KONSEP MENAHAN DIRI DALAM PUASA RAMADHAN
Dengan bepuasa di bulan Ramadhan, melalui konsepnya menahan diri, kita semua diajak dan diajar untuk senantiasa ingat bahwa hidup di dunia ini perlu upaya-upaya pengendalian diri. Sebab, tanpa pengendalian diri, maka hidup kita akan lepas kontrol dan berantakan. Tidak sedikit manusia yang sengsara hidupnya, bukan karena kekurangan harta, bukan karena tidak berpendidikan, bukan pula tidak mempunyai kedudukan dan jabatan. Lalu kenapa? Jawabnya sederhana saja, karena mereka tidak mampu menahan diri. Kalau kaya, ia tidak mampu menahan diri dari hidup berlebihan, glamor dan berpoya-poya. Kalau pandai/berilmu, ia tidak mampu menahan diri untuk melontarkan konsep atau kata-kata yang dapat meracuni masyarakat dan mencelakakan orang lain. Kalau berpangkat dan berkedudukan, ia tidak mampu menahan diri dari penggunaan pangkat dan jabatannya sehingga dengan seenaknya saja melakukan rekayasa kekuasaan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan adanya pengendalian diri inilah, dimaksudkan agar manusia dapat mencapai derajat taqwa yang merupakan tujuan utama disyari’atkannya puasa.
Aserani Kurdi,S.Pd
âbî—Ûa@áØîÜÇ@kn×aìäßa@åí‰Ûabèífí
Sebuah Upaya Pemahaman Ke arah Peningkatan Kualitas Ibadah Puasa
RC
ROLISA KOMPUTER Tanjung Tabalong Kalimantan Selatan
Cet.1 Oktober 2004 M / Ramadhan 1425 H
Aserani Kurdi, S.Pd
Kupersembahkan buat : Alm ayah tercinta Haji Kurdi Ibu Tersayang Hajjah Djariah Isteri dan anak tercinta : Rabiatul Adawiyah, Robby Cahyadi, Lika Amalia Asrini dan Risa Mutia Asrini Para Pendidik dan Generasi Muslim dan Ummat Islam
Cetakan Ke 1 Ramadhan 1425 H / Oktober 2004 M i
ii
Judul : KONSEP MENAHAN DIRI DALAM PUASA RAMADHAN Sebuah Upaya Pemahaman Kearah Peningkatan Kualitas Ibadah Puasa
Penyusun : Aserani Kurdi, S.Pd
Desain Sampul/Setting/Lay out : Rolisa Komputer Jln. Mabuun Indah II No.34 RT.04 Mabuun Tanjung
Pencetak dan Penerbit : Percetakan dan Sablon CASANOVA Jalan Sarigading Bulau dalam Barabai HST.
Cetakan : I, Ramadhan 1425 H / Oktober 2005 M
Hak cipta dilindungi Undang-Undang All Righ Reserved
iii
KATA PENGANTAR
A
lhamdulillah, atas izin dan pertolongan Allah SWT. dapatlah kiranya tulisan yang sangat sederhana ini diwujudkan dalam bentuk buku yang kami beri judul “Konsep Menahan Diri dalam Puasa Ramadhan”, merupakan sebuah upaya pemahaman ke arah peningkatan kualitas ibadah puasa. Harapan kami, kiranya tulisan ini mendapat sambutan yang baik dari semua pihak dalam rangka bersama-sama bersatu-padu untuk menta’mirkan bulan Ramadhan yang pernuh berkah ini ke arah pendalaman materi ke Islaman untuk meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Kepada semua pihak yang banyak membantu dalam mewujudkan tulisan ini menjadi sebuah buku, sebelum dan sesudahnya tidak lupa kami haturkan banyak terimakasih. InsyaAllah semua bantuan yang diberikan akan dicatat oleh Allah sebagai amal shaleh yang pahala dan kebaikannya akan selalu iv
mengalir tak pernah henti. Akhirnya, tegur sapa dari para pembaca ke arah perbaikan tulisan ini, kami ucapkan banyak terimakasih. Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Tanjung, 25 Rajab 1425 H 10 September 2004 H
Penyusun,
TTTTT v
DAFTAR ISI
HAL :
KATA PENGANTAR ........................................ DAFTAR ISI ..................................................... 1. Pendahuluan ................................................ 2. Menahan Diri dari Makan dan Minum .......... 3. Menahan Diri dari Nafsu Syahwat ............... 4. Menahan Diri dari Nafsu Amarah ................. 5. Menahan Diri dari Ucapan/Lisan .................. 6. Menahan Diri dari Pandangan Mata ............ 7. Menahan Diri dari Pendengaran .................. 8. Menahan Diri dari Kecenderungan Hati Yang Merusak .............................................. 9. Penutup ........................................................ BAHAN RUJUKAN ........................................... RIWAYAT SINGKAT PENYUSUN ...................
vi
iv vi 1 7 21 38 60 91 101 120 130 133 138
1
kandung tersebut proses pembuahannya tidak seperti biasanya (bukan karena proses percampuran antara sperma laki-laki dengan sperma perempuan) atau ia mengandung tanpa suami, tanpa campur tangan se-orang laki-laki, tetapi semuanya karena kodrat dan iradat dan kekuasaan Allah atas dirinya yang Maha Berkehendak. Menahan diri untuk tidak berbicara dalam jangka waktu tertentu, dalam bahasa Arab di-istilahkan dengan kata Shauma (puasa). Firman Allah dalam Al-Qur’an :
PENDAHULUAN
M
enurut loghat, kata puasa berasal dari bahasa Arab yaitu Ash-Shiyam yang diambil dari kata Shama, yang berarti menahan, tidak berpindah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Udara yang tenang (tidak bergerak) disebut Shama ar-Riih karena ia tertahan, tidak berpindah, tidak bergerak atau tidak berhembus. Dalam catatan sejarah yang tertulis di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa, Maryam pernah bernadzar untuk tidak berbicara kepada siapapun tatkala ia mengandung puteranya Isa Al-Masih. Ini ia lakukan untuk menghindari tuduhan yang bukan bukan terhadap dirinya, karena janin yang ia 1
uΘöθu‹ø9$# zΝÏk=Ÿ2é& ô⎯n=sù $YΒöθ|¹ Ç⎯≈uΗ÷q§=Ï9 ßNö‘x‹tΡ ø’ÎoΤÎ) $|‹Å¡ΣÎ) “Sesungguhnya aku telah bernadzar untuk menahan diri (berpuasa) untuk Tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini” (QS. Maryam ayat 26). Kemudian pada surah Al-Baqarah ayat 35 dan 36 diceritakan bahwa ketika Nabi Adam a.s dan isteri beliau Hawwa diberikan kesempatan oleh Allah SWT. untuk tinggal beberapa lama di dalam Sorga, dan oleh Allah kepada keduanya telah diberikan berbagai fasilitas dan sarana prasarana yang amat lengkap, dan semuanya dipersilahkan kepada Adam dan isterinya untuk menggunakan fasilitas, sarana 2
dan prasarana tersebut sepuas hati, hanya satu hal yang dilarang oleh Allah SWT. yaitu mendekati sebatang pohon, yang sebagian ahli tafsir menamakannya pohon khuldi, maka ketika Adam a.s dan isterinya Hawwa berupaya untuk tidak mendekati pohon terlarang tersebut, maka mereka sebenarnya telah melakukan puasa (menahan diri), kendati pada akhirnya mereka terkena bujuk rayu Syetan dan mendekati pohon terlarang itu serta memakan buahnya. Firman Allah SW. :
Ÿξä.uρ sπ¨Ψpgø:$# y7ã_÷ρy—uρ |MøΡr& ô⎯ä3ó™$# ãΠyŠ$t↔¯≈tƒ $uΖù=è%uρ ÍνÉ‹≈yδ $t/tø)s? Ÿωuρ $yϑçFø⁄Ï© ß]ø‹ym #´‰xîu‘ $yγ÷ΖÏΒ $yϑßγ©9y—r'sù . ⎦ t ø⎫ÏΗÍ>≈©à9$# z⎯ÏΒ $tΡøθä3tFsù nοtyf¤±9$# ( ϵøŠÏù $tΡ%x. $£ϑÏΒ $yϑßγy_t÷zr'sù $pκ÷]tã ß⎯≈sÜø‹¤±9$# “Dan Kami berfirman : “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu Sorga ini, dan makanlah makananmakanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dhalim. Lalu keduanya digelincirkan oleh Syetan dari Sorga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula”. 3
Pengertian puasa di atas adalah pengertian puasa menurut bahasa (loghat), yaitu menahan diri, baik menahan diri dari berbicara, menahan diri dari berjalan, menahan diri dari sesuatu yang mencelakakan, menahan diri dari dorongan nafsu amarah, nafsu birahi, nafsu serakah dan sebagainya. Pendeknya segala sesuatu yang bersifat menahan diri atau dalam istilah yang lain mengendalikan, itulah dia pengertian puasa menurut loghat atau bahasa. Sedangkan pengertian puasa menurut Syar‘iyyah (menurut syari’at), dapat kita temukan dari berbagai sumber, diantaranya : 1. Menurut mufassir Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir jilid pertama disebutkan bahwa, “Puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan yang membatalkan puasa dengan niat ikhlas kepada Allah”; 2. Menurut mufassir Ar-Razi dalam kitab At-Tafsir al-Kabir jilid kedua disebutkan bahwa, “Puasa adalah menahan diri sejak terbit fajar hingga terbenam matahari dari apa saja yang membukakan puasa, padahal ia tahu dalam keadaan berpuasa (tidak terlupa) disertai niat”; 3. Menurut Syeikh Muhammad Ali As-Shabuny dalam kitab Rowai’ul Bayaan disebutkan bahwa, “Puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan jima’ disertai dengan niat, sejak 4
dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Dan kesempurnaannya adalah dengan menjauhi hal-hal yang kotor dan tidak melakukan perkara yang diharamkan”; 4. Menurut Syeikh Muhammad bin Qasim AlGhazy dalam kitab Tausikhu ‘alaa Ibnu Qasim disebutkan bahwa, “Puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan, dengan niat yang ditentukan sepanjang hari puasa (yaitu hari-hari yang boleh dilakukan puasa) yang dikerjakan oleh orang Islam yang berakal dan suci dari haid dan nifas bagi wanita”; 5. Menurut Al-Imam Taqiyuddin Al-Husaini dalam kitab Kifayatul Akhyar disebutkan bahwa, “Puasa adalah menahan diri dalam hal tertentu dari orang tertentu dan di dalam waktu tertentu pula dengan beberapa syarat”; 6. Menurut Al-Ustadz Muhammad Ali As-Sayis dalam kitab Tafsir Ayatul Ahkam disebutkan bahwa, “Puasa adalah menahan diri dari dua kedaulatan syahwat, yaitu syahwat perut dan farj, dengan niat oleh ahli (orang yang diwajibkan) puasa, sejak terbit fajar sampai terbenam matahari”. Dari beberapa pengertian puasa di atas, baik pengertian menurut bahasa/loghat maupun pengertian menurut syari’at, maka inti pokok dari pengertian puasa tersebut adalah “menahan diri”, yang 5
selanjutnya konsep ini dapat kita kembangkan lebih luas dan lebih dalam lagi, sebagai upaya kita untuk memaknai puasa agar lebih berkesan dan membekas ke dalam relung jiwa kita yang paling dalam, yang akan melahirkan insan-insan kamil dengan taqwallah sebagai tujuan utama. Dengan bepuasa di bulan Ramadhan, melalui konsepnya menahan diri, kita semua diajak dan diajar untuk senantiasa ingat bahwa hidup di dunia ini perlu upaya-upaya pengendalian diri. Sebab, tanpa pengendalian diri, maka hidup kita akan lepas kontrol dan berantakan. Tidak sedikit manusia yang sengsara hidupnya, bukan karena kekurangan harta, bukan karena tidak berpendidikan, bukan pula tidak mempunyai kedudukan dan jabatan. Lalu kenapa? Jawabnya sederhana saja, karena mereka tidak mampu menahan diri. Kalau kaya, ia tidak mampu menahan diri dari hidup berlebihan, glamor dan berpoya-poya. Kalau pandai/berilmu, ia tidak mampu menahan diri untuk melontarkan konsep atau katakata yang dapat meracuni masyarakat dan mencelakakan orang lain. Kalau berpangkat dan berkedudukan, ia tidak mampu menahan diri dari penggunaan pangkat dan jabatannya sehingga dengan seenaknya saja melakukan rekayasa kekuasaan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan adanya pengendalian diri inilah, dimaksudkan agar manusia dapat mencapai derajat taqwa yang merupakan tujuan utama disyari’atkannya puasa. 6
kata lain, agar hidup sehat perlu makan dan minum.
2
MENAHAN DIRI DARI MAKAN DAN MINUM
M
anusia memerlukan makan dan minum untuk mempertahankan hidupnya. Bahkan tidak saja manusia, juga seluruh makhluk hidup yang ada di bumi ini memerlukan makan dan minum. Menurut ilmu ekonomi, makan dan minum merupakan kebutuhan primer/utama yang mau tidak mau mesti dipenuhi, karena ini menyangkut kelangsungan hidup manusia. Ilmu kesehatan juga mengharuskan manusia untuk makan dan minum, sebab kalau manusia tidak mau makan dan minum atau tidak bisa makan dan minum, maka kesehatannya terancam. Dengan 7
Fungsi makan dan minum adalah untuk menghasilkan tenaga (energi), pertumbuhan organ tubuh, perlindungan dari berbagai serangan penyakit dan penggantian sel-sel tubuh yang sudah usang dan aus. Kekurangan makanan dan minuman menyebabkan tubuh tidak tumbuh dan berkembang dengan semestinya. Tidak makan dan minum beberapa hari tentu akan terasa lapar, haus dan dahaga yang mengakibatkan badan lesu, tidak bersemangat, kurang tenaga/lemah, denyut nadi dan bernafas semakin cepat, rasa gelisah, mudah tersinggung, mudah diserang penyakit dan seterusnya hingga mengantarkannya ke pintu kematian. Mengingat betapa pentingnya makan dan minum bagi hidup dan kehidupan manusia ini, maka wajarlah kiranya jika setiap mengawali makan dan minum sekurang-kurangnya kita sebut nama Allah dengan membaca “Bismillaahir rahmaanir rahiim” dan mengakhirinya dengan mengucapkan “Alhamdulillaahi rabbil álamiin” atau membaca doa mau makan dan minum dan sesudahnya sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan ni’mat dan karunia-Nya berupa rezeki makan dan minum kepada kita. Ingatlah firman Allah SWT. : 8
øΟßγyϑyèôÛr& üø”Ï%©!$# ÏMøt7ø9$# #x‹≈yδ ¡>u‘ (#ρ߉ç6÷èu‹ù=sù ¤∃öθyz ô⎯ÏiΒ øΝßγoΨtΒ#u™£ρ 8íøθã_ ø⎯ÏiΒ “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Al-Quraisy ayat 3 dan 4).
4 …çµs9 (#ρãä3ô©$#uρ öΝä3În/u‘ É−ø—Íh‘ ø⎯ÏΒ ô#θè=ä. “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhan-mu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya” (QS. Saba’ ayat 15). Islam adalah agama universal yang kehadirannya menjadi rahmat bagi seluruh ummat manusia. Disamping itu, Islam juga merupakan agama fithrah dengan konsep ajarannya yang sesuai dengan kebutuhan dasar manusia dan mengaturnya agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam soal makan dan minum, Islam telah menggariskan bahwa didalam mencari dan mengkonsumsi makanan dan minuman hendaknya 9
yang halal dan baik (halalan thayyibah), baik cara memperolehnya maupun bentuk dan jenis bahannya. Oleh karena itu, makanan dan minuman yang haram menurut Islam, tidak saja lantaran sifat dan jenis barangnya yang memang haram menurut syariát Islam, seperti daging babi dan berbagai jenis minuman keras, juga lantaran cara memperolehnya yang tidak dibenarkan oleh syariát Islam, seperti barang hasil curian, hasil rampasan, hasil korupsi dan sebagainya. Dengan konsep halalan thayyibah, Islam telah menawarkan pola makan dan minum yang halal dan baik. Halal dalam arti bahwa makanan dan minuman yang dikonsumsi tersebut halal dari cara memperolehnya dan halal dalam bentuk dan jenis barangnya, juga baik dalam arti barang tersebut harus bersih, sehat dan memenuhi keseimbangan gizi. Disamping halal dan baik, didalam mengkonsumsi makanan dan minuman, Islam juga telah mengatur sedemikian rupa agar tidak berlebihan, karena Allah SWT. sangat benci terhadap hal-hal yang sifatnya berlebihan.
=Ïtä† Ÿω …絯ΡÎ) 4 (#þθèùÎô£è@ Ÿωuρ (#θç/uõ°$#uρ (#θè=à2uρ t⎦ø⎫ÏùÎô£ßϑø9$# 10
“Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al-‘Araaf ayat 31). Orang yang berpuasa adalah orang yang menahan diri dari makan dan minum selama kurang lebih 12 jam setiap hari pada bulan Ramadhan. Dengan berpuasa berarti mengendalikan nafsu makan dan minum. Ini dikerjakan oleh orang-orang yang beriman secara ikhlas dalam arti motivasinya hanya semata-mata karena menunaikan perintah Allah SWT. Makanan dan minuman yang halal dan baik tidak terlepas dari unsur keseimbangan gizi. Hal ini sangat menuntut kemampuan seseorang dalam mengendalikan diri. Sebab pada saat berbuka puasa, pada umumnya seseorang akan cenderung memanjakan dirinya dengan makan dan minum secara berlebihan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Acara buka puasa seringkali dijadikan ajang untuk balas dendam setelah sekian lama menahan lapar dan dahaga di siang hari, sehingga makan dan minum sepuas-puasnya. Tindakan yang seperti ini tidak saja sangat merugikan kesehatan, karena alat cerna kita dipaksa melakukan kerja ekstra di luar batas, juga sangat berpengaruh negatif terhadap aspek-aspek lainnya, baik secara fisik mapun psikis. Untuk itulah maka Rasulullah SAW. memperingatkan kepada kita. 11
A™#sρsŠjÍ≅ä.ã¨ø &o‘ äπsŠøϑÅsø9#oρ Å™#£‰9# ãMøŠo/ äοo‰Åèoϑø9s# “Lambung (perut) itu pangkal segala penyakit, dan memeliharanya (tidak makan dan minum berlebihan) adalah pengobatannya”. Peringatan Rasulullah ini sejalan dengan pendapat sebagian besar ahli kesehatan yang menyatakan bahwa perut merupakan sumber segala penyakit dan berpantang (mengurangi/mengendalikan makan dan minum) merupakan pencegahnya. Oleh karenanya kebiasaan buruk dengan mengkonsumsi makanan dan minuman secara berlebihan pada saat berbuka puasa adalah tindakan yang perlu segera dihentikan, karena pada hakikatnya berpuasa itu tidak saja mengendalikan makan dan minum di siang hari, tetapi juga dengan berpuasa kita hendaknya mampu mengendalikan makan dan minum di malam hari. Apakah karena tidak adanya pemasukan makanan dan minuman di siang hari lantas kita imbangi dengan makan dan minum sebanyak-banyaknya pada saat berbuka? Tidak, sama sekali tidak perlu. Karena makan dan minum secara berlebihan pada saat berbuka tidak akan membantu tubuh kita menjadi kuat bertenaga, tapi malah tubuh kita akan menjadi lemas, lesu kurang bertenaga sehingga muncullah penyakit malas untuk beribadah, malas 12
pergi ke masjid atau mushalla untuk shalat Tarawih berjamaah, malas membaca Al-Qurán dan malas ke majelis ta’lim. Disamping itu, orang yang terlalu berlebihan dalam soal makan dan minum cenderung kurang spirit, daya pikirnya lemah, jiwa dan hatinya mati. Hal ini seiring dengan peringatan Rasulullah SAW. :
ِ ↓َΡﱠς⇔↓َ™ ِ⇒°َ∈ﱠχ⇔↓ ِ≥َΡْΗَλ±ِ َ″ْυُνُϕْ⇔↓↓υُΦِ™ّϖَπُ×َ⎨ ″ ُ⁄°َπْ⇔↓ ِτْϖَνَ⊂َΡُΗَ∧↓َ↵ِ↓ ُ∝ْυُπَ⎜ ِ⊆ْℵﱠΣ⇔°َ∧ ِ∆ْνَϕ⇔ْ↓ ِ◊ﱠ°َ∏ “Janganlah kamu matikan hatimu dengan makan dan minum secara berlebihan. Sesungguhnya hati itu tak obahnya laksana tanaman, dia akan mati jika terlalu banyak disiram dengan air”. Kemudian, seorang ahli hikmat yang terkenal dan namanya diabadikan di dalam Al-Qurán, Lukmanul Hakim, beliau pernah memberi nasehat kepada putera-puterinya, sebagai berikut : “Wahai putera-puteriku, apabila perut kalian terlalu kenyang, maka otak kalian akan tidur, pikiran kalian akan buntu dan badan kalian akan lemah dan malas untuk beribadah kepada Allah”. Dr. Alexis Correl, pemenang hadiah Nobel dalam ilmu pengobatan dan pembedahan, pernah 13
mengatakan bahwa, banyaknya makanan yang dikonsumsi manusia secara rutin setiap hari lama kelamaan dapat mengganggu kestabilan kerja organorgan tubuh. Itulah barangkali sebabnya sehingga orang-orang tua kita dulu suka berpuasa pada waktu-waktu tertentu, dan ternyata sangat berpengaruh pada usia mereka, yang mana usia mereka relatif panjang dan banyak diantara mereka yang berusia hingga mencapai 125 tahun. Apabila perut kita selalu dipenuhi oleh makanan dan minuman yang berlebihan, maka sel-sel tubuh kita akan kebanjiran zat makanan, akibatnya urat syaraf menjadi lembab dan kerja otak akan terhambat. Jika keadaan ini terjadi terus menerus bisa mengakibatkan menurunnya daya ingat dan melemahnya intelektual yang ditandai dengan sering lupa, cepat lelah dan tidak bisa berpikir keras. Sewaktu perut kenyang, banyak darah yang tersalur untuk melakukan proses pencernaan, dan selagi seseorang berpuasa atau ketika perut kosong maka volume darah di bagian pencernaan dapat dikurangi dan dipakai untuk keperluan lain terutama untuk melayani otak, sehingga otak menjadi terang cemerlang. Sehubungan dengan ini tepat sekali apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW. :
ُτُΧْνَ⋅ َσَχَ∏َ™ ُτُ×َΡْλِ∏ ْΓَπُφَ⊂ ُτَρْχَ± َ⊆°َ÷َ↓ ْσَ⇑ 14
“Barangsiapa melaparkan perutnya, maka pikirannya menjadi cerdas dan hatinya menjadi cemerlang”
manusia memerlukan air. Tanpa air, fungsi organ tubuh tidak bisa dijalankan.
Oleh karena itu, sederhanakanlah dalam berbuka puasa dan makan sahur. Makan dan minumlah secara wajar dan mari kita ikuti kebiasaan Rasulullah dalam makan dan minum, dimana beliau tidak akan makan kecuali lapar dan tidak akan minum kecuali haus. Beliau makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Sabda Rasululah SAW. :
Air sangat diperlukan untuk membersihkan racun atau toksin dalam tubuh. Asam urat dan urine misalnya, yang merupakan limbah dalam tubuh yang harus segera dilarutkan terlebih dahulu dengan air sebelum dibuang oleh ginjal dalam bentuk air kencing. Selain itu, air juga sangat dibutuhkan untuk melindungi kulit dari retak-retak dan kekeringan. Terlalu sedikit air yang dikonsumsi, dapat mengurangi volume darah yang beredar. Kekurangan air dalam tubuh dapat mempersulit pembakaran lemak. Oleh karena itu, usahakanlah untuk mengkonsumsi air secukupnya, yakni sekurang-kurangnya 10 gelas atau sekitar 2 sampai 2,5 liter air sehari. Tapi ingat, 10 gelas air ini tentu tidak diminum sekaligus, tapi secara bertahap/beberapa kali sehari. Usahakan air yang diminum juga adalah air hangat, tidak terlalu panas, tidak pula terlalu dingin.
َΓْϖَπْ×َ↓°َ⇑ ْ⊆َ⎯َ™ َΓْϖَπْ∅َ↓°َ⇑ ْοُ∧ “Makanlah kamu ketika lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang”. Rasulullah SAW. menganjurkan agar mengkonsumsi makanan yang manis-manis, seperti kurma misalnya, ketika berbuka puasa. Kalau tidak ada makanan, maka cukup dengan air saja. Anjuran ini sangat tepat, karena buah kurma mengandung kadar gula yang cukup tinggi. Demikian juga dengan makanan lainnya yang mengandung gula, selain enak rasanya, makanan ini juga cepat dicerna dan diserap dalam mulut dan lambung, sehingga dapat meningkatkan kadar gula dalam darah, akibatnya rasa lapar yang dirasakan dapat segera berkurang. Demikian
juga air. Semua organ tubuh 15
Dalam kegiatan makan sahur, Rasulullah menekankan betapa pentingnya bersahur. Upayakan jangan sampai kita ketinggalan sahur karena kesiangan. Bersahurlah kendati hanya seteguk air, karena yang membedakan puasa orang Islam dengan puasa orang Nasrani adalah makan sahur. Disamping itu, di dalam sahur juga terdapat berkat yang dapat menguatkan badan dan menahan lapar. Sabda Rasulullah SAW. : 16
ِ″°َΦِλْ⇔↓ ِοْ〈َ↓ ِ⇒°َϖِ∅َ™ °َ⇓ ⇑ِ°َϖ∅ِ َσْϖَ±°َ⇑ َοْΞَ∏ ↓ِ◊ﱠ ِΡْΛﱠΤ⇔↓ ُΕَνْ∧َ↓ “Sesungguhnya yang membedakan antara puasa kita (orang Islam) dengan puasa ahli kitab (kaum Nasrani) adalah makan sahur”.
ًΕَ∧َΡَ± ℵِْυُΛﱠΤ⇔↓ ِ ِ◊ﱠ°َ∏ ْ™ُΡﱠΛَΤَ× “Hendaklah kamu makan sahur, karena sesungguhnya makan sahur itu berkat (dapat menguatkan badan dan menahan haus dan lapar)”. Waktu makan sahur sebaiknya dilakukan pada sesudah tengah malam, dan lebih afdhal pada saat menjelang imsak. Ini dimaksudkan agar tubuh kita tetap kuat (tidak cepat lesu/lemah) dalam berpuasa di siang harinya. Disamping itu, mentakhirkan (menunda hingga menjelang imsak) makan sahur, akan memberikan peluang yang besar bagi kita untuk melakukan ibadah shalat subuh berjamaah di masjid/mushalla. Sebaliknya, kalau waktu makan sahurnya terlalu cepat (misalnya jam 02.00 atau jam 03.00), dikhawatirkan shalat subuh kesiangan, karena ketiduran. 17
Anjuran mentakhirkan makan sahur disamping untuk menjaga stamina tubuh agar tetap prima selama menjalankan ibadah puasa, lebih dari itu juga mengandung makna yang dalam bahwasanya berpuasa itu perlu persiapan yang matang agar produktifitas kerja sehari-hari tidak terganggu oleh lapar dan dahaga. Demikian pentingnya makan sahur sebagai persiapan untuk menjalankan ibadah puasa, ini merupakan sebuah refleksi dari cerminan bahwa berpuasa itu bukan sekedar pamer tahan lapar dan haus, tanpa melakukan aktivitas kerja sehari-hari, sehingga ada sementara orang yang merasa bangga dapat menjalankan ibadah puasa walapun tidak bersahur tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara’. Lebih dari sekedar itu, berpuasa sesungguhnya adalah kegiatan ibadah yang tidak menghambat atau menguras porsi aktivitas keseharian kita. Makanya itu Rasulullah SAW. menganjurkan untuk menyegerakan berbuka puasa dan mentakhirkan makan sahur. Ini dimaksudkan agar ibadah puasa kita tetap jalan, aktivitas sehari-hari juga tetap jalan, tidak terganggu oleh puasa kita. Oleh karena itu tidak cukup beralasan kalau seseorang mengurangi volume aktivitas sehari-harinya lantaran menjalankan ibadah puasa. Dari beberapa penjelasan di atas dapat kita simpulkan, bahwa menahan diri dari makan dan minum adalah melakukan pengendalian diri terhadap makan dan minum agar tidak berlebihan, terutama 18
pada saat berbuka puasa dan makan sahur. Kita berharap latihan mengendalikan diri dari makan dan minum selama berpuasa di bulan Ramadhan ini menjadi bahan bandingan, syukur-syukur kalau kebiasaan baik ini terus berlangsung di luar Ramadhan, sehingga kita mampu menahan diri dari persoalan makan dan minum, mulai dari memperoleh makanan dan minuman yang halal dan baik, hingga mengkonsumsinya tidak terlalu banyak, tidak pula terlalu sedikit (tetap dalam batas-batas kewajaran). Dalam mengkonsumsi makanan dan minuman perlu diperhatikan kadar gizi dan proteinnya. Jangan hanya mementingkan enaknya saja, lezatnya saja. Sebab dalam pola kehidupan masa kini orang cenderung memilih makanan dan minuman yang enak, yang lezat, walapun kadar gizi dan proteinnya kurang. Jika makanan dan minuman ini dikonsumsi sewajarnya (tidak berlebihan dan tidak terus menerus), biasanya tidak akan terjadi persoalan pada kesehatan tubuh kita. Namun ironisnya, mungkin karena keenakan, banyak diantara kita yang tidak mampu menguasai diri sehingga mengkonsumsi makanan dan minuman serba lezat itu secara berlebih-lebihan (dijadikan konsumsi rutin), maka sudah barang tentu cara makan dan minum seperti ini dapat menimbulkan berbagai penyakit dalam tubuh kita. Satu hal yang perlu diperhatikan juga adalah 19
mengenai keteraturan dalam hal makan dan minum. Sebagian besar kita, terutama yang selalu sibuk, kurang memperhatikan atau sering meremehkan kesehatan perutnya, sehingga makan kurang teratur, suka menunda waktu makan, dan sering makan tergesak-gesak. Selain itu, sebagian kita terkadang membiarkan begitu saja perut dalam keadaan kosong, karena saking sibuknya bekerja, dan menggantinya dengan merokok dan minum kopi berlama-lama. Kebiasaan buruk ini sangat merugikan kesehatan kita. Oleh karena itu, menahan diri dari makan dan minum tentunya tidak hanya sebatas pengendaliannya, tetapi juga pengaturannya. Semoga dengan hikmah menahan diri dalam puasa Ramadhan, kita mampu menahan diri dari makan dan minum dalam arti yang seluas-luasnya.
GGGGGG 20
ِΡَΧْ∧َ⎨ْ↓ ِ⎯°َ©ِϑْ⇔↓⎛َ⇔ِ↓ِΡَ®ْ∅َ⎨ْ↓ ِ⎯°َ©ِϑْ⇔↓ َσِ⇑°َρْ∈َ÷َℵ
“Kita ini telah kembali dari peperangan yang kecil menuju ke peperangan yang besar”.
3
MENAHAN DIRI DARI NAFSU SYAHWAT
K
etika perang Badar usai yang melibatkan kurang lebih 300 tentara muslim melawan 1000 tentara kafir quraisy yang berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin, hal ini membawa kegembiraan tersendiri bagi para sahabat. Namun kegembiraan ini terhenti seketika, tatkala Rasulullah SAW. Mengucapkan selamat datang kepada para pejuang Islam dan menyatakan bahwa perang badar yang telah usai tersebut hanyalah sebuah perang kecil, sedangkan perang yang lebih besar sedang menanti dan berada di depan mata. Sabda Rasulullah SAW : 21
Apa gerangan peperangan yang besar itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah peperangan melawan hawa nafsu. Di dalam diri kita ini terdapat dua bentuk nafsu yang bertolak belakang, yakni Nafsu Rububiyah (nafsu yang baik dan membangun/konstruktif) yang apabila dimanfaatkan akan melahirkan tindakan-tindakan dinamis dan berkemajuan. Sebaliknya, terdapat pula nafsu yangmerusak, destruktif, yang apabila diperturutkan akan mendatangkan kemudharatan dan kerugian yang besar, baik terhadap diri sendiri, bahkan dapat pula merugikan orang lain. Nafsu yang merusak ini adalah seperti Nafsu Syaithaniyah (nafsu syetan), Nafsu Bahimiyah (nafsu kebinatangan), Nafsu Subu’iyyah (nafsu kebuasan, kebiadaban, keserakahan dsb.) dan banyak lagi yang lainnya, merupakan sekumpulan nafsu yang selalu mengajak kepada kejahatan dan kemungkaran yang tentunya perlu selalu kita waspadai setiap saat. Nafsu yang merusak hendaklah selalu kita kendalikan dengan baik. Dan memang mengendalikan nafsu merupakan perjuangan yang amat besar, 22
melebihi perjuangan dalam memenangkan perang badar. Ingatlah, kemenangan dan kebahagiaan hanya mungkin dapat diraih oleh orang-orang yang mampu mengendalikan nafsunya, sebaliknya, kesengsaraan hanya akan menimpa kepada orangorang yang tidak mampu mengendalikan nafsunya dengan kata lain, ia selalu dikendalikan oleh nafsunya. Nampaknya memang perkara terbesar yang sering mencelakakan manusia adalah nafsunya sendiri. Gara-gara nafsu inilah yang telah mengeluarkan Adam dan Hawa dari sorga turun ke dunia (bumi), dari tempat keabadian dan kemuliaan berpindah ke tempat yang fana dan hina, lantaran mereka berdua tidak mampu mengendalikan nafsunya untuk mendekati dan memakan buah terlarang. Begitulah nafsu, ia laksana pedang bermata dua. Di satu sisi, ia sangat diperlukan oleh kita untuk menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini. Sebab tanpa adanya nafsu, hidup dan kehidupan kita akan terasa hambar, tidak bergairah. Tanpa adanya nafsu, tidak akan berkembang keturunan, bahkan tanpa adanya nafsu, tidak akan ada kehidupan. Di sisi lain, bahaya nafsu sungguh sangat dahsyat, ia dapat memusnahkan manusia hingga tak bersisa, bahkan ia dapat memusnahlan apa saja yang ada di bumi ini. Dengan demikian keberadaan nafsu harus kita akui sebagai anugerah yang besar dari 23
Allah SWT. yang perlu kita manfaatkan sedemikian rupa. Menghilangkan atau melenyapkan nafsu yang ada dalam diri kita adalah sesuatu yang tidak mungkin, disamping tindakan ini merupakan suatu keingkaran, dan boleh jadi Allah akan mencap kita menjadi hamba-Nya yang tidak tahu bersyukur. Sebaliknya, membiarkan nafsu bebas berkembang dan bergerak lesuasa, juga merupakan tindakan yang konyol dan dapat membinasakan kita. Lalu bagaimana kita menyikapinya? Yang penting bagi kita mengenai persoalan nafsu ini adalah, pengendaliannya. Kita selalu berupaya mengendalikan nafsu kita. Mana kala nafsu kita berada pada jalur yang diridhai Allah, maka tidak ada salahnya kita salurkan, karena pasti akan mendatangkan manfaat dan kemaslahatan. Namun, manakala nafsu kita mulai menyimpang dan menjerumuskan, kita harus waspada dan perlu mengendalikannya dengan pengendalian ekstra ketat. Diantara sekian banyak jenis dan macam nafsu, terdapat satu nafsu yang sangat penting dan perlu kita kendalikan, adalah Nafsu Syahwat. Nafsu syahwat dikaruniakan oleh Allah SWT. kepada manusia untuk tujuan utama yaitu untuk melestarikan keturunan dan menjaga eksistensinya. Disamping itu, nafsu syahwat merupakan suatu kenikmatan yang diberikan Allah dan merupakan kenikmatan terbesar bagi jasmani. Akan tetapi dibalik 24
kenikmatan terbesar itu, tersimpan pula bahaya yang sangat besar dan mengancam manusia apabila tidak dikendalikan atau tidak disalurkan sebagaimana mestinya. Ketahuilah, nafsu syahwat itu merupakan nafsu yang sangat berbahaya. Jika sedang bergejolak, ia dapat mempengarungi akal pikiran sehingga akal pikiran seolah tak berfungsi lagi. Jika tidak terkendali, ia dapat menjatuhkan derajat manusia ke derajat yang serendah-rendahnya. Sepanjang sejarah manusia, nafsu syahwat yang tidak terkendali telah banyak menjadi penyebab terjadinya kebobrokan dan pertumpahan darah. Al-Qur’a n sendiri telah mencatat bahwa pertumpahan darah pertama yang jatuh ke bumi adalah disebabkan persoalan nafsu syahwat. Simak bagaimana cerita Qabil dan Habil yang berseteru hingga berakhir dengan pertumpahan darah disebabkan nafsu syahwat terhadap kecantikan seorang wanita saudaranya sendiri. Firman Allah SWT. :
َσِ⇑ َΜَΧَ∅َ°َ∏ τَνَΦَϕَ∏ ِτْϖِ…َ↓ َοْΦَ⋅ τُΤْηَ⇓ τَ⇔ ْΓَ⊂ﱠυَχَ∏ َσْ⎜ِΡِΤΝْ⇔↓ “Maka disebabkan oleh hawa nafsu, Qabil menganggap mudah membunuh saudaranya (Habil), 25
sebab itu maka dibunuhnyalah, sehingga menjadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi” (QS. Al-Ma’idah ayat 30). Fitnah yang menimpa Nabi Yusuf a.s juga berkaitan dengan nafsu syahwat seorang wanita yang bernama Zulaikha. Firman Allah SWT. :
ِΓَϕﱠνَ∠َ™ τ™ِ̝Τْηَ⇓ ْσَ⊂°َ©ِΦْϖَ± َِυُ〈 ْ⎡ِΦُ ↓⇔ﱠτْ×َ⎯َ™↓َℵَ™ ِã↓َ↵°َ∈َ⇑ َ⇐°َ⋅ َµَ⇔ َΓْϖَ〈 ْΓَ⇔°َ⋅َ™ َ″↓َυْ±َ⎨ْ↓ َ◊ْυُπِνّφ⇔↓ ُΜِνْηُ⎜َ⎨ τَ↓⎝َ ↓ِ⇓ﱠυْΗَ⇑ َσَΤْ≡َ↓ ْ⎡ِّ™±َℵ τ↓ِ⇓ﱠ “Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu seraya berkata, “Marilah ke sini”, Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik”. Sesungguhnya orangorang yang dzalim tidak akan beruntung” (QS. Yusuf ayat 23). Demikian juga bagaimana kisah dramatis yang dialami oleh seorang ahli ibadah bernama Barshisha di zaman Bani Israil, yang akhirnya mendapat hukuman mati lantaran menghamili dan membunuh seorang purteri raja, karena tipu daya syetan. 26
Setidaknya ada tiga sikap yang ditunjukkan manusia dalam menghadapi nafsu syahwat ini. Ada diantara mereka yang agak berlebihan menyikapinya, sehingga nafsu syahwat dijadikan subyek sekaligus obyek yang dinomorsatukan atau diutamakan. Hampir seluruh hidupnya tercurah untuk memenuhi kepentingan syahwatnya, sehingga nyaris melupakannya untuk mengingat Allah. Jika keadaan ini dibiarkan begitu saja tanpa adanya upayaupaya pengendalian, pada gilirannya nanti dapat membuat seseorang terjerumus ke dalam perbuatan keji dan nista dan ia tidak memperdulikan lagi rambu-rambu larangan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Disamping itu, sikap berlebihan yang seperti ini juga dapat menyeretnya ke perbuatan keji dan nista lainnya sebagai akibat dari dorongan nafsu syahwatnya, seperti mengkonsumsi minuman keras, narkoba dan obat-obat terlarang lainnya dan berjudi. Sikap dan perbuatan manusia yang terlalu berlebihan terhadap nafsu syahwat tentu tidak akan pernah merasa puas dalam melakukan hubungan seksual. Ia akan selalu ganti-ganti pasangan, bahkan mungkin tidak hanya dengan lawan jenis, tetapi juga dengan sesama jenis. Keadaan ini tentu sudah sangat jauh melampaui batas. Binatang saja dalam melakukan hubungan seksual selalu dengan lawan jenis, tidak pernah dengan sesama jenis. Berarti tindakan manusia yang terlalu berlebihan melayani 27
nafsu syahwatnya, tindakan dan prilakunya sudah melebihi prilaku binatang. Sementara itu, ada lagi sebagian manusia yang tidak memperdulikan nafsu syahwatnya. Ia tidak mempunyai gairah sedikitpun terhadap seksual. Keadaan ini bisa jadi lantaran faktor keturunan atau faktor pembawaan sejak lahir, bisa juga lantaran adanya penyakit yang menyerang fisik dan atau psikisnya sehingga mengganggu syaraf-syaraf seksualnya, atau mungkin juga karena disengaja/memang diupayakan untuk menghilangkan nafsu syahwatnya. Jika ketidakbergairahan terhadap seksual ini karena disengaja, maka tentu sikap dan tindakan yang seperti ini tidak dibenarkan, karena dapat memutuskan garis keturunan. Sikap dan keadaan ketiga, adalah keadaan yang wajar, dimana nafsu syahwatnya terkendali. Nafsu syahwatnya tunduk terhadap akal dan hukum syara’. Sikap dan keadaan inilah yang ideal, yang dikehendaki oleh Islam, yang selaras dengan kehendak dan tujuan syari’at. Setiap manusia yang normal selalu dianugerahi Allah nafsu syahwat. Hanya kita sajalah lagi bagaimana menyikapinya dan ke arah mana kita pergunakan. Jika nafsu syahwat kita sikapi dengan wajar dan kita pergunakan sesuai dengan tuntunan syari’at, maka nafsu syahwat kita akan mendapat 28
rahmat dari Allah SWT. yang pada gilirannya dapat membawa manusia kepada kebahagiaan hidup, baik di dunia kini mapun di akhirat nanti. Namun sebaliknya, jika nafsu syahwat kita sikapi dengan tidak sewajarnya dan kita pergunakan sebebas-bebasnya tanpa kendali, maka nafsu syahwat kita akan mendapat laknat dari Allah SWT. dan nafsu syahwat yang dilaknat oleh Allah SWT. sifatnya liar, buas dan ganas yang pada gilirannya akan menggiring manusia ke lembah hina dan nista dengan menawarkan kesengsaraan yang berkepanjangan. Ingatlah peringatan Allah SWT. :
ِ⁄υﱡΤ⇔ِ°± ٌ≥َℵ°َ⎡ َ⎨َ⇑ﱠΤْηﱠρ⇔↓ ِ⎡ْ ↓ِ◊ﱠΤْηَ⇓ ُ→ِّΡَ±ُ↓°َ⇑َ™ ٌθْϖِ≡ﱠℵٌℵْυُηَ∠ ⎡ِّ™±َℵ ™ِّ⎡ْ ↓ِ◊ﱠ±َℵ َθِ≡َℵ°َ⇑↓ِ⎨ﱠ “Dan aku tidak akan membebaskan diriku dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu syahwat itu mendorong manusia kepada kenistaan, kecuali nafsu syahwat yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Yusuf ayat 53). Tak bisa kita mungkiri, belakangan ini sangat banyak jenis dan corak lagu dan syair yang dapat menumbuhsuburkan nafsu syahwat. Terlebih-lebih bagi generasi muda. Lagu dan syair penumbuh 29
suasana syahwati tersebut kerapkali dapat melambungkan lamunan generasi muslim, yang untuk kemudian mengkristal menjadi ruh dari bagian gaya hidupnya. Hingga karenanya, telinga bagaikan tuli dan lidah terasa pahit bila sehari saja tak menyenandungkan lagu dan syair tersebut. Bercerita tentang cinta, binar di dua bola matamu, rona memerah di pipimu, senyum kecil di bibirmu dan ratusan pujian serupa yang dilontarkan oleh sang kekasih yang lagi dilanda asmara, dapat membangkitkan birahi, apalagi jika ditunjang oleh penampilan sang kekasih yang aduhai, maka tidak mustahil akan dapat menyeret muda-mudi yang dilanda kasmaran ke onggokan cinta terlarang yang membuahkan kesengsaraan dan kehinaan. Lebih kronis lagi, sulutan api asmara belakangan ini semakin besar, ini terlukis dalam dunia layar perak/kaca dan media cetak maupun elektronik, di mana sajian-sajian adegan seks yang vulgar, jorok dan menjijikkan sudah mulai merebak dan memasuki ke pelosok-pelosok tanah air. Nafsu syahwat yang merupakan karunia Allah yang begitu indah berubah fungsi menjadi ajang komoditi mencari keuntungan besar. Norma-norma yang berlaku dalam tatanan kehidupan, tidak lagi menjadi pegangan. Sekian banyak wanita-wanita muda yang antrian panjang berebut kursi popularitas, hingga siap melepaskan seluruh auratnya. Tubuh wanita dijadikan 30
tontonan menarik pengobar nafsu syahwat. Bahkan sekujur tubuhnya yang merupakan asset berharga didayagunakan sedemikian rupa menjadi alat yang ampuh untuk menjerat dan menjebak pria, karena memang secara seksiologis dan fisiologis telah dimaklumi dan menjadi hukum alam bahwa wanita yang berpenampilan seksi merupakan faktor utama yang dapat menumbuhkan daya tarik kaum pria. Itulah sebabnya, peristiwa tentang seorang pria yang bertekuk lutut di bawah kerlingan wanita, bukan sekedar menggejala, tapi sudah memasyarakat bahkan mungkin sudah membudaya. Fakta sejarah telah membuktikan, seperti sosok Julius Caesar yang gagah perkasa, terpedaya di bawah kerlingan Cleo Patra. Demikian juga Napoleon Bonaparte yang dijuluki Singa Daratan Eropah, ternyata tunduk di bawah goyang domretnya Margaret Yosepin. Tak kalah dahsyatnya, seorang senator dari Partai Demokrat Gary Hart sempat terpental jauh dari pencalonannya menjadi Presiden Amerika Serikat lantaran kuatnya keris asmara yang di tancapkan Dona Rice terhadapnya, sehingga membuatnya tak berdaya dan menggagalkan karirnya. Juga yang dialami Perdana Menteri Uno, dia ambruk dari kursi emasnya, dikarenakan kuatnya pesona Geisha kekasihnya. Sebagian cerita negarawan dan pemimpin yang jatuh runtuh di pelukan wanita tersebut di atas merupakan bukti kongkrit dari betapa besarnya pengaruh wanita di dalam menumbuhkan 31
dan membangkitkan nafsu syahwat. Sebuah pendapat filosofi mengungkapkan, “Apabila nafsu birahi seorang pria terhadap seorang wanita telah bangkit, maka hilanglah dua pertiga akalnya”. Rasulullah SAW. bersabda, yang artinya : “Tidak ada satu cobaan yang terjadi sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi kaum pria yang melebihi berbahayanya berbagai cobaan, kecuali cobaan yang berhubungan dengan soal wanita” (HR.Muslim). Kemudian dalam hadits lain disebutkan :
⎛⇔°َ∈َ× َã↓ َ≥ٌ ™َ↓ِ◊ﱠΡِΖَ… ٌ≥َυْνُ≡°َϖْ⇓ﱡΠ⇔↓ ↓ِ◊ﱠ ↓υُϕ×ﱠ°َ∏ َ◊ْυُνَπْ∈َ× َιْϖَ∧ُΡُφْρَϖَ∏°َ©ْϖِ∏ ْθُλُηِνْΝَΦْΤُ⇑ ْ⎛ِρَ± ِΕَρْΦِ∏ َ⇐ِ◊ﱠ ↓َ™ﱠ°َ∏ َ⁄ƒَΤِّρ⇔↓↓υُϕ ™َ↓×ﱠ°َϖْ⇓ﱡΠ⇔↓ ِ⁄ƒَΤِّρ⇔↓ ِ ْΓَ⇓°َ∧َοْϖِ←↓َΡْℜِ↓ “Sesungguhnya dunia ini diciptakan sangat indah dan menarik hati. Dan Allah mempersilahkan kepadamu untuk menikmatinya dan bagaimana memperlakukannya. Namun, berhati-hatilah terhadap dunia. 32
Dan berhati-hatilah pula terhadap wanita. Karena sesungguhnya pertama kali terjadi fitnah di kalangan Bani Israil, disebabkan oleh wanita” (HR. Muslim). Begitulah keberadaan wanita, ia ternyata mampu menggoncang dunia tanpa harus mengangkat senjata. Cukup dengan senyum, kerlingan mata dan kemulusan tubuhnya, mereka mampu membumihanguskan dunia. Oleh karena itu, dalam menyikapi keberadaan wanita, Islam dengan bijaksana telah mengatur sedemikian rupa tentang kehidupan wanita. Dalam hal berpakaian misalnya, wanita muslimah dibolehkan mengenakan pakaian apapun yang disenanginya di hadapan anggota keluarganya atau diantara teman-teman wanitanya. Namun, apabila ia ke luar rumah atau apabila ada pria selain anggota keluarganya (bukan mukhrim), ia wajib menutupi seluruh auratnya. Rasulullah SAW. bersabda :
ُã↓ َ¬َΡَ…°َ©ِΦْϖَ± ِΡْϖَ∠ ِ°َ©َ±°َϖِ∂ ْΓَ⊂َΣَ⇓ ٍ≥َ↓َΡْ⇑↓°َπ↓َ⎜ﱡ ®َΡْΦِℜ°َ©ْρَ⊂ “Siapa saja dari seorang wanita yang membuka pakaian (auratnya) di ruar rumah, maka Allah pasti akan merobek tirai kehormatannya” (HR. Ahmad, 33
Thabrani dan Bazaar dari Aisyah). Kemudian beliau bersabda pula :
°َ©َ∏َΡْςَΦْℜِ↓°َ©ِΦَϖَ± ْσِ⇑ ْΓَ÷َΡَ…↓َ↵ِ°َ∏ ٌ≥َℵْυَ⊂ ُ≥َ↓ْΡَπْ⇔َ↓ ُ◊°َχْϖﱠς⇔↓ “Wanita itu aurat, maka apabila ia keluar rumah, berdiri tegaklah syetan padanya” (HR. Turmidzi dari Ibnu Mas’ud). Bila kedua hadits ini dianggap belenggu yang merantai kebebasan kaum wanita, maka dapatlah dipastikan hujan birahipun tak dapat dihindari lagi hingga dengan mudahnya wanita-wanita bergentayangan di jalan-jalan raya, di tempat diskotek, di bar dan resturan, di hotel-hotel dan ditempat-tempat hiburan lainnya, dengan mempertontonkan kemolekan tubuhnya untuk membangkitkan nafsu syahwat kaum pria. Apa upaya yang dilakukan Islam untuk membentengi ummatnya dari pengaruh nafsu syahwat ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah dengan pernikahan dan atau puasa. Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah SAW. bersabda : 34
≥َ َ⁄°َΧْ⇔↓ ُθُλْρِ⇑ َ⊆°َχَΦْℜ↓ ِσَ⇑ َ″°َΧﱠς⇔↓َΡَςْ∈َ⇑°َ⎜ ِ≠َΡَηْνِ⇔ ُσَΞْ≡َ↓َ™ ِΡَΞَΧْνِ⇔ﱡαَ∠َ↓ τَّ⇓ِ°َ∏ ْ≠َ™ﱠΣَΦَϖْνَ∏ ٌ⁄°َ÷َ™ τَ⇔ τِ⇓ﱠ°َ∏ ِ⇒ْυﱠΞ⇔ِ°± ِτْϖَνَ∈َ∏ ْ∉ِχَΦْΤَ⎜ ْθْ⇔ﱠσَ⇑َ™ “Wahai para pemuda, siapa yang mampu diantara kamu serta berkeinginan hendak kawin, hendaklah dia kawin, karena sesungguhnya perkawinan itu akan memejamkan mata (terhadap orang-orang yang tidak halal dilihat), dan akan memeliharanya (dari godaan syahwat). Siapa yang tidak mampu kawin, hendaklah dia berpuasa, karena dengan berpuasa nafsu syahwatnya terhadap wanita akan berkurang” (HR. Bukhari). Dengan adanya pernikahan, insyaAllah masyarakat akan terhindar dari dekadensi moral dan kerusakan sosial. Karena bagaimanapun juga naluri kecenderungan seksual hanya akan dapat dipuaskan melalui pernikahan yang sah. Disamping itu, dengan adanya pernikahan, insyaAllah masyarakat akan terhindar dari penyakitpenyakit kelamin yang tersebar akibat pergaulan bebas dan perzinahan, seperti penyakit Gonorhoe (radang pada rahim bagi wanita dan kedua buah biji kelamin pada pria), penyakit bernanah pada alat kelamin, penyakit cacar lunak, penyakit syphilis, 35
penyakit kematangan seksual dini, aids/HIV dan sebagainya. Naluri seksual itu sesungguhnya dapat pula dibimbing dan dididik serta dikendalikan melalui ibadah puasa. Dengan berpuasa di bulan Ramadhan, kita dilatih untuk menahan diri dari apapun yang dapat membatalkan dan merusak nilai puasa, termasuk menahan diri dari pengaruh nafsu syahwat, yakni tidak melakukan hubungan seksual suami isteri pada siang hari. Dengan berpuasa di bulan Ramadhan, akan membuka kesadaran bagi kita bahwa segala aktivitas keseharian (rutinitas) yang kita lakukan tidak mesti dilakukan terus menerus, namun diperlukan istirahat agar tidak cepat jenuh, supaya sehat dan tidak merasa ketergantungan, yang pada gilirannya nanti dapat berpengaruh terhadap ketahanan mental dan fisik kita. Meskipun melakukan hubungan suami isteri itu halal, namun dengan berpuasa kita dilatih untuk melakukan pengendalian di siang hari. Hal ini tentu akan berdampak positif terhadap upaya-upaya pengendalian nafsu syahwat agar kita tidak mudah terperangkap oleh penjaja seks murahan. Kita tidak akan tergiur oleh PIL (Pria Idaman Lain) atau WIL (Wanita Idaman Lain) atau yang lebih populer 36
dengan istilah perselingkuhan, kendati nikmat tapi membawa laknat.
4
MENAHAN DIRI DARI NAFSU AMARAH
ddddd
37
A
marah adalah salah satu dari gerakan nafsu yang seketika meluap karena adanya rangsangan terhadap emosi, cenderung menjadi semacam senjata yang dapat mempengarungi kestabilan diri sendiri dan orang lain. Sebenarnya sikap dan tindakan marah merupakan sebuah upaya untuk mempertahankan diri dan untuk melepaskan kejengkelan, rasa dendam dan sebagainya. Bila marah datang tanpa ditahan dengan hati dan akal sehat sebelum menjalar, ia tak obahnya laksana nyala api yang membakar kayu kering, apabila tidak segera disiram dengan air, 38
maka apinya akan semakin besar dan dapat menghanguskan apa saja yang ada di sekitarnya. Pada saat orang marah maka darah yang ada di tubuhnya naik, bagaikan uap memenuhi ruangan yang ada di otak, sehingga pandangannya gelap, kalap, seakan tak sanggup lagi berpikir jernih. Ketika itu pertimbangan hilang, akal tertutup, pikiran tersentak, karena emosi telah menyelimuti hati dan urat syaraf. Sehubungan dengan ini, tepatlah apa yang dimisalkan oleh seorang hukama terkenal : “Orang yang sedang marah adalah laksana gua batu yang terbakar. Api terkurung di dalamnya dan angin yang masuk mengipasnya sehingga menambah nyalanya. Gua semakin panas dan siap membakar apa saja, bahkan batu sekalipun, semuanya jadi bara yang hitam memerah. Meski ada orang berupaya untuk menyiramnya, maka air penyiram itu berubah menjadi minyak yang justeru akan menambah nyala apinya”. Begitulah, kalau kemarahan dibiarkan tanpa ditahan, ia dapat mematikan hati dan akal, ia dapat menulikan telinga dan membutakan mata, sehingga tepatlah apa kata orang bijak : “Anda tak akan menemukan sesuatu dengan marah. Akan tetapi, anda akan kehilangan sesuatu karena marah”. Kalau kita sedang marah, seperti yang dapat kita lihat pada orang lain yang sedang marah, wajah kita menjadi merah menakutkan. Disebabkan ciri ini, maka orang yang sedang marah bisa disebut 39
sedang naik darah, karena pada saat kita marah, darah kita naik ke kepala, mata kita terbelalak dan biji mata kita sekan-akan mau keluar dari kelopaknya. Jari-jari tangan bergetar, gigi kita terkatup rapat seolah-olah mau mengigit orang yang kita marahi, gerakan badan kita menjadi tidak beraturan dan beberapa perubahan pada fisik lainnya. Seandainya seseorang yang sedang marah melihat dirinya di muka cermin, niscaya akan meredalah kemarahannya, karena malu melihat keadaan fisiknya seperti itu. Disamping itu, orang yang sedang marah, ucapannya menjadi tidak terkontrol lagi. Keluarlah kata-kata yang tidak enak di dengar. Meluncurlah berbagai makian, celaan, hinaan dan kata-kata yang menyakitkan yang apabila di dengar oleh orang yang berakal sehat, dia akan merasa risih dan bahkan orang yang sedang marah itu sendiri merasa risih dan malu terhadap apa yang ia ucapkan tersebut ketika kemarahannya reda. Pengaruh orang yang sedang marah, sungguh sangat berbahaya, karena orang yang lagi marah ada keinginan untuk memukul, melukai, merobek pakaian bahkan membunuh orang lain yang sedang dimarahinya. Jika amarah itu tidak tersalurkan pada obyek yang dimarahinya, kekesalannya akan berbalik kepada dirinya sendiri. Ia akan merobek-robek pakaianya sendiri, memukuli tubuhnya, kadang 40
kala memukulkan tangannya ke dinding, ke meja atau ke tanah. Melemparkan piring, memukul binatang yang ada di dekatnya, bahkan saking kesalnya ia bisa pingsan tak sadarkan diri. Amarah timbul bisa disebabkan oleh faktor jasmani dan bisa pula disebabkan oleh faktor rohani. Penyebab amarah yang dipengaruhi oleh faktor jasmani, antara lain : 1. Kelelahan yang berlebihan. Misalnya orang yang terlalu lelah karena kerja seharian seringkali mudah tersinggung dan mudah marah; 2. Karena kelebihan atau kekurangan zat-zat tertentu dalam tubuh yang dapat menyebabkan marah. Misalnya jika otak kurang mendapat zat asam, maka seseorang akan cenderung marah; 3. Ketidakstabilan hormon kelamin juga dapat menyebabkan marah. Misalnya ketika sang ibu sedang haid, biasanya suka marah-marah; Adapun faktor rohani yang mempengaruhi amarah, erat sekali kaitannya dengan kepribadian seseorang, terutama yang menyangkut self concept yang salah atau anggapan yang salah terhadap diri sendiri, seperti : 1. Rasa rendah diri ( MC =Minderwaardigheid Com41
plex). Yaitu menilai diri sendiri lebih rendah dari yang semestinya. Orang ini akan mudah sekali tersinggung dan marah, karena setiap orang yang memcoba memberi masukan atau saran atau memberikan pujian dan penghargaan, selalu dianggapnya merendahkan dirinya; 2. Rasa Sombong (Superiority Complex), yaitu menilai diri sendiri melebihi kenyataan yang semestinya. Orang yang sombong seringkali menempatkan dirinya sendiri lebih dari orang lain, sehingga sedikit saja kalau ada orang lain yang mencoba memojokkannya atau merendahkannya ia akan tersinggung sekali dan marah; 3. Terlalu egois (egoistis), yaitu terlalu mementingkan diri sendiri atau menilai dirinya lebih penting dari orang lain. Orang yang egois biasanya suka memaksakan kehendak, seakan-akan dia sajalah yang benar, dia sajalah yang mampu, sehingga jika ada orang lain yang mecoba menentang kehendaknya, dia akan tersinggung dan marah; Setidaknya ada tiga tingkatan marah yang bisa terjadi dan dialami oleh seseorang, yaitu : 1. Marah yang berlebih-lebihan. Ini terjadi ketika seseorang telah didominasi oleh nafsu amarahnya, sehingga akal sehatnya tidak berfungsi lagi, imannya seakan lumpuh dan tak mampu lagi membentenginya. Keadaan ini jika tidak diantisipasi segera, dapat mengakibatkan sesuatu yang 42
yang fatal; 2. Relatif tidak pernah marah. Sikap dan tindakan seperti ini tentu saja tidak dikehendaki. Imam Syafi’i pernah berkata, “Siapa yang dituntut oleh suatu kondisi yang seharusnya ia marah, ternyata tidak marah, ia tak lebih dari seekor keledai”; 3. Kondisi marah yang seimbang. Inilah yang dikehendaki, dimana seseorang hanya akan marah setelah mendapat isyarat dari akal dan agama. Ketika nafsu amarah terpancing pada kondisi yang mengharuskan ia marah, maka iapun marah, tetapi akan segera reda ketika kondisi mengharuskannya santun dan memaafkan; Kaitannya dengan tiga hal di atas, Imam AlGhazali mensitir, menurut beliau ada tiga sikap dan tindakan marah yang ditunjukkan oleh seseorang. Ada seseorang yang cepat sekali marah dan lama berhentinya. Ada juga yang cepat marah, tetapi cepat pula berhentinya. Dan yang terakhir, ada seseorang yang lambat marahnya, namun cepat berhentinya. Yang ketiga inilah yang ideal. Menurut Islam, marah itu ada yang terpuji, ada pula yang tercela. Marah yang terpuji adalah marah karena mempertahankan kehormatan dan marah karena mempertahankan agama. Jika misalnya nama baik kita dan anggota keluarga kita dicemarkan orang, seperti dihina, 43
direndahkan, dilecehkan, difitnah dan sebagainya, maka wajar kalau kita marah. Jika anggota keluarga kita ada yang tidak mau shalat padahal kewajiban shalat telah mensyaratkannya, maka wajar juga kalau kita marah. Rasulullah SAW. bersabda, yang artinya : “Sebaik-baik ummatku adalah yang keras sikapnya didalam menjalankan hukum-hukum agama”. Seorang muslim wajib marah dan segera melakukan tindakan pencegahan, jika ia melihat dan menyaksikan kemungkaran terjadi di sekitarnya. Rasulullah SAW. bersabda :
ْθِ◊ْ ⇔ﱠ°َ∏ ِ®ِΠَϖ±ِ ُ®ُΡِّ™ϖَ®ُϖْνَ∏ ↓ًΡَλْρُ⇑ ْθُλْρِ⇑ ∑َ↓ﱠℵ ْσَ⇑ ِτΧِْνَϕΧَِ∏ ْ∉ِχَΦْΤَ⎜ ْθِ◊ْ ⇔ﱠ°َ∏ ِτِ⇓°َΤِνΧَِ∏ ْ∉ِχَΦْΤَ⎜ ◊ِ°َπْ⎜ِ⎨ْ↓ ُιَ∈ْ∪َ↓ َµِ⇔↓َ↵َ™ “Siapa saja diantara kamu yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu. Jika kamu tidak mampu, maka cegahlah dengan lisanmu. Dan jika kamu tetap tidak mampu, maka cegahlah dengan hatimu (sekurang-kurangnya tidak suka/marah dengan kemungkaran tersebut), namun yang terakhir ini merupakan pertanda lemahnya iman” (HR. 44
Muslim). Orang yang tidak menampakkan kemarahannya terhadap kemungkaran, oleh Islam dianggap dosa. Apalagi jika ia bersikap dingin dan apatis sehingga seolah-olah ia setuju dengan kemungkaran tersebut, maka orang ini lebih berdosa lagi. Dalam sebuah dialog, Rasulullah SAW. pernah ditanya oleh para sahabatnya :
Seorang muslim bukan tidak boleh marah, boleh-boleh saja marah, namun tatkala kita marah maka segeralah kendalikan. Begitu kita marah karena kesalahan orang lain, maka segeralah memberikan maaf kepadanya.
ْθَ∈َ⇓ :َ⇐°َ⋅ : َ◊ْυُΛ⇔ِ°ﱠΞ⇔↓°َ©ْϖِ∏َ™ ُ⊃ْℵَ⎨ْ↓ ُιَΤْΝُ×َ↓ ⎛ِ∅°َ∈ْ⇔↓ ِοْ〈َ↓ ⎛َνَ⊂ ْθُ©َ∧َΡَ×َ™ ْθِ™©ِΦَ⇑َ™↓َΠُπِ⇔
∑υْϕﱠΦνِ⇔ ُ″َΡْ⋅َ↓∞ْυُηْ∈َΦْ⇓َ↓َ™
“(Ya Rasulullah), apakah mungkin bumi akan digoncang gempa, padahal di tempat ini banyak orang yang shaleh? Rasulullah menjawab : Ya, karena keshalehannya ia gunakan untuk memberikan loyalitas dan membiarkan para pelaku melakukan maksiat”. Adapun marah yang tercela adalah marah yang bukan pada tempatnya, marah karena kesombongan dan marah karena iri dengki. Misalnya cepat marah karena hanya tersinggung terhadap persoalan yang ringan, marah karena tidak diperhatikan orang lain atau mempermasalahkan dan meributkan sesuatu yang tidak bermanfaat sehingga timbullah amarah. 45
Allah SWT. Berfirman :
“Dan jika kamu mau memaafkan, cara itulah yang lebih mendekati ketaqwaan” (QS. Al-Baqarah ayat 237). Barangkali kita semua sepakat, bagaimanapun juga, sikap dan tindakan marah, terutama marah yang tercela, tidak akan menguntungkan sedikit juapun. Malah sebaliknya, marah yang berlebihan, marah yang meluap-luap dapat membawa akibat fatal si pelakunya. Orang yang menderita penyakit TBC, asma, hypertensi dan penyakit jantung sangat riskan dengan tindakan marah, maka itu jauhi dan hindari sikap dan tindakan marah, karena dapat memperberat penyakitnya. Disamping itu, hasil dari kemarahan sangat buruk buat kita, diantaranya dapat memperbanyak musuh dan mengurangi teman. Orang yang suka marah tidak akan mendapat 46
simpati orang lain. Boleh jadi orang yang marah merasa bangga dan menang karena dapat memarahi orang lain. Tetapi sebenarnya kemenangannya itu tak lebih hanyalah sebuah tipuan yang suatu saat dapat menyeretnya kepada kekalahan yang berkepanjangan. Sebab, dengan menyakiti orang lain karena kemarahannya, dapat menghancurkan hubungan baik dan akan menjatuhkan harkat dan martabatnya di mata orang lain. Coba saja buktikan sendiri. Misalnya anda menjabat seorang atasan pada sebuah kantor. Karena anda dikenal sebagai seorang atasan yang pemarah, diktator, maka tentu bawahan akan takut mendekati anda. Anda seorang pedagang, tetapi pemarah, pembeli akan takut berbelanja. Anda seorang majikan, tapi pemarah, para pembantu akan ketakutan dan akhirnya tak ada yang mau bekerja membantu anda. Guru yang pemarah akan dibenci muridnya, suami yang pemarah tidak akan dicintai oleh anak-anak dan isterinya, demikian sebaliknya. Demikianlah keburukan dan tercelanya sikap dan tindakan marah. Karenanya dalam berbagai hadits, Rasulullah mengingatkan, “Janganlah marah, janganlah marah !!!”. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW. bersabda : “Wahai Rasulullah, suruhlah aku mengerjakan suatu 47
perbuatan dan aku sedikit mengerjakannya”. Rasulullah SAW. menjawab, “Janganlah engkau marah”. Kemudian orang itu mengulangi pertanyaannya sampai dua kali, dan jawaban Rasulullah tetap sama, “Janganlah engkau marah” (HR. Bukhari dan Ahmad). Ibnu Umar ra. Berkata kepada Rasulullah SAW : “Katakanlah kepadaku satu ucapan dan aku sedikit mengerjakannya dengan harapan aku selalu mengingatnya”. Rasulullah SAW. menjawab : “Jangan marah”. Aku mengulangi pertanyaan serupa sampai dua kali, tapi beliau tetap berkata : “Jangan marah” (HR. Abu Ya’la dan Ahmad). Dari Abdullah bin Umar ra. mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW : “Ya Rasulullah, apa yang dapat menjauhkan aku dari murka Allah SWT?”. Rasulullah SAW. menjawab: “Jangan engkau marah”. Dari Ibnu Mas’ud ra. disebutkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Bagaimana pandangan kalian tentang siapa orang yang perkasa itu?”. Kami menjawab : “Orang yang kuat dan tak terkalahkan oleh orang lain”. Beliau menyanggah : “Bukan itu”. Kami lalu bertanya : “Kalau begitu, siapa ya Rasulullah?”. Rasulullah menjawab : “Orang yang mampu mengendalikan diri tatkala marah” (HR. Muslim). 48
Memang mengendalikan nafsu amarah bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi jika hal itu terjadi pada seseorang yang punya peluang (keberanian) secara mental dan fisik untuk meluapkan amarahnya. Mengendalikan nafsu amarah memerlukan latihan-latihan yang rutin dan efektif. Puasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu cara sekaligus upaya yang strategis didalam pengendalian nafsu amarah. Betapa Rasulullah SAW. berkeinginan agar puasa di bulan Ramadhan ini menjadi sarana latihan untuk menahan amarah dan mempertebal kesabaran. Sampai-sampai beliau menyatakan :
°ًπِ←°َ∅ ْθُ∧ُΠَ≡♣َ َ◊°َ∧↓َ↵↔َِ∏ ٌΕﱠρُ÷ ُ⇒°َϖِّΞ⇔َ↓ ُτَπَ×°َ⊗ْ™♣َ ُτَνَ×°َ⋅ ٌ♥ُΡْ⇑↓ ِ◊↔َِ∏ ْοَ©ْϑَ⎜َ⎨َ™ َΙَ∏ْΡَ⎜َζَ∏ (ِσْϖَ×ﱠΡَ⇑) ٌθِ←°َ∅ ⎛ِّ⇓♠ِ : ْοُϕَϖْνَ∏ “Puasa itu merupakan benteng. Maka jika salah seorang diantara akamu berpuasa, maka janganlah ia berkata keji dan mencaci maki sesama. Seandainya ada orang yang mengajak berkelahi atau memarahi/ mencaci maki, hendaklah dikatakan kepadanya : “Saya ini sedang berpuasa” (tiga kali)” (HR. Bukhari 49
dan Abu Daud). Maksud pernyataan Rasulullah SAW. ini adaah agar kita selama menjalankan ibadah puasa jangan memperdulikan orang yang sedang mengejek kita, orang yang sedang mencaci maki kita, orang yang sedang menggunjing kita dan sebagainya. Jangan kita layani orang yang sedang memarahi kita, orang yang sedang memancing kemarahan kita. Hadapilah semuanya dengan sabar dan lapang dada. Konsentrasikanlah hati dan pikiran kita bahwa kita saat ini sedang beribadah puasa karena Allah. Ingatlah, berpuasa itu pada hakikatnya adalah latihan menahan kesabaran. Rasulullah SAW. bersabda :
ِΡْΧﱠΞ⇔↓ ُιْΞِ⇓ ُ⇒ْυﱠΞ⇔َ↓ “Puasa adalah separuh dari sabar”. Dengan latihan kesabaran terutama sabar menahan amarah selama berpuasa di bulan Ramadhan ini, mudah-mudahan mampu menetralisir nafsu amarah yang bersarang di diri kita. Selanjutnya,agar kepribadian kita menjadi relatif matang, sehingga dengan kematangannya dapat menciptakan pribadi yang relatif kebal, 50
dan tidak sensitif terhadap pengaruh amarah, maka tidak diragukan lagi bahwa dengan berpuasa di bulan Ramadhan yang tujuan utamanya mengantarkan pribadi muslim menjadi pribadi yang taqwa, pribadi yang matang dan seimbang, maka peluang yang baik di bulan Ramadhan ini dapat dijadikan sarana yang efektif untuk membangun benteng yang ampuh dalam rangka memperkuat pertahanan terhadap pengaruh nafsu amarah yang sering datang bertubi-tubi yang apabila diperturutkan dapat menimbulkan tindakan negatif yang sangat merugikan. Menurut Al-Qur’an disebutkan bahwa salah satu ciri orang yang bertaqwa adalah orang yang suka memaafkan orang lain diwaktu lapang maupun diwaktu sempit serta dapat menahan nafsu amarah yang ada dalam dirinya. Terkait dengan taqwa ini, maka bila kita ingin beribadah untuk mencapai sasaran yang diinginkan, maka tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali harus bisa menjadi orang yang suka memaafkan orang lain dan menjadi orang yang mampu mengendalikan amarah, sebab hanya dengan cara itulah, semua persoalan yang kita hadapi bisa diselesaikan dengan baik. Ketahuilah, kebiasaan menahan nafsu amarah merupakan kebiasaan para Nabi dan Rasul. 51
Pada suatu hari Rasulullah SAW. pernah diludahi oleh seseorang, karena dia sangat benci kepada beliau. Rasulullah tenang saja, tidak marah. Minggu berikutnya, beliau diludahi lagi oleh dia. Lagi-lagi beliau tenang, tidak menunjukkan kemarahannya. Minggu ketiga, beliau lewat lagi di depan rumah orang itu, ternyata dia tidak ada. Rasulullah kemudian bertanya kepada orang yang tinggal di dekatnya: “Kemana si pulan?”. Dia menjawab : “Orang tersebut sedang sakit, ya Rasulullah”. Mendengar jawaban demikian, kemudian Rasulullah segera menjengok orang itu. Tentu saja kedatangan Rasulullah ini membuat dia kaget dan malu. “Maafkan atas perlakuanku yang kurang baik terhadapmu, ya Rasul Allah”. Rasul memaafkan orang itu, dan membimbingnya untuk bertobat kepada Allah. Ada tujuh keutamaan yang diberikan Allah SWT. kepada orang yang mampu menahan amarahnya. 1. Memperoleh ampunan dan pahala Sorga Allah SWT. berfirman :
°َ©ُ∪ْΡَ⊂ ٍΕﱠρَ÷َ™ ْθُλِّ™±ﱠℵ ْσِّ⇑ ٍ≥َΡِηْ®َ⇑ ⎛⇔ِ↓∞ْυُ⊂ℵِ°َℜَ™ َσْ⎜ِΘَ ↓َ⇔ﱠσْϖِϕﱠΦُπْνِ⇔ ْ∝ﱠΠِ⊂ُ↓ ُ⊃ْℵَ⎨ْ↓َ™ ِ∝υπﱠΤ⇔↓ َσْϖِπِε°َλْ⇔↓َ™ ِ⁄∞ﱠΡﱠΖ⇔↓َ™ ِ⁄∞ﱠΡﱠΤ⇔↓ ِ َ◊ْυُϕِηْρُ⎜ 52
ِ∆ﱡΛُ⎜ ُã↓َ™ ِ℘°ﱠρ⇔↓ ِσَ⊂ َσْϖِ∏°َ∈ْ⇔↓َ™ َγْϖَ®ْ⇔↓ َσْϖِρِΤْΛُπْ⇔↓ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada Sorga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orangorang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik diwaktu lapang maupun diwaktu sempit, dan orang-orang yang mampu menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah menyukai orangorang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imran ayat 133 dan 134). 2. Disetarakan dengan derajat para Nabi dan Rasul dan mendapat pelayanan yang istimewa dari para Bidadari di Sorga. Rasulullah SAW. bersabda :
®ُ°َ⊂َ⎯ ُ®َΘُηْρَ⎜ ْ◊َ↓ ُ∉ْϖِχَΦْΤَ⎜ َυُ〈َ™ °ًφْϖَ∠ َθَφَ∧ْσَ⇑ ِκِ←َζَΝْ⇔↓ِ℘ْ™ُ⁄ُℵ ⎛َνَ⊂ ِΕَ⇑°َϖِϕْ⇔↓َ⇒ْυَ⎜⎛َ⇔°َ∈َ× ُã↓ ِ⁄ƒَ⊗ℵِْυُΛْ⇔↓ ّ⎝ِ♣َ ِ “Barangsiapa mampu menahan amarah padahal 53
dia mempunyai keberanian untuk meluapkannya, maka pada hari kiamat Allah akan memanggilnya dengan derajat para pembesar makhluk (Nabi dan Rasul), sehingga Allah memberikan pilihan kepadanya untuk mendapatkan bidadari yang mana yang ia suka”. 3. Menyelamatkan dari azab Allah Rasulullah SAW. bersabda :
ُτَΧَΖَ∠⎛َ⇔°َ∈َ× ُã↓ َ∉َ∏ َ⎯ ُτَΧَΖَ∠ َ∉َ∏ َ⎯ ْσَ⇑ “Barangsiapa dapat menahan nafsu amarah (pada waktu ia mampu meluapkannya), Allah akan menolak azab darinya” (HR. Thabrani). 4. Mendapatkan pahala yang sangat besar Rasulullah SAW. bersabda :
ِΕَ⊂ْΡُ÷ ْσِ⇑ ِã↓َΠْρِ⊂↓ًΡْ÷♣َ ُθَφْ⊂♣َ ٍΕَ⊂ْΡُ÷ْσِ⇑°َ⇑ ⎛َ⇔°َ∈َ× ِã↓ ِτْ÷َ™ َ⁄°َ®ِΦْ±ِ↓ ٌΠْΧَ⊂°َ©َπَφَ∧ٍγْϖَ∠ “Tidak ada satu perbuatan yang akan memberikan pahala yang lebih besar di sisi Allah, kecuali perbuatan menahan amarah ketika seseorang hamba mampu menahannya semata-mata hanya mencari keridhaan Allah SWT” (HR.Ibnu 54
Majah). 5. Terpelihara dari segala musibah dan kesulitan hidup di dunia dan akhirat 6. Mendapat rahmat Allah SWT. 7. Mendapat kecintaan Allah SWT. Rasulullah SAW. bersabda :
τِ ِηَρَ∧ِ ⎛َ⇔°َ∈َ× ُã↓ ُ®↓َ™∞ ِτْϖِ∏ ﱠσُ∧ْσَ⇑ ٌ•َζَ∂ ْσَ⇑ : ِτِΦﱠΧَΛَ⇑ ِ ُτَνَ…ْ⎯َ°َ∏ ِτِΦَπْ≡َΡ±ِ ِτْϖَνَ⊂ﱠΡّ َℜَ™ َΡَΦَ∏ َ∆َΖَ∠↓َ↵ِ↓َ™ َΡَηَ∠َℵَΠَ⋅↓َ↵ِ↓َ™ َΡَλَ⊗ ⎛َχْ⊂َ↓ “Ada tiga hal yang jika dimiliki oleh seseorang, ia akan mendapatkan pemeliharaan Allah, akan dipenuhi dengan rahmat-Nya dan Allah akan senantiasa memasukkannya dalam lingkungan hamba yang mendapatnya kecintaan-Nya, yaitu : Seseorang yang selalu bersyukur ketika Allah memberinya ni’mat; Seseorang yang mampu meluapkan amarahnya tetapi ditahannya dan ia memberi maaf terhadap kesalahan orang lain; Seseorang yang apabila sedang marah, segera dia hentikan amarahnya tersebut” (HR. Hakim). 55
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan dalam rangka mencegah dan mengatasi nafsu amarah yaitu : 1. Jika suatu waktu nafsu amarah kita muncul dan sulit dikendalikan, Rasulullah SAW. memberikan empat tuntunan, yaitu : a. Melakukan perubahan sikap dan posisi badaniyah sebagaimana sabda beliau :
ْ◊ِ°َ∏ْΥِνْϑَϖْνَ∏ ٌθِ←°َ⋅َυُ〈َ™ ْθُ∧ُΠَ≡♣َ َ∆َΖَ∠↓َ↵♠ِ ْ∉ِϑَχْΖَϖْνَ∏َ∆ُ ™َ↓ِ⎨ﱠΖَ®ْ⇔↓ ُτْρَ⊂ َ∆َ〈 َ↵ “Jika ada salah seorang diantaramu sedang marah, jika dia berdiri maka duduklah. Jika amarahnya mulai hilang (dengan cara duduk), cukuplah. Namun jika tidak, maka berbaringlah” (HR. Abu Daud). Secara alami cara dan sikap seperti ini memang dapat membantu menurunkan tensi darah, sehingga secara berangsur-angsur dapat pula menurunkan luapan marahnya. b. Mengambil air wudlu Rasulullah SAW. bersabda :
َ◊°َχْϖﱠς⇔↓ ◊ِ ™َ↓ِ◊ﱠ°َχْϖﱠς⇔↓ َσِ⇑ َ∆َΖَ®ْ⇔↓ ِ♠◊ﱠ 56
ℵُ °ﱠρ⇔↓ ُ→َηْχُ×°َπ ™َ↓ِ⇓ﱠℵِ°ﱠρ⇔↓ َσِ⇑ َκِνُ… ♦َ∪ﱠυَΦَϖْνَ∏ ْθُ∧ُΠَ≡♣َ َ∆َΖَ∠↓َ↵↔َِ∏ ِ⁄°َπْ⇔°±ِ “Sesungguhnya amarah itu dari syetan, sesungguhnya syetan itu dibuat dari api, dan sesungguhnya padamnya api itu karena air. Maka jika ada seseorang diantara kamu yang sedang marah, maka hendaklah ia berwudlu)” (HR. Abu Daud). c. Tundukkan kepala, khusyu’kan hati dan bertawakkallah kepada Allah, meminta perlindungan kepada-Nya dari semua kejahatan syetan yang sedang menyulut api kemarahan di dalam dada; d. Berdoa kepada Allah seperti yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. kepada Siti Aisyah sewaktu dia sedang dilanda amarah.
َγْϖَ∠ ْ∆ِ〈 ْ↵↓َ™ ْ⎡Χِْ⇓ َ↵ ْ⎛ِ⇔ْΡِηْ∠↓ ﱠθُ©ّν⇔َ↓ ◊ِ°َχْϖﱠς⇔↓ َσِ⇑ ْ⎛ِ⇓ْΡِ÷َ↓َ™ ْ⎡Χِْνَ⋅ “Ya Allah ampunilah dosaku, hilangkanlah amarah di hatiku, dan selamatkanlah diriku dari kejahatan syetan” (HR. Ibnu Sina). 57
2. Menghindari semua perbuatan yang dapat menimbulkan rasa amarah, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain; 3. Memahami tentang betapa pentingnya menahan amarah dan manfaat sabar dalam kehidupan; 4. Mempererat hubungan kekeluargaan, persaudaraan dan persahabatan serta menjunjung tinggi hak dan kewajiban antar sesama; 5. Melaksanakan semua kewajiban sebagai muslim, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan sesama manusia, dengan penuh tanggung jawab dan berdiri di atas aqidah yang benar, syari’ah yang tepat dan akhlak yang mulia; 6. Berusaha berbicara dengan tutur kata yang sopan dan menghindari perkataan yang akan mengundang kemarahan; 7. Jika sedang mendengarkan perkataan orang lain hendaklah benar-benar memahami apa yang diutarakannya. Sebab kesalahpahaman dapat memicu munculnya kemarahan; 8. Jika seseorang membawa kabar yang bisa membuat marah orang lain, maka berhati-hatilah serta lengkapilah berbagai bukti fisik yang mendukung berita yang kita sampaikan tersebut; 58
9. Hindarilah perasaan buruk sangka kepada sesama muslim dan manusia pada umumnya; 10. Sibukkanlah diri kita dengan berbagai kegiatan namun jangan lupa istirahat yang cukup. Semoga dengan berpuasa di bulan Ramadhan tahun ini dapat memberikan kesan dan pesan yang mendalam bagi diri kita, sehingga dengan tempaan diklat Ramadhan ini diri kita menjadi terlatih dan akhirnya terbiasa untuk hidup terkendali dalam segala hal, terutama dalam mengendalikan nafsu amarah.
((((
5
MENAHAN DIRI DARI UCAPAN / LISAN
S
alah satu kelebihan manusia dibanding dengan makhluk lainnya adalah adanya kemampuan manusia dalam berkomunikasi untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui ucapan atau perkataan. Kata adalah kumpulan huruf yang membentuk makna, konsep atau simbol. Sedangkan kalimat adalah kumpulan kata dalam susunan terdiri dari subyek, predikat dan obyek.
59
60
Di lapangan sering kita saksikan, terkadang antara apa yang dikatakan oleh lisan dengan apa yang dikatakan oleh hati terdapat ketidaksesuaian bahkan mungkin bertolak belakang. Apatah lagi jika dikaitkan dengan amal perbuatan, mungkin jauh sekali. Inilah dua keretakan yang dikenal dalam Islam, yaitu keretakan antara lisan dan hati dan keretakan antara lisan dan tindakan. Diakui memang tidak mudah menyelaraskan lisan dengan hati dan lisan dengan perbuatan. Ini terbukti dalam praktek kehidupan sehari-hari, mulai ditingkat yang paling bawah sampai pada kalangan menengah dan atas, kita sering mendengar misalnya ada anjuran, “Mari kita junjung tinggi sikap dan tindakan demokrasi. Mari kita terapkan dan kita wujudkan kehidupan yang demokratis”, sementara penganjurnya sendiri sering bersikap dan bertindak otoriter. Contoh lain, misalnya ada perintah dari atasan, “Kencangkan ikat pinggangmu dan budayakan hidup sederhana”, sementara si pemberi perintah hidup dalam pola yang sangat mewah. Begitulah eksistensi lidah, ia diberikan otoritas penuh dalam penggunaannya sehingga tidak harus tergantung oleh bisikan hati dan pertimbangan akal, tidak mesti sesuai dengan realitasnya, bahkan saking bebasnya lidah, ia dapat berkata apa saja, tidak perduli apakah dapat membahayakan dirinya dan orang lain, ataupun tidak. Apakah dapat 61
membawa kepada kebahagiaan maupun kesengsaraan. Begitulah lidah/mulut, keberadaannya ibarat pisau bermata dua. Gara-gara lidah bisa membawa kita bahagia, namun bisa pula membawa kita sengsara. Gara-gara pulut santan binasa, gara-gara mulut badan binasa, demikian kata pantun pepatah. Kenapa demikian? Karena lidah tak bertulang. Dan justeru karena lidah tak bertulang inilah, sehingga lidah bebas ceplas-ceplos bicara. Kadang-kadang baru sebatas gossip, beritanya sudah menyebar luas ke mana-mana. Belum tentu lagi benar faktanya, namun lidah sudah panjang lebar bicara yang terkadang dilebihkan dan terkadang pula dikurangi. Bila lidah kita gunakan kepada hal-hal yang membawa manfaat, maka insyaAllah kita akan selamat. Namun sebaliknya, bila lidah kita gunakan kepada hal-hal yang tidak bermanfaat, bahkan dapat merugikan orang lain, maka celakalah kita. Tidak sedikit kita saksikan terjadinya perpecahan, perselisihan, pertengkaran bahkan pembunuhan, disebabkan oleh lidah yang tak terkendali, oleh lisan yang kurang terkontrol, yang kalau ia bicara seringkali menyinggung perasaan orang lain, menusuk dan menyakitkan hati seseorang dan sebagainya. Untuk mengendalikan sekaligus mengantisipasi terhadap bahaya lidah/lisan ini, sebenarnya 62
Allah SWT. sudah memberikan isyarat melalui penciptaan mata, telinga dan mulut. Diciptakannya dua mata, dua telinga dan satu mulut, sesungguhnya mengandung makna simbolik yang apabila kita renungkan dan mencoba mengambil pelajaran padanya, sungguh merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi kemajuan dan ketinggian akal budi seseorang. Apa sesungguhnya maksud Allah menciptakan dua mata dan dua telinga, sementara mulut cuma satu. Padahal kalau kita pikir-pikir, fungsi dan manfaat mulut justeru lebih penting dan lebih berperan dalam kehidupan kita, dibanding dua mata dan dua telinga. Allah menciptakan dua telinga, dua mata dan satu mulut. Maksudnya, penggunaan telinga dan mata porsinya harus dua kali lebih banyak daripada penggunaan mulut. Artinya, sebelum mulut berkata ya atau tidak, hendaknya lihat dulu sebaikbaiknya, apa memang benar keadaannya atau mungkin tidak benar. Dengar dulu penjelasan orang lain secermat-cermatnya. Setelah itu, baru mulut bicara. Jika kita mempedomani konsep simbolik ini, insyaAllah mulut atau lidah kita akan selalu terkontrol, terkendali dan terpelihara dari berbagai perkataan dan pembicaraan yang tidak pantas dan keliru. Ingatlah, mulut/lidah, meskipun bentuknya 63
kecil, namun peranannya sangat besar dalam mempengaruhi baik buruknya aktivitas kita sehari-hari. Rasulullah SAW. bersabda :
َ◊°َΤِّν⇔↓ْ⎛ِηْλَΦْΤَ× َ⁄°َΖْ⊂َ⎨ْ↓ِ◊ﱠ°َ∏ َ⇒َ⎯∞ُσْ±↓َΜَΧْ∅َ↓↓َ↵ِ↓ َΓْπَϕَΦْℜ↓ِ◊ِ↓ َµ±ِ ُσْΛَ⇓°َπِ⇓ﱠ°َ∏°َρْϖِ∏ َã↓ُκ ↓ِ×ﱠ:ُ⇐ْυُϕَΦَ∏ °َρْϑَ÷َυْ⊂ِ↓ َΓْϑَ÷َυْ⊂ِ↓ ْ◊ِ↓َ™ °َρْπَϕَΦْℜِ↓ “Apabila anak Adam mulai beramal di pagi hari, maka seluruh anggota tubuh akan mempercayakan kepada lisan (agar berhati-hati). Mereka berpesan : “Wahai lisan, bertaqwalah kepada Allah dalam membawa kami. Kami bergantung kepadamu. Jika kamu lurus, kami pun ikut lurus. Jika kamu bengkok, kamipun juga bengkok” (HR. Turmudzi dari Abi Saíd al-Khudri). Memperhatikan betapa strategisnya peran dan pengaruh lidah/mulut dalam kehidupan kita ini, maka Rasulullah SAW. menganjurkan agar setiap kita menjaga lidah/mulutnya, karena menjaga lidah/ mulut merupakan amal yang paling disenangi Allah SWT. Dalam sebuah dialog Rasulullah SAW. dengan para sahabat disebutkan : 64
≤ِã↓⎛َ⇔ِ↓ِ⇐↓≡َ∆ﱡ°َπْ⊂َ⎨ْ↓↓َ⎝ﱡBِã↓ ُ⇐ْυُℜَℵ َ⇐°َ⋅ ◊ِ°َΤّνِ⇔↓ُγْηِ≡َυُ〈 : َ⇐°َ⋅ٌΠَ≡َ↓ ُτْΧ™ِϑُ⎜ ْθَνَ∏↓ْυُΦَλَΤَ∏ “Rasulullah bertanya kepada para sahabat, “Amal apakah yang paling disenangi Allah? Para sahabat terdiam, tidak menjawab. Kemudian Rasulullah bersabda, “Amal tersebut adalah menjaga lisan/mulut” (HR. Imam Baihaqi dari Abi Juhfah). Tentu tidak diragukan lagi, jika seseorang gemar melakukan amal perbuatan yang disenangi Allah dan Rasul-Nya, maka ganjarannya adalah Sorga. Dalam hubungan ini, pernah diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah SAW. sedang duduk-duduk bersama beberapa sahabat, dengan serta merta beliau berkata : “Sebentar lagi akan lewat di hadapan kita seseorang yang telah ditetapkan Allah sebagai ahli Sorga kelak”. Informasi ini membuat semua para sahabat yang hadir ketika itu, tercengang, kaget dan penasaran, siapa gerangan orang itu. Diantara para sahabat yang sangat antusias dan paling penasaran ingin tahu dan mengenal lebih jauh terhadap orang tersebut, adalah Abu Dzar AlGhifari. Sehingga ketika orang itu benar-benar lewat di hadapan mereka, Abu Dzar Al-Ghifari langsung mengikutinya hingga sampai ke rumah orang tersebut. Setibanya di rumah orang itu, Abu Dzar 65
memohon kepada penghuni rumah itu agar diperkenankan menginap/tinggal beberapa hari, dan iapun kemudian diperkenankan. Selama menginap di rumah orang tersebut, Abu Dzar Al-Ghifari tidak melihat adanya kelebihan yang luar biasa atau istimewa terhadap orang tersebut. Bahkan yang nampak terlihat terkesan biasabiasa saja. Waktu shalat dilakukannya seperti biasa, puasa sunatnya juga dia lakukan hanya kadangkadang saja (tidak rutin), sedekahpun demikian, ia bersedekah sesuai dengan kemampuannya, bahkan shalat tahajjud ia lakukan jarang sekali. “Lalu, apa yang menyebabkan sehingga Rasulullah menyatakan dia itu penghuni Sorga?” Abu Dzar Al-Ghifari semakin bingung dan semakin penasaran. “Janganjangan Rasulullah keliru menilai orang ini” , ia mulai menyangsikan. “Ah, tidak, tidak mungkin Rasulullah keliru, Rasulullah Al-Amin, beliau sangat dipercaya”. Untuk menyingkap rahasia ini dan menghilangkan rasa penasarannya, maka ketika menjelang berpamitan pulang, Abu Dzar Al-Ghifari memberanikan diri untuk bertanya kepada orang tersebut tentang amalan apa yang dilakukan sehingga Rasulullah menyatakan, dia menjadi salah seorang penghuni Sorga kelak. Orang tersebut tidak banyak komentar dan dia mengatakan, “Satu hal yang sangat disukai oleh Rasulullah selalu saya pelihara, yaitu menjaga lidah dan mengendalikannya”. 66
Nah, inilah rupanya yang menyebabkan seseorang dapat menjadi penghuni Sorga. Sederhana sekali, sungguh sangat sederhana. Namun, sesederhana itukah menjaga lidah dan mengendalikannya? Entahlah?, yang pasti bahaya lisan senantiasa mengancam kita seiring dengan aktivitas hidup dan kehidupan yang kita lakukan. Menurut Uwes al-Qurni ada 60 bahaya lisan yang perlu kita waspadai setiap saat, diantaranya yaitu :
1. Ucapan Kufur Yaitu ucapan yang keluar dari mulut seseorang dengan sengaja dan sadar, seperti misalnya, “Saya siap pindah dari agama yang saya anut ke agama yang Bapak anut, asal saya diterima kerja atau diberi pinjaman untuk usaha”. Jika ternyata kemudian ia diterima bekerja atau diberikan pinjaman usaha, maka secara otomatis ia sudah keluar dari agama Islam. Namun, jika ucapan kufur ini terucap tanpa disengaja atau di luar kesadarannya, atau karena diancam akan dibunuh, tanpa ada niatan sedikitpun mau keluar dari agama Islam, maka ucapannya itu bisa dimaafkan. Firman Allah SWT. :
◊ِ°َπْ⎜ِ⎨ْ°±ِ ﱞσِΒَπْχُ⇑ ُτُΧْνَ⋅َ™ َ®ِΡْ∧ُ↓ ْσَ⇑↓ِ⎨ﱠ 67
“Kecuali orang yang dipaksa (mengucapkan kalimat kufur) padahal hatinya tetap tenteram dalam imannya” (QS. An-Nahl ayat 106)
2. Ucapan Yang Mendekati Kekufuran Yaitu mengeluarkan kata-kata keji dan tidak pantas kepada sesama Muslim. Seperti misalnya, “Dasar syetan lho!”, “Babi lho!”, “Anjing lho!”, padahal kita tahu bahwa syetan adalah makhluk yang dikutuk dan dilaknat oleh Allah SWT. Anjing dan babi adalah binatang yang najis dan diharamkan oleh Allah SWT. Mengeluarkan kata-kata yang seperti tersebut diatas tentu tidak pantas dan dapat membuat seseorang mendekati kekufuran. Sebagian ulama mengatakan bahwa jika seseorang melontarkan kata-kata kafir, syetan, anjing dan babi kepada seseorang padahal orang itu adalah seorang muslim yang baik, maka katakatanya itu akan berbalik kepada dirinya. Demikian juga seseorang yang mengolok-olok orang lain yang sedang menjalankan perintah dan aturan Allah. Misalnya, menghina manita yang menutup auratnya dengan perkataan, “Wanita ninja”. Atau mengatakan kepada seseorang yang taat beribadah dengan kata-kata, “Bah, pa-a-alimnya haja”, sama halnya ia memperolokkan Allah dan Rasul-Nya. Perkataan ini juga bisa mendekatkan seseorang kepada kekufuran. 68
3. Salah Ucap Semua kita mungkin merasa sulit untuk melakukan antisipasi agar lisan kita tidak terpeleset atau salah bicara. Dalam kasus-kasus yang sifatnya spontan, salah ucap mungkin bisa terjadi. Apalagi jika situasi dan kondisinya cukup dominan dalam memancing emosi kita, ucapan dan pembicaraan kita sering kurang terkontrol. Dalam kasus debat, diskusi, sebuah forum rapat sampai kepada omongan-omongan canda, gurauan dan ngobrol di warung kopi, salah ucap bisa saja terjadi. Terkadang dalam suatu pembicaraan, mungkin kita sudah cukup berhati-hati dalam berbicara, namun orang lain ternyata menyalahkan pembicaraan kita tersebut. Maksud kita baik, namun terkadang kita kurang pas, kurang tepat mengungkapkannya sehingga membuat orang lain tersinggung, sakit hati dan sebagainya. Salah ucap dapat berakibat macam-macam, dari yang berakibat kecil sampai akibatnya besar dan fatal. Yang jelas, salah ucap cenderung menambah dosa si pelakunya. Oleh karena itu berhati-hatilah dalam berbicara agar kemungkinan salah ucap dapat kita kurangi dan syukur kalau tidak terjadi.
4. Berbohong Yaitu berkata atau menyampaikan sesuatu, tetapi 69
tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Pada dasarnya berbohong itu dilarang dan haram hukumnya. Namun, ada kata bohong yang bisa dimaafkan jika dilakukan tidak sengaja dan tidak sempat merugikan banyak orang, serta ia segera meralat atau memperbaiki kebohongannya tersebut. Ada pula kata bohong yang diperbolehkan, seperti yang dinyatakan oleh Rasulullah SAW. :
َ″َΘَ∧ٌοُ÷َℵ : ِ•َζَ∂ ُْ ↓ِ⎨ِﱠ″ِΘَλْ⇔↓ ﱡοِΛُ⎜َ⎨ َ″ْΡَΛْ⇔↓ ِْ َ″َΘَ∧ٌοُ÷َℵَ™ °َ©َϖِ∪ْΡُϖِ⇔ ُτَ×َ↓َΡْ⇑↓ َσْϖَ± َ″َΘَ∧ٌοُ÷َℵَ™ ٌΕَ⊂ْΠُ… َ″ْΡَΛْ⇔↓ ِ◊ﱠ°َ∏ °َπُ©َρْϖَ± َΜِνْΞُϖِ⇔ ِσْϖπَ ِνْΤُπْ⇔↓ “Tidak diperbolehkan (tidak halal) perbuatan bohong itu, kecuali dalam tiga hal : Seorang suami yang berbohong kepada isterinya (atau sebaliknya) agar isterinya (suaminya) merasa senang (puas); seseorang yang berbohong diwaktu perang, karena memang didalam peperangan berlaku tipu muslihat; seseorang yang berbohong diantara dua orang muslim yang sedang bertengkar dengan tujuan untuk mendamaikan keduanya” (HR. Turmudzi dari Asma binti Yazib). 70
5. Menyindir Tanpa Tujuan Dalam pergaulan sehari-hari, setiap kita mungkin pernah ditugaskan atau diminta untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain dengan cara tidak terus terang atau tidak blak-blakan, namun kita sampaikan dengan menggunakan sindiran atau dengan istilah populernya diplomasi. Cara seperti ini dalam kaidah ilmu sastra Arab (balaghah) disebut Bade Tauriyah. Apabila tujuannya baik, cara seperti ini dibolehkan oleh syara’, bahkan konon dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa, Rasulullah pernah menunjukkan hal seperti ini kepada seorang nenek. Beliau berkata :
ٌℑْυُϑَ⊂ َΕﱠρَϑْ⇔↓ ُοُ…ْΠَ×َ⎨ “Nenek-nenek tidak akan masuk Sorga”. Sang nenek cukup kaget mendengar perkataan Rasulullah ini, namun setelah mengetahui maksud dari perkataan tersebut, sang nenekpun akhirnya lega hatinya. Maksud Rasulullah mengatakan bahwa nenek-nenek tidak akan masuk Sorga adalah karena di dalam Sorga itu tidak ada nenek-nenek, semuanya orang-orang muda. Walaupun pada waktu meninggal dunia dulu neneknenek, tapi di akhirat (di dalam Sorga) nanti berubah menjadi muda belia. 71
Al-Qur’an juga membolehkan digunakannya kata sindiran dalam suatu pergaulan. Sebagai contoh dapat kita lihat firman Allah yang berkaitan dengan meminang wanita, dimana Allah SWT berfirman :
ِΕَΧْδِ…ْσِ⇑ τ̝±ِ ْθُΦْ∪ﱠΡَ⊂°َπْϖِ∏ ْθُλْϖَνَ⊂ َ≈°َρُ÷َ⎨َ™ ِ⁄ƒَΤِّρ⇔↓ “Dan tidak ada dosa bagimu meminang wanita itu dengan cara sindiran” (QS. Al-Baqarah ayat 235). Sebagai contoh misalnya, seseorang yang ingin meminang anak gadis, kemudian ia berkata kepada orangtuanya, “Nampaknya bunga yang ibu pelihara sudah merekah dengan indahnya dan menebarkan harumnya yang semerbak, sehingga mengundang selera kumbang peliharaan kami untuk datang dan menghisap madunya. Bolehkah kami minta bunga tersebut untuk kami jadikan hiasan di rumah kami?”. Contoh lain, “Ayo, anak-anak bangun!, hari sudah pagi. Tuh, dengarin ayam sudah berkokok mengajak kalian bangun. Masa duluan ayam bangunnya. Kalian kan lebih pinter daripada ayam”. Seseorang yang sudah terlanjur mencicipi suatu makanan, padahal makanan tersebut kurang 72
enak, maka tatkala ia ditanya, “Ayu ditambah makanannya. Kurang enak ya?”. Dengan segera ia menjawab, “Ngga?, makanannya enak kok bu. Waah! seandainya perut saya ini masih kosong, sudah pasti deh semua makanan ini ludes saya makan. Tapi sayang, saya masih kenyang bu”. Alhasil, ucapan diplomatis atau sindiran, asal diucapkan dengan sopan dan tujuannya baik tentu diperbolehkan oleh syara. Akan tetapi jika diplomasi atau sindiran itu diucapkan semata-mata untuk membohongi orang, untuk memutarbalikkan fakta, untuk menghina, mencemooh dan menjelekkan orang lain, maka ucapan itu termasuk dosa lisan. Contoh sindiran yang tidak diperbolehkan adalah : “Duuh! si raja benalu itu datang lagi”. “Dasar si tukang ngibul kamu !”. “Dasar tak tahu diri kamu ini, sudah diberi daging mau tulang lagi”.
6. Mengumpat dan Menggunjing Perbuatan mengumpat dan menggunjing adalah perbuatan yang diharamkan oleh Islam. Allah SWT. berfirman :
ْθُ∧ُΠَ≡َ↓ ِ∆ﱡΛُ⎜َ↓ °ًΖْ∈َ± ْθُλُΖْ∈َ± ْ∆َΦْ®َ⎜َ⎨َ™ 73
↓ْυُϕْ®ُ ™َ↓×ﱠυُπُΦْ〈Ρَِλَ∏°ًΦْϖَ⇑ ِτْϖِ…َ↓ َθْΛَ⇔َοُ∧ْ°↓َ◊ْ⎜ﱠ ٌθْϖِ≡ﱠℵ ٌ″↓ﱠυَ× َã↓َ ِ↓◊ﱠã↓ “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentunya kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hujurat ayat 12). Sangat ironis memang orang yang suka mengumpat dan menggunjing itu. Kenapa? Karena suatu keburukan atau aib saudaranya, yang seharusnya ditutupi, tapi bagi dia malah dibuka habis-habisan, dibeberkan ke sana kemari, sehingga hampir semua orang mengetahuinya. Ingatlah,orang yang suka mengumpat dan meng gunjing orang lain, nanti di akhirat dia akan rugi besar, kenapa?, karena sebagian amal kebaikannya akan dialihkan / dipindah kepada orang yang ia umpat atau ia gunjing tersebut. Semakin sering ia mengumpat dan mengunjing orang lain, maka semakin banyak amal kebajikannya tersedot buat orang lain. Sabda Rasulullah SAW. :
: ُ⇐ْυُϕَϖَ∏↓ًℵْυُςْρَ⇑ ُτُ±°َΦِ∧⎛َ×ْΑُϖَ⇔ َοُ÷ﱠΡ⇔↓ ↓ِ◊ﱠ 74
ْΓَΤْϖَ⇔°َ©ُΦْνِπَ⊂↓َΘَ∧َ™↓َΘَ∧ْ⎛ِ×°َρَΤَ≡َσْ⎜َ°َ∏ ِّ″َℵ°َ⎜ َµ±ِ°َϖِΦْ∠ِ°±ِ ْΓَϖِΛُ⇑ : ُτَ⇔ُ⇐ْυُϕَϖَ∏ ْ⎛ِΦَηْϖِΛَ∅ ِْ ُτَΦْΧَΦْ∠ِ↓ ْσَ⇑ ِ″°َΦِ∧ِْ ْΓَΧِΦُ∧َ™ ِ℘°ﱠρ⇔↓ “Sesungguhnya nanti (di hari kiamat) tatkala tulisan amal seseorang telah dibukakan, akan ada seseorang yang berkata (yaitu si pengumpat dan si penggunjing) : Ya Allah, ya Tuhanku, kemana amal kebajikan yang pernah aku perbuat itu? Rasanya, aku pernah melakukannya sewaktu di dunia dulu. Kenapa dalam daftar ini malah tidak ada?. Maka Allah berfirman kepadanya : Amal kebajikanmu telah terhapus darimu, gara-gara kamu mengumpat dan menggunjing seseorang, hingga amal kebajikanmu dipindahkan kepadanya” (HR. Ibnu Hibban dari Abi Amamah). Bahaya ghibah dapat kita lihat dari dua sisi : a. Ghibah merupakan salah satu penyakit sosial yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan terputusnya persaudaraan, munculnya penyakit iri dan dengki, terjadinya konflik sosial dan maraknya berbagai gossip dan fitnah; b. Perbuatan ghibah termasuk dosa besar melebihi dosa perbuatan zina. Rasulullah SAW. bersabda : 75
: َ⇐°َ⋅ َιْϖَ∧َ™ َοْϖ⋅ِ ⎛َ⇓ِّΣ⇔↓ َσِ⇑ ﱡΠَ⊗َ↓ ُΕَΧْϖِ®ْ⇔َ↓ ُã↓ ُ″ْυُΦَϖَ∏ ُτْρَ⊂ ُ″ْυُΦَ⎜ ﱠθُ∂ ْ⎛ِ⇓ْΣَ⎜ ُοُ÷ﱠΡ⇔↓ ُτَ⇔ُΡَηْ®ُ⎜َ⎨ ِΕَΧْϖِ®ْ⇔↓ َ∆ِ≡°َ∅ ِ ™َ↓ِ◊ﱠτْϖَνَ⊂ ُτُΧِ≡°َ∅ ُτَ⇔َΡِη®ْ َ⎜ ⎛ﱠΦَ≡ “Ghibah itu lebih berat (tobatnya) daripada zina. Sahabat bertanya: Mengapa demikian?. Rasul menjawab : Jika seseorang berzina, lalu ia bertobat, maka Allah menerima tobatnya. Tetapi si pengumpat/penggunjing (walaupun sudah bertobat), dia tidak akan mendapatkan ampunan Allah, sebelum orang yang dia umpat/gunjing tersebut memaafkannya” (HR. Thabrani). Menurut sebagian ulama disebutkan bahwa meminta maaf kepada seseorang yang telah diumpat/digunjing berdasarkan hadits di atas hanya berlaku jika yang bersangkutan mendengar atau mengetahui materi gunjingan yang ditujukan kepadanya. Jika materi gunjingannya tidak sampai diketahui oleh yang bersangkutan, maka cara bertobatnya cukup dengan beristighfar kepada Allah dan menghentikan perbuatan tersebut. Selain itu, dianjurkan agar kita mendoakan orang yang bersangkutan agar dia juga diampuni oleh 76
Allah segala dosa-dosanya. Sabda Rasulullah SAW. :
ُτَ⇔َΡِηْ®َΦْΤَ× ْ◊َ↓ ُτَΦْΧَΦْ∠ِ↓ ْσَ⇑ ُ≥َℵ°َηِ∧ “Untuk menebus dosamu kepada orang yang telah kamu gunjing adalah dengan cara memohonkan ampunan kepada Allah, untuknya” (HR. Ibnu Abi Dunya dari Anas).
7. Adu Domba Adu domba merupakan ucapan fitnah yang lahir dari sosok kepribadian buruk yang disebarkan ke tengah-tengah masyarakat untuk mengeruhkan suasana yang tenang dan damai menjadi suasana yang kacau dan berantakan. Adu domba secara sederhana dapat kita ungkapkan, misalnya jika anda tidak senang melihat akrabnya dua orang yang bersahabat dan senantiasa rukun, damai dan sejahtera hidup mereka, lalu anda berkeinginan agar kedamaian mereka terganggu, kesejahteraan mereka terusik, sehingga antara keduanya saling bermusuhan, kemudian anda mencari cara dengan mengungkit-ungkit kelemahan masing-masing mereka dengan membesar - besarkannya sehingga 77
keduanya menjadi bimbang, menjadi resah, gelisah dan sebagainya, sampai akhirnya mereka menjadi bermusuhan. Ingatlah, perbuatan adu domba adalah perbuatan yang sangat dilaknat oleh Allah dan sangat dibenci oleh banyak orang. Siapapun kita, tentu tidak akan senang terhadap si pengadu domba. Setidaknya ada tiga kerugian yang akan diderita pada hari kiamat nanti bagi si pengadu domba, sebagaimana yang dinyatakan oleh beberapa hadits Rasulullah berikut ini :
ٌ∝°ﱠΦَ⋅ َΕﱠρَϑْ⇔↓ ُοُ…ْΠَ⎜َ⎨ “Tidak akan masuk Sorga, bagi si pengadu domba”.
↓ًℵ°َ⇓ ِτْϖَνَ⊂ ُã↓ َδﱠνَℜ ُِσْϖَρْ∂ِ↓ َσْϖَ± ⎛َςَ⇑ ْσَ⇑ ِΕَ⇑°َϖِϕْ⇔↓ َ⇒ْυَ⎜ ⎛َ⇔ِ↓ ِ®ِΡْΧَ⋅ ِْ ُτُ⋅ِΡْΛُ× “Barangsiapa yang mengadu domba diantara dua orang, Allah akan mengirimkan api yang akan membakar kuburannya hingga hari kiamat”.
⎛َνَ⊂ ِΕَ⇑°َϖِϕ⇔ْ↓ َ⇒ْυَ⎜ َ◊ْ™ُΡَςْΛُ⎜ َσْϖِ⇑°ﱠπﱠρ⇔↓ ↓ِ◊ﱠ 78
ِ≥ َ⎯َΡِϕْ⇔↓ ِ≥َℵْυُℜ “Orang yang suka mengadu domba, nanti akan dibangkitkan dan digiring di padang mahsyar dengan wajah seperti kera”.
◊َ ْ™ُ⁄°ﱠςَπْ⇔↓َ™ َ◊ْ™ُℑ°ﱠπﱠν⇔↓َ™ َ◊ْ™ُℑ°ﱠπَ©ْ⇔َ↓ ْθُ〈ُΡُςْΛَ⎜َ∆ْϖَ∈ْ⇔↓ ُ⁄↓ﱠΡَΧْ⇔↓ َ◊ْυُ∠°َΧْ⇔َ↓ ِΕَπْϖِπﱠρ⇔°±ِ ِ″َζِλ⇔ْ↓ ِ®ْυُ÷ُ™ ِْ ُã↓ “Orang-orang yang suka mengumpat, mencela, mengadu domba dan mencari aib orang lain, nanti ia akan digiring di padang mahsyar dengan wajah seperti anjing”.
8. Menghina atau Mencemooh Menghina atau mencemooh orang lain dengan menganggapnya kecil dan enteng, baik yang ditunjukkan dengan ucapan maupun melalui tindakan isyarat, adalah tindakan yang sangat dibenci dan dimurkai Allah SWT. Firman Allah SWT. : 79
ٍ⇒ْυَ⋅ ْσِ⇑ ٌ⇒ْυَ⋅ْΡَΝْΤَ⎜َ⎨↓ْυُρَ⇑↓َσْ⎜ِΘ↓⇔ﱠ°َ© َ⎜ﱡƒَ⎜ ْθُ©ْρِّ⇑↓ًΡْϖَ…↓υُ⇓ ْυُλ⎛ ↓َ◊ْ ⎜ﱠΤَ⊂ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum menghina/mencemooh kaum yang lain. (Karena) boleh jadi mereka (yang dihina/dicemooh) itu lebih baik daripada mereka (yang menghina/mencemooh)” (QS. Al-Hujurat ayat 11). Ingatlah, seseorang yang suka menghina atau mencemooh orang lain, suatu saat dia juga akan dihina dan dicemooh oleh orang lain, bahkan nanti di akhirat dia akan dihinakan dan dipermalukan oleh Allah SWT. Rasulullah SAW. bersabda :
ْθِ〈ِΠَ≡َ⎨ِ ُΜَΦْηُ⎜ ℘ِ°ﱠρ⇔°±ِ َσْϖِ←ِΣْ©َΦْΤُπْ⇔↓ ↓ِ◊ﱠ ,ﱠθُνَ〈 : ْθُ©َ⇔ ُ⇐°َϕُϖَ∏ ِΕﱠρَϑْ⇔↓ َσِ⇑ ٌ″°َ± َκِνْ∠ُ↓ َ⁄°َ÷↓َ↵ِ°َ∏ ِτِّπَ∠َ™ ِτ±ِْ Ρُλ±ِ ُ→ِϑَϖَ∏ ﱠθُνَ〈 َµ⇔ِ↓َΘَ∧ُ⇐↓َℑَ⎜°َπَ∏ ُτَ⇓ْ™ُ⎯ ُ″°َΧْ⇔↓ 80
“Sesungguhnya orang yang suka menghina atau mencemooh orang lain, akan dibukakan pintu surga baginya. Maka dipanggillah ia (oleh penghuni surga itu), “kemari!”. Lalu dia datang dengan suka cita namun penuh kebingungan. Tatkala sudah dekat, pintu sorgapun ditutup. Orang lain bisa masuk, sedangkan dia tidak. Demikian seterusnya” (HR. Abu Dunya dari Hasan Basri).
9. Berkata Kotor, Jorok atau Jijik Meskipun tidak sampai ke batas haram, ucapan kotor, jorok atau jijik tentu saja membuat risih orang lain yang mendengarnya. Bagi yang mengerti sopan santun, ia akan selalu menjaga dirinya dari perkataan yang kotor, jorok dan jijik tersebut. Kalaupun misalnya, ia harus mengatakan juga, tentu ia ungkapkan dengan kata kiasan, agar orang lain yang mendengarnya tidak merasa risih. Misalnya, “Maaf, permisi saya mau ke kamar kecil / WC”. “Saya mau buang hajat”. ”Kemaluan laki-laki”, “Percampuran suami isteri” dan sebagainya. Allah SWT. sendiri dalam beberapa ayat Al-Qurán memberikan ungkapan yang sopan terhadap sesuatu yang dianggap kotor, jorok dan jijik.
ْθُλَ∂ْΡَ≡↓ْυُ×ْ ♦َ∏ ْθُλْ•ٌ ⇔ﱠΡَ≡ ْθُ∧ُ♥ƒَΤِ⇓ ْθُΦْΒِ⊗ ⎛↓َ⇓™ﱠ “Isterimu adalah (ibarat) tanah tempat kamu bercocok tanam. Maka garaplah tanah tempat kamu bercocok tanam tersebut dengan cara apa saja yang kamu sukai dan kamu kehendaki” (QS. Al-Baqarah ayat 223).
ِΠِϑْΤَπْ⇔↓ ِ َ◊ْυُηِ∧°َ⊂ ْθُΦْ⇓َ↓َ™ ﱠσُ〈ْ™ُΡِ⊗°َΧُ×َ⎨َ™ “Janganlah kamu mencampurinya (isteri-isteri kamu) sewaktu kamu ber i’tikaf dalam masjid” (QS. Al-Baqarah ayat 187). Perkataan kotor, jorok dan jijik apabila diucapkan secara logas atau apa adanya bisa memalukan diri sendiri dan orang lain yang mendengarnya. Karena dari perkataan tersebut orang dapat menilai sejauh mana tingkat sopan santun dan kepribadian seseorang.
10. Menyela Pembicaraan Orang Lain Firman Allah SWT. : 81
Menyela atau memotong pembicaraan orang lain yang sedang berbicara dengan menunjukkan 82
secara langsung cacat cela pembicaraan tersebut, baik yang berkaitan dengan redaksi pembicaraan atau penggunaan bahasa, cara penyampaiannya maupun isi pembicaraan tersebut, dengan tujuan untuk merendahkan, menghina atau mencemooh si pembicara agar tidak mendapat perhatian dan simpati pendengarnya, kemudian perhatian dan simpati tersebut dia berharap akan beralih kepadanya, karena dia merasa kemampuannya melebihi daripada si pembicara tersebut, merupakan perbuatan yang tidak terpuji dan dilarang oleh agama. Lain halnya kalau menyela atau memotong pembicaraan orang lain tersebut dimaksudkan untuk saran perbaikan, untuk melengkapi atau untuk mendukung, maka hal ini tentu diperbolehkan, dengan catatan sebelum berbicara terlebih dahulu kita meminta izin kepada yang bersangkutan dan usahakan kalimat-kalimat yang diungkapkan sebaik dan sehalus mungkin, agar tidak menimbulkan salah paham atau salah persepsi.
11. Bergabung Dalam Majelis Maksiat Jika kita ikut bergabung dalam majelis maksiat, terlepas apakah kita ikut bicara memberikan masukan maupun tidak, kita juga ikut berdosa. Rasulullah SAW. bersabda : 83
ْθُ〈ُΡَΗْ∧َ↓ ِΕَ⇑°َϖِϕْ⇔↓ َ⇒ْυَ⎜°َ⎜°َχَ…℘ِ°ﱠρ⇔↓ ُθَφْ⊂َ↓ ِοِβ°َΧْ⇔↓ ِ °ً∪ْυَ≡ “Orang yang paling besar kesalahannya pada hari kiamat adalah orang yang paling sering bergabung dalam majelis/pembicaraan yang batal (maksiat)” (HR. Thabrani dari Ibnu Mas’ud). Jika tergabungkan anda ke dalam majelis maksiat dengan maksud amar ma’ruf nahi munkar dengan cara berda’wah bil hikmah, maka pola, cara atau strategi apapun yang anda pasang dan lakukan, semuanya itu bukanlah dosa, tapi malah menjadi pahala, asal anda tidak larut atau terpengaruh oleh perbuatan yang mereka lakukan.
12. Dua Lisan Dua lisan, adalah kebiasaan perkataan yang dilakukan oleh seseorang terhadap dua orang yang berselisih dengan perkataan yang berbeda atau bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya. Kepada si A dia berkata ini, sedangkan kepada si B dia berkata itu. Dalam istilah Banjar, orang yang berlisan dua ini disebut “anjur atar” 84
atau “Di sana lain, di sini lain”. Kepada si A dia berkata ya, tapi kepada si B ia berkata tidak. Kepada si A dia kemukakan ucapan-ucapan yang menyenangkan dengan menjelek-jelekkan si B, seakan-akan dia memihak si A, demikian juga dengan si B, dia ungkapkan kejelekan si A, seolah-olah ia mendukung si B. Tindakan ini dia lakukan biasanya adalah untuk mengadu domba. Ingatlah peringatan Rasulullah SAW. :
Εِ َ⇑°َϖِϕْ⇔↓ َ⇒ْυَ⎜ ِã↓ ِ⎯°َΧِ⊂ِّΡَ⊗ ْσِ⇑ َ◊ْ™ُΠِϑَ× ٍΙْ⎜ِΠَΛ±ِ ِ⁄َ⎨ُΑ〈 ْ⎛ِ×ْ ♦َ⎜ ْ∑ِΘِ ↓⇔ﱠσْϖَ©ْ÷َυْ⇔↓↓َ↵ ٍΙْ⎜ِΠَΛ±ِ ِ⁄َ⎨ُΑ〈َ™ “Kamu akan menemukan di hari kiamat nanti hamba Allah yang paling buruk, yaitu orang yang bermuka dua, yakni orang yang suka mendatangi satu golongan dengan suatu cerita dan mendatangi golongan lainnya dengan cerita lain” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Orang yang berlisan dua ini, jika suatu saat nanti diketahui orang, maka dia tidak akan dihiraukan lagi, perkataannya tidak akan didengar dan dipercaya lagi. Bahkan kemungkinan besar dia 85
akan dimusuhi banyak orang.
13. Berbicara Kasar Berbicara kasar jika dilakukan bukan pada tempatnya, maka hukumnya haram, karena etika Islam mengajarkan kepada kita agar dapat mengatur lisan dengan memilih kata-kata dan bahasa yang halus dan menunjukkan gaya bahasa dan mimik muka yang simpatik dan dapat membangun rasa senang orang lain. Berkata kasar boleh-boleh saja, jika misalnya kita berhadapan dengan berbagai kekufuran, kedzaliman dan pelecehan agama, sepanjang hal itu sangat prinsip dan dapat membahayakan ummat. Itupun kita lakukan sesekali saja, tidak terus menerus, karena bagaimanapun juga konteks da’wah tetap mengharuskan adanya bil hikmah wal mauidzatun hasanah. Firman Allah SWT. :
َσْϖِϕِηρُπْ⇔↓َ™ َℵ°ﱠηُλْ⇔↓ِΠِ〈°َ÷ ⎡ﱡΧِﱠρ⇔↓°َ©⎜ﱡƒَ™َ⎜ ْθِ©ْϖَνَ⊂ ْγُνْ∠↓َ™ “Hai Nabi, berjihadlah (untuk melawan) orangorang kafir dan munafik, bersikap keras (kasar) lah kepada mereka” (QS. Al-Fath ayat 29). 86
ُ⁄∞ﱠΠِ⊗َ↓ τَ∈َ⇑ َσْ⎜ِΘِ ™َ↓⇔ﱠã↓ ُ⇐ْυُℜﱠℵ ٌΠﱠπَΛُ⇑ ْθُ©َρْϖَ± ُ⁄°َπَ≡ُℵ ℵِ°ﱠηُλْ⇔↓ ⎛َνَ⊂ “Muhammad adalah utusan Allah dan orangorang (mu’min) yang bersama dengan dia adalah keras kepada orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang kepada sesama orang mu’min” (QS. Al-Fath ayat 29).
14. Sumpah Palsu Sumpah palsu selain hukumnya haram, perbuatan ini juga termasuk dosa besar. Rasulullah bersabda :
15. Berbisik-bisik Berbisik-bisik adalah perbuatan yang haram dilakukan, terutama jika ada orang ketiga, karena perbuatan ini dapat menimbulkan perasaan su’ udzan (buruk sangka) yang bisa berkembang menjadi suatu permusuhan. Rasulullah SAW. bersabda :
ِΡِ…⎨ْ↓َ ◊ْ™ُ⎯ ◊ِ°َρْ∂ِ↓ ُ≠°َρَΦَ⎜َζَ∏ ًΕَ∂َζَ∂ْθُΦْρُ∧↓َ↵ِ↓ “Jika kamu sedang bertiga, maka janganlah kamu berbisik-bisik (dengan yang satu) dan membiarkan yang lainnya” (HR. Bukhari-Muslim).
ِσْ⎜َΠ⇔ِ↓َυْ⇔↓ ُ¬ْυُϕُ⊂َ™ ِã°±ِ ُ∨↓َΡْ⊗ِ⎨ْ↓َ : ُΡِ←°َΧَλْ⇔َ↓ ُ℘ْυُπَηْ⇔↓ ُσْϖِπَϖْ⇔↓َ™ Υِ™ْηﱠρ⇔↓ ُοْΦَ⋅َ™
Demikianlah beberapa bahaya lisan yang perlu kita waspadai agar kehidupan kita tidak terjebak oleh tajamnya lisan kita yang pada gilirannya dapat menggiring kita ke penghidupan yang penuh sengsara dan nista.
“Yang termasuk dosa besar adalah musyrik kepada Allah, menyakiti kedua orangtua, membunuh jiwa (bukan haknya) dan sumpah palsu” (HR. Bukhari dari Abdullah bin Umar).
Marilah kita jaga, kita pelihara dan kita kendalikan lisan kita agar berfungsi positif dan mendapat ridha dari Allah SWT.
87
Mudah-mudahan ibadah puasa yang kita jalankan selama bulan Ramadhan ini akan dapat 88
melatih diri kita masing-masing untuk selalu menjaga lisan dan mengendalikannya. Sebab, orang yang berpuasa itu tidak saja mampu menahan diri dari makan dan minum, tetapi berpuasa itu juga hendaknya mampu menahan diri dari perkataan yang sia-sia dan tidak sopan. Sabda Rasulullah SAW. :
ُ⇒°َϖِّΞ⇔↓°َπِ ↓ِ⇓ّﱠ″ْΡﱡς⇔↓َ™ ِοْ∧َ⎨ْ↓ َσِ⇑ ُ⇒°َϖِّΞ⇔↓ َΥْϖَ⇔ ِΙَ∏ﱠΡ⇔↓َ™ ِυْ®ﱠν⇔↓ َσِ⇑ “Puasa itu bukan saja menahan diri dari makan dan minum, tetapi sesungguhnya puasa juga menahan diri dari perkataan sia-sia dan perkataan tidak sopan”.
θْ ُ∧ِΠَ≡َ↓ ِ⇒ْυَ∅ ُ⇒ْυَ⎜ َ◊°َ∧↓َ↵ِ°َ∏ ٌΕﱠρُ÷ ُ⇒°َϖِّΞ⇔َ↓ ٌΠَ≡َ↓ ُτﱠ±°َℜ ْ◊ِ°َ∏ ْ∆َΝْΤَ⎜َ⎨ٍ™ﱠΘِΒَ⇑ْυَ⎜ ْΙَ∏ْΡَ⎜َζَ∏ ٌθِ←°َ∅ْ⎡ِّ⇓ِ↓ ْοُϕَϖْνَ∏ ُτَνَ×°َ⋅ْ™َ↓ “Puasa itu perisai. Maka apabila salah seorang kamu berpuasa, maka janganlah ia menuturkan katakata keji, janganlah pula menyebarluaskan kata89
kata keji tersebut. Dan apabila seseorang sedang memaki-makinya atau melakukan pukulan padanya, maka (janganlah kamu balas), tapi katakanlah, saya sedang berpuasa” (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Sungguh suatu kerugian yang besar dan sangat disayangkan, apabila ibadah puasa yang kita kerjakan, dengan menahan segala penderitaan lapar dan dahaga serta menahan diri dari hal-hal lainnya yang dapat membatalkan atau mengurangi nilai puasa, tetapi malah ternoda nilainya, bahkan mungkin akan menjadi sia-sia, dikarenakan lantaran ucapan kita yang kotor, lantaran lidah kita yang kurang terkontrol. Oleh karena itu, marilah kita jaga lidah kita dari perkataan-perkataan yang tidak dibenarkan oleh syara’ selama kita menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan ini, dan kita berharap kepada Allah SWT, semoga ibadah puasa kita tahun ini benar-benar menjadi ibadah yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, karena kita jalankan dengan penuh kesungguhan dan semata-mata hanya mengharapkan ridha dan maghfirah dari Allah SWT.
sskss 90
tidak kuat mengendalikan emosi seketika menyaksikan betapa kebesaran Allah SWT.
6
MENAHAN DIRI DARI PANDANGAN MATA
M
ata merupakan jendela hati yang dapat mengirimkan kesan secara langsung ke otak, kemudian diteruskan ke seluruh anggota tubuh. Nabi Musa a.s ketika diperintahkan oleh Allah untuk melihat dan memperhatikan sebuah gunung yang dijadikan-Nya obyek untuk menampakkan diri, maka seketika gunung itu hancur lebur karena tidak sanggup melihat sosok Allah, Nabi Musapun langsung pingsan tak sadarkan diri, karena 91
Demikian juga, ketika Nabiullah Muhammad SAW. melihat malaikat Jibril di goa Hira’ dalam bentuknya yang asli pada saat wahyu pertama turun, sekujur tubuh beliau menggigil seperti orang kedinginan, karena apa yang beliau lihat langsung menembus hatinya dengan tikamannya yang begitu dahsyat dan begitu dalam, sehingga membuat raga beliau seolah tak mampu menahannya. Begitulah, kesan yang ditimbulkan oleh pandangan mata dapat langsung bereaksi ke hati sehingga hati menjadi semakin terang dari cahaya Ilahi. Sebaliknya, dari pandangan mata pula, dapat menyebabkan hati semakin gelap dari nur Ilahi. Hal ini tergantung obyek yang dipandangi dan sejauhmana sikap yang ditunjukkan oleh orang yang memandangi serta tingkat kualitas iman yang ia miliki. Jika obyek yang dipandangi adalah obyek yang dibenarkan atau diperbolehkan oleh syara’, sementara yang memandangi benar-benar memiliki tingkat keimanan yang kuat, maka tentu hasil pandangnya akan membuahkan manfaat yang besar, baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain. Misalnya seseorang yang sedang memandangi sebuah obyek keindahan, maka ketika pandangannya berpadu dengan perasaan hatinya yang diliputi oleh 92
iman yang mendalam, maka seketika itu ia akan memuji Allah dengan mengagungkan kebesaranNya. Ia sadar bahwa Allah telah menciptakan segala keindahan yang ada. Ia tahu bahwa segala keindahan itu adalah kepunyaan Allah dan merupakan perwujudan dari sifat-Nya yang Maha Indah (aljamaal). Dari kesadaran yang mendalam inilah akan lahir tindakan-tindakan yang santun, penuh cinta dan kasih yang tulus kepada sesama. Sebaliknya, jika yang dipandangi adalah obyek yang tidak dibenarkan oleh syara’ atau yang dilarang oleh agama, sementara yang memandangi tidak memiliki pondasi iman yang kuat, maka hasil pandangnya cenderung akan mendatangkan mudharat, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Misalnya ketika seseorang memandang gadis remaja yang cantik jelita yang bukan muhrimnya, hatinya tiba-tiba bergetar menyentuh naluri laki-lakinya hingga membangkitkan nafsu syahwatnya, yang pada gilirannya nanti tidak menutup kemungkinan terjadinya tindakan perzinahan. Menurut hukum Islam, memandang itu ada tiga macam, yaitu : 1. Memandang sesuatu yang bernilai ibadah; 2. Memandang sesuatu yang dibolehkan dan ; 3. Memandang sesuatu yang diharamkan. 93
Memandang sesuatu yang bernilai ibadah adalah memandang suatu obyek yang dapat menggerakkan hati kepada ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya, sebagai contoh antara lain memandang Baitul Haram di Mekkah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. :
⇒ِ ↓َΡَΛْ⇔↓ ِτِΦْϖَ± ِ≠°ﱠϑُ≡ ⎛νَ⊂ ٍ⇒ُυَ⎜ ﱠοُ∧ ُã↓ ُ⇐ِّΣَρُ⎜ َσْϖِ∈َ±ْℵَ↓َ™ َσْϖِηِ←°ﱠχνِ⇔ َσْϖِّΦِℜ ٍΕَπْ≡َℵ َΕَ←°ِ⇑َ™ َσْ⎜ِΡْςِ⊂ َσْ⎜ِΡِε°ﱠρνِ⇔ َσْ⎜ِΡْςِ⊂َ™ َσْϖِّνَΞُπْνِ⇔ “Setiap hari Allah menurunkan seratus dua puluh rahmat kepada para pengunjung rumah suci-Nya. Enam puluh untuk yang thawaf, empat puluh untuk yang shalat dan dua puluh untuk yang melihat” (HR. Al-Baihaqi dari Ibnu Abbas). Pandangan lainnya yang bernilai ibadah adalah memandang dengan kecintaan dan kasih sayang dari suami terhadap isterinya atau sebaliknya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. :
ِτِ×َ↓َΡْ⇑↓⎛َ⇔♠ِ َΡَφَ⇓↓َ↵♠ِ َοُ÷ﱠΡ⇔↓ ↓ِ◊ﱠ:b⎡ﱡΧَِّρ⇔↓ َ⇐°َ⋅ 94
↓َ↵ِ ↔َ∏ ٍΕَπْ≡َℵ َ≥َΡْφَ⇓°َπِ©ْϖَ⇔♠ِ ُã↓َΡَφَ⇓ ِτْϖَ⇔♠ِ ْ∝َΡَφَ⇓َ™ ِ⇐َζَ…ْσِ⇑°َπُ©ُ± ْυُ⇓ ُ↵ ْΓَχَ⋅°َΤَ×°َ©ِّηَλ±ِ َΘَ…♣َ °َπِ©±ِ°َ∅♣َ “Nabi SAW. bersabda : Sesungguhnya seorang suami melihat isterinya (dengan penuh kasih sayang) dan isterinya pun melihat suaminya (dengan penuh kasih sayang pula), maka Allah melihat keduanya dengan pandangan kasih sayang. Dan bila si suami memegang telapak tangan isterinya, maka dosadosa mereka keluar dari celah jari-jari tangan mereka” (HR. Rafi’i dari Abu Sa’id). Demikian juga pandangan cinta dan kasih sayang yang ditunjukkan orangtua terhadap anaknya, dapat bernilai ibadah, karena anak merupakan bagian dari jiwa dan kehidupan kita, juga merupakan karunia Allah yang tiada taranya, disamping sebagai amanah yang diberikan Allah kepada kita, maka tatkala seseorang memandang anaknya, timbul rasa syukur yang mendalam ke khadirat Allah SWT. Bibir kita terucap dan hati kita berkata betapa kebesaran dan rahman rahimnya Allah SWT. Cobalah kita lihat bagaimana contoh yang 95
diberikan Rasulullah ketika mengasuh dan mendidik anak-anak beliau. “Suatu ketika Siti Fatimah datang menemui ayahnya, Rasulullah SAW. Tatkala Siti Fatimah tiba di rumah beliau, Rasulullah langsung berdiri, memandang, memberikan senyuman, menyambut dan mencium puterinya ini dengan penuh rasa kasih sayang, lalu beliau persilakan duduk bersebelahan dengan beliau. Demikian juga yang dilakukan oleh Siti Fatimah tatkala ayahnya, Rasulullah mengunjunginya”. Pandangan lainnya yang termasuk ibadah adalah memandang anak yatim dengan penuh kasih sayang dan rasa belas kasihan, karena anak yatim mempunyai kedudukan istimewa di sisi Allah dan Rasul-nya. Memandang fakir miskin dengan penuh rasa prihatin. Memandang penuh persaudaraan dan kekeluargaan kepada para tetangga, teman sejawat, ibnu sabil dan para hamba sahaya (para pembantu/pekerja kelas buruh). Firman Allah SWT. :
⎛πΦَϖْ⇔↓َ™ ⎛±ْΡُϕْ⇔↓ ∑ِΘ±ِ ™ﱠ°ً⇓°َΤْ≡ِ↓ ِσْ⎜َΠِ⇔↓َυْ⇔ِ°±َ™ ِ∆ُρُϑْ⇔↓ℵِ°َϑْ⇔↓َ™ ⎛±ْΡُϕْ⇔↓∑ ِ↵ℵِ°َϑْ⇔↓َ™ ِσْϖِλΤَπْ⇔↓َ™ ْΓَλَνَ⇑°َ⇑َ™ ِοْϖΧَِّΤ⇔↓ ِσْ±↓َ™ ِ∆ْρَϑْ⇔°±ِ ِ∆ِ≡°ﱠΞ⇔↓َ™ 96
ْθُλُ⇓°َπْ⎜َ↓ “Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu” (QS. AnNisa ayat 36). Pandangan yang dibolehkan (mubah) adalah memandang apa saja yang dibolehkan oleh syara’ atau memandang sesuatu yang tidak diharamkan. Misalnya : memandang alam sekitar, memandang sesama jenis yang menutup aurat dan tidak menimbulkan syahwat, memandang sesama muhrim atau bukan muhrim yang menutup aurat dan tidak menimbulkan syahwat. Adapun pandangan yang diharamkan oleh syara’ antara lain memandang wanita atau pria dengan syahwat atau yang dapat menimbulkan syahwat, baik wanita atau pria muhrim maupun wanita atau pria yang bukan muhrim. Jadi, pada intinya pandangan yang dibolehkan atau yang diharamkan oleh syara’ dalam pergaulan antara pria dan wanita, baik antar sesama jenis (wanita dengan wanita atau pria dengan pria) maupun dengan lawan jenis (pria dengan wanita), terletak pada menimbulkan syahwat atau tidak. Jika 97
pandangan tersebut dapat menimbulkan syahwat, maka haram hukumnya. Tetapi jika pandangan tersebut tidak menimbulkan syahwat, maka mubah hukumnya, atau masih dalam batas kewajaran (diperbolehkan). Dalam hubungan ini, kenapa Rasulullah dalam sebuah hadits, beliau mengatakan :
⎛⇔ْ™ُ⎨ْ↓ َµَ⇔°َπِ⇓ﱠ°َ∏ َ≥َΡْφﱠρ⇔↓ َ≥َΡْφﱠρ⇔↓ ِ∉ΧِْΦُ×َ⎨ ِ⎡ﱡνَ⊂°َ⎜ ُ≥َΡِ…⎨ْ↓ َµَ⇔ْΓَΤْϖَ⇔َ™ “Wahai Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan dengan pandangan (lainnya), sebab yang pertama itu bagimu, tapi yang lainnya bukan bagimu” (HR. At-Turmudzi dari Ali ra.). Maksud hadits ini adalah, bahwa apabila kita sudah terlanjur memandang wanita satu kali, maka janganlah diikuti dengan yang kedua, ketiga dan seterusnya, sebab memandang wanita berlama-lama dapat menimbulkan nafsu birahi. Apabila nafsu birahi muncul dan menguasai syahwat seseorang, maka bahaya perzinahan akan terjadi. Dan apabila perzinahan sudah ada dan terjadi di mana-mana, maka bobroklah akhlak dan moral manusia. Hal inilah sebenarnya yang dikhawatirkan oleh Rasulullah, sehingga dengan sedikit keras beliau memerintahkan : 98
َ∨َΡَΞَ± ْ√ِΡْ∅ِ↓ “Palingkanlah pandanganmu”. Kemudian, Allah SWT. berfirman :
.... ْθِ〈ℵِ°َΞْ±♣َ ْσِ⇑↓ْυﱡΖُ®َ⎜ َσْϖِρِ⇑ْΑُπْνِ⇔ ْοُ⋅ .... ْθِ〈ℵِ°َΞْ±♣َ ْσِ⇑ َσْΖُΖْ®َ⎜ ِ∝°َρِ⇑ْΑُπْνِ⇔ ْοُ⋅َ™ “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya .... Dan katakanlah kepada perermpuan yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya ...” (QS. AnNuur ayat 30 dan 31).
“Sekilas pandangan mata, adakalanya merupakan sebuah anak panah yang berbisa diantara panahpanah iblis yang terkutuk. Maka barangsiapa yang dapat menahan dirinya dari pandangan seperti itu, karena rasa takutnya kepada Allah, maka Allah SWT. akan melimpahkan kepadanya keimanan yang terasa amat manis dalam hatinya” (HR. AlHakim). Melalui puasa di bulan Ramadhan, dengan konsepnya menahan diri, terutama menahan diri dari pandangan mata yang diharamkan oleh Allah SWT. insyaAllah dapat membimbing kita agar selalu berada pada jalan-Nya yang benar. Karena dengan menahan pandangan dari yang diharamkan Allah, akan dapat membersihkan hati, sehingga kita dapat merasakan betapa manisnya iman dan betapa lezatnya beribadah kepada Allah SWT.
Ingatlah sabda Rasulullah SAW. :
ُãُτَρَ∈َ⇔ َΥْϖِνْ±ِ↓ ِ⇒°َ©ِℜ ْσِّ⇑ ٌ⇒ْυُπْΤٌ ⇑ﱠθْ©َℜ ُ≥َΡْφﱠρ⇔َ↓ ﱠοَ÷َ™ ﱠΣَ⊂ ُã↓ ُ®°َ×∞ ِã↓ َσِّ⇑°ً∏ْυَ…°َ©َ∧َΡَ× ْσَπَ∏ ِτِ™Χْνَ⋅ ِْ ُτَ×َ™َζَ≡ُΠِϑ⎜ﱠ°ً⇓°َπْ⎜♠ِ 99
KKKKK 100
7
MENAHAN DIRI DARI PENDENGARAN
S
alah satu indera yang sangat penting yang diberikan Allah SWT. kepada kita manusia adalah alat pendengaran atau telinga/kuping. Sedemikian indah, lengkap dan serasi Allah menciptakan telinga buat kita. Dia buat telinga kita berpasangan dan masing-masing mempunyai daun telinga, sehingga memudahkan kita untuk menangkap dan mendengarkan berbagai berita dan informasi. Dia lengkapi di dalam telinga kita berupa 101
kelenjar minyak yang kalau dicicipi rasanya pahit. Kelenjar minyak ini berfungsi sebagai penangkal sekaligus pengusir berbagai serangga dan sejenisnya yang mencoba masuk ke telinga kita. Dengan rasanya yang pahit, semua serangga dan sejenisnya tentu tidak akan ada yang suka, sehingga kalau toh terlanjur masuk, maka ia akan segera keluar. Kemudian, di dalam telinga kita terdapat pula alat perasa, sehingga jika ada benda-benda asing yang masuk, telinga kita akan mudah mendeteksinya. Dalam proses kejadian manusia, alat dengar yang bernama telinga ini ternyata lebih duluan difungsikan oleh Allah SWT. Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Fels Research Institute for The Study of Human Development, Ohio Amerika Serikat disebutkan bahwa dengan mempergunakan alat khusus yang dapat mencatat gerakan-gerakan bayi di dalam kandungan, membuktikan bahwa ternyata bayi yang ada di dalam kandungan seorang ibu dapat menerima kesan-kesan dari lingkungan hidupnya. Di dalam kandungan, sang bayi ternyata memerlukan waktu istirahat, waktu tidur dan berjaga (bangun). Ia dapat terkejut bila si ibu yang mengandungnya mengalami goncangan fisik maupun mental. Ia bisa bersedih bila ibunya bersedih. Ia merasa 102
senang dan bahagia, jika kondisi ibunya dalam keadaan senang dan bahagia. Berdasarkan penyelidikan Badan tersebut, dari hasil eksperimen yang telah dilakukan, dimana seorang ibu yang sedang hamil enam bulan didekatkan pada bel pintu, kemudian bel pintu dibunyikan, ternyata beberapa detik setelah bel pintu tersebut berdering, bayi yang ada di dalam kandungan sang ibu mulai bergerak-gerak, dan ketika denyut jantung sang bayi dihubungkan dengan bunyi suara yang diatur dan diteliti secara cermat dengan menggunakan alat khusus yang disebut oscillator dan sebuah mikropon super peka yang tentunya juga sudah dipersiapkan secara khusus, hasilnya memperlihatkan ternyata ketika sebuah suara diperdengarkan, dari suara yang pelan hingga suara yang nyaring, dari nada yang rendah sampai nada yang paling tinggi, detak jantung sang bayi ikut berubah-ubah frekuensinya, menyesuaikan frekuensi suara tersebut, dari angka 38 hingga mencapai 144 denyutan per detik. Prof. Drs. Brajanagara dalam bukunya Teori Pendidikan dan Dr. Paryana Suryadipura dalam bukunya Alam Pikiran, membenarkan adanya pengaruh emosi ibu yang sedang hamil dengan janin yang sedang dikandungnya dan pengaruh suara atau bunyi-bunyian terhadap janin yang ada dalam kandungan. Suara-suara yang keras yang terdengar tiba-tiba bisa mempengaruhi sang bayi yang ada dalam kandungan, karena bayi itu amat peka 103
terhadap suara, dan jantung si bayi bisa berdetak cepat, bahkan terhadap suara-suara tertentu bisa merangsang dia untuk melakukan gerakan pada anggota tubuhnya. Selanjutnya, menurut kedua pakar tersebut dikatakan bahwa, boleh jadi karena pengaruh gangguan emosi yang bertubi-tubi dan suara-suara keras yang terus menerus selama masa kehamilan, dapat mengakibatkan adanya kelainan mental dan fisik terhadap anak tersebut ketika dilahirkan. Dalam hubungan ini maka tepat sekali apa yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. dimana beberapa saat setelah lahirnya seorang bayi (biasanya setelah dibersihkan oleh Ibu Bidan) Rasulullah menganjurkan agar mengadzankannya ke telinga sebelah kanan dan mengiqamahkan ke telinga sebelah kiri. Hal ini dimaksudkan agar yang mula pertama di dengar oleh sang bayi ketika ia memulai hidup di dunia ini adalah Kalimatan Thayyibah (kalimat-kalimat yang baik) yakni asma Allah dan keMahabesaran-Nya. Walaupun hadits tentang mengadzankan bayi yang baru lahir tersebut tidak terdapat keterangan dari imam yang empat, namun para ulama ahli fiqih memandang perlu mengamalkan kebiasaan yang baik tersebut, dengan bersandar pada hadits Rasulullah (walaupun sebagian ulama menilai hadits ini lemah) sebagai berikut : 104
ْ‘ِ َ◊ ↓َ⇓ﱠB ِ ِã↓ ُ⇐ْυُℜَℵ ُΓْ⎜َ↓َℵ :َ⇐°َ⋅ ٍ∉ِ∏↓َℵ ْσَ⊂ ِ≥َζﱠΞ⇔°±ِ ُΕَπِβ°َ∏ ُτْ×َΠَ⇔َ™ َσْϖِ≡ِσْϖَΤُΛْ⇔↓ ◊ِ ُ⇓ُ↓ “Dari Abu Rafi’ ia berkata : Saya pernah melihat Rasulullah SAW. membaca adzan (seperti adzan shalat) pada telinganya Husain tatkala dilahirkan oleh Fatimah” (HR.Ahmad).
: َ⇐°َ⋅ ٍ∆ِ⇔°َβْ⎡±َِ↓ ِσْ± ِّ⎛ِνَ⊂ ِσْ± ِσْϖَΤُΛْ⇔↓ σَِ⊂ ِْ َ◊َ ⇓ ﱠ°َ∏ ٌ⎯ْυُ⇔ْυَ⇑ ُτَ⇔َΠِ⇔ُ™ ْσَ⇑ B ⎡ﱡΧِﱠρ⇔↓ َ⇐°َ⋅ ُ®ﱡΡُΖَ× ْθَ⇔ ∑َΡْΤُϖْ⇔↓ ِ َ⇒°َ⋅َ↓ َ™ ⎛َρْπُϖْ⇔↓ ِτِ⇓ ُ⇓ُ↓ ◊ِ°َϖْΧِّΞ⇔↓ ↓ُ⇒ﱡ “Dari Husain bin Ali bin Abi Thalib, ia berkata : Nabi SAW. pernah bersabda : Barangsiapa mempunyai anak yang baru dilahirkan, kemudian ia bacakan adzan pada telinganya yang kanan, dan iqamah pada yang kiri, niscaya tidak bisa diganggu oleh Ummus Shibyan (nama Jin isteri)” (HR. Abu Ya’la).
D ِσْϖَΤُΛْ⇔↓َ™ ِσَΤَΛ⇔ْ↓ ◊ِ ُ⇓ُ↓ ِْ َ◊↓ ↓َ⇓ﱠ 105
“Beliau (Nabi SAW.) itu, membaca adzan pada telinga Hasan dan Husain ra.” (HR. Abu Nu’aim dan Thabaranie). Disamping yang pertama difungsikan, telinga juga ternyata yang lebih akhir (yang belakangan) dicabut oleh Allah SWT. Tatkala menjelang ajal, dimana seluruh pancaindera manusia sudah tidak berfungsi lagi, maka pada detik-detik terakhir kehidupannya, Rasulullah menganjurkan agar segera didengungkan ke telinganya kalimat “Laa Ilaaha Illa Allah”. Hal ini dimaksudkan agar kalimat terakhir yang di dengarnya dan kalau mungkin yang diucapkannya, adalah kalimat keEsaan Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW. :
ُã↓َ ↓ِ⎨ﱠτ™⇔ِ↓⎢َ ْθُ∧°َ×ْυَ⇑↓ْυُρِّϕَ⇔ “Talqinkanlah (kawan-kawanmu) yang menjelang maut, dengan kalimat : “Laa ilaaha illa Allah” (HR. Muslim dan empat imam). Hadits ini dikuatkan oleh suatu riwayat tatkala paman Nabi yang bernama Abu Thalib sedang menghadapi sakaratul maut, Rasulullah SAW. bersabda : 106
°َ©±ِ َµَ⇔≠ﱡ°َ≡ُ↓ٌΕَπِνَ∧ ã ُ ↓َ↓ِ⎨ﱠτ™⇔↓ِ⎢َ ْοُ⋅ ِّθَ⊂°َ⎜ ُã↓َ↓ِ⎨ﱠτ⇔↓ِ⎢َ َ⇐υْ ُϕَ⎛َ♣◊ْ ⎜ﱠ±َ↓َ™ ِã↓َΠْρِ⊂ “Wahai paman (kata Rasulullah), ucapkanlah kalimat LAA ILAAHA ILLA ALLAH. Kalimat ini nantinya akan aku jadikan argumentasi terhadapmu di hadapan Allah. Tetapi Abi Thalib menolak untuk mengucapkan kalimat LAA ILAAHA ILLA ALLAH tersebut” (HR.Bukhari dan Muslim). Dua hadits di atas membuktikan bahwa ternyata pada saat detik-detik terakhir kehidupan manusia, ia masih diberi kesempatan oleh Allah untuk mendengar. Begitulah kelebihan pancaindera manusia yang bernama telinga ini. Dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, sebagian besar manusia nampaknya lebih suka memilih mendengar daripada berbicara, sehingga di dalam forum-forum rapat, diskusi, seminar, bahkan dalam forum silaturrahmi dan da’wah, orang lebih suka mendengar daripada berbicara, ini terlihat dimana ketika dibuka kesempatan dialog atau tanya jawab, hanya sebagian kecil yang angkat bicara, selebihnya hanya menjadi pendengar yang setia. Ribuan jamaah mengikuti ceramah yang disampaikan oleh seorang Muballigh. Para jamaah 107
tersebut ada yang berasal dari daerah setempat, ada pula yang datang dari daerah lain. Ada yang datang dengan berjalan kaki, menaiki kendaraan roda dua, roda empat dan ada pula yang naik kereta api, kapal laut bahkan pesawat terbang. Mereka datang, duduk, mendengar, terkadang diselingi dengan gelak tawa, terkadang menangis mencucurkan air mata, dan sebagainya. Sekembalinya ke rumah, pesan-pesan da’wah tersebut terkadang banyak yang terlupakan, hanya sebagian yang diingat. Begitulah, hanya sekedar mendengarkan tabligh agama, orang tidak segan-segan mengeluarkan biaya yang relatif besar. Mungkin kita masih ingat pada sekitar tahun 70 sampai 80-an, dimana masyarakat kita ketika itu terbuai oleh budaya dongeng dan sandiwara yang disajikan lewat radio. Di mana-mana orang pada suka mendengarkan dongeng dan sandiwara radio. Mulai kalangan anak-anak, remaja hingga orang dewasa. Bahkan, dikalangan anak-anak, mereka tidak akan mau tidur sebelum didongengkan terlebih dahulu. Dulu, menurut cerita orang-orang tua, radio sangat dibutuhkan untuk mendengarkan berita dan mendengarkan cerita wayang. Sekarang, dongeng dan sandiwara di radio itu telah berubah menjadi tayangan sinetron yang disajikan oleh berbagai stasion televisi. Masyarakat sekarang sudah banyak yang demam sinetron. Baik dongeng atau sandiwara di radio maupun cerita sinetron di televisi, 108
substansinya sama, yakni sama-sama mengajak penikmatnya untuk mendengar. Inilah budaya yang telah lama menjerat masyarakat kita. Dampaknya memang ada, terutama terhadap budaya baca dan budaya tulis. Ibu-ibu kelihatannya lebih suka memperdengarkan musik atau lagu-lagu untuk mengantarkan anaknya ke pembaringan untuk bobo, ketimbang membacakan cerita-cerita yang ada di buku atau menunjukkan gambar-gambar cerita dalam buku kepada anak-anaknya. Bahkan ketika menginjak remaja, di sekolahpun mereka masih disuguhi ceritacerita para pahlawan yang terkenal oleh Ibu dan Bapak Guru. Mereka lebih banyak dituntut untuk mendengar, jarang sekali mereka diarahkan untuk membaca sejarah dan mengambil intisari dan nilai-nilai moral di dalamnya. Dikalangan para muballigh, kiyai, ulama dan guru-guru agama, terutama di Kalimantan Selatan, dalam kegiatan da’wah mereka, sejak dulu sampai hari ini, nampaknya sebagian besar masih menggunakan budaya lisan dan budaya dengar. Padahal Kalimantan Selatan cukup banyak memiliki ulamaulama berkualitas dan bertarap nasional bahkan internasional, tetapi karya tulis mereka tergolong masih langka. Hanya ada beberapa ulama besar yang sempat menulis dan punya kitab karangan sendiri, 109
seperti Syekh Muhammad Nafis, pengarang kitab “Durun Nafis”, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dengan karya terbesar beliau “Sabilal Muhtadin” yang menjadi rujukan fiqih bagi masyarakat Islam, tidak saja di Kalimantan Selatan, tetapi juga di daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan juga di Asia Tenggara seperti di Malaysia, Berunei, Singapura dan Thailan Selatan, juga beberapa ulama lainnya yang sebenarnya mereka pernah menulis, namun kebanyakannya masih bersifat lokal dan penggunaannyapun hanya terbatas untuk kalangan sendiri, terutama diperuntukkan kepada para pengikut pengajian dan murid-murid atau para santri dari ulama tersebut, sehingga belum sempat dipublikasikan secara luas. Mendengar memang perbuatan yang paling mudah dan relatif tidak berresiko sepanjang hanya untuk kepentingan sendiri dan apa yang kita dengar relatif benar, dalam artian kita tidak salah dengar dan informasi yang kita dengar juga dapat dipertanggungjawabkan, baik secara keilmuan maupun secara hukum. Dari segi ekonomi, kalau hanya sekedar mendengar, relatif tidak memerlukan biaya. Kalau toh harus mengeluarkan biaya juga, maka jumlah biaya yang dikeluarkan relatif lebih murah dibandingkan dengan biaya melihat dan biaya berbicara. Hal ini tentu tergantung apa yang menjadi subyek dan 110
obyeknya. Misalnya, kita ingin nonton pertunjukkan musik yang dimainkan group Bimbo di alun-alun. Kalau kita masuk ke dalam arena pertunjukkan, maka kita harus bayar dengan membeli tiket masuk dan kita bisa melihat pertunjukkannya. Tetapi kalau kita hanya ingin mendengar saja, maka kita tidak perlu masuk, di luarpun kita sudah bisa mendengar dan menikmati musiknya secara gratis. Kesempatan mendengar bagi kita begitu banyak, begitu luas dan begitu beragam. Dari yang berskala kecil hingga berskala besar. Dari yang sederhana sampai yang sangat penting dan serius. Selama kita hidup di dunia ini, selama itu pula begitu banyak dan begitu beragam yang sempat kita dengar. Terkadang kita dengar suara-suara kebaikan, terkadang terdengar pula suara-suara kemungkaran dan kejahatan. Telinga kita cukup sulit memang memilih dan memilah, mana yang harus kita dengar, mana yang harus kita hindari atau kita tutup rapat-rapat pendengaran kita. Apalagi kita hidup di era yang serba modern sekarang ini, dengan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu canggih dan relatif bebas lepas ini, maka memfilter semua yang kita dengar nampaknya rada-rada sulit. Berbagai media audio dan visual semakin berkembang sekarang ini, sehingga tidak berlebihan 111
kalau kita bilang, jaman sekarang ini adalah jaman media. Kemajuan teknologi dewasa ini semakin memacu terhadap dampak media itu sendiri menjadi berjuta-juta kali. Kalau dulu dampak media tidak begitu seberapa, namun sekarang karena ditunjang oleh kemajuan teknologi, maka sarana media tumbuh dan berkembang semakin banyak dan beragam serta semakin mendominasi terhadap aktivitas hidup dan kehidupan manusia. Media sekarang ini sudah menjadi senjata ampuh perang urat syaraf dalam pergolakan pikiran, politik dan ekonomi, terutama jika dikelola oleh para ahli media, para propagandis, para spesialis yang memang mahir dan memiliki skill yang tinggi dalam pendayagunaan media, sehingga pada gilirannya nanti, manusia akan menjadi sasaran media. Artinya, tidak lagi manusia yang mengendalikan media, tetapi media yang mengendalikan manusia. Pengaruh ini nampaknya sedikit demi sedikit sudah dapat kita rasakan. Jika sarana media dapat menguasai dan mengarahkan perasaan serta pikiran manusia sesuai dengan kehendaknya, maka tentu sarana media sangat berpotensi untuk mengarahkan masyarakat kejalan yang baik, yang di ridhai Allah SWT. Jika kondisi ini benar-benar terjadi, maka pengaruh media sangat besar artinya bagi kemajuan ummat dan kemajuan suatu bangsa. Tapi sebaliknya, jika sarana 112
media digunakan untuk kemungkaran, kejahatan dan kesesatan, pengaruhnyapun tidak terbayangkan betapa tragisnya. Di negara yang berpemerintahan sosialisme, media dianggap efektif dan memiliki peranan penting dalam mempropagandakan dan mengasah pemahaman masyarakat terhadap paham sosialisme, sekaligus berusaha mematahkan pikiran dan politik yang berlawanan dengan prinsip tersebut. Teori komunisme memandang media tidak lain hanya digunakan untuk kepentingan politik, ideologi negara dan untuk mengarahkan pendapat umum sekaligus menyalurkannya melalui metode dan pengarahan negara. Suatu ketika, Lenin, seorang tokoh komunisme bertanya kepada beberapa orang pengikutnya : “Menurut kalian, siapa orang yang patut disebut sebagai seorang komunis istimewa?”. Ketika para pengikutnya sedang berdebat adu argumentasi untuk mencari sosok yang ideal seorang komunis istimewa, Lenin kembali menyambung ucapannya : “Ketahuilah saudara-saudara, seorang komunis istimewa adalah seseorang yang mahir dan piyawai didalam memerankan sebuah adegan film berlibel komunis. Dialah orang yang mengabdikan dirinya untuk partai dan negara, yang pengaruhnya melebihi barisan seribu orang komunis sejati”. 113
Ternyata ungkapan Lenin ini mereka terjemahkan dalam kehidupan sehari-hari dengan mendayagunakan peran media didalam mempropagandakan paham komunis terhadap masyarakat. Di Mesir, ada organisasi seniman yang terdiri dari bintang film yang berpaham komunis. Mereka memproduksi beberapa buah film yang secara halus mampu membangkitkan simpati orang terhadap komunisme. Sebagai contoh seperti film “Al-Ushfur” yang banyak disukai dan ditonton oleh masyarakat Mesir dan pengaruhnya begitu besar didalam menyebarluaskan paham yang menyesatkan ini. Di negara Barat, baik di Eropah maupun Amerika, ditemukan hal yang serupa dalam mengoperasikan media. Mereka gunakan media untuk kepentingan pemerintahan bebas, menyanjung setinggi tingginya paham demokrasi dan kapitalisme, sekaligus menyerang habis-habisan paham Marxisme baik dari segi ideologinya maupun politiknya. Media barat melandaskan pikirannya untuk mengejar kebahagiaan materi dengan segala ragamnya, baik berupa harta, tahta, wanita, wisata dan sebagainya. Pendeknya, hiburan dan pemuasan material merupakan landasan utama strategi media mereka, sehingga dari hari kehari, tahun ke tahun, mereka semakin terlepas dari berbagai sistem nilai dan akhlak. 114
Di negara-negara Islam dan di negara-negara mayoritas Islam, termasuk di Indonesia, sebagian besar sarana media lahir pada saat masa penjajahan negara-negara barat, sehingga perkembangan dunia media tersebut sedikit banyaknya dipengaruhi oleh paham, pikiran, watak, gaya dan cara yang pernah dilakukan pada masa penjajahan tersebut. Hal ini dapat kita lihat dan rasakan bagaimana bentuk sajian sebuah radio, bagaimana penampilan yang ditunjukkan oleh sebuah koran, tabloid dan majalah, bagaimana program tayangan yang kita lihat dan saksikan setiap hari di televisi. Kalau boleh kita menyimpulkan bahwa media kita dewasa ini, terutama di televisi sebagian besar tayangannya masih bernuansa ke barat-baratan, walaupun terdapat sebagian tayangan yang bernuansa Islam, namun prosentasinya relatif kecil. Kita sadari maupun tidak, sekarang ini semua lapisan masyarakat beserta kegiatannya ada dalam genggaman media. Segala apa yang telah dibangun oleh organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, organisasi politik dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya selama bertahun-tahun untuk membenahi masyarakat dan negara ke arah perbaikan material, moral dan akhlak, boleh jadi dapat dihancurkan oleh media yang sesat, hanya dalam tempo beberapa jam saja. Seorang ulama di masjid, guru/ustadz di sekolah, atau seorang da’i di majelis ta’lim, yang telah bersusah payah membina jamaahnya, 115
membina murid-muridnya, tidak menutup kemungkinan akan menjadi kacau balau dan berantakan karena pengaruh media yang sesat dan menyesatkan yang ia dengar dan ia tonton setiap hari. Kenapa?, karena kekuatan politik sesat yang berada di belakang layar sebuah media tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan sikap dan moral masyarakat, terutama generasi mudanya. Dalam hubungan ini, maka tepat sekali apa yang diungkapkan oleh seorang penyair berikut ini : “Hingga kapan bangunan itu bisa diselesaikan, bila engkau membangun dan yang lain menghancurkan. Seribu pembangun diikuti seorang perusak sudah cukup, apalagi seorang pembangun diikuti seribu perusak”. Keberadaan media ibarat pedang bermata dua. Disatu sisi dia merupakan alat yang ampuh dalam memberikan manfaat yang semaksimal mungkin kepada masyarakat dan dapat memainkan peranan penting dalam membina masyarakat dan generasi mudanya untuk menaiki jenjang kemajuan. Namun di sisi lain, keberadaan media dapat pula dijadikan alat dan sarana didalam merusak, menghancurkan dan menyesatkan masyarakat, sehingga jauh dari agamanya, jauh dari tuntunan moral dan akhlak yang baik dan terpuji. Didalam
menyikapi 116
keberadaan
sarana
media ini, kita harus pandai memilih dan memilah, mana yang mesti kita dengar, mana yang harus kita jauhkan dari pendengaran kita. Pilihlah acara-acara di radio yang seyogyanya dapat menambah ilmu pengetahuan dan meningkatkan keimanan kita kepada Allah. Tontonlah tayangan-tayangan di televisi yang sekiranya mampu menambah wawasan keilmuan kita, meningkatkan kemampuan beragama dan yang dapat memberikan nuansa sejuk, damai dan penuh keindahan. Jauhi dan hindari tayangan-tayangan yang glamor, merusak aqidah dan moral serta tayangan yang menyuguhkan kekerasan, kekejaman dan semacamnya. Atur dan bimbinglah putera-puteri kita didalam memanfaatkan media audio dan audio visual ini. Jangan biarkan mereka bebas memilih suguhan acara dan tayangan apa saja, tanpa keterlibatan kita untuk memilih dan mengarahkan manamana yang sekiranya patut di dengar dan pantas di tonton oleh anak-anak seusia mereka. Apalagi di bulan Ramadhan ini, segala bentuk suguhan acara di radio dan program tayangan di televisi, biasanya cukup sarat dengan nuansa Islami. Karenanya, manfaatkanlah kesempatan baik ini untuk menggunakan alat dengar kita, sehingga melalui alat dengar yang dianugerahkan Allah kepada kita, dapat membimbing jiwa kita lebih dekat kepada-Nya. Di
bulan Ramadhan ini 117
juga, kegiatan-
kegiatan da’wah terutama di masjid-masjid, langgar dan mushalla cenderung meningkat, terutama kegiatan-kegiatan Tadarrus Al-Qur’an dan pengajian Islam, baik berupa kultum ramadhan maupun kuliah subuh. Disamping itu majelis-majelis ta’lim dan majelis-majelis peribadatan dan dzikir juga semakin digiatkan pada bulan Ramadhan ini. Demikian juga kegiatan-kegiatan silaturrahmi, seperti buka puasa bersama yang diisi dengan ceramah agama dan bacaan-bacaan dzikir, safari ramadhan dan kegiatan-kegiatan pesantren kilat, semakin menyemaraki keberkahan di bulan Ramadhan ini, yang kesemuanya tentunya harus kita manfaatkan sedemikian rupa dalam rangka mengoptimalkan fungsi pendengaran yang diberikan Allah kepada kita. Marilah kita kendalikan fungsi pendengaran kita agar mengarah kepada hal-hal yang positif dan yang dapat menambah nilai ibadah puasa kita. Hindari dan jauhi perbuatan-perbuatan yang dapat mengurangi bahkan merusak keutuhan nilai puasa kita. Usahakan selama di bulan Ramadhan ini, tidak bergabung dengan orang-orang yang suka berbuat maksiat, orang-orang yang suka menggunjing, dan orang-orang yang suka berkata keji dan kotor. Ingatlah peringatan Rasulullah SAW. :
ِθْ∂ِ⎧ْ↓ ِ ◊ِ°َλْ⎜ِΡَ⊗ ُ∉ِπَΦْΤُπْ⇔↓َ™ ُ″°َΦْ®ُπْ⇔َ↓ 118
“Orang yang menggunjing dan yang suka mendengarkan gunjingan adalah serupa dalam dosa” (HR. Ath-Thabrani). Mudah-mudahan dengan latihan menahan diri dari pendengaran selama bulan Ramadhan ini, dapat memberikan kesan dan pesan yang sangat berarti bagi kita, sehingga pada bulan-bulan berikutnya, kebiasaan baik ini akan terus terulang dan terus terulang sepanjang hayat dikandung badan.
8
MENAHAN DIRI DARI KECENDERUNGAN HATI YANG MERUSAK
H 119
ati adalah raja pengatur stabilitas (the central emotion) bagi seluruh anggota tubuh manusia.
Hati, tidak saja berupa segumpal daging yang berbentuk bulat memanjang, yang berisikan rongga-rongga dan mengandung darah hitam, lebih dari itu, hati sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat abstak dan merupakan sebuah ikhwal rohaniah 120
yang sulit ditembus oleh kekuatan indrawi, yang keberadaannya sebagai penentu baik buruknya aktivitas jasmani. Rasulullah SAW. bersabda :
ِ َΛَνَ∅ ْΓَΛَνَ∅↓َ⇓ِ↓ ًΕَ®ْΖُ⇑ِΠَΤَϑْ⇔↓ ِ ↓َ⎨ﱠ↓ِ◊ﱠ Γ َ⎨َ↓ ُτﱡνُ∧ُΠَΤَϑْ⇔↓ ِ∝َΠَΤَ∏ ْ∝َΠَΤَ∏↓َ⇓ِ↓َ™ ُτﱡνُ∧ُΠَΤَϑْ⇔↓ ُ∆ْνَϕْ⇔↓ َ⎡ِ〈َ™ “Ketahuilah, di dalam jasad manusia ada suatu mudghah (segumpal daging). Apabila kondisinya baik, akan baik pula jasad (manusia). Apabila kondisinya buruk, akan buruk pula jasad (manusia). Ketahuilah mudghah (segumpal daging) itu adalah hati” (HR. Muslim). Tak seorangpun yang tahu apa sesungguhnya substansi hati, ia merupakan rahasia Rabbani yang kita sebagai makhluk-Nya hanya mampu berkata subhanallah, Maha Suci Allah, begitu sempurna ciptaan-Nya. Hati merupakan anugerah Allah yang sangat besar dan patut kita syukuri. Dengan adanya hati, kita dapat menikmati kehidupan ini lebih dari sekedar kehidupan binatang yang hanya bersandar pada 121
kenikmatan material. Hati adalah bagian dari komponen kehidupan manusia yang sangat berperan dan ia merupakan harta yang sangat mahal yang dianugerahkan Allah kepada manusia dengan bobot nilai yang tak terhingga dan kepada setiap kita dituntut untuk memeliharanya dengan baik agar keberadaan hati tetap dalam keadaan suci bersih. Sebab apabila hati bersih, maka kebersihannya itu akan memancar dan membekas pada sikap prilaku lahiriyah. Sebaliknya, apabila hati kotor, maka kotorannya ini akan melekat dan membekas pada setiap sikap dan tingkah laku. Pada dasarnya ajaran Islam ditujukan untuk membangun hati manusia melalui sarana Tazkiyah yaitu suatu proses penyucian hati yang harus dilaksanakan secara terus-menerus oleh setiap individu dan masyarakat Islam melalui penghayatan dan pengamalan rukun Islam. Tatkala seseorang berikrar Asyhadu an laa ilaa-ha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah dengan menyatakan diri memeluk agama Islam, maka ikrar ini dapat membebaskan dirinya dari segala macam bentuk penghambaan selain Allah. Bahkan dengan ikrar ini pula, dapat menimbulkan kesadaran yang tajam dan dalam bahwa Allah adalah lebih besar dari segala bentuk apapun. 122
Allah lebih berkuasa dan berhak disembah oleh segenap makhluk yang ada. Oleh karenanya, ia tidak akan dapat diperbudak oleh suatu sistem duniawi yang bukan bersumber dari Allah. Ia tidak akan takut kepada siapapun, kecuali hanya takut kepada Allah. Ia akan secara konsekuensi siap menerima segala apa yang disyari’atkan Allah melalui RasulNya Muhammad SAW. Demikian juga dalam ajaran shalat. Shalatpun juga merupakan proses penyucian hati yang membebaskan manusia dari ikatan ruang dan waktu. Dengan mengangkat takbir Allahu Akbar di permulaan shalat dapat mengantarkan jiwa manusia naik dan terus naik melayang ke alam yang maha tinggi menghadap Ilahi Rabbi. Disinilah letak awalnya proses Mi’rajul Mu’minin (awal proses pertemuan dan dialog dengan Allah Tuhan Yang Maha Tinggi). Hati yang kotor memang tidak akan mampu menghayati shalat dengan sesungguhnya. Hanya dengan hati yang bersihlah seseorang baru mampu menghayati shalat sebagai sarana yang intens untuk berdialog dengan Allah Zat Yang Maha Suci. Demikian juga zakat. Melalui zakat, dapat membersihkan hati si kaya dari rasa egois dan mementingkan diri sendiri, dan dapat pula membersihkan hati si miskin dari rasa iri dan dengki. Begitu juga haji. Dengan memakai kain ihram, mengandung makna simbolik dari kesucian hati orang yang 123
memakainya. Dan pakaian inilah pula yang mendorong seseorang untuk pergi haji, dengan meninggalkan sanak saudara, anak cucu, kampung halaman, harta benda, pangkat jabatan dan segala yang dicintainya. Ia datang ke tanah suci dengan penuh keikhlasan semata-mata memenuhi panggilan Allah untuk memperoleh berkat dan ridha-Nya. Ayat 183 surah Al-Baqarah yang berisi perintah puasa Ramadhan untuk mengantarkan orangorang yang beriman menuju jenjang taqwallah yang merupakan inti pokok tujuan puasa, hal ini juga tidak lepas dari konsep penyucian hati. Imam Ibnu Katsir menggarisbawahi, bahwa puasa adalah pembersihan hati, menyucikannya dan memeliharanya dari campuran yang kotor dan dari akhlak yang tercela. Dengan berpuasa, menahan lapar dan dahaga, menahan diri dari nafsu syahwat dan beberapa kesenangan yang halal lainnya, mengingatkan kita kepada orang-orang yang selalu menderita sepanjang tahun, bahkan sepanjang hidupnya. Dengan berpuasa dapat menggugah diri seseorang yang hidup bergelimpangan harta dan kemewahan agar dapat merasakan penderitaan saudara-saudaranya sehingga dari pengalaman ini diharapkan dapat membangkitkan perasaan lembut dan santun serta rasa kesatuan, persaudaraan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi. 124
Dengan berpuasa, hati akan menjadi sehat. Dan hati yang sehat selalu mempunyai rasa solidaritas sosial yang tinggi khususnya penghayatan terhadap orang-orang yang lemah, fakir miskin dan anak yatim. Perasaan tersebut tidak akan berhenti sampai disitu, tetapi akan ia realisasikan dalam perbuatan nyata untuk meringankan beban penderitaan sesamanya. Hati yang sehat akan selalu ingat dan sadar bahwa rezeki yang ia peroleh selama ini merupakan amanat Allah yang di dalamnya ada hak-hak orang lain yang wajib dikeluarkan. Sehingga orang yang berpuasa dan benar-benar menghayati puasanya, tidak akan segan-segan untuk berbuat kebajikan. Jika keadaan ini telah merasuk ke dalam jiwa seseorang dan kemudian terrealisasi dalam perbuatan amal kebajikan, maka boleh dikatakan bahwa proses penyucian hati melalui ibadah puasa benarbenar membuahkan hasil yang baik. Kalau kita tengok sejarah orang-orang terdahulu dalam melakukan puasa, nampaknya puasa yang mereka lakukan juga berorientasi pada penyucian hati. Sebagai contoh dapat kita baca sejarah agama Hindu, dimana para pengikut Brahma dan Wisnu, apabila mereka ingin memperoleh berkah dari para Dewa, mereka terlebih dahulu melakukan penyucian hati dengan berpuasa. Demikian juga Nabi Musa a.s ketika beliau ingin beraudensi 125
dengan Tuhan di Bukit Sinai, terlebih dahulu beliau melakukan puasa selama 40 hari. Karena untuk berkomunikasi dengan Tuhan diperlukan penyucian jiwa. Banyaklah lagi contoh lainnya yang menggambarkan bahwa puasa pada dasarnya merupakan upaya-upaya dalam penyucian hati. Salah satu tugas pokok Rasulullah SAW. disamping menyampaikan ayat-ayat Allah dan mengajarkan kitab suci serta hikmah (ilmu pengetahuan) beliau juga ditugasi untuk membersihkan atau menyucikan ummat manusia, baik yang menyangkut soal-soal jasmaniah terlebih-lebih soal rohaniah dengan cara mengarbol bersih-bersih dari segala sifat-sifat kemusyrikan dan penyakit-penyakit hati lainnya. Sangat banyak nash-nash Al-Qur’an dan Assunnah Rasulullah yang menunjukan betapa perjuangan Rasulullah didalam usaha membersihkan hati manusia. Karena kebersihan hati merupakan syarat mutlak bagi seorang hamba yang kepingin memperoleh ridha Allah SWT. Firman Allah dalam Al-Qur’an :
ِµِّ™±َℵ ⎛⇔ِ↓ ْ⎡ِ∈ِ÷ْℵِ↓ ُΕﱠρِΒَπْχُπْ⇔↓ ُΥْηﱠρ⇔↓°َ©ُΦَ⎜ﱠƒَ™َ⎜ 126
ْ⎡ِνُ…ْ⎯↓َ™ ْ⎝ ِ⎯°َΧِ⊂ ِْ ْ⎡ِνُ…ْΠَ∏ ًΕﱠϖِ∪ْΡً ⇑ﱠΕَϖِ∪↓َℵ ْ⎡ِΦﱠρَ÷ “Wahai nafsu yang tenang, kembalilah kepada TuhanMu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam Sorga-Ku” (QS. Al-Fajr ayat, 27-30). Membersihkan hati tidaklah gampang. Ia memerlukan latihan-latihan yang serius dan terus menerus. Salah satunya adalah dengan melakukan puasa di bulan Ramadhan ini. Sebab, dengan berpuasa, kita tidak saja dituntut untuk mampu menahan diri dari makan dan minum, dari hubungan suami isteri, dari perbuatan panca indera yang merusak, juga berpuasa dituntut agar kita mampu menahan diri dari kecenderungan hati yang merusak, yang dapat mengurangi keutuhan nilai puasa kita. Kecenderungan hati yang merusak ini antara lain : 1. Takut mendapat celaan orang lain; 2. Terlalu cinta terhadap dunia; 3. Meminta pujian orang lain; 4. Riya’ dalam beribadah dan beramal; 5. Tamak; 6. Sombong danTakabbur; 127
7. Suka menghasud; 8. Dendam; 9. Mudah marah; 10. Buruk sangka; 11. Kikir dan serakah; 12. Keras hati; 13. Berkeluh kesah; 14. Rasa gengsi berlebihan; 15. Putus asa dari rahmat Allah; 16. Merasa sedih dan khawatir yang berlebihan karena urusan dunia; 17. Suka menipu; 18. Suka memfitnah dan ado domba; 19. Ketidakstabilan mental; 20. Dan sebagainya. Seseorang yang mampu menahan diri dari kecenderungan hati yang merusak selama menjalankan puasa, ia termasuk golongan orang-orang yang berada pada peringkat puasa khususil khusus (yang terkhusus/yang istimewa). Peringkat puasa khususil khusus, atau puasa yang terkhusus dari yang khusus, atau puasa yang paling istimewa/paling utama, adalah pelaksanaan puasa disamping menahan diri dari makan dan minum, dari hubungan seksual di siang hari, dari perbuatan panca indera yang merusak, puasa khususil khusus merupakan puasa hati, puasa jiwa, dengan mengendalikannya dari niatan-niatan yang 128
jahat, niatan-niatan yang merusak, niatan-niatan yang rendah dan pikiran-pikiran duniawi. Seseorang yang berada pada tingkatan puasa khususil khusus ini, disamping mampu menahan diri dari makan dan minum, tidak melakukan hubungan seksual dan dari perbuatan panca indera yang merusak, ia juga mampu menahan diri dari niatan-niatan, pikiran-pikiran yang buruk atau jahat, seperti perasaan iri dan dengki, perasaan riya, takabbur, mau menipu, memfitnah, mengadu domba dan sebagainya. Puasa pada tingkat ini adalah puasanya para Nabi, Shiddiqien dan Muqarrabiin. Walaupun mencapai peringkat puasa khususil khusus ini dirasa sangat berat dan sulit, namun setidaknya kita tetap selalu berupaya menuju ke arah itu dengan cara memperbanyak dzikir, memperbanyak ibadah dan amal shaleh serta melakukan upaya-upaya penekanan terhadap kecenderungan hati yang merusak. Semoga puasa yang kita jalankan di bulan Ramadhan ini dapat berfungsi sebagai pembersih hati kita masing-masing untuk mencapai jiwa yang tenang, yaitu jiwa yang selalu stabil, konstan dan istiqamah, baik dalam suka maupun di dalam duka.
129
9
PENUTUP
M
elakukan ibadah puasa tidaklah ringan, apalagi menghayatinya. Karena berpuasa dituntut tidak saja mengamalkannya secara lahiriyah, melainkan diharapkan juga dapat menjadikan ajaran puasa itu melekat dan memancar dalam kehidupan seharihari. Secara harfiyah puasa berarti menahan diri. Menahan diri dalam artian tidak saja dari perbuatanperbuatan yang haram, yang tidak dibenarkan oleh syara’, melainkan juga dari perbuatan-perbuatan yang halal, dalam waktu-waktu tertentu. Makan dan 130
minum barang-barang milik sendiri adalah halal. Melakukan hubungan suami isteri adalah halal. Tetapi itu semua tidak boleh dilakukan pada waktuwaktu tertentu, yakni sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
hubungan cintanya kepada Allah tersebut.. Disamping itu, orang yang beriman, dia sadar dan memahami bahwa apapun yang diperintahkan Allah pasti terkandung manfaat yang besar di dalamnya. Dan manfaat dari puasa adalah latihan pengendalian diri.
Kenapa di dalam berpuasa, yang halal dan yang haram sama-sama dilarang? Disinilah letak kunci rahasia yang terkandung didalam ajaran puasa. Allah memerintahkan kita berpuasa pada intinya adalah memberikan pelajaran yang berharga tentang betapa pentingnya konsep menahan diri dalam puasa itu. Bahkan kesabaran didalam menahan diri mempunyai nilai yang amat berharga bagi pembentukan keteguhan jiwa kita. Sebab, manusia akan jatuh derajatnya bahkan bertukar menjadi derajat hewan kalau tidak mampu menahan dirinya.
Dengan berpuasa, kita semua dididik oleh Allah SWT. agar mampu menahan dan mengendalikan nafsu makan dan minum, nafsu syahwat, nafsu amarah dan kecenderungan panca indera dan hati dari perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.
Orang-orang yang mampu menahan diri hanyalah orang-orang yang beriman. Oleh karenanya di dalam perintah berpuasa hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman, kenapa? karena Allah Maha Tahu dan sudah memperhitungkan sebelumnya, bahwa yang bakal bersedia dan sanggup memikul tugas berat ini, yakni puasa, hanyalah orangorang yang beriman, lain tidak. Karena orang yang benar-benar beriman, ia sangat cinta kepada Allah, sehingga dengan kecintaanya ini, apapun yang diperintahkan Allah, akan ia laksanakan dengan baik dan senang hati, demi menjaga kelanggengan 131
Semoga dengan latihan menahan diri dalam puasa ramadhan pada tahun ini dapat memberikan kesan dan pesan yang berharga bagi kita, sehingga pada bulan-bulan lain setelah ramadhan, diharapkan kita juga mampu menahan diri dari perbuatanperbuatan yang dilarang oleh agama. Semoga Allah menerima ibadah puasa kita dengan berjuta hikmah dan keridhaan-Nya. Amin.
bbbb 132
Abdul Malik Al-Qasim, Bagaimana Menjaga Hati, Darul Haq, Jakarta, 2002; Abu Zaid, Citra Diri Remaja Muslim, Wahyu Press, Jakarta Selatan, 2003;
BAHAN RUJUKAN
Abubakar bin Salim, Syeikh, Menyingkap Rahasia Hati, Putera Riyadi, Solo, 2000;
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta, 1989;
Aep Kusnawan, Berdakwah Lewat Tulisan, Mujahid Press, Bandung, 2004;
Abdullah bin Jarullah; Ed. Fenomena Syukur (Berdzikir dan Berpikir), Risalah Gusti, Surabaya, 1996;
Ahmad Shiddiq, Drs. 10 Sifat Muslim Sejati, Putra Pelajar, Surabaya, 2001;
Abdullah Nashih Ulwan, Etika Memilih Jodoh, Cahaya Press, Jakarta, 2002; Abdullah Gymnastiar, KH, Menjemput Rezeki Dengan Berkah, Republika, Jakarta, 2003; Abdurrahman Arroisi, KH, Keberadaan Manusia Di muka Bumi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997; Abdurrahman Al-Mukaffi, Pacaran Dalam Kacamata Islam, Media Da’wah, jakarta, 2001; Abdurrahman Masykur, Menundukkan Rayuan Setan, Putera Pelajar, Surabaya, 2001; 133
Al-Gazali, Imam, Tafakkur Dibalik Penciptaan Makhluk, Risalah Gusti, Surabaya, 1999; ----------------------, Syukur Menambah Nikmat, Dua Putra Press, Surabaya, 2001; ----------------------, Bahaya Lisan dan Cara Mengatasinya, Tiga Dua, Surabaya, 2004; Anwar Harjono, Dr. Da’wah dan Masalah Sosial Kemasyarakatan, Media Da’wah, Jakarta, 1987; Anis Matta, Menikmati Demokrasi, Strategi Da’wah Meraih Kemenangan, Pustaka Saksi, jakarta, 2002; 134
Arman Arroisi, Refleksi Ajaran Tuhan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995; Asma’ Umar Hasan Fad’aq, Mengungkap Makna dan Hikmah Sabar, Lentera Basritama, Jakarta, 1999;
Jakarta, 2003; Kariman Hamzah, Islam Berbicara Soal Anak, Gema Insani Press, Jakarta, 1991; Muhammad Qutb, Salah Paham Terhadap Islam, Pustaka Salman ITB, Bandung, 1982;
As’ad Muhammad Sa’id Ash-Shaghirji, Syaikh, Memelihara Mata dan Nafsu Seks, Media Da’wah Jakarta, 2000;
Muhammad Ahmad Ar-Rasyid, Pelembut Hati, Robbani Press, Jakarta, 1999;
Aserani Kurdi, S.Pd, Marhaban ya Ramadhan, Kumpulan Bahan Kultum Sekitar Ramadhan, AlFath Offset, Yogyakarta, 2001;
Muna Haddad Yakan, Hati-hati Terhadap Media Yang Merusak Anak, Gema Insani Press, Jakarta, 1991;
Bey Arifin, H. Samudera Al-Fatihah, Bina Ilmu, Surabaya, 1993;
Musthofa Masyhur, Syekh, Berjumpa Allah Lewat Shalat, Gema Insani Press, Jakarta, 1999;
Fathi Yakan, DR. Manusia Antara Hidayah Allah dan Tipu Daya Setan, Gema Insani Press, Jakarta, 2001;
Nabih Abdurrahman Usman, DR. Kecenderungan Jiwa Manusia, Bursa Ilmu, Surabaya, 2003;
Hamid Fulailah, H. Bila Sang Lidah Berbicara, Putra Pelajar, Surabaya, 2001; Harun Yahya, Bagaimana Seorang Muslim Berfikir, Robbani Press, Jakarta, 2001; Husin Naparin, KH.Lc.MA, Fikrah, Refleksi Nilai-nilai Islam Dalam Kehidupan Jilid 1 & 2, El-Kahfi, 135
Nurcholish Madjid dkk, Puasa Titian Menuju Rayyan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000; Rahman Sani, Hikmah Puasa Tinjauan Ilmu Kesehatan, Al-Mawardi Prima, Jakarta, 2000; Salman bin Fahd Al-Audah, Dr. Agar Bahtera Tak Tenggelam, Risalah Gusti, Surabaya, 1995; 136
Syahrin Harahab, MA, Prof.Dr. Hikmah Puasa, Srigunting, Jakarta, 2001; Tita Masithah, SP.M.Si, Muslimah? Dimana Identitasmu, Wahyu Press, Jakarta, 2003; Umar Hasyim, Cara Mendidik Anak Dalam Islam, Bina Ilmu, Surabaya, 1991; Usep Romli, HM, Percikan Hikmah, Berdialog Dengan Hati Nurani, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000; Uwes al-Qorni, 60 Bahaya Lisan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999; --------------------, 60 Penyakit Hati, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000; Yahya Ibn Hamzah, Imam, Kiat Mengendalikan Nafsu, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001; Yusuf al-Qardhawi, Dr. Fiqh Puasa, Srigunting, Jakarta, 1997; -------------------------, Titik Lemah Umat Islam, Penebar Salam, Jakarta, 2001;
137
RIWAYAT SINGKAT PENYUSUN Aserani Kurdi, S.Pd dilahirkan di Barabai-HST. Kal.-Sel. tanggal 03 Februari 1963. Pendidikan formal yang ia tempuh : SDN Seroja Barabai (1977); SMEPN Ganesya Barabai (1981); SMEAN Barabai (1984) dan FKIP Unlam Banjarmasin (1993). Selain pendidikan formal, ia juga gemar mengikuti pendidikan nonformal berupa penataran, kursus dan diklat. Ilmu-ilmu ke-Islaman ia peroleh melalui berbagai pengajian, belajar ke rumah guru, literatur Islam dan berbagai organisasi Islam diantaranya PII (Pelajar Islam Indonesia), IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan Muhammadiyah. Organisasi yang aktif ia ikuti sekarang adalah Muhammadiyah pada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tabalong. Disamping gemar menulis, ia juga aktif dalam da’wah Islamiyah di daerahnya. Karya Tulis yang sudah dan sedang digarapnya antara lain : Apresiasi Juz ‘Amma; Petunjuk Jalan Lurus (Kumpulan Bahan Kultum Praktis); Menyingkap Misteri Lailatul Qadar (Sebuah Upaya Pemahaman); Marhaban Ya Ramadhan, 138
Kumpulan Bahan Kultum Sekitar Ramadhan; Kumpulan Khuthbah Jum’at Pilihan; Kumpulan Khuthbah Jum’at Tanjung Bersinar yang digarap bersama dengan Drs.H.Birhasani (Kabag Sosial PEMDA Tabalong); 6 M Sebuah Konsep Dalam Menyikapi Islam; dan sejumlah diktat pelajaran untuk siswa SMK Negeri 1 Tanjung. Tugasnya kini adalah sebagai Guru pada SMK Negeri 1 Tanjung, sejak Maret 1994.
t 139