Liburan Salah Jurusan

  • Uploaded by: Indonesiana
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Liburan Salah Jurusan as PDF for free.

More details

  • Words: 965
  • Pages: 2
Liburan Salah Jurusan Oleh Prie GS Hati-hati terhadap kegembiraan. Karena siapa tahu, ada ancaman di sebaliknya. Pengalaman kami berikut ini adalah contohnya. Liburan hari besar belum lama ini, adalah hari yang libur yang sudah lama kami incar. Mumpung anak-anak libur sekolah, mumpung pekerjaan sudah bisa dipadatkan, mumpung cuaca sedang cerah, dan mumpung rezeki juga sedang melimpah. Aneh, sekali, semuanya seperti sedang mumpung. Serba dimudahkan, dilancarkan dan kami sekeluarga seperti diberkati. Liburan penuh berkah, begitulah keyakinan kami. Di malam harinya, anak-anak sudah keburu ingin melihat pagi. Bahkan di malam hari, istri tinggal mendata seluruh persiapan, karena semua logistik itu telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Saya sendiri, meskipun telah menjadi seorang bapak, tetap saja belum terbebas dari penyakit anak-anak. Berlibur, melihat sawah berhamparan, dingin hawa gunung, awan-awan yang tampak rendah berkejaran, wahai.... Pendek kata, malam itu, kami sekeluarga, menjadi kanak-kanak bersama oleh sebuah kegembiraan. Pagi hari pun tiba. Semua bangun tepat pada waktunya. Luar biasa memang sihir suka-cita ini. Ia bisa membentuk alarm dalam tidur kita. Kegembiraan itu akan membangunkan kita tepat pada waktunya. Begitu juga dengan dua anak saya, si SD dan si TK yang di pagi buta telah dibangunkan oleh sebuah refleks gaib, telah begitu bersemangat, bernyanyi, meracau dan membuat kegaduhan yang indah. Pendek kata, persiapan liburan ini seperti berjalan terlalu sempurna. Hingga, akhirnya kami berangkat, istri menemani saya di depan, dan ana-anak di belakang. Oya, tak lupa sebagai sopan-santun, kami juga berpamitan pada tetangga kanan-kiri, bahwa kami akan pergi barang beberapa hari. Titip rumah, titip keamanan. Kami adalah sekeluarga kuno, yang amat percaya, bahwa sebaik-baik pagar rumah, adalah kebaikan tetangga. Maka kepada mereka kami harus tahu diri. Oya, satu lagi, saudara terdekat pun, harus disambangi, apalagi jika rumahnya terlewati oleh rute kami. Dalam kegembiraan, manusia tak boleh terlihat serampangan. Tak boleh lupa saudara, meksipun hanya untuk sekadar berpamitan. Karena melintas di rumah saudara, tak baik jika cuma pamit secara gampangan. Harus turun, sedikit berbincang, kalau perlu malah minta tambahan bekal penganan, sebagai tanda keakraban. Karena orang tuanya pada turun, anak-anak pun ikut berhamburan. Ketika orang tua pada asyik beribincang, anak-anak asyik mencari permainan. Kebetulan di rumah saudara ini, ada sejenis pohon perdu, dengan buah yang lebat sekali, memikat hati. Kepada buah inilah anak-anak kami berkonsentrasi. Singkat cerita, kami meneruskan perjalanan kembali, dengan buah-buah perdu sebesar biji kopi itu tetap menyartai menjadi mainan anak-anak kami. Di perjalanan kami kembali tertawa dan bernyanyi. Si Sulung terus menatap ke luar jendela dan berdeklamasi, membayangkan awan-awan dan peri gaib. Si TK yang semula juga gaduh setengah mati, tiba-tiba saja mulai pendiam. Kami menggodanya. Tapi diamnya lama-lama makin kentara. Kami terus meledeknya, tapi lama-lama ada yang tak biasa. Dari diam, anak ini malah kelihatan pucat, panik dan akhirnya menangis. Kami baru kaget, ada apa! Ia tak menjawab dan hanya meremas-remas hidungnya. Kami belum mengerti, sampai si Sulung memberi tahu, bahwa sejak tadi adik memainkan buah perdu segede kopi itu ke lubang hidungnya. Istri segera terhenyak dari tempat duduknya, saya spontan

menginjak rem untuk menepi. ''Periksa!'' bentak saya pada istri. Sambil tergobopoh-gopoh, istri segara mengontrol hidung si bungsu dan tampaklah buah celaka itu sudah melesak begitu dalamnya. Tanpa setahu kami, sejak tadi ternyata bocah ini telah dipanggang kepanikannnya sendiri dengan mengatasi buah di hidungnya, yang hasilnya justru membuat buah itu makin melesak jauh ke dalam. Saya lemas seketika. Belum genap satu jam perjalanan, tapi piknik ini telah berubah menjadi petaka. ''Rumah sakit!'' kata saya tanpa mau mengambil risiko lebih lama. Bukan main, mulai dari mencari tempat parkir, membeli karcis, mendaftar, menunggu dokter, dan melihat si kecil yang mulai didera rasa sakit, adalah sebuah ketegangan yang tak pernah saya bayangkan. Lama, bertele-tele, tegang, ngeri dan lelah. Bahkan rumah sakit besar ini pun tak banyak daya, karena jam sakit kami tanggung datangnya. Dokter spesialis THT belum ada, masih 4-5 jam lagi baru buka. Dan sang dokter umum itu, dengan segenap keterbatasan peralatan tampak tengah berkompromi dengan perawat di sebelahnya. ''Dokter, diambil pakai penjepit kertas saja. Dulu kami pernah melakukannya,'' kata sang perawat, dari balik ruang, yang kami jelas mendengarnya. Kami mendengar pula, betapa sang dokter itu dililit oleh perasaan ragu. Keraguan yang segera terbukti, karena begitu alat penjepit itu diuji coba, ketika seluruh kekuatan kami gabungkan untuk memegangi kepala si bungsu ini agar tidak bergerak, hasilnya malah mendebarkan hati. Si bocah ini menangis sekuat yang dia bisa lantaran kesakitan, dan si buah celaka yang semula maish tampak sisinya itu malah sudah melesak dengan sempurna. Tulang-beluluang kami sudah terasa dilolosi, istri sudah pucat pasi dan saya bersepakat untuk menghentikan aksi spekulasi dari dokter yang panik ini. Sebagai gantinya, kami harus pindah rumah sakit, rumah sakit terbesar di kota kami, tapi sekaligus rumah sakit paling rumit, dan paling ingin kami hindari karena kerepotan administrasinya. Tapi hanya inilah, rumah sakit yang di sembarang jam menyediakan dokter spesialis. Maka sudahlah, si anak sudah kehilangan semua kegembiraannya, dan kami semua sudah mabuk bersama-sama. Kami hanya bisa menyerah. Sudah menjelang tengah hari. Matahari sudah di ubun-ubun dan ketika matahari condong ke barat, surat-surat itu rampung, dan ketika benar-benar hari sudah sore, anak kami baru masuk ke bangsal perawatan. Itupun dengan ketegangan yang makin meninggi karena dokter yang memeriksa hidung si bocah langsung geleng-geleng kepala. ''Sama sekali tak kelihatan,'' katanya. Dan hebatnya lagi, sang dokter ini juga malah minta doa untuk keberhasilannya. Maka dengan pasrah hidup dan mati, rela melihat anak kesakitan untuk yang kesekian kali, kepala anak itu kami pegangi ramai-ramai kembali. ''Jangan bergerak sedikitpun!'' pinta sang dokter. Saya tidak ingin mengulang detailnya, bagaimana beberapa tusukan besi harus masuk ke hidung anak saya, tapi yang jelas, perdu celaka itu berhasil dientaskan dan kami simpan sebagai cendera mata hingga kini. Ketika hidung anak saya sudah kembali berlubang dengan sempurna, senja telah tiba. Piknik celaka ini kami ganti dengan langsung kembali ke rumah membatalkan semua rencana. Mensyukuri satu lubang hidung yang kembali terbuka, ternyata bisa lebih berarti ketimbang liburan sebulan penuh!

Related Documents

Liburan Salah Jurusan
November 2019 33
Doa Yang Salah Jurusan
November 2019 36
Doa Salah Jurusan
November 2019 31
Salah
June 2020 18
Liburan Seru.docx
June 2020 18
Booklet Liburan
August 2019 29

More Documents from "Ghazi Muhammad"

Teman Masa Kecilku
November 2019 40
Diplomasi Kopiah
November 2019 37
Buatan Indonesia
November 2019 53
Nasihat Dari Cd Porno
November 2019 40
Andai Aku Engkau Percayai
November 2019 43