BAB I PENDAHULUAN
Diperkirakan 15 persen dari 3000 spesies ular yang ditemukan di seluruh dunia dianggap berbahaya bagi manusia. Dalam tiga tahun terakhir, American Association of Poison Control Centers telah melaporkan rata-rata terdapat 6000 kasus gigitan ular (snake bites) per tahun nya, dan 2000 kasus diantaranya disebabkan oleh ular berbisa1. Untuk Indonesia, tidak terdapat data reliabel yang tersedia untuk mengetahui angka mortalitas dan morbiditas gigitan ular. Gigitan ular dan kematian di laporkan pada beberapa pulau, misalnya Komodo, namun kurang dari 20 kematian dicatat setiap tahunnya2. Terkena bisa ular (envenomed) dan kematian yang disebabkan gigitan ular, merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama pada pedalaman tropis. Masyarakat pada daerah ini mengalami mortalitas dan morbiditas yang tinggi karena akses yang buruk menuju sarana kesehatan3. Ular berbisa –yang terdapat hampir di semua negara, kecuali antartikamelumpuhkan mangsanya dengan menyuntikkan air liur yang telah dimodifikasi (bisa) yang mengandung racun ke dalam jaringan mangsa mereka melalui taring-taringnya-gigi berongga khusus. Ular juga menggunakan bisanya untuk membertahankan diri dan akan menggigit mereka yang mengancam, mengejutkan, atau memancingnya. Gigitan ular yang disebabkan oleh famili Viperidae ( contohnya pit viper) dan Elapidae ( contohnya krait dan kobra) adalah yang utama berbahaya bagi manusia. Pengobatan terbaik untuk gigitan ular manapun adalah membawa korban ke rumah sakit secepat mungkin di mana antibisa (campuran antibodi yang menetralkan bisa) dapat diberikan3. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka kami menulis mengenai gigitan ular, agar dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai bahaya dan cara penanganan terhadap gigitan ular, khususnya ular berbisa.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular baik ular berbisa ataupun tidak berbisa.Akibat dari gigitan ular tersebut dapat menyebabkan kondisi medis yang bervariasi, yaitu: a.
Kerusakan jaringan secara umum, akibat dari taring ular
b. Perdarahan serius bila melukai pembuluh darah besar c.
Infeksi akibat bakteri sekunder atau patogen lainnya dan peradangan
B. JENIS ULAR DAN CARA MENGIDENTIFIKASINYA Tidak semua spesies ular memiliki bisa sehingga pada kasus gigitan ular perlu dibedakan atas gigitan ular berbisa atau gigitan ular tidak berbisa. Ular berbisa yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian depan dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum hipodermik) atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari korban. Selain melalui taring, bisa dapat juga disemburkan seperti pada ular kobra yang meludah dapat memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk semprotan yang diarahkan pada mata korban. Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuranular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi. Dari ribuan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu: 1. Familli Colubridae, kebanyakan ular berbisa masuk dalam famili ini, misalnya ular pohon, ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus
2
atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Pada umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. 2. Famili Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen misalnya ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah), ular welang, ular anang dan ular cabai.
3. Familli Crotalidae/ Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya.Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata.misalnya adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris), ular hijau dan ular bandotan puspo. 3
Gambar 1. ular hijau yang banyak terdapat di Indonesia (Sumber : Poisonus Snake in Indonesia, 2010)
4. Familli Hydrophidae, misalnya ular laut. Ketiga family ular berbisa yang disebutkan terakhir ini memiliki jenis bisa kuat yang terdapat di Indonesia.
4
Ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun, beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring.
Gambar 2. Gigitan ular dan Bisa
5
Tabel 1. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa Tidak berbisa
Berbisa
Bentuk Kepala
Bulat
Elips, segitiga
Gigi Taring
Gigi Kecil
2 gigi taring besar
Bekas Gigitan
Lengkung seperti U
Terdiri dari 2 titik
Warna
Warna-warni
Gelap
C. BISA ULAR Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik5. a. Komposisi Bisa Ular Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein, termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki efek klinis2 : a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun dapat pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel mengandung beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera, dan terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan darah menjadi sangan rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat membeku. b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous systemic haemorrhage).
6
c. Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan fosfolipase A)
racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan
permeabilitas membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat menghancurkan membran sel dan jaringan. d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – ennzim ini dapat menghancurkan membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah. e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae) – merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya. f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) –polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis yang mirip seperti paralisis kuraonium2
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNAase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun6. b. Sifat Bisa Ular Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan. a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematotoksik) Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga sel darah merah menjadi hancur dan larut (hemolysis) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput mukosa (lendir) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain. b. Bisa ular yang bersifat racun terhadap saraf (neurotoksik) 7
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik). Penyebaran dan peracunan selanjut nya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe4. c. Bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan. Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya. Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan
C. PATOFISIOLOGI GIGITAN ULAR BERBISA Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya. Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan. Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahanbahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah diidentifikasi pada bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstitial di paru-paru. Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap 8
perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek blokade neuromuskuler dapat menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal7.
D. TANDA DAN GEJALA GIGITAN ULAR BERDASARKAN JENIS ULAR Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan: a.
Tanda gigitan taring (fang marks)
b.
Nyeri lokal
c.
Perdarahan lokal
d.
Kemerahan
e.
Limfangitis
f.
Pembesaran kelenjar limfe
g.
Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h.
Melepuh
i.
Infeksi lokal, terbentuk abses
j.
Nekrosis
Gigitan Elapidae (misalnya : ular kobra, ular weling, ular sendok, ular anang, ular cabai, coral snake, mambas, kraits) 1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut. 2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit rusak 3. Setelah digigit ular a. 15 menit : muncul gejala sistemik b. 10 jam : paralisis otot-otot wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar berbicara, susah menelan, otot lemas, ptosis, sakit kepala, kulit dingin, muntah, 9
pandangan kabur, parestesia di sekitar mulut. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam Gigitan Viporidae/Crotalidae (misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo) 1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh. 2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam 3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hydropiridae (misalnya ular laut) 1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah. 2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobinuria yang ditandai dengan urin berwarna coklat gelap (penting untuk diagnosis), kerusakan ginjal, serta henti jantung
E. DIAGNOSA KLINIK Anamnesis2 : Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda baik lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting.
2
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat : 1. pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular? 10
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya, adanya bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal. 2. kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular? Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu berlalu sejak pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit segera setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit adalah Kraits (ular berbisa), bila di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau russel viper (ular berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular berbisa), bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air tawar), ular laut (laut atau air payau). 3. perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda? Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari pasien. Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular tersebut dibawa bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk memudahkan identifikasi apakah ular tersebut berbisa atau tidak. Apabila spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular samasekali) pasien dapat segera ditenangkan dan dipulangkan dari rumah sakit. 4. apa yang anda rasakan saat ini? Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat. Gejala gigitan ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang mengalami trombositopenia atau mengalami gangguan pembekuan darah akan mengalami perdarahan dari luka yang telah terjdi lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi urin serta warna urin sejak terkena gigitan ular. Pasien yang mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya neurotoksin.
Pemeriksaan fisik Tidak ada cara yang sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa yang berbahaya. Beberapa ular berbisa yang tidak berbahaya telah berkembang untuk terlihat hampir identik dengan yang berbisa. Akan tetapi, beberapa ular berbisa yang terkenal dapat
11
dikenali dari ukuran, bentuk, warna, pola sisik, prilaku serta suara yang dibuatnya saat merasa terancam.2. Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kelapa segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas gigitan tedapat bekas gigi taring.
Gambar 3. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular berbisa dengan bekas taring (Sumber : Sentra Informasi Keracunan Nasional adan POM, 2012)
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae)2. Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan2: a. Tanda gigitan taring (fang marks) b. Nyeri lokal c. Perdarahan lokal d. Kemerahan e. Limfangitis 12
f. Pembesaran kelenjar limfe g. Inflamasi (bengkak, merah, panas) h. Melepuh i. Infeksi lokal, terbentuk abses j. Nekrosis
a. Umum (general) mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas. b. Kardiovaskuler (viperidae) gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema paru, edema konjunctiva (chemosis) c. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae) perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan yang terusmenerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah menyembuh sebagian (oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik spontan – dari gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria, perdarahan pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa (misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid, ekimosis), serta perdarahan retina. d. Neurologis (Elapidae, Russel viper) mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi nervus kranialis, suara sengau atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung, kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan dan flasid generalisata. e. destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B. candidus, western Russell’s viper Daboia russelii) nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria, hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal akut. f. Sistem Perkemihan
13
nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria, oligouria/anuria, tanda dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual, nyeri pleura, dan lain-lain) g. gejala endokrin insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior. Pada fase akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidism
G. PENATALAKSANAAN KERACUNAN AKIBAT GIGITAN ULAR Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah5: 1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah untuk menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang membahayakan. Langkah-langkah pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.
14
1
2
4 3
5
6
Gambar 6. Metode pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae (Sumber : WHO,2005)
2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah peningkatan penyerapan bisa. Beberapa alat transportasi yang dapat digunakan untuk membawa pasien adalah tandu, sepeda, motor, kuda, kereta, kereta api, atau perahu, atau pasien dapat dipikul (dengan fireman’s metode). Pasien diposisikan miring (recovery posotion) bila ia muntah dalam perjalanan
15
3. Pengobatan gigitan ular Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Metode penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah), insisi (pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit. 4. Terapi yang dianjurkan meliputi: a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril. b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu. Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat. c.
Pemberian
tindakan
pendukung
berupa
stabilisasi
yang
meliputi
penatalaksanaan jalan nafas; penatalaksanaan fungsi pernafasan; penatalaksanaan sirkulasi; penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal. d. Pemberian suntikan antitetanus, bila korban pernah mendapatkan toksoid maka diberikan satu dosis toksoid tetanus. e. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular. f. Pemberian analgesik untuk menghilangkan nyeri. g. Pemberian serum antibisa.
Perawatan Di Rumah Sakit Hal-hal yang harus dilakukan di RS antara lain : a.
Lakukan pemeriksaan klinis secara cepat dan resusitasi termasuk ABC (airway, breathing, circulation), penilaian kesadaran, dan monitoring tanda vital 16
b. Buat akses intravena, beri oksigen dan resusitasi lain jika diperlukan c.
Lakukan anamnesa yang meliputi bagian tubuh mana yang tergigit, waktu terjadinya gigitan dan jenis ular
d. Lakukan pemeriksaan fisik : -
Bagian yang digigit untuk mencari bekas gigitan (fang marks), walaupun terkadang bekas tersebut tidak tampak, bengkak ataupun nekrosis
-
Palpasi arteri di distal lesi (untuk mengetahui ada tidaknya kompartemen sindrom)
-
Cari tanda-tanda perdarahan (gusi berdarah, perdarahan konjungtiva, perdarahan di tempat gigitan)
-
Cari tanda-tanda neurotoksisitas seperti ptosis, oftalmoplegi, paralisis bulbar, hingga paralisis dari otot-otot pernapasan
-
Khusus untuk ular laut terdapat tanda rigiditas pada otot
-
Pemeriksaan urin untuk mioglobinuri
e.
Lakukan pemeriksaan darah yang meliputi pemeriksaan darah rutin, tes fungsi ginjal, PPT/PTTK, tes golongan darah dan cross match
f.
Anamnesa ulang mengenai riwayat imunisasi, beri anti tetanus toksoid jika merupakan indikasi
g. Rawat inap paling tidak selama 24 jam (kecuali jika ular yang menggigit adalah jenis ular yang tidak berbisa)
SERUM ANTI BISA ULAR Satu satunya terapi spesifik terhadap bisa ular adalah dengan anti venom. Pemberian seawal mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik. Terapi ini dapat diberikan jika tanda tanda penyebaran bisa secara sistemik ada. Untuk efek lokal, anti venom biasanya tidak efektif jika diberikan lebih dari 1 jam.2 Indikasi pemberian anti venom antara lain : a. Abnormalitas hemostatik, misalnya perdarahan sistemik spontan dan trombositopeni (<100000) b. Neurotoksisitas c.
Gangguang kardiovaskuler (hipotensi atau syok)
d. Rhabdomiolisis generalisata (rasa nyeri pada otot) 17
e.
Gagal ginjal akut
f. Efek lokal yang signifikan, seperti misalnya pembengkakan lokal lebih dari setengah besar ekstremitas yang terkena, nekrosis atau hematom yang luas, atau bengkak yang membesar dengan cepat g. Temuan laboratorium seperti anemia, trombositopeni, leukositosis, peningkatan enzim hepar, hiperkalemia, dan mioglobinuri Pilihan Anti Venom: a.
Jika jenis ular diketahui, usahakan pemberian anti venom yang spesifik (monovalen) karena akan lebih efektif dan efek samping yang lebih sedikit
b.
Jika jenis ular tidak diketahui, manifestasi klinis mungkin dapat digunakan untuk memperkirakan jenis ular :
-
Pembengkakan lokal dengan tanda kelainan neurologis = ular kobra/elapidae
-
Pembengkakan lokal yang ekstensif dengan perdarahan = ular tanah/ viperidae
c.
Anti venom polivalen jika belum jelas
Dosis Dan Cara Pemberian Jumlah pemberian biasanya berdasar empirik. Rekomendasi pemberian dari pabrik yang ada biasanya berdasarkan uji pada binatang a.
Ulang pemberian anti venom hingga tanda tandanya hilang
b. Pemberian melalui rute intra vena. Larutkan anti venom pada cairan isotonic (5-10 ml/kgBB, pada anak yang lebih besar atau orang dewasa larutkan dalam 500 ml) dan infus seluruhnya dalam 1 jam c.
Infus
dapat
dihentikan
bila
gejala
menghilang
walaupun
dosis
yang
direkomendasikan belum habis Jangan lakukan injeksi di tempat lesi d.
Persiapkan adrenalin, kortikosteroid, antihistamin, dan peralatan resusitasi jika
terjadi reaksi alergi e. Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml dalam NaCl atau Dextrose 5% dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). Antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. 18
Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa. Cara lain adalah dengan menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka dan 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik
Pemberian anti bisa ular dapat menggunakan pedoman dari Parrish, seperti tabel di bawah ini : Derajat 0 I II
Venerasi 0 +/+
Luka gigit + + +
Nyeri +/+ +++
III
++
+
+++
IV
++
+
+++
+
Udem/eritema <3cm/12 jam <3cm/12 jam >12cm25cm/12jam >25cm/12jam
Tanda sistemik 0 0 +. Neurotoksik, mual, pusing, syok ++,syok, petekie,ekimosis Pada satu ++, gangguan faal ekstremitas ginjal, koma, secara perdarahan menyeluruh
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat meningkat maka diberikan SABU
Derajat II: 3-4 vial SABU
Derajat III: 5-15 vial SABU
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa ular dapat melawan envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah menetap selama beberapa hari, atau pada kasus kelainan haemostasis, yang dapat belangsung dua minggu atau lebih. Untuk itu, pemberian anti bisa tepat diberikan selama terdapat bukti terjadi koagulopati persisten. Apakah antibisa ular dapat mencegah nekrosis lokal masih menjadi kontroversi, namun beberapa bukti klinins menunjukkan bahwa agar antibisa efektif pada keadaan ini, anti bisa ular harus diberikan pada satu jam pertama setelah gigitan.
19
Kandungan Serum Anti Bisa Ular Tiap ml dapat menetralisasi : a. Bisa ular Ankystrodon rhodosoma 10-50 LD50 b. Bisa ular Bungarus fascinatus 25-50 LD50 c. Bisa Ular Naya sputatrix 25-50 LD50 d. Dan mengandung Fenol 0,25% sebagai pengawet
Cara Penyimpanan Serum Anti Bisa Ular Penyimpanan serum antibisa ular adalah pada suhu 20-80 C dengan waktu kadaluwarsa 2 tahun.
PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Pemeriksaan laboratorium : 1. Penghitungan jumlah sel darah 2. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time 3. Fibrinogen dan produk pemisahan darah 4. Tipe dan jenis golongan darah 5. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin 6. Urinalisis untuk myoglobinuria 7. Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik b. Pemeriksaan radiologis : 1. Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum 2. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal
OBSERVASI DAN EVALUASI RESPON TERHADAP PEMBERIAN ANTIBISA ULAR Bila dosis adekuat dari antibisa yang tepat telah diberikan, beberapa respon di bawah ini dapat diobservasi. a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan dapat hilang secara cepat.
20
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30 menit. c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka yang menyembuh sebagian terhenti lebih cepat d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit pertama dan aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan membaik dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya membutuhkan waktu bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular laut) tidak tampak respon. f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna urin akan kembali ke warna normal.
Pada pasien yang terkena bisa ular viper, setelah terjadi respon awal terhadap antibisa ular (perdarahan berkurang, koagulopati darah terhenti), tanda keracunan sistemik dapat terjadi kembali dalam 24-48 jam. Hal ini dapat terjadi karena : a. Absorbsi bisa yang berlanjut dari ‘depot’ pada lokasi gigitan, kemungkinan didukung oleh peningkatkan aliran darah setelah koreksi syok, hipovolemia, dsb, setelah terjadi eliminasi antibisa (tergantung waktu paruh antibisa : IgG 45 jam, F(ab’)2 80-100 jam; Fan 12-18 jam) b. Redistribusi bisa dari jaringan ke dalam ruang intravaskuler, diakibatkan oleh terapi antibisa.
kriteria pengulangan dosis inisiasi anti bisa ular : a. koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jam atau perdarahan setelah 1-2 jam, terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah 1-2 jam. b. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal antibisa, dosis yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis besar antibisa diberikan (
lebih dari cukup untuk menetralisasi enzim pro
koagulan bisa ular) diberikan pada awal, waktu yang dibutuhkan oleh hepar untuk 21
memperbaiki tingkat koagulasi fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9 jam. c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus diulang antara 1-2 jam. d. Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis awal antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus dipertimbangkan. H. KOMPLIKASI GIGITAN ULAR Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper. Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler, komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler
timbul
dari
envenomasi
ularkoral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat (anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada korban tanpa intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala, bersin, pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 – 2 minggu setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG) pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia, urtikaria, dan glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid7.
I. PROGNOSIS GIGITAN ULAR Meskipun kebanyakan korban gigitan ular berbisa dapat tertolong dengan baik, memprediksi prognosis pada tiap kasus individu dapat menjadi sulit. Disamping fakta bahwa mungkin terdapat sebanyak 8000 kasus gigitan ular berbisa, terdapat kurang dari 10 kematian, dan kebanyakan dari kasus fatal ini tidak mencari pertolongan karena suatu alasan dan lain hal. Jarang terjadi untuk seseorang meninggal sebelum mencapai 22
perawatan medis di AS. Kebanyakan ular tidak berbisa jika menggigit. Jika tergigit oleh ular tidak berbisa, korban akan pulih. Komplikasi yang mungkin dari gigitan ular tak berbisa meliputi gigi yang tertahan pada luka gigitan atau infeksi luka (termasuk tetanus). Ular
tidak
membawa
atau
mentransmisikan
rabies6.
Tidak semua gigitan oleh ular berbisa menghasilkan racun berbisa. Pada lebih dari 20% gigitan oleh rattlesnake dan moccasin, sebagai contoh, tidak ada bisa yang disuntikan. Hal ini disebut gigitan kering yang bahkan lebih umum pada gigitan yang diakibatkan oleh elapid. Gigitan kering (tanpa injeksi bisa ular) memiliki komplikasi yang sama dengan gigitan ular tidak berbisa. Seorang korban yang masih sangat muda, tua, atau memiliki penyakit sistemik lain sebagian besar tidak mampu mentoleransi jumlah injeksi bisa yang sama dengan orang dewasa yang sehat. Ketersediaan perawatan medis darurat dan, yang paling penting, antibisa ular, dapat mempengaruhi bagaimana keadaan korban. Efek bisa yang serius dapat tertunda untuk beberapa jam. Seorang korban yang awalnya terlihat baik kondisinya dapat menjadi sangat kesakitan. Seluruh korban yang tergigit oleh ular berbisa harus segera mendapat perawatan medis tanpa harus ditunda-tunda6.
23
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
KASUS : A. Identitas Pasien Nama
: Ny. S
Umur
: 55 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: keron kidul, RT 3 RW 6 Wuryorejo, Wonogiri
Pekerjaan
: Petani
Tanggal MRS
: 16 februari 2019
Tanggal Periksa
: 16 februari 2019
B. Anamnesis Keluhan Utama
: nyeri pada tangan kanan
Riwayat Penyakit Sekarang : pasien datang dengan ke IGD RSUD Soediran Mangun Sumarso dengan keluhan nyeri pada tangan kanan, keluhan dirasakan 30 menit sebelum masuk Rumah Sakit
setelah penderita digigit ular berwarna hijau
saat sedang
membersihkan rumput di pinggir sawa. pasien mengaku tangan kanan sangat nyeri dan dirasakan terus menerus, nyeri sampai dirasakan ke lengan kanan atas sampai terasa panas, bengkak .
Mual dan muntah disangkal, perdarahan di
tempat gigitan (+) tidak aktif, berdebar-debar disangkal, dan tidak ada lemah anggota tubuh , buang air kecil dalam batas normal dan juga menyangkal adanya gusi berdarah.
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Adanya perdarahan yang sukar berhenti (-), asma (-)
24
Riwayat Penyakit Keluarga : Anggota keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Riwayat DM (), Hipertensi (-), sakit jantung (-), asma (-), sakit ginjal (-), sakit kuning (-)
Riwayat Alergi : Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat-obatan dan makanan tertentu.
C. Pemeriksaan Fisik Status Present Keadaan Umum
: sedang
Ekspresi Wajah
: tampak kesakitan
Kesadaran / GCS
: CM / E4V5M6
Berat badan
: 60 kg
Vital Sign Tekanan darah
: 140/80 mmHg
Denyut Nadi
: 90 x / menit, teratur, kuat angkat
Pernafasan
: 20 kali/ menit, teratur
Suhu aksila
: 36,6 ‘C
Pemeriksaan Kepala / Leher : Kepala : Normochepali Mata : Konjungtiva palpepra anemis -/-, petekie -/-, sclera ikterik -/-, reflek pupil +/+, pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm Wajah : kulit wajah pucat (-), sianosis (-) Telinga : deformitas (-) Hidung : deformitas (-) Mulut
: sianosis bibir (-), mukosa mulut dan lidah merah muda, petekie (-),
stomatitis (-), lidah kotor (-)
25
Leher : Massa (-), pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), distensi v. jugularis (-)
Pemeriksaan Thorax dan Kardiovaskuler : Thorak Bentuk normal simetris, pembesaran kel. Axilla (–) Pulmo Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, Palpasi : Pergerakan simetris, vocal fremitus simetris. Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru. nyeri ketok (–) Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, suara tambahan rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung dan kardiovaskular Inspeksi
: Iktus tak terlihat, pulsasi jantung tak terlihat
Palpasi
: Iktus tak teraba, thrill tidak ada
Perkusi
: Batas atas : ICS 2
Batas bawah : ICS 4
Batas kanan : linea sternalis dextra Batas kiri : linea midclavikularis sinistra Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (–)
Pemeriksaan Abdomen : Inspeksi : Bentuk abdomen normal, permukaan kulit rata, warna kulit normal, umbilikus masuk merata. Distensi (-), venektasi (-), hiperemi (-), sikatrik (-), ulkus (-), hernia (-) Auskultasi : bising usus (+) normal Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen, nyeri ketok (-), pekak beralih (-) Palpasi : supel, nyeri tekan (-), Massa (-), defans muskular (-). Hepar/Lien/Renal tidak teraba
26
Pemeriksaan Pelvic dan inguinal : Pelvis normal, nyeri tekan suprapubic (-). Inguinal normal, benjolan (-), massa (-), nyeri tekan (-), pembesaran KGB (-).
Pemeriksaan Urogenital : -
Pemeriksaan Anal dan Perianal : Extremitas atas : Akral hangat +/+, edema +/-, deformitas -/-, terdapat dua buah luka pada tumit kanan, , bentuk titik ukuran masing-masing 0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2 cm. warna kulit sekitar luka , edema (+). Nyeri tekan (+).bula (+) Status lokalis Luka : terdapat dua buah luka pada manus kanan, , bentuk titik ukuran masing-masing 0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2 cm. warna, edema (+). Nyeri tekan (+). bula (+), warna kulit merah keunguan.
Gambar 1. Status Lokalis Luka. poto ini di ambil tanggal 18
Extremitas bawah : akral hangat +/+, edema -/-, deformitas -/-, jejas (-) 27
D. Pemeriksaan Penunjang
hasil laboratorium darah lengkap tanggal 16 hemoglobin
:13,7 g/dl
eritrosit
:4,21 juta/ul
leukosit
:5,1 ribu/ul
trombosit
:230 ribu/ul
kimia darah GDS
: 111 mg/dl
Ureum
:11
Kreatinin
:0,63
SGOT
:25
SGPT
:19
Pemeriksaan PT, APTT,INR tanggal 17 PT
:11,8
11-18
APTT
:29,4
27-42
INR
:0,85
0,85-1.15
Pemeriksaan PT, APTT,INR tanggal 19 PT
:11,9
11-18
APTT
:25,2
27-42
INR
:0,82
0,85-1.15
.
28
E. Resume seorang perempuan, 55 tahun, datang dalam keadaan sadar, mengeluh nyeri nyeri pada tangan kanan, bengkak (+) tampah ada bekas gigitan ular (+) tampak darah dari bekas gigitan ,panas (+). Pemeriksaan tanda vital, tekanan darah 140/80 mmHg, denyut nadi 90 x / menit, teratur, kuat angkat, pernafasan 20 kali/ menit, teratur, suhu aksila 36,6 ‘C, pemeriksaan thorax dan abdomen dalam batas normal, status lokalis luka : terdapat dua buah luka pada manus kanan, , bentuk titik ukuran masing-masing 0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2 cm. berwarna kulit merah keunguan, edema (+). Nyeri tekan (+).bula (+)
E. Diagnosis
Snake bite derajat II -III (kriteria Parrish)
F. Planning Planning Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium DL, LFT, PT, APTT,GDS
G. Terapi inf D5%+ 1 ampul SABU 40 Tpm ----> RL 20 tpm inj. Ketorolak 1 ampul / 12 jam inj. Methyl prednisolom 1 ampu/ 12 jam inj. Ranitidin 1 ampul /12 jam
H. Prognosis Dubia ad bonam
I. Observasi Hari I (16 februari 2019) S : nyeri pada tangan kanan, bengkak,. BAB baik, lancar, BAK baik, lancar. O : KU : sedang, Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6) TD : 140/70mmHg N: 88x/mnt RR: 20x/mnt
T: 36,1’C 29
Status lokalis luka : fang marks (+) nyeri tekan (+) bengkak (+) A : Snake Bite II-III P : inf D5%+ 1 ampul SABU 40 Tpm ----> RL 20 tpm inj. Ketorolak 1 ampul / 12 jam inj. Methyl prednisolom 1 ampu/ 12 jam inj. Ranitidin 1 ampul /12 jam cek PT, APTT
Hari II (17 februari 2019) S : nyeri sudah berkurang dan bengkak sampai ke siku, , BAK normal O : KU : sedang, Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6) TD : 130/80 mmHg N: 89x/mnt RR: 20 x/mnt
T: 35,8’C
Status lokalis Status lokalis luka : fang marks (+) nyeri tekan (+) bengkak (+) A : Snake Bite II-III P : inf D5%+ 1 ampul SABU 40 Tpm ----> RL 20 tpm inj. Ketorolak 1 ampul / 12 jam inj. Methyl prednisolom 1 ampu/ 12 jam inj. Ranitidin 1 ampul /12 jam
Hari III (18 Februari 2019) S : nyeri sudah berkurang dan bengkak sampai ke siku, ada benjolan , BAK normal O : KU : sedang, Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6) TD : 140/70 mmHg N: 92 x/mnt RR: 19 x/mnt
T: 36’C
Status lokalis luka : fang marks (+) nyeri tekan (+) bengkak (+) bula (+) A : Snake Bite II-III P:
inf D5%+ 1 ampul SABU 40 Tpm /12 jam ----> RL 20 tpm inj. Ketorolak 1 ampul / 12 jam inj. Methyl prednisolom 1 ampu/ 12 jam inj. Ranitidin 1 ampul /12 jam inj . neurobion / 24 jam
(cek PT, APTT ULANG) 30
aspirasi bula dengan jarum ,kemudian tutup dengan kasa lembab dan kasa kering. Hari IV (19 Februari 2019) S : nyeri sudah berkurang dan bengkak sampai ke siku sudah berkurang, BAK normal O : KU : sedang, Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6) TD : 143/70 mmHg N: 82 x/mnt RR: 19 x/mnt
T: 36’C
Status lokalis luka : fang marks (+) nyeri tekan (+ ) A : Snake Bite II-III P:
inf D5%+ 1 ampul SABU 40 Tpm /24 JAM ----> RL 20 tpm inj. Ketorolak 1 ampul / 12 jam inj. Methyl prednisolom 1 ampu/ 12 jam inj. Ranitidin 1 ampul /12 jam inj . neurobion / 24 jam
Hari V (20 Februari 2019) S : keluhan sudah tidak ada O : KU : sedang, Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6) TD : 140/70 mmHg N: 92 x/mnt RR: 19 x/mnt
T: 36’C
Status lokalis luka : fang marks (+) nyeri tekan ( -) A : Snake Bite II-III P:
inf RL 20 tpm inj. Ketorolak 1 ampul / 12 jam inj. Methyl prednisolom 1 ampul/ 12 jam inj. Ranitidin 1 ampul /12 jam drip. neurobion / 24 jam drip sabu stop BLPL
.
31
BAB IV PEMBAHASAN Pada kasus gigitan ular penting untuk mengetahui apakah ular tersebut berbisa atau tidak berbisa. Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Berdasarkan teori yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk membedakan apakah ular berbisa atau tidak diketahui berdasarkan jenis ular, gambaran luka gigitan, serta gambaran klinis dari korban gigitan ular. Pada kasus ini, diketahui bahwa korban di gigit oleh ular hijau, salah satu ular yang berbisa, itu bisa dilihat dari bekas gigitannya.
dark green pit viper (Trimeresurus T. macrops) Thai specimen (Copyright DDA Warrell)
Segera setelah ular menggigit akan muncul gejala dan tanda pada daerah gigitan berupa tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, perdarahan lokal, kemerahan, limfangitis, pembesaran kelenjar limfe, inflamasi (bengkak, merah, panas), melepuh, infeksi lokal, terbentuk abses,serta nekrosis. Pada korban, didapatkan tanda dan gejala lokal berupa rasa nyeri pada daearah gigitan (manus kanan) yang dirasa terus-menerus. Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan menjalar lengan atas ,terasa panas, baal (kesemutan) dan membengkak, bekas gigitan berdarah. Tanda dan gejala sistemik yang didapatkan berupa keringat dingin dan berdebar-debar. Tidak didapatkan gejala mual, muntah, pusing, serta syok. Pada pemeriksaan fisik kepala, leher, thorax, dan abdomen, tidak didapatkan kelainan. Pada ekstremitas atas , didapatkan luka gigitan pada tangan kanan pasien. Gambaran luka yaitu berbentuk dua buah titik pada manus kanan dan disekitar luka terjadi edema serta perubahan warna kulit merah-keunguan disertai nyeri pada penekanan.
32
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular, menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah, serta mengatasi efek lokal dan sistemik. Metode pertolongan pertama yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal. Pada kasus ini, penanganan yang dilakukan pada korban kurang baik disebabkan saat awal terkena, pada daerah kaki korban sempat dilakukan pengikatan erat karena kurangnya pengetahuan keluarga terhadap penanganan gigitan ular.
Metode
penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah), dapat mempercepat terjadinya nekrosis jaringan karena aliran darah menuju lokasi terhambat, serta apabila tornikuet dibuka maka tekanan yang tinggi pada daerah tersebut menyebabkan racun akan semakin menyebar melalui pembuluh darah dan menumbulkan efek sistemik yang lebih berat.
Pemberian serum anti bisa ular direkomendasikan bila dan saat pasien terbukti atau dicurigai mengalami gigitan ular berbisa dengan munculnya satu atau lebih tanda berikut : Gejala venerasi sistemik Kelainan hemostatik : perdarahan spontan (klinis), koagulopati, atau trombositopenia. Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis, dan lainnya. Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok, arritmia (klinis), kelainan EKG. Cidera ginjal akut (gagal ginjal) : oligouria/anuria (klinis), peningkatan kreatinin/urea urin (hasil laboratorium). Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin coklat gelap (klinis), dipstik urin atau bukti lain akan adanya hemolisis intravaskuler atatu rabdomiolisis generalisata (nyeri otot, hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium). Serta adanya bukti laboratorium lainnya terhadap tanda venerasi. Gejala venerasi lokal : 33
Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari separuh bagian tubuh yang terkena gigitan (tanpa adanya turniket) dalam 48 jam setelah gigitan. Pembengkakan setelah tergigit pada jari-jari ( jari kaki dan khususnya jari tangan). Pembengkakan yang meluas ( misalnya di bawah pergelangan tangan atau mata kaki pada beberapa jam setelah gigitan pada tangan dan kaki), pembesaran kelenjar getah bening pada kelenjar getah bening pada ekstremitas yang terkena gigitan. pada pasien ini diberikan anti venom dengan melihat indikasi dengan adanya pemebengkakan lokal dan pembekan yang meluas dan disertai dengan adanya timbul bula.
34
DAFTAR PUSTAKA 1)
Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. 2002. Review Article : Current Concept Bites Of Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No. 5·August 1, 2002
2)
WHO. 2016. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East Asia Region.
3)
Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A, et al. 2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature Analysis and Modelling Based on Regional Estimates of Envenoming and Deaths. PLoS Med 5(11): e218. doi:10.1371/journal.pmed.0050218
4)
SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke from : www.pdfcoke.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
5)
Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id (diakses pada 30 Maret 2012)
6) Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100 7)
Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
8) Emedicine
Health.
2005.
Snakebite.
available
from
:
http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite 9) Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit. 10) Wangoda R., Watmon B. Kisige M. 2002. Snakebite Management : Experience From Gulu Regional Hospital Uganda.
35