LAPORAN KASUS
Ensefalitis
disusun oleh
:
Anisafitri Siregar
140100016
Cut Zia Firdina
140100033
Pembimbing : Dr. dr. Rina Amalia C. Saragih, M.Ked.(Ped), Sp. A
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN 2018
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Tuhan yang mahakuasa, atas segala limpah dan rahmat dan karunia yang telah diberikan kepada kita, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Ensefalitis. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca, sehingga makalah inidapat di sempurnakan lagi pada masa yang akan datang.
Sejujurnya penulis menyatakan bahwa selesainya masalah ini tentu saja tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu.Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat untuk khalayak luas.
Medan, Desember 2018
Penulis
i
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .....................................................................................
i
DAFTAR ISI ....................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ...........................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................
iii
BAB 1 PENDAHULUAN .........................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah .........................................................................
2
1.3. Tujuan Makalah ............................................................................
2
1.4. Manfaat Makalah ..........................................................................
2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
3
2.1. Definisi.........................................................................................
3
2.2. Etiologi ..........................................................................................
3
2.3. Klasifikasi................................................. ....................................
3
2.4 Patofisiologi. ..................................................................................
10
2.5 Diagnosa.…………………………………………....................
12
2.6 Tatalaksana.....................................................................................
17
2.7 Komplikasi .....................................................................................
19
2.8. Prognosis .......................................................................................
19
BAB 3 STATUS ORANG SAKIT ..............................................................................
20
BAB 4 FOLLOW UP......................................................................................................
25
BAB 5 DISKUSI ..............................................................................................................
31
BAB 6 KESIMPULAN ....................................................................................
34
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................
ii
35
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
Halaman
Tabel 1
LCS pada berbagai infeksi
14
DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar1
Judul
Halaman
Patofisiologi Ensefalitis
10
iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ensefalitis adalah suatu peradangan pada parenkim otak. Dari perspektif epidemiologi dan patofisiologi, ensefalitis berbeda dari meningitis, meskipun pada evaluasi klinis, keduanya mempunyai tanda dan gejala inflamasi meningeal, seperti photophobia, sakit kepala, atau leher kaku.1 Ensefalitis terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk primer dan bentuk sekunder. Ensefalitis Primer melibatkan infeksi virus langsung dari otak dan sumsum tulang belakang. Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus pertama terjadi di tempat lain di tubuh dan kemudian ke otak. 2 Infeksi virus merupakan bentuk infeksi system saraf pusat yang paling sering terjadi di dunia. Ensefalitis virus lebih sering terjadi pada anak. Dengan angka insidensi 1 dari 200.000 populasi di Amerika Serikat. Sekitar 60% ensefalitis virus tidak dapat diidentifikasi penyebabnya walaupun telah menggunakan metode diagnostik optimal. 1 Ensefalitis yang mengakibatkan kerusakan otak, dapat menyebabkan atau memperburuk gejala gangguan perkembangan. Pengobatan ensefalitis harus dimulai sedini mungkin untuk menghindari dampak serius dan efek seumur hidup. Terapi tergantung pada penyebab peradangan, mungkin termasuk antibiotik, obat anti-virus, dan obat-obatan anti-inflamasi. Jika hasil kerusakan otak dari ensefalitis, terapi (seperti terapi fisik atau terapi restorasi kognitif) dapat membantu pasien setelah kehilangan fungsi. 3
1
1.2 Tujuan Untuk menguraikan teori-teori mengenai ensefalitis, mulai dari definisi hingga diagnosis, serta tatalaksana. Penyusunan laporan kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 1.3 Manfaat Laporan Kasus ini diharapkan dapat mengembangkan
kemampuan serta
pemahaman penulis dan pembaca, khususnya peserta P3D untuk lebih mengenal dan memahami Ensefalitis tentang penegakan diagnosis serta tatalaksana Ensefalitis yang sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Ensefalitis adalah suatu peradangan pada parenkim otak yang menyebabkan disfungsi serebral. Ensefalitis akut umumnya infeksi virus dengan kerusakan parenkim bervariasi dari ringan sampai dengan sangat berat. 4 2.2 Etiologi Penyebab utama ensefalitis adalah virus. Dapat bersifat infektif tetapi bisa juga yang non- infektif seperti pada proses dimielinisasi pada Acute disseminated encephalitis (ADEM) yang biasanya terjadi setelah seorang anak terjangkit virus seperti campak dan cacar air. Ensefalitis bisa disebabkan oleh virus, bakteria, parasit, fungus dan riketsia. Agen virus, seperti virus HSV tipe 1 dan 2 (hampir secara eksklusif pada neonatus), EBV, virus campak (PIE dan SSPE), virus gondok, dan virus rubella, yang menyebar melalui kontak orang-ke-orang. 4 2.3. Klasifikasi 1. Ensefalitis Virus5
Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia : i.
Virus RNA o Paramikso virus : virus parotitis, virus morbili o Rabdovirus : virus rabies o Togavirus : virus rubella flavivirus (virus ensefalitis Jepang B, virus dengue) o Picornavirus
:
enterovirus
A,B,echovirus)
3
(virus
polio,
coxsackie
4
o Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoria ii.
Virus DNA o Herpes virus : herpes zoster-varisella, herpes simpleks, sitomegalivirus, o virus Epstein-barr o Poxvirus : variola, vaksinia o Retrovirus : AIDS
Manifestasi klinis Dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo, nyeri badan, nausea, kesadaran menurun, timbul serangan kejang-kejang, kaku kuduk, hemiparesis dan paralysis bulbaris.
Biasanya ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok : 1. Ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus kelompok herpes simpleks, virus influensa, ECHO, Coxsackie dan virus arbo 2. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya 3. Ensefalitis para-infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit virus yang sudah dikenal seperti rubeola, varisela, herpes zoster, parotitis epidemika, mononucleosis infeksiosa dan vaksinasi.
Menurut statistik dari 214 ensefalitis,54% (115 orang) dari penderitanya ialah anak-anak. Virus yang paling sering ditemukan ialah virus herpes simpleks (31%) yang disusul oleh virus ECHO (17%). Statistik lain mengungkapkan bahwa ensefalitis primer yang disebabkan oleh virus yang dikenal mencakup 19%. Ensefalitis primer dengan penyebab yang tidak diketahui dan ensefalitis para- infeksiosa masing-masing mencakup 40% dan 41% dari semua kasus ensefalitis yang telah diselidiki. 5 A. Ensefalitis Herpes Simpleks Virus6
5
Virus herpes simpleks tidak berbeda secara morfologik dengan virus varisela, dan sitomegalovirus. Secara serologik memang dapat dibedakan dengan tegas. Neonatus masih mempunyai imunitas maternal. Tetapi setelah umur 6 bulan imunitas itu lenyap dan bayi dapat mengidap gingivo-stomatitis virus herpes simpleks. Infeksi dapat hilang timbul dan berlokalisasi pada perbatasan mukokutaneus antara mulut dan hidung. Infeksi-infeksi tersebut jinak sekali. Tetapi apabila neonatus tidak memperoleh imunitas maternal terhadap virus herpes simpleks atau apabila pada partus neonatus ketularan virus herpes simpleks dari ibunya yang mengidap herpes genitalis, maka infeksi dapat berkembang menjadi viremia. Ensefalitis merupakan sebagian dari manifestasi viremia yang juga menimbulkan peradangan dan nekrosis di hepar dan glandula adrenalis. Pada anak-anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks merupakan manifestasi reaktivitasi dari infeksi yang laten. Dalam hal tersebut virus herpes simpleks berdiam didalam jaringan otak secara endosimbiotik, mungkin digangglion Gasseri dan hanya ensefalitis saja yang bangkit. Kerusakan pada jaringan otak berupa nekrosis di substansia alba dan grisea serta infark iskemik dengan infiltrasi limfositer sekitar pembuluh darah intraserebral. Di dalam nukleus sel saraf terdapat “inclusion body” yang khas bagi virus herpes simpleks. Gambaran penyakit ensefalitis virus herpes simpleks tidak banyak berbeda dengan ensefalitis primer lainnya. Tetapi yang menjadi ciri khas bagi ensefalitis virus herpes simpleks ialah progresivitas perjalanan penyakitnya. Mulai dengan sakit kepala, demam dan muntah-muntah. Kemudian timbul “acute organic brain syndrome’ yang cepat memburuk sampai koma. Sebelum koma dapat ditemukan hemiparesis atau afasia. Dan kejang epileptik dapat timbul sejak permulaan penyakit. Pada pungsi lumbal ditemukan pleiositosis limpositer dengan eritrosit.
6
B. Ensefalitis Arbo-virus 7 Arbovirus atau lengkapnya “arthropod-borne virus” merupakan penyebab penyakit demam dan adakalanya ensefalitis primer. Virus tersebut tersebar diseluruh dunia. Kutu dan nyamuk dimana virus itu “berbiak” menjadi penyebarannya. Ciri khas ensefalitis primer arbo-virus ialah perjalanan penyakit yang bifasik. Pada gelombang pertama gambaran penyakitnya menyerupai influensa yang dapat berlangsung 4-5 hari. Sesudahnya penderita mereka sudah sembuh. Pada minggu ketiga demam dapat timbul kembali. Dan demam ini merupakan gejala pendahulu bangkitnya manifestasi neurologik, seperti sakit kepala, nistagmus, diplopia, konvulsi dan “acute organic brain syndrome” Gejala-gejala prodromalnya terdiri dari lesu dan letih badan, anoreksia, demam, cepat marah-marah dan nyeri pada tempat yang telah digigit anjing. Suara berisik dan sinar terang sangat mengganggu penderita. Dalam 48 jam dapat bangkit gejala-gejala hipereksitasi. Penderita menjadi gelisah, mengacau, berhalusinasi meronta-ronta, kejang opistotonus dan hidrofobia. Tiap kali ia melihat air, otot-otot pernafasan dan laring kejang, sehingga ia menjadi sianotik dan apnoe. Air liur tertimbun didalam mulut oleh karena penderita tidak dapat menelan. Pada umumnya penderita meninggal karena status epileptikus. Masa penyakit dari mula-timbulnya prodromal sampai mati adalah 3 sampai 4 hari saja. Untuk Indonesia perlu dipikirkan virus Rabies, Mumps (penyebab parotitis) dan mungkin Herpes Simpleks. Penyebab dari ensefalitis adalah paling sering infeksi virus beberapa contoh termasuk virus herpes; arbovirus diperantarai oleh nyamuk, dan serangga lain dan rabies. 2. Ensefalitis Bakterial6
7
A. Ensefalitis supurativa
Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : staphylococcus aureus, streptococcus, E.coli dan M.tuberculosa.
Manifestasi klinis Secara umum gejala berupa trias ensefalitis ; 1) Demam 2) Kejang 3) Kesadaran menurun : Bila berkembang menjadi abses serebri akan
timbul
gejala-gejala
infeksi
umum,
tanda-tanda
meningkatnya tekanan intracranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan progresif,muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun, pada pemeriksaan mungkin terdapat edema papil.Tanda-tanda defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luas abses. B. Ensefalitis Sifilis6
Disebabkan oleh Treponema pallidum. Infeksi terjadi melalui permukaan tubuh umumnya sewaktu kontak seksual. Setelah penetrasi melalui epithelium yang terluka, kuman tiba di sistim limfatik. Hal ini berlangsung beberapa waktu hingga menginvasi susunan saraf pusat. Treponema pallidum akan tersebar diseluruh korteks serebri dan bagian- bagian lain susunan saraf pusat.
3. Ensefalitis Karena Parasit6 Malaria serebral: Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria serebral. Gangguan utama terdapat didalam pembuluh darah mengenai parasit. Sel darah merah yang terinfeksi plasmodium falsifarum akan
8
melekat satu sama lainnya sehingga menimbulkan penyumbatanpenyumbatan. Hemorrhagic petechia dan nekrosis fokal yang tersebar secara difus ditemukan pada selaput otak dan jaringan otak. Gejala-gejala yang timbul : demam tinggi.kesadaran menurun hingga koma. Kelainan neurologik tergantung pada lokasi kerusakan-kerusakan. 4. Ensefalitis Karena Fungus6 Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : Candida albicans, Cryptococcus neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor mycosis. Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat ialah meningoensefalitis purulenta. Faktor yang memudahkan timbulnya infeksi adalah daya imunitas yang menurun. 5. Riketsiosis Serebri6 Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat menyebabkan Ensefalitis. Di dalam dinding pembuluh darah timbul noduli yang terdiri atas sebukan sel-sel mononuclear, yang terdapat pula disekitar pembuluh darah di dalam jaringan otak. Didalam pembuluh darah yang terkena akan terjadi trombositosis. Gejala gejalanya ialah nyeri kepala, demam, mula-mula sukar tidur, kemudian mungkin kesadaranturun.
9
2.4 Patofisiologi Dijelaskan pada Gambar 1.
Virus / Bakteri
Mengenai CNS
Ensefalitis
Kejaringan susuna saraf pusat
TIK meningkat
nyeri kepala kejang spastic
Kerusakan susunan saraf pusat
Kelemahan gerak
Gangguan penglihatan Gangguan pendengaran
mual, muntah resiko cedera Gangguan sensorik dan motorik BB turun
nutrisi kurang Gambar 1. Patofisiologi Ensefalitis6
10
Patogenesis dari encephalitis mirip dengan pathogenesis dari viral meningitis, yaitu virus mencapai Central Nervous System melalui darah (hematogen) dan melalui saraf (neuronal spread)2. Penyebaran hematogen terjadi karena penyebaran ke otak secara langsung melalui arteri intraserebral. Penyebaran hematogen tak langsung dapat juga dijumpai, misalnya arteri meningeal yang terkena radang dahulu. Dari arteri tersebut itu kuman dapat tiba di likuor dan invasi ke dalam otak dapat terjadi melalui penerobosan dari pia mater. 2 Selain penyebaran secara hematogen, dapat juga terjadi penyebaran melalui neuron, misalnya pada encephalitis karena herpes simpleks dan rabies. Pada dua penyakit tersebut, virus dapat masuk ke neuron sensoris yang menginnervasi port d’entry dan bergerak secara retrograd mengikuti axon-axon menuju ke nukleus dari ganglion sensoris. Akhirnya saraf-saraf tepi dapat digunakan sebagai jembatan bagi kuman untuk tiba di susunan saraf pusat2. Sesudah virus berada di dalam sitoplasma sel tuan rumah, kapsel virus dihancurkan. Dalam hal tersebut virus merangsang sitoplasma tuan rumah untuk membuat protein yang menghancurkan kapsel virus. Setelah itu nucleic acid virus berkontak langsung dengan sitoplasma sel tuan rumah. Karena kontak ini sitoplasma dan nukleus sel tuan rumah membuat nucleic acid yang sejenis dengan nucleic acid virus. Proses ini dinamakan replikasi. 2 Karena proses replikasi berjalan terus, maka sel tuan rumah dapat dihancurkan. Dengan demikian partikel-partikel viral tersebar ekstraselular. Setelah proses invasi, replikasi dan penyebaran virus berhasil, timbullah manifestasi-manifestasi toksemia yang kemudian disususl oleh manifestasli lokalisatorik. Gejala-gejala toksemia terdiri dari sakit kepala, demam, dan lemas-letih seluruh tubuh. Sedang manifestasi lokalisatorik akibat kerusakan susunan saraf pusat berupa gannguan sensorik dan motorik (gangguan penglihatan, gangguan berbicara,gannguan pendengaran dan
11
kelemahan anggota gerak), serta gangguan neurologis yakni peningkatan TIK yang mengakibatkan nyeri kepala, mual dan muntah sehinga terjadi penurunan berat badan.2 2.5 Diagnosis
Anamnesa9 Penegakan diagnosa ensefalitis dimulai dengan proses anamnesa secara lengkap mengenai adanya riwayat terpapar dengan sumber infeksi, status immunisasi gejala klinis yang diderita, riwayat menderita gejala yang sama sebelumnya serta ada tidak nya faktor resiko yang menyertai.
Pemeriksaan fisik9 Pada pemeriksaan fisik dilihat tanda-tanda penyakit sistemik seperti dijumpai adanya rash, limfeadenopati, meningismus, penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intracranial yang ditandai dengan adanya papil edema, tanda- tanda neurologis fokal seperti kelemahan, gangguan berbicara, peningkatan tonus otot, dan hiperrefleks ekstensor plantaris.
Pemeriksaan penunjang9 1. Lumbal pungsi11 Lumbal pungsi adalah prosedur sering dilakukan di departemen gawat darurat untuk mendapatkan informasi tentang cairan cerebrospinal (CSF). Meskipun biasanya digunakan untuk tujuan diagnostik untuk menyingkirkan potensi kondisi yang mengancam jiwa seperti meningitis bakteri atau perdarahan subarachnoid, pungsi lumbal juga kadang-kadang dilakukan untuk alasan terapeutik, seperti pengobatan pseudotumor cerebri. Analisis cairan CSF juga dapat membantu dalam diagnosis berbagai kondisi lain, seperti penyakit demielinasi dan meningitis carcinomatous. Pungsi lumbal harus dilakukan
12
hanya setelah pemeriksaan neurologis namun tidak pernah menunda intervensi berpotensi menyelamatkan nyawa seperti antibiotik dan steroid untuk pasien dengan dicurigai meningitis bakteri. Indikasi untuk pungsi lumbal11 Pungsi lumbal harus dilakukan untuk indikasi berikut:
Kecurigaan diduga meningitis
kecurigaan subarachnoid hemorrhage
penyakit sistem saraf pusat seperti sindrom Guillain-Barré dan terapi carcinomatous meningitis
pseudotumor cerebri
Kontraindikasi untuk pungsi lumbal11 Kontraindikasi mutlak untuk pungsi lumbal adalah adanya kulit yang terinfeksi atas situs entri jarum dan adanya tekanan yang tidak sama antara kompartemen supratentorial dan infratentorial. Yang terakhir ini biasanya diringkas oleh temuan karakteristik berikut pada otak tomografi (CT):
Kehilangan pergeseran garis tengah posterior
hilangnya suprakiasmatik dan basilar
massa fossa posterior
kehilangan superior cerebellar cistern
kehilangan quadrigeminal plate cistern
Kontraindikasi relatif terhadap pungsi lumbal meliputi:
peningkatan tekanan intrakranial ICP
Koagulopati
Abses otak
13
Pemeriksaan rutin dari CSF mencakup pengamatan visual warna dan kejelasan dan tes untuk glukosa, protein, laktat, laktat dehidrogenase, jumlah sel darah merah, jumlah sel darah putih dengan diferensial, serologi sifilis (tes antibodi menunjukkan sifilis), Gram stain dan bakteri budaya. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan tergantung pada hasil tes awal dan diagnosis dicurigai. 12 Nilai normal:
Tekanan: 70 - 180 mm H20
Tampilan: Jernih, tidak berwarna
CSF total protein: 15 - 60 mg/100 mL
Gamma globulin: 3 - 12% of the total protein
CSF glucose: 50 - 80 mg/100 mL (atau lebih besar dari 2/3 kadar gula dalam darah)
CSF cell count: 0 - 5 sel darah putih (semua mononuclear), dan tiada sel darah merah
Chloride: 110 - 125 mEq/L
Gambaran LCS dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. LCS pada Berbagai Infeksi12
Penyakit
Meningitis
Tekanan LCS
bakteri Meningitis virus
Protein
Hitung sel
sedang-
Glukosa
> 50 PMN
Rendah
limfosit
Normal
Pleositosis atau
Rendah
tinggi N
sedikit
sd
normal Meningitis
N
sedang
tuberkulosis Ensefalitis
limfositosis / N
sedikit normal
sd
limfositosis
normal
14
Glukosa: CSF glukosa biasanya sekitar dua-pertiga dari glukosa plasma puasa. Sebuah tingkat glukosa di bawah 40 mg / dL adalah signifikan dan terjadi pada meningitis bakteri dan jamur dan keganasan. 12
Protein: Tingkat total protein dalam CSF biasanya sangat rendah, dan albumin membuat sampai sekitar twothirds dari total. Tinggi tingkat yang terlihat dalam berbagai kondisi termasuk meningitis bakteri dan jamur, multiple sclerosis, tumor, perdarahan subarachnoid, dan tap traumatis. 12
Laktat: CSF laktat digunakan terutama untuk membantu membedakan meningitis bakteri dan jamur, yang menyebabkan laktat yang lebih besar, meningitis virus, tidak ada. 12
Laktat dehidrogenase: Enzim ini meningkat pada meningitis bakteri dan jamur, keganasan, dan perdarahan subarachnoid. 12
Sel darah putih (WBC count): Jumlah sel darah putih dalam CSF sangat rendah, biasanya memerlukan jumlah pengguna WBC. Peningkatan leukosit dapat terjadi dalam berbagai kondisi termasuk infeksi (virus, bakteri, jamur, dan parasit), alergi, leukemia, multiple sclerosis, perdarahan, tekan traumatis, ensefalitis, dan sindrom Guillain-Barré. Perbedaan WBC membantu untuk membedakan banyak penyebab. Misalnya, infeksi virus biasanya berhubungan dengan limfosit meningkat, sementara infeksi bakteri dan jamur terkait dengan peningkatan leukosit polimorfonuklear (neutrofil). Diferensial juga dapat mengungkapkan eosinofil berhubungan dengan alergi dan shunt ventrikel; makrofag dengan bakteri yang tertelan (menunjukkan meningitis), sel darah merah (menunjukkan perdarahan), atau lipid (menandakan infark serebral mungkin); blasts (sel belum matang) yang mengindikasikan leukemia, dan karakteristik sel-sel ganas dari jaringan asal. Sekitar 50% kanker metastatik yang menyusup sistem saraf pusat dan sekitar 10% dari tumor sistem saraf pusat akan menumpahkan sel ke dalam CSF. 12
15
Sel darah merah (RBC count): Meskipun tidak biasanya ditemukan dalam CSF, sel darah merah akan muncul setiap kali perdarahan telah terjadi. Merah sel dalam subarachnoid hemorrhage sinyal CSF, stroke, atau tekan traumatis. Karena sel darah putih dapat masuk CSF dalam menanggapi infeksi lokal, peradangan, atau perdarahan, jumlah RBC digunakan untuk memperbaiki jumlah WBC sehingga mencerminkan kondisi selain perdarahan atau tekan traumatis. Hal ini dilakukan dengan sel darah merah dan jumlah leukosit dalam darah dan CSF. Rasio sel darah merah dalam CSF ke darah dikalikan dengan jumlah darah WBC. Nilai ini dikurangi dari CSF WBC count untuk menghilangkan leukosit berasal dari perdarahan atau tap traumatis. 12
Gram stain: Pewarnaan Gram dilakukan pada sedimen dari CSF dan positif sekitar setidaknya 60% dari kasus meningitis bakteri. Budaya dilakukan untuk bakteri aerobik dan anaerobik. Selain itu, noda lainnya (Pewarnaan kultur misalnya untuk Mycobacterium tuberculosis, kultur jamur dan tes identifikasi cepat(tes untuk antigen bakteri dan jamur) dapat dilakukan secara sistematis.12
Serologi sifilis: Hal ini melibatkan pengujian untuk antibodi yang menunjukkan neurosifilis. Antibodi fluorescent treponemal penyerapan (FTA-ABS) tes sering digunakan dan positif pada orang dengan sifilis aktif dan diobati. Tes ini digunakan bersama dengan tes VDRL untuk antibodi nontreponema, positif pada paling dengan sifilis aktif, tetapi negatif dalam kasus dirawat. 12
Pengukuran kadar klorida dapat membantu dalam mendeteksi adanya meningitis tuberkulosis. 2. Elektroensefalografi9 Prosedur pemeriksaan ini merupakan suatu cara untuk mengukur aktivitas gelombang listrik dari otak. Pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk mendiagnosa adanya gangguan kejang. Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi difus (aktivitas lambat bilateral). Bila terdapat tanda klinis fokal yang
16
ditunjang dengan gambaran EEG atau CT scan, dapat dilakukan biopsi otak di daerah yang bersangkutan. Bila tidak ada tanda klinis fokal, biopsi dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis yang biasanya menjadi predileksi virus Herpes simplex. 3. Pemeriksaan imaging otak.9 Diantaranya CT Scan dan MRI yang dapat mendeteksi adanya pembengkakan otak. Jika pemeriksaan imaging memiliki tanda-tanda dan gejala yang menjurus ke ensefalitis maka lumbal fungsi harus dilakukan untuk melihat apakah terdapat peningkatan tekanan intrakranial. 4. Biopsi otak9 Biopsi otak jarang dilakukan, kecuali untuk mendiagnosa adanya herpes simpleks ensefalitis yang jika tidak mungkin dilakukan metode DNA atau CT Scan dan MRI 5. Pemeriksaan darah 9 Polymerase Chain Reaction (PCR): pemeriksaan ini merupakan metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi HSV 1, enterovirus 2, pada susunan saraf pusat. 2.6 Penatalaksanaan 9 Dengan pengecualian dari ensefalitis herpes simplex dan varicella-zoster, bentuk ensefalitis virus tidak dapat diobati. Tujuan utama adalah untuk mendiagnosa pasien secepat mungkin sehingga mereka menerima obat yang tepat untuk mengobati gejala. Hal ini sangat penting untuk menurunkan demam dan meringankan tekanan yang disebabkan oleh pembengkakan otak. Pasien dengan ensefalitis yang sangat parah berisiko bagi komplikasi sistemik termasuk shock, oksigen rendah, tekanan darah rendah, dan kadar natrium rendah. Setiap komplikasi yang mengancam nyawa harus diatasi segera dengan perawatan yang tepat.
17
Penderita menghilangnya
dengan
kemungkinan
gejala-gejala
ensefalitis
neurologik.
harus
Tujuan
dirawat
inap
sampai
penatalaksanaan
adalah
mempertahankan fungsi organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan koreksi gangguan asam basa darah. Tata laksana yang dikerjakan sebagai berikut : I.
Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensefalitis biasanya berat. Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3 menit.
II.
Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S (tergantung umur) dan pemberian oksigen.
III.
Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh anoksia serebri dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.
IV.
Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat diulang setiap 8-12 jam
V.
Pengobatan kausatif. Sebelum berhasil menyingkirkan etiologi bakteri, terutama abses otak (ensefalitis bakterial), maka harus diberikan pengobatan antibiotik parenteral. Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes simplek diberikan Acyclovir intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari selama 10 hari. Jika terjadi toleransi maka diberikan Adenine arabinosa (vidarabin). Begitu juga ketika terjadi kekambuhan setelah pengobatan dengan Acyclovir. Dengan pengecualian penggunaan Adenin arabinosid kepada penderita ensefalitis oleh herpes simpleks, maka pengobatan yang dilakukan bersifat non spesifik dan empiris yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan serta menopang
18
setiap sistem organ yang terserang. Efektivitas berbagai cara pengobatan yang dianjurkan belum pernah dinilai secara objektif VI. VII.
Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh. Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet. 2.7 Komplikasi 1 Gejala sisa maupun komplikasi karena ensefalitis dapat melibatkan susunan saraf
pusat dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan pendengaran, sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat secara menetap. Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan koreoatetoid), hidrosefalus maupun gangguan mental sering terjadi. 2.8 Prognosis1 Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan. Disamping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit yang dapat muncul selama perawatan. Prognosis jangka pendek dan panjang sedikit banyak bergantung pada etiologi penyakit dan usia penderita. Bayi biasanya mengalami penyulit dan gejala sisa yang berat. Ensefalitis yang disebabkan oleh VHS memberi prognosis yang lebih buruk daripada prognosis virus entero. Kematian karena ensefalitis masih tinggi berkisar antara 35-50 %. Dari penderita yang hidup 20-40% mempunyai komplikasi atau gejala sisa. Penderita yang sembuh tanpa kelainan neurologis yang nyata dalam perkembangan selanjutnya masih menderita retardasi mental, epilepsi dan masalah tingkah laku.
BAB III STATUS ORANG SAKIT
Nama
: SRK
Usia
: 1 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Pasar III Tembung
Nomor MR
: 06.90.32
Tanggal masuk
: 23/11/2018
Keluhan utama
: Penurunan Kesadaran
Telaah
:
Hal ini dialami pasien sejak 1 hari SMRS. Penurunan kesadaran didahului dengan kejang. Kejang dialami 1 hari ini dengan durasi < 1 menit. Kejang dialami lebih dari 10 kali dalam 1 hari. Ibu pasien mengatakan pada saat kejang, mata terbelalak keatas, dengan mengehentak-hentakan kaki dan tangannya, pasien juga mengigit lidahnya, dan menurut ibu pasien, pasien tidak menangis saat kejang.
Pasien juga mengalami demam kurang lebih 2 hari ini sebelum masuk rumah sakit. Demam bersifat naik turun, dan turun dengan obat penurun panas.
Pasien juga mengalami batuk 1 minggu ini, batuk disertai dahak, dahak tidak berwarna, dengan volume 1 sdt setiap batuk. Pilek disangkal.
Mencret dialami dalam 5 hari yang lalu, dialami lebih dari 10 kali, hanya berisi air, tidak berlendir dan tidak berdarah.
BAK kesan normal, nyeri saat berkemih tidak dijumpai.
Mual dan muntah tidak dijumpai.
Sesak nafas tidak dijumpai, riwayat sesak nafas tidak dijumpai.
20
21
Riwayat Kehamilan : pasien merupakan anak keempat dari 4 bersaudara. Riwayat sakit jantung, hipertensi dan diabetes saat hamil tidak dijumpai. Riwayat minum obat-obatan saat hamil disangkal.
Riwayat kelahiran : Pasien lahir secara spontan dibantu oleh bidan. Langsung menangis dengan BBL 3500gr dan PBL ibu pasien lupa. Biru tidak dijumpai dan pasien lahir dengan cukup bulan.
Riwayat imunisasi : Ibu pasien lupa tentang imunisasi pasien. Hanya satu kali disuntik oleh bidan.
Riwayat pemberian makan : Pasien mendapatkan asi eksklusif sampai 6 bulan, dan setelah 6 bulan dilanjutkan asi ditambah makanan pendamping.
Status Presens Sensorium:
GCS8 (E2V2M4)
T: 37,4 °C
BB: 7,5 kg
TB: 74 cm
TD : 80/40 mmHg
BB/U : zs < -3
HR :130 kali/menit
TB/U : -3 < zs < -2
RR : 30 kali/menit
BB/TB : -3 < zs < -2 ( Gizi Kurang)
Kondisi umum
: Kurang
Kondisi penyakit
: Berat
Kondisi nutrisi
: Kurang
Tidak terdapat dyspnoe, anemia, jaundice, sianosis, serta edema.
Status Lokalisata Kepala : Rambut : normal, berwarna hitam, tidak kering, dan tidak mudah di cabut Wajah : edema (-), sianosis (-) Mata : Refleks cahaya (+/+), 3mm/3mm, pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-). Telinga : Cerumen prop (-/-) Hidung : Deviasi septum (-), pernafasan cuping hidung (-), epistaksis (-)
22
Mulut
: Bibir
: sianosis (-)
Gusi
: gusi berdarah (-)
Lidah
: lidah kotor (-), candidiasis oral (-), tremor (-)
Tonsil faring : ukuran tonsil T1/T1, hiperemis (-), pseudomembran (-), bercak, perdarahan (-) Leher
: Pembesaran KGB (-), TVJ R -2 cmH2O
Toraks : a. Inspeksi Bentuk
: Simetris fusiformis
Dinamik
: jenis pernafasan: thorakal-abdominal, usaha otot bantu nafas (-), retraksi (-), RR: 30 kali/menit, regular
b. Auskultasi
:suara pernafasan : vesikuler suara tambahan : ronkhi (-/-), wheezing (-) RR: 30 kali/menit, regular Jantung HR: 130 kali/menit, regular, desah (-)
Abdomen
: soepel, peristaltik (+) N, nyeri tekan (-), Hepar/Lien : tidak teraba
Ekstremitas
: Akral hangat, nadi 130 kali/menit, regular, t/v cukup,CRT <2”, TD: 80/40 mmHg, petekie (-), maculopapular rash (-), Refleks Fisiologis : KPR (+), APR (+) Refleks Patologis : Chaddock (+) Oppenheim (+) Rangsangan Meningeal :
Kaku kuduk (-) Kernig (-) Brudzinski I/II (-/-)
23
Hasil Laboratorium (23/11/2018) Hasil
Rujukan
Hemoglobin
: 9,3 g/dL
(14,0 - 17,0)
Eritrosit
: 3,71 x 106/µL
(3,60 – 5,20)
Leukosit
: 8,88 /µL
(6.000 – 17.000)
Hematokrit
: 23,40 %
(37 – 41)
Trombosit
: 669.000 /µL
(150.000 – 440.000)
MCV
: 63,1 fl
(82-92)
MCH
: 25,1 pg
(27-31)
MCHC
: 39,7 g/dl
(32– 36)
Neutrofil
: 46 %
(50.00 - 70.00)
Limfosit
: 19,5 %
(20.00 - 40.00)
Monosit
:31,9 %
(2.00 - 8.00)
Eosinofil
: 0,50 %
(1.00 - 6.00)
Basophil
: 2.1 %
(0.00 - 1.00)
KGDs
: 101 mg/dl
(33-111)
HEMATOLOGI Darah lengkap :
Hitung Jenis :
Diagnosis banding
:
-Infeksi SSP ec-Ensefalitis -Meningitis
Diagnosis sementara : Infeksi SSP ec Ensefalitis Tatalaksana
:
Elevasi kepala 30o midline position
O2 nasal canul 1-2 L/i
IVFD NaCl 0,9% 30cc/jam
Inj. Ceftriaxone 375 mg/12 jam/IV
24
Inj. Fenitoin LD 20 mg/kgBB → 100 mg dlm 20 cc NaCl 0,9% habis dalam 20 menit → 20 mg/12 jam/IV, drip dalam 20 cc NaCl 0,9% habis dalam 20 menit
Inj. Paracetamol 100 mg/IV (K/P)
Diet Sonde
BAB IV FOLLOW UP FOLLOW UP 23/11/18 – 24/11/2018 S : Penurunan kesadaran (+) O : Sensorium: GCS 8 (E2V2M4) Kepala
Toraks
T: 37,0 °C
: Mata
: refleks cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-) : Simetris fusiformis, retraksi (-/-), RR: 30 kali/menit, regular, suara pernafasan : vesikuler, suara tambahan: (-) Jantung : HR: 132 kali/menit, regular, desah (-)
Abdomen
: Soepel, peristaltik (+) , nyeri tekan (+) kesan berkurang
Ekstremitas : Akral hangat, nadi 100 kali/menit, regular, t/v cukup,CRT <2”, TD: 80/40 mmHg Refleks Fisiologis
: KPR (+) / APR (+)
Refleks Patologis
: Chaddock (+); Oppenheim (+)
Ransangan Meningeal : Kaku kuduk (-); Brudzinksi I/II (-/-); Kernig (-) A: dd/ Infeksi SSP ec Ensefalitis + Gizi buruk Ensefalopati Metabolik P: Elevasi kepala 30o midline position O2 Nasal Canul 1-2L/i IVFD NaCl 0,9% 30 cc/jam Inj. Ceftriaxone 375 mg/12 jam/IV Inj. Fenitoin MD 20 mg/12 jam/ IV dalam 20 cc NaCl 0,9% habis dalam 20 menit Inj. Paracetamol 100mg/ IV (K/P) Diet Sonde
25
26
Hasil lab (24/11/2018) Na/K/Ca : 130/2,20/1,1 R: Head CT-Scan Foto thorax AP Lumbal Pungsi Koreksi hipokalemia : 4 mEq dalam 12cc D5% habis dalam 2 jam Koreksi hipokalsemia: 15 cc Ca Glukonas dalam 45 cc NaCl 0,9% habis dalam 6 jam
27
FOLLOW UP 25/11/18 – 26/11/2018 S : Penurunan kesadaran (+) O : Sensorium: GCS 8 (E2V2M4) Kepala
: Mata
T: 36,8 °C
: refleks cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Toraks
Abdomen
: Simetris fusiformis, retraksi (-/-), Frek. Nafas :
30 kali/menit, reguler, ronki : (-)
Frek. Jantung :
128 kali/menit, regular, desah (-)
: Soepel, peristaltik (+) , nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, nadi 100 kali/menit, regular, t/v cukup,CRT <2” Refleks Fisiologis
: KPR (+) / APR (+)
Refleks Patologis
: Chaddock (+); Oppenheim (+)
Ransangan Meningeal : Kaku kuduk (-); Brudzinksi I/II (-/-); Kernig (-) A: dd/ Infeksi SSP ec Ensefalitis + Gizi Buruk Ensefalopati Metabolik P: Elevasi kepala 30o midline position O2 Nasal Canul 1-2L/i IVFD Kaen 3B 30 cc/jam Inj. Ceftriaxone 375 mg/12 jam/IV Inj. Fenitoin MD 20 mg/12 jam/ IV dalam 20 cc NaCl 0,9% habis dalam 20 menit Inj. Paracetamol 100mg/ IV (K/P) Diet Sonde Hasil lab (26/11/2018) Na/K/Ca : 135/2,63/1,1 R: Lumbal Pungsi
28
FOLLOW UP 27/11/18 – 28/11/2018 S : Penurunan kesadaran (+), bebas kejang 3 hari O : Sensorium: GCS 10 (E2V4M4)
T: 36,6 °C
BB : 7090 gram Kepala
Toraks
: Mata
: refleks cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-) Mulut : Bercak putih di lidah (+) : Simetris fusiformis, retraksi (-/-), Frek. Nafas : 24 kali/menit, reguler, ronki : (-) Frek. Jantung :
Abdomen
122 kali/menit, regular, desah (-)
: Soepel, peristaltik (+) , nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, nadi 100 kali/menit, regular, t/v cukup,CRT <2” Refleks Fisiologis
: KPR (+) / APR (+)
Refleks Patologis
: Babinski (+); Oppenheim (+)
Ransangan Meningeal : Kaku kuduk (-); Brudzinksi I/II (-/-); Kernig (-) A: dd/ Infeksi SSP ec Ensefalitis
+ Gizi Kurang
Ensefalopati Metabolik P: Elevasi kepala 30o midline position O2 Nasal Canul 1-2L/i IVFD Kaen 3B 30 cc/jam Inj. Ceftriaxone 375 mg/12 jam/IV Inj. Fenitoin MD 20 mg/12 jam/ IV dalam 20 cc NaCl 0,9% habis dalam 20 menit Inj. Paracetamol 100mg/ IV (K/P) Mycostatin 3x 1 cc Diet Sonde
29
FOLLOW UP 29/11/18 – 30/11/2018 S : Penurunan kesadaran (+), demam (-) O : Sensorium: GCS 10 (E2V4M4) Kepala
Toraks
: Mata
: refleks cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-) Mulut : Bercak putih di lidah (+) : Simetris fusiformis, retraksi (-/-), Frek. Nafas : 24 kali/menit, reguler, ronki : (-) Frek. Jantung :
Abdomen
T: 36,8 °C
96 kali/menit, regular, desah (-)
: Soepel, peristaltik (+) , nyeri tekan (+) kesan berkurang
Ekstremitas : Akral hangat, nadi 100 kali/menit, regular, t/v cukup,CRT <2” Refleks Fisiologis
: KPR (+) / APR (+)
Refleks Patologis
: Chaddock (+); Oppenheim (+)
Ransangan Meningeal : Kaku kuduk (-); Brudzinksi I/II (-/-); Kernig (-) A: dd/ Infeksi SSP ec Ensefalitis + Gizi Kurang Ensefalopati Metabolik P: Elevasi kepala 30o midline position O2 Nasal Canul 1-2L/i IVFD Kaen 3B 30 cc/jam Inj. Ceftriaxone 375 mg/12 jam/IV Inj. Fenitoin MD 20 mg/12 jam/ IV dalam 20 cc NaCl 0,9% habis dalam 20 menit Inj. Paracetamol 100mg/ IV (K/P) Mycostatin 3x 1 cc Diet Sonde R:
Cek Elektrolit Fisioterapi
30
FOLLOW UP 1/12/18 – 2/12/2018 S : Penurunan kesadaran (-),demam (-), kejang (-) O : Sensorium: GCS 13 (E4V5M4)
T: 36,0 °C
BB : 7090 gram Kepala
: Mata
: refleks cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Mulut Toraks
Abdomen
: Bercak putih di lidah (-)
: Simetris fusiformis, retraksi (-/-), Frek. Nafas :
20 kali/menit, reguler, ronki : (-)
Frek. Jantung :
100 kali/menit, regular, desah (-)
: Soepel, peristaltik (+) , nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, nadi 100 kali/menit, regular, t/v cukup,CRT <2” Refleks Fisiologis
: KPR (+) / APR (+)
Refleks Patologis
: Babinski (-); Oppenheim (-)
Ransangan Meningeal : Kaku kuduk (-); Brudzinksi I/II (-/-); Kernig (-) A: dd/ Infeksi SSP ec Ensefalitis + Gizi Kurang Ensefalopati Metabolik P: Elevasi kepala 30o midline position O2 Nasal Canul 1-2L/i IVFD Kaen 3B 30 cc/jam Inj. Ceftriaxone 375 mg/12 jam/IV Inj. Fenitoin MD 20 mg/12 jam/ IV Inj. Paracetamol 100mg/ IV (K/P) Mycostatin 3x 1 cc
31
FOLLOW UP 3/12/18 – 4/12/2018 S : Penurunan kesadaran (-),demam (-), kejang (-) O : Sensorium: GCS 15 (E4V5M6) Kepala
: Mata
T: 36,0 °C
BB : 7090 gram
: refleks cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Mulut Toraks
Abdomen
: Bercak putih di lidah (-)
: Simetris fusiformis, retraksi (-/-), Frek. Nafas :
20 kali/menit, reguler, ronki : (-)
Frek. Jantung :
100 kali/menit, regular, desah (-)
: Soepel, peristaltik (+) , nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, nadi 100 kali/menit, regular, t/v cukup,CRT <2” Refleks Fisiologis
: KPR (+) / APR (+)
Refleks Patologis
: Chaddock (-); Oppenheim (-)
Ransangan Meningeal : Kaku kuduk (-); Brudzinksi I/II (-/-); Kernig (-) A: dd/ Infeksi SSP ec Ensefalitis + Gizi Kurang Ensefalopati Metabolik P: Elevasi kepala 30o midline position O2 Nasal Canul 1-2L/i IVFD Kaen 3B 30 cc/jam Inj. Ceftriaxone 375 mg/12 jam/IV Inj. Fenitoin MD 20 mg/12 jam/ IV Inj. Paracetamol 100mg/ IV (K/P) Mycostatin 3x 1 cc R/ PBJ dengan fisioterapi
BAB V DISKUSI KASUS Teori
Pasien
Manifestasi Klinis Manifestasi
klinis
dari
ensefalitis
biasanya akut, tanda dan gejala dari infeksi
sistem
saraf
pusat
sering
didahului oleh demam akut yang tidak
Pada pasien ini dijumpai kejang 1
spesifik dalam beberapa hari.
hari ini, yang berlangsung < 1 menit. Kejang dialami lebih dari
Keterlibatan
parenkim
otak
10 kali dalam satu hari ini.
pada
ensefalitis akan mengakibatkan gejala
Pada pasien ini juga dijumpai
berupa penurunan kesadaran atau anak-
demam 2 hari sebelum masuk
anak yang terus agresif. Selain itu dapat
rumah sakit.
dijumpai kejang, ataksia dan defisit neurologis fokal seperti kelemahan ekstremitas, kejang fokal, paresis saraf kranial dan tanda peningkatan TIK. Diagnosis
Anamnesis
Anamnesa Penegakan
diagnosa
Pada
ensefalitis
dengan anamnesa lengkap mengenai adanya riwayat terpapar dengan
yang
dijumpai
adanya
riwayat
terpapar
dengan
sumber
infeksi,
kurang lebih 1 minggu. Status
gejala klinis yang diderita, riwayat gejala
ini
dimana pasien pernah batuk
sumber infeksi, status immunisasi
menderita
pasien
imunisasi pasien tidak jelas.
sama
32
sebelumnya serta ada tidak nya
faktor resiko yang menyertai.
Pemeriksaan fisik Pada
seperti
Pada
pemeriksaan
tanda-tanda
Pemeriksaan fisik
fisik
penyakit
dijumpai
limfeadenopati,
ini
dijumpai
adanya penurunan kesadaran
dilihat
setelah mengalami kejang
sistemik
adanya
pasien
Refleks Patologis : Chaddock
rash,
(+); Oppenheim (+)
meningismus,
penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intracranial yang ditandai dengan adanya papil edema, tandatanda
neurologis
fokal
kelemahan,
gangguan
peningkatan
tonus
seperti
berbicara, otot,
dan
hiperrefleks ekstensor plantaris.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang Lumbal
Pungsi
:
hasil
Lumbal Pungsi untuk analisa
menyusul
cairan
EEG dan MRI tidak dilakukan
serebrospinal
menunjukkan
sel
pemeriksaan.
didominasi
oleh pleositosis MN sekitar 51000 sel/mm3 pada 95% pasien. Kadar glukosa berada dalam rentang
normal
dan
kadar
protein meningkat.
33
MRI
(Magnetic
Resonance
Imaging) dapat dilakukan untuk diagnosis
pada
kecurigaan
ensefalitis yang ditandai dengan peningkatan gandolinium.
Penatalaksanaan
Non-Farmakologi
Tujuan
utama
adalah
untuk
sehingga mereka menerima obat yang
penatalaksanaan
adalah
mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, makanan
enteral
parenteral,
menjaga
keseimbangan
cairan
dan
elektrolit
dan
laksana
yang
IVFD NaCl 0,9% 30cc/jam
Inj. Ceftriaxone 375 mg/12 jam/IV
atau
0,9% habis dalam 20 menit → 20 mg/12 jam/IV, drip dalam
dikerjakan
20 cc NaCl 0,9% habis dalam 20 menit
Mengatasi kejang, Diazepam
(0,3-0,5 mg/kgBB) selama 3
Memperbaiki
Inj. Paracetamol 100 mg/IV (K/P)
menit.
Inj. Fenitoin LD 20 mg/kgBB → 100 mg dlm 20 cc NaCl
koreksi
sebagai berikut :
O2 nasal canul 1-2 L/i
gangguan asam basa darah Tata
midline
Farmakologi
mempertahankan fungsi organ dengan
pemberian
kepala
position 30o
mendiagnosa pasien secepat mungkin
tepat untuk mengobati gejala. Tujuan
Elevasi
hemostatis,
dengan infus cairan.
34
Pengobatan kausatif, Sebelum berhasil menyingkirkan etilogi bakteri, terutama abses otak (ensefalitis harus
bakterial),
diberikan
maka
pengobatan
antibiotik parenteral.
35
BAB VI KESIMPULAN SR, seorang anak laki-laki berusia 1 tahun 7 bulan dengan BB 7,5 kg dan TB 74 cm datang ke RS USU yang dibawa oleh orang tuanya pada tanggal 23 November 2018 dengan keluhan penurunan kesadaran dan kejang. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien selanjutnya ditatalaksana dengan pemberian terapi non farmakologis berupa elevasi kepala midline position 30o .Untuk tatalaksana farmakologis diberikan IVFD NaCl 0,9% 30cc/ jam, Ceftriaxone 375 mg IV per 12 jam, Fenitoin 20 mg/kgBB IV, Paracetamol 100 mg IV. Setelah dirawat selama 14 hari , pasien sudah menunjukkan perbaikan, dimana pasien kesadaran sudah semakin membaik, dan kejang sudah tidak dijumpai lagi. Dan direncanakan pulang berobat jalan.
36
DAFTAR PUSTAKA 1. Lazoff M. Encephalitis. [ Online ] February 26, 2010. Available from : URL ; www.emedicine.medscape.com/article/791896/overview/htm 2. Anonymous. Encephalitis. [ Online ] May 5, 2009. Available from : URL ; www.mayoclinic.com/health/encephalitis/DS00226 3. Anonymous. Definition of encephalitis. [ Online ] Available from : URL ; www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=3231 4. Behrman RE, Vaughan, V.C, Ensefalitis Viral dalam Nelson Ilmu Kesehatan Anak, edisi 12, Bag 2, EGC, Jakarta: 42-48. 5. Encephalitis.
Pediatrics
in
review.
Available
at:
http://pedsinreview.aappublications.org/content/26/10/353.full.pdf+html 6. James D.C., Shields W.D., Encephalitis and meningoencephalitis in Text Book of Pediatric Infectious Disease, Vol. 1 by Saunders. United States of America. 2004: 505- 509, 512- 514. 7. Information on Arboviral Encephalitides. Available at: http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/arbor/arbdet.htm 8. James D. C., Recognition and Management of Encephalitis in Children in Hot Topics in Infections and Immunity in Children V, Vol. 634 by Springer. United States of America, 2009 : 53-60. 9. Soedarmo,Poerwo S. Sumarno. Buku ajar Ilmu kesehatan anak infeksi dan penyakit tropis edisi pertama .Ikatan Dokter Anak Indonesia .Jakarta. 2000. 10. Cerebrospinal fluid (CSF) analysis. Available at: http://www.surgeryencyclopedia.com/Ce-Fi/Cerebrospinal-Fluid-CSFAnalysis.html 11. Lumbal Puncture. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/80773-overview#aw2aab6b5
37
12. Diagnostic Importance of Cerebrospinal Fluid in Pathognomic Condition. Available at: http://www.veterinaryworld.org/Vol.2%20No.11%20Full%20Text/Diagnostic %20Importance%20of%20Cerebrospinal%20Fluid%20in%20Pathognomic% 20.pdf 13. Encephalitis. Available at: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/encephalitis.html
38