1.
Anatomi Fisiologi Prostat a. Anatomi Prostat Kelenjar prostat terletak tepat dibawah leher kandung kemih. Kelenjar ini mengelilingi uretra dan dipotong melintang oleh dua duktus ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari vas deferen. Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum pubroprostatikum dan sebelah inferior oleh difragma urogenital. Pada prostat bagian posterior bermuara duktus ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir pada verumontarum pada dasar uretra prostatika tepat proksimal dan sfingter uretra eksterna secara embriologi, prostat berasal dari lima evaginasi epitel uretra posterior. Suplai darah prostat diperdarahi oleh arteri vesikalis inferior dan masuk pada sisi postero lateralis lever vesika (Wijaya & Putri, 2013) Prostat adalah organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior kandung kemih, di depan rectum yang membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri, dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm, dan beratnya kurang lebih 20gram. Secara histopatologi, kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyangga yang lain (Muttaqin & Sari, 2014)
Gambar 1.1 Anatomi perkemihan pada pria
b. Fisologis prostat 1) Menghasilkan cairan encer yang mengandung ion sitrat, ion phospat, enzim pembeku, dan profibrinosilin. Selama pengisian kelenjar prostat berkontraksi sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan encer dapat dikeluarkan untuk menambah lebih banyak jumlah semen. Sifat yang sedikit basa dari cairan prostat memungkinkan untuk keberhasilan fertilisasi (gumpalan) ovum karena cairan vas deferens sedikit asam. Cairan prostat menetralisir sifat asam dari cairan lain setelah ejakulasi. 2) Menambah cairan alkalis pada cairan seminalis yang berguna untuk melindungi spermatozoa terhadap sifat asam yang terdapat pada uretra. Dibawah kelenjar ini terdapat kelenjar Rulbo Uretralis yang memiliki panjang 2-5 cm. Fungsi hampir sama dengan kelenjar prostat. Kelenjar ini menghasilkan sekresi yang penyalurannya dari testis secara kimiawi dan fisiologis sesuai kebutuhan spermatozoa(Wijaya & Putri,2013)
2.
Definisi BPH Benigna Prostat hiperplasia adalah keadaan kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering ditemukan untuk intervensi medis pada pria di atas usia 50 tahun (Wijaya & Putri, 2013). Benigna prostat hiperplasia adalah terjadinya pelebaran pada prostat yang menimbulkan penyempitan saluran kencing dan tekanan di bawah kandung kemih dan menyebabkan gejala-gejala seperti sering kencing dan retensi urin(Aulawi, 2014). Benigna prostatic hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, yang disebabkan hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra parsprostatika (Jitowiyono & Kristiyanasari, 2012) BPH adalah suatu penyakit perbesaran dari prostat. Kata-kata hipertrofi seringkali menimbulkan kontroversi di kalangan klinik karena sering rancu
dengan hiperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa dari segi kualitas terjadi pembesaran sel, namun tidak diikuti oleh jumlah. Hiperplasia merupakan pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh penambahan jumlah sel (Prabowo & Pranata, 2014). Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa BPH adalah suatu kondisi dimana sistem perkemihan mengalami gangguan yang disebabkan oleh terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat mengelilingi saluran kemih pada pria dengan usia diatas 50 tahun yang mengakibatkan kurang lancarnya berkemih.
3.
Etiologi Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui secara pasti tetapi hanya 2 dua faktor yang mempengaruhi terjadinya BPH yaitu testis dan usia lanjut (Jitowiyono & Kristyanasari, 2012). Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab timbulnya Hyperplasia prostate adalah (Wijaya & Putri, 2013 : Rendy & Magarenth, 2012)
a. Teori hormon dihidrotestoreron (DHT) Pembesaran
prostat
diaktifkan
oleh
testoreron
dan
DHT.
Peningkatan alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasia. b. Faktor usia BPH merupakan penyakit yang diderita oleh klien laki-laki dengan usia rata-rata 50 tahun dan frekuensi makin bertambah sesuai dengan bertambahnya umur, sehingga diatas umur 80 tahun kira-kira 80% menderita
kelainan
ini.
Sebagai
etiologi
sekarang
dianggap
ketidakseimbangan endokrin testosteron dianggap mempengaruhi bagian tepi prostat,
sedangkan estrogen (dibuat
oleh kelenjar adrenal)
mempengaruhi bagian tengah prostat Peningkatan usia membuat ketidakseimbangan rasio antara estrogen dan testosteron. Dengan meningkatnya kadar ekstrogen diguga berkaitan dengan terjadinya hyperplasia stroma, sehingga timbul dugaan bahwa
testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya poliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma c. Faktor pertumbuhan/Growth Membuktikan bahwa deferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostate secara tidak langsung diatur oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth faktor yang selanjutunya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan atuokrim, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. d. Meningkatnya masa hidup sel-sel prostate Progam kematian sel (apoptosisi) pada sel prostate adalah mekanisme fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostate.
4.
Patofisiologi Pembesar prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesar prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher, vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat dretusor kedalam mokusa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang trabukulasi. Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa fisika dapat menerobos keluar diantara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusorsor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontransi, sehingga terjadi retensi urine total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas (Wijaya & Putri 2013). Pembesaran
prostat
menyebabkaan
penyempitan
lumen
uretra
prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli
harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontaksi yang terusmenerus ini menyebabkan perubahan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulaasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus. Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia. Jika prostat membesar, maka akan meluap ke atas kandung kemih sehingga pada bagian dalam akan mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini meninggkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan kandung kemih berkontraksi lebih kuat agar dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus menerus menyebabkan perubahan anatomi dari kandung kemih berupa: hepertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula, dan divertikel kandung kemih. Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan keseluruh bagian buli-buli tidak terkeculi pada kedua muara ureter, tekanan ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter. Keadan ini jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan hidroureter, hidrofrosis bahkan akhirnya dapat jatuh kedalam gagal ginjal (Muttaqin & Sari, 2014)
5.
Manifestasi Klinis BPH merupakkan yang diderita oleh klien laki-laki dengan usia rata-rata lebih dari 50 tahun. Gambaran klinis dari BPH sebenarnya sekunder dari dampak obsetruksi saluran,sehingga klien kesulitan untuk miksi.berikut ini adalah beberapa gambaran klinis pada klien BPH (Prabowo & Pranata, 2014)
a. Gejala prostatismus (nokturia, urgency, penurunan daya aliran urine) kondisi ini dikarenakan oleh kemampuan vesika urinaria yang gagal mengeluarkan urine secara spontan dan reguler, sehingga volume urine masih sebagai besar tertinggal dalam vesika.
b. Retensi urine sering dialami oleh klien yang mengalami BPH kronis. Secara
fisiologis,
vesika
urinaria
memiliki
kemampuan
untuk
mengeluarkan urine melalui kontraksi otot detrusor. c. Pembesaran prostat yaitu ketika dilakukan palpasi rektal. d. Inkontetinesia yang terjadi menunjukkan bahwa detrusor gagal dalam melakukan kontraksi, sehingga kontrol untuk miksi hilang. e. Lebih sering kencing, disertai nokturia, inkontinensia, dan kemungkinan hematuria. Yang berakibat infeksi diikuti obstruksi kencing menyeluruh f. Gumpalan di tengah yang bisa dilihat (kandung kemih mengalami distensi) yang mencerminkan kandung kemih
yang kosong secara tidak
menyeluruh.
Sedangkan menurut Aulawi (2014) tanda gejala yang muncul pada pasien penderita Benigna Prostat Hiperplasia adalah : g. Kesulitan mengawali aliran urine karena adanya tekanan pada uretra dan leher kandung kemih. h. Kekuatan aliran urine yang melemah. i. Aliran urine keluar yang tidak lancar. j. Keluarnya urine bercampur darah.
6.
Pemeriksaan Diagnostik Menurut Andra Saferi dan Yessie Mariza (2013), pemeriksaan penunjang yang seharusnya dilakukan pada pasien dengan BPH adalah : a. Pemeriksaan colok dubur (Rectal toucher) Pemeriksaan colok dubur adalah memasukkan jari telunjuk yang sudah diberi pelicin ke dalam lubang dubur. Pada pemeriksaan colok dubur dinilai : 1) Tonus sfingter ani dan refleks bulbo-kavernosus (BCR) 2) Mencari kemungkinan adanya massa di dalam lumen rectum 3) Menilai keadaan prostat b. Laboratorium
1) Urinalisa untuk melihat adanya infeksi, hematuria 2) Ureum, creatinin, elektrolit untuk melihat gambaran fungsi ginjal c. Pengukuran derajat berat obstruksi 1) Menentukan jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan (normal sisa urin kosong dan batas intervensi urin lebih dari 100 cc) 2) Pancaran urin (uroflowmetri) syarat : jumlah urin dalam vesika 125 s/d 150 ml, angka normal rata-rata 10 s/d 12 ml/detik, obstruksi ringan 6-8 ml/detik. d. Pemeriksaan lainnya 1) BNO/IVP untuk menentukan adanya divertikel, penebalan bladder 2) USG dengan transuretral ultrasonografi prostat (TRUS P) untuk menentukan volume prostat 3) Trans-abdominal USG : untuk mendeteksi bagian prortas yang menonjol ke buli-buli yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat berat obstruksi apabila ada batu dalam vesika. 4) Cystoscopy untuk melihat adanya penebalan pada dinding bladder.
Menurut Sjamsuhidajat dan Wim De Jong (2010), dengan pemeriksaan radiologi, seperti foto polos perut dan pielografi intravena, dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan, misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikulum kandung kemih. Kalau dibuat foto setelah miksi, dapat dilihat sisa urin. Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung, pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila buli-buli pada gambaran sistogram tampak terangkat ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail. Apabila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang kateter menetap dapat dilakukan sitogram retrograd.
7.
Penatalaksanaan Medis
Menurut Sjamsuhidjat dan De Jong (2010) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis, yaitu : a. Stadium I Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama. b. Stadium II Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra). c. Stadium III Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal. d. Stadium IV Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan Transurethral Resection (TUR) atau pembedahan terbuka. Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Andra saferi dan Yessie Mariza, (2013) penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan: a. Observasi Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur. b. Medikamentosa Terapi medikamentosa pada penanganan BPH antara lain : 1) Mengharnbat adrenoreseptor alfa 2) Obat anti androgen 3) Penghambat enzim alfa 2 reduktase 4) Fisioterapi c. Terapi Bedah Prostatectomy merupakan tindakan pembedahan bagian prostate (sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk memperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut. Prostatektomy diindikasikan untuk hiperplasia dan kanker prostat. Prostatektomi mencakup bedah pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat. Pendekatan pembedahan dapat transuretra (melalui uretra), atau melalui suprapubis (abdomen bawah dan leher kandung kemih), perineal (anterior rektum), atau insisi retropubis (abdomen bawah, tidak dilakukan reseksi leher kandung kemih). (Carpenito, 2010) Menurut Smeltzer dan Bare (2005) jenis Prosratektomy, yaitu : 1) Trans Uretral Resection Prostatectomy (TURP) Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan melalui uretra. 2) Prostatektomi Suprapubis (Suprapubic/Open Prostatectomy) Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih. 3) Prostatektomi retropubis (Retropubik Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih. 4) Prostatektomi Peritoneal (Perineal Prostatectomy) Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum. d. Terapi Invasif Minimal Terapi invasif minimal dalam penatalaksanaan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), antara lain : 1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT) Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter. 2) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD) 3) High Intensity Focused Ultrasound 4) Ablasi Jarum Transuretra (TUNA) 5) Stent Prostat
Menurut Mansjoer, dkk (2000) dalam pemilihan prosedur pembedahan prostatektomy bergantung pada : a. Ukuran kelenjar b. Keparahan obstruksi c. Usia dan kondisi pasien d. Adanya Penyakit berkaitan
8.
Komplikasi Menurut Andra dan Yessie (2013), komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah : a. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal. b. Proses perusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.
c. Hernia/hemoroid d. Hematuria. e. Sistitis dan Pielonefritis
9.
Pengkajian Keperawatan Dalam
memberikan
asuhan
keperawatan
pada
pasien
yang
membutuhkan perawatan tidak terlepas dari pendekatan dengan proses keperawatan. Proses keperawatan yaitu suatu proses pemecahan yang dinamis dalam usaha untuk memperbaiki dan melihat pasien sampai ketaraf optimum melalui suatu pendekatan yang sistematis untuk mengenal, membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan langkah-langkah yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, dan evaluasi keperawatan yang berkesinambungan. a. Fokus Pengkajian Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan. Menurut Doenges, dkk (2000) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut : 1) Sirkulasi Pada kasus BPH sering dijumpai adanya penurunan tekanan darah. Peningkatan nadi sering dijumpai pada kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan. 2) Integritas Ego Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku. 3) Eliminasi Pada kasus post operasi BPH terjadi gangguan eliminasi yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak
ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. 4) Makanan dan cairan Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala:
anoreksia,
mual, muntah, penurunan berat badan. Tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya. 5) Nyeri dan kenyamanan Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien post operasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung bawah. 6) Keselamatan/ keamanan Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tandatanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada pre operasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya. 7) Seksualitas Pada pasien BPH baik pre operasi maupun post operasi terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat. 8) Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien pre operasi maupun post operasi BPH. Pada pre operasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, sel darah putih. Sedangkan pada post operasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.
10. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul dari hasil pengkajian pada pasien dengan BPH adalah : a. Pre operasi Diagnosa keperawatan pre operasi BPH, yaitu : 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (resistensi vesika, penebalan destrusor dan disuria). 2) Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi anatomik (penebalan destrusor dan retensi urin). 3) Cemas berhubungan dengan status kesehatan (kemungkinan prosedur operasi). 4) Kurang pengetahuan berhubugan dengan keterbatasan paparan. 5) Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan pemberian obat diuretik serta distensi kandung kemih. 6) Resiko infeksi berhubungan dengan destruksi jaringan serta refluks vesiko ureter. b. Pasca operasi Diagnosa keperawatan pasca operasi BPH, yaitu : 1) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi dengan diuresis dari drainase kandung kemih yang terlalu cepat. 2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi (terputusnya kontinuitas jaringan akibat pembedahan). 3) Kerusakan
mobolitas
neurovakuler (nyeri).
fisik
berhubungan
dengan
kerusakan
4) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik. 5) Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan lingkungan terhadap patogen (adanya media masuknya kuman akibat prosedur invasif).
11. Intervensi keperawatan
Tabel 11.1 Intervensi Keperawatan Pre Operasi No Dx 1
NOC Setelah tindakan diharapkan
NIC dilakukan NIC : Manajemen Nyeri
keperawatan nyeri
berkurang atau hilang.
a) Kaji secara menyeluruh tentang nyeri termasuk
lokasi,
durasi,
frekuensi,
intensitas, dan faktor penyebab b) Observasi
isyarat
non
verbal
dari
ketidaknyamanan terutama jika tidak dapat berkomunikasi secara efektif c) Berikan analgetik dengan tepat. d) Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab
nyeri,
berapa
lama
akan
berakhir, dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur. e) Ajarkan
teknik
non
farmakologi
(misalnya : relaksasi, distraksi). 2
Setelah tindakan
dilakukan NIC : Manajemen Eliminasi keperawatan
diharapkan pola eliminasi urin kembali normal.
a) Jelaskan pada klien tentang perubahan dari pola eliminasi. b) Dorong klien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila dirasakan. c) Perkusi/palpasi area suprapubik d) Observasi aliran dan kekuatan urine, ukur
residu urine pasca berkemih e) Monitor laboratorium : urinalisa dan kultur, BUN, kreatinin f) Kolaborasi
dengan
pemberian
obat
dokter
antagonis
untuk
dan
alfa
adrenergik (prazosin). ` 3
Setelah
dilakukan NIC
tindakan
:
Anxiety
Reduction
(Penurunan
keperawatan kecemasan)
diharapkan
cemas
berkurang/hilang.
a) Gunakan pendekatan yang menenangkan b) Jelaskan semua prosedur dan apa yang
NOC : Anxiety Control, Coping, Impulse control
dirasakan selama prosedur c) Temani
pasien
untuk
memberikan
keamanan dan mengurangi takut d) Dorong keluarga untuk menemani e) Intrsuksikan pasien menggunakan teknik relaksasi. f) Berikan mengenai informasi diagnosis, tindakan dan prognosis. 4
Setelah
dilakukan NIC : Teaching : disease process
tindakan
keperawatan
diharapkan
klien
keluarga
dapat
mengetahui keadaan
dan
tentang
dan
penyakit
klien. NOC
a) Beri
penilaian
disease
Knowledge process
:
and
tingkat
pengetahuan pasien b) Jelaskan penyakit yang diderita pasien c) Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat d) Diskusikan
:
tentang
pilihan
terapi
atau
penanganan. melaksanakan prosedur yang telah
dijelaskan.
health behavior 5
Setelah tindakan
dilakukan NIC 1 : Fluid Management keperawatan
a) Pertahankan intake dan output yang
diharapkan
resiko
ketidakseimbangan volume
cairan
akurat b) Monitor vital sign
tidak
terjadi.
c) Pasang urine kateter jika perlu d) Monitor masukan makanan/cairan e) Berikan diuretik sesuai instruksi NIC 2 : Fluid Monitoring a) Monitor berat badan b) Catat secara akurat intake dan output
6
Setelah
dilakukan NIC 1 : Infection Control
tindakan
keperawatan
diharapkan resiko infeksi tidak terjadi.
a) Pertahankan teknik isolasi dan batasi pengunjung b) Gunakan baju, sarung tangan sebagai pelindung. c) Pertahankan lingkungan aseptik. d) Lakukan
perawatan
luka
dengan
mempertahankan teknik aseptic e) Beri terapi antibiotik. NIC 2 : Infection Protector a) Monitor tanda dan gejala infeksi b) Monitor granulosit,WBC
Tabel 11.2 Intervesi Keperawatan Post Operasi No Dx 1
NOC
NIC
Setelah
dilakukan NIC : Fluid Management
tindakan
perawatan
proses
keperawatan
diharapkan cairan
dan
terpenuhi.
kebutuhan elektrolit
a) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat b) Monitor vital sign c) Monitor
status
hidrasi
(kelembaban
membran mukosa, nadi adekuat)
d) Kolaborasikan pemberian cairan intravena (IV) e) Masukan oral f) Hitung balance cairan 2
Setelah tindakan
dilakukan NIC : Manajemen Nyeri keperawatan
diharapkan
nyeri
berkurang atau hilang
a) Kaji secara mnyeluruh tentang nyeri termasuk
lokasi,
durasi,
frekuensi,
intensitas, dan faktor penyebab b) Observasi
isyarat
ketidaknyamanan
non
verbal
dari
terutama jika tidak
dapat berkomunikasi secara efektif c) Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya; relaksasi, distraksi) d) Kolaborasi medis pemberian analgetik dengan tepat 3
Setelah tindakan
dilakukan NIC : Exercise Therapy Ambulation keperawatan
a) Bantu pasien untuk menggunakan fasilitas
diharapkan pasien dapat
alat bantu jalan dan cegah kecelakaan atau
meningkatkan
jatuh
mobilisasi pada tingkat yang paling tinggi
b) Tempatkan meja klien pada posisi yang mudah dijangkau/diraih c) Monitor pasien dalam menggunakan alat bantu jalan yang lain d) Intruksikan
pasien/pemberi
pelayanan
ambulansi tentang teknik ambulansi 4
Setelah
dilakukan NIC : Skin Surveilance
tindakan
perawatan
diharapkan
kerusakan
integritas terjadi.
kulit
tidak
a) Observation ekstremitas edema, ulserasi, kelembaban b) Monitor temperatur kulit dan warna kulit c) Inspeksi kulit dan membran mukosa
d) Inspeksi kondisi insisi bedah e) Monitor infeksi dan edema 5
Setelah tindakan
dilakukan NIC : Teaching disease process keperawatan
a) Deskripsikan proses penyakit dengan tepat
diharapkan infeksi tidak
b) Sediakan informasi tentang kondisi pasien
terjadi.
c) Diskusikan
perawatan
yang
akan
dilakukan d) Gambaran tanda dan gejala penyakit e) Instruksikan pasien untuk melaporkan kepada perawat untuk melaporkan tentang tanda dan gejala yang dirasakan
12. Daftar Pustaka Andra, Saferi Wijaya & Putri, Yessie Mariza. (2013). KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatab Dewasa). Yogyakarta : Nuha Medika. Aulawi, K. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishing. Carpenito, L. J. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Doenges, E. M. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (Terjemahan). Edisi 3. Jakarta: EGC. Jitowiyono, S. (2012). Asuhan Keperawatan Post Operasi. Edisi 2. Yogyakarta: Nuha Medika. Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius. Muttaqin, A & Sari, K. (2014). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Pranata, Andi Eka & Prabowo, Eko. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan Edisi 1 Buku Ajar. Yogyakarta : Nuha Medika.
Smeltzer, & Bare. (2005). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Brunner & Suddart, Edisi 8, Vol 1, Alih Bahasa: Kuncara Monica Ester. Jakarta : EGC. Sjamsuhidajat, R & Wim, De Jong. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. Wijaya, S. A. & Putri, M. Y.( 2013). Keperawatan Medikal Bedah: Keperawatan Dewasa, Teori, Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.