KONVERSI AGAMA A. Pengertian Kata pertama dari pokok bahasan yang kita maksudkan ini berasal dari kata benda dalam bahasan Inggris conversion. J.B. Sykes (1977, hal 222) mengartikan kata itu diantaranya secara theologik dan psikologik. Pendekatan pertama mengarahkan pengertian konversi sebagai “change from sinfulness to holiness”, sedangkan pendekatan psikologik mengarahkan pengertian konversi secara leksikal itu sebagai “ change of unconscious conflict into physical disorder or diseas, adaptation of building for new purposes,building so modifield” itu berarti secara theologik, konversi berarti perubahan diri dari perasaan berdosa ke perasan suci tak bedosa. Sedangkan secara psikologik konversi berarti perubahan dari konflik ketidaksadaran diri ke dalam ketidak tentuan dan sakit secara fisik dan penyesuaian untuk pembinaan tujuan-tujuan baru serta perkembangannya dengan penyesuaian tertentu. Oleh karena itu pengertian yang kita bahas ini adalah terminologi yang di arahkan ke konversi agama dilihat dari disiplin Psikolog Agama, maka yang kita kehendaki bukan pengertian secara terpisah antara pengertian theologik dan psikologik, melainkan pengertian yang menyatu antara keduanya. Kalau kita menggabungkan kedua pengertian leksikal tersebut, maka dapat diformulasikan bahwa konversi agama itu adalah suatu proses perubahan diri dari keadaan konflik-konflik psikologi karena merasa berdosa menuju pada pembinaan diri untuk mewujudkan tujuan tujuan baru. Sehingga keadaan diri berubah kedalam perasaan tenang yang dilanjutkan dengan kesadaran untuk melakukan tindakan mendekati diri kepada Tuhan. Peristiwa konversi ini merupakan pengalaman keagamaan yang paling dalam dapat dialami oleh orang awam. Oleh karena itu menurut Prof. Ceo seperti yang dikutip oleh William James dalam bukunya “TheVarieties of Religious Experience” ( 1958, hal 194), peristiwa ini merupakan pengaaman yang paling mendasar tetapi paling tinggi dari pengalaman nilai-nilai keagamaan seseeorang. Hanya saja secara metodologis peristiwa ini tidak dapat di definisikan untuk menjawab pertanyaan “mengapa hal ini terjadi?”, melainkan sesuatu yang etis dan hanya dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan “apa yang dapat di capai oleh peristiwa itu?” Dilihat dari pengaruhnya, efektifitas pengalaman diperolehnya hidayah Tuhan yang bersifat adanya suatu jaminan mengenai ketenangan batin, walaupun sangat sulit diketahui
dan di ukur intensitasnya. Hal ini dapat di rasakan oleh orang yang mengalaminya sendiri peristiwa tersebut. Dilihat dari sebabnya, pertumbuhan dan perkembangan hidup yang ultra marginal ini berkaitan dengan rangsangan yang tidak dapat diduga sumbernya. Tetapi dalam perwujudannya keadaan itu membawa seseorang terhadap kecenderungan gerak hati ke arah tertentu, atau hadirnya tingkah laku yang tidak dapat di halangi. Myers menamain hal semacam itu sebagai “automatism”, baik bersifat sensorik motorik, perasaan atau intelektual B. Karakteristik Umum Konversi Agama Batasan dari orientasi pembahasan diatas menurunkan prinsip dasar bahwa konversi agama berkaitan erat dengan diperolehnya hidayah dari Tuhan bagi orang-orang tertentu. Namun hal itu tidak berarti bahwa objek penelitian kita adalah Tuhan dan hidayah Tuhan. Keistimewaan kedua yang menandai peristiwa konversi agama adalah menyangkut perubahan emosi yang sangat dalam dan sangat berarti bagi pelakunya. Ciri yang ketiga yang menyipati konversi agama adalah menyangkut orientasinya. Aspek ini memberikan batasan bahwa konversi agama itu hanya melingkupi perubahan integritas kemanusiaan seseorang yang bergerak dari kutub negatif ke kutub positif. C. Proses Konversi Agama Menurut William James pusat masalah yang dapat dirasakan oleh orang yang mengalami peristiwa konversi agama berkisar pada tiga hal yaitu : 1. Hilangkanya seluruh kehawatiran diri, karena hadirnya suatu perasaan yang menyatukan seluruh kemanusiaan seseorang dalam kedamaian, keharmonisan dan ketenangan dirinya, walaupun sebenarnya keadaan dunia luar tetap sama, tidak mengalami perubahan. Kepastian adanya rahmat Tuhan disertai pembenaran dan upaya tindakan keselamatan diri merupakan objek keyakinannya yang biasanya mengikuti perubahan rasa menyatukan dengan Yang Maha Kuasa, terjadinya suatu kesadara, pengakuan dan kekaguman terhadap Yang Maha Kuasa akan menyinari keadaan pikiran dan perasaanya. 2. Timbulnya perasaan yang mengarah pada kebenaran hakiki yang harus di ikuti, walaupun tidak diketahui sebelumnya. Misteri hidup menjadi semakin jelas, walaupun biasanya kenyataan seperti itu tidak dapat digambarkan dengan kata-kata.
3. Diperolehnya rasa keanehan dan keganjilan mengenai adanya jaminan yang merupakan perubahan objektif emosional, sehingga dunia kelihatannya berjalan dalam suasanya yang istimewa. Hadirnya suatu penampilan yang sama sekali baru akan memperindah setiap objekyan dilihatnya, seolah-olah segala sesuatu itu bertolak belakang dengan keadaan yang biasanya. Sebaliknya dapat juga berakibat bahwa sesuatu yang biasanya tidak tampak justru kelihatan menakutkan dan mengerikan, bahkan nampak keanehan di dunia ini, seolah-olah dialami dan di hadapi oleh orang yang sedang murung jiwanya. Howard Clark Kee yang tulisannya diedit oleh seorang penulis , Peter L. Berger (1981, hal. 49), menecitakan ulang peristiwa konversinya yang dialami oleh Paul. Dari apa yang dialami nya itu, Paul sendiri memisahkan proses terjadinya konversi itu ke dalam tiga fase, yaitu : (a) ada peristiwa yang mendahuluinya (b) proses konversinya sendiri (c) konsekuensikonsekuensinya. Berdasarkan pendapat Paul tersebut, Howard Clark Kee menjabarkan ketiga fase it menjadi enam tahap, yaitu : 1. Mula-mula timbul perasaan bahwa pelaku konversi melihat cahaya dari surga. Dalam keadaan ini ia merasa seolah-seolah berada pada alam yang lain yang biasanya ia alami 2. Orang yang mengalami konversi itu jatuh tersungkur ke tanah tanpa terasa, sebab pada waktu itu ia dalam keadaaan sadar dan tidak, ia tidak tahan menghadapi sesuatu yang hadir berupa kekuatan rohani secara tiba-tiba 3. Dalam keadaan berada di suatu alam rohani yang serba mengasyikan itu, timbullah perasaan dirinya bahwa ia mendengar suara yang datang dari syurga 4. Suara yang didengarnya itu berisi pernyataan hukuman terhadap dirinya sehubungan dengan tingkah lakunya yang tidak baik selama ini 5. Pelaku konversi merasakan munculnya suara yang mengidentifikasi hadirnya Tuhan kepadanya. Peristiwa ini diduga dalam rangka peringatan kepada dirinya untuk mempersiapkan diri agar mau mensucikan diri setiap perbuatanmya dan siap meluruskan i’tikad baiknya 6. Orang yang mengalami konversi dituntut untuk melaksanakan kewajibannya di masa yang akan datang dengan sebaik-baiknya Sedemikian kuat dan dalamnya pengalaman seseorang pada peristiwa itu, maka akan terjadilah perubahan-perubahan tertentu pada diri orang yang mengalami konversi tersebut.
Sementara itu Dr. Zakiah Daradjat mengidentifikasi berlangsungnya setiap proses konversi agama itu ke dalam lima fase, yaitu 1. Masa tenang pertama, yakni masa tenang yang berlangsung sebelum terjadinya konversi 2. Masa ketidak tenangan, yakni suatu masa yang melibatka seseorang pada suasana konflik dan pertentangan batin, bahkan terkadang gelisah dan putus asa 3. Pucuk peristiwa konversinya, yakni suatu peristiwa yang memunculkan perasaan turunnya hidayah Tuhan 4. Masa tentram dan tenang kedua,yakni suatu masa yang diliputi oleh rasa kedamaian, karena diyakini bahwa semua dosanya sudah terhapus dan ia berada pada jalan yang benar, sehingga legalah hatinya, seolah-olah semua pekerjaan telah terselesaikan 5. Tingkah laku selanjutnya, yakni suatu perwujudan dari kerbersihan dirinya yang menuntut tindakan untuk mengikuti dan menaati aturan-aturan agma yang menjadi keyakinan sekarang
D. Ruang Lingkup Konversi Agama Dunia memang penuh dengan serhadap segala kemungkinan. Sering terjadi adanya orang yang semula jauh dari agama, tidak bisa melakukan ketaatan agama, bahkan bukan hanya benci terhadap agama, tetapi juga banyak orang yang melakukan perbuatan yang melanggar ajaran agama itu sendiri disadari bertentangannya itu, baik dengan hati nuraninya sendiri maupun dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Tetapi tiba-tiba melalui peristiwa konversi itu orang berubah arah, perbaikan dan kembali pada kecenderungan hatinya yang suci untuk mendekati Tuhan. Kemudian ia melakukan ibadah dan segala kebaikan serta mematuhi ajaram ajaran agama. Sudah barang tentu dengan peristiwa sekaligus ia menghentikan semua pelanggaran dan perbuatan jahatnya. Yang menjadi persoalan kita sekarang, dilihat dari keyakinan sebelum dan sesudah terjadinya konversi siapakah yang mengalami peristiwa itu, dari mana asalnya dan kemana perginya? Kalau begitu, termasuk ke dalam jenis konversi yang mana orang itu ? untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat mengidentifikasikan berdasarkan ruang lingkup konversi agama yang secara garis besar dapat dipisahkan kedalam (1) konversi intern agama dan (2) konversi ekstern agama. Pembahasan lebih rinci mengenai kedua jenis konversi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Konversi Intern Agama Bagian pertama ini dimaksudkan bahwa konversi itu terjadi dan dialami oleh seseorang dalam intern agamanya sendiri. Artinya, secara umum agama dan keyakinan yang dianutnya tidak berbeda antara keadaan sebelum dan sesudahnya; sebelum konversi ia beragama islam , dan sesudah konversi pun tetap beragama islam. Hanya saja irang ini sebelumnya jauh dari agama, tidak pernah mengamalkan bahkan membenci agamanya, tetapi setelah konversi ia berbalik arah menjadi akrab, taat dan mencintai bahkan berani memperjuangkan agamanya. Contoh-contoh mengenai konversi macam ini banyak ditulis dalam buku Psikolog Agama. 2. Konversi Ekstern Agama Bagian ini menunjukan bahwa peristiwa konversi membawa akibat berubah dan berbalik keyakinan seseorang dari keyakinan suatu agama lain
E. Faktor-faktor Penyebab Konversi Dr. Zakiyah Daradjat dalam bukunya “ Ilmu Jiwa Agama” (1978, hal. 188-195) mennyimpulkan tulisan H.W. Clark mengenai faktor-faktor penyebab konversi agama itu kedalam lima aspek yang dapat di urutkan sebagai berikut : 1. Faktor konflik batin dan pertentangan perasaan. Kedua hal tersebut terutama disebutkan oleh perbuatannya sendiri yang menjauhi agama dan Tuhannya, bahkan sering terlibat melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar ajaran agama yang diyakininya. Apabila suatu ketika emosinya tersentuh dan sorotan petunjuk Tuhan dirasakan lebih tajam dari pada keterpaksaan dirinya menjauhi Tuhan, maka logis apabila ia kembali kepada jalannya semula yang benar 2. Faktor tradisi dan pendidikan diwaktu kecil. Artinya trdisi agama dan pendidikan dekatnya dengan Tuhan yang diraihpada waktu kecil akan sangat melekat pada dirinya. Apabila perasaan seperti itu berlanjut dan berkembang terus, tentu kesempatan untuk memperbaharui hubungan dengan Tuhan semakin cerah dan terbuka. Dengan kebangkitan dan semangat barunya untuk kembal kepada Tuhan dan agamanya, akan lahir pulalah gairah dan semangat hidupnya 3. Ajakan, seruan dan sugesti tertentu. Mungkin pada mulanya pelaku konversi itu merasa terpaksa dan perasaan agamanya dangkal. Namun manakala kedalaman dan kejernihan ajakan dan sugesti itu bertepatan dengan kehampaan mentalnya, hal itu akan mengisi dan menyatu dengan emosi keagamaannya sebagai pembuka
diperolehnya hidayah dari Tuhan. Pada akhirnya ia akan dengan sendirinya memantapkan kehadiran dan keterkaitan serta bukti-bukti pengalaman ajaran agamanya 4. Faktor emosi, yakni faktor rasa yang mendalam serta feeling yang tepat untuk menjiwai tercapainya penghayatan terhadap keterbatasan manusia dan kekuasaan Tuhan 5. Faktor kemauan, yakni dorongan psikologis untuk memperoleh dan menempatkan diri pada suatu kebenaran. Menurut William James kepercayaan dan keyakinan yang dipegangi seseorang pada dasarnya merupakan perwujudan dan hasil suatu kemauan dan keinginan yang memang diupayakan kedahirannya