Lapkas Pitriasis Versikolor.docx

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapkas Pitriasis Versikolor.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,559
  • Pages: 15
Laporan Kasus

PITIRIASIS VERSIKOLOR Oleh: Angga Kaharap

16014101069

Ayling Anvina Soeryadi

17014101326

Oras Nadi Yensenem

18014101013

Okky Alexander Kumesan

17014101129

Rahdian Husa

17014101144

Masa KKM : 05 November 2018 – 02 Desember 2018

Pembimbing: Prof. dr. Pieter L. Suling, M.Sc, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO 2018

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul “Pitiriasis Versikolor” Telah dikoreksi, dibacakan, dan disetujui pada

November 2018

Mengetahui, Supervisor Pembimbing

Prof. dr. Pieter L. Suling, MSc, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

BAB I PENDAHULUAN

Pitiriasis versikolor merupakan infeksi jamur superfisial yang paling sering ditemukan. Pitiriasis versikolor adalah infeksi jamur superfisial kronik ringan yang disebabkan oleh jamur malassezia furfur. Pitiriasis versikolor dalam beberapa kasus terjadi karena tidak seimbangnya atara host dan flora jamur tersebut. Ada beberapa faktor yang berkontribusi menganggu keseimbangan tersebut.1 Pada tahun 1846, Eichstedt melaporkan penyakit jamur kulit ini untuk pertama kalinya. Tahun 1853, Robin mengisolasi elemen jamur yang diambil dari lesi kulit dan diberi nama Microsporum furfur. Hence menyebutnya sebagai tinea versikolor. Malassez berhasil mengisolasi sel ragi dari skuama ketombe manusia pada tahun 1874. Studi selanjutnya dilakukan oleh Baillon tahun 1889 yang menggolongkan ragi ini ke dalam genus Malassezia.Sebelumnya, hanya terdapat tiga spesies berasal dari genus Malassezia, yaitu M. furfur, M. pachydermatis,

dan M. sympodialis. Pada tahun 1996, klasifikasi taksonomi

menambah empat spesies berdasarkan morfologi, ultrastruktur, dan biologi molekuler, terdiri dari M. globosa, M. obtusa, M. restrica, dan M. Slooifiae.2 Faktor predesposisi yang mempengaruhi perkembangan pitiriasis versikolor bervariasi, yang perlu diperhatikan adalah faktor lingkungan dan faktor host tersebut. Pitiriasis versikolor diklaim sebagai penyakit yang serius, sangat rentan terjadi pada orang yang malnutrisi. Kehamilan dan kontrasepsi oral juga salah satu faktor dari timbulnya Pitiriasis versikolor. Daerah tropis dengan suhu panas dan kelembapan yang tinggi akan meningkatkan produksi kelenjar sebum dan keringat sehingga pertumbuhan M. furfur meningkat. 3 Pitiriasis versikolor paling dominan mengenai badan bagian atas, tetapi sering juga ditemukan di ketiak, sela paha, tungkai

atas, leher, muka dan kulit kepala. Prevalensi

pitiriasis versikolor lebih tinggi di daerah tropis yang bersuhu panas dan kelembapan relatif. Di dunia prevalensi angka pitiriasis versikolor mencapai 50% di daerah yang panas dan lembab dan 1,1% di daerah yang dingin.4 Diagnosis klinis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran lesi yang sesuai dengan karakteristik pitiriasis versikolor, pemeriksaan fluoresensi kulit dengan lampu Wood, dan sediaan langsung kerokan kulit. Pasien pitiriasis versikolor umumnya hanya mengeluh bercak-bercak putih, kecokelatan, atau merah muda, tidak gatal atau sedikit gatal saat

berkeringat. Lesi khas pitiriasis versikolor berupa makula, plak, atau papul folikular dalam berbagaiwarna, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, sampai eritematosa, berskuama halus di atasnya, dikelilingi kulit normal.Skuama sering sulit terlihat. Untuk membuktikan skuama yang tidak tampak, dapat dilakukan peregangan atau penggoresan lesi dengan kuku jari tangan sehingga skuama tampak lebih jelas.4 Malazzesia furfur yang menyerang stratum korneum merupakan penyebab infeksi jamur kulit pitiriasis versikolor. Lesi dapat meluas jika tidak diobati dengan benar dan faktor predisposisi tidak dieliminas.1

BAB II LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN Nama

: Ari Hari Seran

Umur

: 63 tahun

TTL

: Tonsewer, Minahasa, 16 Agustus 1955

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Tonsewer Lingkungan II

No. Hp

: 0857 5695 2***

Pekerjaan

: Petani Sayur

Suku

: Minahasa

Agama

: Kristen Advent

Pendidikan Terakhir : SD Status Perkawinan

: Menikah

B. ANAMNESIS Keluhan Utama : Timbul bercak-bercakputih di kulit sejak 30 tahun lalu Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien sirosis hepatitis dekompensata, hepatitis B, hypoalbuminia, anemia e.c. cronic disease, dan imbalans elektrolit dikonsulkan oleh Bagian Ilmu Penyakit Dalam dengan keluhan timbul bercak putih sejak 30 tahun lalu. Bercak putih muncul di punggung, dada, perut, kedua lengan dan tangan, kedua tungkai dan kaki. Bercak awalnya muncul di lengan bawah (disadari pasien), kemudian berangsur-angsur muncul di bagian tubuh lainnya lalu menyebar ke seluruh tubuh. Tidak ada nyeri yang dirasakan pada lesi. Pasien merasa gatal saat berkeringat. Bercak tidak disertai dengan mati rasa. Pasien mengaku merasa gatal setelah terkena rumput. Sejak muda, pasien sehari-hari bekerja sebagai petani, sering berkeringat dan jarang mengganti pakaian yang lembap. Pasien mengkau mandi hanya sekali sehari dengan alasan udara yang dingin di lingkungan tempat tinggal pasien.

Riwayat Pengobatan : Pasien mengkonsumsi furosemid, spironolakton, propanolol, dan laktulosa. Pasien tidak pernah memberikan pengobatan pada penyakit kulit yang diderita Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien sudah mengalami penyakit di kulit sejak 30 tahun yang lalu. Pada saat ini pasien didiagnosis dengan sirosis hepatis decompensata, dan hepatitis B. Sebelumnya, pasien mengeluhkan nyeri pada bagian perut. Pasien belum pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya. Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit R.W. Mongisidi, Manado. Riwayat Alergi : Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat, udara, maupun debu. Riwayat Atopi : Pasien tidak memiliki riwayat asma, namun mengaku sering bersin-bersin di pagi hari. Riwaayat Penyakit Keluarga : Hanya pasien yang sakit seperti ini di keluarga Riwayat Sosial dan Ekonomi : Pasien bekerja sebagai petani sayuran. Pasien tinggal di rumah permanen milik sendiri yang dihuni oleh orang yang teridiri dari . Rumah pasien beratap, berdinding, berlantai dan memiliki ventilasi yang baik. Pasien biasa mandi sekali dalam sehari karena udara yang dingin di daerah tempat tinggal pasien. Riwayat Kebiasaan : Pasien sebelumnya tidak memiliki keterbatasan fisik dalam melakukan aktivitas fisik dan pekerjaan. Pasien mengatakan jarang berolahraga karena kesibukan pekerjaan. Pasien sering menghabiskan waktu di kebun dan rumah. Kegiatan sehari-hari pasien tidak membutuhkan pertolongan orang lain. Saat ini pasien lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur untuk perawatan penyakit yang diderita. Pasien biasa mandi sekali dalam sehari karena udara yang dingin di daerah tempat tinggal pasien. Sumber air mandi berasal dari mata air pegunungan.

C. PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis Keadaan Umum

: Sakit sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan Darah

:130/80 mmHg

Nadi

: 88 x/menit

Respirasi

: 18 x/menit

Suhu

: 36,7̊C

Tinggi Badan

: 170 cm

Berat Badan

: 65 kg

IMT

: 22,4

Status Gizi

: Normal

Kepala Mata

: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Hidung

: sekret (-), edema (-)

Mulut

: karies gigi (+)

Trakea

: letak tengah

Leher

Thoraks Cor

: SI-SII reguler, bising (-), gallop (-)

Pulmo

:Sp. Vesikuler Rh (-), Wh (-)

Abdomen Cembung, lemas, bising usus (+) normal, nyeri tekan (+) Hepar/Lien

: tidak teraba

Inguinalis Pembesaran KGB

: (-)

Ektremitas Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

Status Dermatologis Status Regionalis : Regio thorakalis anterior et posterior, abdominalis, brachialis et antebrachialis D/S, femoralis et cruris D/S, manus D/S, pedis D/S Efloresensi : Makula hipopigmentasi, multipel, konfluens, batas sirkumskrip, ukuran lentikuar sampai plakat, skuama halus (+)

Gambar 1. Makula hipopigmentasi pada regio thorakalis anterior dan abdominalis

Gambar 2. Makula hipopigmentasi pada regio thorakalis posterior dan lumbalis

Gambar 3. Makula hipopigmentasi pada regio brachialis, antebrachialis, dan manus D/S

Gambar 4. Makula hipopigmentasi pada regio cruris posterior D/S

Pemeriksaan KOH Parker : Tampak gambaran khas spaghetti and meatball (hifa pendek dan bergerombol)

Gambar 5. Gambaran spaghetti and meatball pada pemeriksaan KOH Parker Pemeriksaan sensibilitas : (rasa raba, nyeri, dan suhu) normal

D. DIAGNOSIS Pitiriasis versikolor

F. PENATALAKSANAAN - Topikal : Mikonazol 2% krim 2 kali oles/hari selama 2-4 minggu

G. EDUKASI - Memakai pakaian yang sejuk dan tipis - Mengganti pakaian jika basah/lembap - Mandi secara teratur - Kontrol poliklinik kulit dan kelamin apabila rawat jalan

H. PROGNOSIS Quo ad Vitam

: bonam

Quo ad Fungsionam : bonam Quo ad Sanationam

: bonam

BAB III PEMBAHASAN

Pitiriasis versikolor (PV) atau lebih dikenal panu adalah infeksi jamur superfisial yang ditandai perubahan pigmen kulit akibat kolonisasi stratum korneum oleh jamur lipofilik dimorfik dari flora normal kulit, Malassezia furfur.5,6 Lesi khas pitiriasis versikolor berupa makula,plak, atau papul folikular dalam berbagai warna, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, sampai eritematosa, berskuama halus di atasnya, dikelilingi kulit normal.7,8 Seorang pasien laki-laki berusia 63 tahun dikonsulkan dari bagian Ilmu Penyakit Dalam dengan diagnosis suspek pitiriasis versikolor. Pada anamnesis, pasien mengeluhkan timbul bercak-bercak putih yang gatal di punggung, dada, perut, kedua lengan dan tangan, kedua tungkai dan kaki. Keluhan dialami sejak ± 20 tahun yang lalu.Bercak awalnya muncul di lengan bawah (yang disadari pasien), kemudian berangsur-angsur muncul di bagian tubuh lainnya. Sejak muda, pasien sehari-hari bekerja sebagai petani, sering berkeringat dan jarang mengganti pakaian yang basah. Berdasarkan teori, penyakit ini ditemukan di seluruh dunia(kosmopolit), terutama di daerah tropis yang beriklim panas dan lembap.2 Prevalensinya mencapai 50% di negara tropis, termasuk di Indonesia. Penyakit ini menyerang semua ras, angka kejadian pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dan mungkin terkait pekerjaan dan aktivitas yang lebih tinggi.10Hal ini berkaitan dengan Malassezia spp. yang semula berbentuk ragi saprofit akan berubah menjadi bentuk miselia yang menyebabkan kelainan kulit PV. Kondisi atau faktor predisposisi yang diduga dapat menyebabkan perubahan tersebut berupa suhu, kelembabann lingkungan yang tinggi, hiperhidrosis, kondisi imunosupresif, dan malnutrisi.9,10 Pada kasus, dalam pemeriksaan fisik pada regio thorakalis anterior dan posterior, abdominalis, brachialis et antebrachi dekstra dan sinistra, femoralis et cruralis dekstra sinistra, manus dekstra sinistra, pedis dekstra dan sinistra ditemukan makula hipopigmentasi, multiple, konfluens, batas sirkumskrip, ukuran lentikular sampai plakat, skuama halus (+). Malassezia memproduksi berbagai metabolityang dapat menyebabkan perubahan warna pada lesi.3,6 Hipopigmentasi terjadi akibat:(1) pitiriasitrin dan pitirialakton yang mampumenyerap sinar UV;10 (2) asam azaleat,asam dekarboksilat yang menurunkanproduksi melanosit dengan

menghambatenzim

tirosinase;13(3)

malassezin

yangmenginduksi

apoptosis

melanosit;9(4) malassezindole A, aktivitasnya menghambatkerja tirosinase dan mengganggu sintesistirosinase; (5) keto-malassezin sebagaiinhibitor tirosinase dengan menghambatreaksi DOPA (3,4-di hidroksifenilalanin)melanosit; (6) metabolit lain sepertiindirubin, ICZ, pitiriarubin, dan triptanthrin.2 Selain lesi yang terbentuk, hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah distribusi lesi. Pada kasus, lesi terbentuk pada badan, tangan, dan kaki. Berdasarkan teori semua spesies Malassezia kecuali M pachydermatis memerlukan lingkungan kaya lipid, seperti kulit manusia atau media kultur kaya lipid, karena mereka tidak dapat mensintesis asam lemak jenuh. Malassezia yang bergantung pada lemak membutuhkan media khusus, seperti Leeming dan Notman agar, Dixon agar, atau Littman Oxgall agar dengan minyak zaitun, untuk kultur. Kebutuhan lipid ini secara klinis penting, karena menentukan bagian tubuh mana organisme ini biasanya ditemukan (badan bagian atas, kulit kepala, wajah, leher, ekstremitas bagian proksimal) area yang kaya sekresi kelenjar sebasea.7,10 Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran lesi yang sesuai dengan karakteristik pitiriasis versikolor, pemeriksaan fluoresensi kulit dengan lampu Wood, dan sediaan langsung kerokan kulit. Pemeriksaan penunjang dengan lampu Wood dapat memperlihatkan flouresensi kekuningan akibat metabolit asam dikarboksilat, yang digunakan sebagai petunjuk lesi PV dan mendeteksi sebaran lokasi lesi.10 Pada kasus, tidak dilakukan pemeriksaan lampu Wood. Konfirmasi diagnosis dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan mikologis kerokan kulit dengan larutan KOH 20 % tampak gambaranspora dan miselium yang sering dilukiskansebagai “spaghetti and meatball” appearance. Pengambilan skuama dapat dilakukan dengankerokan kulit menggunakan skalpel atauselotip yang dilekatkan ke lesi.12Pada kasus dilakukan kerokan kulit di daerah lengan bawah, hasil kerokan diletakkan di atas gelas obyek, di tetesi dengan KOH 20% kemudian ditutup dengan gelas penutup, lalu dilihat dibawah mikroskop. Dari pemeriksaan tersebut didapatkan gambaran elemen jamur berupa sekelompok spora oval/bulat, blastospora dan hifa pendek. Sehingga berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah diuraikan di atas, dapat ditegakkan diagnosis pitiriasis versikolor.10,12 Tatalaksana pitiriasis versikolor harus dimulai dengan mengidentifikasi faktor predisposisi dan menyingkirkan yang dapat dihindari merupakan hal yang penting dalam tatalaksana PV selain terapi. Memakai pakaian yang sejuk dan tipis, mengganti pakaian jika basah/lembab, dan mandi secara teratur merupakan edukasi yang dapat diberikan pada pasien.10

Terapi farmakologis dapat menggunakan terapi topikal atau sistemik, dengan beberapa pertimbangan, antara lain luas lesi, biaya, kepatuhn pasien, kontraindikasi, dan efek samping. Terapi topikal sendiri dibagi dalam dua kelompok besar yaitu terapi topikal nonspesifik dan spesifik. Terapi topikal non-spesifik seperi selenium sulfide tidak mengeliminasi Malassezia spp. tetapi bersifat keratolisis yang mempercepat eksfoliasi dari stratum korneum, tempat dimana Malassezia spp. tumbuh.11Selenium sulfide dapat digunakan dalam bentuk sampo 1,8% atau bentuk losio 2,5% yang dioleskan tiap hari selama 15-30 menit dan kemudian dibilas.10Terapi topikal spesifik seperti obat-obatan golongan azole mengeliminasi Malassezia spp. dengan menghambat sitokrom p450 14α demetilase Malassezia spp. yang mengganggu kerja sel membran jamur yang mengganggu pertumbuhannya.13 Pada kasus, pasien diberikan krim Miconazole 2% krim dioles 2x setiap hari selama 2-4 minggu. Obat sistemik dipertimbangkan pada lesi luas, dan gagal terapi topikal, antara lain de ngan ketokonazol 200 mg/hari selama 5-10 hari atau itrakonazol 200 mg/hari selama 5-7 hari. Namun mempertimbangkan kondisi medis pasien saat ini yang sedang dirawat dengan sirosis hepatis, pilihan terapi dengan obat sistemik tidak tepat karena beberapa obat anti-jamur sistemik bersifat hepatotoksik.10,13

BAB IV PENUTUP

Seorang laki-laki berumur 63 tahun, dikonsulkan dengan timbul bercak-bercak putih pada di kulit sejak 30 tahun yang laluBercak putih muncul di punggung, dada, perut, kedua lengan dan tangan, kedua tungkai dan kaki. Bercak awalnya muncul di lengan bawah (disadari pasien), kemudian berangsur-angsur muncul di bagian tubuh lainnya lalu menyebar ke seluruh tubuh. Tidak ada nyeri yang dirasakan pada lesi. Pasien merasa gatal saat berkeringat. Bercak tidak disertai dengan mati rasa. Pasien mengaku merasa gatal setelah terkena rumput. Sejak muda, pasien sehari-hari bekerja sebagai petani, sering berkeringat dan jarang mengganti pakaian yang lembap. Pasien mengkau mandi hanya sekali sehari dengan alasan udara yang dingin di lingkungan tempat tinggal pasien. Pada pemeriksaan fisik pada regio thorakalis anterior dan posterior, abdominalis, brachialis et antebrachi dekstra dan sinistra, femoralis et cruralis dekstra sinistra, manus dekstra sinistra, pedis dekstra dan sinistra ditemukan makula hipopigmentasi, multiple, konfluens, batas sirkumskrip, ukuran lentikular sampai plakat, skuama halus (+). Pada pemeriksaan mikroskopis kerokan kulit gambaran khas spaghetti and meatball (hifa pendek dan bergerombol) Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien di diagnosis dengan pitiriasis versikolor. Penatalaksanaan yang diberikan berupa krim Mikonazol 2% krim 2 kali oles/hari selama 2-4 minggu. Pasien diberikan edukasi untuk selalu menjaga kebersihan kulit dengan mandi secara teratur, memakai pakaian yang sejuk dan tipis, menggangti pakaian jika basah/lembap, dan kontrol ulang di Poliklinik Kulit dan Kelamin apabila pasien telah dipulangkan dari rumah sakit. Prognosis pitriasis versikolor baikjika pengobatan dilakukan secara tekun dan konsisten, sertafaktor pencetus dapat dihindari. Perlu dijelaskan pada pasien bahwa lesi hipopigmentasi dapat bertahan sampai beberapa bulan setelah jamur negatif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U. Pitiriasis versikolor. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, eds. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. 2. Gaitanis G, Magiatis P, Hantschke M, Bassukas ID, Valegraki A. The Malassezia genus in skin and systemic disease. Clin Microbiol Rev. 2012;25(1):106-41. 3. Burkhart CN, Burkhart CG, Morell DS. Treatment of tinea versicolor. In: Maimbach H, Gorohi F, eds. Evidence based dermatology. 2nd ed. New York: McGraw Hill Companies; 2009.p.365-71. 4. James WD, Berger TG, Elston D. Andrew’s disease of the skin clinical dermatology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006.p.302-3 5. Han A, Calcara DA, Stoecker WV, Daly J, Siegel DM, Shell A. Evoked scale sign of tinea versicolor. Arch Dermatol. 2009;145(9):1078. 6. Habif TP. Clinical dermatology, a color guide to diagnosis and therapy. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2010.p.537-40. 7. Levin NA, Delano S. Evaluation and treatment of Malassezia-related skin disorders. Cosmetic Dermatology 2011;24(3):137-45. 8. Good PH. Goodheart’s photoguide to common skin disorder, diagnosis and management. 3rd ed. New York: Lippinkott William and Wilkins; 2008.p.190-1. 9. Usatine RP. Tinea versicolor. In: Usatine RP, Smith MA, Mayeaux EJ, Chumley H, Tysinger J, eds. The color atlas of family medicine. New York: McGraw Hill Companies; 2009.p.566-9. 10. Bramono K, Budimulja U. Nondermatofitosis. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015 11. Janik MP, Heff ernan MP. Yeast infections: Candidiasis and tinea (pityriasis) versicolor. In: Wolff K, Goldsmith LS, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leff el DJ, eds. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008.p.1828-30. 12. Schalock PC, Hsu JT, Arndt KA. Lippincott’s primary care dermatology. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2011.p.132-4. 13. Arce M, Mendoza D. Pityriasis Versicolor: Treatment Update. Curr Fungal Infect Rep. 2018. p 2-4

Related Documents