LEARNING ISSUE
KEJANG DEMAM Definisi Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Penjelasan Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan - 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.
Klasifikasi 1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure) 2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang Demam Sederhana Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.
Kejang Demam Kompleks Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini: 1. Kejang lama > 15 menit 2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial 3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Penjelasan
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi Lumbal Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada: 1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan 2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan 3. Bayi > 18 bulan tidak rutin Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. Elektroensefalografi Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal. Pencitraan Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti: 1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis) 2. Paresis nervus VI 3. Papiledema
Prognosis Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal. Kemungkinan mengalami kematian Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Kemungkinan berulangnya kejang demam Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah : 1. Riwayat kejang demam dalam keluarga 2. Usia kurang dari 12 bulan 3. Temperatur yang rendah saat kejang 4. Cepatnya kejang setelah demam Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama. Faktor Resiko Terjadinya Epilepsi Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor resiko menjadi epilepsi adalah : 1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama. 2. Kejang demam kompleks 3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4%6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam. Penatalaksanaan saat kejang Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya. Pemberian obat pada saat demam Antipiretik Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 –15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali ,3-4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan. Antikonvulsan Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 C. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.
Pemberian obat rumatan Indikasi pemberian obat rumatan Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu): 1. Kejang lama > 15 menit 2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus. 3. Kejang fokal 4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila: Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan. Kejang demam ≥ 4 kali per tahun. Penjelasan : Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi pengobatan rumat Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumat Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis. Lama pengobatan rumat Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Edukasi pada orang tua Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :
Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik. Memberitahukan cara penanganan kejang. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek samping obat.
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang 1. Tetap tenang dan tidak panik 2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher 3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut. 4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang. 5. Tetap bersama pasien selama kejang. 6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti. 7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih. Vaksinasi Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi sedangkan setelah vaksinasi MMR 25-34 per 100.000. Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.
Sumber : IDAI-Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam
TONSILOFARINGITIS Pengertian Radang pada tenggorokan yang terletak dibagian faring dan tonsil. Radang faring pada anak hampir selalu melibatkan organ sekitarnya sehingga infeksi pada faring juga mengenai tonsil sehingga disebut sebagai tonsilofaringitis dan kadang dikenal dengan sebutan radang tenggorokan (Ngastiyah, 2005). Tonsilofaringitis akut Faringitis akut dan tonsilitis akut yang ditemukan bersama-sama (Efiaty, 2002). Tonsilofaringitis adalah infeksi (virus atau bakteri) dan inflamasi pada tonsil dan faring (Muscari, 2005). Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tonsilofaringitis merupakan peradangan pada faring atau tonsil ataupun keduanya yang disebabkan oleh bakteri dan juga oleh virus. Etiologi Tonsilofaringitis Menurut Suardi (2010) berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis sebagai manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus merupakan etiologi terbanyak terjadinya faringitis akut, terutama pada anak berusia ≤ 3 tahun (prasekolah). Streptococcus beta hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab terbanyak faringitis / tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15 – 30% dari penyebab faringitis akut pada anak. Mikroorganisme penyebab tonsilofaringitis adalah: 1. Bakteri Streptococcus, sering merupakan komplikasi dari penyakit virus lainnya seperti morbili dan varisella atau komplikasi penyakit kuman lain seperti pertusis atau pneumonia dan pneumococcus. Streptococcus lebih banyak pada anak-anak dan bersifat progresif resistensi terhadap pengobatan dan sering menimbulkan komplikasi seperti abses paru, empiema, tension pneumotoraks. 2. Virus Lebih dari 200 virus dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan bagian atas, diantaranya adalah : o
Rhinovirus adalah salah satu jenis virus yang paling sering menjadi penyebab infeksi pada saluran pernapasan bagian atas. Meskipun pasien mendapat
o
immunitas terhadap serotipe virus akan tetapi lebih dari 100 serotipe virus telah dikenali. Meningkatkan immunitas terhadap semua rhinovirus membutuhkan waktu yang lama Syncytial sering dimulai pada bayi menyerang sistim pernapasan bagian atas kemudian menginvasi saluran penapasan bagian bawah. Pada anak yang lebih tua dan orang dewasa secara alami yang terinfeksi virus syncytial biasanya mempunyai gejala pernapasan yang khas yang mungkin berakhir 2 minggu. Masa inkubasi virus 2-7 hari setelah pajanan dan berlanjut hingga 2 minggu.
Manifestasi Klinis Tonsilofaringitis Gejala faringitis yang khas akibat bakteri Streptococcus berupa nyeri tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanya dikeluhkan oleh anak berusia diatas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain itu juga didapatkan demam yang dapat mencapai suhu 400 C, beberapa jam kemudian terdapat nyeri tenggorokan. Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus (Suardi, 2010). Pada pemeriksaan fisik, tidak semua klien tonsilofaringitis akut Streptococcus menunjukkan tanda infeksi Streptococcus, yaitu eritema pada tonsil dan faring yang disertai dengan pembesaran tonsil. Tonsilofaringitis akut Streptococcus sangat mungkin jika dijumpai tanda dan gejala sebagai berikut: 1. Awitan akut, disertai mual dan muntah. 2. Terdapat nyeri pada tenggorokan 3. Nyeri ketika menelan 4. Kadang disertai otalgia (sakit telinga) 5. Demam tinggi 6. Anoreksia 7. Malaise 8. Kelenjar limfa leher membengkak 9. Pada pemeriksaan tenggorokan ditemukan faring yang hiperemi, pembesaran tonsil disertai hiperemia, kadang didapatkan bercak kuning keabu-abuan yang dapat meluas membentuk seperti membran. Bercak menutupi kripta dan terdiri dari leukosit, sel epitel yang sudah mati dan kuman patogen (Ngastiyah, 2005). Pada tonsilofaringitis akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus di palatum mole dan dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit dibedakan dengan eksudat pada tonsilofaringitis akibat Stretococcus. Gejala yang timbul dapat menghilang selama 24 jam, berlangsung 4 – 10 hari (Suardi, 2010)
Patofisiologi Tonsilofaringitis Bakteri dan virus masuk dalam tubuh melalui saluran nafas bagian atas akan menyebabkan infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar melalui sistem limfa ke tonsil. Adanya bakteri dan virus patogen pada tonsil menyebabkan terjadinya proses inflamasi dan infeksi sehingga tonsil membesar dan dapat menghambat keluar masuknya udara. Infeksi juga dapat mengakibatkan kemerahan dan edema pada faring serta ditemukannya eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil sehingga menyebabkan timbulnya sakit tenggorokan, nyeri telan, demam tinggi dan bau mulut serta otalgia. Faringitis Streptococcus beta hemolitikus grup A (SBHGA) adalah infeksi akut orofaring dan atau nasofaring oleh SBHGA. Penyebaran SBHGA memerlukan penjamu yang rentan dan difasilitasi dengan kontak yang erat. Infeksi jarang terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun, mungkin karena kurang kuatnya SBHGA melekat pada selsel epitel. Infeksi pada toddlers paling sering melibatkan nasofaring. Remaja biasanya telah mengalami kontak dengan organisme beberapa kali sehingga terbentuk kekebalan, oleh karena itu infeksi SBHGA lebih jarng pada kelompok ini. Faringitis akut jarang disebabkan oleh bakteri, diantara penyebab bakteri tersebut, SBHGA merupakan penyebab terbanyak. Streptococcus grup C dan D telah terbukti dapat menyebabkan epidemi faringitis akut, sering berkaitan dengan makanan dan air yang terkontaminasi. Pada beberapa kasus dapat menyebabkan glomerulonefritis akut (GNA). Organisme ini lebih sering terjadi pada usia dewasa. Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvaasi mukosa faring yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya adalah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil, dan keduanya. Infeksi Streptococcus ditandai dengan invasi lokal serta pelepasan toksin ekstraseluler dan protease. Transmisi dari virus yang khusus dan SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan sekret hidung dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek yaitu 24 – 72 jam (Suardi, 2010).
Komplikasi Tonsilofaringitis Menurut Mansjoer (2001) komplikasi yang bisa timbul akibat penyakit tonsilofaringitis yang tidak tertangani secara baik adalah :
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Otitis media akut Abses peritonsil Toksemia Bronkitis Miokarditis Artritis
Pemeriksaan Penunjang Tonsilofaringitis Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa tonsilofaringitis akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi : 1. Leukosit : terjadi peningkatan 2. Hemoglobin : terjadi penurunan 3. Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas obat
Penatalaksanaan Tonsilofaringitis Penanganan pada anak dengan tonsilofaringitis akut adalah : o o o o o o o o
Penatalaksanaan medis antibiotik baik injeksi maupun oral seperti cefotaxim, penisilin, amoksisilin, eritromisin dll antipiretik untuk menurunkan demam seperti parasetamol, ibuprofen. analgesik Penatalaksanaan keperawatan kompres dengan air hangat istirahat yang cukup pemberian cairan adekuat, perbanyak minum hangat kumur dengan air hangat pemberian diit cair atau lunak sesuai kondisi pasien
Berikut adalah sistem skor yaitu streptokokus skor/ centor skor yang dapat dipakai sebagai panduan untuk mengenali tonsilofaringitis yang ditemui perlu diberikan antibiotic atau tidak : 5 komponen yang akan dinilai : Interpretation (Clinic and ER probability)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Based on original criteria above Score 0: Streptococcus probability 1% (3% in ER) Score 1: Streptococcus probability 4% (8% in ER) Score 2: Streptococcus probability 9% (18% in ER) Score 3: Streptococcus probability 21% (38% in ER) Score 4: Streptococcus probability 43% (63% in ER)
Approach: Clinical Suspicion based on Strep Score 1. Strep Score 4 (or Strep Score 2 if patient unreliable) Treat with antibiotics 2. Strep Score 2 to 3: Perform rapid antigen test (hasil meragukan) Antigen test positive: Treat with antibiotics Antigen test negative: Throat Culture 3. Strep Score 0 to 1 Provide Pharyngitis Symptomatic Treatment
Jika tidak ada indikasi untuk pemberian antibiotik maka cukup dengan mengobati gejala, seperti pemerian paracetamol untuk mengurangi demam dan keluhan sakti-sakit badan. Minum yang banyak juga sangat dianjurkan karena pada saat demam tubuh kita kehilangan banyak cairan
Referensi / Daftar Pustaka Ngastiyah, Setiawan. (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC. Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. (2001). Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Muscari, Mary E. (2005). Panduan Belajar: Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC. Suardi, Adi Utomo, dkk. (2010). Buku Ajar: Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan penerbit IDAI.
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS PADA ANAK Pemeriksaan fisik pada anak dilakukan dilakukan dengan urutan sebagai berikut : 1. Inspeksi Pada inspeksi, dilakukan pengamatan pada pasien dengan tidak memegang atau memberikan rangsangan apapun. Yang diperhatikan adalah adanya malformasi, luka trauma fisik, atau adanya kejang. 2. Penilaian tingkat kesadaran Pemeriksaan dilakukan dengan membangunkan pasien dengan meletakkan ibu jari dan telunjuk di daerah dada dan menggoyangnya dengan lembut. Pasien yang sadar akan bangun, membuka mata, mengerutkan muka, menangis dan menggerakkan anggota geraknya. Penilaian tingkat kesadaran dilakukan dengan menggunakan Pediatric Glasgow Coma Scales sebagai berikut :
3. Pemeriksaan kepala Pemeriksaan meliputi perabaan ubun-ubun besar dan sutura secara lembut. Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan bayi tenang, dengan menggunakan 1 atau 2 jari. Kemudian ditentukan ukuran dan ketegangannya. 4. Pemeriksaan saraf otak
Pemeriksaan saraf otak pada bayi dan neonatus agak berbeda pada anak besar dengan dewasa. Pemeriksaan tidak harus berurutan, tetapi mana yang lebih dulu dapat diperiksa. Pemeriksaan NVII Dengan melihat pasien dalam keadaan bangun dapat dilihat kerutan muka tangisan dan sudut mulutnya untuk menilai NVII (Nervus fasialis). Interpretasinya adalah : - Parese NVII (sentral) bila : Mulut mencong ke sisi yang sehat, lipatan nasolabialis menghilang. - Parese NVII (perifer) bila : kelopak mata tidak dapat menutup. Pemeriksaan NIX dan NXII Pada waktu bayi menangis dan mulut terbuka lebar, dapat dinilai lidah dan langit-langit utnuk menilai keadaan NIX dan NXII. Interpretasinya adalah : - Parese NIX bila : Arcus faring tertinggal di sisi yang parese, uvula mencong ke sisi yang parese - Parese NXII bila : Lidah mencong ke sisi yang parese Pemeriksaan NV, NVII, NXII : Pemeriksaan refleks rooting dan sucking Pemeriksaan refleks rooting pada bayi dilakukan dengan menyentuhkan ujung jari ke sudut mulut . Reaksi positif bila bayi tampak menengok e arah rangsangan dan berusaha memasukkan ujung jari tersebut ke dalam mulutnya. Pemeriksaan refleks sucking (isap) dilakukan dengan memasukkan ujung jari ke mulut bayi sedalam 3 cm. Refleks isap positif bila bayi tampak mengisap ujung jari tersebut. Refleks muncul sempurna pada bayi dengan usia kehamilan 32 minggu atau lebih. Pemeriksaa NIX dan NX : Pemeriksaan Refleks menelan Pemeriksaan NIII,NIV, dan NVI dan : Dolls eye manuever dilakukan dengan memutar kepala pasien ke kiri dan ke kanan untuk menilai gerakan bola mata ke lateral. Reaksi positif bila terjadi deviasi mata ke sisi berlawanan (kontralatera). Bisa juga digunakan untuk memeriksa NVIII bagian vestibular. Pemeriksaan NVIII bagian pendengaran Pemeriksaan ini sukar dilakukan secara obyektif tetapi dapat dilakukan dengan melihat apabila bayi tampak kaget, berkedip atau menghentikan aktivitasnya bila mendengar suara yang keras, dapat dikatakan fungsi pendengaran baik. Pemeriksaan NIII : Reaksi pupil terhadap cahaya Otot polos yang menyebabkan konstriksi (miosis) pupil (m. constrictor pupilae) dipersarafi oleh bagian parasimpatis dari NIII, sedangkan otot yang melebarkan pupil (m.dilator pupilae) dipersarafi oleh serabut simpatis dari segmen thoracolumbal. Midriasis dapat merupakan gambaran parese NIII, atau akibat obat-obat simpatomimetik seperti homatropin dan extract belladona. Pemeriksaan NI, NII dan NXI Pemeriksaan ini sukar dilakukan pada neonatus. Pemeriksaan NI : Pemeriksaan dilakukan setelah dipastikan bahwa di hidung tidak terdapat sumbatan atau kelainan. Dengan menggunakan bahan-bahan yang beraroma
khas dan dikenal oleh pasien tetapi tidak merangsang mukosa hidung. Misalnya : kopi,tembakau, teh, jeruk, dan lain-lain. Pasien diminta menebak dengan mata tertutup, zat pengetes yang digunakan. Pemeriksaan dilakukan pada satu per satu lubang hidung, dengan menutup hidung sisi lainnya Pemeriksaan NII : Pada bayi dapat dilakukan dengan tes dengan cahaya terang atau benda berwarna mencolok yang diletakkan di depan pasien. Penglihatan normal apabila bayi tampak berkedip atau menutup mata, dan bila cahaya digerakkan ke suatu arah, maka bola mata akan bergerak ke arah cahaya. Pada anak besar dan dewasa, pemeriksaan NII dilakukan dengan tes lapang pandang dan tajam penglihatan. Pemeriksaan NXI : NXI hanya mengandung serabut motorik. Intinya hanya berhubungan dengan satu sisi kortex yaitu sisi kontralateral. NXI mempersarafi m.sternokleidomastoideus dan m.trapezius. Menilai m.sternokleidomastoideus yaitu dengan cara pasien disusruh menolehkan kepala, kemudian pemeriksa menahannya untuk menilai tenaganya. Menilai m. trapezius, pasien disuruh mengangkat bahu dan pemeriksa menahan untuk menilai tenaganya.
5. Tanda rangsang meningeal Dilakukan dengan perasat antara lain kaku kuduk, BRudzinski I, Brudzinski II, dan tanda Kernig Kaku kuduk positif bila leher ditekuk secara pasif dan timbul tahanan sehingga dagu tidak dapat menempel di dada. Brudzinski I, positif bila pada pemeriksaan kaku kuduk ekstremitas bawah fleksi. Brudzinski II, positif bilafleksi pada sendi panggul secara pasif akan diikuti fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut. 6. Pemeriksaan motorik Pemeriksaan motorik meliputi penilaian secara inspeksi, palpasi, pemeriksaan gerakan aktif dan gerakan pasif, serta koordinasi gerakan. Pada bayi dan anak pemeriksaan yang penting adalah pemeriksaan kekuatan otot dan tonus otot. Kekuatan otot Dalam praktek sehari-hari, kekuatan otot dinilai dengan menggunakan angka dari 05. Angka 0 berarti lumpuh sama sekali dan angka 5 = normal, dengan gradasi sebagai berikut : 0 : tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total 1 : Terdapat sedikit gerakan otot, namun tidak didapatkan gerakan pada persendian 2 : Didapatkan gerakan tetapi tidak mampu melawan gravitasi 3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat 4 : Dapat melawan gaya berat dan dapat menagtasi tahanan yang diberikan
5 : tak ada kelumpuhan (normal) Contohnya : Skor kekuatan 2 bila penderita hanya mampu menggeser tungkainya di tempat tidur tetapi tidak mampu mengangkatnya (melawan gaya berat) Tonus Otot Tonus adalah tahan otot terhadap regangan. Ada 2 macam tonus, yaitu : 1. Tonus fasik Tonus fasik diperiksa dengan menguji tahanan anggota gerak dan aktivitas refleks tendon. Pada neonatus yang predominasi dalam posisi fleksi, normal apabila diluruskan tahanannya minimal dan kemudian akan fleksi kembali. Pada pasien dengan permulaan spastisitas, bila diluruskan akan sukar, dan setelah dilepaskan segera kembali fleksi. Reflex tendon yang selalu ada pada neonatus adalah refleks patela.Cara memeriksanya adalah dengan meletakkan muka di garis tengah, lutut semifleksi, kemudian jari tengah atau telunjuk mengetuk tendon. Normal akan terjadi akstensi tungkai bawah. Klonus dapat diperiksa dengan keadaan panggul dan lutut fleksi, kemudian dilakukan dorsofleksi kaki secara mendadak sambil tungkai diluruskan perlahan-lahan. 2. Tonus postural Tonus postural adalah tahanan terhadap tarikan gaya berat. Ada 3 macam pemeriksaan tonus postural, yaitu reaksi tarikan, suspensi vertikal dan suspensi horizontal. Yang paling sensitif dari ketiganya adalah reaksi tarikan, karena teknik ini dapat dilakuan pada pasien walaupun menggunakan endotrakeal tube. Reaksi tarikan : Letakkan telunjuk di telapak tangan pasien, amaka telunjuk akan digenggam pasien dengan grasp reflex, agar lebih kuat pegangannya maka taqngan pemeriksa ikut memegang tangan pasien, kemudian ditarik perlahan ke posisi duduk. Interpretasinya, normal apabila kepala bayi mengikuti dan hanya tertinggal sedikit. Pada waktu duduk, kepala bayi tegak sejenak lalu jatuh ke depan. Pada waktu ditarik, bayi juga menarik, sehingga posisi bayi selalu dalam keadaan fleksi di siku, lutut dan pergelangan kaki. Suspensi vertikal : Letakkan tangan di ketiak pasien dan tanpa meraa toraks, kemudian bayi diangkat lurus, pada waktu diangkat, pada bayi normal, kepala bayi tegak sebentar dan tungkai tetap fleksi pada panggul, lutut dan pergelangan kaki. Suspensi horizontal, dilakukan dengan memegang thorax pasien, kemudian mengangkat horizontal, maka pada bayi normal, kepala diangkat bergantian dengan fleksi anggota gerak untuk menahan gaya berat. 6. Pemeriksaan Sensibilitas Dalam hubungannya dengan dunia luar , manusia diberikan perangkat yang disebut reseptor untuk mendeteksi setiap perubahan di lingkungan. Reseptor eksteroseptif, berespon terhadap stimulus dari luar termasuk visual, auditoar dan taktil, reseptor propioseptif, menerima informasi tentang posisi bagian tubuh atau tubuh dalam ruangan
sedangkan reseptor interoseptif berespon untuk mendeteksi perubahan dalam kejadian internal,misalnya perubahan tekanan darah. Sistem sensorik somatik menerima inforasi primer dari reseptor eksteroseptif dan propiosptif. Terdapat 4 macam sensasi somatik yaitu sensasi nyeri, sensasi suhu, sensasi sikap dan sensasi tekan. Gangguan sensibilitas dapat terjadi karena gangguan pada reseptor, konduksi saraf, serabut saraf, traktus dan daya persepsi. Pada neonatus sulit dilakukan yang sering dinilai adalah respon terhadap nyeri dan goresan. Dengan melihat refleks wthdrawal. 7. Pemeriksaan Refleks Pada pemeriksaan reflex yang diperiksa adalah : Refleks superfisial yaitu refleks dinding abdomen dan refleks kremaster. Refleks dinding abdomen dilakukan dengan menggores dinding abdomen dengan goresan berbentuk belah ktupat dengan titik sudut di bawah Xiphoid, di atas simpisis dan kirikanan umbilikus. Refleks positif bila umbilicus bergerak ke arah goresan. Mulai muncul pada anak 1 tahun. Refleks kremaster dilakukan dengan menggores kulit paha bagian dalam. Normal testis akan naik ke kanalis inguinalis. Refleks tendon dalam, biasanya yang diperiksa adalah tendon biseps, triseps, patela dan achilles. Refleks patologis Yang sering dilakukan adalah Refleks Babinski, Chaddock. Refleks Babinski dilakukan dengan menggores permukaan plantar kaki dari dekat tumit sampai sisi lateral telapak menyilang ke medial. Positif apabila terjadi akstensi jari kaki diikuti gerakan menyebar jari-jari lainnya. Reflex Chaddock dilakukan dengan menggores bagian lateral dorsum pedis, positif apabila terdapat reaksi seperti refleks babinski . Refleks Neonatal Primer (Refleks Primitif) Terdapat beberapa refles yang ditemukan pada neonatus dan akan menghilang sejalan degan bertambahnya usia. Diantaranya adalah: Reflek Ketuk Glabella : Reflek ini diperiksa dengan mengetuk secara berulang pada dahi. Ketukan akan diterjemahkan sebagai sinyal yang diterima oleh saraf sensori aferen yang akan dipindahkan oleh nervus trigeminal dan sinyal saraf eferen akan kembali ke otot orbicularis oculi melalui saraf facial yang akan menggerakkan reflek pada mata yaitu berkedip. Kedipan mata akan mucul sebagai reaksi terhadap ketukan tersebut namun hanya timbul sekali yaitu pada ketukan pertama. Jika kedipan mata terus berlangsung pada ketukan-ketukan selanjutnya, maka disebut tanda-tanda Myerson, yang merupakan gejala awal penyakit Parkinson, dan hal tersebut tidak normal. Reflek Mata Boneka (Dolls Eye) : Reflek ini diperiksa sebagai salah satu cara untuk menentukan mati batang otak. Jika kepala diputar-putar (ditolehkan ke samping kanan dan kiri) maka bola mata akan bergerak. Namun jika pada pemeriksaan ini bola mata
tetap berhenti atau tidak bergerak sama sekali berarti dimungkinkan ada kematian batang otak. Reflek Rooting : Reflek ini ditunjukkan pada saat kelahiran dan akan membantu proses menyusui. Reflek ini akan mulai terhambat pada usia sekitar empat bulan dan berangsur-angsur akan terbawa di bawah sadar. Seorang bayi baru lahir akan menggerakkan kepalanya menuju sesuatu yang menyentuh pipi atau mulutnya, dan mencari obyek tersebut dengan menggerakkan kepalanya terus-menerus hingga ia berhasil menemukan obyek tersebut. Setelah merespon rangsang ini (jika menyusui, kira-kira selama tiga minggu setelah kelahiran) bayi akan langsung menggerakkan kepalanya lebih cepat dan tepat untuk menemukan obyek tanpa harus mencari-cari. Reflek Sucking : Reflek ini secara umum ada pada semua jenis mamalia dan dimulai sejak lahir. Reflek ini berhubungan dengan rreflek rooting dan menyusui, dan menyebabkan bayi untuk secara langsung mengisap apapun yang disentuhkan di mulutnya. Ada dua tahapan dari reflek ini, yaitu : Tahap expression: dilakukan pada saat puting susu diletakkan diantara bibir bayi dan disentuhkan di permukaan langit-langitnya. Bayi akan secara langsung menekan (mengenyot) puting dengan menggunakan lidah dan langit-langitnya untuk mengeluarkan air susunya. Tahap milking : saat lidah bergerak dari areola menuju puting, mendorong air susu dari payudara ibu untuk ditelan oleh bayi. Reflek tonick neck dan asymmetric tonick neck ini disebut juga posisi menengadah, muncul pada usia satu bulan dan akan menghilang pada sekitar usia lima bulan. Saat kepala bayi digerakkan ke samping, lengan pada sisi tersebut akan lurus dan lengan yang berlawanan akan menekuk (kadang-kadang pergerakan akan sangat halus atau lemah). Jika bayi baru lahir tidak mampu untuk melakukan posisi ini atau jika reflek ini terus menetap hingga lewat usia 6 bulan, bayi dimungkinkan mengalami gangguan pada neuron motorik atas. Berdasarkan penelitian, reflek tonick neck merupakan suatu tanda awal koordinasi mata dan kepala bayi yang akan menyiapkan bayi untuk mencapai gerak sadar. Reflek Palmar Grasping : Reflek ini muncul pada saat kelahiran dan akan menetap hingga usia 5 sampai 6 bulan. Saat sebuah benda diletakkan di tangan bayi dan menyentuh telapak tangannya, maka jari-jari tangan akan menutup dan menggenggam benda tersebut. Genggaman yang ditimbulkan sangat kuat namun tidak dapat diperkirakan, walaupun juga dimungkinkan akan mendorong berat badan bayi, bayi mungkin juga akan menggenggam tiba-tiba dan tanpa rangsangan. Genggaman bayi dapat dikurangi kekuatannya dengan menggosok punggung atau bagian samping tangan bayi. Reflek Plantar : Reflek ini juga disebut reflek plantar grasp, muncul sejak lahir dan berlangsung hingga sekitar satu tahun kelahiran. Reflek plantar ini dapat diperiksa dengan menggosokkan sesuatu di telapan kakinya, maka jari-jari kakinya akan melekuk secara erat. Reflek Babinsky : Reflek babinsky muncul sejak lahir dan berlangsung hingga kira-kira 18 bulan. Reflek ini ditunjukkan pada saat bagian samping telapak kaki digosok, dan
menyebabkan jari-jari kaki menyebar dan jempol kaki ekstensi. Reflek disebabkan oleh kurangnya myelinasi traktus corticospinal pada bayi. Reflek babinsky juga merupakan tanda abnormalitas saraf seperti lesi neuromotorik atas pada orang dewasa. Reflek Galant : Reflek ini juga dikenal sebagai reflek Galant’s infantile, ditemukan oleh seorang neurolog dari Rusia, Johann Susman Galant. Reflek ini muncul sejak lahir dan berlangsung sampai pada usia empat hingga enam bulan. Pada saat kulit di sepanjang sisi punggung bayi digosok, maka bayi akan berayun menuju sisi yang digosok. Jika reflek ini menetap hingga lewat enam bulan, dimungkinkan ada patologis. Reflek Swimming : Reflek ini ditunjukkan pada saat bayi diletakkan di kolam yang berisi air, ia akan mulai mengayuh dan menendang seperti gerakan berenang. Reflek ini akan menghilang pada usia empat sampai enam bulan. Reflek ini berfungsi untuk membantu bayi bertahan jika ia tenggelam. Meskipun bayi akan mulai mengayuh dan menendang seperti berenang, namun meletakkan bayi di air sangat berisiko. Bayi akan menelan banyak air pada saat itu. Disarankan untuk menunda meletakkan bayi di air hingga usia tiga tahun. Reflek Moro : Reflek ini ditemukan oleh seorang pediatri bernama Ernst Moro. Reflek ini muncul sejak lahir, paling kuat pada usia satu bulan dan akan mulai menghilang pada usia dua bulan. Reflek ini terjadi jika kepala bayi tiba-tiba terangkat, suhu tubuh bayi berubah secara drastis atau pada saat bayi dikagetkan oleh suara yang keras. Kaki dan tangan akan melakukan gerakan ekstensi dan lengan akan tersentak ke atas dengan telapak tangan ke atas dan ibu jarinya bergerak fleksi. Singkatnya, kedua lengan akan terangkat dan tangan seperti ingin mencengkeram atau memeluk tubuh dan bayi menangis sangat keras. Reflek ini normalnya akan menghilang pada usia tiga sampai empat bulan, meskipun terkadang akan menetap hingga usia enam bulan. Tidak adanya reflek ini pada kedua sisi tubuh atau bilateral (kanan dan kiri) menandakan adanya kerusakan pada sistem saraf pusat bayi, sementara tidak adanya reflek moro unilateral (pada satu sisi saja) dapat menandakan adanya trauma persalinan seperti fraktur klavikula atau perlukaan pada pleksus brakhialis. Erb’s palsy atau beberapa jenis paralysis kadang juga timbul pada beberapa kasus. Sebuah cara untuk memeriksa keadaan reflek adalah dengan meletakkan bayi secara horizontal dan meluruskan punggungnya dan biarkan kepala bayi turun secara pelan-pelan atau kagetkan bayi dengan suara yang keras dan tiba-tiba. Reflek moro ini akan membantu bayi untuk memeluk ibunya saat ibu menggendong bayinya sepanjang hari. Jika bayi kehilangan keseimbangan, reflek ini akan menyebabkan bayi memeluk ibunya dan bergantung pada tubuh ibunya. Reflek Walking / Stepping : Reflek ini muncul sejak lahir, walaupun bayi tidak dapat menahan berat tubuhnya, namun saat tumit kakinya disentuhkan pada suatu permukaan yang rata, bayi akan terdorong untuk berjalan dengan menempatkan satu kakinya di depan kaki yang lain. Reflek ini akan menghilang sebagai sebuah respon otomatis dan muncul kembali sebagai kebiasaan secara sadar pada sekitar usia delapan bulan hingga satu tahun untuk persiapan kemampuan berjalan.
8. Membedakan spastisitas dengan tonus otot yang meningkat
Spastisitas adalah suatu keadaan dimana terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan refleks Babinski yang positif.Tonus yang meninggi tersebut menetap walaupun pasien dalam keadaan tidur. Peninggian tonus otot tidak merata sehingga tampak sikap yang khas dengan kecenderungan kontraktur. Tonus otot yang meningkat adalah suatu keadaan dimana otot akan menjadi spastis bila dirangsang, reflek otot normal dan refleks babinski negatif.
Kepustakaan : Lumbantobing S. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2006. p 25 – 46 Soetomenggolo TS., Ismael S., Buku Ajar Neurologi Anak, Jakarta : IDAI, 1999