Waktu (menit ke-) Kucing A Kucing B (tanpa (dengan atropin) atropin) 12.05-12.19 12.0712.13
Stadium ke -
Nama stadium
Stadium I
Analgesik
Stadium II
Delerium
12.19-12.28
12.1312.19
Stadium III
Anestesi
12.29
12.19
Stadium IV
Fase sadar kembali
-
-
Gejala Klinis Kucing A Kucing B (tanpa (dengan atropin) atropin) Reflek Refleks menelan tinggi, menelan naik, kucing tenang dengan lebih tenang, tubuh kifosis tubuh membentuk huruf kifosis Hipersalivasi Reflek menelan mulai (++), reflex hilang, hipersalivasi sadar tidak sebanyak kucing berkurang, A, aktivitas motoric reflek meningkat, lebih menelan sempoyongan, pupil berkurang membesar Hipersalivasi Pernafasan abdominal (+++) terlihat jelas, hilangnya kesadaran, reflex menghilang -
Berdasarkan hasil percobaan aplikais obat anestesi perinhalasi pada kucing terdapat data hasil pengamatan pada masing-masing tahapan/stadium dalam anestesi. Stadium dalam anstesi yaitu adalah stadium I, stadium II, stadium III dan stadium IV. Namun stadium IV tidak terjadi pada kucing. Stadium-stadium tersebut dapat terliaht dengan jelas dengan penggunaan eter. Tidak semua jenis anestestik inhalasi dapat menunjukkan anestesi yang lambat. Percobaan dilakukan menggunakan dua kucing yang masing-masing dikurung pada cawan petri yang sudah dibasahi oleh eter. Pada kucing kedua sebelum diberikan obat perinhalasi, kucing disuntikkan atropine dengan dosisi 0,025-0,03 mg/Kg BB dengan durasi 10 menit. Hal tersebut digunakan untuk mengurangi atau membantu meringankan gejala eksitatori/ stadium II. Pada kucing yang tidak disuntikkan atropin, pada stadium I menunjukan reflek menelan yang meningkat, kucing menjadi lebih tenang, tubuh membentuk kifosis. Tubuh yang seperti mengalami kifosis menandai adanya hilang rasa nyeri yang dapat mengakibatkan gangguan transmisi sensorik pada traktus spinotamikus. Tidak lama kemudian terjadi tremor pada bagian posterior dan gerakan tubuh meningkat. Hal tersebut menandai sudah masuknya stadium II. Selain itu, pada stadium II kucing menunjukan Hipersalivasi (++), reflex sadar berkurang, reflek menelan berkurang. Stadium III mulai ditunjukan dengan mata mulai sayup, terjadi hipersalivasi secara berlebihan, keseimbangan menurun, tubuh sesekali ambruk, kemudian pingsan. Kucing dengan pemberian premedikasi atropine menunjukkan gejala peningkatan refleks menelan pada stadium I dengan tubuh lebih tenang dan posisi tubuh kifosis. Kucing mulai
memasuki stadium II ditandai dengan adanya tremor pada bagian posterior serta terjadi peningkatan produksi saliva, namun tidak sebanyak hipersalivasi pada kucing tanpa pemberian atropine. Hal ini dapat terjadi karena atropine bekerja pada susunan syaraf pusat, merangsang medulla oblongata dan pusat di otak sehingga menghilangkan tremor dan merangsang terjadinya peningkatan respirasi karena pengaruh dilatasi bronkus. Pemberian atropine pada dosis besar menunjukkan adanya depresi pada pernapasan, eksitasi, halusinasi, dan efek lanjutan berupa depresi dan paralisa medulla oblongata (Mustschler 1991). Atropine juga menimbulkkan adanya midriasis dan siklopegia, serta pada saluran pernapasan menimbulkan gejala depresi sekresi hidung, mulut, dan bronkus (Katzung 2011). Atropine pada kardiovaskular tidak menimbulkan pengaruh pada pembuluh darah dan tekanan darah secara langsung (bifasik) serta menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin. Efek atropine pada saluran pencernaan sebagai antispasmodic, ykani menghambat gerakan peristaltik usus dan lambung serta mendilatasi otot polos pada saluran urinasi sehingga terjadi retensi urin (Mycek 2001). Kucing memasuki stadium III dengan waktu yang lebih singkat dibandingkan stadium II, dengan menunjukkan gejala berupa pernafasan abdominal terlihat jelas, hilangnya kesadaran, reflex menghilang.
DAFTAR PUSTAKA Katzung, Bertram G. 2001. FArmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta (ID): Salemba Medika. Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Bandung (ID): ITB Press. Mycek MJ. 2001. Farmakologi ulasan bergambar. Farmacology. Jakarta (ID): Widya Medika.