Tugas Resume Karakteristik Dan Pengelolaan Lahan Rawa Pasut (asmara_hadisaputro).docx

  • Uploaded by: AsmaraHadisaputro
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Resume Karakteristik Dan Pengelolaan Lahan Rawa Pasut (asmara_hadisaputro).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 15,080
  • Pages: 44
KARAKTERISTIK DAN PENGELOLAAN LAHAN RAWA PASANG SURUT

A. TANAH LAHAN RAWA PASANG SURUT Dalam keadaan alamiah, tanah-tanah pada lahan rawa pasang surut merupakan tanah yang jenuh air atau tergenang dangkal, sepanjang tahun atau dalam waktu yang lama, beberapa bulan, dalam setahun. Dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah rawa termasuk tanah basah, atau "wetsoils", yang dicirikan oleh kondisi aquik, yakni saat ini mengalami penjenuhan air dan reduksi secara terus-menerus atau periodik. Proses pembentukan tanah yang dominan adalah pembentukan horison tanah tereduksi berwarna kelabu-kebiruan, disebut proses gleisasi, dan pembentukan lapisan gambut di permukaan. Bentuk wilayah, atau topografi lahan rawa pasang surut adalah sangat rata (flat) sejauh mata memandang, dengan ketinggian tempat relatif kecil, yaitu sekitar 00,5 m dpl di pinggir laut sampai sekitar 5 m dpl di wilayah lebih ke pedalaman. Secara umum, ada dua jenis tanah yang terbentuk, yaitu tanah gambut (peat soils), dan tanah nongambut, atau tanah mineral basah (wet mineral soils). Tanah mineral yang terdapat di wilayah rawa, seluruhnya merupakan endapan bahan halus, berupa debu halus dan lumpur yang diendapkan air pasang ditambah dengan bahan aluvium yang dibawa ke muara oleh air sungai. Oleh karena itu, tanah yang terbentuk semuanya merupakan tanah aluvial basah, yang di permukaannya terdapat lapisan gambut tipis (<20 cm), atau agak tebal, antara 20-50 cm. Yang terakhir ini disebut tanah mineral-bergambut (peatysoils). Apabila ketebalan lapisan gambut sudah melebihi 50 cm, sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai tanah mineral, tetapi sudah termasuk tanah gambut. Dalam sistem klasifikasi tanah lama, tanah aluvial yang selalu jenuh air disebut Aluvial Hidromorf, dan yang relatif agak kering tidak selalu basah disebut Aluvial (saja). Tanah aluvial yang memiliki lapisan gambut tipis (<20 cm) di permukaan, disebut Glei Humus Rendah; sedangkan yang lapisan gambutnya agak tebal (20-50 cm), disebut Glei Humus. Sementara tanah gambut disebut Organosol. Dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), kelompok tanah Aluvial termasuk dalam (ordo) Entisols, atau Inceptisols; sedangkan tanah gambut disebut Histosols. Sesuai dengan pembagian lahan rawa, penyebaran dan sifat-sifat atau karakteristik tanah yang terbentuk akan mengikuti pola landform yang ada, dan berbeda antara ketiga zona wilayah rawa. Dalam bab ini dibahas lebih rinci dua zona wilayah lahan rawa, yaitu zona I: wilayah rawa pasang surut air asin/payau,dan zona II: wilayah rawa pasang surut air tawar. Sedangkan zona III: wilayah rawa lebak/rawa non pasang surut.

Zona I: Wilayah rawa pasang surut air asin/payau Wilayah rawa pasang surut air asin/payau merupakan bagian dari wilayah rawa pasang surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut lepas. Biasanya, wilayah rawa ini menempati bagian terdepan dan pinggiran pulau- pulau delta serta bagian tepi estuari, yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut/salin. Sebagian besar wilayah zona I termasuk dalam landform marin. Pembagian lebih detail dari

1

landform marin, disebut sub-landform, pada zona I rawa pasang surut air asin/payau dapat dilihat pada irisan vertikal tegak lurus pantai, dan diilustrasikan pada Gambar 2.1a dan 2.1b.

Gambar 2.1a. Penampang skematis zona I wilayah rawa pasang surut air asin/ payau, merupakan pantai lepas yang memiliki beting pasir pantai (coastal dunes)

Gambar 2.1b. Penampang skematis zona I wilayah rawa pasang surut air asin/ payau, pantai pada bagian yang terlindung dalam estuari, atau teluk

Tanah di zona I, seluruhnya terbentuk dari endapan marin, yaitu terbentuk dalam lingkungan laut/marin, yang secara khas dicirikan oleh kandungan mineral besi-sulfida berukuran sangat halus, beberapa mikron (0,001 mm), yang disebut pirit. Ditinjau dari sifat kematangan tanah (soil ripeness), tanah pada zona I umumnya bervariasi dari masih mentah (unripe) sampai setengah matang (half ripe). Profil tanah umumnya menunjukkan tanah bagian atas (upper layers) teroksidasi setebal 25-50 cm, setengah matang sampai hampir matang (nearly ripe), tekstur liat berdebu, dan berwarna kelabu sampai coklat kekelabuan tua. Lapisan tanah bawah (subsoil) tereduksi, mentah sampai setengah matang, tekstur liat berdebu, dan umumnya berwarna kelabu gelap-sangat gelap terkadang hitam, atau kelabu kehijauan. Pada bagian "dataran bergaram'' yang ditumbuhi bakau/mangrove, karena pengaruh air laut pasang, tanahnya bersifat salin, mempunyai reaksi alkalis (pH >7,5), mengandung garam/salinitas tinggi, dan merupakan wilayah tipologi lahan salin. Pada bagian yang dipengaruhi air payau, tanah umumnya bereaksi mendekati netral (pH 6,5-7,5) karena pengaruh air tawar dengan kandungan garam lebih rendah, dan merupakan wilayah tipologi lahan agak-salin. Pada wilayah rawa belakang yang dipengaruhi air tawar, tanah bereaksi semakin masam, dan terbentuk lapisan gambut di permukaan, yang bersifat lebih memasamkan tanah. Wilayah zona I, khususnya di bagian sub-landform "dataran bergaram", atau "salt-marsh", baik yang dipengaruhi air asin/salin maupun air payau, akibat salinitas atau kandungan garam yang masih tinggi, tanah umumnya tidak sesuai untuk pertanian. Oleh karenanya, tanah tersebut tidak direklamasi, baik oleh penduduk maupun oleh pemerintah.

2

Zona II: Wilayah rawa pasang surut air tawar Lokasi zona II masih terdapat pada wilayah daerah aliran bagian bawah, tetapi lebih ke arah hulu, dimana pengaruh langsung air laut/salin sudah tidak ada lagi, tetapi energi pasang surut masih terasa Cekungan

berupa naik dan turunnya air (tawar) sungai mengikuti siklus gerakan air pasang surut. Wilayahnya dapat mencakup seluruh pulau-pulau delta kecil, seperti Delta Upang dan Delta Telang, atau sebagian besar wilayah pulau besar, seperti Delta Berbak dan Delta Pulau Petak. Secara keseluruhan, wilayah ini umumnya dimasukkan sebagai landform fluvio-marin, karena terbentuk dari gabungan pengaruh sungai (fluvio) dan pengaruh marin. Satuan-satuan sub-landform yang terdapat di zona II dapat dilihat lebih jelas pada wilayah yang terletak di antara dua sungai besar. Penampang skematis sub-landform di antara dua sungai besar pada zona II diilustrasikan pada Gambar 2.2. Gambar 2.2. Penampang skematis sub-landform di antara dua sungai besar pada zona II lahan rawa pasang surut air tawar Oleh karena pengaruh sungai masih kuat, di sepanjang pinggir sungai terbentuk tanggul sungai alam (natural levee) yang sempit dan lebarnya bervariasi, makin ke arah hilir relatif sempit dan tidak begitu nyata terlihat di lapangan. Tetapi ke arah hulu, kenampakannya di potret udara lebih jelas, terutama karena perbedaan vegetasi yang tumbuh. Lebarnya yang tercatat adalah sekitar 0,2-1 km, dan setempat-setempat sampai sekitar 2 km. Tanggul sungai dapat terbentuk sebagai akibat pengendapan muatan sedimen sungai yang terjadi selama berabad-abad, setiap kali sungai meluap ke daratan selama musim hujan. Bahan endapan berupa debu halus dan lumpur, akan mengendap pertama-tama di pinggir sungai, sementara bahan yang lebih halus berupa liat, akan diendapkan pada wilayah di belakang tanggul. Tanah yang terbentuk di bagian tanggul sungai alam, merupakan endapan sungai (fluviatile) yang tebalnya beragam, dari sekitar 0,5 m sampai lebih dari 1,5 m, menutupi endapan dasar yang merupakan endapan marin. Oleh karena terbentuk dari bahan relatif agak kasar, debu kasar dan halus serta lumpur, tanah tanggul sungai (levee soils) umumnya bertekstur sedang, dengan kandungan fraksi debu relatif tinggi, seperti lempung, lempung berdebu, lempung liat berdebu, dan liat berdebu. Pada wilayah di belakang tanggul sungai, permukaan tanah umumnya berangsur menurun ke arah cekungan/depresi besar di hampir bagian tengah wilayah di antara dua sungai besar. Wilayah di antara tanggul sungai dan cekungan/depresi besar di bagian tengah, disebut sub-landform dataran rawa belakang (backswamp). Dari pengamatan lapangan di areal hutan gambut di antara S. SebangauKahayan-Kapuasmurung-Barito di Kalimantan Tengah, peralihan dari tanggul sungai ke arah cekungan/depresi, menunjukkan penurunan tanah dasar mineral tidak selalu terjadi secara berangsur, tetapi dapat juga menurun secara mendadak dalam jarak yang relatif pendek, dan menjadi bagian dari cekungan/depresi besar. Ini berarti dataran rawa belakangnya sangat sempit, atau tidak ada. Depresi besar di sekitar bagian tengah wilayah di antara dua sungai besar ditempati tanah gambut.

3

Posisi depresi di berbagai wilayah pulau delta tidak selalu persis di bagian tengah, tetapi seringkali menyamping mengikuti bentuk pulau delta. Batasan tanah gambut yang sederhana adalah memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65% (berdasarkan berat) dengan ketebalan gambut lebih dari 0,5 m. Definisi tanah gambut yang disebut Histosols dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), lebih rumit, yaitu (i) harus tersusun dari bahan tanah organik, (ii) jenuh air selama 1 bulan atau lebih setiap tahun, dan (iii) ketebalannya minimal 0,4 atau 0,6 m tergantung dari tingkat dekomposisi bahan gambut dan bobot-jenisnya. Tanah gambut yang menempati cekungan/depresi besar mempunyai ketebalan yang bervariasi. Di bagian pinggir ditempati gambut dangkal dengan ketebalan 0,5-1 m, dan gambut sedang dengan ketebalan 1-2 m, dan seringkali mengandung sisipan-sisipan lapisan tanah mineral. Keduanya biasanya merupakan gambut topogen yang relatif subur (eutrofik). Semakin ke bagian tengah depresi, lapisan gambut semakin tebal dan kesuburan bahan gambutnya cenderung makin menurun. Tanah gambut dalam (2-3 m) dan gambut sangat- dalam (>3 m) yang terbentuk disebut gambut ombrogen, dengan tingkat kesuburan sedang (mesotrofik) sampai rendah (oligotrofik). Oleh karena perbedaan pertumbuhan vegetasi hutan di bagian pinggir dan bagian tengah cekungan, permukaan tanah gambut semakin meninggi di bagian tengah dan membentuk semacam kubah dari tanah gambut, yang disebut kubah gambut (peat dome). Ketinggian relatif di bagian tengah kubah, dapat mencapai sekitar 35 m. Bentuk kubah gambut umumnya “lonjong” atau hampir bujur telur, dan ukurannya cukup besar. Sebagai contoh dua kubah gambut di Delta Pulau Petak yang diteliti Lembaga Penelitian Tanah tahun 1972, masingmasing berukuran sekitar 4-9 km lebar dan 8-15 km panjang; serta 8-12 km lebar, dan 15-24 km panjang (SRI, 1973). Sebagaimana pada zona I, endapan dasar yang membentuk tanah rawa di wilayah rawa belakang adalah endapan marin, oleh karena itu sering disebut sebagai tanah aluvial marin. Ciri yang unik dari tanah aluvial marin adalah adanya senyawa besi-sulfida (FeS2) yang disebut pirit. Kandungan pirit di tanah rawa pasang surut umumnya rendah, yakni hanya sekitar 0-5%, namun walaupun kadarnya rendah, temyata di kemudian hari menjadi permasalahan utama yang berat, atau sangat sulit diatasi, apabila tanah rawa dibuka untuk pertanian. Masalahnya dimulai pada saat rawa direklamasi, yaitu dengan penggalian saluran-saluran drainase besar, seperti saluran primer, sekunder, dan tersier, dengan tujuan untuk mengeringkan wilayah agar tanah rawa yang semula basah atau tergenang menjadi tanah yang relatif lebih kering yang siap digunakan sebagai lahan pertanian. Akibat adanya saluran-saluran drainase tersebut, permukaan air tanah menjadi turun, dan tanah bagian atas menjadi kering dan terbuka. Akibat adanya oksigen di udara, maka tanah bagian atas ini mengalami oksidasi, sementara tanah bagian bawah masih tetap berada di lingkungan air tanah, yaitu tetap dalam kondisi tereduksi. Pirit yang terbentuk dalam suasana reduksi dalam endapan laut di dekat pantai dengan kandungan bahan organik tinggi, berasal dari vegetasi pantai seperti api-api dan bakau/mangrove. Dalam kondisi reduksi, pirit bersifat stabil sesuai dengan suasana lingkungan pembentukannya. Akibat penurunan air tanah, pirit yang berada di tanah bagian atas ikut terbuka (exposed) di lingkungan yang aerob, dan mengalami oksidasi, menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe-III). Hasil akhirnya merupakan tanah ber-reaksi masam ekstrim (pH <3,5),

4

dan banyak mengandung ion-ion sulfat (SO4), besi bervalensi 2 (Fe-II), dan aluminium (AI3+). Tanah ber- reaksi masam ekstrim yang banyak mengandung ion sulfat ini disebut tanah sulfat masam, atau “acid sulphate soils”. Seringkali juga disebut tanah sulfat masam aktual, atau “actual acid sulphate soils”. Sebaliknya, semua tanah marin yang mengandung pirit belum teroksidasi, mempunyai reaksi tanah agak masam (pH 4,6-5,5), tetapi berpotensi akan menjadi ekstrim masam bila mengalami drainase berlebihan, disebut tanah sulfat masam potensial, atau “potential acid sulphate soils”. Tanah bagian atas yang sudah teroksidasi, karena berwarna coklat, atau kelabu kecoklatan berkaratan besi coklat kemerahan, kadang disebut “brown layer”. Sedangkan tanah bawah yang tereduksi penuh, yang berwarna kelabu, kelabu gelap, atau kelabu kehijauan, sering disebut ”gray layer”. Profil tanah sulfat masam aktual umumnya menunjukkan tanah bagian atas teroksidasi, setebal 50-100 cm, hampir matang sampai matang, reaksi masam ekstrim (pH <3,5), atau sangat masam (pH 3,5-4,0), tekstur umumnya liat berdebu, berwarna coklat, coklat kemerahan atau kelabu. Lapisan tanah bawah tereduksi, setengah matang sampai mentah, reaksi tanah sangat masam sampai agak masam (pH >4,0), tekstur liat berdebu sampai liat, dan umumnya berwarna kelabu-kelabu gelap. B. GENESIS TANAH RAWA Seperti telah diuraikan sebelumnya, lahan rawa pasang surut berada di bagian muara sungaisungai besar, berupa pulau-pulau delta berukuran relatif kecil yang terpisah dari daratan, atau sebagai pulau-pulau delta besar yang menyambung ke daratan, dan diapit oleh dua sungai besar. Sebagai contoh yang pertama adalah Delta (pulau) Upang, Delta Telang, dan Pulau Rimau pada muara S. MusiBanyuasin di Sumatera Selatan. Contoh yang kedua adalah Delta Berbak pada S. Batanghari di Jambi, Delta Reteh antara S. Reteh dan Inderagiri di Riau, dan Delta Pulau Petak antara S. Kapuasmurung dan Barito di Kalimantan Selatan. Dengan mempertimbangkan posisi lahan rawa tersebut, dapat dimengerti bahwa lahan rawa pasang surut terbentuk karena proses akreasi (accreation), yaitu proses pelebaran daratan baru ke arah laut yang terjadi secara alami, karena pengendapan bahan-bahan sedimen yang dibawa sungai (sedimen load) di wilayah bagian muara sungai besar. Di bagian muara sungai, pada saat air sungai yang bereaksi sekitar netral (pH 5-6), bertemu dengan air laut yang bereaksi sekitar alkalis (pH 7-9), maka muatan sedimen sungai yang berupa bahan halus, liat sampai debu halus, akan "menjojot" yakni membentuk gumpalan-gumpalan kecil yang mengendap di dasar laut. Pengendapan yang intensif terjadi selama musim hujan dan terus-menerus berlangsung selama berabad-abad, lambat laun membentuk "dataran lumpur", atau "mudflats" yang muncul sebagai daratan tanpa vegetasi sewaktu air surut, dan tenggelam di bawah air sewaktu air pasang. Sejalan dengan waktu, tumbuhan yang toleran air asin, khususnya apiapi (Avicennia sp.) dan bakau/mangrove (Rhizophora sp., Bruguiera sp.) akan tumbuh di lumpur, yang menjebak lebih banyak sedimen, sehingga dataran lumpur terbangun secara vertikal semakin tinggi, dan akhirnya menjadi dataran rawa pasang surut, “tidal marsh”, atau “salt marsh”, yang ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove. Dari sekian banyak wilayah rawa di pulau-pulau delta di Indonesia, tampaknya yang paling intensif diteliti dari aspek kIasifikasi tanah, proses fisika dan kimia, pengelolaan air dan kesuburan tanah,

5

serta aspek lingkungan dari reklamasi tanah sulfat masam adalah Delta Pulau Petak. Riset dilakukan oleh tim gabungan antara peneliti-peneliti dari “Land and Water Research Group (LAWOO)” dan dari Badan Litbang Pertanian (AARD), berlangsung dari Oktober 1987 sampai sekitar Maret 1991. Genesis, atau proses pembentukan Delta Pulau Petak dilaporkan oleh Jansen et al. (1990) dan Prasetyo et al. (1990). Sampai sekitar 5.500 tahun yang lalu, seluruh wilayah Delta Pulau Petak sekarang ini masih merupakan wilayah teluk yang berpantai dangkal. Dari 5.500 tahun sebelum masehi (SM), kenaikan permukaan air laut secara berangsur (eustatik) berkurang atau berhenti, dan perluasan secara lateral dari pantai asli mulai teljadi. Perluasan lateral karena proses akreasi yang membentuk Delta Pulau Petak berlangsung melalui 3 fase sedimentasi, yaitu fase sedimentasi I, dari 5.500 sampai 4.000-3.500 tahun SM, fase sedimentasi II, dari 4.000-3.500 tahun SM sampai 1.000-700 tahun SM, dan fase sedimentasi III dari 1.000-700 tahun SM. Pada fase I, bahan sedimen dipasok dari S. Barito dan Kapuas; pada fase II sumber bahan sedimen berasal dari S. Barito dan S. Pulau Petak; dan fase III sumber sedimen adalah S. Kapuasmurung dan Barito, dan membentuk garis pantai yang ada sekarang ini. Genesis tanah gambut di wilayah rawa pantai Indonesia diperkirakan dimulai sekitar 5.000-4.000 tahun yang lalu (Subagyo, 2002), dan diperkirakan hampir bersamaan waktunya dengan dimulainya proses akreasi yang membentuk wilayah pulau-pulau delta di rawa pasang surut yang ada sekarang ini. Mengikuti informasi geologi, diketahui bahwa berdasarkan “radiometric dating” periode zaman es Pleistosin (Pleistocene glaciation) yang terakhir, yaitu zaman es (glacial) Wisconsin (di Amerika Utara) yang setara dengan zaman es Wurm (di Eropa) berakhir sekitar 18.000/15.000-10.000 tahun yang lalu (Strahler, 1973). Dengan melelehnya lapisan es/ gletser zaman es Wisconsin dan Wurm tersebut, permukaan air laut di seluruh dunia secara berangsur (eustatic) naik. Diperkirakan kenaikan permukaan laut di seluruh dunia terjadi selama akhir zaman Pleistosin sampai awal Holosin (Holocene), sekitar 100135 m (Davis et al., 1976; Holmes, 1978). Di perairan laut Indonesia, kenaikan permukaan air laut diperkirakan !ebih dari 100 m (Andriesse, 1997), atau sekitar 120 m (Neuzil, 1997). Stabilisasi permukaan laut di wilayah pantai di sebagian besar Asia Tenggara tercapai sekitar 6.000-5.000 tahun yang lalu (Diemont dan Pons, 1991), atau 6.000-4.000 tahun yang lalu (Neuzil, 1997), sementara Brinkman dan Pons (1968) menyebutkan sekitar 5.500 tahun yang lalu. Dengan adanya permukaan laut yang sudah relatif stabil waktu itu, proses pelebaran/perluasan pantai secara lateral akibat sedimentasi bahan-bahan halus yang dibawa sungai, yakni proses akreasi pantai, diperkirakan mulai terjadi, diikuti dengan pembentukan tanah gambut. Berbagai data pengukuran “C-14 dating” contoh- contoh tanah gambut di Sumatera dan Kalimantan untuk memperkirakan umur pembentukan gambut, memperkuat estimasi mulainya proses akreasi di wilayah pantai di Indonesia. Sebagai contoh: di pantai timur P. Sumatera, gambut di sekitar S. Batanghari di Jambi menunjukkan umur 4.300 tahun SM (Cameron et al., 1987), gambut di Bengkalis, dan S. Siak Kanan di Riau, masing-masing berumur 5.730-4.740 dan 5.220-3.620 tahun SM (Neuzil, 1997). Di pantai P. Kalimantan, gambut di Teluk Keramat, Kalimantan Barat, menunjukkan umur 4.040-2.570 tahun SM (Neuzil, 1997), di dekat S. Mahakam, Kalimantan Timur, 4.400-3.850 tahun SM (Diemont dan Pons, 1991). Contoh gambut dari S. Lassa dan Baram di Serawak, Malaysia, menunjukkan umur masing-masing 6.5005.000 dan 4.000

6

tahun SM (Neuzil, 1997).

C. PIRIT DALAM TANAH RAWA Seperti telah diuraikan sebelumnya, di dalam lumpur dan endapan marin tereduksi, serta lapisan tanah bawah tereduksi pada tanah sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual pada lahan rawa pasang surut air salin/payau (Zona I) dan air tawar (Zona II), terdapat pirit. Pirit adalah mineral berkristal oktahedral, termasuk sistem kubus, dari senyawa besi-sulfida (FeS2) yang terbentuk di dalam endapan marin kaya bahan organik, dalam lingkungan air laut/payau yang mengandung senyawa sulfat (SO4) larut. Dengan menggunakan teknik SEM (Scanning Electron Microscope) diketahui bahwa partikel-partikel pirit berada dalam bentuk kristal, yang individu- individu kristal tunggalnya sangat halus, terbanyak berukuran <1 mikron (1 mikron=0,001 mm), dan sebagian kecil 2-9 mikron. Bentuk kristal tunggal dari kubus bervariasi, dan bentuk (kristal) oktahedral adalah yang paling dominan, diikuti bentuk piritohedral, yang semuanya termasuk sistem (kristalografi) kubus, atau isometrik. Pirit mengandung 46,55% Fe (berdasarkan berat), dan 53,45% S (Michaelsen dan Phi, 1998). Dilihat di bawah mikroskop polarisasi, menggunakan cahaya biasa (normal) dan terpolarisasi, kristal-kristal pirit berwarna hitam/opak, tetapi apabila digunakan cahaya merkuri warnanya hijau muda cerah (bright) (Van Dam dan Pons, 1973). Selain berbentuk kristal tunggal-oktahedral, atau agregat lepas, umumnya kristal tunggal saling bergabung membentuk agregat lonjong (elliptical), atau membulat (spherical) yang padat, yang disebut “framboid”, sehingga ukurannya sedikit lebih besar, yakni berkisar dari 1-14 mikron, dengan rata-rata enam mikron. Beberapa agregat pirit framboid berukuran sampai 100 mikron. Kristal-kristal pirit berbentuk oktahedral dan framboidal dapat dilihat pada Gambar 2.3.

7

Gambar 2.3. Kristal-kristal pirit diobservasi dengan mikroskop elektron scanning (SEM), (a) memperlihatkan kristal besar berbentuk oktahedral dan framboidal; (b) memperlihatkan framboidal besar yang tersusun dari kristal-kristal tunggal oktahedral berukuran kecil (Michaelsen dan Phi, 1998) Dalam lapisan tanah yang mengandung pirit, partikel pirit tergabung dengan jaringan sisa-sisa akar mangrove, atau tersebar dalam matriks tanah. Di lapangan, lapisan tanah yang mengandung pirit berwarna lebih gelap/hitam (hue 10YR, 2,5Y, 5Y, N, dan 5GY; kroma 1), sering bercampur dengan sisa-sisa daun atau akar tumbuhan bakau atau nipah, dan kadang berbau busuk (H2S). Secara umum kandungan pirit yang terdapat dalam tanah sulfat masam potensial relatif tidak tinggi, maksimum 6-7 persen (berdasarkan berat), dan kandungan yang paling umum bervariasi dari 14 persen (Van Bremen, 1973). Pada tanah sulfat masam potensial di Vietnam, kandungan pirit sampai sedalam 90 cm, berkisar dari 0,2 sampai 5,5-6% (berdasarkan berat). Lapisan bagian atas sampai 50 cm, kandungan piritnya bervariasi 0-3,5%, dan meningkat ke lapisan lebih bawah (Michaelsen dan Phi, 1998). Walaupun kandungan pirit yang terdapat dalam tanah marin, khususnya sulfat masam potensial relatif kecil, namun ternyata kemudian merupakan permasalahan atau kendala berat dalam pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian. Penyebaran kandungan pirit dan pH-H2O lapangan di dalam profil tanah rawa di Delta Pulau Petak, yang diambil dari lokasi dekat laut (Tabunganen) sampai Iokasi yang jauh dari laut (Talaran), dan

8

beberapa contoh profil dari Vietnam disajikan pada Tabel 2.1. Jarak dekat atau jauhnya Iokasi profil dari laut, tampaknya tidak berpengaruh pada kandungan pirit setiap lapisan di dalam profil tanah. Kandungan pirit pada profil tanah di Tabunganen, yang terdekat dengan laut, tidak lebih tinggi dari kandungan pirit pada profil tanah dari Talaran, yang terletak paling jauh dari laut. Sementara kandungan pirit pada profil tanah di Belawang, yang terletak cukup jauh dari laut, ternyata justru menunjukkan kandungan pirit yang paling tinggi. Sedangkan kandungan pirit pada profil tanah di Sakalagun, hanya berseberangan dengan lokasi Belawang, paling rendah. Tabel 2.1. Kandungan pirit dan pH-H2O lapang pada tanah rawa di Delta Pulau Petak, Indonesia dan di Vietnam Profil Indone TAB 4/1 4/II sia 4/III 4/IV 4/V 4/VI 4/VI I LUP 1/I 1 /II 1 /III 1/IV 1 /V 1 /VI 1/VII JEL 1/I 1 /II 1 /III 1 /V 1 /VI SPT 2/II 2/III 2/IV 2/V SAK 2/I 2/II 2/III 2/IV 2/V 2/VI 2/VII BEL 6/II 6/III 6/IV 6/V 6/VI 6/VII TAL 3/II 3/III 3/IV 3/V 3/VI 3/VII 3/VII

Kedalam pHcman 11 33 52 85 125 155 180 5 15 32 51 70 95 135 5 15 30 67 115 5 20 38 56 7 25 42 62 90 120 145 20 50 80 100 120 140 10 32 54 69 83 98 115

Pirit Profil

Kedalam pH-

cm (H2O) %FeS2 Vietna an 5,0lapang RMB - 15 5,4 0,24 -2 30 5,3 0,24 m -3 50 1 5,1 1,07 -4 90 4,9 4,71 5,3 2,52 5,8 2,11 6,1 0,25 RA -1 15 6,5 0,22 -2 30 6,2 0,07 -3 50 6,4 0,11 -4 90 6,1 0,50 6,3 0,20 5,6 2,76 5,2 0,14 RM -1 15 5,4 0,15 -2 30 5,5 0,14 -3 50 5,9 0,15 -4 90 5,8 1,35 3,5 0,16 R -1 15 3,6 0,15 -2 30 3,9 1,29 -3 50 4,9 6,96 -4 90 4,5 0,05 F2X47 22 4,8 0,07 - 57 4,8 0,06 -A - 85 4,9 0,07 -B2 115 5,0 0,07 -B2 150 4,8 0,07 -C 230 B2 1BC 5,8 0,45 2 3,1 0,24 A2X53- 25 3,0 3,92 68 4,0 5,76 B21 - 86 4,3 4,33 -C B2 295 4,4 3,30 BC 4,5 0,30 3,3 0,10 TL1 2 - 89 3,2 0,15 111 3,4 0,12 1BC 178 B23 3,3 0,15 -C1 3,5 4,32 3,6 3,90 3,7 6,11

Pirit

(H2O) %FeS lapang -2 1,10 2,40 4,90 -

-

3,7 3,1 3,0 3,2 2,8 2,9

1,20 2,70 6,00

0,70 0,90 3,10 0,40 2,40 3,30 1,45 0,14 0,82 0,80

3,4 3,3 3,0 2,6

0,09 0,09 0,25 0,96

3,4 2,7 2,8

0,08 0,61 1,12

Sumber: Konsten dan Sarwani (1990) (data diproses); Konsten et al. (1986); Michaelsen and Phi (1998).

9

Tabel 2.2. Kandungan pirit pada tanah rawa di Indonesia dan Vietnam

Tanah sulfat masam

Kandungan Variasi

pirit Simpangan

Rata-rata

baku

........... % ... Delta Pulau Petak, Indonesia - Tanah bagian atas teroksidasi (0- 0,05-

0,52

50 cm)

4,24

(rendah)

0,07-

1,89

6,96

(sedang)

- Lapisan bawah (50-100 cm)

± 0,94

± 2,60

- Tanah bawah tereduksi (100-150 0,30-

2,61

cm)

(tinggi)

± 1,89

3,54

± 2,14

6,11

- Lapisan tanah tereduksi (150-200 2,11-

cm)

(tinggi)

6,00

Vietnam - Tanah bagian atas teroksidasi 0,00-

0,87

(0-50 cm)

3,50

(rendah)

± 1,13

0,09-

2,45

± 2,27

6,00

(tinggi)

- Lapisan bawah (50-100 cm)

- Tanah bawah tereduksi (100-150 0,10-

0,60

cm)

(rendah)

1,24

- Lapisan tanah tereduksi (150-200 0,14-

0,71

cm)

(rendah)

1,12

± 0,43

± 0,37

Kesimpulan yang dapat ditarik dari observasi data pada Tabel 2.2 tersebut adalah bahwa kandungan pirit pada tanah rawa bagian atas yang teroksidasi di Indonesia, umumnya rendah. Kandungan pirit dalam tanah cenderung meningkat ke lapisan bawah, yaitu termasuk sedang. Lebih ke bawah pada lapisan bawah tereduksi, pada kedalaman lebih dari 1 m tergolong tinggi. 1. Pembentukan dan oksidasi pirit Proses pembentukan pirit telah disarikan oleh Langenhoff (1986) berdasarkan makalah Pons et al. (1982) dan publikasi Dent (1986), metalui beberapa tahap:

10



Reduksi sulfat (SO4) menjadi sulfida (S) oleh bakteri pereduksi sulfat dalam lingkungan anaerobik;



Oksidasi parsial sulfida menjadi polisulfida (misalnya Fe3S4: Greigite; Fe4S5: Pyrrhotite), atau unsur S; diikuti pembentuksan FeS, dari sulfida terlarut, besi oksida (FeOOH, Fe2O3), atau mineral silikat mengandung unsur Fe;



Pembentukan FeS2 dari penggabungan FeS dengan unsur S, atau presipitasi langsung dari besi (Fe-II) terlarut dengan ion-ion polisulfida.

FeS2 + 15/4O2 + 7/2 H2O ^ Fe(OH)3+2SO42- + 4H+PIRIT oksigen besi-III (koloidal) asam sulfat Hasil reaksi adalah dihasilkannya besi-III koloidal, dan asam sulfat yang terlarut menjadi ion sulfat dan melimpahnya ion H+, yang mengakibatkan pH tanah turun drastis dari awalnya netral-agak alkalis (pH 5,5-6,5) menjadi masam ekstrim (pH 1,3 sampai <3,5). Namun, apabila tanah memiliki cukup besar senyawa-senyawa penetralisir, seperti ion OH-, kapur (CaCO3), basa-basa dapat tukar, dan mineralmineral silikat mudah melapuk, pH tanah tidak sampai turun di bawah pH 4,0. Adanya liat marin yang mengandung cukup mineral liat smektit yang jenuh basa-basa, juga ikut membuffer penurunan pH tanah. Terlalu banyaknya ion H+ dalam larutan tanah akan merusak struktur mineral liat, dan membebaskan banyak ion aluminium (Al3+) yang bersifat toksik terhadap tanaman. Sebagian besar dari besi-III koloidal yang terbentuk, pada akhimya mengkristal menjadi oksida besi “goethite”, yang berwarna coklat kemerahan, berupa karatan, selaput atau nodul-nodul dalam tanah, dan dinding- dinding saluran drainase. Dalam kondisi oksidasi yang sangat kuat, misalnya oleh air tanah yang turun terlalu dalam, atau akibat penggalian saluran drainase, bahan endapan marin secara tiba-tiba diangkat ke lingkungan udara terbuka, oksidasi pirit akan menghasilkan mineral jarosit, yang nampak sebagai karatan-karatan berwarna kuning jerami, yang juga sangat masam. FeS2 + 15/4O2 + 5/2H2O + 1/3K+ ^ 1/3KFe3(SO4)2(OH)a + 4/3SO4 + 4H+ PIRIT oksigen JAROSIT asam sulfat Jarosit stabil dalam kondisi teroksidasi (potensial redoks > 400-500 mV) pada lingkungan masam (pH 2-4). 2. Kondisi tanah sesudah oksidasi pirit Berbagai pengamatan di berbagai daerah transmigrasi yang menyertai pembukaan lahan rawa pasang surut di Kalimantan Tengah (Pangkoh, Anjir Basarang), Kalimantan Selatan (Delta Pulau Petak, Barambai), Sumatera Selatan (Sugihan Kanan), Jambi (Pamusiran), dan Riau, menunjukkan bahwa pada tahun-tahun awal pembukaan, banyak wilayah persawahan transmigrasi yang dibangun oleh proyek P4S, dilaporkan penduduk transmigran sebagai persawahan yang produktif, dengan rata-rata produksi padi mencapai 2,5-3 ton GKP/ha. Namun dengan berjalannya waktu, sesuai dengan selesainya saluran- saluran primer, sekunder dan tersier, banyak areal sawah mulai menurun produksinya, dan sesudah beberapa tahun hasilnya sangat rendah. Khususnya sesudah rehabilitasi saluran, dimana saluran-saluran diperdalam dan dibersihkan, tanpa diikuti pembuatan pintu-pintu pengatur tingginya permukaan air, degradasi lahan sawah semakin akut. Banyak areal sawah, yang sesudah 5 tahun berturut- turut digarap tidak pernah menghasilkan padi

11

sama sekali, dan mulai banyak yang ditinggalkan petani. Selanjutnya lahan ditutupi vegetasi liar, seperti purun, purun tikus, paku-pakuan, semak-semak gelam, atau semak dari vegetasi lain yang toleran terhadap kondisi tanah masam ekstrim. Lahan sawah yang telah mengalami degradasi menjadi bongkor/mati, dan tidak pernah digarap lagi dan ditinggalkan, sehingga menjadi lahan tidur yang ditutupi semak belukar. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pada tahun awal pembukaan, lahan sawah aslinya merupakan tanah sulfat masam potensial dengan lapisan tanah yang mengandung pirit atau bahan sulfidik relatif dangkal (<50 cm). Air tanah relatif masih dangkal, dan reaksi tanah masih agak masamnetral (4,5-5,5). Namun, dengan selesainya saluran-saluran primer dan sekunder yang berukuran besar dan dalam, penurunan permukaan air tanah semakin besar, dan oksidasi pirit mulai berlangsung cepat, khususnya selama musim kemarau. Didukung oleh kondisi tata air mikro berupa pembuangan air di petakan-petakan sawah, serta di saluran kuarter dan tersier berjalan tidak lancar, degradasi lahan sawah semakin dipercepat, dan berakhir menjadi lahan sawah bongkor/mati yang ditumbuhi semak-semak lebat. 3. Pengaruh penggenangan Memasuki musim hujan yang berlangsung dari sekitar Oktober/November sampai dengan Maret/April, air tanah berangsur naik ke permukaan, dan tergantung kondisi tata air makro dan mikro, seringkali dapat menggenangi tanah. Tanah kembali menjadi jenuh air, atau bahkan tergenang. Kondisi tanah dalam lapisan perakaran sesudah penggenangan di musim hujan adalah sebagai berikut: ■

Dalam kondisi tergenang, redoks potensial tanah menjadi lebih tinggi, dan pH tanah meningkat kembali, yang mengakibatkan konsentrasi ion H dan AI dalam larutan tanah menurun, atau kurang bersifat toksik, tetapi masalah-masalah baru muncul. 2-



Kandungan ion sulfat (SO4 -) dalam larutan tanah meningkat kembali. Ini diakibatkan oleh hidrolisis AI-sulfat hidrat: AIOHSO4 + 2H2O7 ^ AI(OH)3 + 2H+ + SO42Atau, desorpsi sulfat yang diadsorpsi kompleks pertukaran liat tanah Tanah-SO4 + 2H2O ^ Tanah-(OH)2 + 2H+ + SO42-



Dalam kondisi tergenang, oksigen yang berada dalam tanah dalam waktu relatif singkat segera digunakan oleh bakteria aerobik, sehingga konsentrasinya mendekati nol, oleh karena diffusi oksigen udara pada tanah jenuh air sangat lambat. ■

Tahap pertama yang mengalami reduksi adalah nitrat (NO3-), sehingga semua nitrat akan

direduksi menjadi ion amonium (NH4+). Setelah semua nitrat lenyap, sebarang oksida-mangan (MnO2) yang ada akan direduksi menjadi ion Mn2+. Fe(OH)a + % CH2O + 2H+ ^ Fe2+ + % CO2 + 1 % H2O

12



Peningkatan pH larutan tanah bersifat menstabilkan reduksi Fe-III, sehingga dihasilkan ion Fe-II dalam konsentrasi tinggi yang bersifat toksik terhadap tanaman.



Sesudah semua ferri-oksida tereduksi, reduksi sulfat mulai terjadi, yang berakibat menurunkan konsentrasi ion sulfat dan ion H+ (karena digunakan untuk membentuk bikarbonat), dan disertai dengan peningkatan pH tanah. SO42- + 2CH2O ^ H2S + 2HCO3-



Proses reduksi sulfat terjadi pada potensial redoks antara -0,12V dan -0,19V, serta hanya terjadi di atas pH 5,0, tetapi juga pada reaksi lebih masam, pH 2,83,4 (Konsten et al., 1990). ■

Secara ringkas, akibat penggenangan selama musim hujan, terjadi peningkatan pH tanah, dan

penurunan konsentrasi AI. Demikian seriusnya permasalahan budidaya tanaman yang timbul akibat oksidasi pirit, apabila senyawa-senyawa yang bersifat racun, yakni ion H+, Al3+, SO42-, dan Fe-III, serta Fe2+, Mn2+, dan H2S tersebut tidak dapat terbuang dari lingkungan perakaran, maka pertumbuhan tanaman yang normal sulit sekali diharapkan.

D. TANAH RAWA DALAM TAKSONOMI TANAH Tanah rawa merupakan tanah yang terdapat pada “lahan basah”, atau “wetland", dan terdiri atas tanah-tanah basah, atau “wetsoils". Secara umum tanah rawa terdiri atas dua kelompok tanah, yaitu tanah mineral dan tanah gambut. Dalam kondisi asli alami, tanah rawa merupakan tanah yang selalu jenuh air atau tergenang, sepanjang tahun atau dalam waktu yang lama, beberapa bulan, dalam setahun. Sistem klasifikasi Taksonomi Tanah, atau “Soil Taxonomy’ (Soil Survey Staff, 1975; 1999; 2003) adalah sistem klasifikasi tanah “morfometrik”, yaitu berdasarkan sifat-sifat morfologi tanah yang dapat diobservasi

dan

diukur.

Klasifikasi

suatu

tanah

ditetapkan

berdasarkan

adanya

horison

penciri/diagnostik dan karakteristik-karakteristik tanah penciri, yang didefinisikan secara kuantitatif. Untuk itu dibedakan (i) horison permukaan penciri, atau disebut epipedon, (ii) horison bawah (subsurface) penciri, dan (iii) karakteristik penciri/diagnostik lainnya. Seperti pada sistem klasifikasi Taksonomi Tumbuh-tumbuhan, yang mengenal tingkatan atau kategori klasifikasi dari yang paling atas (pengelompokkan secara garis besar) sampai yang paling detail: Phyllum- Subphyllum-Class-Order-Family-Genus-Species, dan Subspecies. Dalam sistem Taksonomi Tanah juga dikenal “taxa”, atau kategori klasifikasi, yang bila diurutkan dari yang paling atas, adalah Ordo (order), Subordo (suborder), Jenis Tanah (Great group), Subgrup/Macam tanah (Subgroup), Famili (Family), dan Seri tanah (Series).

1. Sifat-sifat penciri/diagnostik Dalam Taksonomi Tanah, kondisi jenuh air atau tergenang pada tanah rawa yang merupakan salah satu karakterisitk penciri utama, diberi istilah kondisi “aquik” (aquic condition), yakni mengalami

13

penjenuhan air, atau saturasi, dan (proses) reduksi secara terus-menerus atau periodik. Jenis penjenuhan yang dominan adalah penjenuhan air yang berasal dari bawah, yaitu datang dari air tanah, sehingga semua lapisan tanah dari permukaan tanah sampai sedalam 200 cm atau lebih, jenuh air. Jenis penjenuhan seperti ini disebut “endosaturasi” (endosaturation). Pada lahan basah, proses pembentukan tanah yang dominan adalah gleisasi dan pembentukan gambut di permukaan tanah. Gleisasi adalah terbentuknya lapisan tanah berwarna “glei” yaitu kelabu (N 7-4/0), kelabu (5Y 74/1), kelabu gelap kehijauan (5B 7-4/1), atau kelabu kebiruan (5B 7-4/1) akibat proses reduksi terus-menerus atau periodik yang berlangsung lama. Pembentukan lapisan gambut di permukaan tanah setelah mencapai ketebalan tertentu, dapat dimasukkan sebagai “epipedon histik”. Pada tanah yang masih asli alami, ketebalan gambutnya disyaratkan antara 20-40 cm. Apabila bahan gambut tiga-perempat bagian dari volumenya tersusun dari lumut spaghnum, atau apabila bobot-isinya <0,1 g/cm3, disyaratkan mempunyai ketebalan gambut 2060 cm. Tetapi, apabila berupa lapisan tanah olah, Ap, maka syarat ketebalannya adalah 25 cm. Sementara itu, tanah yang mempunyai ketebalan gambut di permukaan kurang dari 25 cm, diperlakukan sebagai tanah mineral (murni). Secara genetis, tanah rawa pada awalnya berasal dari endapan marin berupa lumpur cair berwarna kelabu gelap, seperti yang terdapat pada dataran lumpur (mudflats). Sesuai dengan perkembangannya setelah lebih lama terbuka di udara dan mengalami oksidasi, tanah rawa akan berubah menjadi lebih padat, karena kandungan airnya berkurang, bersifat lembek, dengan konsistensi lekat/sangat lekat, serta plastis. Perkembangan selanjutnya akan berubah menjadi tanah relatif kering yang padat, konsistensinya agak teguh waktu lembab, dan menjadi agak keras/keras sewaktu kering. Perubahan tanah rawa dari kondisi lumpur cair, yang masih “mentah”, beralih ke kondisi lembek yang lekat dan plastis, dan akhirnya berubah menjadi tanah relatif kering yang padat dan teguh, yaitu kondisi “matang”, disebut proses “pematangan tanah” (ripening process). Derajat atau tingkat pematangan tanah ditunjukkan oleh nilai-n, yang sebenarnya menyatakan jumlah air (dalam gram) yang diabsorb oleh satu gram liat dalam tanah, dan dihitung dari rumus: n = (A0,2 R)/(L + 3H), dimana: A=kadar air dalam tanah pada kapasitas lapang; R=% kandungan fraksi debu dan pasir; L=% kandungan liat; dan H=% kandungan bahan organik (% karbon organik dikalikan 1,724). Semua faktor dihitung berdasarkan berat-kering tanah. Tingkat pematangan tanah dapat ditetapkan di lapangan, dengan uji remas, yaitu dengan cara meremas tanah rawa dalam telapak tangan. Hubungan tingkat pematangan tanah dengan nilai-n, dan perkiraan kandungan airnya menurut Pons dan Zonneveld (1965) disajikan pada Tabel 2.3. Tabel 2.3. Tingkat pematangan tanah rawa berdasarkan nilai-n Tingkat pematangan Nilai-n Mentah (totally unripe) >2,0 Agak mentah (practically 1,4-2,0 Setengah matang (half ripe) 1,0-1,4 unripe) Hampir matang (nearly ripe) 0,7-1,0 Matang (ripe) <0,7 Sumber: Pons dan Zonneveld (1965)

Kandungan air (%) >80 70-80 60-70 50-60 <50

14

Seperti telah diuraikan sebelumnya, semua tanah rawa yang berasal dari endapan marin mengandung senyawa besi-oksida yang disebut pirit (FeS2). Secara spesifik, dalam Taksonomi Tanah, senyawa besi-sulfida ini tidak disebut pirit, tetapi sebagai “bahan sulfidik” (sulfidic materials), karena dipikirkan tidak seluruhnya hanya tersusun dari senyawa FeS2, tetapi juga senyawa besi-sulfida lainnya, termasuk H2S. Sementara lapisan yang mengandung bahan sulfidik yang telah teroksidasi, menghasilkan asam sulfat, unsur besi, dan berbagai ion ikutan lainnya yang bersifat racun terhadap tanaman, dianggap telah mengalami proses pembentukan tanah, dan disebut “horison sulfurik”. Keduanya, yakni bahan sulfidik dan horison sulfurik, merupakan sifat dan horison penciri utama pada tanah rawa pasang surut. Definisi keduanya adalah sebagai berikut. Bahan sulfidik (sulfida: unsur S) merupakan bahan tanah mineral atau bahan tanah organik yang mengandung senyawa sulfida yang dapat teroksidasi, dan memiliki: ■

pH >3,5; dan



apabila sebagai lapisan setebal 1 cm diinkubasi pada suhu ruangan, dalam keadaan aerob dan lembab (pada kapasitas lapang), dalam waktu delapan minggu, pH-nya turun 0,5 unit atau lebih, menjadi pH 4,0 atau kurang. Pengukuran pH (H2O) diiakukan pada rasio tanah/air 1:1, atau dengan air minimal untuk memungkinkan pengukuran. Pada tanah-tanah rawa dalam zona I, sering juga dijumpai tanah-tanah yang tingkat

pematangannya tergolong “mentah” sampai “setengah matang”, karena merupakan tanah yang semula berasal dari dataran lumpur, yang karena secara periodik terbuka di udara mengalami proses pematangan awal. Tanah- tanah yang masih “muda” tingkat perkembangannya ini mempunyai sifat “hidrik”, yaitu dicirikan oleh kandungan air yang relatif tinggi. Definisi secara kuantitatif adalah: Sifat hidrik (hydro, atau adanya air) adalah pada semua lapisan di antara kedalaman 20 dan 50 cm dari permukaan tanah, mempunyai nilai-n lebih dari 0,7 dan kandungan (fraksi) liat 8% atau lebih. Pada tanah-tanah rawa dalam zona II, terdapat tanah-tanah yang menempati (sublandform) tanggul sungai alam (natural levee) yang terbentuk karena pengendapan muatan sedimen yang dibawa sungai sewaktu terjadi banjir musiman, dan sering disebut endapan fluviatil (fiuvius = sungai). Dalam Taksonomi Tanah, terbentuk oleh sedimentasi bahan yang berulang kali, dicirikan secara kuantitatif mempunyai kandungan C-organik yang naik-turun, atau berkurang secara tidak teratur di antara kedalaman 25-125 cm, dan mencapai kandungan C-organik 0,2% atau lebih pada kedalaman 125 cm dari permukaan tanah. Klasifikasi tanah mineral Sesuai dengan bahan-bahan penyusunnya, berupa bahan tanah mineral dan bahan tanah organik, dalam lingkungan basah atau tergenang, tanah rawa dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu tanah mineral dan tanah gambut. Tanah mineral pada lahan rawa secara dominan berasal dari sedimentasi dalam lingkungan laut/marin, sehingga bahan induknya berupa endapan marin yang mengandung bahan sulfidik. Berdasarkan pada tingkat perkembangan tanah, yang diekspresikan pada tingkat pematangan tanah (nilai-n dan kandungan liat), adanya horison sulfurik, dan tanda-tanda alterasi, atau perkembangan tanah lain, seperti terbentuknya struktur tanah, warna yang tidak berubah saat terbuka di udara, maka tanah mineral lahan rawa termasuk dalam dua kelompok besar, atau ordo tanah, yaitu Entisols dan

15

Inceptisols. Entisols, berasal dari suku kata "recent, adalah istilah geologi yang berarti terbentuk di zaman Holosin (± 11.000 tahun SM) yaitu zaman sekarang ini, maka berarti tanah yang paling “muda” umurnya. Inceptisols, berasal dari kata "inceptum”, atau “beginning”, artinya tanah yang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda awal pembentukan tanah, seperti tanah menjadi agak matang sampai matang, terbentuknya struktur tanah, dan terbentuknya horison sulfurik. Tanah mineral rawa termasuk tanah basah, yang secara dominan dicirikan oleh kondisi aquik (aqua: air). Oleh karena itu, tanah rawa dari (ordo) Entisols dan Inceptisols, termasuk dalam subordo Aquents (Aqu+ents) dan Aquepts (Aqu+epts). Pada tingkat subgrup, masing-masing great grup ditambahkan nama awalan, yang merupakan sifat murni subgrup itu sendiri, disebut “Typic", atau sifat tambahan ke great grup yang sama, atau great grup/subordo tanah yang lain. Pada Aquents, sifat-sifat tambahan tersebut umumnya berasal dari great grup yang sama, yaitu selain “Histic", “Sulfic",dan “Sodic", juga terdapat “Haplic”, “Thapto-Histic", dan "Aeric". Pada Aquepts, sifat-sifat tambahan dapat berasal dari great grup yang sama, seperti “Histic" dan “Sulfic", “Aeric", dan “Vertic", atau sifat tambahan dari great grup/subordo tanah yang lain, seperti “Salidic", “Hydraquentic", dan "Fiuvaquentic". Arti dari masing-masing sifat tambahan ini adalah: ■

Haplic : sifat minimum (haplos = sederhana) pada tanah marin yang bukan Hydraquent, yaitu ditunjukkan oleh nilai-n 0,7 atau kurang, atau kandungan liat <8%.



Thapto-Histic: adanya lapisan bahan tanah organik tertimbun, tebalnya 20 cm atau lebih, pada kedalaman 0-100 cm dari permukaan tanah.



Aeric : akibat (proses) oksidasi pada kedalaman antara 25-75 cm, terdapat satu horison atau lebih berwarna kekuningan (2,5Y; 5Y) atau kemerahan (10YR; 7,5YR), dengan kroma rendah dan value tinggi.



Vertic : adanya rekahan-rekahan (cracks) di dalam kedalaman 0-125 cm, dan horison setebal 15 cm atau lebih yang menunjukkan adanya bidang-bidang kilir (slickensides) atau memiliki agregat-agregat berbentuk baji (wedge shape).



Salidic : mempunyai horison salik pada kedalaman 0-75 cm dari permukaan.Horison salik adalah ciri utama (subordo) Salids, dari tanah-tanah ordo Aridisols.



Hydraquentic: mempunyai nilai-n > 0,7 dan kandungan liat > 8%, pada satuatau lebih lapisan, di antara kedalaman 20-50 cm dari permukaan. Kedua ciri tersebut merupakan ciri utama great grup Hydraquents.



Fluvaquentic: mempunyai kandungan C-organik menurun secara tidak teraturdi dalam kedalaman 25125 cm; atau kandungan C-organik pada kedalaman 125 cm sebesar 0,2% atau lebih. Kedua sifat tersebut merupakan ciri diagnostik pada great grup Fluvaquents. Dalam kaitan ini, tanah sulfat masam potensial, karena mempunyai pirit atau bahan sulfidik belum teroksidasi, dalam Taksonomi Tanah diklasifikasi sebagai Entisols, termasuk great grup Sulfaquents. Sedangkan tanah sulfat masam aktual, yang proses oksidasi bahan sulfidiknya belum selesai dan ditunjukkan oleh pH tanah antara 3,5-4,0, diklasifikasikan sebagai Entisols, yaitu masuk

16

subgrup Sulfic Hydraquents, Sulfic Fluvaquents, atau Sulfic Endoaquents. Sementara tanah sulfat masam aktual yang oksidasi bahan sulfidiknya sudah selesai, yang ditunjukkan dengan pH tanah < 3,5, diklasifikasikan sebagai lnceptisols dan termasuk Sulfaquepts.

2. Klasifikasi tanah gambut Dalam sistem klasifikasi Taksonomi Tanah, tanah gambut disebut Histosols, dan didefinisikan secara kuantitatif atau terukur, mengikuti definisi ini, maka Histosols harus terdiri atas bahan tanah organik, yaitu: ■

kandungan C-organik minimal 12%, apabila tidak mengandung fraksi liat (0%); atau



kandungan C-organik minimal 18%, apabila mengandung fraksi liat 60% atau lebih; atau



jika kandungan fraksi liat antara 0-60%, maka kandungan C-organik adalah 12% + (% kandungan liat dikalikan 0,1). Tingkat dekomposisi atau pelapukan/perombakan bahan organik gambut dibagi menjadi tiga

tingkatan, yaitu fibrik (awal), hemik (tengahan), dan saprik (lanjut), tergantung dari kandungan serat (fibers) yang menyusunnya. ■

Fibrik : gambut dengan tingkat dekomposisi awal, yaitu kandungan serat tumbuhan lebih dari 75%, atau masih lebih dari tiga perempat bagian dari volumenya.



Hemik : gambut dengan tingkat dekomposisi tengahan, yaitu kandungan serat antara 17-75%, atau tinggal antara 1/6-3/4 bagian volumenya.



Saprik : gambut dengan tingkat dekomposisi lanjut, yaitu kandungan seratnya kurang dari 17%, atau tinggal kurang dari 1/6 bagian dari volumenya. Gambut saprik biasanya berwarna kelabu sangat gelap sampai hitam. Sifat-sifatnya, baik sifat fisik maupun kimianya, relatif sudah stabil.

E. TIPOLOGI LAHAN DAN SIFAT KIMIA TIPE-TIPE LAHAN 1. Tipologi lahan Reklamasi lahan rawa pasang surut selalu diawali dengan pembuatan saluran-saluran primer, sekunder, dan tersier, yang dimaksudkan untuk mendrainase atau mengeringkan seluruh kawasan reklamasi agar tahapan pemanfaatan lahan untuk pertanian dapat tercapai. Pada kenyataannya, sesudah selesainya penggalian saluran-saluran tersebut, permukaan air tanah menjadi turun, dan tanah terbebas dari kondisi jenuh air, dan setelah beberapa waktu mencapai kondisi siap pakai sebagai lahan pertanian. Pada lahan petani, mengikuti kondisi hidrotopografi permukaan lahan, ada bagian-bagian lahan yang selalu terkena genangan setiap kali pasang naik, tetapi ada juga bagian lahan yang tidak pernah terkena genangan pasang. Bagian yang rendah yang selalu tergenang pasang harian, umumnya telah disawahkan. a.

Klasifikasi tipologi lahan versi awal

17

Pada lahan rawa terdapat agroekosistem tanah gambut dan tanah mineral. penggunaan sistem klasifikasi murni seperti Taksonomi Tanah, untuk membedakan antara Sulfihemists dan Sulfohemists serta Sulfaquents dan Sulfaquepts, yaitu tanah gambut dan tanah mineral yang bahan sulfidiknya belum dan sudah teroksidasi, dirasakan rumit dan kurang praktis oleh para praktisi dan peneliti agronomis yang menangani pengelolaan tanah dan air, serta upaya peningkatan produktivitas lahan rawa pasang surut. Berdasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan rawa adalah: (a) kedalaman lapisan mengandung pirit/bahan sulfidik, dan kondisinya masih tereduksi atau sudah mengalami proses oksidasi, (b) ketebalan dan tingkat dekomposisi gambut serta kandungan hara gambut, (c) pengaruh luapan pasang dari air salin/payau, (d) lama dan kedalaman genangan air banjir, dan (e) keadaan lapisan tanah bawah, atau substratum, apakah endapan sungai, endapan marin, atau pasir kuarsa, maka I P.G. Widjaja-Adhi, sekitar 1986-1987, mengusulkan penggunaan klasifikasi tipe-tipe lahan, atau tipologi lahan pada wilayah rawa pasang surut dan rawa lebak dengan persyaratan-persyaratan atau kriteria-kriterianya seperti tercantum pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Tipologi lahan di wilayah rawa pasang surut dan rawa lebak, versi tahun 1987

18

Tipologi lahan

Simb Kriteria

Lahan

ol P

Kadar pirit <2% belum mengalami

potensial

proses oksidasi, terletak pada kedalaman >50 cm dari permukaan tanah,

Lahan sulfat ■ Sulfat masam masam potensial

tanah sulfat SM termauk Lapisan pirit dengan kadarmasam >2% mengalami proses oksidasi, dan potensial. Kendala produksi dan tidak/belum terletak lebih dangkal, <50 cm dari munculnya ■ Sulfat masam SM kemungkinan Memiliki horison sulfurik, kendala dengan pemukaan tanah. tersebut kecil. aktual jarosit/ diperkirakan brown layer, pH

Lahan gambut ■ Gambut-dangkal ■ Gambut-sedang ■ Gambut-dalam ■ Gambut-sangat ■ Lahan dalam bergambut

GG1 G2 G3 G4 0

(H Terbentuk 2O)<3,5.dari bahan gambut, yang air dalam waktu lama, dan tersusun (1) jenuh bahan tanah organik, atau (2) tidak dari jenuh air selama lebih dari pernah dan kadar C-organik 20%. beberapa hari, Ketebalan gambut pada G-1: 50100 cm; G-2: 100-200 cm; G-3:

Lahan pantai atau

salin,

Lahan rawa zona 1: rawa 200-300 cm;diG-4: >300 cm; pasang dan Gsalin/payau, dan dapat berupa surut 0: <50aircm. lahan potensial, sulfat masam, atau gambut. Mendapat intrusi air laut

Lahan lebak ■ Lebak pematang ■ Lebak tengahan ■ Lebak dalam

lebih dari 4 bulan dalam setahun; Lahan rawa di zona III: rawa nonkandungan Na dalam larutan tanah surut, pasangatau rawa lebak. Tanahnya Aluvial, Aluvial bergambut, atau antara berupa8-15%. gambut. Lama dan dalamnya genangan pada lebak pematang: <3

bulan, <50 cm; lebak tengahan: 3-6 Sumber: Proyek PLPSR-Swamps II (1993a) Widjaja-Adhi et al. (1 992) bulan, 50-100 cm; lebak dalam: >6 bulan, >100 cm.

b. Klasifikasi tipologi lahan versi tahun 1995 Klasifikasi tipologi lahan seperti yang tercantum pada Tabel 2.4 tersebut, digunakan antara tahun 1986-1999. Perubahan kecil yang dibuat tahun 19981999 (Proyek PSLPSS, 1998; 1999), hanyalah membagi lahan potensial (bahan sulfidik >50 cm), menjadi lahan potensial-1 (bahan sulfidik >100 cm) dan lahan potensial-2 (bahan sulfidik 50-100 cm), serta penamaan lahan bergambut menjadi lahan sulfat masam potensial bergambut, dengan kedalaman lapisan gambut di permukaan tanah antara 25-50 cm. Sebelumnya Nugroho et al. (1991) juga membagi lahan salin pantai ke dalam dua tipe lahan, yaitu tanah/lahan agak salin, salin 1 (S1), yang dipengaruhi air asin/payau, dan tanah/lahan salin, salin 2 (S2), yang dipengaruhi air asin. Disebut tanah salin apabila kadar garam >1.000 ppm, atau daya hantar listrik >1.400 dS/m, tetapi tidak disebutkan kriteria atau batas pembagian kandungan garam, atau daya hantar

19

listrik, antara lahan agak salin dan lahan salin. Klasifikasi tipologi lahan seperti ini relatif mudah dipahami, oleh karena itu secara luas telah digunakan untuk klasifikasi tipologi lahan pertanian guna pengelolaan lahan rawa secara terpadu oleh institusi dan berbagai proyek penelitian lahan rawa Badan Litbang Pertanian Dep. Pertanian seperti, Balittra (Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa) Banjarbaru, proyek SWAMPS-II (19851994), ISDP (Integrated Swamp Development Project) (1994-2000), dan Proyek PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan) (1997-2000). Demikian juga berbagai tulisan dan makalah tentang lahan rawa dari tahun 1985 sampai dengan sekitar tahun 2002, masih banyak yang menggunakan istilah-istilah tipologi lahan tersebut. Namun dalam perkembangannya, telah timbul berbagai kritikan tentang penamaan tipologi lahan tersebut, yang seringkali menimbulkan “kerancuan dan kesalahpengertian” (Sudarsono, 1999). Yang dipersoalkan, sebenarnya hanyalah terletak pada istilah: “lahan potensial (P), untuk lahan pasang surut yang lapisan bahan sulfidiknya terdapat pada kedalaman >50 cm” vs “sulfat masam potensial (SMP), untuk lahan pasang surut yang lapisan bahan sulfidik terletak pada kedalaman <50 cm”. Lahan potensial yang dianggap berpotensi pertanian nomer 1-2 di lahan rawa dan SMP yang berpotensi pertanian nomer 3, sama-sama menggunakan kata “potensial”. Untuk menanggapi kritikan tersebut, Widjaja-Adhi (1995a), kemudian merevisi penamaan tipologi lahan 1985-1999 tersebut. Kini, semua lahan potensial dan sulfat masam potensial (SMP) yang sama-sama memiliki bahan sulfidik/pirit yang belum mengalami proses oksidasi, disebut “Aluvial bersulfida (SMP)", dan pembagian selanjutnya didasarkan pada kedalaman bahan sulfidik dari permukaan tanah. Sedangkan lahan sulfat masam aktual (SMA), dimana bahan sulfidik telah mengalami proses oksidasi membentuk senyawa sulfat (SO4), kini disebut “Aluvial bersulfat (SMA)". Pembagian selanjutnya didasarkan pada nilai pH <3,5 (horison sulfurik), atau pH >3,5 (bahan sulfidik sedang teroksidasi) dan letak kedalamannya (<100 cm, atau >100 cm) dari permukaan tanah. Perkembangan penamaan tipologi lahan dari versi awal (1985-1990), dan versi terakhir yang diusulkan tahun 1995, disajikan pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Tipologi lahan rawa pasang surut, versi tahun 1995

20

Klasifikasi

Klasifikasi

tipologi

lahan Simb Kedalaman

tipologi lahan, menurut Widjaja-Adhi, 1995 ol pirit/bahan sulfidik Lahan Aluvial bersulfida sangat SMP- >100 cm 1 9921993 Aluvial bersulfida dalam SMP- 50-1 00 cm potensial dalam 3 Lahan sulfat Aluvial bersulfida dangkal SMP<50 cm 2 masam Aluvial bersulfida dangkal HSM/G <50 cm; bergambut 1 Aluvial bersulfat-1 bergambut (Histik sulfat -0SMA- <100 <50 cmcm (pH-H2O Aluvial bersulfat-2 SMA- <100 cm (pH-H2O Aluvial SMA>100 1 >3,5) cm (pH-H2O masam) bersulat-3 2 <3,5) Lahan salin Salinitas dapat terjadi pada S 3 <50 <3,5)cm; >50 cm berbagai tipologi pada tanah Lahan gambut Gambut-dangkal G-1 mineral Gambut-tengahan G-2

Ketebalan

gambut

Ketebalan 50-100 cm

gambut

Gambut-dalam

G-3

Ketebalan 101200 cm

gambut

Gambut-sangat dalam

G-4

Ketebalan 201300 cm

gambut

Sumber : Widjaja-Adhi et al. (1992) dan Proyek PLPSR-Swamps >300 cm II (1993b) Widjaja-Adhi (1995a)

c.

Usulan perbaikan tipologi lahan versi tahun 1995 Pada uraian berikut akan diuraikan usulan-usulan perbaikan pada tipologi lahan versi terakhir

(Widjaja-Adhi, 1995a). Pengalaman di lapangan di berbagai tempat pada tanah persawahan pasang surut yang sudah “stabil” milik penduduk setempat seperti di daerah Muara Dadahup, dekat lokasi Proyek PLG 1 Juta hektar di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa kedalaman lapisan bahan sulfidik pada sawah-sawah stabil tersebut umumnya terletak pada kedalaman 100 cm atau lebih dari permukaan tanah. Sementara pada sawah-sawah tetap tersebut, yang produktivitasnya lebih rendah, lapisan bahan sulfidik berada pada kedalaman antara 50-100 cm. Hal yang sama juga ditemukan pada lahan persawahan pasang surut yang sudah “stabil” di Iokasi pemukiman transmigrasi di Delta Upang dan Delta Telang, Kabupaten Musi Banyuasin di Sumatera Setatan. Tampaknya lahan potensial yang kedalaman lapisan bahan sulfidik >50 cm, merupakan lahan yang relatif “terbaik”, atau “paling potensial”, diantara lahan-Iahan marginal di wilayah rawa pasang surut. Sedangkan lapisan bahan sulfidik yang kedalamannya 100 cm atau lebih, bersifat “lebih baik, atau lebih potensial” lagi. Akibat perbedaan potensinya, perlu dipisahkan antara lahan terbaik nomer- 1, Lahan Potensial-1 (Pot-1), yang kedalaman lapisan bahan sulfidik >100 cm, dan lahan-lahan terbaik nomer-2, Lahan Potensial-2 (Pot-2), yang kedalaman lapisan bahan sulfidiknya antara 50-100 cm. Hal inipun sudah dikerjakan pada survei karakterisasi lahan rawa di Sumatera Selatan (Proyek PSLPSS, 1998), dan sudah pula terliput dalam tipologi lahan versi 1995, yang disebut Aluvial bersulfida sangat dalam, SMP-3, dan Aluvial bersulfida dalam, SMP-2 (Tabel 2.4). Lahan dengan potensi pertanian agak kurang, adalah lahan sulfat masam potensial, SMP, yang memiliki lapisan bahan sulfidik relatif belum mengalami proses oksidasi, pada kedalaman <50 cm, atau antara 0-50 cm dari permukaan tanah. Lahan ini masih memiliki lapisan gambut di permukaan setebal

21

<50 cm, disebut SMP-G (bergambut), atau HSM (Histik sulfat masam), atau G-O (tanah bergambut), sebenarnya memiliki potensi kesuburan yang lebih baik dari pada SMP yang lapisan gambutnya sudah habis, karena adanya lapisan gambut yang ikut menyumbang tingkat kesuburan tanahnya. Sebenarnya hal yang sama juga terjadi pada lahan potensial bergambut, atau Pot-G (bergambut), tetapi tipe lahan ini pada umumnya tidak ditemukan lagi di lapangan, mungkin karena potensi pertaniannya yang lebih baik, sudah digunakan secara intensif untuk persawahan atau pertanian lahan kering, sehingga lapisan gambutnya sudah lenyap, atau tidak terdeteksi lagi. Lahan yang potensi pertaniannya lebih rendah lagi akibat banyaknya kendala, adalah lahan sulfat masam aktual, SMA. Ada dua tipe lahan SMA: pertama, potensinya relatif lebih baik, menunjukkan lapisan bahan sulfidik pada kedalaman <50 cm sedang mengalami proses oksidasi, tetapi relatif belum tuntas/habis, yang dicirikan oleh pH-H2O di lapangan antara 3,5-4,0, disebut SMA-1. Kedua, dimana lapisan bahan sulfidik pada kedalaman yang sama, < 50 cm, relatif sudah tuntas teroksidasi dan dicirikan oleh pH-H2O di lapangan < 3,5, disebut SMA-2. Secara teoritis, oksidasi pirit mulai terjadi saat penurunan air tanah telah mencapai lapisan yang mengandung bahan sulfidik. Dengan semakin menurunnya permukaan air tanah, udara yang mengandung oksigen akan masuk melalui pori-pori atau rekahan-rekahan dalam tanah. Lingkungan pirit menjadi ter- “exposed" dan pirit lalu mengalami proses oksidasi. Karena udara masuk dari atmosfer di atas tanah, maka proses oksidasi yang paling efektif akan terjadi di lapisan tanah bagian atas (0-50 cm). Makin ke bawah, pada lapisan 50-100 cm, intensitas oksidasi pirit diperkirakan makin berkurang, karena adanya gerakan naik air kapiler dari permukaan air tanah di bawah kedalaman 100 cm. Inilah sebabnya mengapa definisi tanah Sulfaquepts menyebutkan harus memiliki horison sulfurik (tebal 15 cm atau lebih, dengan pH-H2O <3,5) yang batas atasnya berada pada kedalaman 0-50 cm dari permukaan tanah. Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) tidak pernah menyebutkan adanya horison sulfurik pada kedalaman antara 50-100 cm, dan terlebih lagi pada kedalaman >100 cm. Proses oksidasi pirit yang efektif, ditunjukkan oleh pH-H2O <3,5, pada lapisan tanah lebih dari 1 m (100 cm), walaupun masih menjadi bahan perdebatan, diperkirakan tidak dapat terjadi, ataupun kalau terjadi, tidak dapat berlangsung lama. Alasannya yang pertama, diperlukan penurunan permukaan air tanah minimal 1,5 m atau 2 m untuk memicu terjadinya proses oksidasi pirit yang efektif, yang tidak dipengaruhi gerakan naik air kapiler. Selain proses difusi udara ke lapisan di bawah 1 m yang berjarak relatif jauh, mungkin sangat sulit mencapai penurunan permukaan air tanah sampai sedalam 1,5-2 m pada tanah rawa pada (landform) rawa belakang, walaupun yang mempunyai tipe luapan C, dengan kedalaman air tanah <0,5 m, dan tipe luapan D yang memiliki kedalaman air tanah >0,5 m. Alasan kedua, seandainya dapat terjadi oksidasi cukup intensif pada musim kemarau pada lapisan tanah sedalam lebih dari 1 m, akibat dari konduktivitas hidraulik tanah rawa, baik yang vertikal maupun horisontal/lateral, yang relatif cepat, maka proses oksidasi tidak dapat berlangsung lama, sementara ada kemungkinan hasil-hasil oksidasi bahan sulfidik di tanah bagian atas <50 cm akan segera tercuci, yang pada akhirnya justru akan membentuk lahan potensial-1. Atas dasar alasan-alasan ini, diperkirakan bahwa lahan sulfat masam aktual-3, SMA-3, yang memiliki pH-H2O <3,5 pada kedalaman > 100 cm, yang secara teoritis mungkin saja terjadi, seperti halnya dengan lahan potensial bergambut (Pot-G), tetapi tidak pernah

22

dijumpai/ ditemukan di lapangan. Mengenai tipologi lahan pada tanah gambut, yang membagi tanah gambut berdasarkan ketebalan bahan gambut, secara umum tidak ada masalah. Walaupun disebutkan bahwa faktor kematangan, atau tingkat dekomposisi bahan gambut, yakni fibrik, hemik, dan saprik; kandungan hara gambut, apakah oligotrofik, mesotrofik, atau eutrofik; serta bahan tanah bawah, atau substratum, apakah endapan sungai, endapan marin, atau pasir kuarsa, cukup berpengaruh pada pemanfaatan dan pengelolaan lahan rawa, tidak digunakan dalam kriteria tipe-tipe lahan gambut. Oleh karena sebagian besar tanah rawa, kecuali sedikit tanah-tanah tanggul sungai alam, merupakan endapan marin, maka tanah gambut yang terbentuk di cekungan/depresi juga memiliki tanah dasar berupa endapan marin yang mengandung bahan sulfidik. Kontribusi konsep horison dan sifat-sifat penciri yang didefinisikan secara kuantitatif untuk tanah rawa dari Taksonomi Tanah, baik tanah mineral maupun tanah gambut, seperti bahan sulfidik, horison sulfurik, tanah salin atau sifat sodik, dapat diaplikasikan pada kedua kelompok tanah tersebut, untuk mempertajam pembagian tipologi lahan. Atas dasar uraian di atas, usulan perbaikan klasifikasi tipologi lahan Widjaja-Adhi versi 1995, pada dasarnya adalah: 1.

Tipe-tipe lahan diurutkan mulai dari yang potensinya relatif terbaik, dan dipisahkan antara tanah mineral dan tanah gambut. Lahan potensial-1 atau aluvial bersulfida sangat dalam yang diberi simbol SMP-1 ditempatkan lebih dahulu daripada lahan potensiai-2, ataualuvial bersulfat dalam, yang diberi simbol SMP-2. 2.

Dalam kelompok lahan sulfat masam potensial, SMP yang bergambut, diurutkan lebih dahulu,

dan dapat diberi simbol HSM (histik sulfat masam), SMP-G (bergambut), atau G-O (tanah bergambut). Untuk menghormati versi aslinya, digunakan simbol HSM. Definisi bergambut digunakan batasan Taksonomi Tanah, yaitu mempunyai epipedon histik dengan ketebalan gambut 20-50 cm. Karena potensi pertaniannya relatif lebih rendah, SMP yang biasa atau lapisan gambutnya tipis, 0-20 cm, disebut aluvial bersulfida dangkal dan diberi simbol SMP-3. 3.

Sesuai potensinya, untuk kelompok lahan sulfat masam aktual, urutannya sudah benar, yaitu terlebih dulualuvial bersulfat-1, yang diberi simbol SMA-1, dan diikuti aluvial bersulfat-2, yang diberi simbol SMA-2. Berdasarkan alasan yang telah diuraikan, untuk sementara sampai benar-benar dapat ditemukan di lapangan, aluvial bersulfat-3, atau SMA-3, tidak dimunculkan dalam tabel tipologi lahan.

4.

Lahan salin, mengikuti pembagian Nugroho et al. (1991) dibagi menjadi dua, yaitu lahan agak salin, S-1, yang dipengaruhi air salin/payau; dan lahan salin, S-2, yang dipengaruhi air salin/air laut. Pembagiannya untuk sementara menggunakan batasan tanah Halaquepts, dan lahan salin versi awal (19921993), yaitu % kejenuhan natrium 8-15% untuk S-1, dan >15% untuk S-2.

5.

Pembagian tipologi lahan untuk tanah gambut relatif tetap sama, hanya diperbaiki dengan memasukkan kriteria adanya horison sulfurik dan bahan sulfidik, dan letak kedalamannya dalam bahan gambut. Sehingga apabila nantinya ditemukan horison sulfurik pada kedalaman 0-50 cm, ataupun bahan sulfidik/pirit pada kedalaman 0-100 cm, kendala yang mungkin timbul jika dibuka

23

untuk tujuan pertanian dapat diketahui sejak awal dari nama tipe lahan gambut yang bersangkutan. 6.

Semua nama tipe-tipe lahan diperlakukan sebagai nama-diri (proper names), seperti nama provinsi: Jawa Barat, nama kota: Makassar, nama orang: Soekarno, sehingga huruf awalnya menggunakan huruf kapital, Contohnya: Lahan Potensial, Aluvial Bersulfat Dangkal, dan Sulfat Masam Aktual. Untuk tanah gambut, digunakan nama diri hanya untuk huruf pertama dan disambung dengan garis datar pendek untuk menyatakan tingkat kedalaman gambut, contoh Gambut-dangkal, Gambutsedang, Gambut-dalam, dan seterusnya.

24

Klasifikasi

Klasifikasi

Klasifikasi

Kedalaman Taksonomi

tipologi tipologi tipologi lahan pirit/ bahan tanah Lahan Lahan potensial- Aluvial 101-150 cm ENTISOLS lahan, 1987- lahan, 1998- (2004) sulfidik# (1999;2003)@ potensial 1 (Pot-1) bersulfida (bahan Typic/Aeric/So 19951 1999** sangat dalam sulfidik) pH dic (SMP-1) Lahan potensial- Aluvial

Hydraquents; cm ENTISOLS Fluvaquents; bersulfida (bahan Sulfic Endoaquents dalam (SMP- sulfidik) pH Hydraquents/

2 (Pot-2)

>4,0 51-100

masam 2) Aluvial

>4,0 0-50

Lahan sulfat

Sulfat

masam

potensial (SMP) bersulfida

(bahan

dangkal masam Aluvial (SMP-3) potensial Bersulfida

sulfidik) pH Thapto -Histic 0-50 cm ENTISOLS >4,0 Sulfaquents (bahan Histic sulfidik) Sulfaquents

Sulfat

bergambut

dangkal

(SMP-G)

bergambut

(gambut cm) Sulfat

2050 (histik

sulfat 0-100

Lahan salin

ndoa quents Typic/Haplic/

cm ENTISOLS:

masam: HSM) (pH 3,5-4,0) Sulfic (bahan masam Aluvial 50-150 cm INCEPTISOL Hydraquents/

aktual-1 (SMA- bersulfat-2 bersulfat-1 aktual-2 1) 2)

cm ENTISOLS Fluvaquents/E

(SMA-1) (SMA-2)

sulfidik (Lapisan S: Fluvaquents/ teroksidasi) tanah 050 Typic INCEPTISOL

cm, pH <3,5) Sulfaquepts, S: agak 0-150 cm ENTISOLS: Hydraquentic Sulfic salin (S-1) (pH Typic Sulfaquepts, Endoaquepts 8- Hydraquents/E Lahan salin (S- >6,0;ESP 0-150 cm ENTISOLS: Salidic

Lahan salin (LS) Lahan

2) Lahan gambut Gambut-dangkal Gambut(50-100

cm dangkal

gambut) (GDK) (G-1) Gambut-

15%) (pH

ndoa Typic Sulfaquepts quents >6,0;ESP Hydraquents/E Tebal HISTOSOLS >15%) ndoa gambut 50- Haplofibrists/ quents 100 cm (0- Haploh

cm, HISTOSOLS: emists/ dangkal tanpa bahan gambut 50- Typic/Terric Haplosaprists bersulfida (G- 100 cm (0- Sulfihemists/S sulfidik) 1sf)

Tebal 100

100 bahan

cm, ulfisa prists

sulfidik)

25

Klasifikasi tipologi Klasifikasi tipologi Klasifikasi tipologi Kedalaman pirit/ Taksonomi tanah lahan, 1987-1995* lahan, 1998-1999** lahan (2004) bahan sulfidik# (1999;2003)@ GambutTebal HISTOSOLS: bersulfat dangkal (G-1 50-100 gambut cm Sulfohemists/T Typic cm, sr) (0-50 horison Sulfosaprists ypic sulfurik) Gambut-sedang GambutTebal HISTOSOLS (101-200 cm 2) 101-200 sedang (Ggambut cm Haplofibrists/H gambut) (GSD)

(0200

cm, aploh

tanpa bahan emists/ Gambut-

Tebal sulfidik)

HISTOSOLS: Haplosaprists

bersulfida (G- 101-200 sedang gambut cm Typic/Terric 100 cm, Sulfihemists/Su 2sf) (0sulfidik) prists bahan lfisa GambutTebal HISTOSOLS: bersulfat sedang

(G- 101-200 gambut cm Sulfohemists/S Typic 50 cm, aprists 2sr) (0ulfos horison Gambut-dalam Gambut-dalam Tebal HISTOSOLS sulfurik) (201-300 cm 3) 201-300 (Ggambut cm Haplofibrists/H gambut) (GDL)

(0300

cm, aploh

tanpa bahan emists/ Gambut-dalam Tebal sulfidik)

HISTOSOLS: Haplosaprists

bersulfida (G- 201-300 gambut cm Typic/Terric 100 cm, Sulfihemists/Su 3sf) (0sulfidik) prists bahan lfisa Gambut-sangat Gambut-sangat Tebal HISTOSOLS (dalam>300

cm dalam (G-4)

gambut) (GSDL)

>300 gambut

cm Haplofibrists/H

(>300 cm, aploh sulfidik) Haplosaprists tanpa bahan emists/

26

2.5.2.

Sifat-sifat kimia tipe-tipe lahan Untuk dapat menguraikan sifat-sifat kimia dan kesuburan tanah dari tanah- tanah

rawa pasang surut, telah dikumpulkan data hasil analisis tanah dari 346 profil tanah mineral dan 378 profil tanah gambut, yang diperoleh dari survei/inventarisasi tanah Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) dan kegiatan lainnya di Sumatera dan Kalimantan. Dari Sumatera, khususnya berasal dari survei pelaksanaan P4S dan kegiatan lain di Sumatera Selatan, yaitu Air Saleh (IPB, 1978a), Karangagung (IPB, 1978b), dan Karangagung Tengah (PPT, 1989). Dari provinsi Riau, berasal dari S. Reteh (IPB, 1969), S. Enok-Delta S. Retih (LPT, 1974), Bunut-Kuala Kampar (LPT, 1975), S. Rokan (LPT, 1976a), dan S. Siak (LPT, 1976b). Sedangkan yang dari Kalimantan, sebagian besar dari survei dan pemetaan tanah pulau-pulau delta di aliran bawah S. Kahayan, Kapuas, dan Barito, di wilayah Proyek Pengembangan Gambut (PLG) satu juta hektar, 1996-1998 (Puslittanak, 1997; 1998a; 1998b), dan di Delta Pulau Petak (SRI, 1973), serta sebagian kecil dari wilayah rawa di provinsi Kalimantan Timur. Uraian ringkas dari sifat-sifat kimia tanah, yang diberikan berikut ini diurutkan dari tanah mineral, yaitu Tanah Tanggul Sungai, Lahan Potensial-1, Lahan Potensiai-2, Sulfat Masam Potensial (SMP), Sulfat Masam Aktual (SMA), dan Tanah Salin; serta Tanah Gambut, yakni Tanah Sulfat Masam Potensial Bergambut, Gambut-dangkal, Gambut-sedang, Gambut-dalam, dan Gambut- sangat dalam. Data tekstur, pH-H2O, dan kandungan sifat/ hara merupakan rata- rata dari hasil analisis tanah semua profil yang tersedia dari masing-masing tipologi lahan. Setiap sifat-sifat tanah dinilai tinggi, sedang, atau rendah berdasarkan kriteria evaluasi standar yang biasa digunakan di Puslittanah dan Agroklimat. Data sifat-sifat untuk tanah mineral disajikan pada Tabel 2.7, sedangkan untuk tanah gambut pada Tabel 2.8. a. Tanah mineral Tanah tanggul sungai Dalam keadaan alami, Tanah Tanggul Sungai alam (natural levee) seringkali mempunyai lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar <20 cm, baik lapisan atas, sekitar 0-50 cm, maupun lapisan bawah, antara 50-200 cm. Tekstur tanah relatif sama yaitu liat berdebu (silty clay), atau lempung liat berdebu (silty clay loam). Tanah tanggul sungai di Sumatera umumnya dicirikan oleh tekstur yang lebih bervariasi, dengan kandungan liat antara 10-65%, dan debu sekitar 25-95%. Di Kalimantan, tekstur tanahnya relatif lebih homogen dan lebih halus, dengan kandungan liat dan debu yang hampir sama yaitu antara 25-65%. Reaksi tanah lapisan atas dan lapisan bawah sangat

masam (very strongly acid) (pH 4,65,0), dan cenderung sama atau sedikit meningkat di lapisan bawah. Kandungan garam yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik (electrical conductivity:EC), umumnya sangat rendah (0,3-0,5 dS/m) sampai rendah (2,1-2,4 dS/m) di kedua lapisan (TabeI 2.7). Kandungan bahan organik, yang dinyatakan sebagai C-organik, di lapisan atas sangat tinggi (5,30-6,46%), dan di lapisan bawah sedang sampai tinggi (2,62-4,05%). Kandungan nitrogen (N) rata-rata termasuk sedang (0,27-0,35%) di lapisan atas, dan berkurang menjadi sangat rendah sampai rendah (0,10-0,16%) di lapisan bawah. Rasio C/N rata-rata lapisan atas termasuk sedang sampai tinggi (15-18), dan di lapisan bawah termasuk tinggi (18-19). Kandungan fosfat potensial (ekstraksi 25% HCI) dan dinyatakan sebagai P2O5HCI, termasuk sedang (27-28 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sangat rendah sampai sedang (12-28 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan kalium potensial, K2OHCI, sedang sampai tinggi (24-46 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan menurun menjadi sedang (22-40 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan fosfat tersedia (ekstraksi Bray-I) tergolong sedang (21,9-23,2 ppm) di lapisan atas, dan cenderung menurun menjadi rendah sampai sedang (8,6-16,6 ppm) di lapisan bawah. Jumlah basa-basa termasuk tinggi, baik di lapisan atas (14,2-24,6 cmol(+)/kg tanah) maupun lapisan bawah (17,8-22,4 cmol(+)/kg tanah). Basa dapat tukar yang dominan di kedua lapisan tanah adalah Mg dan Na, masing- masing di lapisan atas terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi (6,298,69 mol(+)/kg tanah), dan sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (3,08-8,64 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan Ca-dapat tukar umumnya bervariasi dari rendah sampai sedang, baik di lapisan atas (4,49-6,50 cmol(+)/kg tanah) maupun di lapisan bawah (4,69-6,67 cmol(+)/kg tanah). Sedangkan K- dapat tukar tergolong sedang (0,55-0,75 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedikit meningkat (0,60-0,67 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawahnya. Kapasitas tukar kation (KTK) tanah (KTK-pH 7), karena adanya kontribusi dari bahan organik cenderung tinggi (26,1-27,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas dan menurun menjadi sedang (21,4-22,3 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kejenuhan basa (KB-pH 7), termasuk sedang sampai tinggi (44-73%) di lapisan atas, dan relatif tetap tinggi (61-75%) di lapisan bawah.

Kejenuhan aluminium (AI), tergolong rendah (25-32%) baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Sementara itu, kandungan pirit (FeS2) ternyata rendah sampai sedang (1,44-2,53%) di lapisan atas, dan menjadi sangat rendah sampai rendah (1,031,40%) di lapisan bawah.

Lahan potensial-l Lahan potensial-1 mempunyai lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar <24 cm. Tekstur tanah lapisan atas umumnya liat berdebu, atau lempung liat berdebu, dan di lapisan bawahnya hampir semuanya liat berdebu. Tekstur tanah lahan potensial-1 dari Kalimantan relatif lebih halus, dengan kandungan liat relatif tinggi antara 35-90%. Sementara yang dari Sumatera sedikit lebih kasar dengan kandungan liat lebih rendah, 20-70%, dan kandungan debu tinggi, 3095%. Reaksi tanah sangat masam sekali (excessively acid) (pH 4,1-4,2), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Reaksi tanah cenderung lebih masam (pH 3,5 atau kurang) pada kedalaman 120-180 cm. Kandungan garam, yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik, sangat rendah (0,3-1,0 dS/m), di seluruh lapisan (Tabel 2.7). Kandungan bahan organik, yang dinyatakan sebagai C-organik, lapisan gambut tipis di permukaan sangat tinggi. Sementara kandungan bahan organik di lapisan atas sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (8,66-16,18%), dan menurun menjadi tinggi (4,08-4,88%) di lapisan bawah. Kandungan bahan organik Lahan Potensial-1 dari Kalimantan relatif lebih tinggi, bervariasi dari 1 sampai 17%, sementara yang dari Sumatera bervariasi dari 1 sampai 8%. Kandungan N sedang sampai tinggi (0,50-0,71%) di lapisan atas, dan menurun menjadi sangat rendah sampai rendah (0,13-0,17%) di seluruh lapisan bawah. Rasio C/N bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi (17-27), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI 25%) di lapisan atas termasuk sedang sampai tinggi (38-50 mg/100 g tanah), dan di lapisan bawah berkurang menjadi sangat rendah sampai rendah (7-17 mg/100 g tanah). Kandungan K2O (HCI 25%) tergolong sedang (21-26 mg/100 g tanah) di seluruh lapisan. Kandungan P-tersedia, P2O5-Bray-I, termasuk sangat tinggi (38,5-63,9 ppm) dilapisan atas, dan menurun menjadi rendah sampai sedang (14-16 ppm) di lapisan bawah. Jumlah basa-basa termasuk sedang, baik di lapisan atas (7,2-8,5 cmol(+)/kg tanah) maupun lapisan bawah (7,3-10,6 cmol(+)/kg tanah). Basa dapat tukar yang dominan adalah Mg dan Na, yang di seluruh lapisan masing- masing terdapat dalam jumlah tinggi (2,78-5,59 cmol(+)/kg tanah), dan tinggi sampai sangat tinggi (0,75-1,60 cmol(+)/kg tanah). Kandungan Ca-dapat tukar di seluruh lapisan termasuk rendah (2,18-2,96 cmol(+)/kg tanah). Kandungan K-- dapat tukar rendah (0,33-0,38 cmol (+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah sampai sedang (0,25-0,43 cmol (+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kapasitas tukar kation tanah, karena kontribusi dari bahan organik, di dalam tanah bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, dengan rata-rata tergolong tinggi (24,1-35,9 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan. KB bervariasi dari sangat rendah sampai tinggi, dengan rata-rata di lapisan atas termasuk rendah (23%), dan di lapisan bawah rendah

sampai sedang (31-38%). Kejenuhan AI umumnya bervariasi dari rendah sampai tinggi/sangat tinggi, dengan rata-rata sedang sampai tinggi (46-62%), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2) sangat rendah (1,00-1,04%) sampai sedang (3,04-3,16%) di lapisan atas dan lapisan bawah. Lahan potensial-2 Lahan potensial-2 memiliki lapisan gambut permukaan tipis, sekitar 0-20/28 cm. Tekstur tanah Lahan Potensial-2 dari Sumatera sedikit lebih kasar dan lebih homogen, dengan kandungan liat dan debu 30-70%, sementara yang dari Kalimantan lebih bervariasi dan lebih halus, dengan kandungan liat antara 3580%, dan debu 20-60%. Tetapi, semuanya tergolong bertekstur halus, yaitu liat berdebu di lapisan atas, dan liat (clay) atau liat berdebu di lapisan bawah. Reaksi tanah di lapisan atas secara umum lebih tinggi daripada lapisan bawah, dengan rata-rata sangat masam sekali, baik di lapisan atas (pH 4,1-4,2) maupun lapisan bawah (3,6-3,7). Kandungan garam yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik, tergolong sangat rendah (0,5-1,7 dS/m) di lapisan atas, dan rendah (1,9-2,6 dS/m) di lapisan bawah (Tabel 2.7).

Kandungan bahan organik,

dinyatakan sebagai % C-organik, seluruh lapisan di luar lapisan gambut permukaan, umumnya bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi. Kandungan bahan organik Lahan Potensial-2 dari Kalimantan sedikit lebih tinggi daripada lahan yang sama dari Sumatera. Rata- rata kandungan bahan organik tergolong sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (11,69-19,97% C) di lapisan atas, dan sangat tinggi (5,54-5,57% C) di lapisan bawah. Kandungan N di lapisan atas termasuk tinggi sampai sangat tinggi (0,58-0,84%), dan di lapisan bawah umumnya menurun menjadi rendah sampai sedang (0,18-0,25%). Rasio C/N lapisan atas termasuk tinggi (22-24), dan di lapisan bawah sangat tinggi (30-31). Kandungan fosfat potensial, (P2O5-HCI 25%), di lapisan atas termasuk sangat tinggi (70-133 mg/100 g tanah), dan menurun menjadi sedang (25 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan kalium potensial, K2O (HCl 25%) sedang (28-39 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang sampai tinggi (28-42 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan fosfat tersedia (P2O5-Bray I) rata-rata sangat tinggi (53,1-72,3 ppm) di lapisan atas, dan menurun menjadi sedang (21,6-23,6 ppm) di lapisan bawah. Jumlah basa-basa di seluruh lapisan tanah bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya termasuk sedang sampai tinggi, baik di lapisan atas (7,0-16,7 cmol(+)/kg tanah), maupun di lapisan bawah (9,8-15,3 cmol(+)/kg tanan). Basa dapatttukar yang dominan, baik di lapisan atas maupun lapisan bawah adalah Mg dan Na. Kandungan Mg dan Na berturut-turut masing-masing di seluruh lapisan adalah tinggi sampai sangat tinggi (3,38-8,69 cmol(+)/kg tanah, dan sangat tinggi (1,21-1,82

cmol(+)/kg tanah. Sebaliknya kandungan Ca-dapat tukar adalah sangat rendah sampai sedang (1,57-6,63 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan menurun menjadi sangat rendah sampai rendah (1,98-4,39 cmol (+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan K-dapat tukar tergolong sedang (0,40-0,52 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah sampai sedang (0,290,41 cmol (+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kapasitas tukar kation tanah ikut terbawa tinggi sampai sangat tinggi (37,361,9 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedikit menurun menjadi tinggi (25,632,3 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah karena adanya kandungan bahan organik sangat tinggi. Kejenuhan basa rendah (27-28%) di lapisan atas, dan termasuk sedang (44-47%) di lapisan bawah. Kejenuhan AI di semua lapisan umumnya sangat bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya rendah sampai sedang (36-55%) di lapisan atas, dan meningkat menjadi sedang (44-60%) di lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2) sangat rendah (0,48-0,77%) di lapisan atas, dan sedikit meningkat menjadi sangat rendah sampai sedang (0,81-2,88%) di lapisan bawah. Sulfat masam potensial Data profil sulfat masam potensial (SMP) menunjukkan adanya lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12/16 cm. Tekstur seluruh lapisan tanah menunjukkan halus, yaitu tekstur tanah SMP dari Sumatera mempunyai kandungan liat antara 40-75%, dengan debu 25-60%. Sementara kandungan liat SMP dari Kalimantan, bervariasi antara 40-85%, dan debu 20-50%. Dengan demikian, tekstur tanah lapisan atas termasuk liat berdebu, sedangkan lapisan bawahnya liat berdebu atau liat. Reaksi tanah di seluruh lapisan bervariasi dari masam ekstrim (extremely acid) (pH 3,5 atau kurang) sampai sangat masam (very strongly acid) (pH 4,5-4,8), dan cenderung makin masam di lapisanIapisan bawah. Reaksi tanah lapisan atas rata-rata sangat masam sekali (pH 4,0-4,3), dan di lapisan bawah masam ekstrim sampai sangat masam sekali (pH 3,5-3,8). Kandungan garam, dengan data terbatas yang hanya berasal dari SMP Kalimantan, ditunjukkan oleh daya hantar listrik yang bervariasi dari 7.000-21.000 dS/m, dengan rata-rata termasuk sangat tinggi sekali (7.253-7.320 dS/m), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kemungkinan besar, contoh tanah dari profil-profil yang diambil berasal dari lokasi di rawa zona I yang terkena pasang surut harian air asin/salin. Sulfat masam aktual Data Sulfat Masam Aktual (SMA) yang tersedia, hanya berasal dari lahan rawa di Kalimantan. Sementara data analisis yang berasal dari Sumatera, tidak menyebutkan adanya SMA karena data relatif berumur tua, 1974-1978. Tanah mempunyai lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12 cm. Seluruh lapisan tanah memiliki tekstur halus, dengan kandungan fraksi liat 35-70%, dan debu 25-60%, sehingga tekstur tanah

lapisan atas tergolong liat berdebu, dan di lapisan bawah liat. Lapisan atas ber-reaksi sangat masam sekali (pH 3,6), sementara lapisan bawah antara kedalaman 20-120 cm menunjukkan pH antara 1,8-3,5, dengan pH rata-rata 2,8, sehingga tergolong ber-reaksi masam ekstrim. Kandungan garam, yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik tergolong sangat tinggi sekali (4.344-5.686 dS/m) baik di lapisan atas maupun di lapisan bawah. Lahan salin Data lahan salin yang tersedia hanya diperoleh dari lahan rawa Kalimantan. Tanah mempunyai lapisan gambut permukaan tipis sekitar 0-12 cm. Tekstur di seluruh lapisan tanah tergolong halus. Kandungan liat bervariasi antara 30-75%, dan debu 25-95%, sehingga rata-rata tekstur lapisan atas, 0-50 cm, dan lapisan bawah, sekitar 50-200 cm, tergolong liat berdebu. Reaksi tanah seluruh lapisan bervariasi dari masam ekstrim sampai dengan netral, rata-rata tergolong sangat masam (very strongly acid) (pH 4,74,9), baik di lapisan atas maupun di lapisan bawah. Data daya hantar listrik, yang merupakan refleksi kandungan garam di seluruh lapisan, rata-ratanya sangat tinggi sekali (13.99419.488 dS/m). Sulfat masam potensial bergambut Dari data yang ada, ketebalan gambut di permukaan bervariasi antara 3845 cm. Lapisan gambut permukaan ini dapat berupa bahan organik murni, atau campuran antara bahan tanah mineral, khususnya fraksi liat dan debu, dan bahan organik. Kandungan fraksi liat dan debu umumnya cukup tinggi, masing- masing 35-80% dan 20-92%, sehingga tekstur tanahnya termasuk liat berdebu. Reaksi tanah bervariasi antara masam ekstrim sampai sangat masam, dan rata- ratanya tergolong sangat masam sekali (pH 3,9).

Tabel 2.8.Sifat-sifat tanah gambut pada lahan pasang surut SMP bergambut Lap. Atas Lap. Bwh

Gambut dangkal Lap. Atas Lap. Bwh

Gambut sedang Lap. Atas Lap. Bwh

Gambut dalam Lap. Atas Lap. Bwh

Gambut sangat dalam Lap. Atas Lap. Bwh

Sifat-sifat tanah

Pulau

Jumlah profil

Sum Kal

Tekstur

Sum Kal

SiC hC-SiC

SiC hC

pH H2O (1:5)

Sum Kal

3,9 sms 3,9 sms

3,8 sms 3,8 sms

4,1 sms 3,8 sms

4,0 sms 3,8 sms

4,0 sms 4,0 sms

3,8 sms 3,6 sms

3,6 sms 3,6 sms

3,7 sms 3,6 sms

3,6 sms 3,2 me

3,4 me 3,4 me

Daya hantar listrik (dS/m)

Sum Kal

0,3 sr 0,1 sr

2,0 sr 0,6 sr

0,4 sr

1,3 sr 0,8 sr

0,5 sr 1,1 sr

1,6 sr 0,8 sr

0,2 sr

0,5 sr

0,2 sr

0,8 sr

Karbon-organik (%)

Sum Kal

34,17 sts 26,03 sts

5,71 st 7,87 st

41,98 sts 38,86 sts

29,87 sts 28,70 sts

47,20 sts 36,28 sts

32,57 sts 31,36 sts

56,98 sts 45,39 sts

53,09 sts 35,1 5 sts

56,39 sts 55,49 sts

44,70 sts 47,23 sts

Nitrogen (%)

Sum Kal

0,98 st 1,09 st

0,11 r 0,21 sd

1,50 st 1,34 st

1,21 st 0,74 t

1,78 st 1,46 st

1,10 st 0,72 t

1,94 st 1,54 st

1,40 st 0,95 st

2,02 st 1,43 st

1,1 6 st 1,06 st

Rasio C/N

Sum Kal

31 st 25 st

25 t 32 st

31 st 31 st

30 st 40 st

28 st 29 st

37 st 46 st

30 st 31 st

41 st 41 st

29 st 45 st

40 st 48 st

P2O5-HCl (mg/100 g tnh)

Sum Kal

38 sd 94 st

8 sr 24 sd

50 t 46 t

16 r 31 sd

42 t 58 t

15 r 16 r

65 st 49 t

20 r 34 sd

41 t 22 sd

9 sr 23 sd

K2O-HCl (mg/100 g tnh)

Sum Kal

27 sd 15 r

29 sd 17 r

33 sd 19 r

16 r 14 r

21 sd 24 sd

19 r 14 r

59 t 41 t

33 sd 21 sd

54 r 19 r

26 sd 12 r

P2O5-Bray-I (ppm)

Sum Kal

38,8 st 65,1 st

13,4 r 13,2 r

19,4 sd 71,8 st

17,9 sd 30,7 t

13,2 r 32,3 t

23,4 sd 18,6 sd

1 1,2 r 57,5 st

5,3 sr 41,5 st

34,3 t

25,9 sd

Jumlah basa [cmol( + )/kg tnh]

Sum Kal

23,9 t 6,9 sd

17,7 t 8,5 sd

29,7 t 9,0 sd

21,8 t 8,1 sd

51,5 sts 7,8 sd

39,8 st 5,5 r

22,7 t 4,4 r

21,7 t 4,4 r

14,8 t 3,4 r

9,0 sd 4,1 r

Ca-dapat tukar [cmol( + )/kg tnh]

Sum Kal

9,20 sd 2,79 r

6,13 sd 2,08 r

12,03 t 3,70 r

7,20 sd 2,46 r

15,38 t 5,18 r

12,23 t 2,22 r

4,79 r 2,06 r

6,05 sd 1,46 sr

8,09 sd 1,07 sr

2,24 r 1,71 sr

Mg-dapat tukar [cmol( + )/kg tnh]

Sum Kal

1 1,70 st 3,60 t

8,83 st 5,74 t

14,21 st 3,73 t

1 1,64 st 4,26 t

25,60 sts 2,10 t

1 6,36 sts 2,70 t

7,19 t 1,86 sd

7,87 t 2,37 t

4,66 t 1,86 sd

5,34 t 1,87 sd

K-dapat tukar [cmol( + )/kg tnh]

Sum Kal

0,48 sd 0,20 r

0,41 sd 0,18 r

0,76 sd 0,61 sd

0,60 sd 0,28 r

0,92 t 0,25 r

0,87 t 0,16 r

1,16 st 0,21 r

0,68sd 0,20 r

1,24 st 0,26 r

0,47 sd 0,15 r

Na-dapat tukar [cmol( + )/kg tnh]

Sum Kal

2,40 st 0,33 sd

2,60 st 0,58 sd

2,68 st 0,94 t

2,46 st 1,13 st

5,99 sts 0,26 r

7,80 sts 0,42 sd

1,97 st 0,24 r

3,28 st 0,32 sd

1,79 st 0,19 r

0,90 t 0,41 sd

62 23

49 56

56 35

25 9

C hC

SiC hC

SiC hC

12 19

Sifat-sifat tanah

Pulau

KTK-pH 7 [cmol( + )/kg tnh]

SMP bergambut

Gambut dangkal Lap. Bwh

Gambut sedang Lap. Atas

Lap. Bwh

Gambut dalam Lap. Atas

Lap. Bwh

Gambut sangat dalam

Lap. Atas

Lap. Bwh

Lap. Atas

Lap. Atas

Lap. Bwh

Sum Kal

88,1 st 65,0 st

32,2 t 34,5 t

100,7 sts 91,2 st

72,9 st 84,5 st

120,4 sts 78,8 st

84,4 st 73,2 st

115,5 sts 104,1 sts

123,9 sts 73,6 st

128,9 sts 121,5 sts

134,2 sts 113,2 sts

Kejenuhan basa (%)

Sum Kal

36 sd 24 sr

54 sd 25 r

37 sd 1 5 sr

40 sd 12 sr

43 sd 14 sr

57 sd 11 sr

15 sr 5 sr

18 sr 21 r

10 sr 3 sr

15 sr 5 sr

Kejenuhan Al (%)

Sum Kal

30 r 69 t

37 r 66 t

23 r 60 sd

33 r 73 t

7 sr 45 sd

14 sr 68 t

10 sr 59 sd

22 r 56 sd

Pirit (%)

Sum Kal

0,46 sr 0,33 sr

1,87 r 0,76 sr

1,20 sr

0,93 sr

0,64 sr

0,89 sr

0,26 sr

1,07 sr

0,27 sr

0,60 sr

Catatan: Tekstur, PH-H2O, dan masing-masing kandungan sifat/hara dihitung berdasarkan rata-rata (averages) dari semua profil yang dievaluasi. Tekstur: SiC = liat berdebu; C = liat; hC = liat berat (heavy day). PH-H2O: me = masam ekstrim (extremely acid) (pH:3,5 atau kurang); sms = sangat masam sekali (excessively acid) (pH:3,6-4,5). Kandungan sifat/hara ; sr = sangat rendah; r = rendah; sd = sedang; t = tinggi; st = sangat tinggi; dan sts = sangat tinggi sekali. Sum = Sumatera; Kal = kalimantan.

dan 1,87%, sedangkan kejenuhan AI dan kandungan pirit dari Kalimantan berturut-turut tergolong tinggi (66%) dan sangat rendah (0,76%). b.

Tanah gambut

Gambut-dangkal Gambut-dangkal yang dievaluasi, tercatat mempunyai kedalaman sekitar 50-100 cm. Lapisan gambut bagian atas sedalam 20 cm, umumnya terdiri atas bahan gambut murni, tetapi lapisan gambut bagian bawah antara 20-100 cm, seringkali bercampur bahan tanah mineral, yang dicrikan oleh kandungan fraksi liat cukup tinggi (15-80%). Gambut-sedang Data profil pada Gambut-sedang yang dievaluasi, mempunyai kedalaman antara 104-200 cm. Sebagaimana pada Gambut-dangkal, lapisan gambut bagian atas sedalam 20 cm, umumnya terdiri atas bahan gambut murni. Kandungan bahan organik, di seluruh lapisan bervariasi dari sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali, dengan rata-rata sangat tinggi sekali (31,36-47,20% C). Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCl) di seluruh lapisan bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi, dan cenderung menurun di lapisan-lapisan bawah. Dengan demikian, rata-rata kandungan P2O5 tergolong tinggi (42-58 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan rendah (15-16 mg/100 g tanah) di lapisan bawah.

Gambut-dalam Data profil dari Gambut-dalam yang dievaluasi, memiliki kedalaman antara 210-300 cm. Sebagaimana pada Gambut-sedang, seluruh lapisan gambut bagian atas sedalam 20 cm tersusun dari bahan gambut murni. Sementara lapisan gambut bawah antara 20-300 cm, sebagian kecil di lapisan bawah tersusun dari campuran antara bahan organik dan bahan tanah mineral, khususnya fraksi liat dan debu. Pada Gambut-dalam dari Sumatera, kandungan liat dan debu tanah mineralnya masing-masing berkisar antara 31-65% dan 34-69%, sehingga tanah mineral tersebut mempunyai tekstur liat berdebu. Sementara pada Gambut-dalam dari Kalimantan, kandungan

liat tanah mineralnya sedikit lebih tinggi (34-73%), dengan fraksi debu lebih rendah (27-62%), sehingga menunjukkan tekstur liat. Nilai pH gambut di seluruh lapisan, bervariasi dari <3,5 (masam ekstrim) sampai 4,5 (sangat masam sekali), relatif tidak berubah, atau sedikit meningkat di lapisanlapisan bawah. Rata-rata reaksi tanah adalah sangat masam sekali (pH 3,63,7) di seluruh lapisan. Kandungan garam-garam larut, dinyatakan sebagai daya hantar listrik, sangat rendah (rata-rata 0,2-0,5 dS/m) di seluruh lapisan gambut (Tabel 2.8). Kandungan bahan organik di seluruh lapisan sangat tinggi sekali, baik pada gambut Sumatera maupun gambut Kalimantan, dan relatif tidak berubah ke lapisan-lapisan di bawahnya dengan rata-rata 35,15-56,98% di seluruh lapisan. Kandungan N juga tergolong sangat tinggi di seluruh lapisan, dengan rata-rata 0,95-1,94%. Demikian juga nilai rasio C/N sangat tinggi, pada semua lapisan gambut, dengan rata-rata 30-41. Kandungan P2O5 potensial (P2O5-HCl) pada lapisan atas sekitar 50 cm, umumnya bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi, dan menurun menjadi sangat rendah sampai sedang di lapisan-lapisan gambut bawah, dengan rata-rata tinggi sampai sangat tinggi (49-65 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan rendah sampai sedang (20-34 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan K2O potensial (K2O-HCl) mirip dengan penyebaran P2O5 potensial, yaitu relatif tinggi pada lapisan atas gambut sedalam sekitar 50 cm, kemudian menurun di lapisan-lapisan bawah. Rata-rata kandungan K2O potensial tersebut termasuk tinggi (41-59 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang (21-33 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan P2O5tersedia, pada gambut Sumatera, rata-rata rendah (11,2 ppm) di lapisan atas, dan sangat rendah (5,3 ppm) di lapisan bawah. Sementara kandungan P2O5tersedia gambut Kalimantan lebih baik, yaitu rata-rata sangat tinggi (41,557,5 ppm) di seluruh lapisan. Jumlah basa-basa dapat tukar pada Gambut-dalam dari Sumatera tampaknya

lebih

baik,

dibandingkan

dengan

Gambut-dalam

dari

Kalimantan. Jumlah basa di dalam profil-profil tanah gambut Sumatera, bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi sekali, dengan rata-rata tinggi (21,7-22,7 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas dan bawah. Hal ini tercermin juga oleh kandungan Mg dan Na pada lapisan atas dan bawah

tergolong tinggi (7,19-7,87 cmol(+)/kg tanah) dan sangat tinggi (1,97-3,28 cmol(+)/kg tanah). Sementara rata-rata kandungan Ca-dapat tukar rendah (4,79 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedang (6,05 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah; dan kandungan K-dapat tukar rata-rata sangat tinggi (1,16 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedang (0,68 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan basa-basa tanah gambut dari Kalimantan lebih rendah, sebarannya di dalam profil bervariasi dari sangat rendah sampai sedang, dengan rata-rata rendah (4,35-4,37 cmol(+)/kg tanah) di semua lapisan. Kation Mg dan Na di lapisan atas dan lapisan bawah, masing-masing terdapat dalam jumlah sedang (1,86 cmol(+)/kg tanah) dan tinggi (2,37 cmol(+)/kg tanah), serta rendah (0,24 cmol(+)/kg tanah) dan sedang (0,32 cmol(+)/kg tanah). Gambut-sangat dalam Data profil Gambut-dalam memiliki kedalaman antara 300-665 cm, sebagian besar antara 300-500 cm, dan sebagian lagi antara 610-665 cm. Seluruh lapisan Gambut-sangat dalam berupa bahan organik murni. Kandungan bahan organik di semua lapisan sangat tinggi sekali, baik pada gambut Sumatera maupun gambut Kalimantan, dan relatif tidak berubah di lapisan-lapisan di bawahnya, dengan rata-rata tergolong sangat tinggi sekali (44,70-56,39%) di semua lapisan. Kandungan N juga bervariasi sangat tinggi di seluruh lapisan gambut, dengan rata-rata sangat tinggi (1,062,02%). Demikian juga nilai rasio C/N terdapat sangat tinggi pada semua lapisan gambut, dengan rata-rata sangat tinggi (C/N 29-48). Kandungan garam-garam larut sangat rendah dengan rata-rata 0,2-0,8 dS/m di seluruh lapisan. (Tabel 2.8). Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCl) pada gambut Sumatera, bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi di lapisan atas, dan sangat rendah sampai rendah di lapisan bawah, dengan rata-rata tinggi (41 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sangat rendah (9 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Sementara P2O5 potensial gambut dari Kalimantan, bervariasi dari rendah sampai tinggi di seluruh lapisan, dengan rata-rata sedang (22-23 mg/100 g tanah). Kandungan K2O potensial, pada gambut Sumatera bervariasi dari

sedang sampai sangat tinggi di lapisan atas, dan sangat rendah sampai sedang di lapisan-lapisan bawah, dengan rata-rata tinggi (54 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang (26 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan K2O potensial gambut Kalimantan sangat rendah sampai rendah/sedang di seluruh lapisan, dengan rata-rata tergolong rendah (12-19 mg/100 g tanah). Kandungan fosfat tersedia (P2O5-Bray I) hanya tersedia data dari gambut Kalimantan, yang bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi di lapisan atas, tetapi kemudian menurun menjadi sangat rendah sampai tinggi, dan seterusnya sangat rendah sampai rendah di lapisan- lapisan di bawahnya. Rata-rata kandungan P-tersedia termasuk tinggi (34,3 ppm) di lapisan atas dan sedang (25,9 ppm) di lapisan bawah.

DAFTAR PUSTAKA Alihamsyah, T. 2001. Propek pengembangan dan pemanfaatan lahan pasang surut dalam perspektif eksplorasi sumber pertumbuhan pertanian masa depan. Dalam I.Ar- Riza, T. Alihamsyah, dan M. Sarwani (Eds.). Pengelolaan Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut. Monograf ISSN 1410637 X. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Hlm. 118. Andriesse, J.P. 1997. The reclamation of peatswamps and peat in Indonesia. Widiatmaka (ed.). Center for Wetland Studies, Faculty of Agric., Bogor Agric. University. Bloomfield, C. and J.K. Coulter. 1973. Genesis and management of acid sulphate soils. p. 265-326. Advances in Agronomy. BPS, Jakarta - Indonesia. BPS (Badan Pusat Statistik). 2001. Statistik Indonesia 2001. BPS, Jakarta-Indonesia. Brinkman, R., and L.J. Pons. 1968. A pedo-geomorphologial classification and map of the holocene sediments in the coastal plain of the three Guianas. Soil Survey Papers 4, Stiboka, Wageningen. Cameron, C.C,, Supardi, T.J. Malterer, and J.S. Esterle. 1987. Peat resources mapping along the Batang Hari river, near Jambi, South Sumatra. lnt. Peat Soc. Symp. on Tropical Peat and Peatlands, Yogyakarta.

Davis, S.N., P.H. Reitan, and R. Pestrong. 1976. Geology. Our Physical Environment. McGraw-Hill Book Company. 470 pp. Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A baseline for research and development. International Land Reclamation Institutes Publ. 39, Wageningen, The Netherlands. Diemont, W.H., and L.J. Pons. 1991. A preliminary note on peat formation and gleying in the Mahakam inland floodplain, East Kalimantan, Indonesia. p. 74-80. In. Aminuddin, B.Y. (ed.). Tropical Peat. Proc. Int. Symp. on Tropical Peatland, Kuching, Sarawak, Malaysia, 6-10 May 1991. Holmes, D.L. 1978. Holmes Principles of Physical Geology. A Halsted Press book. John Wiley & Sons. New York. 730 pp. IPB (Institut Pertanian Bogor). 1969. Laporan Survei ke Daerah Pasang Surut S. Reteh, Riau. IPB dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Desember 1969. IPB (Institut Pertanian Bogor). 1978a. Laporan Survei dan Pemetaan Tanah Daerah Air Saleh, Sub-P4S Sumatera Selatan. IPB-P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. April 1976. IPB (Institut Pertanian Bogor). 1978b. Soil Surveys and Soil Mapping of Karangagung Area, Sub-P4S South Sumatra. IPB-Tidal Swampland Develop. Project, Direct. Gen. Water Resourc. Develop., Ministry of Public Works and Electric Power. June 1978. Jansen, J.A.M., H. Prasetyo, Alkasuma, and W. Andriesse. 1990. Landscape Genesis and Physiography of Pulau Petak as Basis for Soil Mapping. LAWOO/AARD Scientific Report No. 18. ILRI, Wageningen. Jaya, A. 2002. Sebaran gambut di Kalimantan Tengah dan kandungan karbon. h. 161-172. Dalam CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia). 2003. Sebaran Gambut di Indonesia. Seri Prosiding 02. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Konsten, C.J.M., and M. Sarwani. 1990. Actual and potential acidity and related chemical characteristics of acid sulphate soils in Pulau Petak, Kalimantan. p. 30-50. In Papers Workshop on Acid Sulphate Soils in

the Humid Tropics. Bogor, 20-22 November 1990. AARD and LAWOO. Konsten, C.J.M., S. Suping, I B. Aribawa, and I P.G. Widjaja-Adhi. 1990. Chemical processes in acid sulphate soils in Pulau Petak, South and Central Kalimantan, Indonesia. p. 109-135. In Papers Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor, 20-22 November 1990. AARD and LAWOO. Konsten, C.J.M., W. Andriesse, and R. Brinkman. 1986. A field laboratory method to determine total potential and actual acidity in acid sulphate soils. p. 106134. In H. Dost (ed.). Selected Papers of the Dakar Symposium on Acid Sulphate Soils. Dakar, Senegal, January 1986. ILRI publication 44, Wageningen, The Netherlands. Langenhoff, R. 1986. Distribution, Mapping, Classification and Use of Acid Sulphate Soils in the Tropics. A literature Study. STIBOKA Intern. Comm. No. 74, Wageningen, The Netherlands. LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1969. Survey Tanah Delta Kapuas, Kalimantan Barat, 1968-1969. Dokumen LPT No. 7/1969. Direktorat Jenderal Pertanian, Departemen Pertanian.

LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1974. Survey dan pemetaan Tanah Daerah S. EnokDelta S. Retih, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Publ. LPT No. 3/1975. LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1975. Survey dan Pemetaan Tanah Daerah BunutKuala Kampar, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Publ. LPT No. 10/1975. LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1976a. Survey dan Pemetaan Tanah Daerah Sungai Rokan, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Publ. LPT No. 5/1976. LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1976b. Survey dan Pemetaan Tanah Daerah Sungai Siak, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Publ. LPT No. 6/1976. Michaelsen, J., and H.L. Phi. 1998. Field experiment in Ly Nhon. p. 71-85. In van den Bosch, H., H.L. Phi, J. Michaelsen, and K. Nugroho. 1988. Evaluation of water management strategies for sustainable land use of acid sulphate soils in coastal lands in the tropics. DLO Winand Staring Centre. Report 157, 177 pp. Wageningen, The Netherlands. Neuzil, S.G. 1997. Onset and rate of peat and carbon accumulation in four domed ombrogenous peat deposits, Indonesia. p. 55-72. In Rieley, J.O., and S.E. Page (Eds.). Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Proceed. Int. Symp. on Biodiversity, Environmental Importance, and Sustainability of Tropical Peat and Peatlands, Palangka Raya, 4-8 Sep. 1995. Pons, L.J. 1970. Acid Sulphate Soils (soils with cat-clay phenomena) and the Prediction of their Origin from Pyrite Muds. Fysisch. Geograf. en Bodemkunde. Lab. Publ. No. 16, Amsterdam, The Netherlands. Pons, L.J., and I.S. Zonneveld. 1965. Soil Ripening and Soil Classification. Initial soil formation in Alluvial deposits and a classification of the resulting soils. ILRI Pub. 13, Wageningen, The Netherlands. Pons, L.J., N. Van Breemen, and P.M. Driessen. 1982. Physiography of coastal sediments and development of potential soil acidity. p. 1-18. In J.A. Kittrick, D.S. Fanning, and L.R. Hossner (Eds.) Acid Sulfate Weathering. Soil Sci. Soc. Am. Spec. Pub. No. 10, Soil Sci. Soc. Am., Madison. WI. Prasetyo H., J.A.M. Jansen, and Alkasuma. 1990. Landscape and soil genesis in pulau Petak. p. 1829. In Papers Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor, 20-22 November 1990. Indonesia.

PPT (Pusat Penelitian Tanah), 1989. Survei dan Pemetaan Tanah Detail Daerah Pasang Surut Karangagung Tengah, Kab. Musi Banyuasin, Prop. Sumatera Selatan. Proyek PPLPSR (Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa)-Swamps- II. 1993a. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa, 1985-1993: Kontribusi dan prospek pengembangan. Badan Litbang Pertanian, Dep. Pertanian. Proyek PPLPSR (Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa)-Swamps- II. 1993b. Petunjuk Teknis Pengelolaan Sistem Usahatani di Lahan Pasang Surut. Badan Litbang Pertanian (tidak dipublikasikan). Proyek PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan). 1998. Prospek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Modern di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Laporan Tim Terpadu. Badan Litbang Pertanian, Dep. Pertanian. Proyek PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan). 1999. Identifikasi dan Karakterisasi Wilayah Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut di Propinsi Sumatera Selatan. Tahap II. laporan Tim Terpadu. Badan Litbang Pertanian, Dep. Pertanian. Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 1997. Laporan Survei dan Pemetaan

Tanah

Tinjau Mendalam Daerah Kerja

A, Proyek

Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar, untuk Pengembangan Tanaman Pangandi Kalimantan Tengah. Tim Peneliti Puslittanak (unpublished) . Hlm 173. Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 1998a. Laporan Survei dan Pemetaan

TanahTinjau Mendalam Daerah Kerja B, Proyek Pengembangan

Lahan Gambut Sejuta Hektar, untuk Pengembangan TanamanPangan di Kalimantan Tengah. TimPeneliti Puslittanak (unpublished) . Hlm 142. Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 1998b. Laporan Final Survei dan Pemetaan Tanah Tinjau Mendalam Daerah Kerja D, Proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar, untuk Pengembangan Tanaman Pangandi Kalimantan Tengah. Tim penelitiPuslittanak, (unpublished). Hlm 131. Soil Survey Staff. 1975. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification for Making and Interpreting Soi Surveys. Agr. Handb. 436, Soil Conservation Service-USDA. Soil Survey Staff. 1999. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification for Making and Interpreting Soil Surveys. Second Edition. Agr. Handb. 436,

Natural Resources Conservation Service-USDA. Soil Survey Staff. 2003. Keys Soil Taxonomy. Ninth Edition, 2003. Natural Resources Conservation Service-USDA. SRI (Soil Research Institute). 1973. Report on soil investigations of the Delta Pulau Petak, South and Central Kalimantan. Direct. Gen. of Agric., Ministry of Agric., SRI No. 5/1973. Strahler, A.N. 1973. Introduction to Physical Geography. Third Edition. John Wiley & Sons. New York, London, Sydney, Toronto. 468 pp. Subagyo, H. 2002. Penyebaran dan potensi tanah gambut di Indonesia untuk pengembangan pertanian. h. 197-227. Dalam CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia). 2003. Sebaran Gambut di Indonesia. Seri Prosiding 02. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.

Sudarsono. 1999. Pemanfaatan dan pengembangan lahan rawa/pasang surut untuk pengembangan pangan. h. 81-93. Dalam Irsal Las et al. (penyunting) Prosid. Sem. Nas. Sumberdaya Lahan, Cisarua-Bogor, 9-11 Pebruari 1999. Buku 1. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Van Bremen, N. 1973. Soil forming processes in acid sulphate soils. p. 66-130. In Dost, H. (ed.). Acid Sulphate Soils. I. Introductory Papers and Bibliography. Proc. Intern. Symp., 13-20 August 1972, Wageningen, The Netherlands. Van Dam, D., and L.J. Pons. 1973. Micropedological observations on pyrite and its pedological reaction products. p. 169-196. In Dost, H. (ed.). Acid Sulphate Soils. II. Research Papers. Proc. Intern. Symp., 13-20 August 1972, Wageningen, The Netherlands. Van Wijk, A.L.M., I P.G. Widjaja-Adhi, C.J. Ritsema, and C.J.M. Konsten. 1992. A simulation model for acid sulphate soils, II. Validation and application. p. 357367. In D.L. Dent, and M.E.F. van Mensvoort (ed.). Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symp. on Acid Sulphate Soils, Vietnam, March 1992. ILRI publ. 53, Wageningen, The Netherlands. Widjaja-Adhi, I P.G. 1995a. Potensi, Peluang, dan Kendala Perluasan Areal Pertanian di Lahan Rawa di Kalimantan dan Irian Jaya. Sem. Perluasan Areal Pertanian di KTI. PIl, Serpong 7-8 November 1995 (tidak dipublikasi).

Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya lahan rawa: Potensi, keterbatasan, dan pemanfaatan. h. 1938. Dalam Sutjipto P. dan M. Syam (penyunting). Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992. Wiradinata, O.W., dan R. Hardjosusastro. 1979. Penyebaran dan beberapa sifat gambut di daerah Sumatera Selatan. h. A18-01-A18.11. Makalah dalam Simposium Nasional III Pengembangan Daerah Pasang Surut, Palembang 5-9 Februari 1979.

Related Documents


More Documents from "wahyusoil unhas"