Kusta (1).docx

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kusta (1).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,397
  • Pages: 34
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kusta merupakan penyakit infeksi kronik, dan penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat.1 Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni khusta yang berarti kumpulan gejala – gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman. Kusta menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. 2 Lepra merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia, dan masalah eliminasi lepra pada level subnasional masih belum tuntas. Berdasarkan Global Leprosy Update tahun 2014 yang dikeluarkan oleh WHO di dapatkan bahwa jumlah pasien baru yang di diagnosis lepra sebanyak 213.899 orang. Sembilan puluh empat persen psien yang dilaporkan pada tahun 2014 berasal dari 13 negara yaitu, bangladesh, brazil, Republik of Congo, Etiopia, India, Indonesia, Madagaskar, Myanmar, Nepal, Nigeria, Filipina, Srilanka dan Tanzania. Dan hanya 175.554 orang yang mendapat tatalaksana pada akhir tahun 2014. 18.869 pasien merupakan anak-anak dan 61% pasien merupakan kasus lepra Multibasiller. 3 Selama periode 2008 – 2013 di Indonesia, angka penemuan kasus baru kusta pada tahun 2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.00 penduduk dengan prevalensi berkisar 0,79-0,96 per 10.000 penduduk. 2 Cara penularan kusta belum diketahui secara pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua adalah secara inhalasi, sebab M.leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti, karena dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya, hal ini akibat kerusakan saraf besar yang irreversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulangulang pada daerah anestetk disertai paralisis dan atrofi otot. 1

1

1.1 Batasan Masalah Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis, tatalaksana, prognosis, komplikasi, dan pencegahan morbus hansen. 1.3 Tujuan penulisan Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis, tatalaksana, prognosis, komplikasi, dan pencegahan morbus hansen. 1.4 Metode penulisan Makalah

ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang

merujuk dari berbagai literatur.

2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kusta merupakan penyakit infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1,4 Lepra dibagi menjadi dua bentuk utama secara klinis berdas arkan status imun pasien yaitu tipe tuberkuloid lepra dan lepromatous lepra.5

Gambar 2.1 Plak Hipopigmentasi pada tuberkuloid lepra.6 2.2 Epidemiologi Berdasarkan Global Leprosy Update tahun 2014 yang dikeluarkan oleh WHO di dapatkan bahwa jumlah pasien baru yang di diagnosis lepra sebanyak 213.899 orang. Sembilan puluh empat persen psien yang dilaporkan pada tahun 2014 berasal dari 13 negara yaitu, bangladesh, brazil, Republik of Congo, Etiopia, India, Indonesia, Madagaskar, Myanmar, Nepal, Nigeria, Filipina, Srilanka dan Tanzania. Dan hanya 175.554 orang yang mendapat tatalaksana pada

3

akhir tahun 2014. 18.869 pasien merupakan anak-anak dan 61% pasien merupakan kasus lepra Multibasiller. 3 Selama periode 2008 – 2013 di Indonesia, angka penemuan kasus baru kusta pada tahun 2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.00 penduduk dengan prevalensi berkisar 0,79-0,96 per 10.000 penduduk. 2 Cara penularan kusta belum diketahui secara pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua adalah secara inhalasi, sebab M.leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahunm rata-rata 3 – 5 tahun.1 2.3 Etiologi Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A Hansen. M. Leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, tahan asam dan alkohol serta positif gram.1 2.4 Patogenesis Pada tahun 1960 shepard berhasil menginokulasikan M. Leprae pada kaki mencit, dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan, dari berbagai macam soesmen, bentuk lesi maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M.Leprae yang disuntikan dan kalau melampaui jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan perkembangbiakan.1 Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi 900r, sehingga kehilangan respons imun selulernya, akan menghasilkan granuloma penuh kuman terutama di bagian tubuh yang relatif dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki dan ekor. Kuman tersebut selanjutnya dapat di inokulasikan lagi, berarti memenuhi salah satu postulat Koch, meskipun belum seluruhnya dapat terpenuhi. 1 Sebenarnya leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan

4

gejala yang lebih berat, ataupun sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timgantung pada bulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya. 1 Seseorang yang terinfeksi M.leprae gejala klinis yang akan timbul gejala klinis yang akan timbul tergantung dari respon tubuh terhadap mikroorganisme tersebut. Apabila imunitas seluler orang tersebut bagus dan kuat, maka gejala klinis yang terjadi adalah MH tipe tuberkuloid. Apabila imunitas selulernya lemah, maka gejala klinisnya adalah MH tipe lepramatosa.8 a. Patogenesis MH tipe tuberkuloid Kuman masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung dengan kulit penderita atau melalui inhalasi, kemudian masuk melalui pembuluh limfe dan darah kemudian mencapai target dari basal antara lain :8 1. Sel Schwann saraf tepi 2. Sel endotel pembuluh darah 3. Sel pericytes pembuluh darah 4. Sel monosit dan makrofag Apabila imunitas seluler penderita tersebut tinggi ditandai dengan uji lepromin yang positif maka dalam waktu yang singkat sel-sel radang akan datang ke sekitar makrofag atau sel Schwann tersebut. Tujuan sel radang tersebut adalah memfagosit kuman-kuman dan mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan kuman M. leprae. Namun, efek samping dari peradangan tersebut akan menyebabkan penekanan pada saraf sehingga proses anestesinya terjadi lebih

5

cepat dan berat. Peradangan yang terjadi hanya sekitar sel Schwann yang terbatas pada saraf kulit saja, tidak masuk ke pembuluh darah sehingga lesinya sedikit dan asimetris, berbatas tegas karena dibatasi oleh sel radang, kelenjar ekrin dan pilosebaseus akan tertekan yang menyebabkan keringat berkurang, kulit kering dan rambut kulit tidak ada.8 b. Patogenesis MH tipe lepramatosa Sistem imun seluler yang rendah dan ditandai dengan uji lepromin negative, maka proses fagositasis yang terjadi lemah, sehingga kuman akan bermultiplikasi lebih banyak di dalam sel makrofag atau sel Schwann. Makrofag akan berubah menjadi sel Virchow atau Foam cell yang mengandung banyak kuman basil. Apabila kuman basil sudah terlalu banyak Foam cell akan pecah sehingga kuman basil akan keluar, lalu di tangkap oleh sel Schwann yang lain sehingga terjadi penyebaran sesuai dengan jaras saraf tepi. Kemudian kuman basil akan masuk kedalam aliran darah dan menimbulkan lesi pada kulit dengan jumlah banyak, simteris, batas tegas, dengan anestesi yang lama terjadi.8 c. Patogenesis MH tipe Borderline Pada MH tipe ini klinisnya berada di antara tipe tuberkuloid dan lepromatosa dapat berubah tipe karena merupakan tipe yang tidak stabil.8 2.5 Manifestasi klinis Bila kuman M. Leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler penderita. Bila imunitas seluler baik akan tambah gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya jika sistem imunitas seluler rendah

memberikan gambaran lepromatosa. Ridley dan Jopling

memperkenalkan isitilah spektrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe yaitu:1

6

Gambar 2.2 Spektrum Klinis Lepra Berdasarkan Klasifikasi Ridley-Jopling7 Tuberculoid polar (TT) dan lepromatous polar (LL) merupakan tipe yang stabil dan tidak mungkin berubah. Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid borderline (BB), dan borderline lepramatous (BL) merupakan bentuk yang tidak stabil sehingga dapat berubah tipe sesuai derajat imunitas.1 Tabel 2.1 Klasifikasi Morbus Hansen1 Madrid Tuberkuloid

Borderline

Lepromatosa

Ridley-Jopling WHO Tuberkuloid polar (TT) Pausibasiler (PB) Tuberkuloid Indefinite (Ti) Borderline Tuberkuloid (BT) Mid Borderline (BB) Multibasiler (MB Borderline Lepromatous (BL) Lepromatous indefinite (Li) Lepromatosa polar (LL)

7

Gambar 2.3. Soliter, Anestesi dan lesi anular pada tuberkuloid polar leprosy, yang telah ada sejak 3 bulan. Tepi yang tajam, dan eritem. Pinprick perception pada sentral lesi tidak ada. Sentral lesi lebih hipopigmentasi jika dibandingkan dengan kulit sekitarnya yang normal.4

Gambar 2.4. beberapa lesi Borderline leprosy (BT), ysng memiliki konfigurasi anular yang inkomplit dengan papul satelit. bandingan dengan TT lesi, lesi in lebih kurang eritema. 4

8

Gambar 2.5 . lesi multiple pada pasien dengan borserline lepromatous leprosy (BL). lesi annular dengan ukuran bervariasi dan distribusi asimetris.4 Multibasiler berarti mengandung lebih banyak kuman yaitu tipe LL< BL, dan BB, sedangkan pausi basiler berarti mengandung sedikit kuman, yakni tipe TT, BT dan I. Tabel 2.2 Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Pusibasiler

9

Tabel 2.3 Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler1

Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan kedalam kustaMB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus di obati dengan regimen MDT-TB.1 Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak tersedia di lapangan, pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan hitung lesi kulit dan saraf terkena. Tabel 2.4 Klasifikasi Klinis Kusta Berdasarkan WHO 19951 PB MB 1.Lesi kulit (makula  1-5 lesi  > 5 lesi yang datar, papul yang  Hipopigmentasi/eritema meninggi, infiltrat, plak  Distribusi tidak simetris  Distribusi simetris eritem, nodus)

2.Kerusakan saraf  (menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh  saraf yang terkena)

Hilangnya sensasi yang  jelas

Hilangnya sensasi kurang jelas

cabang 

Banyak cabang saraf

Hanya saraf

satu

10

2.6 Diagnosis Diagnosa pasien kusta dapat ditegakkan berdasarkan pada penemuan tanda kardinal (minimal 1 tanda kardinal) yaitu:9 1.Bercak kulit yang mati rasa Bercak kulit hipopigmentasi atau eritematosa,mendatar atau meninggi. Ada tidaknya baal yang dapat diketahui melalui tes sensitivitas cukup membantu penyingkiran diagnosis banding. Tes sensitivitas dilakukan menggunakan kapas (untuk rangsang raba), jarum (untuk rangsang nyeri), dan tabung reaksi berisi air panas dan hinggin (untuk rangsang suhu). 2. Penebalan saraf tepi Dapat disertai rasa nyeri dan juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena: a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa/rasa berkurang b. Gangguan fungsi motorik Adanya pembesaran saraf perifer yang diketahui dengan cara palpasi bisanya mengindikasikan adanya kelainan fungsi saraf yang bersangkutan. Untuk itu perlu untuk melakukan voluntary muscle test. Saraf perifer yang diperiksa antara lain : n. fasialis, n. aurikularis magnus, n. radialis, n. ulnaris, n. medianus, n. poplitea lateralis, dan n. tibialis posterior. Pada pemeriksaan akan dinilai hal-hal sebagai berikut: • Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan • Ada pembesaran saraf atau tidak •Bentuk

pembesaran

apakan

regular

(smooth)

atau

irregular,bergumpal • Perabaan keras atau kenyal • Nyeri atau tidak c. Gangguan fungsi otonom kulit kering,edema, pertumbuhan rambut terganggu. 3. Adanya basil tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).

11

Lokasi pengambilan kerokan jaringan kulit adalah kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Bahan kadang-kadang diperoleh dari biopsi kulit atau saraf. Untuk menegakkan diagnosis kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal, bila tidak maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelsen 9 Bila ditemukan tanda cardinal di atas maka pasien adalah tersangka kusta,observasi dan periksa ulang setelah 3-6 bulan. Namun untuk diagnosa kusta di lapangan cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan bakteriologis.9

2.7 Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk lesi eritem :8 1. Psoriasis vulgaris 2. Tinea 3. Dermatitis seboroik 4. Urtikaria Diagnosis banding untul lesi kulit hipopigmentasi : a. Vitiligo b. Ptiriasis versikolor c. Ptiriasis alba

2.8 Pemeriksaan Penunjang 1. pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit).1 Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu penegakan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang di warnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bykan terapi orang tersebut tidak mengandung kuman lepra.

12

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut RIDLEY. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP). Tabel 2.5 kepadatan BTA 0

BTA -

1 – 10/ 100 LP

+1

1 – 10/ 10 LP

+2

1 – 10/ 1 LP

+3

10 – 100/ 1 LP

+4

100 – 1000/ 1 LP

+5

> 1000/ 1 LP

+6

Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan nonsolid. Rumus: Jumlah BTA solid

x 100 % = X %

Jumlah BTA solid + non solid Syarat perhitungan: -

Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA

-

IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk medapat 100 BTA harus mencari dalam 1000 sampai 10.000 lapangan

-

Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.

2.9 Reaksi Kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi dan klasifikasi masih bermacam-macam. Mengenai patofisiologinya yang belum jelas tersebut akan dijelaskan secara imunologik. Reaksi imun dapat

13

menguntungkan tetapi dapat juga merugikan yang disebut reaksi imun patologik dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya. Dalam klasifikasi yang bermacammacam itu yang tampaknya paling banyak di anut pada akhir – akhir ini, yaitu : a. ENL (eritema nodusum leprosum) b. Reaksi reversal atau reaksi upgrading ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbul ENL. Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. Leprae + antibodi (IgM, IgG) + Komplemen  kompleks imun. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konsitusi dari ringan sampai berat. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru yang relatif singkat, arttinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup . Kalau diperhatikan kembali reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL dengan lesi eritema nodusum sedangan reversal tanpa nodusm sehingga disebut reaksi lepra nodular, sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non nodular. Hal ini penting membantu menegakkan diagnosis atas dasar leso ada atau tidaknya nodus. Kalau ada berarti reaksi non nodular atau reaksi reversal atau reaksi borderline.

14

2.10

Tatalaksana Untuk mencegah resistensi , pengobatan tuberkulosis telah menggunakan

multidrug treatment (MDT) sejak tahun 1951, sedangkan untuk kusta baru di mulai pada tahun 1971

Gambar 2.6 Regimen MDT

Regimen pengobatan MDT Kombinasi obat dapson (DDS), rifampisin, dan klofazimin (lampren), yang bertujuan untuk mengurangi resistensi dapson, memperpendek masa pengobatan, mempercepat memutus mata rantai penularan, serta mengurangi ketidak-taatan pasien dan menurunkan angka putus obat.8 Berikut merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT: 8 1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT. 2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibawah ini: a. Relaps b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB) c. Pindahan (pindah masuk)

15

d. Ganti klasifikasi/tipe

Berikut merupakan regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 2.6 Pengobatan Morbus Hansen Pausibasiler Jenis Obat

<5 th

Rifampisin

5-9 th

10-15 th

>15 th

300mg/bln

450 mg/bln

600 mg/bln

50mg/bln

100 mg/bln

50 mg/hari

100 mg/hari

Berdasarka n berat 25 mg/bln badan

DDS

25 mg/hari

Keterangan Minum didepan petugas Minum di depan petugas Minum di rumah

Keterangan: Dewasa Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum diminum didepan petugas) 

2 kapsul rifampisin @ 300mg (600 mg)



1 tablet dapson/DDS 100mg

Pengobatan harian: hari ke 2-28 

1 tablet dapson/DDS100 mg Tabel 2.7 Pengobatan Morbus Hansen Multibasiler.8

Jenis Obat Rifampisin

Dapson

<5 th

5-9 th

10-15 th

>15 th

300 mg/bln

450 mg/bln

600 mg/bln

25 mg/bln

50 mg/bln

100 mg/bln

Berdasark an berat 25 mg/bln badan

50 mg/bln

100 mg/bln

150 mg/bln

300 mg/bln

100 mg/bln Lampren

50 50 mg 2x setiap seminggu hari

mg 50 mg Minum 2 perhari dirumah

Keterangan: Dewasa Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas) 

2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg) 16

Keterangan Minum didepan petugas Minum didepan petugas Minum dirumah Minum didepan petugas



3 tablet lampren @ 100mg (300 mg)



1 tablet dapson/DDS 100 mg

Pengobatan harian: hari ke 2-28 

1 tablet lampren50 mg



1 tablet dapson/DDS 100 mg

Dosis MDT MB untuk anak (10-14 tahun) Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminumdi depan petugas) 

2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg



3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)



1 tablet dapson/DDS 50 mg

Pengobatan harian: hari ke 2-28 

1 tablet lampren 50 mg selang sehari



1 tablet dapson/DDS 50 mg

Pengobatan Reaksi Kusta Prinsip pengobatan reaksi kusta :8 

Pemberian obat antireaksi



istirahat atau imobilisasi



analgetik, sedatif untuk mengatasi rasa nyeri



obat anti kusta diteruskan

Pada Reaksi ENL obat yang sering dipakai adalah prednison. Dosisnya tergantung kepada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadangkadang lebih tergantung makin beratnya reaksi.

Klofazimin sebagai obat

antikusta dapat juga dipakai sebagai anti reaksi ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi, biasanya 200-300 mg sehari. Lampren/ klofazimin diberikan dengan cara:8 

3 x 100 mg/hari selama 2 bulan



2x 100 mg/hari selama 2 bulan

17



1 x 100 mg/hari selama 2 bulan

Pada reaksi reversal perlu diperhatikan, apakah reaksi disertai neuritis atau tidak . Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberikan pengobatan tambahan. Kalau ada

neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya

disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-perlahan. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif kalau diperlukan dapat diberikan, klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif. Cara pemberian kortikosteroid :8 

Dimulai dengan dosis tinggi atau sedang



Gunakan prednison atau prednisolon



Gunakan sebagai dosis tunggal pagi hari



Dosis diturunkan setelah terjadi respon maksimal



Dosis dapat dimulai antara 40-80 mg prednison/ hari dan diturunkan 5-10 mg/ 2 minggu

Minggu pemberian Minggu 1-2 Minggu 3-4 Minggu 5-6 Minggu 7-8 Minggu 9-10 Minggu 11-12 Efek samping obat :

Tabel 2.8 pemberian prednisone Dosis harian yang dianjurkan 40 mg 30 mg 20 mg 15 mg 10 mg 5 mg

1. dapson : anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer, TEN, hepatitis, dan hipoalbuminemia. 2. Rifampisin : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala GIT, flu-like syndrome, erupsi kulit, kemerahan pada kencing.

18

3. Lampren: warna merah kecoklatan pada kulit, warna kekuningan pada sclera (mirip ikterus), pada dosis tinggi nyeri abdomen, diare, anoreksia, vomitus, penurunan berat badan. 2.11

Pencegahan Kecacatan

Cara terbaik untuk

melakukan pencegahan kecacatan atau prevention of

disabilities adalah (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat, selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan sesegera mungkin.1 WHO expert Committee on leprosy (1997) membuat klasifikasi kecacatan pada penderita kusta, yaitu: 1 1.Cacat pada tangan dan kaki a. Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat. b. Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat c. Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau dformitas 2.Cacat pada mata a. Tingkat 0 : tidak ada kelainan / kerusakan pada mata (termasuk visus) b. Tingkat 1 : ada kelainan / kerusakan pada mata tetapi tidak terlihat dengan visus sedikit berkurang c. Tingkat 2: ada kelainan mata yang terlihat dan atau visus yang terganggu Kerusakan pada tangan atau kaki: ulserasi, absorbs, mutilasi, kontraktur. Kerusakan pada mata: anestesi kornea, iridosiklitis, lagoftalmos.

19

BAB 3 LAPORAN KASUS 3.1 IDENTITAS PASIEN Nama

:Tn. G

Umur

: 51 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Tidak

Alamat

: Maninjau

Status perkawinan

: Menikah

Negeri asal

: Indonesia

Agama

: Islam

Suku

: Minang

Tgl .Pemeriksaan

: 11 Juli 2018

3.2 ANAMNESIS Seorang pasien laki-laki usia 52 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kemain RSUP Dr. M. Djamil pada tanggal 11 Juli 2018 dengan: 3.2.1 KELUHAN UTAMA bercak menghitam pada kaki dan tangan yang tidak nyeri sejak 3 tahun yang lalu. 3.2.2 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG -

Awalnya 3 tahun yang lalu pasien mengeluhkan benjolan-benjolan kecil pada jari-jari tangan, disertai tangan sendi-sendi yang kaku, dan jari-jari tangan bengkok. Kemudian pasien berobat ke puskesmas dan didiagnosa dengan kusta dan diberi obat MDT. Obat di minum selama 10 bulan secara rutin. Obat dihentikan karena persediaan obat dipuskesmas habis. Benjolan ditangan mulai berkurang setelah pengobatan.

-

Setelah satu bulan obat dihentikan, Kedua tungkai bawah pasien bengkak, dan muncul benjolan-benjolan merah pada tangan, tungkai bawah dan kaki, yang mulai mengeluarkan nanah.

20

-

Kemudian pasien kembali berobat ke puskesmas dan diberi prednison. Obat di minum selama 2 minggu. Pasien tidak ingat berapa dosis yang diminum. Tetapi keluhan juga tidak berkurang dengan pengobatan. Kemudian pasien berobat ke Rumah Sakit. dirawat selama 2 minngu, pasien di diagnosa dengan gangren.

-

3 bulan yang lalu, keluhan makin bertambah, kedua tungkai bengkak, mulai menghitam mengeluarkan darah dan nanah, juga muncul benjolan benjolan merah pada kedua telinga, wajah, badan dan punggung.

-

Ujung jari jempol tangan kiri pasien perlahan habis tanpa disadari oleh pasien. Jari-jari kedua tangan pasien kaku..

-

Keluhan mati rasa pada tangan dan kaki ada sejak 3 bulan yang lalu.

-

Kaki dan tangan pasien sulit diangkat digerakkan sejak 1 bulan yang lalu.

-

Riwayat batuk-batuk lama tidak ada.

-

Riwayat vaksinasi BCG saat kecil tidak ada.

-

Pendengaran pasien berkurang sejak 3 bulan yang lalu.

-

Penglihatan berkurang tidak ada, riwayat tidak bisa menutup mata tidak ada.

-

Riwayat memiliki luka yang tidak disadari ada

-

Tidak ada riwayat kerontokan rambut dan bulu mata

-

Tidak ada anggota keluarga lain yang juga mengalami bercak yang sama seperti pasien

-

Pasien menyatakan tidak ada tetangga sekitar rumahnya yang juga mengalami bercak yang terasa kebas.

-

Pasien sebelumnya tinggal dijakarta dan pindah ke Maninjau sekitar 5 tahun yang lalu. keluhan bengkak-bengkak pada tangan sudah muncul ketika di jakarta, telah berobat kedokter umum, pasien tidak ingat obat yang diberikan.

-

Riwayat minum-minuman alkohol ada

-

Riwayat seks bebas dan memakai obat-obatan disangkal.

21

Riwayat pengobatan  Riwayat menderita kusta tahun 2015 mendapat terapi MDT selama 10 bulan, dihentikan karena obat di puskesmas habis, pasien belum dinyatakan sembuh ketika obat dihentikan.  Kemudian 1 bulan setelah obat dihentikan, pasien kembali mendapatkan obat prednison selama 2 minggu. Riwayat Penyakit Dahulu  Pasien telah dikenal kusta pada tahun 2015.  Riwayat batuk-batuk lama disangkal. Riwayat Penyakit keluarga/atopi/alergi -

Riwayat bersin-bersin pagi hari tidak ada

-

Riwayat alergi makanan tidak ada.

-

Riwayat alergi obat tidak ada.

-

Riwayat mata merah, gatal, dan berair tidak ada.

-

Riwayat asma tidak ada.

-

Riwayat kaligata tidak ada.

-

Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat atopi seperti yang disebutkan di atas.

-

Tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah mengalami atau sedang mengalami keluhan bercak dan terasa baal seperti pasien.

-

Tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah minum obat paket MDT ataupun OAT

-

Tidak ada anggota keluarga pasien yang punya riwayat batuk-batuk lama.

Riwayat Sosio-Ekonomi -

Pasien berdomisili di Maninjau, sekarang pasien tidak bekerja sejak tahun 2015, sebelumnya pasien bekerja sebagai sopir di Jakarta. Pasien sudah menikah.

-

Kondisi rumah pasien tidak padat penduduk, ventilasi dan pencahayaan di rumah pasien kurang.

-

Pasien mengatakan tidak ada tetangga sekitar rumahnya yang menderita keluhan bercak kemerahan dan terasa baal seperti pasien.

22

Pemeriksaan Fisik Status Generalis Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Komposmentis

Nadi

: 81x/menit

Napas

: 20x/menit

Berat Badan

: 40 kg

Tinggi badan

: 160 cm

Status gizi

: sedang

Suhu

: 38oC

Mata

: konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik

Hidung

: terdapat bercak kehitaman pada hidung

KGB

: tidak ada pembesaran

Pemeriksaan thorak

: Bercak kemerahan pada dinding dada

Pemeriksaan abdomen

: bercak kemerahan pada perut

Ekstremitas

: kaki bengkak dan menghitam

Status Dermatologikus Lokasi : pipi, hidung dan dahi dan telinga kiri, kedua lengan bawah, tangan, kedua tungkai atas, bawah dan kaki, seluruh punggung dan badan Distribusi

: universal

Bentuk

: numular - Tidak khas

Susunan

: tidak khas

Batas

: tidak tegas

Ukuran

: lentikuler - plakat

Efloresensi

: plak hiperpigmentasi dan hipopigmentasi dengan krusta kuning kehitaman, makula eritema dengan krusta kekuningan dan skuama putih kasar.

Status Venerologikus

: Diharapkan dalam batas normal

Kelainan selaput

: Diharapkan dalam batas normal

Kelainan kuku

: onikodistrofi (+)

Kelainan rambut

: Diharapkan dalam batas normal

Kelainan Kelenjar Limfe

: Diharapkan dalam batas normal

23

Pemeriksaan Sensibilitas: 

Rasa raba

: Anestesi pada lesi : Anestesi pada telapak tangan kanan dan kiri : Anestesi pada kedua telapak kaki



Rasa tusuk

: Anestesi pada lesi



Rasa suhu

: Anestesi pada lesi

Pembesaran Saraf Perifer: 

N. aurikularis magnus : kanan : tidak teraba pembesaran : kiri : tidak teraba pembesaran



N. ulnaris

: kanan: tidak teraba pembesaran Kiri : tidak teraba pembesaran



N. peroneus lateral

: kanan : tidak teraba pembesaran Kiri: tidak teraba pembesaran



N. tibialis posterior

: Kanan/kiri : Tidak teraba pembesaran

Pemeriksaan Motoris:  M. orbicularis oculi

: 5/5

 M. abductor digiti minimi

: 1/1

 M. interoseous dorsalis

: 1/1

 M. abductor pollicis brevis

: 1/1

 M. tibialis anterior

: 3/3

Pemeriksaan kecacatan : 

Mutilasi

: tidak ada



Absorbsi

: ada pada ujung jari kedua tangan



Atrofi otot

: ada



Xerosis kutis : ada



Ulkus trofik

: tidak ada



Madarosis

: tidak ada



Lagoftalmus : tidak ada



Claw hand

: ada pada kedua tangan



Ape hand

: tidak ada



Wrist drop

: ada



Dropped foot : tidak ada 24



Facies leonina : ada

Resume 

Bercak kehitaman pada kaki dan tangan



Pasien pernah didiagnosa dengan kusta dan diberi obat MDT.



bengkak, mulai menghitam mengeluarkan darah dan nanah, juga muncul benjolan benjolan merah pada kedua telinga, wajah, badan dan punggung



Ujung jari jempol tangan kiri pasien perlahan habis tanpa disadari oleh pasien. Jari-jari kedua tangan pasien kaku..



Keluhan mati rasa pada tangan dan kaki



Kaki dan tangan pasien sulit diangkat



Pendengaran pasien berkurang sejak 3 bulan yang lalu.



Pemeriksaan sensibilitas: anestesi pada lesi, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki



Pembesaran saraf tepi : tidak ditemukan pembesaran saraf



Kecacatan : absorbsi, atrofi otot, xerosis kutis, claw hand, wrist drop, fasies leonina

Diagnosis Kerja Morbus hansen tipe LL dengan kecacatan derajat II. Diagnosis Banding Pemeriksaan Rutin  Pemeriksaan BTA o Pada cuping telinga kanan

: +5

o Pada cuping telinga kiri

: +5

o Lesi I (diwajah)

:0

o Lesi II (di lengan)

:0

 Pemeriksaan gram (pus di tangan) : tidak ditemukan coccus, tampak PMN 20 – 30 /LPB Pemeriksaan Anjuran Pemeriksaan biopsi histopatologik kulit Diagnosis Morbus hansen tipe LL dengan kecacatan derajat II

25

Tatalaksana Terapi Umum: 

Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit kusta bukan merupakan penyakit kutukan, melainkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, dan dapat menular bila terjadi kontak dalam waktu lama (beberapa tahun).



Edukasi anggota keluarga yang serumah agar diperiksa karena kusta dapat muncul tanpa gejala klinis yang jelas.



Menjelaskan kepada pasien bahwa kecacatan yang telah terlanjur terjadi akan tetap ada seumur hidupnya sehingga dia harus bisa melakukan perawatan diri dengan rajin agar cacatnya tidak bertambah berat.



Memberikan edukasi kepada pasien mengenai perawatan mata untuk menghindari mata dari kekeringan dan infeksi, seperti pasien kusta harus ‘ingat berkedip’ , menggunakan tetes mata jika mata sangat kering serta memakai penutup mata waktu tidur

Terapi Khusus: 

MDT-MB 1x1 tab (bulan ke 3)



Paracetamol tab 3 x 500 mg



B complex 3x1 tab



Zink tab 1 x 20 mg



Asam fusidat oint 2% 2x1



Lanolin 10% 2 x1 (30 menit sebelum mandi)  pada kulit kering

Prognosis 

Quo ad Vitam

: Dubia ad bonam



Quo ad Sanam

: Dubia ad bonam



Quo ad Functionam

: malam



Quo ad kosmetikum : malam

26

BAB 4 DISKUSI Telah diperiksa seorag pasien laki-laki berusia 51 tahun, datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 11 Juli 2018 dengan keluhan utama bercak kehitaman pada kaki dan tangan. Awalnya 3 tahun yang lalu pasien mengeluhkan benjolan-benjolan kecil pada jari-jari tangan, disertai tangan sendisendi yang kaku, dan jari-jari tangan bengkok. Kemudian pasien berobat ke puskesmas dan didiagnosa dengan kusta dan diberi obat MDT. Obat di minum selama 10 bulan secara rutin. Obat dihentikan karena persediaan obat dipuskesmas habis. Benjolan ditangan mulai berkurang setelah pengobatan. Setelah satu bulan obat dihentikan, Kedua tungkai bawah pasien bengkak, dan muncul benjolan-benjolan merah pada tangan, tungkai bawah dan kaki, yang mulai mengeluarkan nanah. Kusta merupakan penyakit infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Seseorang yang terinfeksi M.leprae gejala klinis yang akan timbul gejala klinis yang akan timbul tergantung dari respon tubuh terhadap mikroorganisme tersebut. Apabila imunitas seluler orang tersebut bagus dan kuat, maka gejala klinis yang terjadi adalah MH tipe tuberkuloid. Apabila imunitas selulernya lemah, maka gejala klinisnya adalah MH tipe lepramatosa. Sumber infeksi pada kasus ini diidentifikasi berdasarkan anamnesis. Namun, tidak ditemukannya tetangga sekitar rumahnya yang mengalami bercak kebas seperti pasien bukan berarti pasien tidak mendapatkan infeksi dari sekitar, mengingat masa inkubasi penyakit ini cukup lama yaitu berkisar 4 hari sampai dengan 40 tahun. Hal ini mengingat evidence dari morbus hansen bawah rute penularan dapat melalui kontak langsung. Saraf perifer merupakan lokasi pertama yang diserang, kemudian lanjut mengenai kulit hingga menyebabkan gejala berupa kulit yang mati rasa, dan dapat menyerang organ lain kecuali susunan saraf

27

pusat. Cardinal sign morbus hansen adalah lesi kulit yang mati rasa (makula/plak hipopigmentasi/ eritematous/ hipoestesi) penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Berdasarkan tanda-tanda klinis diatas kita bisa menduga diagnosis penyakit kusta secara klinis saja. Jika terdapat tanda kulit yang mati rasa ataupun ditemukan BTA saja yang positif maka dapat ditegakkan kusta pada penderita. Lesi ditemukan pada pipi, hidung dan dahi dan telinga kiri, kedua lengan bawah, tangan,

kedua tungkai atas, bawah dan kaki, seluruh punggung dan

badan, dengan distribusi universal, bentuk numular tidak khas, susunan tidak khas, batas tidak tegas, ukuran lentikuler – plakat dengan efloresensi plak hiperpigmentasi dan hipopigmentasi dengan krusta kuning kehitaman, makula eritema dengan krusta kekuningan dan skuama putih kasar. Berdasarkan kriteria WHO, lesi dapat diklasifikan sebagai kusta Multi Basiler (MB) sedangkan untuk kriteria Ridley dan Jopling lesi ini termasuk ke dalam tipe Lepromatosa(LL). Pasien dengan kecacaan derajat II dimana telah terdapat kerusakan atau deformitas pada pasien seperti absorbsi, atrofi otot, xerosis kutis, claw hand, wrist drop, fasies leonina. Terapi umum yang diberikan adalah menjelaskan tentang penyebab penyakit kusta, penularan, pengobatan dan pencegahan kecacatan, menjelaskan lama pengobatan penyakit kusta, menjelaskan efek samping obat penyakit kusta, memberikan edukasi kepada pasien untuk segera datang ke pelayanan kesehatan jika lesi yang ada menjadi lebih merah, bengkak, disertai kehilangan fungsi dan timbul lesi baru, dan pencegahan kecacatan.diberikan berupa Terapi khusus yang diberikan berupa MDT-MB 1x1 tab (bulan ke 3), Paracetamol tab 3 x 500 mg, B complex 3x1 tab, Zink tab 1 x 20 mg, Ranitidin tab 2 x 150 mg, Asam fusidat oint 2% 2x1, Lanolin 10% 2 x1 (30 menit sebelum mandi). Untuk mencegah resistensi, pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multidrug treatment (MDT). Selain untuk mencegah resistensi, MDT digunakan sebagai usaha untuk memperpendek masa pengobatan dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan.

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Wisnu I, Daili ESS, Menaldi. Kusta. Dalam: Menaldi SL (eds). Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2017. pp: 87-102. 2. Kusta. Pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015.pp: 1-8. 3. Global Leprosy Strategy 2016-2020. World Health Organization. 2016. Pp: 1-17. 4. Goldsmith L, Katz SI, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, et al., Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. Edisi 8. Volume 2. Mc –Grae-Hill Companies. United states. 2012. Pp: 2253-6. 5. Rocken M, Schaller M, Sattler E, Burgdorf W. Color Atlas of Dermatology. Georg Thieme Verlag. Germany. 2012. P: 356. 6. Gawkrodger D. Dermatology An Ilustated Colur Text. Elsevier. United Kigdom. 2003.p : 56. 7. Legendre DP, Muzny CA, et al, 2012. Hansen’s Disease (Leprosy). Diakses dari http://www.medscape.com/viewarticle/757133_4 8. Diagnosis dan Pencegahan Kecacatan Kusta dalam Kumpulan Makalah Simposium dan Workshop. FK UNAND, 2011 9. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Kusta. 2014.

29

30

31

32

33

34

Related Documents

Kusta
April 2020 24
Reaksi Kusta
June 2020 17
Kusta 2
May 2020 12
Contoh Kusta
April 2020 17
Kusta New.pptx
June 2020 17
Kusta 1
May 2020 14