Laki-laki Sejati Kusmarwanti dalam “Catatan Seorang Ukhti” Buku Nilai Lelaki Perwira-nya Dr Abdullah Azzam tergeletak dipangkuan. Terus terang memang menggelitik dan menantang membaca harapan berlebih yang beliau sampaikan terhadap para lelaki ini. Menurut beliau, pada masa-masa sekarnag ini dunia jihad sangatlah kekurangan lelakilelaki yang betul-betul perwira dan jantan. Tidak ada yang betul-betul perwira dan jantan. Tidak ada kemiskinan yang lebih menyayat dibandingkan dengan sedikitnya jumlah lakilaki yang perwira. Mendapatkan dana mudah, mengumpulkan harta juga tak susah, tapi mencari darah lelaki perwira harus bersusah-payah. Sedikit sekali lelaki yang dapat dieratkan dalam cengkeraman Islam dan dapat dijadikan sebagai sandara untuk melindunginya, yang rela berkorban di jalannya dan bersemangat berjuang menegakkan bangunannya. Begitu Islam berharap terhadap para lelaki. Dari tangan dan hatinya Islam akan berjaya (Tentu saja Islam juga berharap dari para perempuan. Hanya saja karena bicara pada wilayah laki-laki maka yang ditonjolkan tuntutan pada laki-laki) Umar bin Khattab pernah berkata kepada para sahabat, “berangan-anganlah kalian!” Salah satu dari mereka ingin memiliki harta degunung dan ia menginfaqkannya di jalan Allah. Yang lain ingin mati syahid. Akhirnya sampailah pada giliran Umar bin Khattab. Beliau berkata, “Aku ingin memiliki orang seperti Abu Ubaidah sepenuh rumah ini.” Abu Ubaidah adalah salah seorang sahabat yang mempunyai semangat dan pengorbanan luar biasa untuk perjuangan Islam. Saya pernah merasa amat kecewa ketika menemui beberapa laki-laki dalam sebuah aksi. Saat itu kita harus berorasi. Yang membuat saya gemes, megaphone yang ada di genggaman mereka hanya dipegang, padahal aksi sudah dimulai. Mereka berdiri berderet-deret di situ dan saya pun bertanya, “Megaphone-nya kenapa ?” Tak ada jawaban yang memuaskan saya, karena mereka beralasan malu. Saya hanya bisa gelenggeleng kepala. Lama dirunggu-tunggu tak juga terdengar suara lantang mereka. Terpaksa saya memintanya dan dengan hati yang dongkol saya pun berorasi sendiri. Ternyata kekecewaan saya tidak hanya terjadi di tempat itu. Di tempat yang lain saya juga menemui kondiri yang sama. Dan yang bikin lebih gemes lagi terdengan celetukan, “Eh, Mbaknya pinter juga lho.” Saya pura-pura saja nggak denger celetukan itu. Siapa yang nggak sakit hati. Tega-teganya mereka melepas saya di tengah-tengah suasana yang seperti itu, banyak anak laki lagi. “Oalah Mas.. Mas” Alasanmalu sampai sekarang tidak pernah bisa saya terima. Malu harus dihilangkan jika aktivitas itu menjadi suatu tuntutan. Sama juga kalau mereka beralasan takut (dan mungkin saya akan lebih gemes lagi.)
Bukan maksud saya memilah-milah. Yang laki-laki tidak boleh malu dan takut, lalu yang perempuan boleh malu dan boleh takut. Bukan. Keduanya harus membuang dua penyakit itu. Hanya saja saya khawatir jika rasa malu dan takut itu keluar dari ketidakperwiraan mereka sebagai laki-laki (meminjam istilanya Dr. Abdullah Azzam). Padahal dua rasa itu menjadi penghalang terbesar dalam melangkah. Ia menjadi momok sebelum orang berbuat, dan menjadi hantu sebelum orang begadang. Begitulah saya melihat. Keberanian dan kejantanan mereka harus ditumbuhkan. Satu kebutuhan yang harus segera diteriakkan. Segera, jika mereka ingin laki-laki sejati. Rasulullah saw pernah bersabda, “Kalian dapati manusia seperti seratus onta, namun tak terdapat di dalamnya seekor onta tunggangan pun.” Sedih kalau mereka hanya menjadi bagian dari seratus onta itu tapi tidak termasuk bagian dari seekor onta itu. Yang kita harapkan, mereka menjadi seekor onta itu sebagai onta pilihan dari seratus onta yagn lain. ‘Tul gak ?! Juga saya – sebagai perempuan tentunya – bukannya tidak terbebani dengan kata-kataitu. Saya tahu, saya pun harus bisa mejadi onta pilihan dari seratus onta yang lain