KONSEP DASAR LOSS, GRIEVING, DYING, AND DEATH
1. KEHILANGAN 1.1 DEFINISI KEHILANGAN Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang membutuhkan adaptasi melalui proses berduka. Kehilangan terjadi ketika sesuatu atau seseorang tidak dapat lagi ditemui, diraba, didengar, diketahui atau dialami. Tipe dari kehilangan mempengaruhi tingkat distress. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan distress yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. Namun demikian, setiap individu berespon terhadap kehilangan secara berbeda. Kematian seorang anggota keluarga mungkin menyebabkan distress lebih besar dibandingkan ke hewan peliharaan, tetapi bagi seseorang yang hidup sendiri kematian hewan peliharaan menyebabkan distress emosional yang lebih besar dibanding dengan saudaranya yang sudah tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun. Tipe kehilangan penting artinya untuk proses berduka; namun perawat harus mengenali bahwa setiap interpretasi seseorang tentang kehilangan sangat bersifat individualistis. Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat aktual dapat dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman bermainnya pindah rumah atau seorang dewasa yang kehilangan pasangan akibat bercerai. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat disalahartikan, seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise. Makin dalam makna dari apa yang hilang, maka makin besar perasaan kehilangan tersebut. Klien mungkin mengalami kehilangan maturasional (kehilangan yang diakibatkan oleh transisi kehidupan normal untuk pertama kalinya, kehilangan situasional (kehilangan yang terjadi secara tiba-tiba dalam merespon kejadian eksternal spesifik seperti kematian mendadak dari orang yang dicintai) atau keduanya. 1.2 1.2.1
JENIS KEHILANGAN Kehilangan Objek Eksternal
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikian yang telah menjadi usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Bagi seorang anak benda tersebut mungkin berupa boneka atau selimut, bagi seorang dewasa berupa perhiasan atau aksesoris pakaian. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap benda yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut. 1.2.2
Kehilangan Lingkungan yang Telah Dikenal
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal mencakup meninggalkan lingkungan yang telah dikenal selma periode tertentu atau perpindahan secara permanen. Contohnya termasuk pindah ke kota baru, mendapat pekerjaan baru, atau perawatan di rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui
situasi maturasional, misalnya ketika seorang lansia pindah ke rumah perawatan, atau situasi situasional, contohnya kehilangan rumah akibat bencana alam atau mengalami cedera atau penyakit. 1.2.3
Kehilangan Orang Terdekat
Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, pendeta, teman, tetangga, dan rekan kerja. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan, pidah, melarikan diri, promosi di tempat kerja, dan kematian. 1.2.4
Kehilangan Aspek Diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis. Kehilangan bagian tubuh dapat mencakup anggota gerak, mata, rambut, gigi, atau payudara. Kehilangan fungsi fisiologis mencakup kehilangan kontrol kandung kemih atau usus, mobilitas, kekuatan atau fungsi sensoris. Kehilangan fungsi psikologi termasuk kehilangan ingatan, rasa humor, harga diri, percaya diri, kekuatan, respeks, atau cinta. Kehilngan seperti ini dapat menurunkan kesejahteraan individu. Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri. 1.2.5
Kehilangan Hidup
Seseorang yang menghadapi kematian menjalani hidup, merasakan, berpikir, dan merespons terhadap kejadian dan orang sekitarnya sampai terjadinya kematian. Perhatian utama sering bukan kepada kematian itu sendiri tetapi mengenai nyeri dan kehilangan kontrol. Meskipun sebagian besar orang takut tentang kematian dan gelisah mengenai kematian, masalah yang sama tidak akan sama pentingnya bagi setiap orang. 1.3 DAMPAK KEHILANGAN Pekerjaan duka cita terdiri dari berbagai tugas yang dihubungkan dengan situasi ketika seseorang melewati dampak dan efek dari perasaan kehilangan yang telah dialaminya. Duka cita berpotensi untuk berlangsung tanpa batas waktu. Perawat merawat klien yang mengalami banyak tipe kehilangan, seperti klien yang dirawat di rumah sakit yang mengalami banyak kehilangan termasuk kesehatan, kemandirian, kontrol terhadp lingkungannya, dan keamanan finansial. Kehilangan mengancam konsep diri, harga diri, keamanan, dan rasa makna diri. Perawat harus mengenali makna dari setiap kehilangan bagi klien dan dampaknya bagi fungsi fisik dan psikologis. Efek atau dampak dari kehilangan tergantung pada faktor-faktor, yaitu : 1.Usia 2.Jalannya kematian 3.Hubungan dengan orang yang meninggal
4.Pengalama masa lalu 5.Kepribadian 6.Persepsi tentang kehilangan 7.Makna tertentu dari kehilangan yang mereka miliki 8.Respon keluarga terhadap keluarga
2. 2.1
2.
BERDUKA
DEFINISI BERDUKA
Duka cita bermakna kesedihan yang mendalam disebabkan karena kehilangan seseorang yang dicintainya (misal kematian). Menurut Cowles dan Rodgers (2000), duka cita dapat digambarkan sebagai berikut : Duka cita dilihat sebagai suatu keadaan yang dinamis dan selalu berubah-ubah. Duka cita tidak berbanding lurus dengan keadaan emosi, pikiran maupun perilaku seseorang. Duka cita adalah suatu proses yang ditandai dengan beberapa tahapan atau bagian dari aktivitas untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu: 1.Menolak (denial) 2.Marah (anger) 3.Tawar-menawar (bargaining) 4.Depresi (depression) 5.Menerima (acceptance 2.2
JENIS BERDUKA
Dukacita mencakup pikiran, perasaan, dan prilaku. Tujuan duka cita adalah untuk mencapai fungsi yang lebih efektif dengan mengintegrasikan kehilangan kedalam pengalaman hidup klien. Pencapaian ini membutuhkan waktu dan upaya. Istilah ”upaya melewati dukacita” berasal dari seorang psikiater Erich Lindemann (1965) yang menggambarkan tugas dan proses yang harus diselesaikan dengan berhasil agar dukacita terselesaikan. Orang yang mengalami dukacita mencoba berbagai strategi untuk menghadapinya. Worden (1982) menggarisbawahi empat tugas dukacita yang memudahkan penyesuaian yang sehat terhadap kehilangan, dan Harper (1987) merancang tugas dalam akronim ”TEAR’: 1.T- To accept the reality of the loss (untuk menerima realitas dari kehilangan.) 2.E- Experience the pain of the loss (mengalami kepedihan akibat kehilangan).
3.A- Adjust to the new environment without the lost object (menyesuaikan lingkungan yang tidak lagi mencakup orang, benda, atau aspek diri yang hilang). 4.R- Reinvest in the new reality (memberdayakan kembali energi emosional ke dalam hubungan yang baru). 2.3
RESPON BERDUKA
Respon dukacita dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Dukacita Adaptif Dukacita adaptif termasuk proses berkabung, koping, interaksi, perencanaan, dan pengenalan psikososial. Hal ini dimulai dalam merespons terhadap kesadaran tentang suatu ancaman kehilangan dan pengenalan tentang kehilangan yang berkaitan dengan masa lalu, saat ini, dan masa mendatang. Dukacita yang adaptif terjadi pada mereka yang menerima diagnosis yang mempunyai efek jangka panjang terhadap fungsi tubuh, seperti pada lupus eritomatosus sistemik. Klien mungkin merasa sangat sehat ketika didiagnosis tetapi mulai berduka dalam merespons informasi tentang kehilangan di masa mendatang yang berkaitan dengan penyakit. Dalam situasi seperti ini , dukacita adaptif dapat mendalam lama dan dapat terbuka. Dukacita adaptif bagi klien menjelang ajal mencakup melepas harapan, impian, dan harapan terhadap masa depan jangka panjang. Keterlibatan secara kontinu dengan klien menjelang ajal dan tujuan untuk memaksimalkan kemungkinan hidup bukan hal yang tidak sesuai dengan pengalaman dukacita adaptif. Dukacita adaptif bagi klien menjelang ajal mempunyai akhir yang pasti. Hal tersebut akan menghilang sejalan dengan kematian klien; meskipun duka cita berlanjut, tetapi dukacita tersebut tidak lagi adaptif. Klien, keluarganya, dan perawat dihadapkan dengan serangkaian tugas adaptasi dalam proses dukacita adaptif (Rando,1986). 2. Dukacita Terselubung Dukacita terselubung terjadi ketika seseorang mengalami kehilangan yang tidak atau tidak dapat dikenali, rasa berkabung yang luas,atau didukung secara sosial. Konsep mengenali bahwa masyarakat mempunyai serangkaian norma mengenai “aturan berduka” yang berupaya untuk mengkhususkan siapa, kapan, di mana, bagaimana, berapa lama, dan kepada siapa orang harus berduka. Dukacita mungkin terselubung dalam situasi dimana hubungan antara yang berduka dan meninggalkan tidak didasarkan pada ikatan keluarga yang dikenal. Dukacita ini dapat mencakup teman, pemberi perawatan, dan rekan kerja atau hubungan non-tradisional, seperti hubungan di luar perkawinan atau hubungan homoseksual dan mereka yang hubungannya terjadi pada masa lalu, seperti bekas pasangan. 2.4
KONSEP DAN TEORI BERDUKA
Konsep dan teori berduka hanya cara yang dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya serta merencanakan intervensi untuk membantu mereka memahami duka cita dan menghadapinya.
Penting artinya untuk mempertimbangkan beberapa teori tentang kedukaan. Ketika mendiskusikan tentang tahapan, fase atau tugas, penting artinya untuk mengingat bahwa hal ini tidak terjadi dengan urutan yang kaku, tetap dapat diperkirakan. Tujuannya bukan untuk mengklasifikasi duka cita klien. Dengan demikian perawat tidak harus mengidentifikasi duka cita klien sebagai mengalami tahapan khusus duka cita. Peran perawat adalah mengamati perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan yang empatik. a. Teori Engel Engel (1964) mengajukan bahwa proses berduka mempunyai tiga fase yang dapat diterapkan pada seseorang yang berduka dan menjelang kematian. Fase pertama, individu menyangkal realitas kehidupan dan mungkin menarik diri, duduk tidak bergerak, atau menerawang tanpa tujuan. Hal tersebut mungkin dipandang oleh pengamat bahwa orang tersebut tidak menyadari apa makna kehilangan. Reaksi fisik dapat mencakup pingsan, berkeringat, mual, diare, frekuensi jantung cepat, gelisah, insomnia, dan keletihan. Fase kedua adalah individu mulai merasa kehilangan secara tiba-tiba dan mungkin mengalami keputusasaan. Secara mendadak terjadi marah, rasa bersalah, frustasi, depresi dan kehampaan. Menangis adalah khas sejalan dengan individu menerima kehilangan. Fase ketiga, dikenali realitas kehilangan. Marah dan depresi tidak lagi dibutuhkan. Kehilangan telah jelas bagi individu, yang mulai mengenali hidup. Dengan mengalami fase ini seorang beralih dari tingkat fungsi emosi dan intelektual yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Berkembang kesadaran diri.
b. Tahapan Menjelang Ajal Menurut Kubler-Ross Kerangka kerja yang diberikan oleh Kebler-Ross (1969) berfokus pada perilaku dan mencakup lima tahapan. 1.Pada tahap menyangkal individu bertindak seperti tidak terjadi sesuatu dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. 2.Pada tahap marah individu melawan kehilangan dan dapat bertindak pada seseorang dan segala sesuatu dilingkungan sekitarnya. 3.Pada tahap tawar menawar terdapat penundaan realitas kehilangan. Individu mungkin berusaha membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. 4.Tahap depresi terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut timbul. Seseorang merasa terlalu sangat kesepian dan menahan diri. Tahap ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
5.Dan pada tahap terakhir ini dicapai suatu penerimaan. Reaksi fisiologis menurun, dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan penerimaan lebih sebagai menghadapi situasi ketimbang menyerah untuk pasrah atau pututs asa.
c. Fase Berduka Menurut Rando Rando (1993) mendefinisikan kembali respon berduka menjadi tiga kategori, yaitu : 1.Penghindaran, dimana terjadi syok, menyangkal dan ketidakpercayaan. 2.Konfrontasi, dimana terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang melawan kehilangn mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan palinga kaut. 3.Akomodasi, ketika terdapat secara bertahap penurunan kedudukan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan social dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehilangan mereka.
3. 3.1
MENJELANG AJAL DEFINISI MENJELANG AJAL
Menjelang ajal adalah bagian dari kehidupan yang merupakan proses menuju akhir. Lahir, menjelang ajal dan kematian bersifat universal. Meskipun unik bagi individu, kejadian-kejadian tersebut bersifat normal dan merupakan proses hidup yang diperlukan. Dukungan kolega sebagaimana perawat yang mengasuh orang menjelang ajal merupakan hal yang penting agar pada masa-masa tersebut menjadipengalaman yang normal dan meningkatkan pertumbuhan. Adapun lingkungan menjelang ajal seseorang adalah : 1.
Rumah sakit perawatan akut
2. Perawatan jangka panjang 3. Hospice 4. Perawatan di rumah 3.2
TEORI MENJELANG AJAL
3.2.1
Elisabeth Kubler-Ross
Ada 5 tahap : 1.
Penyangkalan dan isolasi
2. Perasaan marah, gusar, iri, dan kebencian. 3. Tawar menawar 4. Depresi 5. penerimaan 3.2.2
Lamberton
Mengisolasi 4 strategi koping utama yang digunakan oleh orang yang menjelang ajal : 1.
Penyangkalan
2. Ketergantungan 3. Pemindahan 4. Regresi 3.2.3 1.
Pattison
Fase akut
2. Fase kehidupan kronis 3. Fase menjelang ajal 4. Fase akhir 3.2.4
Wiesman
Mengemukakan adeanya kemungkinan fase-fase pada ekspresi respons emosional yang kontinu dan berubah-ubah selama proses menjelang ajal. 3.2.5
Kastenbaum
Membagi kehidupan dan menjelang ajal menajdi 2 fase psikobiologis yang sama, yang berkembang sampai akhir kehidupan. 3.2.6
Giacquinta
Fase-fase yang dialami keluarga setelah diagnose kanker dinyatakan: 1.
Hidup dengan kanker
2. Restrukturisasi selama interval hidup dan mati 3. Kehilangan
4. Pembentukan kembali 4.
4.
KEMATIAN
Kematian adalah penghentian permanen semua fungsi tubuh yang vital, akhir dari kehidupan. Kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita.
B. ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN LOSS, GRIEVING, DYING and DEATH 1.
PENGKAJIAN :
-Perawat menggali makna kehilangan pada klien dan keluarga -Menggunakan komunikasi tulus dan terbuka -Menekankan keterampilan mendengar -Mengamati respon dan perilaku -Perawat mengkaji bagaimana klien bereaksi, bukan bagaimana seharusnya klien bereaksi -Perawat harus memahami fase duka yang dapat terjadi scr berurutan dan mungkin juga tidak urut bahkan berulang. -Perawat mempertimbangkan variabel yang mempengaruhi dukacita Ø Faktor Yang Mempengaruhi Cara Individu Merespon Kehilangan : 1.Karakteristik Personal 2.Sifat Hubungan dg Objek yg Hilang 3.Sistem Pendukung Sosial 4.Sifat Kehilangan 5.Keyakinan Spiritual dan Budaya
Ø Karakteristik Personal
A.Usia Respon Anak Terhadap Kematian : Lahir – 2 Tahun Tidak mempunyai konsep tentang kematian Dapat mengalami rasa kehilangan dan dukacita Pengalaman ini menjadi dasar untuk berkembangnya konsep tentang kehilangan dan dukacita 2 s/d 5 Tahun Menyangkal kematian sbg ssuatu proses yang normal Melihat kematian sbg ssuatu yg dapat hidup kembali Mempunyai kepercayaan tidak terbatas dlm kemampuannya untuk membuat suatu hal terjadi Dapat bereaksi dg marah atau menunjukkan kemarahan 5 s/d 8 Tahun Melihat kematian sbg akhir; tidak melihat bahwa kematian akan tjd pada dirinya Melihat kematian sbg hal yang menakutkan Mencari utk menemukan apa penyebab dan arti kematian 8 s/d 12 Tahun Melihat kematian sbg akhir & tidak dapat dihindar Menyadari kemungkinan kematiannya sendiri Mengembangkan respon afektif thdp kematian Mengalami egosentris dan pikiran magis Menyadari apa makna kematian ini bagi dirinya dimasa datang REMAJA Memahami seputar kematian serupa dengan orang dewasa Harus menghadapi implikasi personaltentang kematian Menunjukkan perilaku berasiko
Dengan serius mencari makna tentang hidup Lebih sadar tentang masa depan Ø Faktor yang Mempengaruhi Dukacita Lansia : 1.
Perubahan fisik yang menyertai penuaan
2. Kehilangan pekerjaan 3. Kehilangan respek sosial 4. Kehilangan hubungan 5. Kehilangan kapabilitas perawatan diri 6. Ketakutan tentang kehilangan kontrol 7. Rasa pemenuhan tanggung jawab dan kontribusi yang dibuat 8. Ikatan kepribadian 9. Perasaan nilai diri 10. Kemampuan berfungsi
B.Peran Jenis Kelamin 1. Reaksi kehilangan dipengaruhi oleh harapan sosial ttg peran pria dan wanita 2. Pria dan wanita melekatkan makna berbeda thdp bagian tubuh, fungsi, hubungan interpersonal, dan benda. C.Pendidikan dan Status Ekonomi Mengkaji hal ini penting krn hal ini mempengaruhi kemampuan klien untuk menggunakan pilihan dan dukungan ktika menghadapi kehilangan Sifat Hubungan dengan Objek yang Hilang 1. Penting untuk mengkaji Karakteristik hubungan dan fungsi kehilangan yang dilakukan oleh almarhum atau almarhumah dalam kehidupan individu yang ditinggalkan 2. Reaksi terhadap kehilangan orang tua, pasangan dan anak akan berbeda tergantung pada kualitas hubungan tersebut. Ø Sistem Pendukung Sosial
1. Visibilitas kehilangan, seperti kehilangan rumah akibat bencana alam,sering memunculkan dukungan dari sumber yang tidak diperkirakan 2. Visibilitas kehilangan seperti deformitas wajah dapat menyebabkan kehilangan dukungan dari temen atau keluarga, sehingga menambah keparahan proses kehilangan. Ø Sifat Kehilangan 1. Kemampuan untuk menyelesaikan berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi disekitarnya. 2. Kemampuan untuk menerima bantuan mempengaruhi apakah yang berduka akan mampu mengatasi kehilangan. 3. Visibilitas kehilangan mempengaruhi dukungan yang diterim. 4. Durasi perubahan mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium fisik,psikologis dan sosial Ø Keyakinan Spiritual dan Budaya 1. Latarbelakang budaya dan dinamika keluarga mempengaruhi pengekspresian berduka 2. Keyakinan spiritual mencakkup praktik, ibadah dan ritual. 3. Individu mungkin akan menemukan dukungan, ketenagan dan makna dalam kehilangan melalui keyakinan-keyakinan spiritual. 4. Perawat harus waspada terhadap makna praktik keagamaan, tidak hanya pada klien tetapi juga pada keluarganya 2.DIAGNOSA KEPERAWATAN Perilaku yang menandakan dukacita maladaptif : 1. Aktifitas berlebihan tanpa rasa kehilangan 2. Perubahan dalam hubungan dengan teman dan keluarga 3. Bermusuhan terhadap oang tertentu 4. Depresi agitasi dg ketegangan, agitasi, insomnia, perasaan tidak berharga, rasa bersalah yang berlebihan, dan kecenderungan untuk bunuh diri. 5. Hilang keikutsertaan dalam aktivitas keagamaan dan ritual yang berhubungan dg budaya klien 6. Ketidakmampuan mediskusikan kehilangan tanpa menangis 7. Rasa sejahtera yang salah.
Contoh Diagnosa : a. Dukacita adaptif yang berhubungan dengan :
Potensial orang terdekat yang dirasakan
Potensial kehilangan kesejahteraan fisiopsikososial yang dirasakan
Potensial kehilangan kepemilikan pribadi yang dirasakan
b. Dukacita maladaptif yang berhubungan dengan :
Kehilangan objek potensial atau aktual
Rintangan respon berduka
Tidak ada antisipasi terhadap berduka
Penyakit terminal kronis
Kehilangan orang terdekat
c. Gangguan penyesuaian yang berhubungan dengan berduka yang tidak selesai. d. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan Respon dukacita tertahan. e. Perubahan koping keluarga berhubungan dengan :
Preokupasi sementara oleh orang terdekat yang mencoba untuk menangani konflik emosional dan personal
Menderita dan tidak mampu untuk menerima atau bertindak secara efektif dalam kaitannya dengan kebutuhan klien.
f.
Perubahan Proses Keluarga yang berhubungan dengan Transisi atau krisis situasi
g. Keputus asaan berhubungan dengan :
Kekurangan atau penyimpangan kondisi fisiologis
Stress jangka panjang
Kehilangan keyakinan nilai luhur atau yang maha kuasa.
h. Isolasi Sosial berhubungan dengan Sumber pribadi tidak adekuat.
i.
Disress Spiritual berhubungan dengan Perpisahan dari ikatan keagamaan dan kultural
j.
Gangguan Pola Tidur yang berhubungan dengan stress karena respon berduka
3. INTERVENSI KEPERAWATAN 1.Tahap denial Beri dukungan pada fase awal karena ini berfungsi protektif dan memberi waktu bagi klien untuk melihat kebenaran..bantu untuk melihat kebenaran dengan konfirmasi kondisi a.l. melalui second opinion 2. Tahap anger Bantu klien untuk memahami bahwa marah adalah respon normal akan kehilangan dan ketidak berdayaan..siapkan bantuan berkesinambungan agar klien merasa aman 3. Tahap bargaining Asah kepekaan perawat bila fase tawar menawar ini dilakukan secara diam-diam.. Bargaining sering dilakukan klien karena rasa bersalah atau ketakutan terhapap bayang-bayang dosa masa lalu…Bantu agar klien mampu mengekspresikan apa yang dirasakan…apabila perlu refer ke pemuka agama untuk pendampingan. 4. Tahap depresi Klien perlu untuk merasa sedih dan beri kesempatan untuk mengekspresikan kesedihannya. Perawat hadir sebagai pendamping dan pendengar. 5. Tahap menerima Klien merasa damai dan tenang.dampingi klien untuk mempertahankan rasa berguna (self worth).berdayakan pasien untuk melakukan segala sesuatu yang masih mampu dilakukan dengan pendampingan.fasilitasi untuk menyiapkan perpisahan abadi
1.Tahap denial Beri dukungan pada fase awal karena ini berfungsi protektif dan memberi waktu bagi klien untuk melihat kebenaran..bantu untuk melihat kebenaran dengan konfirmasi kondisi a.l. melalui second opinion 2. Tahap anger
Bantu klien untuk memahami bahwa marah adalah respon normal akan kehilangan dan ketidak berdayaan..siapkan bantuan berkesinambungan agar klien merasa aman 3. Tahap bargaining Asah kepekaan perawat bila fase tawar menawar ini dilakukan secara diam-diam.. Bargaining sering dilakukan klien karena rasa bersalah atau ketakutan terhapap bayang-bayang dosa masa lalu…Bantu agar klien mampu mengekspresikan apa yang dirasakan…apabila perlu refer ke pemuka agama untuk pendampingan. 4. Tahap depresi Klien perlu untuk merasa sedih dan beri kesempatan untuk mengekspresikan kesedihannya. Perawat hadir sebagai pendamping dan pendengar. 5. Tahap menerima Klien merasa damai dan tenang.dampingi klien untuk mempertahankan rasa berguna (self worth).berdayakan pasien untuk melakukan segala sesuatu yang masih mampu dilakukan dengan pendampingan.fasilitasi untuk menyiapkan perpisahan abadi
4. EVALUASI 1) Klien mampu mengkomunikasikan dan mengekspresikan dukacita. 2) Pada perawatan menjelang ajal mengharuskan perawat mengevaluasi klien dengan penyakit dan kualitas hidupnya.
tingkat kenyamanan
3) Tingkat kenyamanan klien dievaluasi dg dasar hasil spt penurunan nyeri, kontrol gejala, pemeliharaan funsi sistem tubuh, penyelesaian tugas yang belum terselesaikan, dan ketenangan emosional.
DAFTAR PUSTAKA Martono, Hadi dan Krispranarka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatric,Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta : Balai penerbit FK UI Kemp & Pillitteri (1984) ,Fundamentals of Nursing, Boston :Little Brown&co
1. Kubler-Ross,E.,(1969) ,On Death and Dying, ,London: Tavistock Publication
Pattison,Mansell (1977), The Experience of Dying, Englewood Cliffs:Prentice- Hall Inc. www.growthhouse.org, Grief,anger and loss : Improving care of the Dying http://ie-cha-ndd.blogspot.com/2010/05/konsep-kehilanga-dan-berduka. html?zx=9d3d7f76549a3b0a http://wordlibraries.wordpress.com/2010/05/28/asuhan-keperawatan-kehilangan-kematian-dandukacita/