Lap. Akhir Pkmp Dipa Uns 2008

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lap. Akhir Pkmp Dipa Uns 2008 as PDF for free.

More details

  • Words: 12,728
  • Pages: 59
1

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Dewasa ini penetrasi budaya oleh media televisi, khususnya TV lokal, terhadap kebudayaan masyarakat semakin tinggi dan intensif. Penetrasi kebudayaan yang dimaksud adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Tetapi sayangnya, budaya asing selama ini justru lebih mendominasi bila dibandingkan dengan budaya lokal dalam pertelevisian Indonesia. Penetrasi budaya asing ini berdampak pada menipisnya nilai-nilai budaya tradisional masyarakat Indonesia. Seni keroncong sebagai salah satu bentuk budaya khas dari masyarakat Surakarta pun telah tekena dampak tersebut. Terang Abadi Televisi (TATV), yang merupakan Televisi lokal dengan daerah cakupan Surakarta dan sekitarnya, memegang peranan penting dalam pelestarian dan pengembangan seni keroncong di daerah Surakarta. Bila hal ini kita kaitkan dengan keadaan pers Indonesia secara umum dewasa ini, maka tidak bisa dipungkiri bahwa dengan adanya UU no. 40 tahun 1999 yang menjamin kebebasan pers, menjadikan pers Indonesia leluasa bergerak. Kebebasan pers yang mereka idam-idamkan sejak zaman orde baru telah tercapai. Namun euforia kebebasan pers, yang merupakan salah satu bentuk reformasi dalam bidang komunikasi dan informasi menjadikan pelakupelaku media massa justru sering menyalahgunakan jaminan tersebut atas nama kebebasan pers. Media yang mestinya berbasis masyarakat telah bergeser menjadi media massa yang berbasis pasar bebas. Kebebasan pers tidaklah menjamin suatu negeri mencapai keadilan dan kedamaian, tetapi tanpa kebebasan pers, suatu negeri pasti tidak akan mencapai keduanya. Karena keadilan hanya akan terbukti bila rakyat dihormati hak-haknya, dan hak tidak ada artinya jika tidak diwujudkan (Idi Subandy Ibrahim, 2004: 1). Perkataan dari Albert Casmuss diatas telah terjadi di pers Indonesia sekarang

ini. Terbukti justru semakin banyak terjadi konflik di dalam masyarakat ketika kebebasan pers telah terwujud. Televisi adalah media yang berkembang relatif sangat cepat dengan adanya kebebasan pers. Televisi swasta dewasa ini cenderung mempunyai dampak negatif dalam masyarakat, khususnya di aspek kebudayaan. Televisi swasta nasional cenderung manampilkan kebudayaan-kebudayaan luar yang sering kali bersebrangan dengan kebudayaan nasional, padahal kekuasaan informasi berpotensi menggeser kebudayaan nasional yang telah ada untuk digantikan kebudayaan asing. Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk mengontrol media, seperti: media watch, media literasi, dan juga optimalisasi TV lokal yang diarahkan untuk mengembangkan kebudayaan daerah masing-masing. Pada penelitian ini kita lebih menyoroti pada aspek peran TV lokal, karena sesuai dengan bagian kesembilan UU No. 32 tahun 2002 pasal 31 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal” dan ayat 6 “Mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun penyiaran lokal diutamakan kepada masyarakat di daerah tempat stasiun lokal itu berada”, dapat dijadikan sebagai salah satu acuan untuk mengoptimalkan peran TV lokal sebagai Televisi jaringan dari Televisi Swasta nasional ataupun sebagai televisi swadaya masyarakat. Fungsi kontrol media nasional menjadi salah satu urgensi dibalik peran televisi lokal. Adapun TV lokal sendiri mulai berkembang sejak tahun 2002 seiring dengan adanya UU. No. 32/2002. Dua hal yang perlu digaris bawahi mengenai keterkaitan antara perkembangan TV lokal dan UU. No. 32 tahun 2002 adalah pembatasan siaran nasional kecuali dengan melakukan kerja sama dengan TV-TV lokal, dan televisi lokal diperbolehkan siaran dengan daya jangkau siaran yang dibatasi hanya untuk daerah yang menjadi home base-nya (Sunardian Wirodono, 2006: 127). Hal ini memberikan kesempatan pada pelaku-pelaku pertelevisian daerah untuk mulai mendirikan stasiun-

3

stasiun TV lokal. Pada tahun 2002 ada sekitar 15 stasiun TV lokal (swasta) yang menjadi pioneer perkembangan televisi lokal di indonesia (Sunardian Wirodono, 2006: 127). Akan tetapi pada tahap pekembangan awal ini, TV lokal masih mengadopsi progaram-program televisi nasional yang cenderung memuat seting budaya Jakarta (Jakartasentris). Salah satu sebabnya karena TV lokal (swasta) yang ada masih merupakan kepanjagan tangan dari televisi nasional yang berdomisili di Jakarta. Pada tahun 2004 TV lokal mulai berkembang di beberapa kota besar di Indonesia, walaupun masih didominasi kota-kota besar di pulau Jawa. Pada tahun 2007, TV lokal sudah merambah hampir diseluruh daerah di Indonesia. Tercatat ada .103 stasiun TV lokal yang sudah berdiri (http://id.wikipedia.org). Mengenai perbandingan komposisi acara secara umum yang ditayangkan oleh TV lokal adalah 60% produk impor - 40 % produk lokal. Hal ini menunjukkan produk import masih mendominasi acara-acara TV lokal. "Dominasi barat kini kian terasa dan begitu mencengkeram, tidak hanya dalam bidang ekonomi, melainkan juga dalam bidang budaya," demikian pernyataan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX (http://id.wikipedia.org). Salah satu penyebabnya adalah TV lokal yang masih kesulitan menempatkan diri dalam dunia bisnis komersial, khususnya terkait persaingan rating dan iklan, sehingga TV lokal (swasta) harus meminimalisir dana operasional dengan membeli produk-pruduk impor yang lebih murah dan lebih menarik. Globalisasi juga memberikan dampak pada TV lokal di Indonesia yang mau tidak mau harus menampilkan produk impor agar lebih diminati oleh pemirsanya. Minimnya kreatifitas dari pelaku-pelaku TV lokal membuat program-program yang dihasilkan masih belum mencukupi untuk keseluruhan volume materi program yang harus diisi. Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat, sesuai tugasnya, mengadakan pengamatan selama 24 jam terhadap stasiun televisi lokal di Bandung. Dari pengamatan tersebut terungkap beberapa hal menarik, yaitu bahwa stasiun televisi lokal tampaknya belum mampu menggali dan mengemas kearifan budaya lokal Jawa Barat

untuk menjadi bahan siaran yang layak tonton. “TV lokal menghadapi kendala berat terutama investasi yang besar dan sumber daya manusia profesional” papar H.M. Ridlo Eisy, Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab Siaran Bandung TV, Us Tiarsa dan Direktur Utama PT Galamedia Bandung Perkasa (www.google.com). Apabila kita melihat dari visi dan misi Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) sebagai asosiasi televisi lokal di Indonesia, dapat dikatakan TV lokal merupakan salah satu media pengembang potensi budaya daerah. Ketua Umum ATVLI Satria Naradha mengingatkan, jika pengelola televisi lokal tanpa didasari idealisme tersebut dan lebih berorientasi pada bisnis, sebaiknya diurungkan dan dipertimbangkan keberadaannya oleh pemerintah. Keberadaan TV lokal harus memiliki visi dan misi serta dituntut memberikan kontribusi kepada daerah dan bangsa ini. Adapun visi dan misi dari ATVLI adalah : Visi : Terwujudnya spirit otonomi daerah yang bermartabat di Indonesia bersama media televisi lokal. Misi : 1. Memenuhi hak asasi manusia dalam memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi. 2. Menjadikan media televisi lokal sebagai penunjang dalam upaya menggali nilai budaya, pendidikan, sosial kemasyarakatan, agama, ekonomi, teknologi, dan demokratisasi di semua bidang, dalam rangka

pemerataan

pembangunan

diseluruh

Indonesia.

(http://id.wikipedia.org). Akan tetapi realita yang ada menunjukkan bahwa komposisi acara masih didominasi produk impor. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan visi misi ATVSI yang telah dipaparkan diatas. Selain itu media televisi di Indonesia masih menempatkan masyarakat sebagai objek dan mengeksploitasi objek tersebut, bukan mengeksplorasi sosial budaya yang ada dimasyarakat sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosial media. TV lokal jika mau

5

lebih bijak, sesungguhnya mempunyai potensi besar karena tumbuhnya kerinduan masyarakat terhadap akar budaya sendiri. Akan tetapi, selama ini stasiun TV di Indonesia lebih dituntut untuk mengembangkan dirinya sebagai institusi bisnis dengan melupakan masyarakat sebagai konsumenya. Kondisi semacam ini cukup mengkhawatirkan untuk perkembangan TV lokal ke depan. Sedangkan televisi memberikan imbas media yang luar biasa besar bagi masyarakat, media ini memiliki daya penetrasi jauh lebih besar dari pada media lainya. Bila kita hubungkan dengan konteks kebudayaan, televisi memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan kebudayaan dalam masyarakat. Hal itu dikarenakan dengan adanya kontak dengan kebudayaan asing, perubahan kebudayaan sangat mungkin terjadi. Berbicara tentang budaya, menurut Sir E.B. Taylor dalam bukunya Primitive Culture (Fajar Junaedi dkk., 2005: 54) berpendapat bahwa budaya adalah suatu hal yang menyeluruh dan kompleks termasuk disini asal pengetahuan, kepercayaaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dari pemaparan diatas, kesenian merupakan salah satu unsur penting dari kebudayaan yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan normanorma dari masyarakar tempat budaya itu ada. Nilai dan norma tersebut akan menentukan bentuk kesenian seperti apa yang akan tercipta. Surakarta sebagai kota budaya mempunyai berbagai macam bentuk budaya, salah satu bentuk budaya khas dari kota Surakarta adalah seni musik keroncong. Keroncong adalah sejenis musik Indonesia yang memiliki hubungan historis dengan sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado. Sejarah keroncong di Indonesia dapat ditarik hingga akhir abad ke-16, di saat kekuatan Portugis mulai melemah di Nusantara. Pada sekitar abad 19-an musik ini juga masuk ke Semenanjung Malaka. Keroncong berawal dari musik yang dimainkan para budak dan opsir Portugis dari daratan India (Goa) serta Maluku. Bentuk awal musik ini disebut moresco. Salah satu tokoh Indonesia yang memiliki kontribusi cukup besar dalam membesarkan musik

keroncong adalah bapak Gesang. Lelaki asal kota Surakarta (Solo) ini bahkan mendapatkan santunan setiap tahun dari pemerintah Jepang karena berhasil memperkenalkan musik keroncong di sana. Salah satu lagunya yang paling terkenal adalah Bengawan Solo. Lantaran pengabdiannya itulah, Gesang dijuluki "Buaya Keroncong" oleh insan keroncong Indonesia, sebutan untuk pakar musik keroncong. (http://id.wikipedia.org) Pada perkembangannya seni keroncong pernah mencapai puncak keemasannya dengan gesang sebagi maestronya. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman seni kroncong pelan-pelan mulai digeser musik-musik luar negeri yang dirasa lebih mewakili zaman sekarang ini. Hal ini tak lepas dari revolusi teknologi informasi masih bercampur dengan isu dan realita. Ditambah akselerasi modernisasi tidak berjalan seiring dengan daya adptasi dan kapabilitas masyarakat Indonesia. Akhirnya modernisasi belum tuntas dan nilai tradisi makin tipis. (Sunardian Wirodono, 2006: 4). “Dulu, ketika orang hanya bisa mendengarkan radio, seni keroncong, jaya terdengar di manamana. Kenapa, sekarang setelah ada televisi, ada video, musik keroncong kok memprihatinkan?," tutur Gesang. Pernyataan dari Gesang tersebut sebagai salah satu bukti “keberhasilan” televisi menggeser kebudayaan daerah (http://id.wikipedia.org). TATV yang berdomisili di daerah Surakarta mempunyai peran yang sangat penting untuk menjaga keberlangsungan seni keroncong di Surakarta. “Dengan Berslogan TATV MANTEB (Masa kini dan tetap berbudaya), Kami (TATV) menjadi televisi yang memberikan hiburan–hiburan yang menarik serta mengangkat informasi dari daerah–daerah dan tidak ketinggalan pula budaya daerah” (http://id.wikipedia.org). Salah satu wujud dari peran serta TATV untuk melestarikan dan mengembangkan seni keroncong adalah dengan menayangkan acara seni keroncong dengan pengemasan yang menarik, sehingga diminati oleh pemirsanya. Selain itu juga dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi para seniman keroncong di Surakarta untuk mempertontonkan kebolehanya. Yang sifatnya pergelaran Kroncong tetap, memang ada. Yaitu

7

pada acara setiap Kamis malam di stasiun TATV Solo” tutur Hajah Waldjinah Ketua Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (Hamkri) Solo (http://id.wikipedia.org). Akan tetapi bila kita melihat komposisi program-program acara TATV selama ini, seni keroncong hanya diberikan waktu tayang satu jam dari 80 jam 35 menit total keseluruhan jam tayang TATV dalam satu minggu (www.kompas.com). Melihat realita seperti itu, keoptimalan peran serta TATV dalam pelestarian dan pengembangan seni kroncong di Surakarta, perlu dicermati secara lebih mendalam. Hal itulah yang menarik untuk dijadikan bahan kajian penelitian. B.

Rumusan Masalah Dari latar belakang permasalahan di atas maka dibuatlah rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu bagaimana peran serta TATV dalam pelestarian dan pengembangan seni keroncong di Surakarta? Dari rumusan tadi dapat dijabarkan : 1. Bagaimana kondisi seni musik keroncong di Surakarta saat ini ? 2. Bagaimana Pandangan masyarakat Surakarta terhadap seni musik keroncong ? 3. Bagaimana pandangan seniman keroncong mengenai perkembangan seni keroncong di Surakarta ? 4. Bagaimana peran serta TATV selama ini dalam melestarikan seni musik keroncong ? 5. Bagaimana peran serta TATV selama ini dalam mengembangkan seni musik keroncong ?

C.

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pandangan dan sikap masyarakat Surakarta terhadap perkembangan musik keroncong 2. Untuk mengetahui pandangan dan sikap seniman kroncong melihat perkembangan seni musik keroncong di Surakarta

3. Untuk mengetahui sejauh mana peran serta TATV dalam pelestarian dan pengembangan seni musik keroncong. 4. Untuk mengetahui bagaimana rencana TATV untuk melestarikan dan mengembangkan seni musik keroncong di Surakarta. D.

Luaran yang Diharapkan Luaran yang diharapkan dalam penelitian ini adalah karya penelitian tentang sikap dan pandangan masyarakat Surakarta terhadap perkembangan seni musik kroncong, sekaligus tentang sejauh mana peran serta TATV dalam keikutsertaannya melestarikan dan mengembangkan seni musik keroncong di Surakarta. Melalui penelitian ini diharapkan ada temuan yang bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Peneliti juga sangat mengharapkan dengan penelitian ini maka akan membangun kesadaran bersama warga masyarakat Indonesia

yang

berbudaya

agar

tetap

berusaha

melestarikan

dan

mengembangkan seni-budaya daerah agar tidak luntur dikemudian hari. E.

Kegunaan Program 1. Secara praktis penelitian ini bermanfaat sebagai rujukan bagi pengelola TATV untuk mengambil langkah yang tepat untuk melestarikan dan mengembangkan seni keroncong di Surakarta 2. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat sebagai tambahan referensi bagi akademisi dan seluruh masyarakat yang ingin mengetahui pandangan dan sikap masyarakat Surakarta terhadap perkembangan seni musik keroncong sekaligus tentang sejauh mana peran serta TATV dalam keikutsertaannya melestarikan dan mengembangkan seni musik keroncong di Surakarta.

9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

Asumsi Dasar 1.

Peran serta (partisipasi), Pelestarian dan Pengembangan Peran serta (partisipasi) adalah suatu tindakan ikut andil dalam suatu proses sosial. Suatu peran serta akan mengakibatkan hubungan timbal balik yang menguntungkan. Menurut Robert K. Avery dalam bukunya “Communication and the media” dan Sanford B. Winberg dalam “Massage-A reader in human communication” (1980) bahwa posisi dan peranan TV dalam masyarakat terbagi dalam tiga fungsi yaitu : a. The Survaillance of the environment yang berarti bahwa media televisi berperan sebagai mengamat lingkungan. b. The correlation of part of society inresponding to the environment yaitu media televiasi mengadakan korelasi antara data yang diperoleh dengan kebutuhan khalayak sasaran karena komunikator lebih menekankan pada seleksi evaluasi dan interpretasi. c. The transmition of the social heritage from one generation to the next yaitu media televisi berperan menyalurkan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya (Wawan Kuswandi, 1996: 53-54). Pelestarian merupakan usaha untuk menjaga sesuatu keadaannya sediakala. Pelestarian yang dimaksudkan disini adalah menjaga keberadaan seni keroncong Surakarta agar tetap eksis. Sedangkan pengembangan merupakan usaha untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas suatu hal maupun benda. Pengembangan diatas dimaksudkan agar seni keroncong Surakarta tetap berkembang lebih memasyarakat. Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa TV lokal di daerah Surakarta atau lebih spesifik

TATV memiliki peran serta dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan lokal di daerah Surakarta. 2.

TV Lokal TV lokal adalah televisi yang ruang lingkup siarnya berskala daerah. Seperti yang disyaratkan dalam UU Penyiaran no. 32 tahun 2002, bahwa TV lokal diperbolehkan siaran dengan jangka siar yang dibatasi hanya untuk daerah yang menjadi home base-nya. Sehingga TV lokal mempunyai kebebasan mengeksplor kebudayaan di daerah ruang siarnya.

3.

Seni Keroncong Perkembangan musik keroncong di Solo sudah berlangsung sejak tahun 1930-an. Muncul orkes-orkes keroncong besar dan kecil. Orkes keroncong besar waktu itu antara lain adalah Monte Carlo dan Kembang Kacang, di mana Gesang mengembangkan dirinya sebagai penyanyi dengan suara yang khas, karena dianggap memiliki ciri sendiri dibanding penyanyi keroncong lainnya. Dalam inovasi pemusik keroncong Solo memang lebih unggul. Sekitar tahun 1940-1950, penggunaan cello mengimitasikan suara kendangan atau contrabas untuk suara gong masih merupakan hal yang asing bagi pemusik keroncong di Jakarta, yang waktu itu sebuah orkes cendrung menggunakan banyak gitar dan memainkannya dengan cara mengocok atau meroffel. Bahkan ada yang menghadirkan 10 orang pemain gitar, sehingga di atas panggung kelihatan begitu gagah. Tahun 1950-an populer langgam Jawa oleh Orkes Keroncong Irama Langgam dan Orkes Keroncong Bintang Soerakarta.Buaja-buaja krontjong yang terkenal antara lain adalah Kusbini asal Yogyakarta yang dinobatkan di Surabaya dan Tan Tjeng Bok di Jakarta. Selain penyanyi, Tan Tjeng Bok juga dikenal sebagai pemain sandiwara. Sementara dari Solo, sampai sekarang masih ada yang merasa sebagai buaja-krontjong. Mereka adalah Anton Danu Saputro yang dalam usianya yang 74 masih memimpin grup musiknya, Orkes Keroncong

11

Asli Sahabat yang beranggota 18 pemusik, manggung di Pendopo Taman Budaya Surakarta, 14 September 2004. Satu lagi Proto R dengan orkes keroncongnya OK Pusaka Bintang. B.

Kerangka Pemikiran dan Teori Dalam kehidupannya manusia tidak lepas dari proses komunikasi. Harrold Lasswell mengatakan bahwa komunikasi adalah jawaban dari pertanyaan Who Says What In Which Channel to Whom With What Effect? (Harrold Lasswell dalam Dedi Mulyana, 1999: 62). Komunikasi manusia dibedakan ke dalam lima tingkat komunikasi, yaitu: 1. Dalam pribadi (intrapersonal). 2. Antar pribadi (interpersonal). 3. Antar kelompok atau asosiasi . 4. Institusi atau organisasi. 5. Masyarakat luas. Setiap peringkat komunikasi mencakup sejumlah masalah dan prioritas tertentu, serta memiliki serangkaian kenyataan dan teori tersendiri. Teori dan penelitian berupaya menyodorkan penjelasan terhadap rangkaian masalah tersebut. Rangkaian masalah tersebut meliputi: 1. Siapakah yang melakukan komunikasi dan kepada siapa komunikasi itu ditujukan? (sumber dan penerima) 2. Mengapa orang berkomunikasi? (fungsi dan tujuan) 3. Bagaimana cara terjadinya komunikasi? (saluran, bahasa, kode) 4. Komunikasi itu menyangkut hal apa? (isi, objek acuan, tipe informasi) 5. Apakah

konsekuensi

komunikasi?

(disengaja

atau

tidak

disengaja). (Denis McQuail, 1994: 6-7). Perkembangan teknologi saat ini juga berdampak kepada komunikasi manusia, terutama komunikasi massa. Media yang menjadi sarana komunikasi ini atau disebut media massa, yang mengalami perkembangan pesat. Salah satunya adalah televisi. Menurut Skornis dalam bukunya

“Television and Society: An Incuest and Agenda”(1965), televisi merupakan gabungan dari media dengar dan gambar, sehingga dapat memungkinkan menampilkan pesan suara maupun gambar secara bersamaan. Televisi menciptakan suasana yang berbeda, penyampaian isi pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan. Informasi yang disampaikan oleh televisi sangat mudah di mengerti karena jelas terdengar secara audio dan terlihat secara visual. Televisi mempunyai fungsi yang sama dengan fungsi media massa lainnya (surat kabar dan radio siaran), yakni memberi informasi, mendidik, menghibur dan membujuk Akan tetapi menurut penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD, fungsi menghibur lebih dominan. Dengan menyatakan bahwa pada umumnya tujuan khalayak menonton televisi adalah untuk memperoleh hiburan dan selanjutnya untuk memperoleh informasi. Dilihat dari stimulus alat indra, televisi memiliki karakteristik yang berbeda dengan karakteristik media massa yang lain, yaitu: 1. Audiovisual Televisi memiliki kelebihan, yaitu dapat didengar sekaligus dapat dilihat (audiovisual). Jadi apabila radio siaran hanya mendengar kata-kata, musik, dan efek suara, maka khalayak televisi dapat melihat gambar bergerak. Namun demikian, tidak berarti gambar lebih penting dari kata-kata. Keduanya harus ada kesesuaian secara harmonis (Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala Erdiyana, 2007: 128). 2. Berpikir dalam Gambar Pihak yang bertanggungjawab atas kelancaran acara televisi adalah pengarah acara. Bila ia membuat naskah acara atau membaca naskah, ia harus berpikir dalam gambar (think in picture). Ada dua tahap yang dilakukan dalam proses berpikir dalam

gambar.

Pertama,

adalah

(visualization),

yakni

menerjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang

13

menjadi gambar secara individual. Dalam proses visualisasi, pengarah acara harus berusaha menunjukkan objek-objek tertentu menjadi gambar yang jelas dan menyajikannya sedimikian rupa, sehingga mengandung suatu makna (Effendy dalam Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala Erdiyana, 2007: 129). Tahap kedua adalah penggambaran (picturization), yakni kegiatan merangkai gambar-gambar

individual

sedemikian

rupa,

sehingga

kontinuitasnya mengandung makna tertentu. 3. Pengopeasian lebih Kompleks Dibandingkan dengan radio siaran, pengoperasian televisi siaran lebih kompleks, dan lebih banyak melibatkan orang (Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala Erdiyana, 2007: 129-130). Seiring dengan pesatnya perkembangan di dunia pertelevisian di Indonesia mulai muncul stasiun-stasiun televisi, mulai dari yang berskala nasional maupun berskala lokal. Perbedaan televisi nasional dan lokal terletak pada jangkauan batas penyiarannya. Televisi berskala nasional adalah televisi yang mempunyai lingkup siar di suatu wilayah negara dan memiliki program-progam dengan topik yang luas untuk konsumsi berskala nasional. Sedangkan televisi lokal merupakan televisi yang mempunyai batasan ruang siar berskala daerah, televisi lokal lebih menonjolkan daerah yang menjadi home-base-nya. Hadirnya banyak stasiun televisi lokal saat ini harus diakui sangat berpengaruh terkait keinginan masyarakat untuk mendapatkan informasi dan program dari daerahnya sendiri secara optimal. Karena hanya televisi lokal yang bisa mengakomodasi hal itu. Berdasarkan pantauan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), sejak televisi lokal diakomodir dalam pasal di Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, ada sekitar 65 stasiun televisi lokal yang telah mengudara di Indonesia. Baik yang berstatus publik, swasta, maupun komunitas. Di samping itu, sebagai lembaga regulator penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baik di pusat maupun daerah, juga sangat

diharapkan perannya dalam mengawasi kualitas semua stasiun televisi, khususnya stasiun televisi lokal. Regulasi yang dibuat oleh KPI sangat penting untuk menunjang semangat Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, yakni "diversity of content" dan "diversity of ownership". (www.kpi.go.id) Sebagai TV lokal yang lebih menonjolkan daerahnya maka dalam bidang kebudayaan dan kesenian daerahpun juga menjadi tanggung jawab TV lokal. Kebudayaan dan kesenian daerah merupakan aset kebudayaan nasional, keberadaan, kelestariannya, dan perkembangannya perlu dijaga. Kebudayaan sendiri dapat diartikan sebagai berikut, Kebudayaan berasal dari kata “budaya”, yang berasal dari kata Sansekerta “buddhayah”, sebagai bentuk jamak dari buddhi, yang berarati budi dan akal. Kebudayaan adalah hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Banyak definisi tentang kebudayaan. Koentjara-ningrat memberikan pengertian kebudayaan sebagai “keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu” (Tim Pengajar IBD UNS, 1996: 6-7). Sedangkan seni adalah keindahan yang diciptakan manusia, atau merupakan permujudan dari sebuah kebudayaan. Lunturnya kebudayaan daerah karena imbas kebudayaan Barat perlu mendapat perhatian yang serius. Sesuai yang disebutkan dalam media theory imperialism, bahwa norma-norma budaya asing yang disebarluaskan melalui media elektronik dapat mempengaruhi budaya domestik (Gati Gayatri dalam makalah seminar nasional Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia, 2008: 7). Berdasarkan hal inilah TV lokal mempunyai peranan penting untuk mempertahankan dan melestarikan kebudayaan daerah, karena TV lokal diberi kebebasan yang lebih untuk mengeksplor kebudayaan di daerahnya. TATV, dalam hal pelestarian budaya daerah Surakarta, mengemban tugas untuk mewujudkan pelestarian dan pengembangan seni keroncong yang telah menjadi salah satu identitas, kota solo pada umumnya dan masyarakat Surakarta pada khususnya, dalam aspek kebudayaan. Penyajian seni keroncong seyogyanya mendapat proporsi yang cukup dalam program

15

penyiaran TATV. Patut kita sadari bahwa dengan penyajian seni keroncong di media, sedikit atau banyak, akan menjadi alternatif cara untuk tetap mempertahankan kebudayaan daerah. Berdasarkan teori-teori di atas, untuk mengetahui bagaimana dan sejauh mana peran serta TATV dalam pelestarian dan pengembangan seni keroncong di Surakarta, maka penulis mengajukan pertanyaan maupun wawancara yang cukup berkaitan dengan masalah ini.

BAB III METODE PENELITIAN A.

Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dengan penelitian ini diharapkan dapat mengungkap informasi yang digunakan untuk menjawab permasalahan

yang

diteliti

berdasarkan

kecenderungan,

pola

pikir,

ketidakteraturan, serta tampilan perilaku dan integrasi. (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 1998). Studi ini adalah studi evaluatif, yang mengevaluasi TELEVISI LOKAL DAN BUDAYA DAERAH Studi Evaluatif Tentang Peran Serta TATV dalam Pelestarian dan Pengembangan Seni Keroncong di Surakarta. Evaluasi yang akan digunakan adalah evaluasi formatif, yaitu melihat dan meneliti pelaksanaan suatu program, mencari umpan balik untuk memperbaiki pelaksanaan program (Singarimbun dan Effendy, 1995: 5). Evaluasi ini akan dilaksanakan dengan menggunakan model CIPP yang mengevaluasi tentang Context, Input, Process, Product. B.

Lokasi dan Objek Penelitian Lokasi pelaksanaan penelitian dipusatkankan di Kota Surakarta atau Kota Solo sebagai pusat perkembangan seni keroncong.

C.

Sumber Data 1. Informan adalah orang-orang yang dianggap mengetahui permasalahan yang diteliti. Untuk dapat memperoleh informasi maka peneliti melakukan pemilihan dan penelusuran informan secara purposive sampling. Sampel ditentukan berdasarkan pada ciri tertentu yang dianggap mempunyai hubungan erat dengan ciri populasi. Pengertian sengaja (purposive) di sini adalah bahwa peneliti telah menentukan responden dengan anggapan atau pendapatnya (judgement) sendiri sebagai sampel penelitiannya, peneliti

17

tahu persis siapa yang akan dipilih sebagai sampel (Susanto, 2006: 120). Subyek penelitian ini adalah perwakilan dari elemen masyarakat Kota Surakarta antara lain berasal dari Kalangan Budayawan, Pemerintah Daerah Kota Surakarta, Seniman keroncong, Akademisi, Mahasiswa, dan Warga Biasa. KPID (komisi Penyiaran Indonesia Daerah), Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (Hamkri) Solo. TATV (Terang Abadi Televisi). 2. Dokumen-dokumen, buku-buku, arsip-arsip, media massa, dan catatancatatan yang berhubungan dengan objek penelitian. D.

Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Wawancara mendalam (in-depth interviewing) Salah satu sumber informasi studi evaluatif yang sangat penting adalah wawancara. Wawancara merupakan sumber bukti yang esensial dalam penelitian ini. Dari wawancara ini disamping melihat opini mereka mengenai peristiwa yang terjadi, juga dapat digunakan sebagai dasar penelitian selanjutnya. Wawancara dilakukan terhadap responden yang dapat memberikan informasi dan keterangan-keterangan penting yang berkaitan. Wawancara jenis ini bersifat lentur, terbuka, tidak berstruktur ketat, tetapi dengan pertanyaan yang semakin terfokus dan mengarah pada kedalaman informasi. Wawancara ini menggunakan purposive sampling yaitu jumlah informan sesuai kebutuhan peneliti (Goetz & LeCompte, 1984). Wawancara

ini

dilakukan

terhadap

mereka

yang

mengetahui

permasalahan yang diteliti. Wawancara ini melibatkan Kalangan Budayawan, Pemerintah Daerah Kota Surakarta, Seniman kroncong, Dosen, Mahasiswa, Masyarakat Surakarta, Pengurus KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah), Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (Hamkri) Solo, pelaku media dalam manajemen TATV

(Terang Abadi Televisi). b. Observasi langsung Observasi dilakukan dalam bentuk observasi partisipasi pasif. Dengan kata lain dalam hal ini peneliti membatasi pada tingkat pengamatan secara pasif, sehingga dapat menjaga peran bukan sebagai “orang dalam” (Spradley, 1980). Terhadap beberapa pelaku dan kondisi lingkungan sosial yang relevan, termasuk didalamnya adalah beberapa kegiatan dan proses terkait dengan studi. Observasi ini dilakukan bersamaan waktunya dengan wawancara. Observasi dilakukan dengan melihat perilaku maupun ucapan subyek yang diteliti yang berkaitan dengan studi. Dengan melihat kegiatan-kegiatan, peristiwa-peristiwa yang ditemui di lapangan, maka observasi semacam ini akan berperan sebagai sumber bukti lain bagi studi evaluatif. Obervasi akan dilakukan di studio TATV, dan di beberapa wilayah konsumen TATV di Surakarta c. Dokumentasi Teknik

pengumpulan

data

dokumentasi

adalah

cara

pengumpulan data yang dilakukan dengan kategorisasi dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah-masalah penelitian baik dari sumber dokumen maupun buku-buku, koran, majalah dan lain-lain. Dokumentasi juga dilakukan dengan melihat berbagai perangkat fisik yang berkaitan dengan studi. E.

Teknik Analisis Data Adapun teknik analisis data yang dilakukan adalah analisis kualitatif dengan metode CIPP yang meliputi penilaian terhadap Context (konteks), Input (masukan), Process (proses), dan Product (output). Data yang diperoleh dikumpulkan dan diolah secara kualitatif, dari hasil yang diperoleh akan diadakan evaluasi mengenai hasil yang diteliti serta analisis terhadap hasil tersebut. Tindakan dinamis dalam model evaluasi CIPP

19

Penyelesaian

0100090000031602000002009601000000009601000026060f002203574d464301000 0000000010034bc0000000001000000000300000000000000030000010000006c0000 000000000000000000350000006f00000000000000000000000d390000e42d0000204 54d4600000100000300001000000002000000000000000000000000000000c0120000 0b190000cb0000000f010000000000000000000000000000c01903002724040016000 0000c000000180000000a00000010000000000000000000000009000000100000007a 0d0000d70a0000520000007001000001000000a4ffffff0000000000000000000000009

Cara

00100000000000004400022430061006c006900620072006900000000000000000000 00000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000 000000000000000000110048ae110010000000acb111002caf110052516032acb11100 a4ae11001000000014b0110090b1110024516032acb11100a4ae11002000000049642f 31a4ae1100acb1110020000000fffffffffc02d100d0642f31ffffffffffff0180ffff0180efff0 180ffffffff000000000008000000080000430000000100000000000000580200002500 0000552e90010008020f0502020204030204ef0200a07b20004000000000000000009f 00000000000000430061006c0069006200720000000000430065006e0074007500720 07900200047006f00d8ae11009c382731040000000100000014af110014af1100e8782 531040000003caf1100fc02d1006476000800000000250000000c00000001000000250 000000c00000001000000250000000c00000001000000120000000c00000001000000 180000000c0000000000000254000000540000000000000000000000350000006f000 00001000000555587407b4487400000000057000000010000004c0000000400000000 000000000000007a0d0000d70a0000500000002000000036000000460000002800000 01c0000004744494302000000ffffffffffffffff7b0d0000d80a000000000000460000001 4000000080000004744494303000000250000000c0000000e000080250000000c0000 000e0000800e000000140000000000000010000000140000000400000003010800050 000000b0200000000050000000c02ae011602040000002e0118001c000000fb02f2ff0 000000000009001000000000440002243616c69627269000000000000000000000000 00000000000000000000000000040000002d010000040000002d010000040000002d 0100000400000002010100050000000902000000020d000000320a0d0000000100040 0000000001602ad01200008001c000000fb020200010000000000bc02000000000102 022253797374656d0000000000000000000000000000000000000000000000000000 040000002d010100040000002d010100030000000000

Model Penelitian Evaluasi (Stephen Issac dan michael B. William, 1985)

21

BAB IV PELAKSANAAN PROGRAM A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Program Kreatifitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) yang diambil peneliti adalah berjudul: Televisi Lokal dan Budaya Daerah: ”Studi Efaluatif Tentang Peran Serta TATV Dalam Pelestarian dan Pengembangan Seni Keroncong di Surakarta“. Ide penelitian ini muncul saat peneliti menyadari bahwa televisi lokal memiliki pengaruh besar terhadap kelestarian dan pengembangan budaya daerah, dalam hal ini budaya baerah seni keroncong. Serta saat dicanangkannya “Solo Kota Keroncong“ oleh Walikota Solo, Ir. Joko Widodo. Akan tetapi banyak masyarakat yang tidak memperhatikan bahwa pentingnya mengelola media massa (televisi, dalam hal ini TATV Surakarta) agar dapat dimaksimalkan untuk mengembangkan budaya daerah. Penelitian ini sudah dilaksanakan oleh peneliti sejak bulan Maret lalu. Dua bulan pertama yaitu bulan Maret sampai dengan bulan April, peneliti melakukan proses kerja dari mulai observasi ke lapangan, membuat proposal penelitian dan mengurus perijinan. Dikarenakan alasan akademik penelitian ini terhenti satu bulan lebih dan penelitian inipun dimulai lagi pada pertengahan bulan Juni. Untuk memulai lagi penelitian ini, di bulan Juni peneliti sering berkonsultasi kepada dosen pendamping. Seiring dengan berkonsiltasi secara intensif, kami mencoba mengidentifikasi nara sumber dan membuat guide iterview. Karena penelitian ini juga harus menentukan para nara sumber yang menurut peneliti mempunyai kredibilitas dan kedalaman informasi mengenai tema penelitian yang peneliti angkat. Selanjutnya peneliti melakukan pengumpulan data dengan wawancara mendalam terhadap nara sumber dan pencarian data pendukung dari bukubuku dan data dari beberapa instansi pemerintah di Kota Solo. Pada bulan Juli peneliti melakukan wawancara mendalam dari narasumber Mas Andre

(Koordinator Team Kreatif TATV, Surakarta), Ibu Hj. Waldjinah (Seniman Keroncong dan Ketua HAMKRI (Himpunan Artis Keroncong Indonesia) Solo), Saryoko (Kasi Pengendalian Evaluasi dan Pelaporan, Dinas Pariwiasata Seni dan Budaya, Surakarta) dan Drs. H. Widodo Muktyo, SE, M.Com (Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNS). Sebenarnya peneliti ingin lebih banyak mencari data dengan mewawancarai Walikota Solo, Ir. Joko Widodo, yang sekaligus menjadi pihak pertama yang mencanangkan program “Solo Kota Keroncong”. Akan tetapi upaya untuk menemui beliau sangatlah sulit, karena kesibukan beliau sebagai walikota Solo. Sebagai ganti nara sumber dari intansi pemerintah, kami mewawancarai Saryoko dari Dinas Pariewisata Seni dan Budaya seperti yang peneliti sebutkan diatas. Peneliti juga telah berusaha membuat janji wawancara dengan Dra Rustiningsih, MM direktur Lokananta, sebuah perusahaan rekaman pembuat piringan hitam, kaset dan CD musik di Solo, merupakan perusahaan yang berperan sangat besar terhadap perkembangan seni keroncong beberapa tahun silam. Akan tetapi peneliti tidak bisa menemui beliau dikarenakan beliau pergi bertugas keluar kota beberapa minggu. Setelah itu data mentah yang terkumpul dalam bentuk rekaman hand record , catatan-catatan tangan, dan data-data yang didapatkan di lapangan kemudian mulai dianalisis oleh peneliti. Proses analisis dan reduksi data dilakukan peneliti pada Bulan Agustus. Setelah mendapatkan hasil dari proses analisis, peneliti selanjutnya menyusun laporan akhir penelitian. Tempat berlangsungnya proses penelitian ini berada di Kota Surakarta, Kampus Universitas Sebelas Maret, rumah, dan kos peneliti. B. Tahapan Pelaksanaan Agar hasil penelitian sesuai dengan apa yang diharapkan peneliti dan berjalan dengan lancar. Maka penelitian dijalankan sesuai dengan urutan proses penelitian yang telah direncanakan oleh peneliti. Sedangkan tahapan proses penelitian tersebut adalah :

23

No

Tahapan Pelaksanaan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Persiapan Proposal Penyelesaian Proposal Persiapan Penelitian Pengurusan Perijinan Observasi Wawacara Pengumpulan Data Analisis Data Penyusunan Laporan Pengiriman Laporan

C. Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan metode purposive sampling. Sehingga data-data yang diperlukan adalah adanya narasumber atau informan yang memiliki kedalaman pengetahuan dan informasi terkait tema penelitian ini. Selain itu peneliti juga membutuhkan data-data pendukung lain dalam bentuk tertulis, visual, atau mungkin audio visual. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara

mendalam terhadap para narasumber. Adapun instrumen yang dibutuhkan peneliti adalah hand record, kaset kosong, dan catatan-catatan kecil. Pengumpulan data-data tertulis dari berbagai instansi terkait juga dilakukan oleh peneliti untuk mendukung data-data wawancara. Langkah observasi di lapangan juga ditempuh oleh peneliti untuk melihat fakta-fakta yang ada di lapangan sekaligus untuk mendapatkan hasil pengamatan yang maksimal. Selanjutnya data-data yang sudah diperoleh kemudian diolah di komputer dan hasil akhir disajikan dengan bentuk tertulis.

BAB V PEMBAHASAN A. Deskripsi Kota Surakarta Sejarah kelahiran Kota Solo (Surakarta) dimulai pada masa pemerintahan Pakubuwono II di Kraton Kartosuro. Pada masa itu terjadi pemberontakan Mas Garendi (Sunan Kuning) dibantu kerabat-kerabat kraton yang tidak setuju dengan sikap Pakubuwono II yang melakukan kerjasama dengan Belanda. Salah satu pendukung pemberontakan ini adalah Pangeran Sambernyowo (RM Said). Pakubuwono II yang terdesak kemudian mengungsi di Jawa Timur (Pacitan dan Ponorogo). Akhirnya dengan bantuan Belanda pemberontakan berhasil dipadamkan. Setelah tahu Keraton Kartosuro telah hancur. Pakubuwono II mencari wilayah baru untuk pendirian kraton. Akhirnya pada tahun 1745, dengan berbagai pertimbangan fisik dan supranatural terpilihlah Desa Sala (sebuah desa di tepian Sungai Bengawan Solo). Sejak saat itulah Desa Sala berubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Selanjutnya melalui perjanjian Kalicacing Salatiga tahun 1757, Kerajaan Kasunanan Surakarta terbagi manjadi dua, yaitu Kerajaan Kasunanan sendiri dan berdiri Kerajaan Mangkunegaran. Hari jadi Kota Surakarta adalah tanggal 16 Juni. Ini dikarenakan secara de facto tanggal 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota

25

Surakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus kekuasaan Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaraan. Secara yuridis Kota Surakarta terbentuk berdasarkan penetapan pemerintah tahun 1946 Nomor 16/SD, yang diumumkan pada tanggal 15 Juli. Dengan pertimbangan faktor-faktor historis sebelumnya, tanggal 16 Juni 1946 ditetapkan sebagai hari jadi Kota Surakarta. Kota Surakarta masuk dalam wilayah Propinsi Dati I Jawa Tengah, dari Semarang (Ibukota Propinsi Jawa Tengah) berjarak kurang lebih 100 km dan terletak ke arah selatan. Kota Surakarta memiliki luas wilayah 44,04 km2. Kota Surakarta atau lebih terkenal dengan sebutan Kota Solo atau Sala terletak pada suatu dataran rendah rata-rata 92 meter di atas permukaan laut (terendah 80 meter, tertinggi 130 meter), kemiringan tanah antara 0-40%, Kodya Surakarta terletak di tepi Sungai Bengawan Solo. Suhu udara di kota ini maksimum 32,50C dan minimum 21,90C. Sebagai daerah administrasi, Surakarta merupakan daerah kota yang terdiri dari 5 kecamatan dan 51 kalurahan. Secara astronomis terletak diantara 7031’43’’ – 7035’38’’ Lintang Selatan. Batas-batas daerah Surakarta sebagai berikut : •

Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Boyolali.



Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar.



Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo



Sebelah

Barat

berbatasan

dengan

Kabupaten

Sukoharjo

dan

Karanganyar. Jumlah penduduk Kota Surakarta kurang lebih 500 ribu, kepadatan penduduk tertinggi rata-rata 12.000 penduduk per km2 berada di kawasan kota sebelah selatan. Karena mobilitas masyarakat yang sangat tinggi terutama di siang hari. Maka penduduk Kota Surakarta dapat mencapai empat sampai lima kali lipat pada siang hari dibanding pada malam hari.

Sebagai kawasan perkotaan Surakarta tumbuh menjadi kota hinterland, dimana sebagian besar warganya adalah warga komuter. Regionalisasi kawasan Surakarta yang lebih dikenal sebagai SUBOSUKOWONOSRATEN memiliki intensitas interaksi yang tinggi baik dalam arti fisik kawasan, kegiatan ekonomi, dan sosial budaya, dimana kota Surakarta sebagai titik centrumnya. Hal ini sudah merupakan bagian dari warisan historis sejak jaman kerajaan, kolonial hingga kemerdekaan. Kondisi ini selanjutnya membawa konsekuensi tingginya tingkat urbanisasi dan migrasi penduduk dari kawasan hinterland ke Kota Surakarta. 1. Pemerintahan VISI Kota Solo “Terwujudnya Kota Sala Sebagai Kota Budaya yang Bertumpu pada Potensi Perdagangan, Jasa, Pendidikan, Pariwisata, dan Olah Raga. MISI Kota Solo a.

Revitalisasi kemitraan dan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam semua bidang pembangunan, serta perekatan kehidupan bermasyarakat dengan komitmen cinta kota yang berlandaskan pada nilai-nilai “Sala Kota Budaya“

b. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan

dalam

pengetahuan, teknologi,

penguasaan

dan

pendayagunaan

ilmu

dan seni guna mewujudkan inovasi dan

integritas masyarakat madani yang berlandaskan Ketuhanan yang Maha Esa. c.

Mengembangkan seluruh kekuatan ekonomi daerah sebagai pemacu tumbuh dan berkembangnya ekonomi rakyat yang berdaya saing tinggi, serta mendayagunakan potensi pariwisata dan teknologi terapan yang ramah lingkungan

d.

Membudayakan peran dan fungsi hukum, pelaksanaan Hak Asasi Manusia dan demokratisasi bagi seluruh elemen masyarakat utamanya bagi para penyelenggara pemerintahan. Strategi pendekatan pembangunan maupun pelayanan publik dan

27

kerjasama antar daerah. Strategi pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan pola pembangunan partisipatif. Dilakukan dengan melalui forum musyawarah yang diselenggarakan sendiri oleh masyarakat. Jenis dan tahapan musyawarah untuk agenda pembangunan kota adalah Muskelbang (tingkat kalurahan), Muscambang (tingkat Kecamatan) dan Muskotbang (tingkat Kota). Strategi pelayanan publik termasuk perijinan menerapkan Pola Pelayanan Terpadu dengan mengkedepankan pelayanan yang cepat, tepat, murah, dan pasti. Sedang kerjasama antar daerah dilakukan dengan mensinergikan potensi-potensi kota/kabupaten di sekitar Kota Solo yaitu daerah Subosukowonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Klaten). 2. Ekonomi Sejak akhir abad 19, Kota Surakarta dan sekitarnya tumbuh menjadi daerah produsen, khususnya sandang. Pertumbuhan dan perkembangan industri sandang ini tidak terlepas dari meningkatnya permintaan sandang, terutama kain batik. Sampai saat ini Kota Solo masih menjadi salah satu kota produsen atau industri, tidak saja barang tekstil saja tetapi juga berbagai jenis produk dengan skala usaha yang terdiri dari usaha kecil, menengah dan besar. Bahkan sekarang lokasi industri tidak hanya berkembang di dalam Kota Solo tetapi juga telah berkembang di daerah-daerah penyangga di seputar Kota Solo. Perusahaan tekstil/sandang terbesar seperti PT Batik Keris/PT Danliris dan PT Sritex telah mengembangkan lokasi industrinya ke daerah Sukoharjo. Selain PT Danar Hadi yang masih ada di dalam kota, PT Kusuma Hadi mengambil tempat industri di daerah Karanganyar. PT Konimex industri farmasi terkemuka di Indonesia lokasi industrinya juga di daerah Sukoharjo yang berdekatan dengan Kota Solo. Di Boyolali selain terkenal dengan produksi susu segar dari sapi perahnya, di kota ini juga terdapat beberapa industri tekstil besar. Sementara itu industri jamujamu tradisonal misal Air Mancur terdapat di Wonogiri. Struktur ekonomi Kota Surakarta tidak hanya bertumpu kepada

industri dan perdagangan tekstil yang berpusat di Pasar Klewer (pasar kain terbesar di Indonesia). Selain itu saat ini Kota Surakarta terdapat pula banyak pasar-pasar modern berdiri ditengah-tengah keberadaan pasar-pasar tradisional. Pasar tradisional Kota Solo seperti Pasar Gede, Pasar Legi, Pasar Triwindu, dan Pasar Kembang sudah sejak lama telah menjadi jantung perekonomian Kota Solo. Tetapi saat ini keberadaannya harus rela bersaing dengan pasar-pasar modern seperti Solo Grand Mall (SGM), Singosaren Mall, D’Laweyan Mall, Ciputra Sun Plaza, Beteng Trade Center, dan Pusat Grosir Solo (PGS). Keberadaan beragam pasar modern di Kota Solo tersebut juga menjadi lahan pemasukan finansial yang besar tentunya bagi Kota Solo. Selain sektor perdagangan keberadaan berbagai tempat wisata di Kota Solo maupun di daerah seputar Kota Solo telah memunculkan banyaknya sarana akomodasi wisata seperti hotel-hotel berbintang dan restoran. Penduduk Kota Solo terutama kaum mudanya yang telah mengadopsi kehidupan modern juga berperan besar memunculkan tempat-tempat rekreasi modern seperti kafe, pub, diskotik, dan bar. 3. Pariwisata Kota

Solo

dengan

didukung

daerah-daerah

diseputarnya

mempunyai potensi wisata yang sungguh besar. Kota Solo dikenal sebagai kota sejarah atau kota budaya yang kemudian berkambang menjadi kota pariwisata. Peninggalan sejarah Kerajaan Kasunanan dan Kerajaan Mangkunegaran membuat Kota Solo terkenal dengan kota sejarahnya. Karena latar belakang sejarah sebagai pusat kerajaan jawa tersebut Kota Solo juga terkenal sebagai pusat kebudayaan Jawa hingga saat ini di samping kota Yogyakarta. Peninggalan-peninggalan sejarah tersebut baik berupa tempat maupun artefak yang hingga saat ini menjadi aset pariwisata Kota Solo. Selain terkenal dengan Kerajaan Mangkunegaran dan Kerajaan Kasunanan di Kota Solo juga terdapat berbagai tempat wisata seperti pusat kerajinan kain batik di Kampung Batik Laweyan dan Kampung

29

Batik Kauman. Taman Hiburan Sriwedari yang menyuguhkan beragam wisata tontonan tradisonal Jawa seperti Wayang Orang dan Ketoprak. Museum Radya Pustaka juga merupakan tempat wisata yang bagus karena disana tersimpan beragam artefak kuno dan bernilai sejarah dari Kota Solo dan kebudayaan Jawa. Di daerah seputar Kota Solo terdapat juga berbagai tempat wisata seperti di Karanganyar terkenal dengan wisata alamnya. Disana terdapat beberapa air terjun seperti air terjun Grojogan Sewu, Jumog, dan Parang Ijo. Selain itu juga terdapat beberapa tempat wisata sejarah yaitu Candi Sukuh dan Candi Cetho. Candi Sukuh merupakan candi yang spesial karena wujudnya berbeda dengan bentuk candi-candi Jawa biasanya, bentuknya menyerupai candi orang-orang Indian Maya dan Inca dari Amerika Selatan. Di Wonogiri terkenal dengan tempat wisatanya yaitu Waduk Gajah Mungkur dan beberapa Gua alam seperti Gua Gong. Boyolali dan Klaten terdapat tempat obyek wisata di sekitar Gunung Merapi. B. Kondisi Seni Keroncong di Surakarta Saat Ini Seni keroncong merupakan kesenian daerah yang harus dijaga keberadaannya dan terus dikembangkan agar tidak punah. Dewasa ini kesenian keroncong mulai pudar seiring dengan perkembangan zaman, seni musik keroncong mulai tergeser oleh musik-musik hasil budaya barat, seperti rock, pop, R and B dan lain-lain. Seni keroncong seharusnya menjadi salah satu budaya bangsa yang digandrungi oleh generasi muda bangsa, akan tetapi telah banyak generasi muda yang tidak memperhatikan atau malah dilupakan. Sebagai anak bangsa yang mencintai budaya bangsa, seharusnya kita mampu melestarikan dan mengembangkan seni-budaya Indonesia, dalam hal ini khusunya seni keroncong agar tetap ada. Dalam perkembangannya musik keroncong di Indonesia terutama di Surakarta mengalami berbagai macam kondisi. Akan tetapi seiring perkembangan zaman dan munculnya berbagai golongan masyarakat yang

peduli terhadap budaya daerah, seni keroncong ternyata berkembang dengan baik. Seperti yang dikatakan oleh seorang praktisi keroncong sekaligus ketua HAMKRI (Himpunan Artis Keroncong Indonesia) Solo, Hj. Waldjinah, saat kami wawancarai beberapa waktu yang lalu: “Sebelum saya memimpin HAMKRI, kira-kira tahun 2004, kondisi keroncong bisa dibilang sangat memprihatinkan, pada saat itu grup keroncong di Solo cuma ada 12 grup dan jarang sekali ada lomba-lomba keroncong, akan tetapi sehabis tahun 2004 HAMKRI berkerja sama dengan pemerintah untuk menggiatkan keroncong, Alhamdulillah telah banyak mengadakan lombalomba dan grup-gup keroncong pun semakin bertambah, saat sekarang ini di Solo kira-kira ada seratusan grup-grup keroncong yang aktif.” (sumber: wawancara Hj. Waldjinah: 4 Agustus 2008). Berkembangnya

seni

keroncong

di

Surakarta

saat

ini

juga

dikemukakan dari pihak intansi pemerintah, yaitu dari Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Surakarta yang diwakili oleh Saryoko selaku Kasi Pengendalian Evaluasi dan Pelaporan, Dinas Pariwiasata Seni dan Budaya Surakarta. Saryoko mengemukakan bahwa wajah keroncong di Solo mulai tampak dan berkembang dengan cukup baik, apalagi dengan dicanangkannya program “Solo Kota Keroncong” oleh pemerintah. “Dengan adanya program dan pencanangan ‘Solo Kota Keroncong’ oleh pemerintah

saya rasa ada dampak positif bagi kemajuan terhadap seni

keroncong. Posisi keroncong sedikit terangkat dengan adanya pencanangan program tersebut. Sebelum pencanangan tersebut (Solo Kota Keroncong) keroncong diibaratkan hidup segan mati tak mau. Apalagi dengan adanya program acara keroncong dari televisi lokal TATV dan aran semen dari lagu Bondan

Prakoso

(Keroncong

protol)

keroncong

sedikit

terangkat

kepermukaan.” (sumber: wawancara Saryoko: 31 Juli 2008) Pencanangan “Solo Kota Keroncong” menjadi salah satu daya dorong perkembangan seni keroncong di Surakarta, khususnya bagi para seniman keroncong yang mendapat dukungan dan apresiasi yang cukup tinggi dari pemerintah dan masyarakat. Pencanangan Solo Kota Keroncong, menurut

31

ketua HAMKRI, merupakan inisiatif dari pelaku keroncong itu sendiri, yang kemudian ditindak lanjuti oleh pemerintah kota Surakarta. Hal ini terkait pula dengan program acara keroncong di TATV, yang mampu menampilkan salah satu grup keroncong dari Malaysia, dan di tindak lanjuti oleh HAMKRI untuk dipertemukan dengan walikota Solo. Walikota Solo menanggapi kedatangan grup keroncong dari Malaysia tersebut dengan baik, dan kemudian membuat program “Solo Kota Keroncong”. “Waktu itu, grup keroncong yang berasal dari Malaysia tertarik untuk tampil di TATV. Kemudian mereka menghubungi kami. Setelah mereka tampil, kita mempertemukan mereka dengan pak walikota. Pak walikota menanggapi kunjungan ini dengan positif. Dan setelah kunjungan itu, Pak walikota mengadakan program Solo Kota Keroncong.”

(sumber: wawancara Hj.

Waldjinah: 4 Agustus 2008) Grup seni keroncong pada tahun 2004 mengalami kondisi kritis, terutama di Eks-Karesidenan Surakarta. Jumlah grup keroncong yang sedikit, diperparah dengan seniman keroncong yang umurnya mayoritas telah berumur tua. Situasi ini disebabkan karena tidak terjadi proses regenerasi yang baik oleh seniman keroncong. Terlebih lagi, generasi muda di era modern ini semakin menurun ketertarikannya untuk mempelajari dan mencintai lebih dalam terhadap seni keroncong. Pengaruh budaya asing yang semakin intens, menggerus budaya lokal yang sepatutnya dilestarikan oleh masyarakat setempat. Selain itu, lahan aktualisasi seniman keroncong tidak terlalu luas, sehingga menyebabkan tidak berkembangnya seni keroncong. “Kita mendatangi grup-grup yang non-aktif. Tujuannya memberi lahan tampil bagi para seniman keroncong untuk lebih mengembangkan seni keroncong di Solo. Setiap grup masih terikat hubungan keluarga, semisal bila grup itu dipimpin oleh suami, penyanyinya adalah istrinya. Umurnya sudah terbilang tua. Dan karena jarang tampil, maka kualitasnya masih seadanya.“ (sumber: wawancara Hj. Waldjinah: 4 Agustus 2008) Momentum kebangkitan seni keroncong ada beberapa faktor. Aktivasi

kembali HAMKRI pada tahun 2004, memberi harapan bagi seniman keroncong untuk bersatu dan mengembangkan seni keroncong. Hj. Waljinah ditunjuk

sebagai

ketua

HAMKRI

dengan

harapan

dapat

kembali

menghidupkan keroncong. HAMKRI pertama kali berdiri masih dalam lingkup Eks. Karesidenan Surakarta terlebih dahulu. Seiring waktu, daerahdaerah diluar wilayah Karesidenan Surakarta mulai mendirikan HAMKRI di daerah masing-masing, Sehingga lingkup wilayah HAMKRI semakin meluas, setidaknya mencakup Jawa Tengah dan DIY. C. Peran Serta TATV dalam Pelestarian dan Pengembangan Seni Keroncong di Surakarta Ketika kita berbicara TATV disini, kita berbicara tentang sebuah televisi swasta lokal yang berada di lingkup Surakarta. Dimana televisi lokal selain sebagai media publik, juga memiliki peran dalam mengambangkan budaya dearah dimana televisi tersebut berdomisili. Dalam penelitian ini peneliti mencoba mengerucutkan salah satu kebudayaan yang ada di Surakarta, yaitu seni Keroncong. TATV sebagai televisi lokal mengusung slogan MANTEB (Masa Depan dan Tetap Berbudaya). Dari slogan yang usung oleh TATV tersebut dapat dimaknai bahwa ada sebuah upaya untuk mengedepankan budaya. Sesuai

dengan

wawancara

yang

peneliti

lakukan

didapatkan

keterangan bahwa ada dukungan dari TATV untuk mengembangkan budaya lokal. Seperti yang di ungkapkan oleh Andre. “TATV sangat mendukung kebudayaan lokal yang ada dan berusaha menampilkan kebudayaan lokal yang ada agar bisa tumbuh dan berkembang, salah satunya kita (TATV) mengedepankan kroncong menjadi acara unggulan kami” (sumber: wawancara Andre: 31 Juli 2008) “Dengan slogan MANTEB (Masa Depan dan Tetap Berbudaya) arti dalam formatanya kita tidak meninggalkan modernisasi, tetapi budaya lokal tetap kita pelihara. Tidak hanya kroncong yang ditampilkan tetapi juga dangdut, campursari, wayangkulit”. (sumber: wawancara Andre: 31 Juli 2008) Andre juga menerangkan bahwa sudah sejak empat tahun terakhir ini

33

TATV secara rutin menyiarkan acara kroncong, bekerja sama dengan pihak HAMKRI pimpinan Hj. Waldjinah. “Sejak TATV berdiri sampai tahun ini (2008) kami sudak bekerja sama dengan HAMKRI Korwil Surakarta pimpinan ibu Waljinah kita (TATV) menyangkan kroncong setiap kamis, itu sudah menjadi tayangan rutin kami (TATV)”. (sumber: wawancara Andre: 31 Juli 2008) Lebih lanjut ketika ditanya tentang motivasi dalam menayangkan seni keroncong apakah merupakan sebuah respon dari pencanangan “Solo Kota Keroncong” oleh walikota Solo, didapat keterangan bahwa penayangan keroncong bukan merupakan sebuah respon dari pencanangan tersebut. “Sejak berdirinya stasiun ini kami sudah ada program keroncong sebagai acara unggulan kami, acara kroncong bukan merupakan respon dari pencanangan Solo Kota Keroncong”. (sumber: wawancara Andre: 31 Juli 2008) Ketika sudah didapat keterangan seperti diatas selanjutnya peneliti mencoba memperdalam pertanyaan terkait dengan format acara keroncong yang disiarkan TATV seperti durasi, variasi acara, jenis-jenis keroncong, penempatan jam tayang, dan variasi penayangan keroncong itu sendiri. Dari hasil wawancara dipaparkan oleh Andre bahwa durasi penayangan keroncong di TATV selama satu minggu adalah satu jam, yaitu setiap hari kamis pada pukul 21.00-22.00, dengan format live selama satu jam dari grup keroncong yang tampil membawakan tujuh lagu. Sedangkan lagulagu yang dinyanyikan tidak ada pembatasan dari pihak TATV, baik berupa langgaam, lagu pop yang “dikeroncongkan”, ataupun lagu-lagu yang lain. Acara-acara yang disiarkan oleh TATV pun kebanyakan adalah buatan sendiri, termasuk dalam penyiaran keroncong yang bersifat langsung. “Kita banyak acara yang dibikin sendiri termasuk wayang kulit kita shoting sendiri, keroncong kita shoting sendiri. Kita banyak (menampilkan) kebudayaan lokal.” (sumber: wawancara Andre: 31 Juli 2008) Begitu juga dengan jenis-jenis keroncong yang ditampilkan, dari pihak

TATV tidak melakukan pembatasan, baik yang berupa keroncong asli ataupun keroncong variasi. Keduaduanya ditampilkan. Tetapi itu juga masih tergantung dari keputusan HAMKRI terkait dengan layak tidaknya grup keroncong yang akan ditampilkan. Begitu juga dengan segmentasi, juga tidak ada pembatasan bahkan pernah beberapa kali ditampilkan grup keroncong dengan penyanyi anak-anak. “Kita tidak membatasi hanya keroncong tradisionala saja.” (sumber: wawancara Andre: 31 Juli 2008) “TATV mengangkat dua-duanya (keroncong asli dan keroncong variasi). Biasanya kan pihak HAMKRI menampilkan grup keroncong. Dari grup keroncong itu apakah mau menampilkan keroncong yang asli ataupun yang pop dibikin keroncong, itu terserah.nggak papa, yang penting kita karena kita kan pingin mengangkat keroncong berarti kita membidik bukan hanya golongan tua saja, golongan muda, anak-anak juga. Kita sudah beberapa kali menampilkan grup keroncong yang pemusiknya atau penyanyinya adalah anak-anak.” (sumber: wawancara Andre: 31 Juli 2008) “Durasinya keroncong itu satu minggu satu kali yaitu setiap kamis selama satu jam. Jam tayang untuk keroncong live kita selalu setiap hari kamis jam 21.00-22.00. Hari minggu kita juga menampilkan (musik keroncong) secara kompilasi tetapi hanya lagu-lagu saja.” (sumber: wawancara Andre: 31 Juli 2008) Dari format acara yang ditampilkan oleh TATV yang melibatkan keroncong selain keroncong live, juga terdapat acara lain yang melibatkan keroncong yaitu kangen keroncong, yang berupa acara talk show. Dimana keroncong dijadikan hiburan di sela-sela acara tersebut. “Kita kadang hanya keroncong thok ada penayanyi keroncong, pemusiknya dan pembawa acara. Kita juga punya yang namanya ‘Kangen Keroncong’. Kangen Keroncong itu ada pemisiknya termasuk penyanyinya, kemudian disitu ada ‘round table’ disitu berisi klien-klien kami. Termasuk disitu bisa menjadi ajang untuk penyuluhan dari instansi-insatansi, kemudian bisa

35

menjadi ‘tolk show-talk show’ dengan diselingi lagu-lagu keroncong.” (sumber: wawancara Andre: 31 Juli 2008) Sedangkan proses seleksi untuk menentukan kelayakan tampil, pihak TATV bersama-sama dengan pihak HAMKRI melakukan seleksi. “Grup keroncong yang akan tampil kita kerjasama dengan HAMKRI, nanti biasanya grup keroncong yang akan tampil itu mendaftarkan diri ke HAMKRI, ini terbuka untuk umum siapa saja yang akan tampil. Biasanya HAMKRI dan crew kami menengok latihannya, persiapanya, dan sebagainya. Nanti kalau istilahnya layak tampil kita kemudian kita ijinkan untuk tampil di TATV.” (sumber: wawancara Andre: 31 Juli 2008) Selain itu ketika ditanyakan keterkaitan antara penetapan Solo kota keroncong dengan keberadaan keroncong dalam acara-acara di TATV. Di dapat keterangan bahwa acara keroncong di TATV bukan merupakan sebuah respon. Melainkan memang sejak awal berdiri acara ini sudah ada. “Sejak TATV berdiri kita sudah ada keroncong, sudah memasukkan acara keroncong sebagai acara unggulan kami, jadi keberadaan keroncong di TATV bukan menjadi respon terhadap penetapan Solo Kota Keroncong, tetapi sebelum ditetapkanya Solo Kota Keroncong pun kita sudah mengakomodir budaya lokal dalam arti musik keroncong ini untuk menjadi acara unggulan kami.” (sumber: wawancara Andre: 31 Juli 2008) Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan terhadap pihak TATV diketahui bahwa, TATV telah berperan dalam pelestarian dan pengembangan keroncong terutama di Surakarta. Hal ini dibuktikan dengan adanya satu mata acara kusus keroncong yang rutin disiarkan satu kali satu minggu, walaupun haya dengan durasi satu jam. Jalinan kerjasama yang baik dengan pihak HAMKRI juga merupakan salah satu bukti, dimana darim pihak HAMKRI memunculkan grup-grup keroncong dan dari pihak TATV memberikan ruang untuk melakukan pelestarian dan pengembangan keroncong. D. Sikap dan Pandangan Seniman Keroncong Terhadap Peran Serta TATV dalam Pelestarian dan Pengembangan Seni Keroncong di Surakarta

Seniman keroncong merupakan pelaku utama dalam seni keroncong, dimana mempunyai peran penting untuk melestarikan dan mengemabngkan seni keroncong. Surakarta sebagai tempat lahir seni keroncong, mempunyai banyak saeniman keroncong yang telah meorehkan sejarah dam dunia keroncong nusantara. Perkembangan media televisi lokal, sewajarnya memberi lahan baru bagi seni keroncong untuk tampil dan mengembangkan diri dengan lebih baik. Sekaligus sebagai wahana melestarikan dan mempromosikan seni keroncong kepada masyarakat lokal, maupun masyarakat luas pada umumnya. TATV sebagai media televisi lokal di Kota Surakarta mempunyai peran penting dalam memfasilitasi seniman keroncong untuk dapat mengembangkan diri. Sebagaimana salah satu fungsi televisi lokal yaitu ikut melestarikan budaya daerah, sepatasnyalah TATV memberi tempat bagi seniman keroncong untuk berkspresi melalui media televisi. Pada dasarnya diperlukan hubungan harmonis antara seniman keroncong dengan pihak pengelola TATV guna menyesuaikan peran masing-masing dalam usaha pelesatarian dan pengembangan seni keroncong. Seniman keroncong sepatutnya lebih mengasah diri untuk dapat menampilkan seni keroncong secara berkualitas. Selain itu, pengelola TATV juga harus memberi porsi yang cukup bagi seni keroncong dalm program-program acaranya, sekaligus memfasilitasi sebaik mungkin para seniman keroncong untuk dapat tampil dengan maksimal. Perkembangan yang muncul saat ini, TATV telah memberikan lahan bagi seniman keroncong untuk tampil pada acara rutin setiap hari kamis dengan alokasi waktu 1 jam. Seniman keroncong, yang saat ini terwadahi dalam HAMKRI, menanggapi pegadaan program acara ini dengan baik. HAMKRI menjadi organ penting dalam hal penghubung diantara pengelola televisi dengan grup-grup keroncong. Pada awalnya, pihak pengelola TATV menawarkan kerjasama untuk melaksanakan program acara keroncong kepada HAMKRI. Dan HAMKRI pun menanggapi tawaran ini dengan positif. “Pertama kalinya HAMKRI diminta mengisi acara di TATV. Dan TATV

37

kewajibannya menyiarkannya. Karena bagaimanapun juga Solo identik dengan Surakarta. HAMKRI berusaha mengajak grup-grup keroncong di Surakarta dan juga daerah lain untuk dapat tampil di TA TV, dan juga mendampingi grup keroncong yang akan tampil di TA TV. Di program acara ini setiap minggunya kita menampilkan tujuh lagu.” (sumber: wawancara Hj. Waldjinah: 4 Agustus 2008) Dengan adanya program acara ini, ternyata mampu meningkatkan kembali gairah para seniman keroncong untuk menampilkan keseniannya. Pada awal munculnya program ini, kondisi seni keroncong di Surakarta masih lesu. Akibatnya, grup-grup keroncong yang tampil, tidak menumnjukkan kualitas yang memadai. Namun dengan adanya acara seni keroncong di TATV,

mendorong

para

seniman

keroncong

untuk

berltaih

dan

mengembangkan diri lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya grupgrup keroncong baru yang ingin tampil di acara TATV. Hal ini menimbulkan iklim kompetisi antar grup keroncong untuk tampil terbaik, sehingga seni keroncong di Surakarta pun mulai bangkit dan berkembang dengan cukup cepat. “Pertama kali itu belum kompetitif, karena kasarannya bentukannya yang lama pingin tampil. Sehingga mau tidak mau kita ikuti. Waktu itu penyanyipenyanyinya banyak yang tua-tua alias kadaluwarsa. Disamping itu mereka sudah jarang nyanyi. Sehingga penampilan mereka seadanya. Pihak TATV waktu itu masih memaklumi keadaan ini. Tapi setelah makin lama makin hari, mereka malu sendiri, karena merasa sudah tua. Dengan sendirinya, mereka tidak ingin tampil lagi di program acara TA TV. Setelah itu muncul grupgrup keroncong baru yang meminta HAMKRI untuk melihat latihan nya, untuk bisa tampil di TATV.” (sumber: wawancara Hj. Waldjinah: 4 Agustus 2008) Perkembangan seni keroncong di Surakarta semakin baik, seiring dengan adanya program acara seni keroncong di TATV. Seniman keroncong semakin terpacu untuk tampil di TATV, sehingga terus berlatih dan

mengembangkan diri menjadi yang terbaik agar layak tampil. Penampilan di televisi mampu menjadi motivasi tersendiri bagi seniman keroncong untuk lebih giat berlatih. “Alhamdulillah kita menjadi terpacu dengan adanya acara ini. Kan orang pingin tampil di televisi, untuk tampil itu kan tidak sembarang, waktu pertama sih sementara masih kita bebaskan, yang tua, yang muda, di campur aduk. Tapi setelah makin hari itu, mereka makin sungkan dengan klub nya sendiri. HAMKRI sendiri juga berusah melihat dan memantau tentang layak atau tidak grup-grup keroncong tersebut tampil. Kalo ada yang tidak layak, mak kita ganti dengan grup lain yang lebih layak, sampai mereka layak untuk tampil. Karena kita takut kalo sembarangan, kerjasama dengan TATV putus kan ya repot. “(sumber: wawancara Hj. Waldjinah: 4 Agustus 2008) Seniman keroncong Surakarta pada dasarnya merespons positif dari program yang ditawarkan TATV. Adapun teknis dari program acara tersebut terdiri dari 4 tahapan, yaitu pendaftaran grup keroncong, seleksi grup keroncong oleh HAMKRI, persiapan sebelum tampil, dan proses penyiaran seni keroncong di TATV. Peralatan seni keroncong sendiri, disediakan oleh pihak HAMKRI. “Keroncong asli terdiri dari 7 alat musik, diantaranya , biola, flute, bass, dan gitar. Kita mempunyai itu semua, jadi pihak TATV tinggal mengambil gambar. Saya selalu mendampingi grup keroncong yang akan tampil pada malam jumat. Kalo tidak ada acara, saya pasti hadir di TA TV. Sebelum tampil, kita datangi dulu yang akan tampil itu, kemudian kita benahi apa saja yang kurang. Setelah benar, mereka baru layak tampil. Untuk seleksi grup keroncong , sepenuhnya diserahkan pada kita.” (sumber: wawancara Hj. Waldjinah: 4 Agustus 2008) Materi keroncong yang disajikan oleh seniman keroncong, tidak hanya seni keroncong murni dengan bahasa daerah, namun juga keroncong alternatif yang menggunakan berbagai bahasa daerah, bahkan bahasa asing. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa seni keroncong konvensional kurang sesuai dengan kemajuan dunia musik kontemporer, terutama terhadap perkembangan budaya

39

generasi muda. Untuk itu para seniman keroncong melakukan inovasi dengan mengadatasi budaya modern saat ini, tanpa mengurangi irama keroncong asli. “Keroncong katakanlah orang-orang sering bilang kurang bergairah, terutama untuk anak muda. Kita itu mencarikan jalan bagaimana anak-anak muda itu mulai senang pada seni keroncong. Dari situ di mulai dengan lagu, lagunya boleh pop, tapi iringanya tetap keroncong. Lama kelamaan ya, dari orang yang senang pop, mulai tertarik dan mulai belajar seni keroncong. Jadi tidak ada pembatasan dalam hal lagu yang dimainkan. Tetapi kalo dari pemain, peralatan dan irama yang di mainkan, tetap merupakan keroncong asli. Jadi tidak boleh pake organ, tetap harus akustik. Itu adalah perjanjian kita dengan pihak TATV. “ (sumber: wawancara Hj. Waldjinah: 4 Agustus 2008) Generasi muda sebagai penerus dari seniman keroncong yang telah lanjut usia, merupakan faktor penting untuk melestarikan seni keroncong, khususnya di Surakarta. TATV dan HAMKRI mencoba merangsang seni keroncong untuk dapat kembali tampil di masyarakat dengan bekerjasama memberi lahan tampil bagi para seniman keroncong, baik yang muda ataupun tua. Selain itu perlu pula di bina bibit-bibt muda yang potensial sebagai proses regenerasi dalam seni keroncong. “Setiap Jumat sore, kita mancari bibit-bibit dari anak-anak, dari SD, SMP, SMA, kita memberi pelajaran pada mereka untuk menyanyi dengan iringan irama keroncong. Dia nyanyi lagu barat boleh, lagu minang boleh, lagu batak boleh, lagu daerah lain di Indonesia pun boleh, asal tetap dengan iringan irama keroncong. Dan kita motivasi mereka untuk berlatih dengan baik, dan bila telah layak tampil, akan kita siarkan di TATV. Sehingga mereka pun jadi semangat berlatih. “(sumber: wawancara Hj. Waldjinah: 4 Agustus 2008) TATV sebagai televisi lokal Surakarta, ternyata semenjak berdiri telah menjalankan fungsi pelestarian dan pengembangan seni keroncong dengan cukup baik, walalupun belum maksimal. Program rutin seni keroncong, terbukti telah mampu memberi dorongan semangat bagi para seniman

keroncong untuk tampil. Grup–grup keroncong baru pun mulai bermunculan. Seni keroncong berhasil kembali di cintai oleh masyarakat Surakarta. Hubangan harmonis antara seniman keroncong dengan TATV pun sepatutnya dijaga untuk tetap harmonis.

E. Sikap dan Pandangan Pemerintah Kota Surakarta Terhadap Peran Serta TATV dalam Pelestarian dan Pengembangan Seni Keroncong di Surakarta Peran serta pemerintah dalam pelestarian dan pengembangan seni dan budaya daerah sangatlah besar. Kinerja pemerintah dalam memperhatikan seni budaya daerah dijadikan tolak ukur keberlangsungan tetap adanya budaya daerah setempat. Seperti kita ketahui baru-baru ini Indonesia dibuat marah dengan Negara tetangga kita, Malaysia, yang berani dengan terang-terangan mengklaim lagu “rasa sayange”, batik, alat musik angklung dan reog sebagai kebudayaan milik Malaysia, padahal kesenian tersebut merupakan budaya asli Indonesia. Supaya tidak terjadi kejadian serupa, seharusnya kita bisa memelihara kebudayaan kita sendiri, agar kebudayaan tersebut tidak merasa tersingkir, sehingga tidak dengan mudah diadopsi oleh bangsa lain yang tidak bertanggung jawab. Kita memang harus marah, apabila barang berharga milik kita diambil oleh orang lain. Sikap marahpun tidak akan berguna apabila orang yang mengambil barang berharga kita memperhatikan dan menjaga melebihi apa yang selama ini kita lakukan. Sejogjanya kita harus mengintrospeksi diri agar menjadi yang lebih baik. Di Surakarta seni keroncong merupakan salah satu budaya daerah yang harus dijaga kelestariannya.

Kelestarian dan perkambangan seni

keroncong di Surakarta tentu tidak lepas dari peran serta pemerintah kota Surakarta. Denagn pencanangan “Solo Kota Keroncong”, pemerintah kota surakarta telah berusaha mengangkat seni keroncong kepermukaan dan

41

menempatkan seni keroncong sebagai budaya yang istimewa yang ada di surakarta. Seperti yang dikatakan oleh Saryoko selaku Kasi Pengendalian Evaluasi dan Pelaporan, Dinas Pariwiasata Seni dan Budaya Surakarta, bahwa dengan pencanangan Solo Kota Keroncong, pemerintah kota Surakarta memiliki beberapa program yang akan semakin mengenalkan seni keroncong kepada masyarakat Surakarta dan sekitarnya, serta sebagai bentuk pengembangan dan pelestarian seni keroncong di Surakarta. “Pemerintah kota solo mencanangkan

bahwa “Solo kota keroncong”.

Adapun program-program pemerintah dari “Solo Kota Keroncong” adalah melalui DISPARTA yaitu mengadakan lomba-lomba keroncong, kemudian sering

mengadakan

festifal-festifal

keroncong,

pengadaan

alat-alat

keroncong di tingkat kelurahan atau untuk grup-grup keroncong yang berkembang, dan lewat dikpora diadakan kurikulum atau ekstrakulikuler keroncong wajib disetiap SMP dan SMA di Solo. Dengan apanya program seperti itu tentunya keroncong tidak mungkin hilang.” (sumber: wawancara Saryoko: 31 Juli 2008). Adanya beberapa program dibelakang pencanangan Solo Kota Keroncong telah memberi arti dan dampak positif untuk kelestarian seni keroncong di Surakarta. Lomba-lomba keroncong diadakan guna untuk mengembangka bakat-bakat para seniman keroncong serta sebagai bentuk kaderisasi. Diadakannya festifal keroncongpun sangat berguna untuk lebih mengenalkan seni keroncong kepada masyarakat, agar seni keroncong menjadi budaya yang tidak asing dan familiar dengan masyarakat, khususnya masyarakat Solo. Program “Solo Kota Keroncong” tidak akan memberi efek penuh terhadap kemajuan seni keroncong jika Cuma digembar-gemborkan saja, maka

dari

itu,

pengadaan

alat-alat

keroncong

dari

pemerintahpun

dilaksanakan. Pengadaan alat-alat keroncong ini diberikan kepada setiap kelurahan atau diberikan kepada grup-grup keroncong yang berkembang. Hal ini

sangat diharapkan bahwa masyarakat tidak akan kesulitan untuk

berkeroncong ria karena pengadaan fasilitas keroncong dari pemerintah.

Tidak hanya itu, peran pemerintah dalam rangka pelestarian dan pengembangan seni keroncong di Surakarta juga melelui Dikpora akan diadakan kurikulum atau ekstrakulikuler keroncong wajib disetiap SMP dan SMA di Surakarta. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk mengenalkan seni keroncong dari dini kepada masyarakat melaluai bangku pendidikan. Diluar dari program-progaram yang dicanangkan oleh pemerintah kota Solo menyadari bahwa masih ada stake holder lainya yang mempunyai peran penting dalam melestarikan budaya daerah. TATV, sebagai televisi lokal di Solo yang memiliki selogan “MANTEB” (Masa Kini dan Tetap Berbudaya) merupakan salah satu stake holdernya. Televisi lokal memang memiliki kelebihan dapat mengekplor budaya daerah di home base-nya. Seperti yang dikemukakan oleh Saryoko, Kasi Pengendalian Evaluasi dan Pelaporan, Dinas Pariwiasata Seni dan Budaya Surakarta bahwa keberadaan TATV sangat membantu pelestarian seni keroncong didaerwah surakarta dan sekitarnya. Karena dengan adanya acara keroncong di TATV posisi keroncong sedikit terangkat kepermukaan. “Adanya TATV itu sangat membantu pelestarian dan pengembangan keroncong di Surakarta. Dengan adanya program acara keroncong di TATV berarti telah menangkap ide dari Pak wali kota (Joko Widodo) yang mencanagkan Solo Kota Keroncong. “(sumber: wawancara Saryoko: 31 Juli 2008). Terlepas

dari

peran

serta

TATV

dalam

melestarikan

dan

mengembangkan seni keroncong di Surakarta, TATV masih memiliki banyak kekurangan yaitu kemasan acara keroncong masih kurang menarik dan terkesan itu-itu saja, sehingga kurang tepatuntuk menggaid banyak penonton, khususnya kawula muda. “Masih banyak kerkurangan dalam kemasan acara keroncong di TATV, acaranya terkesan itu-itu terusAbanyak kekurangan yang ditampilkan itu saja terus.” (sumber: wawancara Saryoko: 31 Juli 2008). F. Sikap dan Pandangan Pemerhati Televisi Lokal Terhadap Peran Serta

43

TATV dalam Pelestarian dan Pengembangan Seni Keroncong di Surakarta Televisi lokal merupakan elemen mandiri swadaya masyarakat yang merupakan elemen penting dalam pelestarian budaya lokal. Elemen ini menjadi penting dikarenakan penetrasi budaya asing melalui media nasional senakin intens, sehingga mengancam eksistensi budaya asing.

Kekayan

budaya dalam negeri, saat ini mulai terkikis sedikit demi sedikit. Bila kita hubungkan dengan perkembagan media massa nasional, dapat dikatakan budaya asing sebagian besar masuk menyapa masyarakat dalam negeri melalui media televisi. Hal ini dikarenakan logika ekonomi kapitalism adalah sesuatu yang jamak di pakai oleh insan media televisi naasional dewasa ini. Pihak asing, dengan mudah diterima oleh media televisi nasional tanpa seleksi yang memadai. Dampak dari hal ini dapat kita rasakan saat ini. Masyarakat konsumerisme, adalaha nama yang pantas disematkan pada seragam masyarakat Indonesia pada umumnya. Budaya lokal yang seharusnya dibanggakan dan dilestarikan oleh masyarakat, khususnya kaum muda, justru ditinggalkan dan dianggap kuno. Peran televisi lokal dalam mengembalikan posisi budaya daerah kembali pada tempatnya adalah hal yang harus di upayakan sebaik-baiknya. Masyarakat, pelaku kebudayaan dan juga kesenian, serta pihak pengelola televisi lokal, membutuhkan komitmen bersama untuk mewujudkan hal itu. Peran dari masing-masing elemen, haurs dipahami dan di laksanakan dengan sebaik-baiknya. Hubungan harmonis sinergis antar elemen merupakan syarat wajib demi tercapainya pelestarian dan pengembangan budaya daerah. Televisi lokal harus dipagari dari penetrasi budaya asing, karena televisi lokal bukan merupakan anak dari neo liberalisme yang hanya dikauasi oleh satu pihak saja, terutama pemilik modal. Televisi lokal adalah institusi yang dibuat oleh masyarakat lokal untuk memajukan budaya daerahnya sendiri. Budaya poupler yang selama ini menyerang masyarakat kontemporer dengan intensitas yang cukup tinggi perlu diminimalisir, dan televisi lokal adalah tempat strategis untuk melakukan hal itu.

Perkembangan televisi lokal di Indonesia, mulai berkembang semenjak di munculkannya kebebasan pers. Kemunculan televisi lokal di berbagai daerah ternyata memberi dampak yang cukup bagus terkait pelestarian budaya daerah. Walaupun seperti itu, belum dapat dikatakan seluruh televisi lokal di berbagai daerah telah menjunjung tinggi komitmen pelestarian budaya ini. Modal menjadi faktor penentu didalamnya. Ketergantungan pelaku media televisi lokal kepada pemilik modal, ternyata masih besar. Padahal, sebagaimana kita ketahui, pemilik modal besar mayoritas berasal dari pihak asing. Hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan melakukan komodifikasi terhadap budaya lokal dalam pengelolaan televisi lokal, dengan harapan mereka dapat menjadi institusi mandiri. “ Televisi lokal bukan kepanjangan dari apa yang di sebut sebagai neo liberalisme. Artinya bahwa tv lokal itu bukan sekedar memunculkan budayabudaya populer global, nah ini komitmen tv lokal. Ternyata dari beberapa pengamatan saya, tingkat kepedulian tv lokal kepada budaya lokal ini derajatnya bervariasi. Ada yang agak condong ke budaya global, ada yang concern fifty-fifty dengan budaya lokal, tetapi memang karena indudtri tv ini adalh industri pada modal, maka sebetulnya yang menjadi persoalan adalah bagaiman tv lokal itu bisa eksi, bisa menghidupi dirinya, dengan mengembangkan budaya lokal itu sebagai sebuah komoditas. Proses komodifikasi budaya lokal ini penting agar supaya tv sebagai industri budaya lokal ini bisa hidup. “ (sumber: wawancara Drs. Widodo Muktyo, SE, M.Com: 1 Agustus 2008) Ketergantungan pihak pengelola televisi lokal terhadap pemilik modal merupakan masalah strategis dalam upaya pelestarian dan pengembangan budaya lokal. Pemilik modal dalam perkembangan sekarang ini, masih menjadi aktor utama dalam pengelolaan televisi lokal. Hal ini sebetulnya adalah hal yang wajar apabila kita melihat kondisi televisi lokal kebanyakan saat ini. Eksistensi mereka terancam punah apabila tidak mengandalkan pemilik modal untuk membiayai proses penyiaran mereka. Hal ini diperparah dengan sumber daya manusia dalam televisi lokal, belum terlalu memadai

45

untuk

melakukan

proses

produksi

sendiri.

Hal

ini

menimbulkan

kertergantungan yang besar dari pihak televisi lokal terhadap pemilik modal. “ Kalo kita saksikan salah satu stasiun tv lokal, saya tidak menyebut nama stasiun tv tersebut, yang sering merelay production house global, sehingga penyarannya berisi global, bahkan menayangkan lagu-lagu barat saja. Nah sisi-sisi seperti itu sebetulnya satu, karena dia murah operasionalnya, kan tinggal networking saja tidak membuat sendiri. Yang kedua juga supaya publik masuk dalam kerangka melihat tv nasional dengan tv lokal itu sama. Sehingga positioningnya dimata pengelola bahwa tv lokal itu sama dengan tv nasional. “(sumber: wawancara Drs. Widodo Muktyo, SE, M.Com: 1 Agustus 2008) Konsep televisi lokal kontemporer bila kita hubungkan dengan pelestarian dan pengembangan budaya lokal, berkembang tidak terlalu cepat. Hal ini dimungkinkan karena spirit pengembangan budaya lokal belum menjadi landasan utama dalam pengelolaan televisi lokal. Mayoritas yang terjadi saat ini adalah pengakuan dari televisi lokal terhdap pelaksanaan fungsi pelestarian budaya lokal dengan kualitas tayangan budaya lokal yang kurang baik serta porsi jam tayang yang sedikit. “Ada tv yang memang menonjolkan budaya lokal itu dalam konteks kualitas. Bukan kuantitas waktu tayangnya, tapi kualitas. Jadi begini, sama halnya dengan media cetak, seolah-olah media lokal itu telah peduli terhadap budayanya sendiri karena mencantumkan isu-isu lokal yang diangkat. Dan itu seolah-olah sudah mencerminkan budaya lokal. Padahal porsinya sangat kecil. Termasuk di TATV saat ini. Apakah dengan telah menayangkan seni keroncong ataupun pasar gedhenya itu sudah dapat dianggap peduli budaya lokal. Sementara pada sisi yang lain jika melihat dari proporsi eksposure budaya lokal dengan eksposure secara umum “(sumber: wawancara Drs. Widodo Muktyo, SE, M.Com: 1 Agustus 2008) Bangsa Indonesia dengan multi etnisnya sesungguhnya mempunyai potensi untuk mengembangkan budaya lokal secara lebih jauh. Budaya kita sendiri masih perlu banyak digalai. Televisi lokal, ketika sering menayangkan

budaya lokal, akan sangat membantu dalam usaha memngembangkan budaya lokal ini. Era globalisasi saat ini sebetulnya dapat diwaspadai dan diatasi dengan pelesatarian dan pengembangan budaya daerah melalaui televisi lokal ini. “Indonesia ini kan multi etnis, wilayahnya luas, kalau televisi kan terbatas pada coverage, sehingga dengan adanya tv-tv lokal, disitu juga ada etnisetnis yang beraneka ragam, ini sangat membantu pengembangan budaya lokal. Budaya lokal tidak akan mati karena senantiasa diekspose oleh tv lokalnya. Ini sebetulnya malah, menurut saya, kebutuhan mendesak di era neoliberalisme ataupun globalisasi yang seolah-olah yang benar itu hanya tv global. “(sumber: wawancara Drs. Widodo Muktyo, SE, M.Com: 1 Agustus 2008) TATV sebagai televisi lokal Surakarta, berusaha menempatkan diri lebih dekat dengan masyarakat Surakarta. Wujud dari pengidentikan TATV dengan Surakarta salah satu nya dengan membuat program acara seni keroncong mingguan rutin selama satu jam tiap minggunya. Seni keroncong diangkat di karenakan Seni keroncong merupakan budaya asli Surakarta yang telah identik melekat pada masyarakat Surakarta itu sendiri. HAMKRI, yang diajak kerjasama oleh TATV, mempermudah penyelenggaraan program acara ini dengan mengkondisikan grup-grup keroncong yang akan tampil. Program ini, tenyata sedikit banyak mampu mengodorng perkembangan seni keroncong di Surakarta. Pengemasan acara agar lebih menarik dan diterima oleh konsumen, adalah tantanagan tersenidiri bagi pihak pengelola TATV. Dibutuhkan kreativitas dan profesionalitas yang memadai untuk menghasilkan tayangan seni keroncong yang berkualitas.

47

BAB VI PENUTUP A.

Kesimpulan Dewasa ini penetrasi budaya oleh media televisi, khususnya TV lokal, terhadap kebudayaan masyarakat semakin tinggi dan intensif. Penetrasi kebudayaan yang dimaksud adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Tetapi sayangnya, budaya asing selama ini justru lebih mendominasi bila dibandingkan dengan budaya lokal dalam pertelevisian Indonesia. Penetrasi budaya asing ini berdampak pada menipisnya nilai-nilai budaya tradisional masyarakat Indonesia. Seni keroncong sebagai salah satu bentuk budaya khas dari masyarakat Surakarta pun telah tekena dampak tersebut. Terang Abadi Televisi (TATV), yang merupakan Televisi lokal dengan daerah cakupan Surakarta dan sekitarnya, memegang peranan penting dalam pelestarian dan pengembangan seni keroncong di daerah Surakarta. Seiring perkembangan zaman dan munculnya berbagai golongan masyarakat yang peduli terhadap budaya daerah, seni keroncong khusunya di kota Surakarta ternyata mengalami perkembangan yang cukup baik. Hal tersebut disampaikan oleh seorang praktisi keroncong sekaligus ketua HAMKRI (Himpunan Artis Keroncong Indonesia) Solo, Hj. Waldjinah. Selain itu adanya pencangan “Solo Kota Keroncong” oleh Bapak Walikota Ir. Joko Widodo, menjadikan seni budaya keroncong mendapat perhatian yang lebih. Hal ini terbukti dengan lebih memasyarakatnya seni keroncong pada semua lapisan baik golongan muda ataupun golongan tua. Pihak Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya Surakarta melalui keterangan Bapak Saryoko selaku Kasi Pengendalian Evaluasi dan Pelaporan, Dinas Pariwiasata Seni dan Budaya Surakarta juga menerangkan bahwa seni keroncong Surakarta mulai tampak dan berkembang cukup baik, hal tersebut dikarenakan karena adanya pencanangan “Solo Kota Keroncong”. TATV sebagai televisi Lokal Surakarta memegang peranan penting

bagi perkembangan seni keroncong di daerah Surakarta. TATV telah memberikan lahan bagi seniman keroncong untuk tampil pada acara rutin setiap hari kamis dengan alokasi waktu 1 jam dan tidak hanya itu TATV juga menjadikan program acara “keroncong” ini dalam salah satu program unggulan TATV. Hal tersebut disampaikan oleh Andre selaku Koordinator Tim Kreatif TATV. Bahkan dari awal berdirinya TATV, acara “keroncong” sudah ditayangkan oleh televisi lokal ini. Program acara “keroncong” TATV ternyata mendapatkan respon yang cukup baik baik dari pihak masyarakat ataupun seniman keroncong yang tergabung dalam HAMKRI. Untuk pelestarian seni keroncong Surakarta ini TATV tidak membatasi siapa yang ingin tampil dalam program acara “keroncong”, selain itu masyarakat umum bisa secara langsung menyaksikan acara ini di studio dan tanpa dipungut biaya. Dan TATV memiliki komitmen tinggi dalam pelestarian seni keroncong Surakarta melalui program acara “keroncong”. B.

Saran Berdasarkan kesimpulan di atas peneliti menyarankan: 1. Dengan dicanangkannya “Solo Kota Keroncong” hendaknya masyarakat menanggapi dengan sikap positif dan lebih berperan serta dalam melestarikan dan mengembangkan seni keroncong Surakarta. 2. Pihak TATV hendaknya menambah porsi jam tayang dan menayangkan program acara “keroncong” lebih awal sehingga dari semua lapisan masyarakat lebih bisa menikmati acara tersebut. 3. Acara “keroncong” dari TATV hendaknya dengan diselingi acara talkshow

tentang

keroncong

sehingga

menambah

pengetahuan

masyarakat tentang seni keroncong. 4. Dari segi pendidikan hendaknya seni keroncong ini dimasukkan dalam kurikulum pendidikan atau ekstra kurikuler pada jenjang pendidikan SMP dan SMA sehingga seni keroncong lebih dikenal oleh generasi muda. 5. HAMKRI hendaknya meningkatkan kaderisasi seniman keroncong melalui pengadaan lomba-lomba keroncong.

49

6. Pemerintah

khusunya

pemerintah

Surakarta

hendaknya

lebih

mengotimalkan pengadaan peralatan keroncong di setiap kelurahan sehingga bisa meningkatkan regenerasi seniman keroncong.

DAFTAR PUSTAKA Buku: Ardianto, Elvinaco & Lukiyati Komala Erdinaya. 2007. Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Bulaeng, andi. 2004. Me nelitia komunikasinkontemporer. Yogyakarta : ANDI Bulaeng, Andi. 2004. Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer. Yokyakarta: ANDI Depdikbud. 1997. Peran Media Massa Lokal Bagi Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah-daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Dekdikbud Hofmann, Roedi. 1999. Dasar-Dasar Apresiasi Program Televisi (Menjadikan Televisi Budaya Rakyat). Jakarta: Gramedia Junaedi, Fajar DKK. 2005. Komodifikasi Budaya Dalam Media Massa. Surakarta. Sebelas Maret Univercity Press Kuswandi, Wawan. 1996. Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi. Jakarta: Ringkai Cipta Lull, James. 1998. Media, Kounikasi, Kebudayaan (Suatu Pendekatan Global). Alih Bahasa: A. Setiawan Budi Abadi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia McQuail, Denis. 1994. Teori Komunikasi Suatu Pengantar. Alih bahasa: Agus Dharma dan Aminudin Ram. Jakarta: Erlangga Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Ros Dakarya. Purwasito, Andrik. 2003. Kounikasi Multikiltural. Surakarta: Muhammadiyah University Perss Sari, Endang . 1993. Audience Research Pengantar Studi Penelitian Terhadap Pembaca, Pendengar, dan Pemirsa. Yogyakarta : ANDI offset Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif ( tata

51

langkah dan teoritisasi data). Alih Bahasa: Muhammad Shodiq & Imam Muttaqien. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tim IBD UNS. 1994. Buku Pegangan Kuliah Ilmu Budaya Dasar. Surakarta. Depdikbud UNS Surakarta Wirodono, Sunardian. 2006. Matikan TV-mu. Yogyakarta: Resist Book Makalah dan Penelitian: Kurniawati, Dian. Evaluasi Marketing Public Relations (Studi Evaluasi Efektivitas Kegiatan Marketing Public Relations di Minimarket “Sejahtera” dalam Peningkatan Pelayanan Pada Anggota Koperasi Mahasiswa UNS). Skripsi S1 FISIP UNS, 2002 Gayatri, Gati. Globalisasi Media dan Peran Media Watch Mahasiswa. Makalah Seminar Nasional Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia, 2007 Internet: http://id.wikipedia.org www.detik.com www.google.com www.suaramerdeka.com www.yahoo.com

LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP 1.

Ketua Kelompok Penelitian a. Nama

: HAFIZH ESKAPUTRA

b. NIM

: D0206115

c. Tempat Tanggal Lahir

: Klaten, 17 November 1988

d. Alamat Asal

: Bulusari Beku Karanganom Klaten

e. Alamat Solo

: Bottom Home, Jl. Surya 1 RT 03

RW 25 Jebres Tengah, Surakarta Telp. 085228542229 f. Fakultas/Program Studi

: FISIP/ Ilmu Komunikasi

g. Perguruan Tinggi

: Universitas Sebelas Maret

h. Waktu untuk kegiatan PKM: 12 jam/minggu i. Riwayat Pendidikan : 1. SDN Beku 1

(Lulus Tahun 2000)

2. SMP N 4 Karanganom

(Lulus Tahun 2003)

3. SMA 1 Karanganom

(Lulus Tahun 2006)

4. Ilmu Komunikasi, FISIP, UNS j. Pengalaman Organisasi : 1. Staff Divisi Diskusi dan Pernalaran HIMAKOM FISIP UNS tahun 2006 – 2007. 2. Staff Divisi Diskusi dan Pernalaran HIMAKOM FISIP UNS tahun 2007 – sekarang. 3. Ketua LSO Kelompok Diskusi Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNS tahun 2006 – 2007. 4. Anggota aktif (FFC) FISIP Fotografi Club tahun 2006 – sekarang.

53

5. Anggota aktif Lembaga Pers Mahasiswa VISI FISIP UNS tahun 2007sekarang. 6. Wakil Ketua Keluarga Mahasiswa Klaten “COKLAT” Community Of Klaten periode 2007-2008. Tertanda (Hafizh Eskaputra) NIM D0206115 2.

Anggota Kelompok Penelitian a. Nama

: DIAN KUKUH PURNANDI

b. NIM

: D0206047

c. Tempat Tanggal Lahir d. Alamat Asal

: Magelang, 21 Juli 1988 : Jl. Bakalan Nomor 4 Tamanagung Muntilan, Magelang

e. Alamat Solo

: Bottom Home, Jl. Surya 1 RT 03

RW 25 Jebres Tengah, Surakarta Telp. 085643471117 f. Fakultas/Program Studi

: FISIP/ Ilmu Komunikasi

g. Perguruan Tinggi

: Universitas Sebelas Maret

h. Waktu untuk kegiatan PKM: 12 jam/minggu i. Riwayat Pendidikan : 1. SDN Muntilan 2

(Lulus Tahun 2000)

2. SMP N 1 Muntilan

(Lulus Tahun 2003)

3. SMA N 3 Magelang

(Lulus Tahun 2006)

4. Ilmu Komunikasi, FISIP, UNS j. Pengalaman Organisasi : 1. Staff Departemen Dalam Negeri Divisi Sinergisitas Fisip UNS Badan Ekesekutif Mahasiswa (BEM) Fisip UNS tahun 2006 –

2007. 2. Staff Hubungan Masyarakat UKM Kine Klub FISIP UNS tahun 2006 – sekarang. 3. Ketua Bidang Advokasi dan Kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Komunikasi (HIMAKOM) Fisip UNS tahun 2006 – sekarang. 4. Anggota UKM Sepakbola FISIP UNS tahun 2006 – sekarang. 5. Ketua Pengurus Universitas Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia (IMIKI) tahun 2006 – sekarang. 6. Wasekum PPA HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Surakarta Komisariat FISIP UNS 2008 – sekarang. 7. Ketua Komisi Aspirasi Kebijakan Publik (KAKP) DEMA (Dewan Mahasiswa) FISIP UNS 2007 – sekarang. 8. Sekjend Partai Kita FISIP UNS 2008 – sekarang. 9. Wakil ketua Lembaga Media Watch Nasional IMIKI (Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia) 2008 – sekarang. Tertanda (Dian Kukuh Purnandi) NIM D0206047 2. Anggota Kelompok Penelitian: a. Nama b. NIM

: LATIF SYAIFUDIN : D0206065

c. Tempat Tanggal Lahir d. Alamat Asal

: Magelang, 10 September 1988 : Ngepringan Tamanagung Muntilan Magelang

e. Alamat Solo

: Jl. Asem Kembar RT 01 RW 08

Petoran Jebres, Surakarta

55

Telp. 085642409127 f. Fakultas/Program Studi

: FISIP/ Ilmu Komunikasi

g. Perguruan Tinggi

: Universitas Sebelas Maret

h. Waktu untuk kegiatan PKM: 12 jam/minggu i. Riwayat Pendidikan : 1. SDN Pucung Rejo 2

(Lulus Tahun 2000)

2. SMP N 2 Muntilan

(Lulus Tahun 2003)

3. SMA N 1 Muntilan

(Lulus Tahun 2006)

4. Ilmu Komunikasi, FISIP, UNS j. Pengalaman Organisasi : 1. Staff kebendaharaan Divisi dana usaha LKI FISIP UNS tahun 2006 – 2007. 2. Staf bidang Humas HIMAKOM (Himpunan Mahasiswa Komunikasi) 2007 – sekarang. 3. Staf Kebendaharaan LKI (Lembaga Kegiatan Islam) FISIP UNS 2008 – sekarang. 4. Anggota LPM VISI FISIP UNS. 5. Wasekum KPU HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Surakarta Komisariat FISIP UNS 2008 – sekarang. Tertanda (Latif Syaifudin) NIM D0206065 4.

Anggota Kelompok Penelitian: a. Nama

: MUHAMMAD AZIS SAFRODIN

b. NIM

: D0206073

c. Tempat Tanggal Lahir

: Temanggung, 14 Februari1987

d. Alamat Asal

: Bodehan RT 02/ RW 05 Geblog Kaloran Temanggung

e. Alamat Solo

: Gang Demak RT 04 / RW01

Gulon Surakarta Telp. 081328487484 f. Fakultas/Program Studi

: FISIP/ Ilmu Komunikasi

g. Perguruan Tinggi

: Universitas Sebelas Maret

h. Waktu untuk kegiatan PKM: 12 jam/minggu i. Riwayat Pendidikan : 1. SDN Geblog

(Lulus Tahun 1999)

2. SMP N 1 Temanggung

(Lulus Tahun 2002)

3. SMA N 1 Temanggung

(Lulus Tahun 2005)

4. Ilmu Komunikasi, FISIP, UNS j. Pengalaman Organisasi : 1. Staff Kaderisasi LKI FISIP UNS Tahun 2006 – 2007. 2. Anggota aktif FISIP Fotografi Club (FFC) tahun 2007 – sekarang. Tertanda (Muhammad

Azis

Safrodin) NIM D0206073 5.

Anggota Kelompok Penelitian: a. Nama

: EKO SETIAWAN

b. NIM

: D0205064

c. Tempat Tanggal Lahir

: Pangkalpinang, 29 Oktober 1987

d. Alamat Asal

: Pangkalpinang BangkaBelitung

e. Alamat Solo

: Jalan Asem Kembar Rt 01/03 Petoran Jebres, Surakarta Telepon. 085267381343

f. Fakultas/Program Studi

: FISIP/ Ilmu Komunikasi

g. Perguruan Tinggi

: Universitas Sebelas Maret

57

h. Waktu untuk kegiatan PKM

: 12 jam/minggu

i. Riwayat Pendidikan : 1. SD Muhammadiyah Pangkalpinang

(Lulus Tahun 1999)

2. SMP N 1 Pangkalpinang

(Lulus Tahun 2002)

3. SMA 1 Pemali, Bangka

(Lulus Tahun 2005)

4. Ilmu Komunikasi, FISIP, UNS j. Pengalaman Organisasi : 1. Ketua HIMAKOM (Himpunan Mahasiswa Komunikasi) FISIP UNS Periode tahun 2007 – sekarang. 2. Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Surakarta Komisariat FISIP UNS 2008 – sekarang. 3. Pemimpin Usaha Lembaga Pers Mahasiswa VISI FISIP UNS Periode 2006-2007. 4. Koordinator Kelompok Diskusi Komunikasi (KeDISKO) Periode

2006-

sekarang. 5. Wakil Sekretaris Umum Bidang Pembinaan dan Pengembangan Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Surakarta Komisariat FISIP UNS 2006 – 2007. 6. Ketua Bidang Diskusi dan Penalaran Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (HIMAKOM) FISIP UNS Periode 2006-2007. 7. Staf Divisi Riset Centerfor Social and Political Research (CENSOR) Periode 2006-2007. 8. Staf Divisi Sosial dan Politik Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP UNS Periode 2005-2006. 9. Staf Bidang Usaha LPM VISI FISIP UNS Periode 2007-2008. k. Pengalaman Penelitian : 1. Program Kreativitas Mahasiswa Ilmiah (PKMI) “Komunikasi Masyarakat Kampung Naga” (Team) 2007. 2. Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKMM) ”Pelatihan Penggunaan Akses Internet Bagi Siswa SMA 1 Sragen” (team) 2007.

3. Program Kreativitas Mahasiswa Ilmiah (PKMI) ” Fundamentalisme Agama dalam Figur Perempuan Bercadar” 2008. 4. Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKMM) ”Pelatihan Literasi Media bagi Siswa SD Petoran”. Tertanda (Eko Setyawan) NIM D0205064 6.

Biodata Dosen Pendamping a. Nama Lengkap dan Gelar : Drs. Hamid Arifin, M. Si. b. Golongan Pangkat dan NIP : 130 792 201 c. Tempat Tanggal Lahir

: Sragen, 17 Mei 1960

d. Alamat

: Sukomulyo RT 01/07 Kadipiro

Solo Telp. (0271) 736040 e. Jabatan Fungsional

: Lektor

f. Jabatan Struktural

: Sekretaris Jurusan Ilmu Komunikasi

g. Fakultas/Program Studi

: FISIP/ Ilmu Komunikasi

h. Perguruan Tinggi

: Universitas Sebelas Maret

i. Pengalaman Penelitian : 1. Tingkat Somatisasi Karyawan Pers. 2. Model Pengelolaan Sabuk Hijau WKO. 3. Model Pengembangan Bank Informasi Pedesaan. 4. Studi Evaluatif Penyediaan dan Penyebaran Informasi Kebijakan Publik (Proyek LIN Jakarta). 5. Kajian Studi Strategi Mobilitas SDM IPTEK dan Investasi Iptek Untuk Implementasi ARN. 6. Kajian Pendahuluan Tentang Gerakan Nasional Sadar IPTEK (GNSI).

59

Tertanda (Drs. Hamid Arifin, M. Si.) NIP. 130 792 201

Related Documents

Pkmp
October 2019 24
Dipa Fakultas.pdf
April 2020 22
Biaya Pkmp
November 2019 26
Lap Akhir Fs Fo Kosambi.pdf
October 2019 18