Lap Kasus Sle.docx

  • Uploaded by: kenanga
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lap Kasus Sle.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,829
  • Pages: 39
BAB I PENDAHULUAN

Sistemik Lupus Erimatosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Etiologinya tidak jelas diduga berhubungan dengan gen respon imun spesifik pada komplek histokompatibilitas mayor klas II yaitu HLA DR-2 dan HLA DR-3 . Patogenesa SLE bersifat multifaktor, yaitu mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan (sinar ultraviolet, infeksi) dan hormonal (estrogen) terhadap respon imun. Manifestasi klinis yang muncul heterogen dan hampir melibatkan semua sistim organ dari kondisi sendi dan kulit yang ringan samapi kondisi berat yang menyerang sistim syaraf pusat, paru, saluran pencernaan dan ginjal. Pertanda utama SLE adalah adanya antibodi terhadap anti nuklear (ANA). Prevalensi SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang diseluruh dunia. Penderita SLE di Indonesia pada pertengahan tahun 2010 meningkat 10.314 kasus. SLE terutama terjadi pada usia reproduksi antara 15-40 tahun dengan rasio wanita : laki-laki adalah 5:1, dengan demikian terdapat peningkatan kejadian kehamilan dengan SLE ini.1 Dalam bidang obstetri penyakit ini dianggap penting karena SLE dapat merupakan suatu penyulit kehamilan, dimana mempunyai potensi untuk mengakibatkan kematian janin, kelahiran preterm maupun kelainan pertumbuhan janin. Sedangkan resiko kematian ibu hamil yang menderita SLE memiliki dampak 20 kali lebih tinggi karena komplikasi yang disebabkan oleh preeklampsi, trombosis, infeksi dan kelainan darah.2 Penyakit SLE yang kebanyakan terjadi pada wanita di usia reproduksi seringkali menimbulkan masalah kesehatan terutama pada masa kehamilan yang dapat membahayakan kondisi ibu dan janin. Oleh karena itu penyakit SLE sangat beresiko tinggi pada kehamilan.3

1

Akibat komplikasi yang ditimbulkan pada penderita SLE selama kehamilan

ini

perlu

mendapatkan

perhatian

yang

serius

karena

keterlambatan diagnosis dan terapi dapat menyebabkan kematian ibu dan janin. Berikut dilaporkan kasus pasien Ny L 20 tahun dirawat dibangsal Penyakit Dalam tanggal 5-7-2015 kemudian dikonsulkan ke bagian Obgin RSUP Dr. M Djamil Padang tgl 8-7-2015 dengan diagnosa G1P0A0H0 gravid 29-30 minggu + Sistemik Lupus Erimatosus flare induced pregnancy. Diharapkan dengan laporan kasus ini dapat memberikan wawasan mengenai penyakit SLE terutama dampaknya selama kehamilan terhadap ibu dan janin.

2

BAB II LAPORAN KASUS Identitas Pasien

Nama

: Ny. L

Umur

: 20 tahun

MR

: 1000439

Tanggal dirawat

: 5 -7 2015

Seorang pasien wanita umur 20 tahun dikonsulkan oleh bagian Penyakit Dalam ke bagian Obgin RSUP Dr. M. Djamil Padang tanggal 87-2015 dengan diagnosis G1P0A0H0 gravid 29-30 minggu + Sistemik Lupus Erimatosus flare induced pregnancy.

Riwayat Penyakit Sekarang :  Demam sejak 1 minggu yang lalu, demam tinggi tidak menggigil dan tidak berkeringat basah.  Sesak nafas sejak 1 minggu yang lalu, sesak tidak berhubungan dengan cuaca dan makanan. Sesak bertambah dengan aktifitas, tidur dengan 2 bantal, riwayat terbangun karena sesak disangkal.  Pasien merasa lemas diseluruh tubuh sejak 1 minggu yang lalu hingga mengganggu aktivitas.  Bercak-bercak kemerahan pada daerah pipi sejak 1 tahun yang lalu,semakin meningkat terutama bila terkena cahaya matahari, hilang timbul, tidak gatal, tidak bentol dan tidak nyeri.  Riwayat nyeri sendi yang hilang timbul sejak 1 minggu yang lalu terutama saat demam.  Sariawan yang hilang timbul pada mulut

3

 Batuk (-), Riwayat kaki sembab (-), nyeri dada (-), penurunan kesadaran(-), kejang(-).  Tanda inpartu (-)  Keluar air-air yang banyak dari kemaluan (-)  Keluar darah yang banyak dari kemaluan (-)  Tidak haid sejak lebih kurang 7,5 bulan yang lalu.  HPHT : 12-12-2014

TP 19-9-2015

 Gerak anak dirasakan sejak 2,5 bulan yang lalu.  Riwayat hamil muda : mual (-), muntah (-), perdarahan (-).  Prenatal Care : Kontrol kehamilan ke SpOG, teratur setiap bulan. Selama kontrol kehamilan tidak pernah ditemukan kelainan.  Riwayat Menstruasi: menarche: 14 tahun, siklus tidak teratur, lamanya 8-10 hari, banyaknya 3-4 x ganti duk/hari, nyeri (-).

Riwayat Penyakit Dahulu Pasien sudah dikenal menderita Sistemik Lupus Erimatosus sejak 1 tahun yang lalu dan kontrol teratur dengan Dr. SpPD dan mendapat therapi metilprednisolon dengan dosis metilprednisolon 8-8-0 sejak 1 tahun namun menghentikan obat sendiri sejak 5 bulan yang lalu atas saran Dr SpOG. Riwayat penyakit tekanan darah tinggi, Diabetes melitus, dan asma disangkal. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit SLE, jantung, diabetes melitus dan asma.

Riwayat perkawinan : 1 x tahun 2014 Riwayat kehamilan / abortus / persalinan : 1/0/0 1. Sekarang

4

Riwayat pemakaian kontrasepsi : (-) Riwayat Imunisasi : (-) Riwayat pendidikan : PT Riwayat pekerjaan : IRT Pemeriksaan Umum Keadaan umum

: sedang

Kesadaran

: komposmentis kooperatif

Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Frekuensi nadi

: 120 x / menit

Frekuensi nafas

: 28 x / menit

Suhu

: 38,50 C

BB

: 55 kg

TB

: 155 cm

Mata

: Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik

Kulit

: Hangat, turgor baik, perdarahan bawah kulit (-) Kulit wajah tampak bercak-bercak merah pada pipi (butterfly rush), tidak berbenjol dan tidak gatal

Leher

: JVP 5 – 2 cmH2O, Kelenjer tiroid tidak membesar

KGB

: Pembesaran KGB cervical, axilla dan inguinal

Dada

: Jantung dan Paru dalam batas normal

Perut

: Status Obstetri

Genitalia

: Status Obstetri

5

Ekstremitas

: Edema -/- , reflek fisiologis +/+ , reflek patologis -/-

STATUS OBSTETRI Abdomen

:

Inspeksi

: tampak membuncit sesuai usia kehamilan preterm, linea mediana hiperpigmentasi, striae gravidarum (+), sikatrik (-).

Palpasi

: Balotement (+) His: (-)

Perkusi

TFU : 22 cm

: timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal Genitalia

TBA : 1395 gr

DJJ : 140-150 x/menit

: Inspeksi v/u tenang

USG bagian Fetomaternal tgl 8 Juli 2015

6

USG :



Janin Hidup Tunggal Intra Uterin Presentasi Kepala



Aktifitas gerak janin baik



Biometri:

-

BPD : 75 mm

- FL : 58 mm

-

AC

- HL : 51 mm



AFI : 9,3 cm cm



SDAU : 2,63



Plasenta tertanam dikorpus belakang grade I-II

: 258 mm

EFW : 1400-1500 gr

Kesan: gravid 30-31 minggu sesuai biometri, Janin hidup CTG

CTG tanggal 9-7-2015 

Baseline

: 140 dpm



Variabilitas

: 5-15 dpm



Akselerasi

: positif (+)



Deselerasi

: negatif (-)



Gerak anak : positif (+)



Kontraksi

: negatif (-)

Kesan: CTG reaktif.

7

Hasil Lab : No. Parameter

Results

Normal range

1

Haemaglobin

7,8 g/dl

12.-14

2

Haematokrit

23 %

37-43

3.

Leucocyte

2600 /mm

4.

Eritrocyte

2.590.10 /mm

5.

Trombocyte

186. 10 /mm

6

Retikulosit

1%

3

5-10

6

3

3

3

4-5 150-400 0,5-2%

No. Parameter

Hasil

Nilai Rujukan

6

GDS

95 mg/dl

74-106

7

Ureum

23

5-15 menit

8

Creatinin

0,8 g/dl

1-6 menit

Gambaran Darah Tepi : Eritrosit

: anisositosis normokrom

Leukosit

: jumlah kurang dan distribusi dalam batas normal

Trombosit

: Jumlah cukup dan morfologi dalam normal

Kriteria SLE berdasarkan American Collage of Rheumatology (ACR) : 1. Ruam malar  2. Ruam Diskoid 3. Fotosensitifitas 4. Ulserasi di mulut atau nasofaring 5. Artritis

8

6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis 7. Kelainan ginjal, proteinuria persisten > 0,5 gram/hari Lupus Eritematosus Sistemik pada Kehamilan 8. Kelainan nerologik, yaitu kejang kejang atau psikosis 9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau limfopenia atau trombositopenia 10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA positif atau anti Sm positif atau tes serologic untuk sifilis yang positip palsu 11. Antibodi antinuklear (ANA, anti nuclear antibody) positif.  Jumlah skor 5 ( skor >4  Diagnosa SLE)

Tanda

Konsul konsultan Rheumatologi : Assesment : Sistemik Lupus Eritematosus Flare Induced kehamilan Advice : - Pulse steroid Drip 250mg dalam 100cc NaCl 0,9 (tetesan cepat) 1x1 /hari selama 3 hari. -Kloroquion 1 x 200 mg -Lansoprazol 1x30mg -Osteocal 1x1 tab Diagnosis : G1P0A0H0 gravid preterm 30-31 minggu + Sistemik Lupus Eritematosus + Flare induced kehamilan. Janin hidup tunggal intra uterin Sikap : -

Rawat bersama Interne 9

-

Konsul bag Fetomaternal, Hematologi, Reumatologi, Imunologi

-

Kontrol KU, VS, His, DJJ.

Terapi : -

Pulse steroid

-

Drip 250mg dalam 100cc NaCl 0,9 (tetesan cepat) 1x1 /hari selama 3 hari.

-

-Kloroquion 1 x 200 mg

-

-Lansoprazol 1x30mg

-

-Osteocal 1x1 tab

Rencana : Cek ANA profile

Follow Up :

Tgl 6-7-2015

S/ : Tanda inpartu (-), Gerak anak (+) Nyeri pada persendian (+), Lemas (+), Demam (-), Sesak (-) O / : VS : TD 100/70

Nd

Nf

T

88

18

afeb

Wajah : buterfly rush (+) Abdomen : His – DJJ : 140-150x/menit Genitalia : PPV (-)

A/ : G1P0A0H0 gravid preterm 30-31 minggu+ Sistemik Lupus Eritematosus + Flare induced kehamilan. Janin hidup tunggal intra uterin P/ : -

Kontrol KU, VS, His, DJJ

10

-

Thy Sub Bag Rheumatologi : Lanjutkan drip steroid sampai 3 hari Setelah

3

hari

dilanjutkan

pemberian

metilprednisolon

1mg/kgBB/hari  bagi dalam 3 dosis. -

-Kloroquion 1 x 200 mg

-

-Lansoprazol 1x30mg, Osteocal 1x1 tab

Tgl 7-7-2015

S/ : Tanda inpartu (-), Gerak anak (+) Nyeri pada persendian (-), Lemas (-), Demam (-), Sesak (-) O/ : VS : TD 100/80

Nd

Nf

T

88

18

afeb

Wajah : buterfly rush (+) Abdomen : His – DJJ : 140-150x/menit Genitalia : PPV (-)

A/ : G1P0A0H0 gravid preterm 30-31 minggu+ Sistemik Lupus Eritematosus + Flare induced kehamilan dalam perbaikan Janin hidup tunggal intra uterine P/ : -

Kontrol KU, VS, His, DJJ

-

Lanjutkan drip steroid hari ke-3 , besok dilanjutkan pemberian metilprednisolon 1mg/kgBB/hari  bagi dalam 3 dosis.

-

-Kloroquion 1 x 200 mg

-

-Lansoprazol 1x30mg

-

Osteocal 1x1 tab

Tgl 8-7-2015

S/ : Tanda inpartu (-), Gerak anak (+)

11

Nyeri pada persendian (-), Lemas (-), Demam (-), Sesak (-) O / : VS : TD 100/70

Nd

Nf

T

88

18

afeb

Wajah : buterfly rush (+) Abdomen : His – DJJ : 140-150x/menit Genitalia : PPV (-) A/ : G1P0A0H0 gravid preterm 30-31 minggu+ Sistemik Lupus Eritematosus. Janin hidup tunggal intra uterine P/ : -

Kontrol KU, VS, His, DJJ

-

Drip steroid  stop

-

Prednison 5 mg dosis 3-2-2

-

Benovit M 1x1

-

Lansoprazol 1x30mg

-

Osteocal 1x1 tab

Rencana : Pasien boleh pulang dan kontrol poli Penyakit Dalam dan Kebidanan untuk rawat jalan.

12

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Lupus eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistim tubuh menyerang jaringan sendiri. Sistemik Lupus Erimatosus (SLE) merupakan kondisi inflamasi yang berhubungan dengan sistim imunologi yang dapat menyebabkan kerusakan multiorgan. SLE adalah suatu penyakit yang etiologinya tidak diketahui berupa terjadinya kerusakan sel dan jaringan oleh autoantibodi dan kompleks imunyang ditujukan ke satu atau lebih komponen inti sel. SLE tergolong penyakit kolagen vaskuler yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistim muskuloskeletal, kulit dan pembuluh darah yang mempunyai banyak menifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.1

B. Epidemiologi Diperkirakan penderita SLE mencapai 5 juta orang didunia. Hampir 90 % kasus SLE terjadi pada wanita yang terjadi pada rentang usia reproduksi 15-40 tahun dengan rasio wanita : laki adalah 5:1. Di Indonesia pada pertengahan tahun 2010 jumlah kasus SLE meningkat 10.314 kasus. Sebanyak 8 dari 10 kasus baru yang muncul terjadi pada wanita usia 15-60 tahun. Penyakit SLE yang kebanyakan terjadi pada wanita di usia repsoduksi seringkali menimbulkan masalah kesehatan terutama pada masa kehamilan yang dapat membahayakan kondisi ibu dan janin.Angka kelangsungan hidup 10 dan 20 tahun masing-masing adalah 75 dan 50 persen. Infeksi, kekambuhan lupus, kegagalan end organ, dan penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama kematian. 3

C. Etiologi dan Patogenesis Sampai saat ini belum jelas mekanisme terjadinya SLE, interaksi antara faktor lingkungan, genetik dan hormonal yang saling terkait akan

13

menimbulkan abnormalitas respon imun pada tubuh penderita SLE. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE adalah stres fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obatobatan.

Obat-obatan

yang

diduga

mencetuskan

SLE

adalah

procainamine, hidralasin, quidine, dan sulfasalazin. Pada SLE ini sel tubuh sendiri dikenali sebagai antigen. Target antibodi pada SLE ini adalah sel beserta komponennya yaitu inti sel, dinding sel, sitoplasma dan partikel nukleoprotein. Karena didalam tubuh terdapat berbagai macam sel yang dikenali sebagai antigen maka akan muncul berbagai macam autoantibodi pada penderita SLE. Peran antibodi antibodi ini dalam menimbulkan gejala klinis belum jelas diketahui, beberapa ahli melaporkan kerusakan organ / sistim bisa disebabkan oleh efek langsung antibodi atau melalui pembentukan komplek imun. Kompleks imun akan mengaktifasi sistim komplemen untuk melepaskan C3a dan C5a yang meransang sel basofil untuk membebaskan vasoaktif amin seperti histamin yang menyebabkan peningkatan

permeabilitas

vaskuler

yang

akan

memudahkan

mengendapnya kompleks imun. Pembentukan kompleks imun ini akan terdeposit pada organ/sistim sehingga akan menimbulkan reakasi peradangan menyebabkan lisis selaput sel sehingga akan memperberat kerusakan

jaringan yang terjadi.Kondisi inilah

yang menimbulkan

manifestasi klinis SLE tergantung dari organ / sistem mana yang terkena. Pada plasenta proses tersebut akan menyebabkan terjadinya vaskulitis desidua.6,7

Gambar 1. Patogenesa SLE

14

D. Manifestasi Klinis Penderita SLE umumnya mengeluh lemah,demam, malaise, anoreksia dan berat badan menurun. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan. Manifestasinya bisa ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa.

Table 1. Persentase spektrum klinis SLE (Cunningham FG,2014)

Sistim Organ

Manifestasi klinis

Sistemik

Lemah, demam, anoreksia,

Persen Proses (% ) 95

penurunan berat badan Musculoskeletal

Arthralgia, mialgia, poliarthritis,

95

miopati Hematologik

Anemia, hemolisis, leukopenia,

85

thrombocitopenia, Kulit

Ras kupu-kupu, ruam kulit,

80

fotosensitiviti, ulkus mulut, hopesia, ras kulit Neurologik

Disfungsi kongitif, ganguan berpikir,

60

sakit kepala, kejang Cardiopulmonar

Pleuritis, pericarditis, miocarditis,

60

endocarditis Libman- Sacks Ginjal

Proteinuria, sindroma neprotik,

60

gagal ginjal Gastrointestinal

Anoreksia, mual, nyeri , diare

45

Thrombosit

Venus (10%), arteri (5%)

15

Mata

Infeksi konjungtif

15

Kehamilan

Abortus berulang, preeklampsia,

30

kematian janin dalam rahim

15

E. DIAGNOSIS Untuk

menegakkan

diagnosis

SLE

hendaknya

dilakukan

anamnesis dan pemeriksaan fisik serta penunjang diagnosis yang cermat sebab manifestasi SLE sangat luas, dan seringkali mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4 kriteria saja maka diagnosis LES sudah dapat di tegakkan. Kriteria tersebut adalah6,7 1. Ruam malar. 2. Ruam Diskoid. 3. Fotosensitifitas. 4. Ulserasi di mulut atau nasofaring 5. Artritis. 6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis 7. Kelainan ginjal, proteinuria persisten > 0,5 gram/hari Lupus Eritematosus Sistemik pada Kehamilan. 8. Kelainan nerologik, yaitu kejang kejang atau psikosis. 9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau limfopenia atau trombositopenia. 10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA positif atau anti Sm positif atau tes serologic untuk sifilis yang positip palsu. 11. Antibodi antinuklear (ANA, anti nuclear antibody) positif.

F. Pengaruh Kehamilan Terhadap SLE Masih

belum

dapat

dipastikan

apakah

kehamilan

dapat

mencetuskan SLE, eksaserbasi SLE pada kehamilan tergantung dari lamanya masa remisi SLE keterlibatan organ organ vital seperti ginjal. Penderita SLE yang telah mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai risiko 25% eksaserbasi pada saat hamil dan 90% luaran kehamilannya baik. Tetapi sebaliknya bila masa remisi SLE

sebelum

16

hamil kurang dari 6 bulan maka resiko eksaserbasi SLE pada saat hamil menjadi 50% dengan luaran kehamilan yang buruk. Apabila kehamilan terjadi pada saat SLE sedang aktif maka risiko kematian janin 50-75% dengan angka kematian ibu menjadi 10%. Dengan meningkatnya umur kehamilan maka risiko eksaserbasi juga meningkat, yaitu 13% pada trimeseter I, 14% pada trimester II, 53% pada trimester III serta 23% pada masa nifas.6,7

G. Pengaruh SLE Terhadap Kehamilan Nasib kehamilan penderita SLE sangat ditentukan dari aktifitas penyakitnya, konsepsi yang terjadi pada saat remisi mempunyai luaran kehamilan yang baik. Beberapa komplikasi kehamilan yang bisa terjadi pada kehamilan yaitu, kematian janin meningkat 2-3 kali dibandingkan wanita hamil normal, bila didapatkan hipertensi dan kelainan ginjal maka mortalitas janin menjadi 50%. Kelahiran prematur juga bisa terjadi sekitar 30-50% kehamilan dengan SLE yang sebagian besar akibat preeklamsia atau gawat janin. Infark plasenta yang terjadi pada penderita SLE dapat menigkatkan risiko terjadinya Pertumbuhan janin Terhambat sekitar 25% demikian juga risiko terjkadinya preeklamsia . eklamsia meningkat sekitar 25-30% pada penderita SLE yang disertai lupus nepritis kejadian preeklamsia menjadi 2 kali lipat.6 Membedakan preeklamsia dengan lupus nepritis sulit karena keduanya mengalami hipertensi, protenuria, edema dan perburukan fungsi ginjal. Kriteria dibawah ini dapat dipakai untuk membedakan SLE dengan Preeklampsia (tabel2)9

Tabel 2. Perbedaan preeklamsia dengan eksaserbasi lupus renal Pre-eklampsia

Renal flare

Kadar C3/C4

Membaik

Menurun

Kadar Anti-dsDNA

Tidak ada perubahan

Meningkat

Sidimen urin

Ringan

Aktif

Respon terhadap steroid

Memburuk

Membaik

17

Pengaruh SLE terhadap kehamilan dapat disimpulkan diantaranya : 1. Kematian janin Mekanisme kematian janin ini belum jelas, namun diduga berhubungan dengan disfungsi plasenta dan peningkatan dari alfafetoprotein serum pada wanita hamil. Pada penderita SLE kematian janin dihubungkan dengan adanya antibodi antifosfolipid. Pada penderita SLE dengan gangguan ginjal berat (kreatinin serum >1,5 mg/dl) juga dihubungkan dengan kematian janin yang tinggi. 2. Persalinan preterm Persalinan preterm pada SLE dihubungkan dengan kejadian SLE flare. Sehingga banyak ahli obstetri yang memutuskan untuk melahirkan janin yang sudah dianggap matur secepatnya pada kehamilan dengan SLE. Pecah ketuban sebelum waktunya juga ditemukan sebagai penyulit pada kehamilan dengan SLE yang ujungnya akan menyebabkan persalinan preterm. 3. Kelainan pertumbuhan janin Berdasarkan kenyataan bahwa wanita hamil dengan SLE dapat mengidap preeklampsia, sindroma antifosfolipid, atau keduanya, tidaklah mengejutkan bila terjadi kelainan pertumbuhan janin. 10,11

H. Flare Induced Pregnancy

1. Definisi dan Epidemiologi Flare Induced Pregnancy Masalah utama yang terjadi pada kehamilan dengan SLE yaitu meningkatnya komplikasi kehamilan terkait dengan kejadian flare akibat kehamilan. Flare menurut Arfaj dan Khail (2010) didefinisikan sebagai serangan yang tidak terduga dari penyakit setelah periode remisi. Flare penyakit SLE pada kehamilan merupakan prediktor yang sangat kuat berhubungan dengan dampak buruk yang terjadi selama kehamilan seperti pengakhiran kehamilan, kelahiran prematur, dan IUGR.13 Lupus flare dapat terjadi selama kehamilan dan segera setelah melahirkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa frekuensi terjadinya

18

flare selama kehamilan paling rendah pada trimester III(28,30). Dilaporkan frekuensi flare pada wanita hamil 13,5-65%. Beberapa penelitian komparative kejadian flare dalam kehamilan dengan kontrol wanita SLE yang tidak hamil dapat dilihat pada pada tabel 313

Tabel 3. Penelitian rata-rata kejadian Flare Induced Preganancy

2. Patofisiologi Lupus Flare induced Kehamilan Patofisiologi flare pada kehamilan dengan SLE diduga karena peningkatan hormon estrogen selama kehamilan. Estrogen meningkatkan reaktifitas imunologis pada wanita dengan penyakit autoimun. Teori terbaru mengenai patofisiologi lupus flare

pada

kehamilan

yaitu

penurunan treg sel selama kehamilan. Treg sel merupakan bagian dari limposit T yang berperan dalam mengatur imun respon dan induksi sel T.Treg sel muncul apabila kadar CD4 dan FOXP3 tinggi. Peranan dari treg sel adalah supresi sistim imun dengan menghambatan sel CD4-B dan CD8-T, sel natural killer, cytokine, dan produksi antibodi. Pada SLE jumlah Treg sel menurun dan fungsinya terganggu. Penurunan jumlah Treg sel pada SLE menurunkan supresi dari CD-4 dan CD-25 yang berdampak pada menurunnya efek inhibisi dari proliferasi sel T. Treg sel pada wanita hamil normal banyak terdapat pada uterus yaitu pada desidua. Rendahnya kadar Treg sel pada kehamilan trimester I dihubungkan dengan kejadian abortus spontan. Flare pada kehamilan dengan Lupus

19

diduga karena disfungsi Treg sel. Namun hipotesa ini masih dalam subjek penelitian yang menarik untuk diteliti.13,14

3. Penilaian Lupus Flare Dalam Kehamilan Penilaian gejala Lupus Flare dalam kehamilan sulit karena kadang mirip dengan gejala pada kehamilan normal. Penilaian gejala lupus flare dalam kehamilan dapat dilihat pada tabel 4 berikut.13

Tabel 4. Penialaian Lupus Flare dalam kehamilan

Keluhan fatigue ditemukan pada 80% penderita SLE ini dihubungkan dengan fibromyalgia. Melasma terjadi pada 75 % wanita hamil yaitu hyperpigmentasi kulit pada pipi, dahi, dagu, kulit diatas bibir dan hidung.

20

Berbeda dengan SLE terdapat lupus rash malar yaitu plaque edematous dan eritematous pada wajah. Palmar erythema pada kehamilan dengan lupus karena vasodilatasi yang di induksi oleh estrogen dan dapat menyerupai suatu vasculitis. Nyeri muskuloskeletal seperti low back pain dapat ditemukan pada kehamilan normal namun pada lupus flare karena kehamilan juga dapat ditemukan nyeri muskuloskeletal yang terjadi karena inflamasi pada sendi sehingga menimbulkan fibromyalgia. Keluhan dypsneu pada kehamilan dapat terjadi karena stimulasi syaraf terhadapat pusat respirasi karena pengaruh progesteron. Ini harus dibedakan dengan dypsneu pada lupus karena pleurisy. Pada kehamilan normal terjadi peningkatan jumlah volume darah 50 % , peningkatan jumlah sel darah merah 35%.Hal ini menyebabkan anemia ringan pada ibu hamil karena hemodiluitsi. Pada pasien hamil dengan lupus terjadi anemia hemolitik yang ditandai dengan comb tes (+). Haptoglobin rendah, hitung retikulosit tinggi dan LDH yang tinggi.13,14

4. Ukuran tingkat aktivitas Lupus pada kehamilan Terdapat beberapa skala yang digunakan untuk mengukur tingkat aktivitas Lupus pada kehamilan yaitu Lupus Aactivity Index in Pregnancy (LAI-P), SLE Disease Activity Index (SLEDAI) dan modification Systemic Lupus Activity Measure (mSLAM) sesuai dengan tabel-tabel dibawah ini.13

Tabel 5. Lupus Activiy Index in Pregnancy

21

Tabel 6. Modifikasi SELENA dan SLEDAI untuk penilaian aktivitas SLE dalam kehamilan

I.

SINDROMA LUPUS ERITEMATOSUS NEONATAL (LEN) Lupus

Erimatosus

Neonatal

(LEN)

merupakan

komplikasi

kehamilan dengan SLE yang mengenai janin dimana sindroma tersebut terdiri dari, blok jantung kongenital, lesi kutaneus sesaat, sitopenia, kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik lainnya pada neonatus

22

yang lahir dari seorang ibu yang menderita SLE pada saat hamil. Untuk menegakkan diagnosa LEN, The Research Registry for Neonatal Lupus memberikan dua kriteria sebagai berikut : 1. Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La pada serum ibu. 2. Adanya blok jantung atau ras pada kulit neonatus. Kelainan konduksi jantung/blok jantung congenital ditemukan 1 diantara 20 000 kelahiran hidup (0,005%), tergantung dari adanya anti SSA/Ro atau anti SSB/La. Apabila antibodi tersebut ditemukan pada penderita LES maka risiko bayi mengalami blok jantung kongenital berkisar antara 1,5% sampai 20% dibandingkan bila antibodi tersebut tidak ada yaitu sekitar 0,6% dengan distribusi yang sama antara bayi laki dan wanita. Patogenesis blok jantung congenital neonatus pada penderita SLE dengan anti SSA/Ro dan Anti SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang dipercaya saat ini adalah adanya transfer antibody melalui plasenta yang terjadi pada trimester ke dua yang menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan sistem konduksi jantung janin. Sekali terjadi transfer antibodi ini maka kelainan yang terjadi bersifat menetap dan akan manifes pada saat bayi lahir. Usaha untuk menghentikan transfer antibodi ini ke janin seperti pemberian kortiokosteroid, gammaglobulin intravenous atau plasmaparesis telah gagal mencegah kejadian blok jantung kongenital neonatal. Oleh karena itu pemeriksaan antibodi ini sangat penting untuk seorang ibu yang menderita SLE dan ingin hamil 7

J. Penatalaksanaan Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan SLE dengan kehamilan yaitu: 1. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit SLE

23

2. Plasenta dan fetus dapat menjadi target dari otoantibodi maternal sehingga dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya lupus eritematosus neonatal. Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik antara obstetrikus dan ahli penyakit dalam dalam merawat penderita SLE yang hamil. Pada umumnya penderita SLE mengalami fotosensitifitas, sehingga disarankan untuk tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari. Mereka disarankan untuk menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan dibawah sinar matahari. Karena infeksi mudah terjadi maka penderita juga dinasehatkan agar memeriksakan diri bila mengalami demam. Pada penderita yang akan menjalani prosedur infasif diberikan antibiotika profilaksis. Modalitas utama pengobatan SLE adalah pemberian kortikosteroid, anti inflamasi non steroid, aspirin, anti malaria dan imunosupresan. Pemberian kostikosteroid memiliki peran yang sangat penting pada kehamilan dengan SLE karena tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita SLE yang hamil akan mengalami eksaserbasi. Pemakaian kortikosteroid jangka panjang seperti prednison, prednisolon, hidrokortison pada kehamilan umumnya aman, oleh karena glukokortikoid itu segera akan mengalami inaktifasi oleh ensim 11-betahidroksidehidrogenase menjadi metabolik 11-keto yang inaktif, sehingga hanya 10% dari dosis yang dipakai dapat memasuki janin. Pada manifestasi klinis SLE yang ringan umumnya diberikan prednison oral dalam dosis rendah 0,5 mg/kgBB/hari sedangkan pada manifestasi klinis yang berat diberikan prednison dosis 1 mg- 1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/ kgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan untuk mengganti glukokortikoid oral dosis tinggi atau pada penderita yang tidak memberikan respon pada terapi oral. Setelah pemberian glukokortikoid selama 6 minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis obat secara bertahap, 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Bila timbul eksaserbasi akut dosis harus dikembalikan seperti dosis sebelumnya.7,9

24

Pemakaian glukokortikoid yang berkepanjangan pada waktu hamil dalam dosis tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, ketuban

pecah

dini,

diabetes

gestasional,

hipertensi,dan

osteoporosis.2,4,7 Pemberian imunosupresan diberikan pada penderita yang tidak respon terhadap terapi Lupus Eritematosus Sistemik pada Kehamilanglukokortikoid selama 4 minggu. Siklofosfamid diberikan bolus intravena 0,5 gr/m2 dalam 150 cc NaCL 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam. Indikasi pemberian siklofosfamid adalah : 1. Penderita SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi 2. Penderita SLE yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi 3. Penderita SLE yang kambuh setelah terapi steroid jangka panjang/berulang 4. Glomerulonefritis difus awal 5. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid 6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin tanpa disertai dengan faktor ekstra renal lainnya 7. SLE dengan manifestasi susunan saraf pusat. Pemberian

siklofosfamid

pada

wanita

hamil

tersebut

tidak

dianjurkan secara rutin kecuali benar benar atas indikasi yang kuat dan dalam keadaan diamana keselamatan ibu merupakan hal yang utama. Dilaporkan bahwa pemakaian siklofosfamid dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kegagalan ovarium prematur dan kelainan bawaan pada janin. Obat imunosupresan lainnya yang cukup aman diberikan pada wanita hamil adalah azatioprin dan siklosporin. Untuk mengantisipasi kemungkinan

terjadinya

pembedahan

maka

eksaserbasi

sebaiknya

pada

penderita

saat

persalinan

dipayungi

dengan

atau metil

prednisolon dosis tinggi sampai 48 jam pasca persalinan, setelah itu dosis obat diturunkan. Hampir semua obat untuk penderita SLE diekskresikan Abersama air susu dalam jumlah yang bervariasi antara 0,1%-2% dosis obat,

kecuali

Imunosupresan

yang

dikontraindikasikan

untuk

ibu

25

menyusui. Pemberian aspirin dalam dosis besar (> 3 gr/hari) berhubungan dengan peningkatan kejadian kehamilan posterm dan perdarahan selama persalinan.7 Dosis

tinggi

salisilat

juga

dilaporkan

telah

menyebabkan

oligohidramnion, penutupan prematur dari duktus arteriosus dan hipertensi pulmonal pada neonatus. Pemakaian NSAID atau aspirin dihindari beberapa minggu sebelum persalinan. Hidroksiklorokuin juga sering dipakai dalam pengobatan SLE dan sampai saat ini pemakaian obat ini cukup aman untuk wanita hamil.7 Kehamilan yang direncanakan merupakan pilihan yang paling baik untuk penderita SLE yang masih menginginkan kehamilan. Kehamilan direkomendasikan setelah 6 bulan remisi. Pada kunjungan pertama antenatal dilakukan pemeriksaan lengkap tanpa memandang kondisi klinis pasien yang meliputi, pemeriksaan darah lengkap, panel elktrolit, fungsi liver, fungsi ginjal, urinalisis, antibodi anti DNA, anti bodi anti kardiolipin, antikoagulan Lupus, C3, C4 dan Anti SSA/R0 dan Anti SSB/La. Pemeriksaan laboratorium tersebut diulang tiap trimester, apabila antti SSA/Ro

dan

Anti

SSB/La

positif

maka

dilakukan

pemeriksaan

ekokardiograpi janin pada usia kehamilan 24-26 minggu untuk mendeteksi adanya blok janin kongenital. Apabila ditemukan adanya blok jantung janin kongenital maka diberikan dexametason 4 mg per-oral/hari selama 6 minggu/sampai gejala menghilang kemudian dosis diturunkan sampai lahir.7,9

Penanganan Lupus flare pada kehamilan berbeda untuk masingmasing individu tergantung pada tingkat keparahan dan organ yang terlibat. Penggunaan NSAIDs setelah 20 minggu kehamilan dihindari karena

berhubungkan

dengan

komplikasi

yang

reversibel

seperti

oligohidramnion , premature closure patent ductus arteriosus, perdarahan gastrointestinal

atau

perforasi,

meningkatkan

resiko

necrotizing

enterocolitis, perdarahan intrakranial, hypertensi pulmonal dan persalinan lama. Hidrokoroquin dipakai untuk mengobati artritis dan manifestasi kulit

26

pada lupus. Hidrokloroquin direkomendasikan penggunaanya selama kehamilan pada lupus karena dianggap aman dan mampu menurunkan flare lupus, bahkan dianjurkan pemakaian hidrokloroquin sejak dari konsepsi. Bahkan dilaporkan pada ibu yang ditemukan anti SSA/Ro atau anti SSB/La antibodi dan riwayat anak dengan lupus neonatal namun sudah diberikan gidrikloroquin maka pada kehamilan berikutnya akan menurunkan resiko congenital heart block. Namun penelitian tentang ini masih berlanjut.13 Ketika gejala lupus tidak dapat dikontrol secara adekuat dengan pemberian

acetaminophen

dan

hidrokloroquin

maka

dibutuhkan

pemberian steroid. Pada kasus yang progresif seperti Lupus dengan anemia (Hemoglobin<8g/dl), demam tinggi (>>38,5oC), album rendah < 3g/dl, adanya ancaman pada gangguan pertumbuhan fetus, maka diperlukan therapi yang lebih agresif. Prednison tidak dapat melewati plasenta sehingga merupakan kortikosteroid pilihan yang digunakan selama kehamilan. Pemakaian fluorinated glukokortikoid, dexametason, dan betametason dapat melewati plasenta sehingga disarankan untuk dihindari pemakaiannya selama kehamilan kecuali dibutuhkan untuk pematangan paru pada persalinan preterm. Pemakaian steroid juga bertujuan untuk mengobati fetal heart block intra uterine, namun efektifitasnya masih dalam penelitian lebih lanjut. Prednison dengan dosis < 20mg/hari digunakan untuk lupus dalam kehamilan dengan aktivitas ringan.

Pada

Lupus

dengan

aktivitas

berat

dapat

diberikan

metylprednisolon intravena. Dilaporkan terdapat resiko labioskisis atau palatoskisis dua kali lipat pada janin yang terpapar dengan kortikosteroid intravena pada trimester pertama kehamilan. Efek samping pemakaian kortikosteroid

dalam

kehamilan

dapat

menyebabkan

hipertensi,

osteopenia, osteonecrosis, resiko infeksi, dan meningkatkan resiko diabetes gestasional. Pemberian obat lini kedua yang diberikan bersama dengan prednison pada lupus dengan aktivitas sedang sampai berat. Obat lini kedua ini berperan sebagai steroid sparing effect, menfasilitasi penurunan dosis (tapering –of) dari prednison sampai dosis terendah.

27

Obat lini kedua yaitu Azathioprine yang diberikan 1 kali sehari dengan dosis 2mg/kgBB. Namun azathioprine diduga berhubungan dengan kejadian IUGR dan abortus. Pada Lupus nefritis digunakan cyclosporin. Obat ini aman untuk janin namun bersifat nefrotoksik untuk ibu. Selain itu obat yang paling poten 100 kali dari cyclosporin untuk kasus flare pada lupus nefritis yaitu tacrolimus yang merupakan inhibitor calcineurin dan aman untuk fetus. Namun obat ini masih dalam penelitian. Dilaporkan pada wanita hamil dengan flare lupus nefritis dengan diberikan tacrolimus 3mg dua kali sehari akan memberikan efek remisi yang cepat dan tidak menimbulkan efek samping yang jelek pada ibu dan janin. Tacrolimus bekerja menghambat stimulasi reseptor sel T dan menginduksi sel T CD4 dan meransang sel Treg CD4 sehingga dapat mempercepat remisi pada kasus flare lupus nefritis dengan kehamilan.13 Pada kasus lupus dengan trombositopenia dianjurkan untuk diberikan imunoglobulin intra vena. Mycophenolate dihubungkan dengan anomali perkembangan janin sehingga sebaiknya tidak digunakan pada lupus dengan kehamilan. Cyclophosphamid diberikan untuk Lupus dengan manifestasi berat namun resiko pada janin dapat menyebabkan malformasi janin bila diberikan pada kehamilan trimester pertama, IUGR dan penekanan hematopoisis pada janin bila diberikan pada kehamilan trimester dua dan tiga. Cyclophosphamid diberikan bila kemungkinan janin untuk bertahan hidup kecil bila ibu tidak diobati.13

K. Pemilihan kontrasepsi pada wanita dengan SLE Pemilihan kontrasepsi yang efektif dan aman merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan penderita SLE pasca persalinan. Kadar estrogen dalam kontrasepsi oral yang melebihi 20-30 ugr/hari dapat mencetuskan SLE. Risiko tromboemboli pada penderita LES yang memakai kontrasepsi oral juga meningkat terutama apabila aPLnya positif. Kontrasepsi oral yang hanya mengandung progestogen dan depot progestogen merupakan alternatif yang lebih aman untuk penderita SLE pasca persalinan. Pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR)

28

kurang baik karena dapat meningkatkan risko infeksi terutama pada penderita yang memakai imunosupresan yang lama.7,9,10,11

L. Algoritma Penatalaksanaan SLE

Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan SLE

29

BAB IV DISKUSI

Telah dilaporkan kasus seorang wanita 20 tahun dengan diagnosa G1P0A0H0 gravid preterm 30-31 minggu + Sistemik Lupus Eritematosus + Flare induced kehamilan + janin hidup tunggal intra uterin. Pada diskusi ini akan dibahas mengenai : 1. Apakah diagnosa pada pasien ini sudah tepat ? 2. Bagaimana tatalaksana kehamilan, persalinan dan nifas pada pasien ini?

1. Apakah diagnosa pada pasien ini sudah tepat? Diagnosa pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anmnesa didapatkan keluhan demam, sesak nafas, perasaan lemas diseluruh tubuh, nyeri sendi, kemerahan diwajah terutama meningkat bila terkena sinar matahari dan sariawan yang hilang timbul. Pasien hamil anak pertama dengan HPHT 12-12-2014. Pasien sudah dikenal menderita SLE sejak 1 tahun yang lalu, dan sudah mendapat pengobatan dari dokter SpPD konsultan Rheumatologi yaitu metilprednisolon 8-8-0 sejak 1 tahun yang lalu namun dihentikan oleh SpOG sejak 5 bulan yang lalu. Riwayat penyakit lain seperti tekanan darah tinggi, Diabetes melitus, asma dan penyakit ginjal disangkal. Dalam keluarga riwayat penyakit SLE, tekanan darah tinggi, Diabetes melitus, asma dan penyakit ginjal disangkal. Berdasarkan pemeriksaan fisik yang menunjang diagnosa SLE menurut kriteria American Collage of Rheumatology (ACR) : 1. Ruam malar  2. Ruam Diskoid 3. Fotosensitifitas 4. Ulserasi di mulut atau nasofaring

30

5. Artritis 6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis 7. Kelainan ginjal, proteinuria persisten > 0,5 gram/hari Lupus Eritematosus Sistemik pada Kehamilan 8. Kelainan nerologik, yaitu kejang kejang atau psikosis 9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau limfopenia atau trombositopenia 10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA positif atau anti Sm positif atau tes serologic untuk sifilis yang positip palsu 11. Antibodi antinuklear (ANA, anti nuclear antibody) positif. Berdasarkan American Collage of Rheumatology apabila ditemukan 4 kriteria atau lebih dapat ditegakkan diagnosa SLE. Pada pasien ini ditemukan Jumlah skor 5 ( tanda ulserasi

mulut

(sariawan),

artritis,

) yaitu ruam malar, fotosensitifitas, kelainan

hematologi

(anemia,

leukopenia). Berdasarkan pemeriksaan penunjang pada pasien ini untuk diagnosa hamil berdasarkan pemeriksaan USG didapatkan janin hidup tunggal intra uterine presentasi kepala, aktifitas dan gerak janin baik, biometri janin sesuai dengan usia kehamilan 30-31 minggu ( BPD 75mm, AC 258 mm, FL 64 mm, HL 58 mm ) , AFI 9,3 cm, SDAU 2,63, tidak tampak kelainan morfologi pada organ utama janin. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium ditemukan Hb 7,8 g/dl, leukosit 2.600/mm3 dengan gambaran darah tepi ditemukan eritrosit anisositosis normokrom , leukosit jumlah kurang. Kelainan hematologik yang dapat ditemukan pada SLE yaitu anemia hemolitik, leukopenia dan trombositopenia. Pada pasien ini ditemukan anemia hemolitik dan leukopenia. Anemia hemolitik terjadi karena ikatan komplek imun dengan reseptor C3b pada eritrosit. Flare induced kehamilan pada pasien ini ditegakkan karena pasien sudah dikenal menderita SLE sejak 1 tahun yang lalu (sudah berobat rutin dengan dr SPPD) sekarang hamil dengan gejala dan keluhan flare induced kahamilan. Flare menurut Arfaj dan Khalil 2011 didefinisikan

31

sebagai serangan yang tidak terduga dari penyakit SLE setelah periode remisi. Kehamilan itu sendiri merupakan salah satu faktor hormonal yang dapat menyebabkan abnormalitas respon imun pada penderita SLE, ini berhubungan dengan hormon estrogen selama kehamilan. Aktivitas Lupus dalam kehamilan dapat dinilai melalui Lupus Activity Index in Pregnancy (pada tabel 5). Berdasarkan tabel 5 tersebut didapatkan temuan pada pasien yaitu fever (skor1), rash (skor2), arthritis (skor2), hematologic (skor3), pemakaian prednison, NSAID (skor2), sehingga didapatkan nilai index Lupus activity in pregnancy adalah 2,5. Nilai tertinggi untuk sko adalah 2,6. Ini menunjukkan sudah terjadi flare induced preganancy pada lupus dengan kehamilan.

Namun untuk memastikan diagnosa flare

induced kehamilan ini seharusnya dilakukan pemeriksaan imunologi yaitu antinuclear antibodi (ANA). Pemeriksaan ANA positif pada 93% kasus SLE dan terjadi peningkatan titer ANA pada kejadian flare, prematuritis dan kematian janin. Ditegakkannya diagnosa flare pada kehamilan ini merupakan prediktor yang sangat kuat yang berhubungan dengan dampak buruk yang terjadi selama kehamilan seperti still birth, prematuritas dan IUGR. Sampai saat dikonsulkan ke bagian fetomaternal berdasarkan hasil pemeriksaan USG pada janin tidak ditemukan kelainan. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diatas diagnosa pada pasien ini sudah tepat yaitu G1P0A0H0 gravid preterm 30-31 minggu + Sistemik Lupus Eritematosus + Flare induced kehamilan + janin hidup tunggal intra uterin.

2. Bagaimana tatalaksana kehamilan, persalinan dan nifas pada pasien ini? Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan SLE dengan kehamilan yaitu: 1. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit SLE

32

2. Plasenta dan fetus dapat menjadi target dari otoantibodi maternal sehingga dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya lupus eritematosus neonatal. Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik antara obstetrikus dan ahli penyakit dalam dalam merawat penderita SLE yang hamil. Pada umumnya penderita SLE mengalami fotosensitifitas, sehingga disarankan untuk tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari. Mereka disarankan untuk menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan dibawah sinar matahari. Karena infeksi mudah terjadi maka penderita juga dinasehatkan agar memeriksakan diri bila mengalami demam. Pada penderita yang akan menjalani prosedur infasif diberikan antibiotika profilaksis. Modalitas utama pengobatan SLE adalah pemberian kortikosteroid, anti inflamasi non steroid, aspirin, anti malaria dan imunosupresan. Pemberian kostikosteroid memiliki peran yang sangat penting pada kehamilan dengan SLE karena tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita SLE yang hamil akan mengalami eksaserbasi. Pemakaian kortikosteroid jangka panjang seperti prednison, prednisolon, hidrokortison pada kehamilan umumnya aman, oleh karena glukokortikoid itu segera akan mengalami inaktifasi oleh ensim 11-betahidroksidehidrogenase menjadi metabolik 11-keto yang inaktif, sehingga hanya 10% dari dosis yang dipakai dapat memasuki janin. Pada manifestasi klinis SLE yang ringan umumnya diberikan prednison oral dalam dosis rendah 0,5 mg/kgBB/hari sedangkan pada manifestasi klinis yang berat diberikan prednison dosis 1 mg- 1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/ kgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan untuk mengganti glukokortikoid oral dosis tinggi atau pada penderita yang tidak memberikan respon pada terapi oral. Setelah pemberian glukokortikoid selama 6 minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis obat secara bertahap, 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Bila timbul eksaserbasi akut dosis harus dikembalikan seperti dosis sebelumnya.7,9

33

Pemakaian glukokortikoid yang berkepanjangan pada waktu hamil dalam dosis tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, ketuban

pecah

dini,

diabetes

gestasional,

hipertensi,dan

osteoporosis.2,4,7 Pemberian imunosupresan diberikan pada penderita yang tidak respon terhadap terapi Lupus Eritematosus Sistemik pada Kehamilan dengan glukokortikoid selama 4 minggu. Siklofosfamid diberikan bolus intravena 0,5 gr/m2 dalam 150 cc NaCL 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam. Indikasi pemberian siklofosfamid adalah : 1. Penderita SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi 2. Penderita SLE yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi 3. Penderita SLE yang kambuh setelah terapi steroid jangka panjang/berulang 4. Glomerulonefritis difus awal 5. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid 6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin tanpa disertai dengan faktor ekstra renal lainnya 7. SLE dengan manifestasi susunan saraf pusat. Pemberian

siklofosfamid

pada

wanita

hamil

tersebut

tidak

dianjurkan secara rutin kecuali benar benar atas indikasi yang kuat dan dalam keadaan diamana keselamatan ibu merupakan hal yang utama. Dilaporkan bahwa pemakaian siklofosfamid dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kegagalan ovarium prematur dan kelainan bawaan pada janin. Obat imunosupresan lainnya yang cukup aman diberikan pada wanita hamil adalah azatioprin dan siklosporin. Untuk mengantisipasi kemungkinan

terjadinya

pembedahan

maka

eksaserbasi

sebaiknya

pada

penderita

saat

persalinan

dipayungi

dengan

atau metil

prednisolon dosis tinggi sampai 48 jam pasca persalinan, setelah itu dosis obat diturunkan. Hampir semua obat untuk penderita SLE diekskresikan bersama air susu dalam jumlah yang bervariasi antara 0,1%-2% dosis obat,

kecuali

Imunosupresan

yang

dikontraindikasikan

untuk

ibu

34

menyusui. Pemberian aspirin dalam dosis besar (> 3 gr/hari) berhubungan dengan peningkatan kejadian kehamilan posterm dan perdarahan selama persalinan.7 Dosis

tinggi

salisilat

juga

dilaporkan

telah

menyebabkan

oligohidramnion, penutupan prematur dari duktus arteriosus dan hipertensi pulmonal pada neonatus. Pemakaian NSAID atau aspirin dihindari beberapa minggu sebelum persalinan. Hidroksiklorokuin juga sering dipakai dalam pengobatan SLE dan sampai saat ini pemakaian obat ini cukup aman untuk wanita hamil.7 Kehamilan yang direncanakan merupakan pilihan yang paling baik untuk penderita SLE yang masih menginginkan kehamilan. Kehamilan direkomendasikan setelah 6 bulan remisi. Pada kunjungan pertama antenatal dilakukan pemeriksaan lengkap tanpa memandang kondisi klinis pasien yang meliputi, pemeriksaan darah lengkap, panel elktrolit, fungsi liver, fungsi ginjal, urinalisis, antibodi anti DNA, anti bodi anti kardiolipin, antikoagulan Lupus, C3, C4 dan Anti SSA/R0 dan Anti SSB/La. Pemeriksaan laboratorium tersebut diulang tiap trimester, apabila antti SSA/Ro

dan

Anti

SSB/La

positif

maka

dilakukan

pemeriksaan

ekokardiograpi janin pada usia kehamilan 24-26 minggu untuk mendeteksi adanya blok janin kongenital. Apabila ditemukan adanya blok jantung janin kongenital maka diberikan dexametason 4 mg per-oral/hari selama 6 minggu/sampai gejala menghilang kemudian dosis diturunkan sampai lahir.7,9 Berdasarkan literatur diatas penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat, sesuai dengan diagnosa flare induced kehamilan pasien diberikan pulse steroid yaitu drip 250 mg dalam NaCl 0,9% (tetesan cepat) 1x 1 /hari selama 3 hari. Setelah itu dilanjutkan dengan pemberian prednison oral. Pasien juga mendapatkan anti malaraia kloroquin. Pemilihan kontrasepsi yang efektif dan aman merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan penderita SLE pasca persalinan. Kadar estrogen dalam kontrasepsi oral yang melebihi 20-30 ugr/hari dapat mencetuskan SLE. Risiko tromboemboli pada penderita LES yang

35

memakai kontrasepsi oral juga meningkat terutama apabila aPLnya positif. Kontrasepsi oral yang hanya mengandung progestogen dan depot progestogen merupakan alternatif yang lebih aman untuk penderita SLE pasca persalinan. Pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) kurang baik karena dapat meningkatkan risko infeksi terutama pada penderita yang memakai imunosupresan yang lama.7,9,10,11

36

BAB V KESIMPULAN

1. SLE merupakan penyakit autoimun yang dimanifestasikan dengan gangguan multiorgan pada tubuh. 2. Penyakit SLE aktif pada kehamilan berdampak buruk pada ibu dan janin terkait adanya flare selama kehamilan yang menyebabkan komplikasi pada ibu (preekalmpsia, ekalmpsia) dan komplikasi pada janin (resiko kematian janin, IUGR, kelahiran prematur, perdarahan dan abortus). 3. Disarankan

bagi

wanita

dengan

penyakit

SLE

sebaiknya

merencanakan kehamilan bila kondisinya sudah stabil, dan sebaiknya

menunda

kehamilan

hingga

penyakit

SLE

telah

mencapai remisi selama minimal 6 bulan sebelum konsepsi untuk mencegah dampak yang buruk terhadap ibu dan janin.

37

DAFTAR PUSTAKA

1. Anak Agung Ngurah Jaya Kusuma, Lupus Eritematosus Sistemik Pada Kehamilan, Divisi Fetomaternal UNUD, J Peny Dalam, Mei 2007. 2. Albar S. Lupus eritematosus sistemik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, edisi Ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 1996.p.15060. 3. Setyohadi B. Penatalaksanaan lupus eritematosus sistemik. Temu lmiah Rematologi, 2003;154-8. 4. Lipsky PE, Diamond B. Systemic autoimmune disease. Harrison•s Principle of Internal Medicine. 15th ed. New York: Mc Graw Hill; 2001.p.1842-3 5. Sumaryono. Spektrum autoantibodi pada LES dan hubungannya dengan gambaran klinik. Temu Ilmiah Rematologi 2003;149-53. 6. Yuliasih. Spektrum Klinik sistemik lupuseritematosus. Temu Ilmiah Rematologi 2006;62-8. 7. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gillstrapp III LC, Hanth JC, Wenstrom KD. Connective

tissue disorders. William Obstetrics.

22nd ed. New York: Mc Graw Hill; 2005.p.1211-4. 8. Mok CC, Wong RWS. Pregnancy in systemic lupus erythematosus. Postgrad Med JR 2001. 9. Handa R, Kumar U, Wali JP. Systemic lupus eristhematosus and pregnancy. JAPI 2006;54:235-8. 10. 888Buyon VP. Management of SLE during pregnancy: a decision tree. Rematologi 2004;20 (4):197-201. 11. Gupta PCS. Systemic lupus erythematosus and pregnancy mastage. Pregnancy at risk current concepts. 4th ed. New Delhi: Jaypie Brothers, Medical Publishes (P) Ltd; 2001.p.190-2. 12. Craigo SD. Systemic lupus erythematosus. Medical complication in pregnancy. New York: Mc Craw Hill; 2005.p.585-93. Lupus Eritematosus Sistemik pada Kehamilan

38

13. Ruiz Irastorza G, lima F, Alves J et al. Increased rate of lupus flare during pregnancy and the purperium : a prospective study of 78 pregnancy. Br .J. Rheumatol. 35(2), 133-138 (1996) 14. Aisha Lateef, Michelle Petri.2013, Managing lupus patients during pregnancy. Best Pract Res Clin Rheumatol.

39

Related Documents

Lap Kasus Dbd.docx
June 2020 19
3. Lap Kasus Bayi.xls
November 2019 24
Lap Kasus Sle.docx
December 2019 19
Lap
October 2019 75
Kasus
June 2020 54
Lap Trinh
June 2020 25

More Documents from ""

Lap Kasus Sle.docx
December 2019 19
Jurnal Rsj Translate.docx
December 2019 14
4.pptx
December 2019 16
2rtm 2 Cobit Erp Fix.docx
November 2019 23