Konsep_daya_intelektual_sebagai_unsur_su.docx

  • Uploaded by: malik
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Konsep_daya_intelektual_sebagai_unsur_su.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,685
  • Pages: 6
 TEMA

:

 SUB TEMA :

Dimensi Rasional Jiwa Dan Kaitannya Dengan Ilmu Pengetahuan. Konsep Daya Intelektual Sebagai Unsur Substansial Manusia Menurut

Plato dan Peranan Pengetahuan Dalam Menjaga Keutuhan Eksistensial Jiwa.  TESIS : Daya intelektual adalah unsur substansial manusia dan berasal dari dunia Ide-Ide dan kelak akan kembali ke dunia Ide-Ide. Untuk itu, manusia diharuskan senantiasa menjaga keutuhan jiwa dengan memiliki pengetahuan yang mana dari padanya jiwa senantiasa bersatu dengan dunia Ide-Ide.  PENJELASAN : 1. Dunia Ide-Ide Sebagai Bagian Dari Realitas Menurut Plato, realitas terdiri dari dua dunia, yaitu dunia inderawi dan dunia Ide-Ide.1 Perbedaan mendasar dari dua dunia tersebut, terletak pada kebakaan. Dalam dunia inderawi, perubahan adalah unsur substansial. Bahwa segala sesuatu dalam dunia inderawi tidak terlepas dari perubahan. Segala sesuatu yang dimaksud merujuk pada benda-benda material yang dapat ditangkap oleh panca indera. Misalnya saja : seorang bayi yang kini tertawa karena telah disusui hingga kenyang, sebentar akan menangis karena lapar. Atau dengan kata lain, dalam dunia inderawi tidak ada aktualitas tanpa potensialitas. Hal tersebut tidak berlaku dengan dunia Ide-Ide. Dalam dunia ini, yang ada hanyalah aktualitas murni tanpa potensialitas. Ide-Ide yang mendiami dunia ini bersifat kekal dan tak terubahkan. Kekekalan dan ketakberubahan tersebut memiliki konsekuensi, bahwa Ide-Ide tidak tergantung pada benda-benda material, kendati terungkap lewat bendabenda material. Hal itulah yang menjadi hubungan antara dunia material dan dunia Ideal. Bahwa meja yang kini terlihat bagus, bisa saja rusak karena bencana atau pun dirusakkan oleh manusia sendiri. Kendati demikian, Ide tentang meja tidaklah rusak dengan rusaknya meja tersebut. Kekekalan dan ketidakberubahan Ide-Ide yang dimaksudkan itulah alasan mengapa sampai ketika sebuah benda material hancur, pengenalan akan benda material yang sama (dalam artian bentuk yang merujuk pada fungsi khusus benda material) tetap abadi. Untuk lebih jelasnya, Plato menjelaskan secara detail hubungan antara dunia material dengan dunia Ideal dalam tiga cara2, yaitu

1

Bertens, K.1999. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi).Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 107 Bdk. Bertens, K.1999. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi).Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 108 & Nujartanto, Bayu. 2014. Traktat Alam Pemikiran Yunani Kuno. Hlm. 82 2

[1]

: (1) Ide hadir dalam dunia konkrit. Maksudnya adalah bahwa kemampuan untuk mengenali benda-benda material mungkin terjadi karena manusia memiliki Ide-Ide tentang benda-benda material yang ada. Misalnya : Adalah sebuah kemustahilan jika manusia berbicara mengenai bunga, jika ia sama sekali tidak memiliki Ide tentang bunga itu sendiri. Sesuatu hanya bisa dijelaskan secara utuh jika adanya Ide tentang sesuatu yang hendak dijelaskan itu. (2) Adanya Ide-Ide terungkap dalam prinsip partisipasi dalam benda-benda konkret. Partisipasi berarti mengambil bagian dalam objek yang diartisipasikan secara terbatas. Dengan demikian prinsip partisipasi menggambarkan adanya persatuan antara satu atau beberapa Ide dalam sebuah benda konkret. Maksudnya adalah bahwa dalam pengenalan atas benda-benda konkret (atau dengan kata lain, kepemilikan atas Ide-Ide tentang sesuatu), sebagaimana dijelaskan diatas merupakan syarat utama pengenalan yang utuh menjadi mungkin. Misalnya : Suara merdu, maka suara itu mengambil bagian dalam Idea suara dan merdu. Hal yang perlu dicatat, adalah bahwa kendati dalam benda-benda konkret terjadi persatuan antara beberapa Ide, essensi dari Ide-Ide yang berpartisipasi tersebut tidak dikurangi. Setiap Ide berdiri sendiri sesuai essensinya. (3) Cara model (paradeigma), yaitu bahwa Ide merupakan model atau contoh dari benda-benda konkret. Maksudnya adalah bahwa adanya Ide merupakan alasan satu-satunya dari adanya benda-benda konkret. Misalnya : lewat Ide tentang meja, lahirlah meja sebagai benda konkret. Kendati demikian, eksistensi benda konkret merupakan bentuk tak sempurna dari Ide. Dikatakan demikian, karena aktualitas Ide dalam dunia material bersifat terbatas karena eksistensi sarana pengungkapan aktualitas Ide bersifat material sehingga tak sempurna sama seperti Ide. Benda konkret hanya merupakan model dari Ide karena tidak bersifat kekal dan tak berubah sama seperti Ide. 2. Apakah jiwa itu ?3 Manusia menurut Plato, adalah suatu kesatuan aksidental antara jiwa dan tubuh. Kesatuan aksIdental berarti kesatuan yang dalamnya eksistensi objek-objek yang bersatu berdiri sendiri. Itulah mengapa Plato berpandangan bahwa pada hakekatnya jiwa dan tubuh itu berlainan satu sama lain dan berada bersama sebagai manusia hanya dalam tempo sementara. Pandangan ini merupakan konsekuensi dari pemisahan yang

3

Nujartanto, Bayu. 2014. Traktat Alam Pemikiran Yunani Kuno. Hlm. 82

[2]

dibuat oleh Plato atas pengetahuan intelektif dan pengetahuan inderawi, dimana akhirnya ia lantas membedakan jiwa dan tubuh. Lantas, apakah jiwa itu ? Menurut Plato, asal dan hakekat jiwa tak lain dari Ide yang sebelumnya hidup dalam dunia Ide-Ide. Dengan demikian jiwa adalah unsur substansial manusia, karena dari padanya tubuh beroleh daya gerak. Hal ini dipaparkan Plato dalam dialognya yang berjudul Timaios (Timeus). Dalam dialog itu Plato menceritakan bahwa jiwa manusia diciptakan oleh Demiurgos dengan mencontohi Ide-Ide kemudian menyebarkannya ke dalam kosmos. Setelah itu, jiwa bereksistensi dalam tubuh yang mana tubuh sendiri diciptakan oleh dewa-dewa kecil.

3. Daya intelektual sebagai unsur substansial jiwa Langkah selanjutnya dalam memahami apa itu jiwa, Plato lewat dialognya yang berjudul Politeia menekankan bahwa jiwa hendaknya dimengerti berdasarkan fungsinya. Fungsi tersebut tak lain dari essensi dari jiwa. Essensi adalah prinsip limitasi, yang mana dari padanya jiwa bereksistensi sebagaimana seharusnya. Untuk itu ia membedakan jiwa dalam tiga fungsi, yaitu bagian rasional, bagian keberanian dan bagian keinginan. Ketiga bagian ini terhubung satu sama lain lewat keutamaankeutamaan yang dimiliki oleh masing-masing bagian. Dalam konteks itu, bagian rasional dihubungkan dengan kebijaksanaan, bagian keberanian dihubungkan dengan keberanian dan bagian keinginan dihubungkan dengan keugaharian (sophrosyne)4. Ketiga bagian jiwa tersebut lantas dalam relasinya diseimbangkan oleh keadilan. Dari ketiga fungsi ini, yang bersifat baka hanyalah bagian rasional. Bagian rasional yang dimaksud Plato tak lain merujuk pada daya intelektual manusia. Daya intelektual merupakan kemampuan kodrati manusia. Dari padanya manusia bisa memiliki pengetahuan karena daya intelektual memampukan untuk memahami, berpikir dan bertanya tentang segala sesuatu. Inilah yang membedakan manusia dengan segala makhluk lain yang ada di muka bumi. Semua ini membuktikan bahwa substansi dari jiwa sebagai bagian rasional, adalah daya intelektual itu sendiri.

4. Mengusahakan Kebakaan jiwa

4

Kata ini merujuk pada sebuah istilah filsafat Yunani yang berarti kesehatan pikiran dan dari sanalah penguasaan diri berasal, karena kesehatan pikiran merujuk pada pengetahuan yang diperoleh memampukan manusia menyeimbangkan pikiran, perkataan dan perbuatannya. Pengertian ini diambil dari : http://en.m.wikipedia.org/wiki/Sophrosyne, pada tanggal 21 November 2014, Pkl. 19.38 WITA

[3]

Diatas telah dijelaskan bahwa jiwa hendaknya dipahami berdasarkan fungsinya. Dari pembagian itu, bagian rasional merupakan hakekat utama dari jiwa yang bersifat abadi. Dalam dialognya Phaidros, Plato mengisahkan ketiga fungsi jiwa dalam sebuah gambaran tentang seorang sais dengan dua kuda bersayap. Sais adalah bagian rasional dari jiwa, yang pada hakekatnya selalu memandang ke kerajaan Ide-Ide. Atau dengan kata lain, bagian rasional jiwa senantiasa mengarahkan dirinya pada kerajaan Ide-Ide karena dari sanalah jiwa berasal. Bagian rasional jiwa dalam keterarahannya pada kerajaan Ide-Ide ditarik ke atas oleh kuda bersayap yang melambangkan bagian lain dari jiwa seturut fungsinya, yaitu bagian keberanian, yang merujuk pada segala sesuatu yang baik dan indah. Lewat bagian keberanian, bagian rasional jiwa bisa menggapai langit tertinggi dimana ia dapat memandang kerajaan Ide-Ide yang adalah asal dan tujuan akhir jiwa. Kendati demikian, usaha itu dihalangi oleh bagian keinginan yang dilambangkan seekor kuda yang lain. Keinginan bersifat buruk dan jahat, sehingga selalu berusaha tertarik ke bawah. Konsekuensinya kedua kuda tersebut kehilangan sayap dan jatuh ke bumi. Akibatnya jiwa lantas terpenjara dalam tubuh. Lewat dialog Phaidros tersebut, Plato menjelaskan secara mitologis bahwa sifat bagian rasional jiwa adalah kekal dan tak dapat mati karena jiwa berasal dari Ide. Jiwa berasal dari Ide yang hidup di kerajaan Ide-Ide dan kelak akan kembali kesana. Kendati demikian, untuk mengusahakan hal tersebut, bukanlah hal mudah karena bagian jiwa yang adalah keinginan senantiasa membuat manusia terpikat pada kebahagiaan sesaat. Akibatnya jiwa semakin terperangkap dalam penjara tubuh karena tak mampu memandang dunia Ide-Ide. Untuk itu, manusia hendaknya mengusahakan pengetahuan yang mana dari padanya substansi jiwa sebagai bagian rasional yang adalah daya intelek bisa diperkaya.5 Kekayaan intelektual itu memampukan manusia untuk senantiasa mengarahkan manusia pada kebaikan, sehingga bagian keberanian mampu mengalahkan bagian keinginan. Dengan demikian, jiwa dapat senantiasa mengarahkan pandangannya pada kerajaan Ide-Ide dan kembali kesana setelah kematian tubuh. Dari situ muncul pertanyaan, apakah pengetahuan itu ? Pengetahuan adalah hasil penalaran atau pengertian yang benar atas realitas. Lewat pengetahuan manusia dimampukan untuk memiliki pengertian tentang apa artinya kebenaran, karena kebenaran merupakan predikat dari pertimbangan atau keputusan yang dibuat oleh daya

5

Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Jogjakarta : Kanisius. Hlm. 42

[4]

nalar.6 Penalaran yang dimaksud, adalah penalaran yang diperoleh berdasarkan proses ilmiah. Dari padanya manusia dimampukan untuk mengenali dirinya sendiri secara utuh dan mengarahkan dirinya pada kebaikan dan kebahagiaan sejati. Kebaikan dan kebahagiaan sejati yang dimaksud adalah keterarahan perbuatan manusia pada kesesuaian perbuatan dengan essensinya, yang mana lewat keterarahan tersebut jiwa manusia senantiasa terarah pada sifat aslinya; itulah kekekalan.

5. Kesimpulan Manusia merupakan kesatuan aksidens antara jiwa dan tubuh. Jiwa adalah unsur substansial manusia yang berasal dari dunia Ide-Ide yang oleh Aristoteles disebut Hyperouranos (hyper : di atas; ouranos : surga, langit). Persatuan aksIdental jiwa dan tubuh disebabkan oleh Demiurgos yang setelah menciptakan jiwa dari Ide-Ide dalam Hyperouranos, lantas menyebarkan jiwa ke dalam kosmos. Dalam hal ini, tubuh lantas menjadi wadah bagi berdiamnya jiwa. Dengan kata lain, jiwa adalah daya gerak bagi tubuh karena essensi jiwa yang adalah Ide-Ide memungkinkan tubuh memiliki daya gerak dan pengenalan atas segala sesuatu yang ada di bumi. Kendati demikian, tubuh memiliki keterbatasan dalam memahami jiwa dan membatasi jiwa dalam bereksistensi sesuai essensinya yang adalah kebaikan. Ide-Ide berasal dari kebaikan. Keterbatasan tubuh yang dimaksudkan adalah keinginan-keinginan tubuh untuk selalu menggapai kenikmatan-kenikmatan yang fana. Hal itu menjadi ancaman bagi eksistensi jiwa kelak setelah terpisah dari tubuh. Oleh karena itulah ilmu pengetahuan dibutuhkan sebagai sarana yang dari padanya tubuh diarahkan kepada pengenalan atas konsep baik – tidak baik. Ilmu pengetahuan adalah hasil penalaran manusia yang diperoleh berdasarkan proses ilmiah yang mana dari padanya manusia dimampukan untuk mengenali dirinya sendiri secara utuh dan mengarahkan dirinya pada kebaikan dan kebahagiaan sejati, sehingga eksistensi jiwa dapat senantiasa sesuai dengan essensinya yang adalah kebaikan itu sendiri dan kelak dapat kembali ke dunia Ide-Ide dalam kebakaannya.  DAFTAR PUSTAKA 1. Harun Hadiwijono. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisisus. 2. Bertens, K.1999. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi).Yogyakarta: Kanisius.

6

Bdk. Prof. Dr. Yong Ohoitimur, MSC. 2014. Metafisika Aquinas : Sifat-sifat Transendental Pengada. Hlm. 12

[5]

3. Nujartanto, Bayu. 2014. Traktat Alam Pemikiran Yunani Kuno. 4. Prof. Dr. Yong Ohoitimur, MSC. 2014. Metafisika Aquinas : Sifat-sifat Transendental Pengada.

[6]

More Documents from "malik"