Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut 1. LAPORAN KUNJUNGAN LAPANGANPENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK DAN PASANG SURUT“MONITORING HIDROLOGI LAHAN RAWA PASANG SURUT DAN ANALISIS USAHA TANI DI DESA MULYASARI KECAMATAN TANJUNG LAGO KABUPATEN BANYUASIN” OLEH POSMA ANDRI OCTAVIA SIAGIAN 05101007122 BUDIDAYA PERTANIAN AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA INDRALAYA 2012 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanfaatan lahan rawa dapat dijadikan lahan alternatif untuk pengembangan pertanian, meskipun perlu pengelolaan yang tepat, dukungan kelembagaan yang baik dan profesional serta pemantauan secara terus menerus. Potensi lahan rawa di Indonesia adalah seluas 33,43 juta hektar yang terdiri dari 20,15 juta hektar rawa pasang surut dan 13,28 juta hektar rawa lebak. Lahan rawa yang telah dibuka atau direklamasi mencapai 5 juta hektar, luas tersebut sudah termasuk bekas lahan pertanian lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah. Meskipun pemerintah sudah dilakukan pembangunan terhadap lahan rawa, tetap diperlukan pengembangan pertanian yang baik. Apabila tidak demikian sangat dimungkinkan pembangunan lahan rawa tersebut tidak akan mendapatkan hasil pertanian secara optimal. Hal itu disebabkan karena karakteristik dari ekosistem lahan rawa yang bersifat marjinal dan rapuh. Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun, minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa lebak yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan peternakan disebut lahan rawa lebak. Rawa lebak yang sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton, sedangkan jika kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara laut/sungai besar disebut rawa pedalaman. Atau dapat juga diartikan dengan sawah rendahan yang tergenang secara periodik sekurang-kurangnya tiga sampai enam bulan secara kumulatif dalam setahun, dan dapat kering atau lembab tiga bulan secara komulatif dalam setahun. Rawa lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai (levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang lahan rawa lebak menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan genangan paling tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul semakin rendah genangannya. Pada musim hujan genangan air dapat mencapai tinggi antara 4 - 7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah. Pada musim kemarau muka air tanah di lahan rawa lebak dangkal dapat mencapai > 1 meter sehingga lebih menyerupai lahan kering (upland). Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara 2.000 - 3.000 mm per tahun dengan 6 - 7 bulan basah (bulan basah = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan > 200 mm) atau antara 3 - 4 bulan kering (bulan kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan. Bahan induk tanah rawa lebak umumnya berupa endapan aluvial sungai, endapan marin, atau gambut yang terbentuk pada periode era Holosen, yaitu sejak 10.000 sampai 5.000 tahun silam yang jauh lebih tua jika dibandingkan dengan endapan di delta sepanjang sungai yang diperkirakan terbentuk antara 2.500 - 3.000 tahun silam (Prasetyo et. al., 1990;Furukawa, 1994; Neuzil, 1997). Sifat fisika tanah dari lahan rawa lebak umumnya tergolong masih mentah,sebagian melumpur, kandungan lempung (clay) tinggi, atau gambut tebal dengan berbagai taraf kematangan dari mentah (fibrik) sampai matang (saprik). Lapisan bawah dapat berupa lapisan pirit (FeS2) yang berpotensi masam; atau pasir kuarsa yang miskin hara; sifat kimia, kesuburan, dan biologi tanah tergolong sedang sampai sangat jelek. Hidrologi atau sistem tata air kebanyakan lahan rawa lebak sangat buruk. Ketersediaan sarana dan prasarana tata air yang mendukung belum memadai sehingga kinerja pengatusan (drainage), pelindian (leaching), dan penggelontoran (flushing) belum mampu mempercepat perkembangan tanah. Lahan rawa pasang
surut di Indonesia mulai memperoleh perhatian, kajian dan garapan secara serba cukup (comprehensive) sebagai suatu sumber daya padatahun 1968. Kepedulian ini dibangkitkan oleh persoalan yang sangat mendesak akanpemenuhan kebutuhan beras yang terus meningkat. Usaha penyawahan lahan rawa pasang surut sebetulnya bukanlah hal baru. Orang-orang bugis sejak puluhan tahun sebelumnya telah menyawahkannya di berbagai tempat di pantai timur Sumatra dan di pantai selatan Kalimantan dengan beraneka tingkat keberhasilan. Dengan teknik tradisional sederhana, mereka dapat membuka persawahan, meskipun dengan hasil panen dan indeks pertanaman rendah menurut ukuran sekarang. Namun bagi pencukupan kebutuhan pangan dan pemenuhan baku hidup pedesaan waktu itu hasilpanen serendah 0,8 1 ton.ha-1padi sekali setahun sudah memadai. Luas lahan yang mampu mereka buka juga terbatas, hanya dapat menjangkau sejauh 1-2 km kepedalaman. Menurut ukuran sekarang teknik pembukaan lahan seperti itu tidak efektif. Mereka memang tidak memerlikan teknik yang lebih efektif, karena dengan luasan yang terbatas kebutuhan akan produksi beras sudah tercukupi. Walau itu berasbukan satu-satunya bahan pangan pokok.( Edrissea F, Susanto RH, Amin M. 2000) Yang sering ditakuti dalam pengembangan lahan rawa pasang surut adalah munculnya tanah sulfat masam sebagai akibat pengatusan. Namun tidak diperlukan waktu lama untuk membuang senyawa sulfat masam dari daerah parakaran pertanaman. Teknik reklamasi yang terbukti sangkil (effective) adalah pembuatan surjan atau tabukan dan penggelontoran dengan aliran air surut. Penggelontoran menjadi lebih berdaya kalau dikerjakan dengan air payau. Air payau berguna menaikkan kejenuhan basa tanah dan mengekstrasi Al. Dalam tanah sulfat masam kejenuhan Al sering meninggi sejalan dengan kemajuan pelapukan sulfat masam. Dengan demikian penggelontoran dengan air payau dapat lebih cepat menurunkan kejenuhan Al. B. Tujuan Adapun tujuan dari Kunjungan ini adalah agar dapat mengetahui tentang monitoring hidrologi, hidrotpografi lahan dan analisis usaha tani yang ada dilahan pasang surut dan rawa lebak.
II. TINJAUAN PUSTAKA a. Hidrotopografi lahan Hidrotopografi lahan merupakan perbandingan relatif antara elevasi lahan dengan ketinggian muka air di saluran. Lahan tipe A selalu terluapi oleh air pasang, baik pasang besar (terjadi pada musim hujan) maupun pasang kecil (terjadi pada musim kemarau), sedangkan lahan tipe B hanya terluapi oleh air pasang besar saja. Lahan tipe C tidak terluapi oleh air pasang, baik pasang besar maupun pasang kecil, tetapi muka air tanah di petak lahan masih dipengaruhi oleh fluktuasi air pasang. Pada lahan tipe D, selain tidak terluapi air pasang, muka air tanah juga tidak terpengaruh oleh fluktuasi air pasang. ( Susanto,2000) tanpa irigasi, surnber air utama pada lahan rawa pasang surut berasal dari air hujan dan air pasang di saluran. Pemasukan air ke petak lahan dengan memanfaatkan potensi air pasang dapat dilakukan pada lahan tipe A dan B, sedangkan pemasukan air pada lahan tipe C dan D sulit dilakukan karena permukaan lahan relatif lebih tinggi dibandingkan muka air pasang di saluran. Kedalaman muka air tanah pada lahan tipe C dan D dapat dipertahankan dengan teknik retensi air. Hidrotopografi adalah gambaran elevasi relative suatu lahan terhadap elevasi muka air yang berfungsi sebagai elevasi muka air referensi. Karenanya berdasarkan pengertian di atas, maka untuk : Lahan rawa pasang surut, pengertian hidrotopografi diterjemahkan sebagai berikut : Hidrotopografi adalah gambaran elevasi relative suatu lahan terhadap elevasi muka air pasang surut di saluran terdekat (saluran tertier dan bukan sungai / saluran primer / saluran sekunder) yang berfungsi sebagai elevasi muka air referensi. Lahan rawa non pasang surut, pengertian hidrotopografi diterjemahkan sebagai berikut : Hidrotopografi adalah gambaran elevasi relative suatu lahan
terhadap elevasi muka air tertinggi rawa non pasang surut (Muka Air Tertinggi = M.A.T.) yang berfungsi sebagai elevasi muka air referensi. • Manfaat hidrotopografi Hidrotopografi berguna untuk informasi / petunjuk apakah suatu lahan dapat diairi atau tidak. • Perubahan klasifikasi hidrotopografi sesuatu lahan Akibat terjadinya penurunan muka tanah, maka elevasi lahan dapat berubah, sehingga klasifikasi hidrotopografinya juga berubah. Begitu juga perubahan dapat terjadi akibat perubahan elevasi muka air yang menjadi elevasi referensi. Faktor-faktor yang menentukan keadaan hidrotopografi di lapangan berbeda antara rawa pasang surut dan rawa non pasang surut. Perbedaannya sebagai berikut : a) Untuk rawa pasang surut 1. Keadaan elevasi muka air pasang surut 2. Peredaman fluktuasi pasang di saluran berdasarkan dimensi penampang saluran, kondisi pemeliharaan saluran, panjang saluran, adanya peluapan pasang yang menyimpang dari biasanya. 3. Terdapatnya bangunan pengendali yang ukurannya lebih kecil dari saluran. 4. Curah hujan setempat (jika tanggul dan tanahnya sudah basah, maka air pasang lebih mudah mengalir dan menembus lahan yang kering). 5. Elevasi muka tanah di lapangan yang sewaktu-waktu dapat berubah karena penurunan muka tanah akibat oksidasi tanah organik dan perataan permukaan tanah pada lahan dan pembuatan surjan, kolam ikan dan lain sebagainya. b) Untuk rawa non pasang surut 1. Keadaan elevasi muka air tertinggi (MAT). 2. Keadaan elevasi muka tanah di lapangan yang sewaktu-waktu dapat berubah karena penurunan muka tanah akibat oksidasi tanah organik, penataan permukaan tanah pada lahan dan pembuatan surjan , kolam ikan dan lain sebagainya. b. Monitoring hidrologi Monitoring Hidrologi adalah suatu pemantauan untuk mengetahui status kadar air. Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat dipandang sebagai sistem alami yang menjadi tempat berlangsungnya prosesproses biofisik hidrologis maupun kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat kompleks. Prosesproses biofisik hidrologis DAS merupakan proses alami sebagai bagian dari suatu daur hidrologi atau yang dikenal sebagai siklus air. Sedang kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat merupakan bentuk intervensi manusia terhadap sistem alami DAS, seperti pengembangan lahan kawasan budidaya. Hal ini tidak lepas dari semakin meningkatnya tuntutan atas sumber daya alam (air, tanah, dan hutan) yang disebabkan meningkatnya jumlah penduduk yang membawa akibat pada perubahan kondisi tata air DAS. Pemantauan pada hulu sungai adalah langkah awal untuk mengetaui gejala
datangnya banjir sehingga antisipasi dini bisa diambil untuk memperkecil angka kerugian maupun korban jiwa. Pada bahasan ini akan dirancang sebuah system monitoring hidrologi menggunakan wireless data logger yang berbasis sensor network untuk memperbaiki sistem yang ada sekarang berdasarkan analisa yang telah dilakukan. Hasil pengolahan data dari monitoring tersebut akan dijadikan referensi untuk buka tutup pintu air. Metodologi yang digunakan adalah sensor curah hujan (rain gauge) dan pendeteksi level air atau disebut automatic water level record (AWLR) dipasang pada beberapa catchment area (area pantau) yang telah ditentukan. Hasil pembacaan sensor tersebut akan disimpan pada sistem data logger dan ditransmisikan melalui gelombang radio ke komputer data kolektor. Dari komputer data kolektor di masing-masing area pantau akan dikirim ulang melalui jaringan komputer ke sistem data pusat. Pengolahan data dari semua area pantau dilakukan ketika semua sudah terkumpul di sistem data pusat. Hasil dari pengolahanini digunakan untuk memprediksi peningkatan volume air yang akan datang sehingga bisa dijadikan acuan untuk buka tutup pintu. Dengan demikian kuantitas air bisa diatur lebih ini dan potensi banjir bisa diminimalisasi. Teknik yang digunakan yaitu mengolah parameter-parameter yang bisa mempengaruhi peningkatan debit air sungai yaitu ketinggian air dan curah hujan dihulu sungai. Data yang diperoleh disimpan ke sistem data logger, kemudian dikirimlagi secara wireless dengan menggunakan gelombang radio ke komputer data kolektor sehingga didapatkan hasil monitoring berupa kondisi terkini pada catchment area (daerah pantau) tertentu. Setelah itu dari komputer data kolektor, data dikirim kekomputer data server yang kemudian diolah bersama data dari daerah pantau lainnya. Jika hasil monitoring menunjukkan kondisi yang memungkinkan terjadinya banjir maka ada sebuah sistem alert berupa sirine dan respon kontrol untuk buka- tutup pada pintu-pintu air. Dengan sistem seperti ini diharapkan langkah antisipasi dini terhadap banjir bisa dilakukan dengan secepat mungkin. Pada transmitter pengujian dilakukan selama satu jam, penyimpanan dilakukan tiap satu menit serta pengiriman dilakukan setiap 2 menit didapatkan hasil eror pengiriman sebesar 6,67% hal ini terjadi karena gangguan pada frekuensi wireless. dengan menggunakan media wireless yang lebih baik eror ini bisa di reduksi. Sedangkan pada sensor curah hujan didapatkan eror sebesar 5,4% , disebabkan karena faktor mekanik. Pada sensor ketinggian terjadi eror sebesar 1,87%, pada sensor ini didapatkan hasil yang lebih baik , walaupun masih ada kesalahan. c. Pengelolaan tata air mikro Tata air mikro ialah pengelolaan air pada skala petani. Dalam hal ini, pengelolaan air dimulai dari pengelolaan saluran tersier serta pembangunan dan pengaturan saluran kuarter dan saluran lain yang lebih kecil. Saluran tersier umumnya dibangun oleh pemerintah tetapi pengelolaannya diserahkan kepada petani. Pengelolaan air di tingkat petani bertujuan untuk mengatur agar setiap petani memperoleh air irigasi dan membuang air drainase secara adil. Untuk itu diperlukan organisasi di tingkat desa. Kemudian, pengelolaan di tingkat petani juga menciptakan kelembaban tanah di lahan seoptimal mungkin bagi pertumbuhan tanaman serta mencegah kekeringan lahan sulfat asam dan lahan gambut. Pengelolaan tata air yang dimaksud di sini adalah pengelolaan air skala mikro,yaitu yang berada di tingkat petani yang meliputi pembuatan saluran-saluran keliling, pengatusan dan kemalir, tabat, dan pintu air. Pengelolaan air di lahan gambut terutama dimaksudkan untuk mempertahankan muka air tanah pada batas layak untuk tanaman pangan. Untuk padi, muka air tanah perlu dipertahankan pada jeluk antara 30-40 cm dan untuk palawija 40-50 cm. Pengelolaan air juga penting untuk menjaga agar tidak terjadi amblesan yang besar. Sistem tabat lazim digunakan oleh petani tradisional untuk mempertahankan air selama musim tanam (lacak) bagi padi lokal berumur 8-10 bulan, yang bersifat peka foto period pada sekitar bulan Maret-April. Tabat dibuka pada akhir musim kemarau atau menjelang musim hujan untuk mengeluarkan unsur dan senyawa racun berupa asam-asam organik dan ion-ion logam lainnya. Sistem tabat ini memberikan peluang bagi pengembangan padi sekaligus perbaikan mutu lahan,terutama dalam menurunkan kadar unsur pencemaran (Al, Fe, dan H2S).
Dalam budidaya tanaman palawija, pembuatan saluran pengatusan keliling dan kemalir di lahan gambut dari hasil penelitian terbukti dapat memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah serta hasil tanaman jagung dan kedelai (Vadari et al.,1995). Dimensi ukuran saluran kemalir lebar 40 cm, dalam 30-50 cm, dengan jarak antara kemalir 9 m. Penerapan sistem pengatusan dangkal untuk pengembangan tanaman palawija di lahan pasang surut Tipe B Unit Tatas, Kapuas (KalimantanTengah) dan Tipe C Unit Barambai (Kalimantan Selatan) memberikan hasil kedelai ratarata sebesar 1,99 ton/ha, kacang tanah 1,53-2,70 ton/ha, dan jagung 4,32-4,69 ton/ha (Sarwani et al., 1994). Pengelolaan air tingkat mikro atau tingkat petani ini dianjurkan menerapkan sistem tata air satu arah sehingga pelindian senyawa atau unsur racun yang menghambat pertumbuhan tanaman lebih mempan. Pintu air yang dipasang dimuara saluran tersier (handil) dapat bersifat semi-otomatis (aeroflapgate) yang bersifat membuka ke dalam (tersier) untuk pintu air irigasi dan membuka ke luar untuk pintu air drainasi/pengatusan. Hasil padi juga dipengaruhi oleh mutu air yang dipergunakan.
III. METODOLOGI A. Tempat dan Waktu Lokasi pengamatan di lakukan di Desa Mulya Sari Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin. B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada pengamatan ini, antara lain meteran, papan pielscall, Pipa wells, Tali. Sedangkan bahan yang digunakan adalah bentangan luasan lahan pertanian yang dilengkapi dengan saluran sekunder dan tersier di Desa Mulya Sari Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin. C. Cara Kerja a. Dimensi Saluran 1. Pengamatan saluran-saluran yang ada dilahan pertanian, mulai dari saluran sekunder sampai tersier. 2. Mengamati sistem kerja pada pintu air yang ada pada saluran sekunder. 3. Melakukan uji coba pembukaan pintu air pada saluran sekunder. 4. Melakukan pengukuran lebar atas saluran, lebar bawah saluran dan kedalaman saluran sekunder dan saluran tersier, pada beberapa titik saluran. 5. Dokumentasikan kegiatan. b. Pengamatan Tinggi Muka Air Saluran 1. Lakukan pemasangan kayu yang kuat di saluran sekunder, sebagai penopang papan pielscall atau papan duga yang akan dipasang. 2. Pemasangan papan pascal pada saluran sekunder berdampingan dengan tiang yang telah dipasang. Pemasangan papan pascal harus dekat dengan pintu saluran untuk mengetahui pengaruh pasang surut air yang ada. 3. Tiang dan papan pascal harus benar-benar tertancap sampai dasar tanah.
4. Setelah papan pascal yang pas disaluran sekunder, kemudian lakukan pengamatan tinggi muka air saluran. 5. Catat berapa tinggi muka air yang tertera di papan pascal. 6. Dokumentasikan kegiatan. c. Pengamatan Tinggi Muka Air tanah 1. Lakukan pengeboran di empat titik yang berbeda. Pengeboran dilakukan sedalam tinggi pipa wells yang dibuat. 2. Setelah dilakukan pengeboran, masukan pipa wells kedalam lubang boran. 3. Amatilah berapa tinggi muka air tanah. Untuk mengetahui berapa tinggi muka air tanah yaitu tinggi pipi wells dari permukaan tanah di kurang dengan tinggi pipa wells dari permukaan air yang masuk ke pipa wells. Pengukuran dilakukan di empat titik. 4. Dokumentasikan kegiatan. d. Analisis Usaha Tani 1. Lakukan kegiatan Tanya jawab dengan petani yang ada di Desa Mulya Sari Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin, tentang sistem pertanian di daerah tersebut. 2. Catat hal yang penting dan sesuaikan dengan teori budidaya tanaman padi yang ada. 3. Dokumentasikan kegiatan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Berdasarkan kegiatan yang dilakukan dilapangan, maka kemudian diperolehhasil sebagai berikut ini : Data Dimensi Saluran Sekunder Dan Tersier No 1 2 3 4
Indikator Lebar Permukaan Atas Lebar Permukaan Bawah Tinggi Muka Air Luas Dimensi Saluran
Saluran Sekunder Tersier 11,6 m 4,1 m 8,63 m 1,8 m 2m 0,8 m 20,23 m2 4 m2
Data Muka Air Tanah Pipa Wells No
Pipa Wells
Indikator
Muka Air
1 2 3 4
I II III IV
Kedalaman 41 cm 45 cm 23 cm 40 cm
Tinggi Dari Permukaan 37 cm 55 cm 97 cm 74 cm
Tanah -4 cm -10 cm -74 cm -34 cm
Data Muka Air Saluran Papan Piscal Tempat
Saluran
Lahan Telang II
Tersier
Tinggi Muka Air 80 cm
Waktu Pengukuran Siang Hari
B. Pembahasan Pada pertanian lahan rawa pasang surut, tanaman akan tumbuh danberkembang dengan baik apabila kedalaman muka air tanah dapat diatur sesuaidengan zona perakaran tanaman, dan pirit yang ada di dalam tanah tidak teroksidasi.Penanaman muka air tanah hingga di bawah lapisan tanah yang mengandung piritakan menyebabkan terjadinya oksidasi pirit yang menghasilkan senyawa sulfat.Asam sulfat bersifat racun, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.Oksidasi pirit dapat dikendalikan dengan menekan kandungan oksigen yang tersediadi dalam tanah, yaitu dengan mengatur kedalaman muka air tanah. Adapun laporan data yang kami temukan dalam kunjungan lapangan iniyaitu: 1) Dimensi saluran Dari kegiatan pengukuran dimensi saluran sekunder didapatkan data yaitu padasaluran sekunder, lebar permukaan atas adalah 11,6 meter, lebar permukaan bawahadalah 8,63 meter, tinggi muka air pada saluran sekunder adalah 2 meter, dan untukluas dimensi saluran 20,23 m2. Sedangkan untuk saluran tersier, lebar permukaanatas adalah 4,1 meter, lebar permukaan bawah adalah 1,8 meter, tinggi muka air padasaluran tersier adalah 0,8 meter, serta luas dimensi saluran adalah 4 m2. Dimensi saluran dan bentuk saluran perlu diperhatikan agar didapatkan saluranstabil yaitu tidak mengganggu masalah erosi maupun sedimentasi. Persoalan padasaluran yang perlu mendapat yaitu penentuan kecepatan terpakai, agar tidak timbulerosi, sedimentasi, maupun longsoran - longsoran. Dimensi saluran sekunderditentukan berdasarkan kebutuhan air dari seluruh petak tersier yang dilayani denganmemperhitungkan kehilangan air banyak di petak sawah maupun pada saluransekunder. saluran sekunder merupakan batas dari petak tersier, sehingga penentuandari petak tersier diusahakan berbentuk persegi panjang (memanjang arah aliran)dengan luas disesuaikan dengan keadaan topografi daerah. 2) Tinggi muka air pada saluran a. Pengamatan tinggi muka air pada saluran dilakukan dengan menggunakan papanduga (pielscall). Pipa papan daya (Pieschal) digunakan untuk permukaan saluran air,panjangnya mengikuti bentuk saluran.
b. Banyaknya titik pengamatan adalah 4 titik di saluran tersier 4, 1 titik di salurandrainase utama (SDU), dan 1 titik di saluran pengairan desa (SPD) c. Pengamatan tinggi muka air pada saluran dilakukan setiap hari antara pukul 06.00-08.00 WIB. Agar kondisi muka air tanah dapat mendukung sistem usahatani, maka perludibuat panduan pengoperasian pintu air di saluran tersier sesuai dengan sistemusahatani yang diterapkan. Penelitian lanjutan tentang sistem telemetri dan rekayasasistem kontrol (bangunan pengendalian air) di saluran tersier dapat melengkapimodel dan teknik pengendalian muka air tanah yang telah dibangun. 3). Tinggi muka air tanah Menurut Susanto (2000), pengendalian muka air tanah di blok tersiermerupakan suatu proses kunci yang harus dilakukan dengan tepat melaluipengendalian air di saluran tersier. Namun, teknik pengelolaan air yang dilakukanhingga saat ini masih bergantung pada pengamatan muka air tanah secara langsungdi lapangan, yaitu dengan membuat sumur-sumur pengamatan di petak lahan.Meskipun memiliki akurasi yang tinggi, tetapi pengamatan muka air tanah secaralangsung memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar. Selain itu, informasiyang diperoleh juga sangat terbatas, yaitu hanya pada titik pengamatan dan jangkawaktu pengamatan tertentu. Pengamatan tinggi muka air tanah dilakukan melalui sumur pengamatan (wells) yang dibuat dari pipa paralon dengan panjang 3 m dan diameter 2,5 inchi. Pipa tersebut dilubangi pada bagian sisi-sisinya kemudian dilapisi dengan ijuk dan ditanam dengan kedalaman 2,5 m dari permukaan tanah. Lubang pipa bagian atas ditutup dan hanya dibuka pada saat melakukan pengukuran. Gambar Pipa wells Untuk pengukuran muka air tanah, kami menggunakan pipa wells sebanyakempat buah dan diletakkan pada empat titik yang berbeda. Pipa wells dibuat dari pipaparalon dengan panjang 3 meter dan diameter 2,5 inchi. Pipa tersebut dilubangi padabagian sisi – sisinya kemudian dilapisi dengan ijuk dan ditanam dengan kedalaman ±2,5 meter dari permukaan tanah. Pengukuran muka air tanah dengan pipa wells inisetiap titiknya kami letakkan pada bagian tepi lahan, dikarenakan lahan tersebutlahan yang basah. Serta pengamatan ini seharusnya didiamkan dulu ± 24 jam barulah diukur muka air tanahnya. Namun, fieldtrip ini hanya dilakukan satu hari makahanya kami diamkan selama ± 5 menit. Jika pengamatan dilakukan ± 24 jam, makaseharusnya pipa wells ini ditutup supaya tidak tercampur serasah atau kotoran dariluar. Data yang didapat dari pengukuran muka air tanah, pada titik pertama adalah –4 cm, pada titik kedua adalah – 10 cm, pada titik ketiga adalah – 74 cm, dan padatitik keempat adalah – 34 cm. setiap titik yang kami amati didapatkan setiap titikbernilai minus yang berarti bahwa muka air tanahnya berada dibawah permukaantanah.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dalam kunjungan ini yaitu : 1. Hidrotopografi lahan merupakan perbandingan relatif antara elevasi lahan dengan ketinggian muka air di saluran
2. Pipa papan daya (Pieschal) digunakan untuk permukaan saluran air, panjangnya mengikuti bentuk saluran. 3. Pengelolaan air dimulai dari pengelolaan saluran tersier serta pembangunan dan pengaturan saluran kuarter dan saluran lain yang lebih kecil. 4. Sebagian besar petani di lahan rawa lebak dan pasang surut pada saat penanaman menggunakan sistem TABELA ( Tebar benih langsung). 5. Pipa wells digunakan untuk mengamati muka air tanah, pengamatan biasanya dilakukan pada jam 06.00 pagi.
B. Saran Keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pertanian lahan rawa pasangsurut harus didukung dengan infrastruktur pengendali air yang memadai, operasi danpemeliharaan jaringan dengan penguatan kelembagaan P3A (perkumpulan petanipemakai air), serta pengenalan dan implementasi sistem usaha tani. Peningkatankemampuan dan pemberdayaan, serta partisipasi masyarakat perlu dilakukan secaraberkesinambungan melalui berbagai sosialisasi dan pelatihan, baik dari aspek teknismaupun non teknis.
DAFTAR PUSTAKA Edrissea F, Susanto RH, Amin M. 2000. Penggunaan konsep SEW-30 dan DRAINMOD untuk evaluasi status air di petak sekunder dan tersier di daerah reklamasi rawa pasang surut Telang I dan Saleh Sumatera Selatan. Semiloka Manajemen Daerah Rawa dan Kawasan Pesisir. Palembang 4-6 Maret 2000.Nugroho K. 2004. Aspek Hidrologi dalam Klasifikasi Tipe Luapan Pasang Surut, Studi Kasus Daerah Telang Sumatera Selatan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.Noor, Muhammad. 2007. Rawa Lebak: Ekologi, Pemanfaatan, dan Pengembangannya. Jakarta: Raja GrafindoPersada.Prasetyo et. al., 1990; Furukawa, 1994; Neuzil, 1997Rafieq, Achmad. 2004. Sosial Budaya dan Teknologi Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengembangan Pertanian Lahan Lebak di Kalimantan Selatan. Banjarbaru: Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.Susanto RH. 2000. Manajemen air daerah reklamasi rawa dalam kompleksitas sistem usaha tani. Workshop Teknologi Pengembangan Lahan Rawa; Integrated Swamps Development Project Loan. Palembang 29 Agustus-1 September 2000.Suwarni et al, 1994. Pengelolaan tata air makro dan mikro. Kansius : Yogyakartahttp://lowland-archiebald.blogspot.com/2009/04/pengelolaan-tata-air-pertanian-dilahan.htmlhttp://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-10397Paper.pdfhttp://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-10397Chapter1.pdfhttp://worldagroforestrycentre.net/sea/Publications/files/journal/JA0015-04.pdf