BAB I PENDAHULUAN Status epileptikus (SE) merupakan suatu kondisi emergensi di bidang neurologi yang berkaitan dengan tingginya angka kematian dan kecacatan jangka panjang. Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit.(1) Status epileptikus terbagi menjadi general status epilepticus dan partial status epilepticus. General status epilepticus meliputi tonik-klonik SE (grand mal status epilepticus), tonik SE, klonik SE dan nonconvulsive SE. Sedangkan partial status epilepticus meliputi simple partial SE, dapat berupa gejala motorik, sensorik atau afasia dan complex partial status epilepticus.(2) Menurut penelitian yang telah dilakukan Miquel dkk, insiden status epileptikus di negara berkembang mencapai 20 per 100.000 anak per tahun. Usia menjadi penentu utama dalam epidemiologi status epileptikus pada anak dengan kejadian paling tinggi pada tahun pertama kehidupan dengan estimasi insiden 1 per 1000 bayi. Angka kematian terkait status epileptikus pada 30 hari perawatan dilaporkan kurang dari 10%. Kematian tersebut lebih disebabkan oleh komorbiditas atau penyakit yang mendasarinya.(1,3) Evaluasi penyebab status epileptikus sangat penting untuk menentukan prognosis. Penyebab status epileptikus bervariasi tergantung usia. Lebih dari setengah pasien status epileptikus pada anak-anak terjadi karena demam dan infeksi sebelumnya. Sedangkan penyebab lain adalah penyebab simptomatik seperti kelainan metabolik, keadaan hipoksia dan epilepsi. Pada status epileptikus simptomatis, seringkali pasien menunjukkan gejala sisa berupa defisit neurologis permanen dan disabilitas intelektual.(1,4) Penanganan status epileptikus hingga saat ini tidak banyak mengalami perubahan. Karena status epileptikus merupakan suatu masalah neuroemergensi, diutuhkan tatalaksana yang cepat dan komprehensif mulai dari evaluasi airway, breathing, circulation (ABC) hingga pemberian anti-konvulsan. Pada status epileptikus pemberian anti-konvulsan harus diawasi dengan ketat karena dapat menyebabkan depresi pernapasan pada pasien.(5)
1
BAB II LAPORAN KASUS
2.1
Identitas Pasien Nama
: Nurfazilah
No CM
: 1-14-14-43
Tanggal Lahir
: 12 Maret 2005
Usia Kronologis
: 12 tahun 6 bulan 6 hari
Suku
: Aceh
Agama
: Islam
Alamat
: Aceh Timur
Tanggal Masuk RS
: 12 September 2017, pukul 09.30 WIB
Tanggal Pemeriksaan
: 18 September 2017, pukul 14.00 WIB
2.2 Identitas keluarga Nama Ayah
: M. Nasir
Umur
: 46 tahun
Suku
: Aceh
Alamat
: Aceh Timur
2.3 Anamnesis Keluhan Utama
: Kejang
Keluhan Tambahan
: Batuk berdahak
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dibawa oleh keluarga dengan keluhan kejang yang dialami + 14 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang terjadi secara tiba-tiba saat pasien sedang beraktivitas. Kejang terjadi selama + 15 menit. Kejang terjadi di seluruh tubuh, kelonjotan dan mata melihat ke atas. Setelah kejang pasien tertidur. Dari rumah hingga dibawa ke IGD pasien sudah kejang sebanyak 7 kali dengan frekuensi + 15 menit dan diantara dua kejang tidak terdapat adanya perbaikan kesadaran. Saat tiba di IGD RSUDZA pasien sudah tidak kejang lagi. Kejang tidak disertai dengan riwayat demam. Selain itu pasien juga dengan keluhan batuk sejak 2 jam sebelum masuk rumah 2
sakit. Batuk berdahak berwarna putih. Riwayat muntah disangkal. Riwayat BAK dan BAB dalam batas normal. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien memiliki riwayat kejang sejak umur 8 tahun. Keluarga mengaku pasien selalu kejang dalam sebulan sekali. Saat pertama kali kejang tidak disertai dengan riwayat demam sebelumnya. Riwayat Pemberian Obat Keluarga pasien mengaku pasien sempat berobat ke poliklinikanak sebelumnya namun tidak mengingat obat apa yang diberikan. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat keluhan yang sama dengan pasien.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan Riwayat Pre Natal Selama kehamilan ibu pasien ANC teratur ke bidan. Riwayat mengonsumsi obat-obatan selama hamil disangkal. Riwayat DM, hipertensi, dan kejang selama kehamilan disangkal. Riwayat trauma saat kehamilan tidak ada, dan riwayat keluar cairan ketuban juga tidak ada. Riwayat Natal Pasien merupakan anak kedua dari empat bersaudara yang lahir cukup bulan secara pervaginam. Saat lahir bayi langsung segera menangis dengan BBL 2500 gram. Riwayat kebiruan saat lahir disangkal. Riwayat Post Natal Riwayat Imunisasi Ibu pasien mengatakan imunisasi dasar lengkap namun tidak ingat imunisasi apa saja yang didapatkan anaknya. Riwayat Pemberian Makanan 0-6 bulan
: ASI
6-11 bulan
: ASI + nasi tim saring
11 bulan-2 tahun : Nasi tim saring + susu formula >2 tahun 2.4
: Makanan keluarga
Pemeriksaan fisik
3
Tanda Vital Keadaan umum
:
tampak sakit sedang
Kesadaran
:
E4 M6V5
Tekanan Darah
:
110/70 mmHg Task Force Sistole : 101-115 mmHg Diastole : 59-74 mmHg
Denyut nadi
:
110 x/menit
Frekuensi Napas
:
28 x/menit
Suhu tubuh (aksila)
:
36,40C
Berat badan
:
51 kg
Panjang badan
:
139 cm
Lingkar Kepala
:
55 cm
:
51/44 x 100% = 115,9 %
Panjang Badan /Umur:
139/155 x 100% = 89,6 %
Berat / Panjang Badan :
51/34 x 100% = 150 %
Berat Badan Ideal
:
44 kg
Height of Age
:
10 tahun 3 bulan
Data Antropometri
Status Gizi Berat Badan /Umur
Lingkar Kepala /Umur:
-2 SD sd +2 (Median)
Kesan
Obesitas
:
4
Kurva Antropometri
HA TB/U
BB/U
BBI
5
Kurva Nellhause
Status General Kepala
: Normocephali, LK: 55 cm
Rambut
: Hitam, sukar dicabut
Mata
: konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-), pupil bulat isokor Ø 3 mm/ 3 mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
Telinga:
: Normotia, sekret (-)
Hidung
: NCH (-), sekret (-)
Mulut
: Mukosa lembab (-), sianosis (-), pucat (-), T1/T1, faring hiperemis (-/-),
Leher
: Pembesaran KGB (-), tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
Toraks
:
Jantung
:
Inspeksi
:Simetris (+), stridor (-/-), retraksi (-)
Palpasi
: Sf kanan = Sf kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi
: Sonor/sonor
Auskultasi
:Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Inspeksi
:Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
:Thrill (-) 6
Abdomen
:
Perkusi
:Batas jantung tidak membesar
Auskultasi
:BJ I > BJ II, reguler (+), bising (-)
Inspeksi
:Distensi (-), simetris
Palpasi
:Soepel, Hepar/Lien tidak teraba
Perkusi
:Timpani (+)
Auskultasi
:Peristaltik usus (+)
Genitalia
: Perempuan
Anus
: atresia ani (-)
Ekstremitas Penilaian
: Superior
Inferior
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Pucat
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Sianosis
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Edema
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Tonus otot
Normal
Normal
Normal
Normal
Atrofi
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Status neurologis GCS
: E3 M6 V5 = 14
Mata
: Pupil bulat isokor(3 mm/ 3 mm)
TRM
: Kaku kuduk (-)
Refleks Fisiologis
: Normal
Refleks Patologis
: Tidak ditemukan
Kekuatan otot
: Normal
Sensorik/Otonom
: Normal
2.5 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap Tabel 2.1 Hasil Laboratorium tanggal 8 September 2017 08/09/2017
Nilai Normal
13,6
12,0-15,0 g/dL
Darah Rutin Hemoglobin
7
Hematokrit
41
37-47 %
Eritrosit
5,2
4,2-5,4 x 106/mm3
Leukosit
14,9
4,5-10,5 x103/mm3
Trombosit
273
150-450 x 103/mm3
MCV
78
80-100 fL
MCH
26
27-31 pg
MCHC
33
32-36 %
RDW
12,5
11.5-14.5 %
LED
25
<20 mm/jam
Eosinofil
8
0-6 %
Basofil
1
0-2 %
Netrofil Batang
0
2-6 %
Netrofil Segmen
47
50-70 %
Limfosit
36
20-40%
Monosit
8
2-8%
SGOT
35
<31 U/L
SGPT
53
<34 U/L
Ureum
30
13-43 mg/dL
Kreatinin
0,51
0,51-0,95 mg/dL
Hitung Jenis
Hati&Empedu
Ginjal-Hipertensi
Tabel 2.2 Hasil Laboratorium tanggal 12 September 2017 12/09/17
Nilai Normal
Hemoglobin
13,5
12,0-15,0 g/dL
Hematokrit
41
37-47 %
Eritrosit
5,1
4,2-5,4 x 106/mm3
Leukosit
14,1
4,5-10,5 x103/mm3
Trombosit
254
150-450 x 103/mm3
Darah Rutin
8
MCV
80
80-100 fL
MCH
27
27-31 pg
MCHC
33
32-36 %
RDW
12,8
11.5-14.5 %
Eosinofil
0
0-6 %
Basofil
0
0-2 %
Netrofil Batang
1
2-6 %
Netrofil Segmen
79
50-70 %
Limfosit
16
20-40 %
Monosit
4
2-8 %
Hati & Empedu
-
SGOT
71
<31 U/L
SGPT
24
<34 U/L
152
<200 mg/dL
Ureum
97
13-43 mg/dL
Kreatinin
0,80
0,51-0,95 mg/dL
Natrium
141
132-146 mmol/L
Kalium
4,2
3,7-5,4 mmol/L
Klorida
104
98-106 mml/L
Hitung Jenis
Diabetes GDS Ginjal-Hipertensi
Elektrolit
9
Head CT-Scan (13 September 2017)
Kesan 2.6
: CT Scan kepala dalam batas normal Diagnosis Kerja 1. Status epileptikus 2. Epilepsi umum 3. Obesitas
2.7
Penatalaksanaan
1. O2 2 L/menit via nasal canule 2. IVFD 2:1 10 tetes/menit (makro) 3. Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam/iv 4. Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam/ iv 5. Inj. Dexamethason 5 mg/12 jam/iv 6. Loading phenitoin 700 mg dalam 50 cc NaCl 0,9%, habis dalam 30 menit Maintenance phenitoin 100 mg/12 jam dalam 30 cc NaCl 0,9%, habis dalam 25 menit.
10
7. Diet MII jika stabil 2.8
Planning
1
EEG
2
Konsul nutrisi
2.9
Prognosis Quo et vitam
2.10
:
dubia et bonam
Quo et functionam :
dubia et bonam
Quo et sanactionam :
dubia et malam
Follow Up Harian
Tabel 2.3 Tabel follow up harian 14/9/2017
Dokter Anak Neuro S/ Kejang sudah tidak Th/ ada,
batuk
masih O2 2 L/menit via nasal
dirasakan
canule IVFD 2:1 10 tetes/menit
O/ TD: 110/80 mmHg, (makro) HR: 100x/menit, RR: Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 23x/menit, T: 37,1oC
jam Inj.
Dexamethason
5
A/ Status epileptikus mg/6 jam ec epilepsi + obesitas Inj. Ranitidine 50 mg/ 8 + retardasi mental
jam Maintenance 10 mg/12
P/
EEG
18/9/2017
tanggal jam dalam NaCl 0,9% 30 cc habis dalam 25 menit Luminal 2x60 mg Kloralhidrat 1x1000 mg
15/9/2017
Dokter Anak Neuro S/ Kejang sudah tidak Th/ ada,
batuk
dirasakan
masih O2 2 L/menit via nasal canule IVFD 2:1 10 tetes/menit
O/ TD: 110/80 mmHg, (makro) HR: 100x/menit, RR: Inj. Ceftriaxone 1 gr/12
11
22x/menit, T: 36,9oC
jam Inj. Ranitidine 50 mg/ 8
A/ Status epileptikus jam ec epilepsi + obesitas Luminal 2x60 mg + retardasi mental
Kloralhidrat 1x1000 mg (stop)
P/
EEG
tanggal Urdafalk acid 2x250 mg
18/9/2017 16/9/2017
Dokter Anak Neuro S/ Kejang sudah tidak Th/ ada,
batuk
masih O2 2 L/menit via nasal
dirasakan
canule IVFD 2:1 10 tetes/menit
O/ TD: 100/60 mmHg, (makro) HR: 92x/menit, RR: Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 24x/menit, T: 37oC
jam Inj. Ranitidine 50 mg/ 8
A/ Status epileptikus jam ec epilepsi + obesitas Luminal 2x60 mg + retardasi mental
P/
EEG
Urdafalk acid 2x250 mg
tanggal
18/9/2017 Konsul Nutrisi 17/9/2017
Dokter Anak Neuro S/ Kejang sudah tidak Th/ ada, batuk sudah mulai O2 2 L/menit via nasal berkurang
canule IVFD 2:1 10 tetes/menit
O/ TD: 100/70 mmHg, (makro) HR: 96x/menit, RR: Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 24x/menit, T: 36,9oC
jam Inj. Ranitidine 50 mg/ 8
A/ Status epileptikus jam
12
ec epilepsi + obesitas Luminal 2x60 mg + retardasi mental
P/
EEG
Urdafalk acid 2x250 mg
tanggal
18/9/2017 Konsul nutrisi 18/9/2017
Dokter Anak Neuro S/ Kejang sudah tidak Th/ ada, batuk sudah mulai O2 2 L/menit via nasal berkurang
canule IVFD 2:1 10 tetes/menit
O/ TD: 100/60 mmHg, (makro) HR: 98x/menit, RR: Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 18x/menit, T: 36,7oC
jam Inj. Ranitidine 50 mg/ 8
A/ Status epileptikus jam ec epilepsi + obesitas Luminal 2x60 mg + retardasi mental
P/
EEG
Urdafalk acid 2x250 mg
tanggal
18/9/2017
1. Kebutuhan Cairan : (1500 + (20x31)) = 2120 ml/hari Diketahui : BB = 51 kg BBI = 44 kg 2. Kebutuhan Kalori = BBI x 45-57 = 44 x (45-57) = 1.980-2.508 kkal 3. Kebutuhan Protein = BBI x 1,0 = 44 x 1,0 = 44 gram/hari
13
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Status Epileptikus
3.1.1 Definisi Status Epileptikus Kejang adalah lepasnya aktivitas listrik abnormal dan berlebihan dari jaringan neuroglia. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai gangguan fungsi otak dan homeostasis. Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Status epileptikus dapat menyebabkan hipoksemia dan penurunan perfusi korteks, dengan akibat kerusakan otak menetap.(1) 3.1.2
Klasifikasi Status Epileptikus Secara tradisional, status epileptikus dapat diklasifikasikan menjadi
convulsive dan nonconvulsive. Namun istilah ini dapat menjadi tidak tepat karena dapat merupakan suatu keadaan yang beragam seperti kejang fokal ataupun generalized seperti asbsence status epileptikus. Selain itu keadaan convulsive, khususnya kejang myoclonic, dapat terlihat pada nonconvulsive status epilepticus. Saat ini terdapat beberapa pengklasifikasian status epileptikus sebagai berikut(6) 1. Generalized Convulsive Status Epilepticus Status epileptikus tipe ini merupakan tipe yang paling sering. Generalized mengacu pada aktivitas listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan convulsive mengacu kepada aktivitas motorik suatu kejang. 2. Subtle Status Epilepticus Subtle Status Epilepticus terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang bertahan saat tidak ada respons motorik. 3. Nonconvulsive Status Epilepticus Nonconvulsive status epilepticus dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence status epilepticus dan complex partial status epilepticus. Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam tatalaksana, etiologi, dan prognosis.
14
4. Simple Partial Status Epilepticus Secara defines, simple partial status epileptikus terdiri dari kejang yang terlokalisasi pada area korteks serebri dan tidak menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda dengan convulsive status epilepticus, simple partial status epilepticus tidak dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi. 3.1.3
Etiologi Status Epileptikus Secara umum etiologi status epileptikus dibagi menjadi:(1) 1. Simtomatis: penyebab diketahui a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan metabolik atau keseimbangan elektrolit, trauma kepala, perdarahan, atau stroke. b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati hipoksik iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak kongenital. c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, autoimun. d. Epilepsi. 2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui. Gangguan serebrovaskular merupakan penyebab status epileptikus tersering
di negara maju, sedangkan di negara berkembang penyebab tersering karena infeksi susunan saraf pusat. Etiologi status epileptikus sangat penting sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas.(7) 3.1.4
Faktor Risiko Status Epileptikus Terdapat beberapa kelompok yang berisiko mengalami status epileptikus,
diantaranya adalah(1) 1. Epilepsi Sekitar 10-20% penderita epilepsi akan mengalami satu kali episode status epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu status epileptikus dapat merupakan manifestasi epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi.
15
2. Pasien sakit kritis Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan, dan ensefalopati hipertensi. 3.1.5
Patofisiologi Status Epileptikus Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi
penyebaran kejang, baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif. Neurotransmiter yang berperan sebagai eksitasi utama adalah neurotran dan asetilkolin. Sedangkan neurotransmiter inhibisi adalah gamma-aminobutyric acid (GABA).(1) Pada status epileptikus dapat terjadi perubahan fisiologis sistemik karena terjadi peningkatan kebutuhan metabolik akibat kejang berulang dan perubahan otonom seperti takikardi, aritmia, hipotensi, dilatasi pupil dan hipertermi. Aktivitas kejang yang terjadi terus-menerus selama 30 menit dapat menyebabkan kerusakan neuron dan meghilangnya autoregulasi serebral.(8) Pada satatus epileptikus tonik-klonik terjadi dua fase sebagai berikut(8) 1. Fase 1: Kompensasi Pada tahap ini terjadi peningkatan metabolik serebral, namun kebutuhan kompensasi dari tubuh mampu memenuhi kebutuhan metabolik sehingga tidak terjadi hipoksia pada jaringan otak. 2. Fase 2: Dekompensasi Selama tahap ini, kebutuhan metabolik serebral menjadi semakin meningkat dan tubuh tidak mampu lagi untuk melakukan kompensasi. Hal ini menyebabkan hipoksia pada jaringan otak dan terjadi perubahan metabolik secara sistemik pada tubuh. 3.1.6
Tatalaksana Status Epileptikus Prinsip penatalaksanaan dari status eileptikus adalah mengehtnikan kejang
serta menjaga tanda vital. Penilaian awal airway, breathing, circulation (ABC) harus dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Berikut merupakan
algoritma
tatalaksana
kejang
akut
dan
status
epileptikus
berdasarkan\konsensus UKK Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.(1)
16
Gambar 3.1 Algoritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus(1) 3.1.7
Komplikasi Status Epileptikus Komplikasi status epileptikus terbagi menjadi dua, yaitu:(1)
1. Komplikasi Primer Komplikasi primer merupakan komplikasi yang muncul karena akibat langsung dari status epileptikus. Kejang dan status epileptikus dapat menyebabkan kerusakan pada neuron, memicu reaksi inflamasi dan mengganggu metabolisme otak. Seiring dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak terhadap oksigen menjadi meningkat, dan bila kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan terjadi keadaan hipoksia pada jaringan otak sehingga dapat menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis.
17
2. Komplikasi Sekunder Komplikasi sekunder merupakan komplikasi yang timbul diluar akibat langsung dari status epileptikus, contohnya seperti efek samping penggunaan obat dan perawatan intensif serta imobilisasi. Pemakaian obat anti-konvulsan adalah depresi pernapasan serta hipotensi. Sedangkan untuk penggunaan propofol yang harus diwaspai adalah propofol infusion syndrome yang ditandai dengan rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta asidosis metabolik. Efek samping terkait perawtan intensif dan imobilisasi seperti emboli paru, pneumonia, gangguan hemodinamik dan pernapasan. 3.2
Epilepsi
3.2.1
Definisi Epilepsi Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala berupa kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi, yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Waktu munculnya kejang terjadi secara mendadak, tidak disertai dengan demam berulang dan tidak dapat diprediksi.(9) 3.2.2
Klasifikasi Epilepsi Prinsip klasifikasi epilepsi didasari oleh manifestasi klinis pada pasien dan
hasil rekaman elektroensepalogram (EEG). Berikut merupakan klasifikasi epilepsi yang disusun oleh International League Againts Epilepsy (ILAE) pada tahun 1989:(10) 1. Epilepsi dan sindrom epilepsi lokal (localized related)
Idiopatik (primer) a. Epilepsi benigna dengan gelombang paku daerah temporal b. Epilepsi dengan gelombang paroksismal daerah oksipital c. Primary Reading Epilepsy
Simptomatik (sekunder) a. Epilepsi parsialis kontinu kronik progresif pada anak (Sindrom Kojewnikoff’s)
18
b. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi rangsangan tertentu c. Epilepsi dan sindrom lain berdasarkan lokasi dan etiologi 1. Epilepsi lobus temporalis 2. Epilepsi lobus frontalis 3. Epilepsi lobus parietalis 4. Epilepsi lobus occipitalis
Kriptogenik
2. Epilepsi dan sindrom epilepsi umum
Idiopatik a. Kejang neonatus familial beligna b. Kejang neonates benigna c. Epilepsi mioklonik pada bayi d. Epilepsi lena pada anak (pyknolepsy) e. Epilepsi lena pada remaja f. Epilepsi mioklonik pada remaja g. Epilepsi dengan bangkitan tonik klonik saat terjaga h. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu diatas i. Epilepsi yang dipresipitasi faktor tertentu
Idiopatik dan/atau simptomatik a. Sindrom West (infantile spasm) b. Sindrom Lennox-Gastaut c. Epilepsi mioklonik astatik d. Epilepsi lena mioklonik
Simptomatik a. Etiologi non spesifik -
Ensefalopati mioklonik dini
-
Ensefalopati infantile dini dengan burst suppression
-
Epilepsi simtomatik lain yang tidak termasuk diatas
b. Etiologi spesifik Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain 3. Epilepsi dan sindrom epilepsi yang tidak dapat ditentukan fokal atau umum
19
Bangkitan umum dan fokal a. Bangkitan neonatal b. Epilepsi mioklonik berat pada bayi c. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam d. Epilepsi afasia didapat (Sindrom Landau-Kleffner) e. Epilepsi yang tidak terklasifikasi selain diatas
Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
Berkaitan dengan situasi tertentu. a. Kejang demam b. Bangkitan kejang terjadi hanya sekali c. Bangkitan kejang yang terjadi akibat keadaan tertentu seperti stress, perubahan hormonal, obat, alkohol, kurang tidur
3.2.3
Kejang terisolasi atau status epileptikus terisolasi Etiologi Epilepsi Kejang terjadi karena sejumlah jaringan neuroglia mencetuskan muatan
listrik secara abnormal dan berlebihan. Berbagai gangguan fungsi otak atau homeostasis dapat menyebabkan kejang. Berdasarkan kelompok umur, terdapat beberapa penyebab yang dapat menyebabkan kejang pada pediatrik.(11) Penyebab Terjadinya Kejang Berdasarkan Umur Neonatus (<1 bulan)
1. Hipoksia dan iskemia pada perinatal 2. Trauma dan perdaraan intrakranial 3. Infeksi akut pada sistem saraf pusat 4. Gangguan metabolic (hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, defisiensi piridoksin) 5. Gejala putus obat 6. Penyakit genetik
Bayi dan anak-anak
1. Kejang karena demam
\(>1
2. Penyakit genetik
tahun)
bulan
-
<12
3. Infeksi sistem saraf pusat
20
4. Trauma 5. Idiopatik Remaja (12-18 tahun)
1. Infeksi 2. Massa intrakranial 3. Penggunaan obat terlarang 4. Trauma 5. Idiopatik
3.2.4
Patofisiologi Epilepsi Serangan epilepsy terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih
dominan dari proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya sinkronisasi sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menerobos membrane neuron.(9,11) Terdapat beberapa teori mengenai patofisiologi kejang, diantaranya adalaha:(12,13) 1. Patofisiologi berdasarkan mekanisme eksitasi Aktivitas kejang sangat dipengaruhi oleh perubahan eksitabilitas sel-sel saraf dan hubungan antar sel-sel saraf. Glutamat yang dilepaskan dari terminal presinaps akan berikatan dengan reseptor glutamat yang disebut reseptor inotropik glutamat (iGluRs) yang memiliki beberapa sub tipe, salah satunya yaitu NMDA (N-methyl-D-aspartate). Ikatan glutamat dengan reseptor non-NMDA akan menghasilkan neurotransmisi eksitasi tipe cepat yang disebut excitatory postsynaptic potential (EPSP). 2. Patofisiologi berdasarkan mekanisme inhibisi Neurotransmitter inhibisi primer pada otak adalah GABA. GABA yang dilepaskan akan berikatan dengan reseptor GABAA dan GABAB. Jika diaktifkan oleh GABA presinaptik maupun postsinaptik maka reseptor GABAB akan menyebabkan inhibitory postsinaptic potential (IPSP). IPSP 21
berperan dalam menurunkan cetusan elektrik sel saraf. Penurunan komponen sistem GABA-IPSP ini akan mengakibatkan eksitasi dan mencetuskan epilepsi. 3. Patofisiologi berdasarkan mekanisme sinkronisasi Epilepsi
dapat
diakibatkan
oleh
hipersinkronisasi
sel-sel
saraf.
Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan sejumlah besar neuron yang berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik yang abnormal. 4. Patofisiologi berdasarkan mekanisme iktogenesis Mekanisme iktogenesis diawali dengan adanya sel-sel neuron abnormal yang mempengaruhi neuron-neuron sekitarnya dan membentuk suatu critical mass, yang bertanggung jawab dalam mekanisme epilepsi. 5. Patofisiologi berdasarkan mekanisme epileptogenesis Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber diotak yang dinamakan fokus epileptogenik, yang berasal dari sekelompok sel neuron yang abnormal di otak dan memiliki lepas muatan listrik yang berlebihan sehingga mengalami hipersinkronisasi. Sedangkan faktor penyebab dasar terjadinya epilepsy terbagi menjadi 3, yaitu:(12) 1. Non Spesific Predispossing Factor (NPF) yang membedakan seseorang peka atau tidak terhadap serangan epilepsy dibandingkan orang lain. 2. Spesific Epileptogenic Disturbances (SED). KElainan epileptogenik ini dapat diwariskan maupun didapat dan hal ini yang dapat menyebabkan timbulnya epileptiform activity di otak. 3. Predispitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi pada penderita epilepsy yang kronis. 3.2.5
Manifestasi klinis Manifestasi klinis dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi epilepsi,
yaitu:(14) 1.
Kejang parsial Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil otak atau
satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan
22
kesadaran penderita umumnya masih baik. Kejang parsial terbagi menjadi kejang parsial sederhana dan kompleks. a. Kejang parsial sederhana Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, fenomena halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Ketika terjadi serangan pasien akan tetap sadar, namun pasien akan mengalami gejala berupa “déjà vu”, yaitu perasaan dimana pasien pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya. b. Kejang parsial kompleks Pada kejang parsial kompleks gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana. Namun yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme serta pasien sulit mengingat waktu serangan. 2.
Kejang umum Lesi pada kejang umum berasal dari sebagian besar otak atau kedua
hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh tubuh dan umumnya terjadi penurunan kesadaran. Kejang umum terdiri dari kejang absens, kejang atonik, kejang mioklonik, kejang tonik-klonik, kejang klonik, dan kejang tonik. a. Kejang absens Pada kejang absens terjadi hilangnya kesadaran dalam hitungan detik dan terjadi secara mendadak. Serangan ini terjadi tanpa adanya peringatan seperti aura dan halusinasi sehingga seringkali tidak terdeteksi. b. Kejang atonik Hilangnya tonus secara mendadak pada leher, badan dan anggota gerak. Hal ini biasanya bersifat total dan terjadi dalam waktu singkat. c. Kejang mioklonik Pada kejang mioklonik terjadi kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang yang terjadi dapat berupa tunggal atau berulang. d. Kejang tonik-klonik Kejang tonik-klonik sering disebut grand mal. Pada kejang tonik-klonik terdapat dua tahap, yaitu tahap tonik atau kaku yang diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada tahap tonik, umumnya pasien mengalami penurunan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan terjatuh karena kaku. Fase ini
23
berlangsung selama 10-20 detik kemudian diikuti fase klonik selama 30 detik. Pada fase klonik terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol. e. Kejang klonik Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, namun dengan durasi kejang yang lebih lama. Pada kejang klonik durasi kejang bisa mencapai 2 menit. f. Kejang tonik Pada kejang tonik terjadi kaku dan tegang pada otot sehingga pasien sering kali terjatuh karena kehilangan keseimbangan.
3.2.6
Diagnosa Epilepsi Diagnosa epilepsi didasari dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan penunjang seperti EEG dan pemeriksaan radiologis hanya digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Diagnosa epilepsi ditegakkan apabila terdapat kejang berulang yang tidak disertai dengan demam dan tidak membutuhkan provokasi.(9) 3.2.6.1 Anamnesis Anamnesis merupakan langkah terpenting dalam menegakkan diagnose epilepsi. Anamnesis pada pasien epilepsi harus dilakukan secara cepat, cermat serta menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat memunculkan informasi mengenai riwayat trauma kepala, infeksi pada jaringan otak, gangguan metabolik serta obatobatan tertentu yang dapat mengganggu fungsi otak. Penjelasan dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan merupakan informasi yang sangat penting dalam penegakkan diagnosis. Anamnesis pada pasien epilepsi dapat bersifat autoanamnesis maupun alloanamnesis. Anamnesis pada pasien epilepsi meliputi:(9,14) a. Pola/ bentuk serangan b. Lama serangan c. Gejala sebelum, selama dan sesudah serangan d. Frekuensi serangan
24
e. Faktor pencetus f. Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang g. Usia saat terjadinya serangan pertama h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan pada pasien i. Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya j. Riwayat penyakit eplepsi dalam keluarga Pada epilepsi, harus dipastikan apakah pasien benar-benar mengalami kejang. Kejang harus berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 kali dengan interval waktu lebih dari 24 jam. Kejang yang berulang dalam rentang waktu 24 jam dianggap kejang episode tunggal dan diagnosis epilepsi belum bisa ditegakkan. Selain itu pemeriksa juga harus memastikan bahwa kejang terjadi tanpa adanya demam, gangguan elektrolit dan gangguan metabolik.(9) 3.2.6.2 Pemeriksaan Fisik Umum dan Status Neurologis Pada pemeriksaan fisik umum dan status neurologis, dapat dilihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, kelainan kongenital dan gangguan neurologis yang bersifat lokal atau difus. Pada pasien anak perlu diperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh untuk melihat apakah terdapat tanda awal gangguan pertumbuhan otak.(14) 3.2.7
Pemeriksaan Penunjang Pada pasien epilepsi pemeriksaan penunjang yang dapat dianjurkan yaitu
pemeriksaan EEG dan neuroimaging. 3.2.7.1 Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG) Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan pada pasien epilepsi. Pemeriksaan EEG digunakan untuk membantu membedakan tipe kejang dan mmemberikan informasi berakaitan dengan sindrom epilepsi, serta dalam menentukan lokasi atau fokus kejang. Terdapat dua bentuk kelainan yang dapat dijumpai pada EEG. Kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi stuktural di otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila(11,15)
25
1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak 2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya 3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal Prosedur standar yang digunakan pada pemeriksaan EEG adalah rekaman EEG saat tidur (sleep deprivation), pada kondisi hiperventilasi dan stimulasi fotik, dimana ketiga keadaan tersebut dapat mendeteksi aktivitas epileptiform. Selain ketiga prosedur standar diatas dikenal pula rekaman Video-EEG dan ambulatory EEG, yang dapat memperlihatkan aktivitas elektrik pada otak selama kejang berlangsung.(15) 3.2.7.2 Pencitraan (Neuroimaging) Neuroimaging atau yang lebih kita kenal dengan pemeriksaan radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak. Pemeriksaan neuroimaging yang paling sering digunakan adalah pemeriksaan Computer Tomography Scan (CT-Scan) dan Magnetic Resinance Imaging (MRI).(16) 1. CT-Scan Pada kasus epilepsi, CT-scan kepala sering kali memberikan hasil normal. Namun tidak menutup kemungkinan ditemukan adanya kelainan pada otak seperti atrofi jaringan otak, jaringan parut, tumor dan kelainan pada pembuluh darah otak.(16) 2. MRI MRI merupakan pemeriksaan pencitraan yang sangat penting karena MRI dapat memperlihatkan struktur otak dengan sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan CT scan. Gambaran yang dihasilkan dengan mnggunakan MRI dapat digunakan untuk membedakan kelainan pada otak, seperti gangguan perkembangan otak, tumor otak, kelainan pembuluh darah otak serta abnormalitas lainnya Namun MRI tidak dilakukan pada semua jenis epilepsi dan biasanya bukan disebabkan oleh gangguan strkutural.(16)
26
3.2.8
Tatalaksana Epilepsi Selain membebaskan pasien dari serangan kejang tanpa mengganggu fungsi
normal saraf pusat, pengobatan epilepsi pada anak juga bertujuan untuk mengoptimalkan kualitas hidup penderita epilepsi. Prinsip pemberian terapi pada pasien pediatrik sedikit lebih kompleks dibandingkan kelompok pasien lainnya dan memerlukan perhatian khusus. Penentuan diagnosis epilepsi yang tepat akan membantu dalam menentukan terapi, prognosis dan pemberian informasi yang tepat kepada pasien dan keluarga.(17) 3.2.8.1 Obat Antiepilepsi (OAE) Obat antiepilepsi merupakan obat yang mampu mengontrol jenis kejang tertentu sesuai dengan mekanisme aksi obat tersebut. Prinsip pengobatan epilepsy adalah dimulai dengan monoterapi, bila kejang tidak dapat ditangani dengan dosis maksimal, mulai pemberian monoterapi kedua. Apabila monoterapi kedua berhasil menghentikan kejang segera hentikan pemberian monoterapi pertama dan lanjutkan monoterapi kedua. Apabila kejang tidak dapat dihentikan dengan pemberian monoterapi kedua maka pertimbangkan untuk pemberian politerapi.(18) Terdapat 4 mekanisme aksi utama obat anti epilepsi (OAE), yaitu:(18) 1. Mengikat kanal Na menjadi inaktif Contoh obat : Fenitoin,
Karbamazepin,
Oxcarbazepin,
Zonisamid,
Lamotrigin, Topiramat, Gabapentin. 2. Memodulasi GABA, menginhibisi reuptake GABA Contoh obat : Agonis GABA (Benzodiazepin, Barbiturat, Topiramat) Inhibitor reuptake (Tiagabin) GABA-transaminase (Vigabatrin) Modulasi GAD (Felbamate) 3. Mengikat reseptor glutamat Contoh obat : Reseptor NMDA (Felbamate) Reseptor AMPA/Kainat (Topiramat) 4. Mengikat kanal Ca Contoh obat : Ethosuksimid, Fenitoin, Karbamazepin, Oxcarbazepin, Zonisamid
27
Tabel I. Pemilihan OAE yang disarankan ILAE untuk pasien pediatrik Tipe Kejang
General
Parsial
Absense
Tonik-klonik
Lini pertama
-
-
Oxcarbazepine
Alternatif
Ethosuximide
Carbamazepin
Carbamazepin
Lamotrigin
Fenobarbital
Fenobarbital
Asam Valproat
Fenitoin
Fenitoin
Topiramat
Topiramat
Asam Valproat
Valproat
28
BAB IV ANALISA KASUS
Melalui tinjauan pustaka yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat ditinjau beberapa aspek diagnostik pada kasus yang didapat. Pasien seorang anak perempuan berusia 12 tahun 6 bulan. Dari anamnesis (alloanamnesis) didapatkan pasien datang dibawa oleh keluarga dengan keluhan kejang yang dialami sejak + 14 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang terjadi secara tiba-tiba saat pasien sedang beraktivitas. Kejang terjadi selama + 15 menit. Kejang terjadi di seluruh tubuh, kelonjotan dan mata melihat ke atas. Setelah kejang pasien tertidur. Dari rumah hingga dibawa ke IGD pasien sudah kejang sebanyak 7 kali dengan frekuensi + 15 menit dan diantara dua kejang tidak terdapat adanya perbaikan kesadaran. Saat tiba di IGD RSUDZA pasien sudah tidak kejang lagi. Kejang tidak disertai dengan riwayat demam. Selain itu pasien juga dengan keluhan batuk sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Batuk berdahak berwarna putih. Riwayat muntah disangkal. Riwayat BAK dan BAB dalam batas normal. Pasien memiliki riwayat kejang sejak umur 8 tahun. Keluarga mengaku pasien selalu kejang dalam sebulan sekali. Saat pertama kali kejang tidak disertai dengan riwayat demam sebelumnya. Dan dari hasil pemeriksaan didapatkan suhu aksila 36,4oC dan tanda rangsang meningeal tidak ditemukan. Dengan demikian, kemungkinan diagnosis banding kejang demam dan kejang akibat infeksi dapat disingkirkan. Selain itu dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik kejang terjadi secara berulang dan tidak ada perbaikan kesadaran diantara dua bangkitan kejang sehingga dapat digolongkan menjadi status epileptikus. Berdasarkan
teori
status
epileptikus
merupakan
kegawat-daruratan
neurologis yang didefinisikan sebagai aktivitas kejang terus-menerus selama lebih dari 20 menit atau kejang berulang tanpa pulihnya kesadaran dalam waktu lebih dari 30 menit. Status epileptikus dapat menyebabkan hipoksemia dan penurunan perfusi korteks, dengan akibat kerusakan otak menetap. Dari hasil pemeriksaan CT-Scan kepala tidak ditemukan adanya kelainan sehingga kemungkinan etiologi kelainan neurologi seperti sol dan trauma kepala dapat disingkirkan. Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini adalah pemberian loading phenitoin 700 mg dalam 50 cc NaCl 0,9% habis dalam 30 menit yang 29
selanjutanya dilanjutkan dengan maintenance phenitoin 100 mg/12 jam dalam 30 cc NaCl 0,9% habis dalam 25 menit. Setelah itu pasien mendapatkan terapi rumatan luminal 2x60 mg. Penatalaksanaan pada pasien dengan status epileptikus yaitu dengan mengevaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathin, circulation (ABC) dan harus dilakukan seiring dengan pemberian antikonvulsan. Setelah kondisi akut teratasi terapi dilanjutkan dengan pemberian obat anti epilepsi (OAE) untuk mengontrol kejang. Prinsip pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi, bila kejang tidak dapat ditangani dengan dosis maksimal, mulai pemberian monoterapi kedua. Apabila monoterapi kedua berhasil menghentikan kejang segera hentikan pemberian monoterapi pertama dan lanjutkan monoterapi kedua. Apabila kejang tidak dapat dihentikan dengan pemberian monoterapi kedua maka pertimbangkan untuk pemberian politerapi.
30
BAB V KESIMPULAN
Telah dilaporkan kasus seorang pasien perempuan berumur 12 tahun 6 bulan yang datang dengan keluhan kejang. Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang ditegakkan diagnosis Status epileptikus ec epilepsi disertai obesitas. Terapi yang diberikan selama di rumah sakit mencakup terapi cairan IFVD intravena, pemberian antibiotic dan antikonvulsan sebagai terapeutik. Pasien di rawat di ruangan Arafah 1 kamar 4 bed 4. Upaya pencegahan pada pasien dengan status epileptikus dengan penyebab epilepsi dapat diberikan terapi rumatan berupa obat anti epilepsi (OAE) baik monoterapi atau politerapi selama 2 tahun. Kepatuhan minum obat sangat diperlukan pada pasien dengan epilepsi untuk mengontrol kejang dan mencegah komplikasi primer maupun komplikasi sekunder dari epilepsi sendiri.
31
DAFTAR PUSTAKA 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus. Jakarta: IDAI. 2016. 2. Ziai, Wendy C. Kaplan, Peter W. Seizures and Status Epilepticus in the Intensive Care Unit. New York. 2008. 3. Miquel RC, Richard FMC, Brian GN, Helen B, Rod CS. The Epidemiology Of Convulsive Status Epilepticus In Children: A Critical Review. United Kingdom: Official Journal Of The International League Against Epilepsy. 2007. 4. Fathia AP, Machlusil H, Shahdevi NK, Masruroh R. Diagnosis And Management Of Nonconvulsive Status Epilepticus (NCSE). Malang: Laboratorium Neurologi Universitas Brawijaya. 2017. 5. Rilianto, Beny. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus. Riau: RS Pekanbaru Medical Baru. 2015. 6. Panayiotopolus CP. Status epilepticus. A clinical guide to epileptic syndrome and their treatment. Springer; 2010. 7. Manno EM. New Management Strategies In The Treatment Of Status Epilepticus. Mayo Clin Proc: 2003. 8. Shorvon S. Treatment Of Status Epilepticus. J Neurol Nerusurg Psychiatry: 2001. 9. Karen JM, Robert, MK, Hal BJ, Richard EB. Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Ed keenam. Singapore. Elsevier. 2011. 10. Commission On Classification And Terminology Of The International League Against Epilepsy. Proposal For Revised Classification Of Epilepsies And Epileptic Syndromes. Epilepsia: 1989. 11. Lumbantobing SM. Etiologi dan Faal Sakitan Epilepsi. Dalam: Buku ajar neurologi. Edisi kedua. FKUI: 2007. 12. Engel J Et Al. Neurobiology Of Epilepsy. In: Engel J, Pedley T, Editors. Epilepsy, A Comprehensive Text Book. 2nd Ed. Philadelphia: Lippincot, William And Willkins; 2008. 13. Chang B, Loweinstwein B. Epilepsy. England: New England Journal Medicine. 2003. 14. Tjahjadi P, Dikot Y. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In: Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005. 32
15. Epstein H, Charles M. Timeline of The History of EEG and Associated Fields. Electroencephalography and Clinical Neurophysiology. 1983. 16. Rallam DK. Investigating Epilepsy: CT And MRI In Epilepsy. Nepal: Journal Of Neuroscience. 2004. 17. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Edisi Kedua. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2007. 18. Risa V, Ayu RD, Nursiah. Sindrom Epilepsi Pada Anak. Palembang: Departemen Fisiologi Universitas Sriwijaya. 2014.
33