaksanaan cara mengontrol halusinasi yang bermakna

antara kelompok yang mendapat CBT. Namun pada penelitian ini tidak di jelaskan banyaknya sesi yang digunakan dalam pelaksanaan CBT pada pasien Skizofrenia dengan Halusinasi.[10] Berdasarkan

penelitian

yang

dilakukan

oleh

Ketut

Sudiatmika Tahun 2013 Mengenai Efektifitas CBT Dan REBT Terhadap Gejala Dan Kemampuan Mengontrol Emosi Pada Klien Perilaku Kekerasan ditemukan penurunan gejala perilaku kekerasan lebih besar pada klien yang mendapatkan dari pada yang tidak mendapatkan CBT dan REBT (p value < 0.05). Namun pada penelitian ini tidak di jelaskan banyaknya sesi yang digunakan dalam pelaksanaan CBT pada Klien perilaku kekerasan.[12] Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sudiatmika (2011) mengenai Efektifitas CBT Dan REBT Terhadap Klien Dengan Perilaku Kekerasan Dan Halusinasi Di Rumah Sakit DR. H Marzoeki Mahdi Bogor menyatakan bahwa penurunan gejala perilaku kekerasan dan halusi lebih besar pada klien yang mendapatkan dari pada yang tidak mendapatkan CBT dan REBT (p value < 0.0.5). Pada penelitian ini terapi CBT dan REBT pada pelksanaannya dibagi kedalam 5 sesi, dimodifikasi kedalam 8 kali pertemuan yaitu : a.

Pertemuan 1 REBT sesi 1 : identifikasi kejadian dan respon terhadap kejadian.

b.

Pertemuan 2 CBT sesi 1 : mengidentfikasi fikiran dan prilaku negative melawan fikiran negatif

c.

Pertemuan 3 CBT sesi 2 : Melawan fikiran negatif yang kedua.

d.

Pertemuan 4 REBT sesi 2 :

Mengidentifikasi dan melawan

keyakinan irasional serta menerapkan prilaku baru terhadap kejadian 1. e.

Pertemuan 5 REBT sesi 3 : Latihan melawan keyakinan irasional dan menerapkan perilaku terhadap kejadian yan kedua.

f.

Pertemuan 6 CBT sesi 3 : Mengubah prilau negatif.

g.

Pertemuan 7 CBT sesi 4 : Latihan melawan fikiran dan merubah prilaku negatif.

h.

Pertemuan 8 CBT sesi 5 : Mempertahankan fikiran positif prilaku adaftif dan mencegah kekambuhan ; REBT sesi 4 mengevaluasi kemampuan klien dan mencegah kekambuhan.

b.

CBT Pada Waham Model ini berfokus pada penyusunan ulang psikosis sebagai fikiran

yang

terganggu

yang

menunjukan

intervensi

pada

pengalaman. Faktor- faktor keberhasilan CBT untuk waham: 1) Kekuatan kepercayaan 2) Konsekuensi melepaskan kepercayaan 3) Bersama-sama menemukan penjelasan lain 4) Bagaimana penjelasan diberikan 5) Hubungan terapis-pasien c.

CBT Pada Isolasi Sosial Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sri Nyumirah (2012) tentang Peningkatan kemampuan interaksi sosial (kognitif, afektif dan perilaku) melalui penerapan perilaku kognitif di RSJ DR Amino Gundohutomo Semarang menunjukan ada peningkatan kemampuan interaksi sosial (kognitif, afektif dan perilaku) setelah dilakukan penerapan perilaku kognitif(kognitif, afektif dan perilaku) melalui penerapan perilaku

kognitif (REBT (p value < 0.0.5).)

Namun pada penelitian ini tidak di jelaskan banyaknya sesi yang digunakan dalam pelaksanaan CBT pada pasien dengan isolasi sosial.[15] d.

CBT Pada Harga Diri Rendah Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lucy Hariadi (2013) tentang Efektifitas CBT Untuk Meningkatkan Harga Diri Pada Siswa Gifted menunjukan bahwa Cognitive Behaviour Therapy (CBT) didapatkan hasil meningkatkan Harga Diri pada siswa gifted. Namun pada penelitian ini tidak di jelaskan banyaknya sesi yang

digunakan dalam pelaksanaan CBT pada siswa dengan Harga Diri Rendah.[13] Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2011) mengenai pengaruh CBT Dan REBT Terhadap Klien Dengan Perilaku Kekerasan Dan Harga Diri Rendah Di Rumah Sakit DR. H Marzoeki Mahdi Bogor menyatakan bahwa penurunan gejala perilaku kekerasan dan harga diri rendah lebih besar pada klien yang mendapatkan dari pada yang tidak mendapatkan CBT dan REBT (p value < 0.0.5). Pada penelitian ini terapi CBT dan REBT yang dilakukan pada perilaku kekerasan dan harga diri rendah, pelaksanaannya terapi akan dibagi 3 fase yang didalamnya terdapat 5 sesi 1.

Fase 1 fase persiapan kognitif yang terdiri atas 3 sesi : a. Fase persiapan kognitif :bina hubungan saling percaya dan harapan b. Fase persiapan kognitif :memahami tentang perasaan c. Fase persiapan kognitif :fakta lawan opini

2.

Fase 2 belajar model kognitif ACBs terdiri atas sesi 4belajar model kognitif ACBs

3.

Fase 3 belajar model kognitif ACBs terdiri atas sesi 5 latihan model kognitif ACBs

F. Diskusi Cognitive behaviour therapy (CBT) merupakan terapi yang bisa digunakan pada pasien skizofrenia. Menurut National Association For Mental Health (2012), menyatakan bahwa CBT cenderung pendek 6 minggu sampai 6 bulan. Seseorang biasanya dilakukan CBT seminggu sekali, setiap sesi berlangsung 50 menit sampai 1 jam. Prinsip dari pelaksanaan CBT yaitu berdasarkan teori Albert Ellis, yaitu:[17] d.

Antecendent (A) yaitu seluruh peristiwa luar yang dialami atau terpapar pada individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupkan antecendent event bagi seseorang.

e.

Belief

(B) yaitu keyakinan, pandangan nilai, atau verbalisasi dari

individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang bisa bersifat rasional ataupun irasional. Keyakinan yang rasional akan membuat seseorang berpikir logis dan mudah diterima akal sehat, sedangkan keyakinan yang irasional akan membuat orang tersebut berpikir tidak logis dan cenderung emosional. f.

Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari (A) tetapi disebabkan oleh keyakinan indivdu (B) terhadap kejadian (A). Albert Ellis menambahkan ketika konsekuensi emosional telah mampu dikenali oleh klien maka pada prakteknya terapis harus melanjutkan dengan mengajarkan cara melawan keyakinan irasional yang terjadi yang disebut dispute (D). Kemampuan melawan (D) keyakinan irasional selanjutnya akan memberikan efek (E) psikologis positif akan terbentuk keyakinan baru yang bersifat rasional. Keyakinan klien yang baru ini akan memberikan

kenyamanan emosi sehingga respon perilaku yang dihasilkan akan konstrukstif. Pada dasarnaya semua tindakan yang diberikan pada pasien dengan skizofrenia sama, yaitu menerapkan prinsif ABCDE yang dituangkan pada 5 sesi. Respon pasien pada tindakan CBT akan berbeda-beda. Pemberian terapi tambahan dilakukan ketika pasien tidak berespon dengan baik terhadap tindakan CBT. Menurut Buku Saku Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa, (2013),dalam E-Journal WIDYA Kesehatan dan Lingkungan, pelaksanaan CBT dilakukan melalui 5 sesi, yaitu sebagai berikut: 1

Sesi 1; mengidentifikasi pikiran otomatis yang negatif serta akibat negatif pada perilaku.

2

Sesi 2; penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran negative.

3

Sesi 3; memodifikasi perilaku negatif menjadi positif .

4

Sesi 4; mengevaluasi perkembangan pikiran dan perilaku positif.

5

Sesi 5; menjelaskan pentingnya psikofarmaka dan terapi modalitas untuk mencegah kekambuhan dan mempertahankan serta membudayakan pikiran dan perilaku positif. Pada dasarnya pada setiap masalah skizofrenia mempunyai prinsif

yang sama yaitu untuk mengidentifikasi dan memecahkan setiap masalah serta membantu pasien merubah sistem keyakinan yang negatif menjadi positif, irasional menjadi rasional sehingga setiap orang dapat memiliki akses yang sama dan berkulitas tinggi.

G. Kesimpulan Cognitive Behavior Therapy (CBT) adalah terapi yang digunakan untuk merubah cara berfikir dan perilaku sehingga klien dapat merubah tingkah laku negative menjadi positif. Tujuan dari CBT adalah untuk mengidentifikasi dan memecahkan setiap masalah serta membantu pasien merubah sistem keyakinan yang negatif menjadi positif, irasional menjadi rasional sehingga setiap orang dapat memiliki akses yang sama dan berkulitas tinggi. Kekurangan CBT dari beberapa sumber yang didapat, yaitu: -

CBT kurang cocok dilakukan pada seseorng yang merasa bahagia atau tidak memiliki gejala yang mengganggu atau aspek hidup tertentu.[1]

-

membutuhkan waktu yang lama, kekuranagn psikolog dan terapis psikologi dalam pengatuaran rawat inap,[6]

-

budaya merupakan salah satu hambatan dalam melakukan CBT (pengungkapan verbal, perasaan) untuk menjalin hubungan saling percaya.[7] Pada dasarnaya semua tindakan yang diberikan pada pasien dengan

skizofrenia sama, yaitu menerapkan prinsif ABCDE yang dituangkan pada 5 sesi. Respon pasien pada tindakan CBT akan berbeda-beda. Pemberian terapi tambahan dilakukan ketika pasien tidak berespon dengan baik terhadap tindakan CBT.

H. References 1.

National Association For Mental Health. (2012). Making Sense Of Cougnitive Behavior Therapy. www.mind.org

2.

Williams. C & Garland, A .(2002). A cognitive-behavioural therapy assessment model for use in everyday clinical practice. Kemajuan Psychiatric Treatment. 8: p.172-179.

3.

Hamid, S & Balma. (2009). Cognitive- Behavioural Therapy. Visions Journal. 6(1).

4.

Zakiyah. (2014). Pengaruh Dan Efektifitas Cognitive Behavioral Therapy (Cbt) Berbasis Komputer Terhadap Klien Cemas dan Depresi. E-Journal WIDYA Kesehatan Dan Lingkungan. 1(1).

5.

Hepple, J. (2004). Psychotherapies With Older People: An Overview. Advances In Psychiatric Treatment. 10: p.371-377.

6.

Forsit, A. (2008). Implementing Cognitive Behaviour Therapy Skill’s In Adult Acut In Patient Seting. Cognitive Behaviour Therapy. 11(5).

7.

Salliwal & Chichan. (2002). Cognitive Behavioral Therapy For Clients With Schizophrenia: Implications For Mental Health Nursing Practice. Jurnal Of Clinical Nursing. 11: p.214-114.

8.

Fadli, S.E & Mitra. (2013). Knowledge And Family Expressed Emotion And Schizophrenic Patient Relapse Frequency. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 7(10).

9.

Caturini, E & handayani, S. (2014). Pengaruh Cognitive Behavioral Therapy (CBT) Terhadap Perubahan Kecemasan, Mekanisme Koping, Harga Diri Pada Pasien Gangguan Jiwa Dengan Skizofrenia di RSJD Surakarta. Jurnal terpadu ilmu kesehatan. 3(1):p.41-50.

10. Wahyuni, S.E, et.all. (2011). Penurunan halusinasi

pada klien jiwa

melalui cognitive behavior theraphy. Jurnal keperawatan indonesia. 14(3):p.185-192. 11. Froggat, W. (2009). A Brief Introduction To Cognitive-Behaviour Therapy.

12. Sudiatmika, I.K, dkk. (2013). Efektifitas CBT Dan REBT Terhadap Gejala Dan Kemampuan Mengontrol Emosi Pada Klien Perilaku Kekerasan. Jurnal Keprawatan Jiwa. 1(1):p.1-10. 13. Hariadi, L , 2013. Efektifitas CBT Untuk Meningkatkan Harga Diri Pada Siswa Gifted. Kajian Ilmiah Psikologi. 2(1):p.19-23 14. A. Bechdolf , et.all. (2004). A Randomized Comparison of Group Cognitive-Behavioral Therapy and Group Psycoeducation In Patients With Schizophrenia. Acta Psychiar Scond. 110:p.21-28 15. Nyumirah, S. (2013). Peningkatan kemampuan interaksi sosial (kognitif, afektif dan perilaku) melalui penerapan perilaku kognitif di RSJ DR Amino Gundohutomo Semarang. Jurnal keperawatan jiwa.1(1):p.121128 16. Hidayat, E. (2013). Pengaruh CBT Dan REBT Terhadap Klien Dengan Perilaku Kekerasan Dan Harga Diri Rendah Di Rumah Sakit DR. H Marzoeki Mahdi Bogor. FIK UI. Depok 17. Sudiatmika, I.K (2011). Efektivitas cognitive behaviour therapy dan rational emotive behaviour teraphy terhadap klien dengan perilaku kekerasan dan halusinasi di rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. FIK UI. 18. Ambarwati, W.N. (2011). The Effectiveness Of Cognitive Behavioral Therapy As An Addition Therapy At Chronic Schizoprenia Patients In Budi Makarti Rehabilitation Institution In Boyolali.

Related Documents

Literature Review
November 2019 48
Literature Review
June 2020 21
Literature Review
June 2020 24
Literature Review
June 2020 19
Literature Review
May 2020 25

More Documents from ""