LAPORAN KASUS BEDAH Appendisitis Akut Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Bedah RSUD Ambarawa
Oleh : Anastasia Saskia Ratu-Langie
1710221075
Pembimbing : Dr. Shofia Agung Priyanto Sp.B MSi, Med
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA 2019
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS APENDISITIS AKUT
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah Di RSUD Ambarawa
Disusun Oleh: Anastasia Saskia Ratu-Langie 1710221075
Mengetahui,
Pembimbing
Tanggal
: Dr. Shofia Agung Priyanto Sp.B MSi, Med
:
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis. Appendix merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang berada di perut kanan bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali menimbulkan masalah bagi kesehatan. Peradangan akut Appendix atau Appendicitis acuta menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah1. Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering ditemukan. Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak sebelum usia sekolah. Hampir
1/3 anak dengan Appendicitis acuta mengalami perforasi setelah
dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik, appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan. Diagnosis Appendicitis acuta pada anak kadang-kadang sulit. Hanya 50-70% kasus yang bisa didiagnosis dengan tepat pada saat penilaian awal. Angka appendectomy negatif pada pasien anak berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis Appendicitis2. Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari Appendix yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan syok. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa Appendicitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh dunia 3. Appendicular infiltrat merupakan komplikasi dari Appendicitis acuta yang terjadi bila Appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi dilokalisir atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus4.
3
B. Tujuan Pada laporan kasus ini disajikan kasus ”Seorang Laki-laki dengan Apendisitis akut”. Penyajian kasus ini bertujuan untuk mempelajari lebih dalam tentang cara mendiagnosis dan mengelola penderita dengan penyakit tersebut diatas.
4
BAB II LAPORAN DAN DISKUSI KASUS
II.1 IDENTITAS PASIEN Nama
: Tn.G
Umur
: 30 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status Perkawinan
: belum menikah
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: buruh
Alamat
: Ambarawa
Agama
: Islam
Tanggal masuk RS
: 4 Februari 2019, pukul 19.30
Tanggal keluar
: 10 Februari 2019
II.2 SUBJEKTIF II.2.1 Data Dasar: Diperoleh dari pasien serta keluarga pasien (Aautoanamnesis dan aloanamnesis), dilakukan pada tanggal 8 Februari 2019, pukul 14.00 di bangsal asoka.
II.2.2 Keluhan Utama: Nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS.
II.2.3 Rwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati lalu berpindah ke perut kanan bawah. Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk jarum dan hilang timbul sepanjang hari. Nyeri bertambah parah ketika pasien hendak bangun dari tempat tidur ataupun batuk dan membaik ketika pasien diam dan beristirahat. Pasien merasakan nyeri dengan skala 4 dari 10. Pasien juga mengeluhkan adanya mual dan muntah setelah mulai merasa nyeri. Sejak timbulnya gejala, keluhan pasien juga disertai
5
demam. Tidak ada riwayat penurunan berat badan drastis dalam beberapa bulan terakhir. Pasien menyangkal mengalami sulit atau nyeri saat BAK ataupun gangguan pola BAB, flatus (+).
II.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat trauma dan riwayat penyakit serupa disangkal
II.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dan riwayat penyakit dan keganasan lainnya disangkal.
II.2.6 SOSIAL EKONOMI 1. Pekerjaan
: Buruh
2. Pendidikan
: SMP
II.2.7 Riwayat Pengobatan Pasien mengatakan belum mengkonsumsi obat untuk menghilangkan gejala penyakitnya.
II.3 OBJEKTIF II.3.1 PEMERIKSAAN FISIK 1. Keadaan Umum
: Tampak Sakit Sedang
2. Kesadaran
: Compos Mentis, GCS E4M6V5
3. Tanda Vital a. BB
: 62 kg
b. Heart Rate
: 98 x/menit
c. Respiratory Rate
: 20 x/menit
d. Temperature
: 38,8°C
e. SPO2
: 99% 6
4. Status Generalis
:
a. Kepala
: Mesocephal
b. Mata
: Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
c. Hidung
: Nasal Discharge (-/-), Nafas Cuping Hidung (-/-)
d. Mulut
: Bibir Pucat (-), Bibir Sianosis (-)
e. Telinga
: Discharge (-/-)
f. Leher
: Pembersaran KGB (-)
g. Thoraks
: Dalam Batas Normal
h. Abdomen
:
Inspeksi
: Datar, Darm Contour, (-) Darm Steifung (-), Distensi (-)
Auskultasi
: Bising Usus (+) Normal
Palpasi
: Nyeri tekan titik McBurney (+), nyeri lepas titik McBurney (+),
Rovsing s
ign (+), nyeri lepas indirek (+), defans muskular lokal(+), Psoas sign
(-), Obturator sign (-), hepar dan limpa sulit dinilai karena nyeri
Perkusi
: Timpani (+), Nyeri ketuk kuadran kanan bawah (+)
i. Genitalia : dalam batas normal j. Ekstremitas : Superior
Inferior
Edema
-/-
-/-
Akral hangat
+/+
+/+
Sianosis
-/-
-/-
Anemis
-/-
-/-
Clubbing finger
-/-
-/-
Capillary refill
<2 detik
<2 detik
II.3.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Laboratorium LABORATORIUM DARAH Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Normal
DarahRutin 7
Hemoglobin
12,1
g/dl
10,5-15,6
14,8 (H)
sel/uL
5.000-10.600
Trombosit
340
sel/uL
150.000-440.000
Eritrosit
4,3
sel/uL
3,8juta – 5,8juta
Hematokrit
40,4
%
40-52
MCH
29,1
Pg
27-32
MCV
84,8
fL
82-98
MCHC
34,3
g/dL
32-37
Limfosit
1,60 (L)
103
1,5-6,5
Monosit
0,838 (H)
103
0-0,8
Neutrofil
20,6 (H)
103
1,8-8,0
Eosinofil
0,00
103
0,0-0,6
Basofil
0,068
103
0-0,2
91
mg/dl
74-106
Leukosit
IndeksEritrosit
HitungJenis
Kimia Klinik Glukosasewaktu Serologi HBsAg
Non Reaktif
Non Reaktif
Koagulasi PTT
11,1
detik
9,3-11,4
APTT
29,4
Detik
24,5-32,8
2. USG Abdomen 3. BNO 2 Posisi
II.4 Resume Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati lalu berpindah ke perut kanan bawah. Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk jarum dan hilang timbul sepanjang hari. Nyeri bertambah parah ketika pasien hendak bangun dari tempat tidur ataupun batuk dan membaik ketika pasien diam dan 8
beristirahat. Pasien merasakan nyeri dengan skala 4 dari 10. Pasien juga mengeluhkan adanya mual dan muntah setelah mulai merasa nyeri. Sejak timbulnya gejala, keluhan pasien juga disertai demam. Tidak ada riwayat penurunan berat badan drastis dalam beberapa bulan terakhir. Pasien menyangkal mengalami sulit atau nyeri saat BAK ataupun gangguan pola BAB flatus (+). Pada pemeriksaan abdomen Datar, Darm Contour, (-) Darm Steifung (-), Distensi (-), Bising Usus (+) Normal, Nyeri tekan titik McBurney (+), nyeri lepas titik McBurney (+), Rovsing sign (+), nyeri lepas indirek (+), defans muskular lokal(+), Psoas sign (-), Obturator sign (-), Timpani (+), Nyeri ketuk kuadran kanan bawah (+)
II.5 Diagnosis klinis kolik abdomen ec susp Appendisitis
II.6 Penatalaksanaan 1. Rencana Apendiktomi 2. Inf. RL 15 tpm 3. Inj. Cefotaxim 3x1 gr 4. Inj. Ketorolac 3x30 mg 5. Inj. Ranitidin 3x1 6. Monitoring Keadaan Umum 7. Edukasi : Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit yang diderita pasien, pengobatan dan perlunya dilakukan tindakan operasi untuk menghilangkan sumber infeksi dan mencegah penyebaran infeksi. Selain itu dijelaskan pula kepada pasien dan keluarga bahwa untuk membantu proses penyembuhan dan pemulihan post operasi pasien dan keluarga harus menjaga kebersihan bekas luka post operasi, minum obat, disarankan agar tidak berpantang dalam makan sehingga membantu dalam penyembuhan luka serta perlunya kontrol ke rumah sakit.
9
II.7 Prognosis Ad vitam
: Dubia ad bonam
Ad Fungstionam
: Dubia ad bonam
Ad Sanationam
: Dubia ad bonam
II. 8 Follow Up 5 Februari 2019 S
O
A
P
Nyeri perut diseluruh
KU : sakit sedang , K : CM
Kolik
lapang abdomen,
Tanda Vital
abadomen
BAB (-) , darah(-),
TD : 120/80 mmhg
ec susp
lendir (-), warna
N : 100 x/menit
Appendisitis
kuning. Demam (+),
RR : 20/menit
Injeksi Ketorolac
kembung (+), flatus
T : 38.5 C
3x10 mg
(+), mual (+), muntah
Sp02 : 98%
(-)
Status Generalis:
IVFD RL 15 tpm Injeksi Cefotaxim 3x750 mg
Injeksi Ranitidin 3x1/3 A
Abdomen : I : datar A : BU (+) normal
USG Abdomen Apendiktomi
P : distensi (+), nyeri tekan (+) seluruh lapang abdomen P: timpani (+)
Lab, EKG, Puasa, Konsul Sp.An
6 Februari 2018
10
- Nyeri perut di
KU : sakit sedang , K : CM
Kolik
seluruh lapang
Tanda Vital
abadomen
abdomen (+), demam
TD : 100/80 mmhg
ec susp
(+), mual (+) muntah
N : 90 x/menit
Appendisitis
(-), BAK (+), BAB (-
RR : 20/menit
Injeksi Ketorolac
)
T : 37,7 C
3x10 mg
SpO2 : 94% Status Generalis:
IVFD RL 15 tpm Injeksi Cefotaxim 3x750 mg
Injeksi Ranitidin 3x1/3 A
Abdomen : I : datar A : BU (+) menurun
Apendiktomi
P : defans muskular (+), nyeri tekan (+) seluruh lapang abdomen P: timpani (+)
Pemeriksaan Penunjang : X-foto BNO 2 posisi : -
Tampak udara usus kecil-kecil dengan sentinel loop di abdomen kiri proses inflamasi (sub ileus)
-
Ground glass pada kavum pelvis DD/infiltrat
USG Abdomen : -
Hepar : ukuran normal, parenkim homogen, ekogenitas normal
-
Pankreas dan Lien : tak tampak kelainan
-
Gallbladder : tampak struktur isoekoik
-
Ginjal kanan : ukuran normal, ekogenitas normal, tak tampak batu 11
-
Vesika urinaria : dinding tak menebal, tak tampak batu
-
Tampak cairan bebas berseptaparavesica
-
Pada abdomen bawah tampak peristaltik usus meningkat dengan dinding yang menebal Kesan : -
Suspek sludge gallbladder DD/ massa
-
Cairan bebas bersepta di paravesica
-
Curiga Apendisitis akut
7 Februari 2019 - Nyeri perut post
KU : sakit sedang , K : CM Peritonitis ec
operasi (+), demam
Tanda Vital
Appendisitis
(+), mual (-) muntah
TD : 110/80 mmhg
perforasi
(-), BAK (+), BAB
N : 88 x/menit
(+)
RR : 20x/menit T : 37,2 C SpO2 : 98% Status Generalis: Abdomen :
Post Apendiktomi H-1
IVFD RL 15 tpm Injeksi Cefotaxim 3x750 mg Injeksi Ketorolac 3x1o mg Injeksi Metronidazol 3x500 mg
I : datar, terbalut, rembes (-), drain (+) A : BU (+) normal
Diet cair/susu Mobilisasi
P : nyeri tekan (+) seluruh lapang abdomen P: timpani (+)
DC (+) 300 cc/12 jam
8 Februari 2019
12
nyeri perut post
Ku/kes : baik/CM
Appendisitis
operasi (+), mual (-),
Tanda Vital:
akut
muntah (-), BAK(+),
TD : 120/80
BAB(-), flatus (+)
HR : 110x/mnt RR: 20x/mnt S: 37,6
Post Apendiktomi H-2
SpO2 : 98%
IVFD RL 15 tpm Injeksi Cefotaxim 3x750 mg Injeksi Ketorolac 3x1o mg Injeksi
Status Generalis :
Metronidazol
Abdomen :
3x250 mg
I : datar, terbalut, rembes Diet bubur
(-), drain (+) A : BU (+) normal
Ganti balut
P : nyeri tekan (+) seluruh lapang abdomen mulai berkurang P: timpani (+)
DC (+) drain (+) 9 Februari 2019 Nyeri perut post
Ku/kes : baik/CM
Peritonitis ec
operasi (+), demam
Tanda Vital:
Appendisitis
(-), mual (-), muntah
TD : 110/80
perforasi
(-), BAB (-), BAK
HR : 74x/mnt
(+)
RR: 22x/mnt S: 36,6 SpO2 : 99% Status Generalis : Abdomen :
Post Appendiktomi H-3
IVFD RL 15 tpm Injeksi Cefotaxim 3x750 mg Injeksi Ketorolac 3x1o mg Injeksi Metronidazol 3x250 mg
I : datar, terbalut, rembes (-), drain (+)
Diet bubur
13
A : BU (+) menurun
Ganti balut
P : nyeri tekan (+) seluruh lapang abdomen P: timpani (+)
10 Februari 2019 Nyeri perut post
Ku/kes : baik/CM
Peritonitis ec
operasi (+) sudah
Tanda Vital:
Appendisitis
semakin berkurang,
TD : 110’80
perforasi
sudah mulai duduk
HR : 90x/mnt
demam (-), mual (-),
RR: 20x/mnt
muntah (-), BAB (-),
S: 36,7
BAK (+)
SpO2 : 99% Status Generalis : Abdomen :
Post Apendiktomi H-4
IVFD RL 15 tpm Injeksi Cefotaxim 3x750 mg Injeksi Ketorolac 3x1o mg Injeksi Metronidazol 3x250 mg
I : datar, terbalut, rembes (-), drain (+) A : BU (+) menurun
Diet baisa Ganti balut
P : nyeri tekan (+) seluruh lapang abdomen
BLPL
P: timpani (+)
14
BAB III TINJAUAN PUSTAKA III.1 Landasan teori Anatomi Pada orang dewasa, rata-rata panjang apendiks adalah 6 hingga 9 cm; namun, dapat bervariasi antara <1 dan >30 cm. Diameter luarnya bervariasi antara 3 dan 8 mm, sedangkan diameter luminal antara 1 dan 3 mm.
Apendiks mendapat vaskularisasi dari appendicular branch dari ileocolic artery. Arteri ini berasal dari belakang ileum terminal, memasuki mesoapendiks dekat dengan basis apendiks. Drainase limfatik dari apendiks mengalir ke kelenjar getah bening (KGB) yang berada sepanjang ileocolic artery. Inervasi apendiks berasal dari elemen simpatis oleh pleksus mesenterik superior (T10-L1) dan aferen dari elemen parasimpatis oleh nervus vagus.
15
Secara histologis, apendiks dibungkus oleh 3 lapisan, yaitu lapisan luar serosa, merupakan ekstensi dari peritoneum; lapisan muskularis, yang tidak well defined dan bisa tidak ada pada lokasi tertentu; dan lapisan submukosa dan mukosa. Agregrat limfoid terjadi pada lapisan submukosa dan dapat menyebar hingga muskularis mukosa. Saluran limfatik terlihat jelas pada daerah agregat limfoid ini. Mukosanya mirip dengan kolon, kecuali densitas dari folikel limfoidnya. Kriptusnya berukuran dan berbentuk ireguler, kontras dengan kriptus kolon yang tampak lebih seragam. Kompleks neuroendokrin terbentuk oleh sel ganglion, sel Schwann, serat neural, dan sel neurosekretorik yang terletak tepat di bawah kriptus.
III.2 Appendisitis 1. Definisi Apendisitis adalah radang pada apendiks vermiformis. Apendisitis akut adalah etiologi tersering inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen serta merupakan sebuah kegawatdaruratan abdomen (Smeltzer, 2001). Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun. Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. 16
Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis kronik. 1. Apendisitis akut. Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut Ialah nyeri samarsamar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium. disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat
2. Apendisitis kronik. Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
2. Etiologi Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan 17
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.
3. Patofisiologi Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam makanan yang rendah. Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal. Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren. Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi.
4. Gambaran Klinis Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak tanda rangsangan 18
peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal. Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan dindingnya.
Fisiologi Selama beberapa tahun, apendiks secara keliru diyakini sebagai organ vestigial tanpa fungsi yang diketahui. Saat ini apendiks dianggap sebagai organ imunologik yang secara aktif ikut berpartisipasi dalam sekresi imunoglobulin, khususnya imunoglobulin A. Walau tidak ada peran yang jelas untuk apendiks dalam timbulnya penyakit manusia, telah dilaporkan adanya asosiasi terbalik antara apendektomi dan timbulnya kolitis ulseratif, menunjukkan fungsi protektif dari apendektomi. Namun, asosiasi ini hanya ditemukan pada pasien yang diterapi apendektomi untuk apendisitis sebelum usia 20. Asosiasi antara Crohn’s disease dan apendektomi lebih kurang jelas. Walaupun penelitian terdahulu menunjukkan bahwa apendektomi meningkatkan resiko timbulnya Crohn’s disease, penelitian lebih baru dengan teliti menilai waktu apendektomi berhubungan dengan onset Crohn’s disease membuktikan tidak adanya hubungan. Sebuah meta-analisis baru menunjukkan resiko signifikan Crohn’s disease tidak lama setelah apendisitis. Resiko ini selanjutnya memudar, menunjukkan adanya hubungan diagnostik (salah mengidentifikasi Crohn’s disease sebagai apendisitis) daripada hubungan fisiologis antara apendektomi dan Crohn’s disease. Apendiks dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan untuk rekolonisasi kolon dengan bakteri sehat. Satu penelitian retrospektif membuktikan bahwa apendektomi sebelumnya mungkin memiliki hubungan terbalik dengan infeksi Clostridium difficile berulang. Namun, pada penelitian retrospektif lain, apendektomi sebelumnya tidak mempengaruhi terjadinya infeksi C. difficile. Peran apendiks dalam merekolonisasi kolon tetap dicari kejelasannya.
19
5. Pemeriksaan Pemeriksaan Fisik Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5oC. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1oC. 1. Inspeksi Penderita berjalan dengan posisi bungkuk dan memegang perut.
Penderita tampak
kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler. Pada appendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
2. Palpasi Nyeri tekan di titik Mc.Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal.
Nyeri lepas Rebound tenderness adalah rasa nyeri yang hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titikMc Burney. Defence Muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada apendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang.
20
Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah, apabila kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan
Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg) Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, mengedan. Appendisitis infiltrat atau adanya abses appendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di perutkanan bawah.2 Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan ke kiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada pinggul/ pangkal paha kanan. Dasar anatomi dari tes psoas: Appendiks yang mengalami peradangan kontak dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver.
21
Tes Obturator. Nyeri pada rotasi ke dalam secara pasif saat paha pasien difleksikan. Peradangan appendix dipelvis yang kontak dengan otot obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver.
Pemeriksaan colok dubur: pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak di daerah pelvis. Pada pemeriksaan didapat tonus musculus sfingter ani baik, ampula 22
kolaps, nyeri tekan pada daerah jam 09.00-12.00, serta terdapat massa yang menekan rectum (jika ada abses). Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. 3. Perkusi Perkusi abdomen pada apendisitis akan didapatkan bunyi timpani. Pada peritonitis umum terdapat nyeri di seluruh abdomen, pekak hati menghilang. Pada apendisitis retro caecum atau retroileum terdapat nyeri pada pinggang kanan atau angulus kostovertebralis punggung. 4. Auskultasi Pada auskultasi biasanya didapatkan bising usus positif normal. Peristaltik dapat tidak ada karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebihdari 90% anak dengan appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara 12.00018.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis1. Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix1. False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi appendix1.
Sistem Score Sistem skor Alvarado Sistem skor Alvarado membantu dalam pengambilan keputusan apakah pasien dipulangkan, diobservasi, ataupun dilakukan intervensi bedah. Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem
23
skor yang didasarkan pada tiga gejala ,tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan praoperasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis.
Tabel 3 Skor Alvarado Gejala
Skor
Nyeri Berpindah
1
Anoreksia
1
Mual dan Muntah
1 Tanda
Nyeri fossa iliakan kanan
2
Nyeri lepas
1
Suhu > 37,5
1 Laboratorium
Leukositosis
2
Neutrofil > 75%
1
Interpretasi : 1-4 Kemungkinan bukan appendisitis, 5-6 kemungkinan appendisitis, 7-8 appendisitis akut, 9-10 appendisitis akut definitif membutuhkan tindak bedah.
6. Penatalaksanaan Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah apendiks. Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan. Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga dapat 24
memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik
III.4 Apendisitis Perforata Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak muda) dan keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang bereperanan dalam terjadinya perforasi apendiks. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua adalah gejala yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen. Insidens tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak yang kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis dan omentum anak yang belum cepat berkembang. Diagnosis Perforasi apendiks akan menyebabkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat serta meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, mungkin dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan.
Pengelolaan Perbaikan keadaan umum dengan infus, antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob dan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan. Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi panjang supaya dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum ataupun pengeluaran fibrin secara adekuat dan memudahkan pembersihan kantong nanah.
25
BAB IV PEMBAHASAN
Pasien laki-laki 30 tahun datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati lalu berpindah ke perut kanan bawah. Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk jarum dan hilang timbul sepanjang hari. Nyeri bertambah parah ketika pasien hendak bangun dari tempat tidur ataupun batuk dan membaik ketika pasien diam dan beristirahat. Pasien merasakan nyeri dengan skala 4 dari 10. Pasien juga mengeluhkan adanya mual dan muntah setelah mulai merasa nyeri. Sejak timbulnya gejala, keluhan pasien juga disertai demam. Tidak ada riwayat penurunan berat badan drastis dalam beberapa bulan terakhir. Pasien menyangkal mengalami sulit atau nyeri saat BAK ataupun gangguan pola BAB flatus (+). Pada pemeriksaan abdomen Datar, Darm Contour, (-) Darm Steifung (-), Distensi (-), Bising Usus (+) Normal, Nyeri tekan titik McBurney (+), nyeri lepas titik McBurney (+), Rovsing sign (+), nyeri lepas indirek (+), defans muskular lokal(+), Psoas sign (-), Obturator sign (-), Timpani (+), Nyeri ketuk kuadran kanan bawah (+) Dari hasil anamnesis pemeriksaan fisik dan penunjang didapatkan apendisitis yaitu peradangan pada apendiks. pada apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general. Berdasarkan anamnesis, pemerikssaan fisik, dan penunjang pasien didiagnosis kolik abdomen susp. Appendisitis. Pengelolaaan pasien Pengelolaan pada pasien ini adalah dengan pemberian infus RL 15 tetes per menit untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Pemberian antibiotik spektrum luas golongan cephalosporin yaitu injeksi Cefotaxim 3x750 mg, pemberian Ketorolac 3x10 mg untuk mengurangi rasa nyeri pasien. Pasien dipuasakan untuk persiapan operasi. 26
Edukasi diberikan kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit yang diderita pasien, pengobatan dan perlunya dilakukan tindakan operasi untuk menghilangkan sumber infeksi dan mencegah penyebaran infeksi. Selain itu dijelaskan pula kepada pasien dan keluarga bahwa untuk membantu proses penyembuhan dan pemulihan post operasi pasien harus menjaga kebersihan bekas luka post operasi, minum obat, disarankan agar tidak berpantang dalam makan sehingga membantu dalam penyembuhan luka serta perlunya kontrol ke rumah sakit.
27
BAB V KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien ini didiagnosis sebagai kolik abdomen ec susp. Appendisitis. Appendisitis pada pasien ini memerlukan tindakan segera untuk menghindari terjadinya komplikasi yang dapat memperburuk keadaan umum pasien. Terapi suportif awal yang dilakukan adalah injeksi anti nyeri dan pemberian antibiotik selagi menunggu pelaksanaan appendiktomi. Kemudian dilakukan tindakan operatif appendiktomi untuk menghilangkan sumber infeksi dan mencegah terjadinya peritonitis karena perforasi appendik. Setelah tindakan operasi pasien merasa lebiih baik dan diijinkan pulang pada hari ke 3 post operatif.
28
DAFTAR PUSTAKA
Craig, S. Appendicits . Available at : http://emedicine.medscape.com/article/7738 Ordonez, CA. Management of peritonitis in the critically ill patient. Available at : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3413265/ Daley,
JB.
Peritonitis
and
abdominal
sepsis.
Available
at:
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview Sjamsuhidajat, R, W, de Jong,2017, Buku Ajar Ilmu Bedah : Masalah pertimbangan Klinis Bedah dan Metode Pembedahan, Sistem Organ dan Tindak Bedahnya, Ed. ke-4, Jakarta : EGC Tanto, C, et al., 2014,Kapita Selekta Kedokteran, Ed. Ke-4, Jakarta : Media Aesculapius Tortora, GJ dan Derrickson, B 2014, Principles of anatomy & physiology, 14th ed, Wiley, USA
29