Laporan Pjr New.docx

  • Uploaded by: vanka kansil
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Pjr New.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 14,206
  • Pages: 87
<JUDUL TUGAS AKHIR DALAM HURUF KAPITAL>

TUGAS AKHIR Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Sarjana Teknik Sipil

Oleh NIM

NIM

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena atas berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan hasil studio perancangan jalan raya yang berjudul “Perancangan Jalan Raya untuk Jalan Bebas Hambatan Jalan Perkotaan”. Laporan ini ditulis berdasarkan hasil pembelajaran yang sudah di dapat pada saat perkuliahan dan studio Perancangan Jalan Raya berlangsung. Laporan Tugas Besar ini dibuat oleh penulis untuk memenuhi dan melengkapi salah satu tugas mata kuliah Perancangan Jalan Raya serta untuk melihat sampai mana pemahaman penulis tentang perancangan jalan raya. Penulis tentunya tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu pada mata kuliah Perancangan Jalan Raya yaitu Bapak Hanafi, ST., MT. serta kepada para asisten dosen karena tanpa bimbingannya penulis tidak mungkin bisa menyelesaikan sebuah perancangan jalan raya ini dengan baik. Serta penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak lain yang sudah membantu dalam penyelesaian laporan ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi materi maupun teknik penulisan yang disajikan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan di masa yang akan datang. Akhir kata penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan tentunya untuk penulis sendiri.

Cimahi, xx xxxxxx 2018

Penulis

i

DAFTAR ISI Daftar isi sebaiknya dibuat secara otomatis dengan menggunakan fitur REFERENCES dalam perangkat lunak Microsoft Word. Klik pada urutan berikut: REFERENCES, Table of Contents, kemudian pilih format daftar isi yang diinginkan. Judul bab dan bagian header harus telah ditetapkan untuk membuat daftar isi. Daftar isi dalam file ini dapat diperbarui dengan otomatis, gunakan tombol kanan mouse dan klik pada Update field. Dengan metode ini, penulis tidak perlu untuk menyisipkan dan mengetik ulang judul bab. ABSTRAK .................................................................. Error! Bookmark not defined. KATA PENGANTAR ................................................ Error! Bookmark not defined. DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................iii DAFTAR TABEL ........................................................................................................ iv DAFTAR SINGKATAN DAN NOTASI .................................................................... iv BAB 1 Cara Penulisan dalam Microsoft Word ......... Error! Bookmark not defined. 1.1. Penulisan Sub Bab ................................. Error! Bookmark not defined. 1.2. Contoh Penulisan Sub Bab-1 ................. Error! Bookmark not defined. 1.2.1. Contoh Penulisan Sub Bab-2 ..... Error! Bookmark not defined. 1.3. Penulisan Keterangan Gambar dan TabelError! Bookmark not defined. BAB 2 Pendahuluan .................................................. Error! Bookmark not defined. 2.1. Tujuan .................................................... Error! Bookmark not defined. 2.2. Kertas ..................................................... Error! Bookmark not defined. 2.3. Pencetakan dan Penjilidan ..................... Error! Bookmark not defined. 2.4. Perbaikan Kesalahan .............................. Error! Bookmark not defined. 2.5. Kaidah Penulisan ................................... Error! Bookmark not defined. 2.6. Pemakaian Bahasa Indonesia Baku ....... Error! Bookmark not defined. BAB 3 Bagian-Bagian Tugas Akhir ........................................................................... 6 3.1. Pendahuluan ........................................... Error! Bookmark not defined. 3.2. Bagian Persiapan Tugas Akhir .............. Error! Bookmark not defined. 3.3. Tubuh Utama Tugas Akhir .................... Error! Bookmark not defined. 3.4. Daftar Pustaka ........................................ Error! Bookmark not defined. 3.5. Lampiran ................................................ Error! Bookmark not defined. 3.6. Penomoran Halaman .............................. Error! Bookmark not defined. BAB 4 Bagian Persiapan Tugas Akhir...................... Error! Bookmark not defined. 4.1. Sampul ................................................... Error! Bookmark not defined. 4.2. Halaman Pengesahan ............................. Error! Bookmark not defined. 4.3. Halaman Kata Pengantar ....................... Error! Bookmark not defined. 4.4. Halaman Daftar Isi ................................. Error! Bookmark not defined. 4.5. Halaman Daftar Gambar ........................ Error! Bookmark not defined. 4.6. Halaman Daftar Tabel ............................ Error! Bookmark not defined. 4.7. Halaman Daftar Singkatan dan Notasi... Error! Bookmark not defined.

ii

BAB 5 Tubuh Utama Tugas Akhir ........................... Error! Bookmark not defined. 5.1. Bagian Tubuh Utama ............................. Error! Bookmark not defined. 5.2. Bab Pendahuluan ................................... Error! Bookmark not defined. 5.3. Bab Tinjauan Pustaka ............................ Error! Bookmark not defined. 5.4. Bab-bab dalam Tubuh Utama Tugas akhirError! Bookmark not defined. 5.5. Bab Kesimpulan dan Rekomendasi ....... Error! Bookmark not defined. BAB 6 Daftar Pustaka ............................................... Error! Bookmark not defined. 6.1. Umum .................................................... Error! Bookmark not defined. 6.2. Aturan Penulisan Daftar Pustaka ........... Error! Bookmark not defined. BAB 7 Cara Membuat Gambar dan Tabel ................ Error! Bookmark not defined. 7.1. Gambar................................................... Error! Bookmark not defined. 7.2. Gambar yang Tidak Dapat Diterima ...... Error! Bookmark not defined. 7.3. Cara Meletakkan Gambar ...................... Error! Bookmark not defined. 7.4. Penomoran Gambar dan Pemberian Judul GambarError! Bookmark not defined. 7.5. Potret ...................................................... Error! Bookmark not defined. 7.6. Sumber Gambar ..................................... Error! Bookmark not defined. 7.7. Tabel ...................................................... Error! Bookmark not defined. 7.8. Tabel Data Sekunder .............................. Error! Bookmark not defined. 7.9. Sumber Tabel ......................................... Error! Bookmark not defined. BAB 8 Cara Membuat Lampiran .............................. Error! Bookmark not defined. BAB 9 Pedoman Lain ............................................... Error! Bookmark not defined. 9.1 Lambang ................................................ Error! Bookmark not defined. 9.2 Satuan dan Singkatan ............................. Error! Bookmark not defined. 9.3 Angka ..................................................... Error! Bookmark not defined. 9.4 Cetak Miring (Italic) .............................. Error! Bookmark not defined. 9.5 Penulisan Rumus dan Perhitungan NumerikError! Bookmark not defined. 9.6 Kutipan................................................... Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA ................................................. Error! Bookmark not defined. DAFTAR LAMPIRAN ............................................... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR GAMBAR

iii

Daftar gambar sebaiknya dibuat secara otomatis dengan menggunakan fitur REFERENCES dalam perangkat lunak Microsoft Word. Klik pada urutan berikut: REFERENCES, Insert Table of Figures, OK. Daftar gambar dapat diperbarui, terutama ketika anda merevisi makalah, dengan menggunakan tombol kanan mouse dan klik pada Update field. Dengan metode ini, anda tidak perlu untuk menyisipkan dan mengetik ulang judul bab. Penyisipan keterangan gambar harus dilakukan dengan menggunakan fitur Insert Caption yang merupakan bagian dari fitur REFERENCES. Gambar 1.1 Pemisahan dua dimensi sari fosfolipid dari eritrosit manusiaError! Bookmark not defin

DAFTAR TABEL Daftar tabel sebaiknya dibuat secara otomatis dengan menggunakan fitur REFERENCES dalam perangkat lunak Microsoft Word. Klik pada urutan berikut: REFERENCES, Insert Table of Figures, ubah Caption Label menjadi “Tabel”, OK. Daftar tabel dapat diperbarui, terutama ketika anda merevisi makalah, dengan menggunakan tombol kanan mouse dan klik pada Update field. Dengan metode ini, anda tidak perlu untuk menyisipkan dan mengetik ulang judul tabel. Penyisipan keterangan tabel harus dilakukan dengan menggunakan fitur InsertCaption yang merupakan bagian dari fitur REFERENCES. Tabel 1.1 Situasi beras di Sumatera Utara .................. Error! Bookmark not defined.

DAFTAR SINGKATAN DAN NOTASI

iv

BAB I PENDAHULUAN

v

1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia terus berkembang dan menyebabkan peningkatan arus lalu lintas. Untuk itu diperlukan sarana dan prasarana yang memadai agar pendistribusian barang dan jasa antar daerah dapat berjalan lancar. Seiring dengan hal itu maka diperlukan jaringan jalan yang baru dan perbaikan jalan yang rusak. Untuk itu pemerintah perlu mengalokasikan dana yang cukup besar untuk prasarana jalan. Agar jalan yang akan dibuat memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas, maka dibuat perancangan geometrik jalan terlebih dahulu. Apabila peningkatan jumlah kendaraan yang besr tidak diikuti dengan penambahan fasilitas jalan raya yang memadai serta struktur jalan yang baik, akan menyebabkan jalan raya menjadi padat dan tingkat pelayanan jalan menjadi menurun. Hal ini merupakan salah satu penyebab tingginya resiko kecelakaan. Untuk itu perancangan pembangunan jalan dititik beratkan pada perancangan bentuk fisik sehingga dapat memberikan rasa aman, nyaman dan memaksimalkan rasio tingkat penggunaan dan biaya pelaksanaan. Pemakai jalan dapat merasa aman bila jalan mempunyai ruang, bentuk dan ukuran jalan yang disyaratkan. Jalan raya adalah suatu lintasan yang bertujuan melewatkan lalu lintas dari suatu tempat ke tempat yang lain. Arti lintasan dapat diartikan sebagai tanah yang diperkeras atau jalan tanah tanpa perkerasan, sedangkan lalu lintas adalah semua benda dan makhluk hidup yang melewati jalan tersebut baik kendaraan bermotor, tidak bermotor, manusia, ataupun hewan. 1.2 Tujuan Perancangan Dalam perancangan pembuatan jalan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan megenai proses dalam perancangan jalan sesuai kelas dan fungsinya, merencanakan lapisan perkerasan jalan, serta merencanakan system drainase di sepanjang jalan tersebut sesuai dengan persyaratan – persyaratan pada MKJI dan SNI.

2

1.3 Ruang Lingkup Studi Dalam perancangan jalan ini kami difokuskan pada beberapa bahasan diantaranya sebagai berikut: 1. Merancang bentuk geometrik jalan sesuai kelas dan fungsinya 2. Merancang tebal perkerasan pada jalan tersebut. 3. Merancang jaringan dan saluran drainase jalan terebut. 1.3.1 Perancangan Geometrik Ruang lingkup pembahasan dalam penentuan geometrik jalan meliputi: 1.3.1.1. Perhitungan Awal Perhitungan koordinat titik awal dan titik akhir, penentuan trase alinemen horizontal, perhitungan koordinat, jarak, azimuth, dan sudut tikungan, penentuan klasifikasi medan, penentuan kelas jalan, kecepatan rencana, jarak pandangan henti. 1.3.1.2. Perancangan Alinemen Horizontal Perancangan

alinemen

horizontal

meliputi

perhitungan

tikungan,

stasioning, pelebaran samping, dan penentuan diagram superelevasi. Dapat menentukan alinemen horizontal / trase jalan, terutama perancangan sumbu jalan, diantaranya adalah: 1. Ketentuan umum dari alinemen horizontal, alinemen sebaiknya mencari jarak yang terpendek dengan menyesuaikan dengan kondisi topografi, namun jangan berkelak-kelok trasenya (tikungan diusahakan seminimal mungkin). Jarak pandang menyiap pada jalan 2 lajur/3lajur sebanyak mungkin diberikan. Jari-jari tikungan yang digunakan diusahakan lebih besar dari jari-jari minimum (batas standar). Alinemen sebaiknya konsisten, jangan memberikan perubahan yang tiba-tiba (misalnya tikungan tajam diakhir dengan alinemen vertikal) untuk menghindarkan penampilan yang buruk. 2. Mengetahui dasar-dasar perancangan alinemen horizontal, hal ini mencakup hubungan antara kecepatan, jari-jari tikungan, kemiringan melintang / superelevasi dan gaya gesek samping antara ban dan permukaan jalan.

3

3. Mengetahui nilai-nilai batas perancangan alinemen horizontal, ketentuan ini mengacu kepada peraturan yang berlaku di Indonesia. 4. Mengetahui perancangan dan perhitungan tikungan yang mencakup jarijari tikungan, pemilihan jenis tikungan, perhitungan komponen-komponen tikungan yang dikoreksikan dengan jari-jari tikungan untuk menentukan desain tikungan. 5. Penentuan stasioning. 6. Pada alinemen horizontal yang merupakan proyeksi jalan pada bidang datar akan terlihat mana bagian jalan yang lurus atau menikung. 1.3.1.3. Perancangan Alinemen Vertikal Perancangan alinemen vertikal meliputi penentuan profil tanah asli, perhitungan

alinemen

vertikal,

kelandaian,

lengkung

vertical(lengkung

cembung/cekung), penentuan koordinasi trase alinemen horizontal dan alinemen vertikal, serta perhitungan elevasi titik penting. Dapat menentukan alinemen vertical serta penampang lain.Dalam pelaksanaannya usahakan kelandaian tidak terlalu curam dan mengikuti elevasi dari tanah asli agar biaya yang dikeluarkan lebih efisien 1.3.1.4. Penggambaran Potongan Melintang Penggambaran potongan melintang yang meliputi penggambaran bentuk / tipikal potongan melintang beserta ukurannya, menetukan panjang Rumaja, Rumija, dan Ruwasja serta menentukan drainase jalan. 1.3.1.5. Penentuan Galian dan Timbunan Penentuan galian dan timbunan meliputi pekerjaan tanah, volume galian dan timbunan. Sebaiknya perbedaan dari volume galian dan timbunan tidak terlalu besar agar tidak perlu mengambil tanah dari tempat lain ataupun membuang tanah ke tempat lain sehingga biaya dapat lebih efisien.

1.3.2

Perancangan Tebal Perkerasan Jalan Jalan Perkerasan yang akan digunakan adalah konstruksi perkerasan lentur

(Rigid) dengan metode dari Bina Marga/AASHTO. Untuk umur rencana ditentukan sesuai yang direncanakan didapat pada data. Data tanah yang diterima

4

berupa nilai persen CBR, sedangkan untuk data lalu lintas dan pertumbuhan lalu lintas didapat dari hasil survey lapangan.

1.3.3

Perancangan Drainase Jalan Perancangan Drainase Jalan ini dilakukan untuk mengkaji secara lebih

seksama perancangan samping jalan. Hasil kajian diharapkan menghasilkan dimensi saluran drainase yang paling efisien untuk digunakan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Untuk analisis ini perhitungan didasarkan atas hasil kajian data curah hujan 10 tahun terakhir pada tempat jalan akan dibuat. 1.4 Lokasi Studi Pada perancangan jalan ini kami melakukan studi pada lokasi di Cilegon, klasifikasi dan fungsi jalan bebas hambatan antarkota..

Gambar 1.1 Lokasi Studi Sumber : Google Earth

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geometrik Jalan Geometrik jalan bebas hambatan untuk jalan tol harus: a.

Memenuhi aspek-aspek keselamatan, keamanan, kenyamanan, dan kelancaran lalu lintas yang diperlukan;

b.

Mempertimbangkan aspek-aspek lalu lintas yang akan digunakan sebagai jalan tol, tingkat pengembangan jalan, standar desain, pemeliharaan, kelas dan fungsi jalan, dan jalan masuk/jalan keluar, serta simpangsusun;

c.

Memenuhi ketentuan standar geometri yang khusus dirancang untuk jalan bebas hambatan dengan sistim pengumpul tol;

d.

Mempertimbangkan faktor teknis, ekonomis, finansial, dan lingkungan;

e.

Memenuhi kelas dan spesifikasi yang lebih tinggi dan harus terkendali penuh dari jalan umum yang ada;

f.

Direncanakan untuk dapat melayani arus lalu lintas jarak jauh dengan mobilitas tinggi;

g.

Dilakukan dengan teknik sedemikian rupa sehingga terbentuk keserasian kombinasi antara alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal;

h.

Mempertimbangkan ketersediaan saluran samping yang memadai.

2.2 Jalan bebas hambatan untuk jalan tol Persyaratan umum jalan bebas hambatan untuk jalan tol adalah sebagai berikut: a)

Merupakan lintas alternatif dari ruas jalan umum yang ada;

b) Ruas jalan umum tersebut minimal mempunyai fungsi arteri primer atau kolektor primer.

6

2.3 Klasifikasi Jalan Bebas Hambatan Klasifikasi jalan menurut Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol (GJBHJT) No.007/BM/2009 dibagi menjadi beberapa jenis klasifikasi, sebagai berikut : 1. Klasifikasi menurut fungsi jalan 2. Klasifikasi menurut kelas jalan 3. Klasifikasi menurut medan jalan 2.3.1

Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan Menurut GJBHJT No.007/BM/2009, klasifikasi menurut fungsi jalan

terbagi atas: 1. Jalan Arteri, yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. 2. Jalan Kolektor, yaitu jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.

Tabel 2.1 Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan Fungsi Jalan

Jenis Angkutan

Jarak Perjalanan

yang Dilayani Arteri Kolektor

Utama Pengumpul atau pembagi

Kecepatan Rata-rata

Jauh Sedang

Tinggi Sedang

Jumlah Jalan Masuk Dibatasi Dibatasi

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

2.3.2

Klasifikasi Menurut Kelas Jalan Klasifikasi kelas jalan berhubungan dengan fungsi jalan yang dimana

untuk menentukan besarnya dimensi kendaraan beserta muatan sumbu dalam satuan ton. Standar kelas jalan bebas hambatan untuk jalan tol berdasarkan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan dapat dilihat pada Tabel 2.2.

2

Dimensi Kendaraan Maksimum yang Diizinkan

Kelas Fungsi Jalan Jalan

Muatan Sumbu Terberat yang Diizinkan

Lebar

Panjang

Tinggi

(mm) 2.500 >2.500

(mm) 18.000 >18.000

(mm) 4.200 4.200

(ton) I Arteri dan Kolektor Khusus Arteri

10 >10

Tabel 2.2 Standar kelas jalan berdasarkan fungsi,dimensi kendaraan dan MST Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Kelas jalan bebas hambatan untuk jalan tol didisain dengan jalan kelas 1, tetapi untuk kasus khusus dimana jalan tol tersebut melayani kawasan berikat ke jalan menuju dermaga atau ke stasiun kereta api, dimana kendaraan yang dilayani lebih besar dari standar yang ada, maka harus didesain menggunakan jalan kelas khusus. Berikut beberapa klasifikasi kelas jalan bebas hambatan untuk jalan tol berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan adalah jalan bebas hambatan karena: 

jalan tol melayani arus lalu lintas jarak jauh;



tidak ada persimpangan sebidang;



jumlah jalan masuk dibatasi dan harus terkendali secara penuh;



jumlah lajur minimal dua lajur per arah;



menggunakan pemisah tengah atau median, dan harus dilakukan pemagaran.

2.3.3

Klasifikasi Menurut Medan Jalan Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar

kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat dalam tabel 2.3 Tabel 2.3 Klasifikasi menurut medan jalan Medan Jalan Datar

Notasi D

Kemiringan Medan < 10,0%

3

Perbukitan Pegunungan

B G

10,0% - 25,0% > 25,0%

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

2.4 Kendaraan Rencana Dimensi standar kendaraan rencana untuk desain jalan bebas hambatan untuk jalan tol dapat dilihat pada Tabel 4 dan seperti diilustrasikan pada Gambar 1 hingga Gambar 6. Tabel 2.4 Dimensi kendaraan rencana Dimensi Kendaraan (m) Panjan Kendaraaan Rencana Tinggi Lebar g Mobil Penumpang 1,3 2,1 5,8 Bus 3,2 2,4 10,9 Truk 2 as 4,1 2,4 9,2 Truk 3 as 4,1 2,4 12,0 Truk 4 as 4,1 2,4 13,9 Truk 5 as 4,1 2,5 16,8 Jenis

Dimensi Tonjolan (m) Depan 0,9 0,8 1,2 1,2 0,9 0,9

Belakang 1,5 3,7 1,8 1,8 0,8 0,6

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Gambar 2.1 Dimensi Mobil Penumpang Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Gambar 2.2 Dimensi bus Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

4

Radius Putar Minimum (m) 7,31 11,86 12,80 12,20 13,72

Gambar 2.3 Dimensi kendaraan truk 2 as Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Gambar 2.4 Dimensi kendaraan truk 3 as Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Gambar 2.5 Dimensi kendaraan truk 4 Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

5

Gambar 2.6 Dimensi kendaraan truk 5 as Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

2.5 Jumlah Lajur Standar minimal jumlah lajur adalah 2 (dua) lajur per arah atau 4/2 D dan ditentukan berdasarkan tipe alinyemen sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2.5 dan prakiraan volume lalu lintas yang dinyatakan dalam kendaraan/jam untuk menentukan jumlah lajur sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2.6.

Tipe

Naik + turun

alinyemen

(m/km)

Lengkung horisontal (rad/km)

Datar

< 10

< 1,0

Perbukitan

10-30

1,0 - 2,5

Pegunungan

>30

> 2,5

Tabel 2.6 Tipe Alinyemen

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Tabel 2.6 Jumlah Lajur Berdasarkan Arus Lalu Lintas Tipe Alinyemen Datar Perbukitan

Arus Lalu Jumlah Lintas per Lajur Arah (kend/jam) (Minimal) ≤ 2.250 4/2 D ≤ 3.400 6/2 D ≤ 5.000 8/2 D ≤ 1.700 4/2 D

6

≤ 2.600

6/2 D

≤ 1.450

4/2 D

≤ 2.150

6/2 D

Pegunungan Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Kendaraan yang dihitung harus dikalikan dengan ekivalensi mobil penumpang (emp), hal ini disebabkan jenis kendaraan yang melintasi jalan tersebut tidak hanya mobil penumpang. Nilai ekivalensi mobil penumpang (emp) ditentukan berdasarkan arus lalu lintas dan medan jalan, dilihat pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Tipe Alinyemen Arus lalu lintas per Tipe

arah

emp

alinyemen

(kend/jam) 4/2 D

6/2D

MHV

LB

LT

2.250

3.400

1,6

1,7

2,5

≥ 2.800

≥ 4.150

1,3

1,5

2,0

1.700

2.600

2,2

2,3

4,3

≥ 2.250

≥ 3.300

1,8

1,9

3,5

1.450

2.150

2,6

2,9

4,8

≥ 2.000

≥ 3.000

2,0

2,4

3,8

Datar

Perbukitan

Pegunungan

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Keterangan: LV

Kendaraan Ringan

MHV Kendaraan Berat Menengah LT LB

Truk Besar Bis Besar

Kendaraan bermotor ber as dua dengan 4 (empat) roda dan dengan jarak as 2,0 m - 3,0 m (meliputi: mobil penumpang, oplet, mikrobis, pick-up dan truk kecil) Kendaraan bermotor dengan dua gandar, dengan jarak 3,5 m 5,0 m (termasuk bis kecil, truk dua as dengan enam roda) Truk tiga gandar dan truk kombinasi dengan jarak gandar < 3,5 m Bis dengan dua atau tiga gandar dengan jarak as 5,0 m - 6,0 m.

7

2.6 Volume Lalu Lintas Rencana Jumlah lajur yang direncanakan adalah jumlah lajur untuk volume lalu lintas selama umur rencana jalan, volume lalu lintas tersebut disbut volume jam rencana atau VJR. Volume jam rencana dihitung berdasarkan persamaan berikut: 𝑉𝐽𝑅 = 𝑉𝐿𝐻𝑅 ×

𝐾 100

Dengan: VLHR

= prakiraan volume lalu lintas harian paa akhir tahun rencana

lalulintas (smp/hari) K

= faktor volume lalu lintas jam sibuk (%), untuk jalan bebas

hambatan, K = 11% (Sumber: MKJI, 1997)

2.7 Kecepatan Rencana Kecepatan rencana jalan bebas hambatan untuk jalan tol harus memenuhi kriteria sebagaimana ditetapkan pada Tabel 2.8. Tabel 2.8 Kecepatan Rencana Medan Jalan Datar Perbukitan Pegunungan

VR (km/jam) minimal Antarkota Perkotaan 120 80-100 100 80 80 60

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Catatan: Kecepatan rencana 140 km/jam (masuk di range)diijinkan untuk jalan tol antarkota setelah dilakukan analisis tertentu.

2.8 Bagian-bagian Jalan Bebas Hambatan Bagian-bagian secara umum meliputi ruan manfaat jalan (RUMAJA), ruang milik jalan (RUMIJA), dan ruang pengawasan jalan (RUWASJA). 2.8.1

Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA) Ruang manfaat jalan diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur

pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, lereng, ambang pengaman, timbunan, galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan dan bangunan pelengkap jalan. Ruang manfaat jalan bebas hambatan harus mempunyai lebar dan tinggi ruang bebas serta kedalaman sebagai berikut:

8

a. lebar ruang bebas diukur di antara 2 (dua) garis vertikal batas bahu jalan; b. tinggi ruang bebas minimal 5 (lima) meter di atas permukaan jalur lalu lintas tertinggi; c. kedalaman ruang bebas minimal 1,50 meter di bawah permukaan jalur lalu lintas terendah. 2.8.2

Ruang Milik Jalan (RUMIJA) Ruang milik jalan diperuntukan bagi ruang manfaat jalan dan pelebaran

jalan maupun penambahan lajur lalu lintas di kemudian hari serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan bebas hambatan dan fasilitas jalan bebas hambatan. Ruang milik jalan bebas hambatan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. lebar dan tinggi ruang bebas ruang milik jalan minimal sama dengan lebar dan tinggi ruang bebas ruang manfaat jalan. b. lahan ruang milik jalan harus dipersiapkan untuk dapat menampung minimal 2 x 3 lajur lalu lintas terpisah dengan lebar ruang milik jalan minimal 40 meter di daerah antarkota dan 30 meter di daerah perkotaan; c. lahan pada ruang milik jalan diberi patok tanda batas sekurang-kurangnya satu patok setiap jarak 100 meter dan satu patok pada setiap sudut serta diberi pagar pengaman untuk setiap sisi. d. Pada kondisi jalan tol layang, perlu diperhatikan ruang milik jalan di bawah jalan tol. 2.8.3

Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA) Ruang pengawasan jalan diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi

dan pengamanan konstruksi jalan. Batas ruang pengawasan jalan bebas hambatan untuk jalan tol adalah 40 meter untuk daerah perkotaan dan 75 meter untuk daerah antarkota, diukur dari as jalan. Dalam hal jalan tol berdempetan dengan jalan umum ketentuan tersebut diatas tidak berlaku. Jalan ditetapkan keberadaannya dalam suatu ruang yang telah didefinisikan di atas. Ruang-ruang tersebut dipersiapakan untuk menjamin kelancaran dan keselamatan serta kenyamanan pengguna jalan di samping keutuhan konstruksi jalan. Dimensi ruang yang minimum untuk menjamin keselamatan pengguna jalan diatur sesuai dengan jenis prasarana dan fungsinya. standar ukuran dimensi

9

minimum dari Rumaja, Rumija, dan Ruwasja jalan bebas hambatan dapat dilihat pada Tabel 2.9.

Tabel 2.9 Dimensi Ruang Jalan Bebas Hambatan Untuk Jalan Tol Bagian-bagian

Komponen Dimensi minimum (m)

jalan

geometri Jalan tol Antarkota Perkotaan

RUMAJA

Lebar badan jalan

30,0

22,0

Tinggi Kedalaman

5,00 1,50

5,00 1,50 Jalan Tol

JBH Layang/ RUMIJA

Antarkota Perkotaan Terowongan Lebar

30 JBH

RUWASJA Lebar

1)

75

40

Antarkota Perkotaan 75

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Catatan : 1) Lebar diukur dari As Jalan 2) 100 m ke hilir dan 100 ke hulu

Gambar bagian jalan dapat dilihat pada Gambar 2.7.

10

30 Jalan Tol 40

20 Jembatan 1002)

Gambar 2.7 Tipikal RUMAJA, RUMIJA, dan RUWASJA jalan bebas hambatan Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

2.9 Penampang Melintang Jalan Penampang melintang jalan bebas hambatan terdiri dari jalur lalu lintas, median dan jalur tepian, bahu, rel pengaman, saluran samping, dan lereng/talud. Gambar penampang melintang jalan dapat dilihat pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Tipikal penampang melintang jalan bebas hambatan Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

2.9.1

Lebar Lajur dan Bahu Jalan

11

Lebar lajur dan bahu jalan ditentukan berdasarkan lokasi jalan bebas hambatan yang direncanakn dan kecepatan rencana yang ditentukan. Lebar lajur dan bahu jalan dapat ditentukan menggunakan Tabel 2.10

Tabel 2.10 Lebar Lajur dan Bahu Jalan Tol Lebar Lokasi VR Jalan Tol (km/jam)

Antarkota

Perkotaan

120 100 80 100 80 60

Lebar Lajur (m) Minimal 3,60 3,60 3,60 3,50 3,50 3,50

Ideal 3,75 3,60 3,60 3,60 3,50 3,50

Lebar

Bahu Dalam Bahu Luar Diperkeras (m) Diperkeras Minimal Ideal*) (m) 3,00 3,50 1,50 3,00 3,50 1,50 3,00 3,50 1,00 3,00 3,50 1,00 2,00 3,50 0,50 2,00 3,50 0,50

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

*) dibutuhkan pada saat kendaraan besar mengalami kerusakan

Kemiringan menlintang normal lajur lalu lintas pada jalan bebas hambatan adalah 2-3% dan bahu jalan adalah 3-5%. 2.9.2

Median Median adalah bangunan yang berfungsi memisahkan arus lalu lintas

berlawanan arah. Ada 2 tipe standar median yang dapat digunakan, sebagai berikut: 1. Median Concrete Barrier, yaitu median memanjang yang berfungsi sebagai pengaman. Median tipe ini memiliki 2 jenis median yakni median dengan tinggi 32” (81,28 cm) dan median dengan tinggi 42” (106,68 cm). 2. Median yang diturunkan, yaitu median yang dibuat lebih rendah dari permukaan jalur lalu lintas. Median yang diturunkan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Dipasang apabila lebar jalan yang disediakan untuk median lebih besar atau sama dengan 5,0 m. b. Kemiringan permukaan median antara 6%-15%, dimulai dari sisi luar ke tengah-tengah median dan secara fisik berbentuk cekungan.

12

c. Untuk jalan bebas hambatan di daerah perkotaan, median yang diturunkan tidak diperbolehkan, harus datar sebagai ruang terbuka gijau dan/atau ruang untuk pelebaran lajur tambahan di masa yang akan datang. Detail potongan dan penempatan median yang direndahkan dalam potongan melintang dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Median yang diturunkan Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Lebar median jalan harus memenuhi ketentuan pada Error! Reference source not found.. Tabel 2.11 Perencanaan Median Jalan Lebar Median (m) Lokasi Jalan Tol

Minimal

Konstruksi Bertahap

Keterangan

Antarkota

5,50

13,00

Perkotaan

3,00

10,00

Diukur dari garis tepi dalam lajur lalu lintas

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Untuk median denegan lebar minimum harus menggunakan rel pengaman lalu lintas. 2.9.3

Penampang Melintang Median Pada Jalan Terkena Superelevasi

13

Pada kondisi tikungan dengan superelevasi, median jalan bebas hambatan dipilih dengan cara 3 metode untuk digunakan dalam pencapaian superelevasi, yang dapat dilihat pada Gambar 2.10 dan dijelaskan sebagai berikut: 1. Metode 1, dengan ketentuan: a. Keseluruhan jalur lalu lintas termasuk median terkena superelevasi menyerupai sebidang datar; b. Bagian tengah median menjadi sumbu putar superelevasi. 2. Metode 2, dengan ketentuan: a. Keseluruhan jalur lalu lintas tanpa median terkena superelevasi; b. Sisi bagian dalam median menjadi sumbu putar jalur dalam, sisi luar median menjadi sumbu putar jalur luar. 3. Metode 3, dengan ketentuan: a. Kedua jalur lalu lintas diperlakukan secara terpisah; b. Masing-masing jalur lalu lintas menggunakan sumbu jalurnya untuk melakukan superelevasi.

Gambar 2.10 Pencapaian superelevasi pada jalan bebas hambatan Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

14

2.10

Jarak Pandang dan Kebebasan Samping Jarak pandang dan kebebasan samping ditentukan agar pengemudi

kendaraan dapat dengan aman mengendarai kendaraan, sehingga tingkat kecelakaan yang terjadi dapat seminimal mungkin. 2.10.1 Jarak Pandang Jarak pandang (S) diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 108 cm dan tinggi halangan 60 cm dari permukaan jalan. Setiap bagian jalan harus memenuhi jarak pandang. Ilustrasi dari jarak pandang dapat dilihat pada Gambar 2.11 dan Gambar 2.12.

Gambar 2.11 Jarak pandang henti pada lengkung vertikal cembung Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Gambar 2.12 Jarak pandang henti pada lengkung vertikal cekung Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Jarak pandang henti (Ss) terdiri dari 2 elemen jarak, yaitu: 1. Jarak awal reaksi (Sr) adalah jarak pergerakan kendaraan sejak pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti sampai saat pengemudi menginjak rem. 2. Jarak awal pengereman (Sb) adalah jarak pergerakan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti. Jarak pandang henti dapat terjadi pada 2 kondisi tertentu, sebagai berikut: 1. Jarak pandang henti (Ss) pada bagian datar dihitung dengan persamaan:

15

𝑉𝑅 2 𝑆𝑠 = 0,278 × 𝑉𝑅 × 𝑇 + 0,039 𝑎 2. Jarak pandang henti (Ss) akibat kelandaian dihitung dengan rumus: 𝑆𝑠 = 0,278 × 𝑉𝑅 × 𝑇 + 0,039

𝑉𝑅 2 𝑎

254 [(9,81) ± 𝐺]

Dengan: VR

= kecepatan rencana (km/jam)

T

= waktu reaksi, ditetapkan 2,5 detik

a

= tingkat perlambatan (m/s2), ditetapkan 3,4 m/s2

G

= kelandaian jalan (%)

2.10.2 Kebebasan Samping Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandangan di tikungan dengan membebaskan obyek-obyek penghalang sejauh M (meter), diukur dari garis tengah lajur dalam sampai obyek penghalang pandangan sehingga persyaratan jarak pandang henti dipenuhi. Ilustrasi dari daerah bebas samping di tikungan dapat dilihat pada Gambar 2.13.

Gambar 2.13 Diagram ilustrasi komponen untuk menentukan daerah bebas samping Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Daerah bebas samping di tikungan pada kondisi tertentu dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

16

1. Jika jarak pandang lebih kecil dari panjang tikungan (Ss < Lc) seperti pada Gambar 2.14; 𝑀 = 𝑅 [1 − cos (

90𝑆𝑠 )] 𝜋𝑅

2. Jika jarak pandang lebih besar dari panjang tikungan (Ss > Lc) seperti pada Gambar 2.15. 90𝐿𝑐 90𝐿𝑐 𝑀 = 𝑅 [1 − cos ( )] + 0,5(𝑆𝑠 − 𝐿𝑐 ) sin ( ) 𝜋𝑅 𝜋𝑅

Keterangan: M

= jarak yang diukur dari sumbu lajur dalam sampai obyek

penghalang pandangan (m) R

= jari-jari sumbu lajur dalam (m)

Ss

= jarak pandang henti (m)

Lc

= panjang tikungan (m)

Gambar 2.14 Diagram ilustrasi daerah bebas samping di tikungan untuk Ss < Lc Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

17

Gambar 2.15 Diagram ilustrasi daerah bebas samping di tikungan untuk Ss > Lc Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Nilai M untuk kondisi Ss > Lc pada masing-masing kecepata rencana diberikan pada Gambar 2.16 dengan plot jari-jari sumbu lajur dalam.

Gambar 2.16 Jarak bebas samping (M) berdasarkan jarak pandang henti pada tikungan Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

18

Pada jalan antarkota rumija = 40 m, maka jarak antara sumbu lajur dalam ke rumija adalah 6,75 m. Sedangkan, pada jalan perkotaan rumija = 30 m, jarak antara sumbu lajur dalam ke rumija adalah 4,25 m.

2.11 Perencanaan Alinyemen Horizontal Menurut Buku Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan yang ditulis oleh Silvia Sukirman, Alinemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal. Alinemen horizontal dikenal juga dengan nama “situasi jalan” atau “trase jalan”. Alinemen horizontal terdiri dari garis-garis lurus (biasa disebut “tangen”), yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung. Garis lengkung tersebut dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah dengan lengkung peralihan saja ataupun busur lingkaran saja. 2.11.1 Panjang Bagian Lurus Panjang maksimum bagian lurus harus dapat ditempuh waktu ≤ 2.5 menit (sesuai VR), dengan pertimbangan keselamatan pengemudi akibat kelelahan, dapat dilihat pada Tabel 2.12.

19

Tabel 2.12 Panjang bagian lurus maksimum Panjang Bagian Lurus Maksimum (m)

VR (km/jam)

Perhitungan

Pembulatan

140

5833,3

5850

120

5000,0

5000

100

4166,7

4200

80

3333,3

3350

60

2500,0

2500

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

2.11.2 Bentuk Tikungan Berdasarkan aturan yang digunakan terdapat tiga tikungan yang dapat digunakan dalam perencanaan jalan, yaitu sebagai berikut: 1.

Tikungan Full Circle (FC) Full Circle adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu

lingkaran saja. Tikungan Full Circle hanya digunakan untuk R (jari-jari tikungan) yang besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan R kecil maka diperlukan superelevasi yang besar. Jari-jari tikungan untuk tikungan jenis Full Circle ditunjukkan pada Tabel 2.13.

VR, km/jam

120

100

80

60

50

40

30

20

Rmin

2500

1500

900

500

350

250

130

60

Tabel 2.13 Jari-jari tikungan yang tidak memerlukan lengkung peralihan Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

20

Gambar 2.17 Tikungan Full Circle Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Rumus yang digunakan pada tikungan Full Circle, yaitu : 𝜋

LC

= 180 × ∆

TC

= 𝑅 × tan 2 × ∆

EC

= 𝑇𝑐 × tan 4 × ∆

1

1

Dimana : Δ

= sudut tikungan (°)

Tc

= panjang lingkaran (m)

Rc

= jari-jari lingkaran (m)

Ec

= panjang luar P1 ke busur lingkaran (m)

Lc

= panjang busur lingkaran (m)

2.

Tikungan Spiral-Circle-Spiral (SCS) Bentuk tikungan ini digunakan pada daerah-daerah perbukitan atau

pegunungan, karena tikungan jenis ini memiliki lengkung peralihan yang memungkinkan perubahan menikung tidak secara mendadak dan tikungan tersebut menjadi aman. Lengkung spiral merupakan peralihan dari suatu bagian lurus ke bagian lingkaran (Circle) yang panjangnya diperhitungkan dengan mempertimbangkan bahwa perubahan gaya sentrifugal dari nol sampai mencapai bagian lengkung.

21

Jari-jari yang diambil untuk tikungan Spiral-Circle-Spiral haruslah sesuai dengan kecepatan rencana dan tidak mengakibatkan adanya kemiringan tikungan yang melebihi harga maksimum yang telah ditentukan.

Gambar 2. 18 Tikungan Spiral-CIrcle-Spiral Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Jari-jari lengkung minimum untuk setiap kecepatan rencana ditentukan berdasarkan: 1) Kemiringan tikungan maksimum. 2) Koefisien gesekan melintang maksimum. Ketentuan dan rumus yang digunakan untuk jenis tikungan ini adalah sebagai berikut: 𝐿𝑠

ΘS = 2𝜋 ×

180 𝜋

ΔC = ∆ − 2𝜃𝑠 ∆

LC = 360 × 2𝜋𝑅 YC =

𝐿𝑠2 6𝑅 𝐿𝑠2

XC = 𝐿𝑠 − 40𝑅 K

= 𝑋𝑐 − 𝑅 sin 𝜃𝑠

P

= 𝑌𝑐 − 𝑅(1 − cos 𝜃𝑠) ∆

TS = (𝑅 + 𝑝) tan 2 + 𝑘 ES = L

(𝑅+𝑝) ∆ 2

cos

−𝑅

= 𝐿𝑐 + 2𝐿𝑠

22

Dimana : XS

= absis titik SC pada garis tangen, jarak titik TS ke SC (m)

YS

= ordinat titik SC pada garis tegak lurus pada garis tangen (m)

LS

= panjang lengkung peralihan (m)

L

= panjang busur lingkaran (dari titik SC ke CS) (m)

TS

= panjang tangen (titik P1 ke TS atau ke ST) (m)

TS

= titik dari tangen ke spiral (m)

SC

= titik dari spiral ke lingkaran (m)

ES

= jarak dari PI ke lingkaran (m)

R

= jari-jari lingkaran (m)

P

= pergeseran tangen terhadap spiral (m)

K

= absis dari p pada garis tangen spiral (m)

ΔC

= sudut lengkung spiral (˚)

3.

Tikungan Spiral-Spiral (SS) Bentuk tikungan ini digunakan pada keadaan yang sangat tajam. Lengkung

horizontal berbentuk Spiral-Spiral adalah lengkung tanpa busur lingkaran, sehinnga SC berimpit dengan titik CS.

Gambar 2. 19 Tikungan Spiral-Spiral Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

23

Adapun semua rumus dan aturannya sama seperti rumus Spiral-Circle-Spiral, yaitu : ∆ ΘS = 2 𝐿𝑠3

YC

=

Xc

= 𝐿𝑠 − 40𝑅2

K

= 𝑋𝑐 − 𝑅 sin 𝜃𝑠

P

= 𝑌𝑐 − 𝑅(1 − cos 𝜃𝑠)

TS

= (𝑅 + 𝑝) tan 2 + 𝑘

ES

=

L

= 2𝐿𝑠

6𝑅 𝐿𝑠2



(𝑅+𝑝) ∆ 2

cos

−𝑅

Dimana : ES = jarak dari PI ke busur lingkaran TS = panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST (m) TS = titik dari tangen ke spiral (m) SC = titik dari spiral ke lingkaran (m) R = jari-jari lingkaran (m)

2.11.3 Panjang Tikungan Panjang tikungan (Lt) dapat terdiri dari panjang busur lingkaran (Lc) dan panjang dua lengkung spiral (Ls) atau beberapa lengkung spiral yang diukur sepanjang

sumbu

jalan.

Untuk

menjamin

kelancaran

dan

kemudahan

mengemudikan kendaraan pada saat menikung, maka panjang suatu tikungan tidak kurang dari 6 detik perjalanan dengan VR. Pada tikungan FC nilai Ls = 0 sehingga Lt = Lc sedangkan pada tikungan SS nilai Lc = 0 sehingga Lt = 2Ls. Panjang ini dapat diperhitungkan berdasarkan VR atau ditetapkan berdasarkan tabel berikut:

24

Tabel 2.14 Panjang Tikungan Minimum VR (km/jam) 120 100 80 60

Panjang Tikungan Minimum (m) 200 170 140 100

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

2.11.4 Superelevasi Superelevasi harus dibuat pada semua tikungan yang memiliki radius lebih besar dari Rmin tanpa superelevasi. Besarnya superelevasi harus direncanakan sesuai dengan VR. Superelevasi ini berlaku pada jalur lalu lintas dan bahu jalan. Nilai superelevasi maksimum ditetapkan antara 4% - 10%. Pada saat perencanaan perlu diperhatikan drainase pada pencapaian kemiringan terkait dengan superelevasi. 2.11.5 Jari-jari Tikungan Jari-jari tikungan minimum (Rmin) ditetapkan dengan rumus sebagai berikut: 𝑅𝑚𝑖𝑛 =

𝑉R² 127 (ℯ max + 𝑓max)

Dimana: Rmin : Jari-jari tikungan minimum (m) VR

: Kecepatan Rencana (km/j)

ℯ max : Superelevasi maksimum (%) f max : Koefisien gesek maksimum Untuk besaran dari nilai superelevasi maksimum dan nilai koefisien gesek dapat ditentukan dengan menggunakan tabel berikut:

Superelevasi Maksimum 10% 8% 6% 4%

Kondisi Yang Digunakan Maksimum untuk jalan tol antarkota Maksimum untuk jalan tol antarkota dengan curah hujan tinggi Maksimum untuk jalan tol perkotaan Maksimum untuk jalan tol perkotaan dengan kepadatan tinggi

25

Tabel 2. 15 Superelevasi Maksimum Berdasarkan Tata Guna Lahan dan Iklim Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Tabel 2. 16 Koefisien Gesek Maksimum Berdasarkan VR V

R (km/jam) 120 100 80 60

Koefisien Gesek Maksimum (fmax) 0,092 0,116 0,140 0,152

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Hasil perhitungan Rmin serta distribusi besaran superelevasi berdasarkan nilai R dapat dilihat pada gambar berikut: Tabel 2.17 Panjang Jari-jari Minimum Dibulatkan e

ma x

VR

Rmin (m) f

max (%) (km/jam) 10,0 120 0,092 10,0 100 0,116 10,0 80 0,140 10,0 60 0,152 8,0 120 0,092 8,0 100 0,116 8,0 80 0,140 8,0 60 0,152 6,0 120 0,092 6,0 100 0,116 6,0 80 0,140 6,0 60 0,152 4,0 120 0,092 4,0 100 0,116 4,0 80 0,140 4,0 60 0,152

(e/100+f) 0,192 0,216 0,240 0,252 0,172 0,196 0,220 0,232 0,152 0,176 0,200 0,212 0,132 0,156 0,180 0,192

Perhitungan Pembulatan 590,6 590 364,5 365 210,0 210 112,5 110 659,2 660 401,7 400 229,1 230 122,2 120 746,0 745 447,4 445 252,0 250 133,7 135 859,0 860 504,7 505 280,0 280 147,6 150

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

26

Gambar 2. 20 Distribusi Besaran Superelevasi untuk Superelevasi Maksimum 10% Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Gambar 2. 21 Distribusi Besaran Superelevasi untuk Superelevasi Maksimum 8% Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

27

Gambar 2. 22 Distribusi Besaran Superelevasi untuk Superelevasi Maksimum 6% Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Gambar 2. 23 Distribusi Besaran Superelevasi untuk Superelevasi Maksimum 4% Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Peralihan Rmin atau tikungan dengan ℯ max untuk suatu tikungan adalah tidak memberikan kenyamanan pada pengguna jalan. Disamping itu kecepatan kendaraan yang menikung bervariasi, dengan demikian penggunaan Rmin hanya untuk kondisi medan jalan yang sulit dan hanya di daerah perkotaan, maka dihuaruskan menggunakan R yang lebih besar daripada Rmin. 2.11.6 Lengkung Peralihan Lengkung peralihan (Ls) berfungsi untuk memberikan kesempatan kepada pengemudi untuk mengantisipasi perubahan alinyemen jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga) sampai bagian lengkung jalan dengan jari-jari R tetap, dengan

28

demikian gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat melintasi tikungan berubah secara berangsur-angsur, baik ketika kendaraan mendekati tikungan maupun meninggalkan tikungan. Ketentuan untuk lengkung peralihan adalah sebagai berikut: 1. Bentuk lengkung peralihan yang digunakan adalah bentuk spiral. 2. Panjang lengkung peralihan ditetapkan atas pertimbangan-pertimbangna berikut: a. Waktu perjalanan melintasi lengkung peralihan. b. Tingkat perubahan kelandaian melintang jalan. c. Gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan. d. Tingkat perubahan kelandaian relative. 3. Ls ditentukan 2.11.7 Diagram Superelevasi Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal pada bagian jalan yang lurus sampai ke superelevasi penuh pada bagian lengkung, hal tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2. 24 Metoda Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Pada tikungan tipe SCS, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear, diawali dari bentuk normal sampai awal lengkung peralihan pada titik TS, kemudian meningkat secara bertahap sampai mencapai superelevasi penuh pada titik SC, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:

29

Gambar 2. 25 Pencapaian Superelevasi pada Tikungan SCS Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Pada tikungan tipe FC, bila diperlukan pencapaian superelevasi dilakukan secara linear, diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls dan dilanjutkan pada bagian lingkaran penuh sepanjang 1/3 bagian panjang Ls, seperti terlihat pada gambar berikut:

Gambar 2. 26 Pencapaian Superelevasi pada Tikungan FC Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Pada tikungan tipe SS, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan pada bagian spiral seperti terlihat pada gambar berikut:

30

Gambar 2. 27 Pencapaian Superelevasi pada Tikungan SS Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

2.11.8 Pelebaran di Tikungan Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan kondisi pelayanan operasional lalu lintas di bagian tikungan, sehingga sama dengan pelayanan operasional di bagian jalan yang lurus. Pada jalan bebas hambatan untuk jalan tol, dimana perencanaan tikungan sedapat mungkin menggunakan jar-jari tikungan yang besar, pelebaran jalur lalu lintas tidaklah signifikan. Akan tetapi pada perencanaan ramp yang berbentuk loop, pelebaran jalur lalu lintas di tikungan harus diperhatikan sesuai dengan rumus berikut: 𝑊 = 𝑊𝑐 − 𝑊𝑛 Dimana: W

= Pelebaran jalan pada tikungan (m)

Wc

= Lebar jalan pada tikungan (m)

Wn

= Lebar jalan pada jalan lurus (m)

31

Gambar 2. 28 Pelebaran pada Tikungan untuk Kendaraan Semi Trailer Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Kendaraan rencana yang akan digunakan dalam perencanaan pelebaran jalan di tikungan adalah golongan V truk semi trailer kombinasi besar dengan 5 sumbu. Pelebaran yang nilainya lebih kecil dari 0,60 m dapat diabaikan. Untuk jalan 6/2 D, nilai pelebaran dikali 1,5 sedangkan untuk jalan 8/2 D nilai pelebaran jalan dikali 2,0. Pelebaran jalur lalu lintas di tikungan berdasarkan kecepatan rencana dan radius tikungan ditetapkan pada tabel berikut: Tabel 2. 18 Pelebaran Jalur Lalu Lintas di Tikungan VR = 120 km/jam VR = 100 km/jam VR = 80 km/jam VR = 60 km/jam R (m) 3000 2500 2000 1500 1000 900 800 700 600 500 400

Pelebara n, W (m) 7,24 0,04 7,27 0,07 7,31 0,11 7,38 0,18 7,49 0,29 7,53 0,33 7,57 0,37 7,62 0,42 7,69 0,49 Rmin = 590 m Wc (m)

Wc (m) 7,21 7,23 7,27 7,33 7,43 7,46 7,50 7,55 7,61 7,69 7,81

Pelebara n, W (m) 0,01 0,03 0,07 0,13 0,23 0,26 0,30 0,35 0,41 0,49 0,61

32

Wc (m) 7,17 7,19 7,22 7,27 7,37 7,39 7,43 7,47 7,53 7,60 7,71

Pelebara n, W (m) 0,00 0,00 0,02 0,07 0,17 0,19 0,23 0,27 0,33 0,40 0,51

Wc (m) 7,13 7,15 7,18 7,22 7,30 7,33 7,36 7,40 7,45 7,51 7,61

Pelebara n, W (m) 0,00 0,00 0,00 0,02 0,10 0,13 0,16 0,20 0,25 0,31 0,41

Rmin = 365 m

300 250 200 150 140 130 120 110 100

7,88 0,68 8,02 0,82 Rmin = 210 m

7,77 0,57 7,89 0,69 8,07 0,87 8,35 1,15 8,43 1,23 8,52 1,32 8,63 1,43 8,76 1,56 Rmin = 110 m

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

2.11.9 Bentuk Tikungan Berurutan Ada dua macam bentuk tikungan berurutan yaitu tikungan berurutan searah yang terdiri dari dua atau lebih tikungan dengan arah belokan yang sama tetapi dengan jari-jari yang berbeda dan tikungan berurutan balik arah yang terdiri dari dua atau lebih tikungan dengan arah belokan yang berbeda. Penggunaan tikungan berurutan harus dipertimbangkan berdasarkan perbandingan R1 dan R2 dimana ditetapkan bahwa R1 adalah jari-jari tikungan yang lebih besar. Ketentuan untuk tikungan berurutan adalah sebagai berikut: 1. Setiap tikungan berurutan harus disisipi bagian lurus yang memiliki kemiringan normal dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pada tikungan berurutan searah, panjang bagian lurus paling tidak 20 m b. Pada tikungan berurutan balik arah, panjang bagian lurus paling tidak 30 m 2. Jika R2/R1 > 2/3, maka tikungan berurutan searah harus dihindari 3. Jika R2/R1 < 2/3, maka tikungan berurutan balik arah harus disisipi bagian lurus atau bagian spiral Untuk lebih jelasnya mengenai penjelasan di atas dapat dilihat pada gambargambar berikut:

33

Gambar 2. 29 Tikungan Berurutan Searah yang Harus Dihindari Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Gambar 2. 30 Tikungan Berurutan Searah dengan Sisipan Bagian Lurus Minimum Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Gambar 2. 31 Tikungan Berurutan Balik Arah yang Harus Dihindari Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

34

Gambar 2. 32 Tikungan Berurutan Balik Arah dengan Sisipan Bagian Lurus Minimum Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

2.12 Perencanaan Alinemen Vertikal 2.12.1 Bagian-bagian Alinemen Vertikal Alinemen vertical terdiri atas bagian lurus yaitu dapat berupa landau positif (tanjakan) atau landau negative (Turunan) atau landau nol (datar) dan bagian lengkung vertical dapat berupa lengkung cekung dan lengkung cembung.

Gambar 2. 33 Lengkung Vertikal Cembung dan Lengkung Vertikal Cekung Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

2.12.2 Kelandaian Minimum Kelandaian minimum perlu diberikan apabila kondisi jalan tidak memungkinkan melakukan drainase ke sisi jalan. Besarnya kelandaian minimum ditetapkan 0,50% memanjang jalan untuk kepentingan aliran air. 2.12.3 Kelandaian Maksimum Pembatasan kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian maksimum jalan untuk alanemen vertical harus memenuhi syarat pada tabel berikut:

35

Tabel 2.19 Kelandaian Maksimum V

R (km/jam) 120 100 80 60

Kelandaian Maksimum (%) Datar Perbukitan Pegunungan 3 4 5 3 4 6 4 5 6 5 6 6

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

2.12.4 Panjang Lengkung Vertikal Lengkung vertical harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami perubahan kelandaian dengan tujuan mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian dan menyediakan jarak pandang henti.

2.12.5 Lengkung Vertikal Cembung Panjang lengkung vertical cembung berdasarkan jarak pandangan henti ditentukan dengan rumus sebagai berikut: a. Jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertical cembung (S < L), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2. 34 Jarak Pandang Henti Lebih Kecil dari Panjang Lengkung Vertikal Cembung Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

𝐿=

𝐴𝑆² 658

b. Jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertical cembung (S > L), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:

36

Gambar 2. 35 Jarak Pandang Henti Lebih Besar dari Panjang Lengkung Vertikal Cembung Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

𝐿 = 2𝑆 −

658 𝐴

Dimana: L

= Panjang lengkung vertical (m)

A

= Perbedaan aljabar landau (%)

S

= Jarak pandang henti (m) Nilai minimum untuk panjang lengkung vertical pada kondisi jarak pandang

lebih besar dari panjang lengkung vertical yaitu Lmin = 0,6 VR dimana VR dalam km/jam dan Lmin dalam meter. Panjang minimum lengkung vertical cembung berdasarkan jarak pandangan henti untuk setiap kecepatan rencana (Vr) jalan tol dapat dilihat pada gambar dan tabel berikut:

Gambar 2. 36 Panjang Lengkung Vertikal Cembung Berdasarkan Jarak Pandang Henti Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

37

Tabel 2.20 Panjang Lengkung Vertikal Cembung Berdasarkan Jarak Pandang Henti Perbedaan Aljabar Landai (%) 12,0 11,0 10,0 9,0 8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0

Panjang Lengkung Vertikal Cembung (m) VR = 120 km/jam

VR = 100 km/jam

VR = 80 km/jam

625 573 521 469 417 365 313 261 209 151 60 60

760 665 570 475 380 285 171 72

VR = 60 km/jam

309 283 257 232 206 180 155 129 96 48 48 48

132 121 110 99 88 76 61 39 36 36 36 36

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

2.12.6 Lengkung Vertikal Cekung Panjang lengkung vertical cekung berdasarkan jarak pandangan henti ditentukan dengan rumus sebagai berikut: a. Jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertical cekung (S < L) 𝐿=

𝐴𝑆² 120 + 3,5𝑆

b. Jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertical cekung (S > L) 𝐿 = 2𝑆 − (

120 + 3,5𝑆 ) 𝐴

Keterangan: L

= Panjang lengkung vertical (m)

A

= Perbedaan aljabar landau (%)

S

= Jarak pandang henti (m)

Nilai minimum untuk panjang lengkung vertical pada kondisi jarak pandang lebih besar ari panjang lengkung vertical yaitu Lmin = 0,6 VR dimana VR dalam km/jam dan Lmin dalam meter. Panjang minimum lengkung vertical cekung

38

berdasarkan jarak pandangan henti untuk setiap kecepatan rencana (Vr) dapat dilihat pada gambar dan tabel berikut:

Gambar 2. 37 Panjang Lengkung Vertikal Cekung Berdasarkan Jarak Pandang Henti Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Tabel 2.21 Panjang Lengkung Vertikal Cekung Berdasarkan Jarak Pandang Henti Perbedaan Aljabar VR = 120 Landai km/jam (%) 12,0 11,0 10,0 9,0 8,0 503 7,0 440 6,0 377 5,0 315 4,0 252 3,0 169 2,0 72 1,0 72

Panjang Lengkung Vertikal Cekung (m) VR = 100 km/jam 536 491 446 402 357 313 268 223 179 115 60 60

VR = 80 km/jam 353 324 294 265 236 206 177 147 117 69 48 48

VR = 60 km/jam 208 191 174 156 139 122 104 87 66 36 36 36

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

39

2.12.7 Galian dan Timbunan Galian dan timbunan merupakan pemindahan sejumlah volume tanah akibat adanya perbedaan ketinggian (ketinggian muka tanah asli dengan ketinggian rencana trase) di suatu tempat.

Gambar 2. 38 Galian dan Timbunan Sumber : google.com

Metoda perhitungan volume galian dan timbunan yang sederhana adalah menggunakan Average End Area Methode. Rumus untuk menentukan galian dan timbunan adalah sebagai berikut: 𝐺 = (0,5(𝐺1 + 𝐺2))𝑥 𝑑 𝑇 = (0,5(𝑇1 + 𝑇2))𝑥 𝑑 Dimana: d

= Luas galian/ timbunan pada penampang melintang berjarak 2550 meter

G

=

Volume galian, merupakan luas galian rata-rata dari dua

penampang berurutan dikalikan dengan jarak antar kedua penampang tersebut T

= Volume timbunan, merupakan luas timbunan rata-rata dari kedua penampang berurutan dikalikan dengan jarak antar kedua penampang tersebut

2.13 Perkerasan Jalan Perkerasan jalan adalah sebuah struktur pada jalan yang terdiri dari beberapa lapisan yang berfungsi sebagai tempat kendaraan melintas. Perkerasan jalan dibagi menjadi 2 jenis yaitu perkerasan lentur (flexible pavement) dan perkerasan kaku (rigid pavement). Perbedaan kedua jenis struktur perkerasan ini berapa pada komponen lapisan perkerasan. Penggunaan perkerasaan jalan

40

didasarkan pada kebutuhan jalan dalam memikul beban lalu lintas yang terjadi. Oleh karena itu dalam perencanaannya, data lalu lintas yang terjadi harus ditentukan secara benar, sehingga perkerasan yang direncanakan akan efisien dalam segi waktu, mutu, dan biaya. Pada perencanaannya, terdapat beberapa aturan yang memebrikan ketentuanketentuan dalam merencanakan perkerasan. Hasil dari perencanaan perkerasan jalan ini yaitu tebal struktur perkerasan jalan yang dapat memikul beban lalu lintas di atasnya. Perencanaan perkerasan yang dilakukan menggunakan ketentuan pada AASHTO 1993. Dalam hal ini, perkerasan yang direncanakan adalah perkerasan kaku (rigid pavement) karena jalan termasuk ke dalam jalan bebas hambatan.

2.14 Data Teknis Perencanaan Data teknis perancangan adalah data-data yang digunakan untuk merencanakan perkerasan. Data teknis perencangan terdiri dari: a. Data Lalu Lintas Harian Data lalu lintas harian adalah data lalu lintas yang terjadi pada jalan tersebut dalam satu hari. Data lalu lintas diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan cara survey langsung ke lokasi jalan dan menggunakan data pemodelan. Survey langsung ke lokasi jalan dilakukan apabila jalan yang direncanakan sudah ada yang kemudian data ditingkatkan sesuai dengan umur rencana jalan yang akan direncanakan, sedangkan data pemodelan digunakan untuk merencanakan jalan yang belum ada atau jalan baru. Data lalu lintas yang digunakan adalah data kendaraan dalam satu hari atau kend/hari. b. Susunan Perkerasan Susunan perkerasan jalan terdiri dari beberapa lapisan tergantung dengan kondisi tanah dan perencanaan. Pada perkerasan kaku, struktur perkerasan terdiri dari lapis pondasi bawah (subbase) dan lapis permukaan beton. Material beton dan lapis pondasi bawah yang digunakan direncanakan sesuai dnegan kekuatan material atau mutu material. c. Nilai CBR Tanah Nilai CBR tanah digunakan untuk mengetahui daya dukung tanah dalam

2

menerima beban. Nilai CBR didapatkan dengan 2 cara, yaitu CBR laboratorium dan CBR lapangan. CBR laboratorium digunakan untuk perencanaan perkerasan jalan yang baru akan dibangun. CBR lapangan digunakan untuk perencanaan lapis perkerasan tambahan (overlay). Nilai CBR yang digunakan dalam merencanakan perkerasan adalah nilai CBR 90%, dimana nilai CBR ini yang mewakili nilai CBR di seluruh lokasi yang ditinjau. c. Nilai CBR Tanah Nilai CBR tanah digunakan untuk mengetahui daya dukung tanah dalam menerima beban. Nilai CBR didapatkan dengan 2 cara, yaitu CBR laboratorium dan CBR lapangan. CBR laboratorium digunakan untuk perencanaan perkerasan jalan yang baru akan dibangun. CBR lapangan digunakan untuk perencanaan lapis perkerasan tambahan (overlay). Nilai CBR yang digunakan dalam merencanakan perkerasan adalah nilai CBR 90%, dimana nilai CBR ini yang mewakili nilai CBR di seluruh lokasi yang ditinjau.

2.14.1 Parameter Perancangan Berdasarkan Data Lalu Lintas Parameter-parameter perancangan ditentukan berdasarkan data lalu lintas yang tersedia. Parameter ini nantinya akan digunakan dalam persamaan untuk dapat menentukan tebal yang dibutuhkan. a. Lebar Perkerasan Lebar perkerasan dan jumlah lajur ditentukan berdasarkan Tabel 2.22 di bawah ini:

Tabel 2.22 Lebar Perkerasan Jalan Lebar Perkerasan (Lp)

Jumlah Lajur (n1)

LP < 5,5 m

1

5,50 m ≤ Lp ≤ 8,25 m

2

8,25 m ≤ Lp ≤ 11,25 m

3

11,25 m ≤ Lp < 15 m

4

15 m ≤ Lp < 18,75 m

5

18,75 m ≤ Lp < 22 m

6

Sumber : Buku Perkerasan Jalan

3

b. Koefisien Distribusi Koefisien distribusi dibagi menjadi dua, yaitu koefisien distribusi lajur (DL) dan koefisien distribusi arah (DD). Koefisien distribusi lajur (DL) ditentukan berdasarkan Tabel 2.23 sebagai berikut: Tabel 2.23 Koefisien Distribusi Lajur Jumlah Lajur (n1) 1 2 3

4 5 6

Kendaraan Ringan 1 Arah 2 Arah 1 1 0,60 0,50 0,40 0,44 0,30 0,25 0,20

Kendaraan Berat 1 Arah 2 Arah 1 1 0,70 0,50 0,50 0,475 0,45 0,425 0,40

Sumber : Buku Perkerasan Jalan

c. Angka Ekivalen Angka ekivalen ditentukan berdasarkan beban sumbu pada setiap kendaraan dan tergantung pada sumbu setiap kendaraan. Angka ekivalen dihitung menggunakan persamaan pada gambar di bawah ini:

d. Faktor Umur Rencana Faktor umur rencana adalah hubungan antara umur rencana dan tingkat pertumbuhan lalu lintas. Faktor umur rencana dapat ditentukan dengan persamaan berikut: 4

e. Operasi W18 Operasi W18 adalah parameter penentu ketebalan perkerasan berdasarkan data lalu lintas yang telah dikalikan dengan faktor-faktor yang ditentukan berdasarkan data lalu linta. W18 dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:

2.14.2 Parameter Perancangan Perkerasan a. Reliabilitas Reliabilitas adalah parameter yang berfungsi sebagai akomodasi dari ketidakpastian dalam melakukan perencanaan perkerasan. Reliabiltas ditentukan

berdasarkan

tingkat

lalu

lintas

pada

jalan

yang

direncanakan dan klasifikasi jalan yang direncanakan. Rekomendasi tingkat

reliabilitas

ditentukan

berdasarkan

jenis

jalan

yang

direncanakan dan dapat dilihat pada Tabel 2.24. Tabel 2.24 Rekomendasi Tingkat Reliabilitas % Klasifikasi Jalan

Rekomendasi Tingkat Reliabilitas % Perkotaan Antar Kota

Bebas Hambatan Arteri Kolektor Lokal

85 - 99,9 80 - 99 80 - 95 50 - 80

80 - 99,9 75 - 95 75 - 95 50 - 80

Sumber : Buku Perkerasan Jalan

b. Standar Normal Deviasi Standar normal deviasi ditentukan berdasarkan tingkat reliabilitas yang telah ditentukan. Standar normal deviasi dapat dilihat pada Tabel 2.25.

5

Tabel 2.25 Standar Normal Deviasi Reliabilitas, R (%)

Standard Normal Deviasi, Zr

80

-0,842

85

-1,036

90

-1,282

91

-1,341

92

-1,405

93

-1,476

Sumber : Buku Perkerasan Jalan

c. Standar Deviasi Standar deviasi harus ditentuka sebagai representasi dari kondisi lokal. Berdasarkan AASHTO 1993, standar deviasi untuk perkerasan kaku So bernilai antara 0,35-0,45. d. Indeks Permukaan Nilai Indeks Permukaan Awal Umur Rencana didapat berdasarkan jenis lapisan perkerasan yang digunakan yaitu perkerasan kaku. Berdasarkan AASHTO 1993, indeks permukaan awal untuk jenis lapisan perkerasan kaku ditetapkan nilai IPo bernilai 4,5. Nilai Indeks Permukaan Akhir Umur Rencana didapat berdasarkan jenis jalan yang digunakan, dapat dilihat di Tabel 2.26:

Tabel 2.26 Indeks permukaan akhir umur rencana Lokal 1,0 - 1,5

Klasifikasi Jalan Kolektor Arteri Bebas Hambatan 1,5 - 2,0 2,0 - 2,5 2,5

Sumber : Buku Perkerasan Jalan

Perubahan indeks permukaan pada awal dan akhir umur rencana ditentukan menggunaan persamaan berikut:

6

e. Modulus Tanah Dasar Modulus resilien tanah dasar ditentukan dengan cara mengkorelasikan nilai CBR yang tersedia yang dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut : MR

= 10 × CBR Tanah Dasar (MPa)

MR

= 1500 × CBR Tanah Dasar (psi)

f. Modulus Perkerasan Bawah Modulus perkerasan bawah ditentukan untuk mengetahui kehilangan daya dukung atau loss strength (LS). Nilai LS ditentukan berdasarkan material yang digunakan pada perkerasan bawah. Kehilangan daya dukung dilihat dari Tabel 2.27. Tabel 2.27 Kehilangan Daya Dukung No 1 2 3 4 5 6 7

Type Material Cement Treated Granular Base (E = 1.000.000 2.000.000 psi) Cement Aggregate Mixtures (E = 500.000 - 1.000.000 psi) Asphalt Treated Base (E = 350.000 - 1.000.000 psi) Bituminous Stabilized Mixtures (E = 40.000 - 300.000 psi) Lime Stabilized (E = 20.000 - 70.000 psi) Unbound Granular Materials (E = 15.000 - 45.000 psi) Fine grained/Natural subgrade materials (E = 3.000 40.000 psi)

LS 0- 1 0-1 0-1 0-1 1-3 1-3 2-3

Sumber : Buku Perkerasan Jalan

g. Modulus Reaksi Tanah Dasar (k) Modulus reaksi tanah dasar didapatkan berdasarkan modulus subbase, tebal subbase, dan modulus resilien. Parameter-parameter tersebut kemudian di plot pada grafik yang dapat dilihat pada Gambar 2.39.

7

Gambar 2.39 Modulus Reaksi Tanah Sumber: Buku Perkerasan Jalan

Modulus reaksi tanah dasar kemudia diplot pada Gambar 2.40 untuk mendapatkan modulus reaksi tanah dasar efektif.

Gambar 2.40 Modulus reaksi tanah dasar efektif (k) Sumber: Buku Perkerasan Jalan

8

h. Modulus Elastisitas Beton Modulus elastisitas beton dihitung menggunakan persamaan berikut:

i. Modulus Kelenturan Beton Modulus kelenturan beton adalah nilai rata-rata kekuatan tarik lentur pada usia 28 hari. Penentuan modulus kelenturan beton pada perencanaan terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. j. Koefisien Pelimpahan Beban Koefisien

pelimpahan

kemampuan

perkerasan

beban

adalah

beton

faktor

semen

yang

dalam

mempengaruhi

melimpahkan

atau

mendistribusikan beban pada daerah yang terputus seperti pada daerah sambungan atau retakan. Besar nilai J pada perkerasan beton dengan sambungan dan bahu yang menyatu biasanya akan naik kaena beban agregat akan menurun dengan pengulangan beban. Untuk variasi nilai J, maka nilai J lebih tinggi harus digunakan untuk nilai k yang lebih rendah, koefisien suhu tingg, dan variasi suhu yang besar. Untuk penggunaan dowel, jarak dan ukuran harus ditentukan berdasarkan pengalaman atau berdasarkan petunjuk yang ada. Diameter dowel harus sama dengan tebal pelat dikalikan dengan 1/8 inch (panjang dan jarak dowel biasanya 12 dan 18 inch). Berikut adalah tabel yang digunakan untuk menentukan nilai koefisien pelimpahan beban J:

Tabel 2.28 Koefiisien Pelimpahan Beban Bahu Pelimpahan Beban Jenis Perkerasan Perkerasan bersambung tanpa atau dengan tulangan (JCP/JRCP) Perkerasan beton menerus dengan tulangan (CRCP)

Aspal

Beton

Ya

Tidak

Ya

Tidak

3,2

3,8 - 4,4

2,5 3,1

3,6 4,2

2,9 - 3,2

N/A

2,3 2,9

N/A

Sumber : Buku Perkerasan Jalan

9

k. Koefisien Drainase Koefisien drainase ditentukan untuk mengetahui kecepatan air hilang dari perkerasan.

Kualitas

drainase

perkerasan

ditentukan

berdasarkan

kecepatan air hilang dari perkerasan dapat dilihat pada Tabel 2.29.

Tabel 2.29 Kualitas Drainase Kualitas Drainase

Air hilang dalam

Baik Sekali

2 jam

Baik

1 hari

Sedang

1 minggu

Jelek

1 bulan

Jelek Sekali

Air tidak mengalir

Sumber: Buku Perkerasan Jalan

Untuk mendapatkan koefisien drainase, maka perlu ditentuka persen waktu struktur perkerasan dipengaruhi oleh kadar air yang mendekati jenuh. Dengan menggunakan persamaan berikut:

Koefisien drainase dapat ditentukan dengan melihat kualitas drainase dan persen waktu dapat dilihat pada Tabel 2.30.

Tabel 2.30 Koefisien Drainase Kualitas Drainase Baik Sekali Baik Sedang Jelek Jelek Sekali

Persen Waktu Strukur Perkerasan dipengaruhi oleh Kadar air yang mendekati Jenuh < 1% 1% - 5% 5% - 25% >25% 1,4 - 1,3 1,35 - 1,30 1,3 - 1,2 1,2 1,35 - 1,25 1,25 - 1,15 1,15 - 1 1 1,25 - 1,15 1,15 - 1,05 1 - 0,8 0,8 1,15 - 1,05 1,05 - 0,80 0,8 - 0,6 0,6 1,05 - 0,95 0,80 - 0,75 0,6 - 0,4 0,4

Sumber : Buku Perkerasan Jalan

10

2.14.3 Tebal Perkerasan Kaku Tebal perkerasan ditentukn setelah parameter-parameter perancangan perkerasan diketahui. Tebal perkerasan ditentukan dengan persamaan berikut :

2.15 eran cang an Salu ran Drainase Saluran drainase merupakan saluran yang dibuat pada sisi kanan dan kiri jalan yang berfungsi untuk menampung dan membuang air yang berasal dari permukaan jalan dan daerah pengaliran sekitar jalan. Dalam merancang saluran samping jalan harus diperhatikan pengaruh material untuk saluran tersebut dengan kecepatan rencana aliran yang di tentukan oleh sifat hidrolis penampang saluran (kemiringan saluran). Dalam merancang saluran samping pada suatu jalan harus sesuai dengan kriteria dalam merancang suatu infranstruktur keairan dari segi analisis hidrologi dan hidrolika. Saluran drainase dapat dibedakan menjadi dua yaitu saluran drainase permukaan dan saluran drainase bawah permukaan. Survey Hidrologi dalam perencanaan teknik jalan raya diperlukan untuk perencanaan sistem dan sarana drainase supaya kosntruksi jalan aman terhadap pengaruh air selama masa usia rencana, karena kerusakan yang terjadi pada konstruksi jalan raya pada umumnya secara langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh air.

11

P

Gambar 2.41 Penampang Melintang Saluran Drainase Permukaan Sumber : Buku Hidrologi Teknik

2.15.1 Saluran Samping Jalan a. Fungsi Saluran Jalan Berfungsi Mengendalikan limpasan air di permukaan jalan dan dari daerah sekitarnya agar tidak merusak konstruksi jalan. Fungsi Utama : -

Membawa air dari permukaan ke pembuangan air

-

Menampung air tanah (dari subdrain) dan air permukaan yang melimpas menuju jalan.

-

Membawa air menyeberang jalan melalui gorong-gorong atau bagunan lainnya secara terkendali.

b. Saluran Samping Jalan Pemilihan Jenis Material untuk saluran samping umumnya ditentukan oleh besarnya kecepatan rencana aliran air yang anak melewati saluran samping sedemikian sehingga material dapat di lihat pada tabel di bawah :

12

Tabel 2. 31 Kecepatan Aliran Air yang diijinkan berdasarkan Jenis Material Jenis Material Pasir Halus Lempung Kepasiran Lanau Aluvial Kerikil Halus Lempung Kokoh Lempung Padat Kerikil Kasar Batu-batu besar Pasangan Batu Beton Beton Bertulang

Kecepatan Aliran Air yang Diijinkan (m/detik) 0,45 0.50 0.60 0.75 0.75 1.10 1.20 1.50 1.50 1.50 1.50

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga Pembinaan Jalan Kota

Kemiringan melintang harus memenuhi ketentuan yang diuraikan berikut ini: 1. Daerah jalan yang datar dan lurus a. Kemiringan perkerasan dan bahu jalan mulai dari tengah perkerasan (as jalan) menurun/melandai ke arah saluran drainase. Dapat dilihat seperti pada gambar 2.47.

Gambar 2.42 Kemiringan Melintang Normal Pada Daerah Datar dan Lurus Sumber : Buku Hidrologi Teknik

Keterangan gambar: im

= kemiringan melintang perkerasan jalan

ib

= kemiringan bahu (im + 2%)

b. Besarnya kemiringan bahu jalan diambil 2% lebih besar daripada kemiringan permukaan jalan. c. Kemiringan melintang normal pada perkerasan jalan, dapat dilihat seperti pada Tabel 2.32. 13

Tabel 2.32 Kemiringan Melintang Perkerasan dan Bahu Jalan No 1 2 3 4

Jenis lapisan perkerasan jalan

kemiringan melintang im (%) 2–3 2–4 3–6 4–6

Aspal, Beton Japat (jalan yang dipadatkan) Kerikil Tanah

Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan

d. Pada bahu jalan yang terbuat dari tanah lempung dan tidak diperkeras, untuk mempercepat pengaliran air hujan agar tidak meresap ke dalam bahu jalan, dibuat saluran-saluran kecil yang melintang bahu jalan. Dapat dilihat seperti pada Gambar 2.48.

Gambar 2.48 Drainase Melintang Pada Bahu Jalan Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan

2. Daerah yang lurus pada tanjakan atau turunan a. Perlu dibuat suatu saluran inlet dengan sudut kemiringan ± 60º - 75º, agar aliran air dapat mengalir ke drainase (walaupun tidak akan seluruhnya). Dapat dilihat seperti pada Gambar 2.49. b. Untuk menentukan kemiringan perkerasan jalan, gunakan nilai-nilai dari Tabel 2.33. c. Untuk menghindari perkerasan jalan tidak rusak oleh aliran air hujan, maka pada badan jalan, pada jarak tertentu dibuat saluran kecil melintang bahu jalan.

14

Gambar 2.49 Drainase Bahu Jalan di Daerah Tanjakan / Turunan Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan

3. Daerah Tikungan a. Harus mempertimbangkan kebutuhan kemiringan jalan menurut persyaratan alinyemen horisontal jalan (ketentuan yang berlaku). b. Kemiringan perkerasan jalan harus dimulai dari sisi luar tikungan menurun/melandai ke sisi dalam tikungan. c. Besarnya kemiringan daerah ini ditentukan oleh nilai maksimum kebutuhan kemiringan menurut keperluan drainase. d. Besarnya kemiringan bahu jalan ditentukan dengan kaidah-kaidah sebelumnya atau dapat dilihat seperti pada Gambar 2.50. e. Kedalaman saluran di tepi luar jalan pada tikungan harus memperhatikan kesesuaian rencana pengaliran sistem drainase saluran tersebut.

Gambar 2.50 Kemiringan Melintang Pada Daerah Tikungan Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan

15

4. Pemeriksaan Kemiringan Lahan Eksisting Penentuan kemiringan lahan eksisting pada lokasi pembangunan saluran, gorong-gorong didapatkan dari hasil pengukuran di lapangan. Hal ini merupakan salah satu pertimbangan untuk perencanaan pembuatan bangunan pematah arus. i1

=

elev1−elev2 L

𝑥 100 %

keterangan: i1

= kemiringan lahan eksisting pada lokasi saluran

elev1 = tinggi tanah di bagian tertinggi (m) elev2 = tinggi tanah di bagian terendah (m) L

= panjang saluran (m)

Gambar 2.51 Kemiringan Lahan Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan

Kecepatan aliran air ditentukan oleh sifat hidrolis penampang saluran, salah satunya adalah kemiringan saluran.

Tabel 2. 33 Hubungan Kemiringan Saluran Samping (i) dan Jenis Material Jenis Material Pasir Halus Lempung Kepasiran Lanau Aluvial Kerikil Halus Lempung Kokoh Lempung Padat Kerikil Kasar Batu-batu besar Pasangan Batu Beton Beton Bertulang

Kemiringan Saluran Samping i (%) 0–5

5 – 10

10

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga Pembinaan Jalan Kota

16

Tabel 2. 34 Kemiringan Saluran Memanjang (is) dan jenis material Keimiringan Saluran (is %) 0-5 5 – 7,5 7,5

Jenis Material Tanah Asli Kerikil Pasangan

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga Pembinaan Jalan Kota

2.15.2 Analisa Probabilitas Curah Hujan Dalam perencanaan Curah Hujan ini ada beberapa metode yang bisa di pakai dalam perencanaan ini, kita akan menggunakan Metode Distribusi Gumbel. a. Distribusi Gumbel Persamaan yang digunakan adalah : RT

= xRT+ Sx . K

Dimana : RT

= Frekuensi hujan pada periode ulang T

XRT

= Curah Hujan rata-rata

Sx

= Standart Deviasi

K

= Faktor frekuensi

Faktor frekuensi (K) dihitung dengan persamaan sebagai berikut : K=

𝑌𝑇 + 𝑌𝑛 𝑆𝑛

Dimana : YT

= Faktor Reduksi

Yn

= Faktor Angka reduksi rata-rata

Sn

= Faktor angka reduksi standar deviasi

Harga YT dapat dihitung dengan persamaan sebagi berikut : YT = - ln { - ln( Dimana : Tr

= kala ulang (tahun)

17

𝑇𝑟 − 1 𝑇𝑟

)}

2.15.3 Perhitungan Debit Menggunakan Metode Rasional Persamaan rasional dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa curah hujan yang terjadi mempunyai intensitas yang seragam dan merata diseluruh daerah pengaliran selama paling sedikit sama dengan waktu konsentrasi tc(Suripin, 2004). Debit desain metode rasional dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Q = 0,278 x C x I x A Dimana : Q

= debit puncak banjir (m3/det)

C

= koefisien aliran

I

= intensites hujan selama waktu tiba banjir (mm/jam)

A

= luas DPS (km2), diukur dari peta topografi

Sesuai dengan persamaan diatas, maka besarnya debit rencana tergantung dari beberapa parameter, yaitu : 1) Koefesien Pengaliran (C) Koefesien pengaliran merupakan angka reduksi dari intensitas hujan yang mengalir pada sebuah permukaan, besarnya tergantung dari kondisi permukaan, kemiringan atau kelandaian, jenis tanah dan durasi hujan. Besarnya nilai C (koefesien pengaliran) ditunjukan pada tabel berikut :

Tabel 2. 35 Hubungan Antara Kondisi permukaan Tanah dan Nilai koefesien Pengaliran No

Kondisi Permukaan Tanah

Koef. Pengaliran (C)

1

Jalan Beton dan Jalan Aspal

0,7 – 0,95

2

Jalan Kerikil dan Jalan Tanah

0.40 – 0.70

3

Bahu Jalan

4

Tanah Berbutir halus

0,40 – 0,65

Tanah Berbutir Kasar

0,10 – 0,20

Batuan Masif keras

0,70 – 0,85

Batuan Masif Lunak

0,60 – 0,75

Daerah Perkotaan

0,70 – 0,95

18

5

Daerah Pinggir Kota

0,60 – 0,70

6

Daerah Industri

0,60 – 0,90

7

Permukiman Padat

0,40 – 0,60

8

Permukiman Tidak Padat

0,20 – 0,40

9

Taman dan Kebun

0,45 – 0,60

10

Persawahan

0,45 – 0,60

11

Perbukitan

0,70 – 0,90

12

Pergunungan

0,75 – 0,90

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga Pembinaan Jalan Kota

Jika daerah pengaliran terdiri dari beberapa tipe kondisi permukaan yang memeiliki nilai C yang berbeda-beda, maka harga C rata-rata ditentukan dengan persamaan : C=

𝐶1 .𝐴1+ 𝐶2 .𝐴2 + 𝐶3 .𝐴3 𝐴1+ 𝐴2+ 𝐴3

Dimana : C1, C2, C3

= Koefesien pengaliran yang sesuai dengan tipe kondisi permukaan

A1, A2, A3

= luas daerah pengaliran yang diperhitungkan sesuai dengan kondisi permukaan

2) Intensitas Curah Hujan (I) Nilai I (Intensitas Hujan) dihitung berdasarkan : a. Data curah hujan harian maksimum dalam setahun (mm/hari) selama 10 tahun b. Periode ulang untuk saluran samping diambil periode ulang selama 5 tahun c. Lamanya waktu hujan, ditentukan berdasarkan penyelidikan Van Breen, bahwa hujan harian terkonsentrasi selama 4 jam dengan jumlah hujan sebesar 90 % dari jumlah hujan selama 24 jam. 3) Waktu Konsentrasi (tc) Waktu konsentrasi ini terdiri dari dua bagian yaitu t1 = waktu untuk mencapai awal saluran (inlet) dan t2 = waktu pengaliran. 19

o Waktu konsentrasi (tc) dihitung dengan rumus : tc = t1 + t2 Waktu untuk mencapai awal saluran (inlet) dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kondisi dan kelandaian permukaan, luas dan bentuk daerah tangkapan dan lainnya. Harga t1 dihitung dengan memakai rumus berikut : 2

t1 = (3 𝑥 3,28 𝑥 𝐿𝑡 𝑥

𝑛𝑑 0,167 ) √𝑘

Dimana : t1

= inlet time (menit)

Lt

= panjang dari titik terjauh sampai sarana drainase (m)

k

= Kelandaian permukaan

nd

= koefesien hambatan permukaan

Besarnya nilai hambatan permukaan (nd) di tampilkan pada tabel berikut :

Tabel 2. 36 Koefesien Hambatan Permukaan (nd) Kondisi Permukaan yang Di lalui Aliran Lapisan Semen dan Aspal Beton Permukaan Licin dan Kedap Air Permukaan Licin dan Kokoh Tanah dengan rumput tipis dan Gembul dengan permukaan sedikit kasar Padang rumput dan Rerumputan Hutan Gundul Hutan Rimbun dan hutan Gundul Rapat dengan Hamparan Rumput Jarang sampai Rapat dan rimba

nd 0,013 0,02 0,1 0,2 0,4 0,6 0,8

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga Pembinaan Jalan Kota

Sebagai gambaran menegenai batas-batas daerah yang diperlukan unutk perhitungan luas daerah tangkapan guna analisa hidrologi, ditunjukkan seperti sketsa potongan melintang jalan berikut ini :

20

Gambar 2. 52 Luas daerah pengaliran Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan

Dari sketsa di atas hanya diperlukan setengah bagian dari jalan yang akan mempengaruhi debit yang mengalir ke dalam saluran samping (satu sisi). Sehingga besaran – besarannya adalah sebagai berikut : L1

= Setengah lebar perkerasan rencana

L2

= Lebar bahu jalan Rencana

L3

= Lebar terrain di samping jalan yang diperkirakan akan mengalirkan air ke saluran samping

Sedangkan harga t2 sebagai berikut : t2

𝐿

= 60.𝑉

Dimana : L

= Panjang Saluran (m)

V

= Kecepatan aliran (m/det)

2.15.4 Bentuk Saluran Ekonomis Dalam menentukan bentuk saluran ekonomis ada beberapa langkah sebelum mengetahui bentuk saluran yang akan digunakan seperti apa, adapun langkahlangkahnya adalah sebagai berikut: 1. Bentuk Trapesium Dalam menentukan kemiringan talud dapat dilaksanakan berdasarkan debit, dapat dilihat seperti pada tabel 2.37.

21

Tabel 2.37 Kemiringan talud berdasarkan debit No

Debit Air (m3/dtk)

1 2 3

0,00 - 0,75 0,75 - 15 15-80

Kemiringan (1:z) 1;1 1;1,5 1;2

Sumber: Perencanaan sistem drainase Dep PU, 2006:19

a.

Menentukan penampang basah Q=VxA Ad = Q / A Keterangan:

b.

Q

= Debit limpasan / air (m3/dtk)

V

= Kecepatan aliran (m/detik)

Ad

= luas penampang desain

Penampang ekonomis  Untuk penampang ekonomis saluran trapesium b + 2zy = 2y√𝑧 2 + 1  Dari persamaan diatas, apabila nilai z telah ditentukan, maka persamaan yang akan didapat adalah b = xy nilai x adalah berupa hasil perhitungan, persamaan diatas nantinya digunakan untuk menentukan kedalaman aliran (y).  Luas penampang ekonomis (Ae) Ae = y (b + y) Dari persamaan  (Ad)2 = (Ae)2 akan didapat nilai y (kedalaman aliran)  Tinggi jagaan (W) untuk saluran drainase jalan bentuk trapesium dan segi empat ditentukan berdasarkan rumus: W

= √0.5 x h

Keterangan: W

= tinggi jagaan (m)

h

= kedalaman air yang tergenang dalam saluran (m)

22

 Lebar dasar saluran (b) Setelah nilai y diketahui, maka lebar dasar saluran dapat dihitung menggunakan persamaan b = xy.  Keliling basah (p) P = b + 2y√𝑧 2 + 1  Radius hidrolis (R) R=A/P  Kemiringan dasar saluran (I)

I2 = 1 𝑛

𝑉 𝑥𝑅 2/3

“n” adalah angka kekasaran manning, nilainya terdapat pada Tabel 2.38.

Gambar 2.53 Penampang Saluran Trapesium Sumber: Buku Hidrolika Teknik

Tabel 2.38 Koefisien Kekasaran Manning No

1 2 3 4 5 6 7

Baik Sekali

Tipe saluran

SALURAN BUATAN Saluran tanah lurus teratur 0,017 saluran tanah yang dibuat dengan excavator 0,023 saluran pada dinding batuan, lurus, teratur 0,020 saluran pada dinding batuan, tidak lurus, tidak teratur 0,035 Dasar saluran yang diledakkan, ada tumbuhan 0,025 Dasar saluran dari tanah, sisi saluran berbatu 0,028 Saluran lengkung, dengan 0,020

23

Baik

Sedang

Jelek

0,020

0,023

0,025

0,028

0,030

0,040

0,030

0,033

0,035

0,040

0,045

0,045

0,030

0,035

0,040

0,030 0,025

0,035 0,028

0,035 0,030

8 9 10 11 12 13 14 No

16 17 18 19 20 21

kecepatan aliran rendah SALURAN ALAM Bersih, lurus, tidak berpasir dan tidak berlubang 0,025 0,028 seperti no.8 namun ada timbunan atau kerikil 0,030 0,033 melengkung, bersih,berlubang & berdinding pasir 0,030 0,035 seperti no.10, dangkal dan tidak teratur 0,040 0,045 seperti no.10, berbatu dan ada tumbuhan 0,035 0,040 seperti no.11, sebagian berbatu 0,045 0,050 Aliran pelan banyak tumbuhan dan berlubang 0,050 0,060 Baik Tipe saluran Baik Sekali SALURAN BUATAN, BETON / BATU KALI Saluran pasangan batu, tanpa penyelesaian 0,025 0,030 seperti no.16, tapi dengan penyelesaian 0,017 0,020 Saluran beton 0,014 0,016 Saluran beton halus dan rata 0,010 0,011 Saluran beton practak dengan acuan baja 0,013 0,014 Saluran beton pracetak dengan acuan kayu 0,015 0,016

0,030

0,033

0,035

0,040

0,040

0,045

0,050

0,055

0,045 0,055

0,050 0,060

0,070

0,080

Sedang

Jelek

0,033

0,035

0,025 0,019 0,012

0,030 0,021 0,013

0,014

0,015

0,016

0,018

Sumber: Perencanaan sistem drainase jalan Dep PU, 2006:20

2.15.5 Komponen Perhitungan Penampang Saluran Komponen penampang saluran yang diperhitungkan ditunjukkan pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.39 Komponen Penampang Saluran Komponen Lebar Atas (b) Tinggi Muka Air (H) Faktor Kemiringan (z) Luas (A) Keliling (P) Jari-jari Hidrolis (R)

Jenis Penampang Trapesium Segi empat Dimensi b+2.z B H H 1:1  z = h 1:1,5  z = 1,5h 1:2  z = 2h Penampang Basah (b + z) . h b.h 𝟐 b+2.h 𝑩 + 𝟐 . 𝒉 √(𝟏 + 𝒛 ) (𝒃 + 𝒛). 𝒉 𝒃𝒙𝒉 𝒉 + 𝟐𝒉 √(𝟏 + 𝒛𝟐 )

24

𝒃 + 𝟐𝒉

Kecepatan (V)

𝑽=

Debit (Q)

𝟏 𝟐⁄𝟑 𝟏⁄𝟐 𝑹 .𝒊 𝒏 A.V

𝑽=

𝟏 𝟐⁄𝟑 𝟏⁄𝟐 𝑹 .𝒊 𝒏 A.V

Lebar Atas (b)

2.z

2 . (h-0,5) . tan 

Tingi Muka Air

H

H

Sumber: Perencanaan sistem drainase jalan Dep PU, 2006:20

Tabel 2.40 Komponen Penampang Saluran (Sambungan) Komponen Faktor Kemiringan (z)

Luas (A)

Keliling (P)

Jari-jari Hidrolis (R)

Kecepatan (V) Debit (Q)

Jenis Penampang Trapesium Segi empat 1:1  z = h 𝒉 − 𝟎, 𝟓𝑫 1:1,5  z =  = 𝒄𝒐𝒔−𝟏 ( ) 1,5h 𝟎, 𝟓 𝑫 1:2  z = 2h Penampang Basah 𝝅𝑫𝟐 ∅ (𝟏 − ) 𝟒 𝟏𝟖𝟎 z.h + (𝒉 − 𝟎, 𝟓𝑫)𝟐 𝒕𝒂𝒏∅ 𝝅𝑫𝟐 ∅ 𝟐 . 𝒉 √(𝟏 + 𝒛𝟐 ) (𝟏 − ) 𝟒 𝟏𝟖𝟎 𝝅𝑫𝟐 ∅ (𝟏 − ) 𝟒 𝟏𝟖𝟎 + 𝟒(𝒉 𝒛 − 𝟎, 𝟓𝑫)𝟐 𝒕𝒂𝒏∅ 𝟐 √(𝟏 + 𝒛𝟐 ) Atau 𝝅𝑫𝟐 ∅ (𝟏 − ) 𝟒 𝟏𝟖𝟎 𝑽 𝟏 𝟏 𝟐⁄𝟑 𝟏⁄𝟐 𝑽 = 𝑹𝟐⁄𝟑 . 𝒊𝟏⁄𝟐 = 𝑹 .𝒊 𝒏 𝒏 A.V 0,8 . A . V

Sumber : Pedoman Perencanaan Drainase Jalan Pd. T-02-2006-B

Dimana : b

= lebar saluran (m)

h

= kedalaman saluran yang tergenang air (m)

r

= jari-jari lingkaran

R = jari-jari hidrolis D = diameter saluran bentuk lingkaran (m) n

= angka kekasaran Manning

z

= perbandingan kemiringan talud

∅ = besar sudut dalam radial 25

Gambar 2.54 Saluran Trapesium Sumber : Pedoman Perencanaan Drainase Jalan Pd. T-02-2006-B

2.15.6 Tinggi Jagaan Penampang Tinggi jagaan (W) untuk saluran drainase jalan bentuk trapezium dan persegi empat ditentukan berdasarkan rumus : 𝑾 = √𝟎, 𝟓 𝒙 𝒉 Dimana : W

= tinggi jagaan (m)

h

= kedalaman air yang tergenang dalam saluran (m)

Gambar 2.55 Tinggi jagaan saluran Sumber : Pedoman Perencanaan Drainase Jalan Pd. T-02-2006-B

2.15.7 Kemiringan Memanjang Saluran Untuk menghitung kemiringan saluran digunakaan rumus : 𝟐 𝑽𝒙𝒏 𝒊𝒔 = ( 𝟐 ) 𝑹 ⁄𝟑

Dimana : V

= kecepatan aliran (m/detik) 26

n

= koefisien kekasaran Manning 𝑨

R (𝑷) = jari-jari hidrolis (m) A

= Luas penampang basah (m2)

P

= keliling basah (m)

is

= kemiringan memanjang saluran

2.15.8 Perhitungan Debit Rencana (Q) Langkah perhitungan debit aliran rencana (Q) diuraikan dibawah ini : 1. Plot rute jalan peta topografi 2. Tentukan panjang segmen, daerah pengaliran, luas (A), kemiringan lahan (is) dari peta topografi 3. Identifikasi jenis bahan permukaan daerah pengaliran 4. Tentukan koefisien aliran (C) berdasarkan kondisi permukaan kemudian kalikan dengan harga faktor limpasan. 5. Hitung koefisien aliran rata-rata dengan menggunakan rumus : 𝑪=

𝑪𝟏 . 𝑨𝟏 + 𝑪𝟐 . 𝑨𝟐 + 𝑪𝟑 . 𝑨𝟑 . 𝒇𝒌𝟑 𝑨𝟏 + 𝑨𝟐 + 𝑨𝟑

6. Tentukan kondisi permukaan berikut koefisien hambatan, nd. 7. Hitung waktu konsentrasi (Tc) dengan rumus : 𝑻𝒄 = 𝒕𝟏 + 𝒕𝟐 Menghitung waktu untuk mencapai awal saluran dari titik terjauh (menit) 𝟎,𝟏𝟔𝟕

𝟐 𝒏𝒅 𝒕𝟏 = ( 𝒙 𝟑, 𝟐𝟖 𝒙 𝒍𝒐 𝒙 ) 𝟑 √𝒊𝒔

Menghitung waktu aliran dalam saluran sepanjang L dari ujung saluran 𝒕𝟐 =

𝒍𝒐 𝟔𝟎 𝒙 𝑽

8. Siapkan data curah hujan. Tetukan periode ulang rencana untuk saluran drainase, yaitu 5 tahun. 9. Hitung intensitas curah hujan. 10. Hitung debit air (Q) dengan menggunakan rumus :

27

𝑸=

𝟏 𝑪𝒙𝑰𝒙𝑨 𝟑, 𝟔

2.15.9 Perhitungan Dimensi dan Kemirigan Saluran 1. Perhitungan dimensi saluran dapat didesesuaikan dengan kondisi yang ada yaitu berdasarkan : a. Penentuan bahan yang digunakan, sehingga terdapat batasan kecepatan (V) dan kemiringan saluran (is) yang diijinkan; b. Ketersediaan ruang di tepi jalan, seingga perhitungan dimulai dengan penentuan dimensi. 2. Langkah awal perhitungan : a. Penentuan awal bahan saluran 

Penentuan bahan saluran, koefisien Manning (n), dan kecepatan (V) pada saluran yang diijinkan, bentuk saluran, dan penentuan kemiringan saluran is yang diijinkan



Tentukan kecepatan saluran < kecepatan saluran yang diijinkan



Hitung tinggi jagaan (W) saluran dengan rumus : 𝑾 = √𝟎, 𝟓 𝒙 𝒅

b. Penentuan awal dimensi saluran 

Tentukan perkiraan dimensi saluran sesuai ruang yang tersedia, koefisien Manning (n)



Tentukan kemiringan saluran berdasarkan bahan atau mengikuti kemiringan perkerasan jalan untuk menentukan kecepatan air dalam saluran



Tentukan kecepatan saluran dengan menggunakan rumus : 𝑽=



𝟏 𝒙 𝑹𝟐⁄𝟑 𝒙 𝒊𝒔 𝟏⁄𝟐 𝒏

Hitung tinggi jagaan saluran dengan menggunakan rumus : 𝑾 = √𝟎, 𝟓 𝒙 𝒅

3. Cek debit saluran harus lebih kecil dari debit aliran. Jika tidak sesuai, maka perhitungan dimensi saluran harus diulang.

28

4. Hitung kemiringan saluran dengan mneggunakan rumus : 𝑽𝒙𝒏 𝟐 𝒊𝒔 = ( 𝟐⁄𝟑 ) 𝑹 5. Periksa kemiringan tanah di lokasi yang akan dibangun saluran : 𝒊𝒔 =

𝒆𝒍𝒆𝒗𝟏 − 𝒆𝒍𝒆𝒗𝟐 𝒙 𝟏𝟎𝟎% 𝑳

6. Berdasarkan kemiringan saluran hasil perhitungan (is perhitungan) dengan kemiringan tanah yang diukur di lapangan (I lapangan) : 

is lapangan  is perhitungan, artinya bahwa kemiringan saluran yang direncanakan sesuai dengan I perhitungan;



is lapangan > is perhitungan, artinya saluran harus dibuatkan pematah arus.

2.15.10 Gorong-Gorong Fungsi gorong-gorong adalah mengalirkan air dari sisi jalan ke sisi lainnya. Untuk itu desainnya harus juga mempertimbangkan faktor hidrolis dan struktur supaya gorong-gorong dapat berfungsi mengalirkan air dan mempunyai daya dukung terhadap beban lalu lintas dan timbunan tanah. Bagian utama gorong-gorong terdiri atas : a.

Pipa sebagai kanal air utama

b.

Tembok kepala, yaitu tembok yang menopang ujung dan lereng jalan. Tembok penahan yang dipasang bersudut dengan tembok kepala, untuk menahan bahu dan kemiringan jalan.

c.

Apron (dasar) adalah lantai dasar dibuat pada tempat masuk untuk mencegah terjadinya erosi dan dapat berfungsi sebagai dinding penyekat lumpur. Kemiringan gorong-gorong 0,5 – 2 %, dengan pertimbangan faktor-faktor

lain yang dapat mengakibatkan terjadinya pengendapan erosi di tempat air masuk dan pada bagian pengeluaran. Jarak gorong-gorong pada daerah datar maksimum 100 m, didaerah pegunungan dua kali lebih banyak. Dimensi gorong-gorong minimum dengan diameter 80 cm, dan kedalaman gorong-gorong yang aman terhadap permukaan jalan tergantung dari tipe gorong-gorong.

29

BAB III METODOLOGI DAN ANALISIS

3.1 Metodologi Studi Untuk melakukan suatu perencanaan memerlukan beberapa tahapan metode apa saja yang akan digunakan sehingga proses perencanaan akan lebih jelas serta sesuai dengan aturan yang ada. Berikut metodologi yang digunakan dalam perancangan jalan khususnya jalan bebas hambatan antarkota. 3.1.1 Metode Pengambilan Data Data-data yang diperlukan dalam perancangan jalan raya ini berupa kontur yang didapatkan dari sumber instansi terpercaya. Data yang didapatkan juga berupa curah hujan, data tanah, lalu intas, jumlah kendaran, fungsi dan kelas jalan. 3.1.2 Analisis Data Analisi data terdiri dari beberapa data seperti data tanah, curah hujan dan jumlah kendaraan, data lalu lintas. Dimana semua analisis data ini sangat diperlukan dalam proses perancangan jalan ini. 3.1.2.1 Data Tanah Data tanah yang diperlukan adalah nilai CBR.. Dimana nilai CBR tersebut akan digunakan untuk menentukan perkerasan dari jalan yang akan dibuat. 3.1.2.2 Curah Hujan Data curah hujan didapatkan dari BMKG. Hasil dari pengolahan data curah hujan tersebut akan mendapatkan hasil dimensi drainase, dimana data olahan akan digunakan untuk kebetuhan jalan tersebut. 3.1.2.3 Data Lalu Lintas Data lalu lintas diperlukan untuk menentukan LHR, jumlah lajur, perkerasan jalan, dan menentukan kelas jalan berdasarkan pengelompokan fungsi dan kelasnya.

30

3.1.2.4 Data Jumlah Kendaraan Dari data jumlah kendaraan dapat ditentukan tipe jalan yang harus dipakai dengan terlebih dahulu menentukan angka pertumbuhan kendaraan per tahun.

3.1.3 Metode Perencanaan Geometrik Jalan Dalam perencanaan geometric jalan ada beberapa tahapan yang harus dilakukan diantaranya membuat trase jalan, membuat alinyemen horizontall berupa tikungan (SS,SCS dan FC), dan alinyemen vertical. 3.1.3.1 Menentukan Trase Jalan Trase dibuat pada kontur dengan menentukan titik awal dan akhir dari jalan yang direncanakan. Tujuannya untuk menentukan klasifikasi medan apakah jalan yang dibuat datar, bukit atau pegunungan.

3.1.3.2 Perencanaan Alinyemen Horizontal Dalam perencanaan alinyemen horizontal berupa tikungan. Tikungan ini nantinya akan menentukan apakah jalan kita berupa tikungan SCS, SS atau FC. 3.1.3.3 Menghitung Alinyemen Vertikal Perhitungan alinyemen vertical akan dipengaruhi oleh jarak pandang dan tinggi penghalang. Perencanaan alinyemen vertical terdiri dari membuat potongan vertical, membuat lengkung pada potongan tersebut, menghitung panjang lengkung vertical (Lv), menghitung perbedaan kelandaian (A = g2 – g1) dan menghitung panjang lengkung vertical. Dalam perencanaan alinyemen vertical juga dilakukan penomoran panjang jalan atau stasioning dan penggambaran perencanaan geometric jalan yang dibuat.

3.1.4 Membuat Penampang Memanjang Fungsi dari membuat penampang memanjang ini untuk galian dan timbunan.

31

3.1.5 Metode Perencanaan Tebal Perkerasan Untuk perencanaan tebal perkerasan metode yang digunakan sesuai dengan Bina Marga/AASHTO. Proses perhitungan yang dilakukan adalah menentukan jumlah lajur, menentukan koefisien distribusi kendaraan (C), menentukan daya dukung tanah dasar (DDT), menentukan factor regional (FR), menghitung lalu lintas harian rata-rata (LHR), menghitung angka ekivalen (E), menghitung lintas ekivalen permulaan (LEP), menghitung lintas ekivalen akhir (LEA), menghitung lintas ekivalen tengah (LET), menghitung lintas ekivalen rencana (LER), menentukan indeks tebal perkerasan (ITP) dan menentukan tebal perkerasan.

3.1.6 Metode Perancanaan Drainase Jalan Perencanaan drainase jalan yang dilakukan didasarkan pada perencanaan geometrik jalan rata – rata hujan dan kemiringan jalan dengan menghitung kemiringan saluran berdasarkan alinyemen vertikal dan menghitung debit pada saluran.

3.2 Kriteria Desain Kriteria desain dibuat menurut aturan atau syarat yang berlaku pada SNI maupun MKJI, dimana nantinya kriteria desain ini akan digunakan untuk perancangan jalan ini. 3.2.1 Peraturan yang Digunakan Peraturan yang digunakan dalam merencanakan jalan bebas hambatan antarkota adalah, sebagai berikut: 1. Geometri Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol No. 007/BM/2009 2. Manual Kapasitas Jalan Indonesia Tahun 1997 3.2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol (GJBHJT) No.007/BM/2009, klasifikasi untuk jalan yang direncanakan, sebagai berikut: 1. Berdasarkan fungsi jalan, jalan bebas hambatan yang direncanakan termasuk ke dalam Jalan Arteri Bebas Hambatan Antar kota.

32

2. Berdasarkan kelas jalan, jalan bebas hambatan yang direncanakan termasuk kedalam Kelas Jalan I sesuai dengan Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Kelas Jalan Dimensi Kendaraan Kelas

Fungsi

Maksimum yang Diizinkan

Jalan

Jalan

Lebar

Panjang

Tinggi

(mm)

(mm)

Arteri dan

(mm) 2500

18000

4200

10

> 18000

4200

> 10

1

Muatan Sumbu Terberat yang Diizinkan (ton)

Kolektor Khusu Arteri

> 2500

s Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

3. Untuk menentukan medan jalan tentukan kemiringan medan yang diukur melintang terhadap sumbu jalan. Setelah menghitung klasifikasi medan jalan didapatkan hasil 2,8%. Dilihat ditabel 3.2 bahwa medan jalannya adalah datar. Tabel 3.2 Jenis Medan Jenis Medan Datar < 10 Perbukitan

10 s/d 25

Pegunungan

>25

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

3.2.3 Volume Lalu Lintas Data volume lalu lintas yang didapat untuk mendapatkan lalu lintas pada jam puncak selama per 1 jam selama 24 jam. Volume lalu lintas harian ini yang digunakan untuk menentukan parameter lainnya. Volume lalu lintas harian yang didapat sebesar 44518 kend/jam.

33

3.2.4 Jumlah Lajur Sesuai dengan tabel 3.3 dan volume lalu lintas yang ada, maka jumlah lajur minimal yang diperoleh adalah 4/2 D karena volume lalu lintas 2246 kend/jam maka lebih kecil dari 2250 kend/jam.

Tabel 3.3 Jumlah Lajur Medan Jalan

Arus Lalu Lintas per Arah (kend/jam) ≤ 2250 ≤ 3400 ≤ 5000 ≤ 1700 ≤ 2600 ≤ 1450 ≤ 2150

Datar Perbukitan Pegunungan

Jumlah Lajur (minimal) 4/2 D 6/2 D 8/2 D 4/2 D 6/2 D 4/2 D 6/2 D

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Nilai ekivalensi mobil penumpang ditentukan berdasarkan jam puncak yang telah dihitung dapat dilihat pada tabel 3.4. Dengan rumus : Arus Lalu Lintas per Arah = jam puncak x (1 + i)UR = =

1585 x (1+0,01)35 2247

Tabel 3.4 Nilai emp Arus Lalu Lintas per Arah Medan Jalan

emp (kend/jam) 4/2 D

Datar Perbukitan

Pegunungan

6/2 D

MHV

LB

LT

2250 ≥ 2800 1700

3400 ≥ 4150 2600

1,6 1,3 2,2

1,7 1,5 2,3

2,5 2 4,3

≥ 2250

≥ 3300

1,8

1,9

3,5

1450 ≥ 2000

2150 ≥ 3000

2,6 2

2,9 2,4

4,8 3,8

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

34

Berdasarkan GJBHJT No.007/BM/2009 dan MKJI 1997, maka nilai emp untuk setiap kendaraan dapat dilihat pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5 Ekivalensi Mobil Penumpang Jenis Kendaraan MC LV MHV LB LT

Ekivalensi Mobil Penumpang 0,25 1,00 1,60 1,70 2,50

Sumber: GJBHJT, 2009 dan MKJI, 1997

Volume lalu lintas rencana diperhitungkan selama umur rencana dengan mengalikan volume lalu lintas dari kend/hari dengan emp menjadi smp/hari. Dari perhitungan didapat volume lalu lintas harian sebesar 31425,9 smp/hari. Volume jam rencana dapat dihitung, sebagai berikut: VJR =

VLHR x k/100

Dimana : VLHR

= Volume Lalu Lintas Harian

K

= Faktor Volume Lalu Lintas jam sibuk (11%, MKJI)

3.2.5 Kecepatan Rencana Kecepatan rencana ditentukan sesuai dengan Tabel 3.6, maka untuk jalan bebas hambatan antar kota dengan medan jalan datar ditentukan kecepatan rencana adalah 120 km/jam.

Tabel 3.6 VR Minimal VR (km/jam) minimal Medan Jalan Antarkota

Perkotaan

Datar

120

80-100

Perbukitan

100

80

35

Pegunungan

80

60

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

3.2.6 Lebar Lajur dan Bahu Jalan Lebar lajur dan bahu jalan ditentukan berdasarkkan lokasi jalan dan kecepatan rencana jalan bebas hambatan. Sesuai dengan Tabel 3.7, maka lebar lajur dan bahu jalan dapat ditentukan.

Tabel 3.7 Lebar Lajur dan Bahu Jalan Lokasi jalan tol

Lebar Lajur (m)

Lebar Bahu luar diperkeras(m) Lebar Bahu dalam diperkeras(m)

VR (km/jam)

Minimal Ideal Minimal Ideal*)

Antarkota

Perkotaan

120 100 80 100 80 60

3,6 3,6 3,6 3,5 3,5 3,5

3,75 3,6 3,6 3,6 3,5 3,5

3 3 3 3 2 2

3,5 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5

1,5 1,5 1 1 0,5 0,5

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Untuk lebar jalur 3,75 m, lebar bahu luar 3,50 m dan lebar bahu dalam 1,50 m. Kemiringan lajur ditentukan 2 % dan bahu jalan 3 % dengan kemiringan melintang 1 arah pada tiap jalur, seperti pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Kemiringan melintang 1 arah pada tiap jalur Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

36

3.2.7 Median Jalan Median yang digunakan adalah tipe Median Concrete Barrier dengan jenis High dengan tinggi 106,68 cm, karena lebar median yang disediakan tidak lebih besar dari 5 m. Ilustrasi median dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Gambar 3.6 Median concrete barrier dengan tipe high Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

3.2.8 Penampang Melintang Median

37

3.2.9 Jarak Pandang Henti Jarak pandang henti ditentukan berdasarkan kecepatan rencana yang telah ditentukan. Jarak pandang henti dapat ditentukan pada tabel yang berisi jarak pandang henti minimum yang telah dihitung menggunakan rumus yang telah dituliskan. Jarak pandang henti minimum untuk kecepatan rencana 120 km/jam dapat dilihat pada Tabel 3.8.

Tabel 3.8 Jarak Pandang Henti Jarak Awal VR

Jarak Awal

(km/jam)

Reaksi (m)

Jarak Pandang heni (m)

Pengereman Perhitungan Pembulatan (m) 120

83,3

163,4

246,7

250

100

69,4

113,5

182,9

185

80 60

55,6 41,7

72,6 40,8

128,2 82,5

130 85

Sumber: Geometrik Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol, 2009

Dari kriteria yang dilakukan, maka kriteria dapat disajikan dalam Tabel 3.9.

38

Related Documents

Pjr Kaji.docx
May 2020 2
Laporan
August 2019 120
Laporan !
June 2020 62
Laporan
June 2020 64

More Documents from ""