Konsep & Asuhan Keperawatan Dhf Pada Anak Kel.5.docx

  • Uploaded by: Ignatius Rizky
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Konsep & Asuhan Keperawatan Dhf Pada Anak Kel.5.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,373
  • Pages: 23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penyakit Dangue adalah infeksi akut yang disebabkan oleh arbovirus (arthropadborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes (Aedes albopictuse dan Aedes aegypti). Sampai sekarang dikenal ada 4 jenis virus dangue yang dapat menimbulkan penyakit, baik demam dangue maupun demam berdarah. Demam Berdarah Dangue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dangue I, II, II, dan IV yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albocpitus. (Soegijanto, 2004).

B. Penyebab Penyebab penyakit demam berdarah dangue pada seseorang adalah virus dangue termasuk family flaviviridae genus Flavivirus yang terdiri dari 4 serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN3, dan DEN-4. Ke empat serotip ini ada di Indonesia, dan dilaporkan bahwa serotip virus DEN-3 sering menimbulkan wabah (Syahruman, 1988). Virus DEN termasuk dalam kelompok virus yang relative labil terhadap suhu dan faktor kimiawai lain serta masa viremia yang pendek. Virus DEN virionnya tersusun oleh genom RNA dikelilingi oleh nukleokapsid, ditutupi oleh suatu selubung dari lipid yang mengandung 2 protein yaitu selubung protein E dan protein membrane M.

C. Patofisiologi Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat. Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus antibody, dalam sirkulasi akan mengaktivasi sistem komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat

sebagai faktor meningginya permeabilitas dindang pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu. Terjadinya trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (promtrombin, faktor V, VII, IX, X, dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab terjadinya pendarahan hebat, terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Renjatan terjadi secara akut. Nilai hemotokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami syok hypovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Virus dangue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypty atau Aedes albopictus dengan organ sasaran adalah organ hepar, nodus limfaticus, sumsum tulang belakang, dan paru. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer. Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi dalam sel tersebut. Infeksi virus dangue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponenya. Setelah terbentuk, virus dilepaskan dari sel. Proses perkembangbiakan sel virus DEN terjadi di sitoplasma sel. Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotype tersebut tetapi tidak ada cross protectif terhadap serotip virus yang lain (Kurane & Francis, 1992). Beberapa teori mengenai terjadinya DBD antara lain adalah: a. Teori Antigen Antibodi Virus dangue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibody, membentuk virus antibody kompleks (komplek imun) yang akan mengaktifasi komplemen. Aktifasi ini akan menghasilkan anafilaktosin C3A dan C5A yang akan merupakan mediator yang mempunyai efek farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat fasoaktif dan prokoagulant sehingga menimbulkan kebococran plasma (hipovolemik syok dan perdarahan. (Soewandoyo, 1998).

b. Teori Infection Enhancing Antibody Teori ini berdasarkan pada peran sel fagosit mononuclear merangsang terbentuknya antibody nonnetralisasi. Antigen dangue lebih banyak didapat pada sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada kejadian ini antibody nonnetralisasi berupaya melekat pada sekeliling permukaan sel makrofag yang beredar dan tidak melekat pada sel makrofag yang menetapdi jaringan. Makrofag yang dilekati antibody nonnetralisasi akan memiliki sifat opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi. Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan akan melepaskan sitokin yang memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi. Bahan-bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan system hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan. (Wang, 1995). c. Teori mediator Teori mediator didasarkan pada beberapa hal: 1) Kelanjutan dari teori antibody enhancing, bahwa makrofag yang terinfeksi virus mengeluarkan mediator atau sitokin. Fungsi dan mekanismme sitokin kerja adalah sebagai mediator pada imunitas alami yang disebabkan oleh rangsangan zat yang infeksius, sebagai regulator yang mengatur aktivasi, proliferasi dan diferensiasi limfosit, sebagai activator sel inflamasi nonspesifik, dan sebagai stimulator pertumbuhan dan deferensiasi lekosit matur (Khana, 1990). 2) Kejadian masa krisis pada DBD selama 48-72 jam, berlangsung sangat pendek. Kemudian disusul masa penyembuhan yang cepat, dan praktis tidak ada gejala sisa. 3) Dari kalangan ahli syok bacterial, mengambil perbandingan bahwa pada syok septic banyak berhubungan dengan mediator.

PATHWAY DBD Tersangka DBD

Gejala Klinis Demam 2-7 hari Uji Tourniquet (+) atau perdarahan spontan Laboratorium: Ht tidak meningkat, Trombositopenia ringan

D. E.Pasien masih dapat minum F.Beri Minum banyak 1-2 liter/ hari G.atau 1 swndok makan tiap 5 menit Jenis minum: air putih, teh manis, jus buah, susu, oralit Bila suhu > 380 C beri Paracetamol Jika kejang beri anti convulsi

Monitor gejala klinis dan laboratorium Perhatikan tanda syok Palpasi nadi perifer Ujur diuresis Awasi perdarahan Periksa Hb,Ht dan trombosit tiap 612 jam

Pasien tidak dapat minum

Pasang Infus NaCl 0,9%: dektrose 5%(1:3) Tetesan rumatan sesuai Berat badan Periksa Ht, Hb, tiap 6 jam, trombosit tiap 6-12 jam

HT naik dan / atau trombosit turun

Infus ganti RL (tetesan disesuaikan)

Perbaikan klinis dan laboratorium:

Pulang (Kriteria memulangkan pasien) Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik Nafsu makan membaik, secara klinis tampak perbaikan Hematokrit stabil, jumlah > 50.000/uL 3 hari setelah syock teratasi, tidak dijumpai distress nafas

Gambar: Alur DBD (Sumber: DepKes RI, 2005)

H. Klasifikasi WHO (1997) membagi DBD menjadi 4 (Vasanwala dkk, 2011): a. Derajat 1 Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala klinis (nyeri ulu hati, mual, muntah, hepatomegali), tanpa perdarahan spontan, trombositopenia dan hemokonsentrasi, uji tourniquet positif. b. Derajat 2 Derajat 1 dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain seperti mimisan, muntah darah dan berak darah. c. Derajat 3 Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah (hipotensi), kulit dingin, lembab dan gelisah, sianosis disekitar mulut, hidung dan jari (tanda-tand adini renjatan). d. Renjatan berat (DSS) / Derajat 4 Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

I. Manifestasi Klinis a. Demam Demam berdarah dengue biasanya ditandai dengan demam yang mendadak tanpa sebab yang jelas, continue, bifasik. Biasanya berlangsung 2-7 hari (Bagian Patologi Klinik, 2009). Naik turun dan tidak berhasil dengan pengobatan antipiretik. Demam biasanya menurun pada hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda-tanda anak menjadi lemah, ujung jari, telinga dan hidung teraba dingin dan lembab. Masa kritis pda hari ke 3-5. Demam akut (38°-40° C) dengan gejala yang tidak spesifik atau terdapat gejala penyerta seperti , anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri tulang sendi dan kepala.

Gambar: Kurva suhu pada DHF b. Perdarahan Manifestasi perdarahan pada umumnya muncul pada hari ke 2-3 demam. Bentuk perdarahan dapat berupa: uji tourniquet positif yang menandakan fraglita kapiler meingkat (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kondisi seperti ini juga dapat dijumpai pada campak, demam chikungunya, tifoid, dll. Perdarahan tanda lainnya ptekie, purpura, ekomosis, epitaksis dan perdarahan gusi, hematemesisi melena. Uji tourniquet positif jika terdapat lebih dari 20 ptekie dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian volar termasuk fossa cubiti. c. Hepatomegali Ditemukan pada permulaan demam, sifatnya nyeri tekan dan tanpa disertai ikterus. Umumnya bervariasi, dimulai dengan hanya dapat diraba hingga 2-4 cm di bawah lengkungan iga kanan (Bagian Patologi Klinik, 2009). Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit namun nyeri tekan pada daerah tepi hati berhubungan dengan adanya perdarahan. d. Renjatan (Syok) Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari ke-3 dan ke-7 sakit. Syok yang terjadi lebih awal atau periode demam biasanya mempunyai prognosa buruk (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kegagalan sirkulasi ini ditandai dengan denyut nadi terasa cepat

dan lemah disertai penurunan tekanan nadi kurang dari 20 mmHg. Terjadi hipotensi dengan tekanan darah kurang dari 80 mmHg, akral dingin, kulit lembab, dan pasien terlihat gelisah. e. Mual, mual, tidak ada napsu makan, diare, konstipasi f. Nyeri otot, tulang sendi, abdomen, dan ulu hati g. Sakit kepala

J. Pemeriksaan Penunjang a. Darah 1) Kadar trombosit darah menurun (trombositopenia) (≤ 100000/µI) 2) Hematokrit meningkat ≥ 20%, merupakan indikator akan timbulnya renjatan. Kadar trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis pasti pada DBD dengan dua kriteria tersebut ditambah terjadinya trombositopenia, hemokonsentrasi serta dikonfirmasi secara uji serologi hemaglutnasi (Brasier, Ju, Garcia, Spratt, Forshey, Helsey, 2012). 3) Hemoglobin meningkat lebih dari 20%. 4) Lekosit menurun (lekopenia) pada hari kedua atau ketiga 5) Masa perdarahan memanjang 6) Protein rendah (hipoproteinemia) 7) Natrium rendah (hiponatremia) 8) SGOT/SGPT beisa meningkat 9) Asidosis metabolic 10) Eritrosit dalam tinja hampir sering ditemukan b. Urine Kadar albumine urine positif (albuminuria) (Vasanwala, Puvanendran, Chong, Ng, Suhail, Lee, 2011). c. Foto thorax Pada pemeriksaan foto thorax dapat ditemukan efusi pleura. Umumnya posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan) lebih baik dalam mendeteksi cairan dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring d. USG Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai pada anak dan dijadikan sebagai pertimbangan karena tidak menggunakan system pengion (Sinar X) dan dapat diperiksa sekaligus

berbagai organ pada abdomen. Adanya acites dan cairan pleura pada pemeriksaan USG dapat digunakan sebagai alat menentukan diagnose penyakit yang mungkin muncul lebh berat misalnya dengan melihat ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan pancreas. e. Diagnosis Serologis 1) Uji hemaglutinasi inhibisi (Uji HI) Tes ini adalah gold standard pada pemeriksaan serologis, sifatnya sensitive namun tidak spesifik artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi. Antibody HI bertahan dalam tubuh lama sekali (>48 tahun) sehingga uji ini baik digunakan pada studi serologi-epidemioligi. Untuk diagnosis pasien, Kenaikan titer konvalesen 4x lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum akut atau konvalesen daianggap sebagai presumtif (+) atau di dugan keras positif infeksu dengue yang baru terjadi (Vasanwala dkk, 2011). 2) Uji komplemen fiksasi (uji CF) Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya rumit dan butuh tenaga berpengalaman. Antibodi komplemen fiksasi bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun). 3) Uji neutralisasi Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Biasanya memamkai cara Plaque Reduction Neutralization Test (PNRT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Anti body neutralisasi dapat dideteksi dalam serum bersamaan dengan antibody HI tetapi lebih cepat dari antibody komplemen fiksasi dan bertahan lama (>48 tahun). Prosedur uji ini rumit dan butuh waktu lama sehingga tidak rutin digunakan (Vasanwala dkk, 2011). 4) IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA) Banyak sekali dipakai. Uji ini dilakukan pada hari ke-4-5 infeksi virus dengue karena IgM sudah timbul kamudian akan diikuti IgG. Bila IgM negative uji ini perlu diulang. Apabila hari sakit ke-6 IgM msih negative maka dilaporkan sebagai negative. IgM dapat bertahan dalam darah samapi 2-3 bulan setelah adanya infeksi. Sensitivitas uji Mac Elisa sedikit di bawah uji HI dengan kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama dengan uji HI (Vasanwala dkk, 2011).

5) Identifikasi Virus Cara diagnostic baru dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RTPCR) sifatnya sangat sensitive dan spesifik terhadap serotype tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari specimen yang berasal dari darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk. Sensitifitas PCR sama dengan isolasi virus namun PCR tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan specimen yang kurang baik bahkan adanya antibody dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR (Vasanwala dkk, 2011).

K. Penatalaksanaan a. Pre Hospital Penatalaksanaan prehospital DBD bisa dilakukan melalui 2 cara yaitu pencegahan dan penanganan pertama pada penderita demam berdarah. Dinas Kesehatan Kota Denpasar menjelaskan pencegahan yang dilakukan meliputi kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), yaitu kegiatan memberantas jentik ditempat perkembangbiakan dengan cara 3M Plus: 1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi / WC, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1). 2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan, dan lain-lain (M2). 3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan (M3). Plusnya adalah tindakan memberantas jentik dan menghindari gigitan nyamuk dengan cara: 1) Membunuh jentik nyamuk Demam Berdarah di tempat air yang sulit dikuras atau sulit air dengan menaburkan bubuk Temephos (abate) atau Altosid. Temephos atau Altosid ditaburkan 2-3 bulan sekali dengan takaran 10 gram Abate ( ± 1 sendok makan peres) untuk 100 liter air atau dengan takaran 2,5 gram Altosid ( ± 1/4 sendok makan peres) untuk 100 liter air. Abate dan Altosid dapat diperoleh di puskesmas atau di apotik. 2) Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk.

3) Mengusir nyamuk dengan menggunakan obat nyamuk 4) Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai obat nyamuk gosok 5) Memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi 6) Tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam kamar 7) Melakukan fogging atau pengasapan bila dilokasi ditemukan 3 kasus positif DBD dengan radius 100 m (20 rumah) dan bila di daerah tersebut ditemukan banyak jentik nyamuk. Pada pasien anak yang rentan mempunyai riwayat kejang demam maka perlu diwaspadai gejala kejang demam. Seiring dengan kehilangan cairan akibat demam tinggi, kondisi demam tinggi juga dapat mencetuskan kejang pada anak sehingga harus diberikan obat penurun panas. Untuk menurunkan demam, berilah obat penurun panas. Untuk jenis obat penurun panas ini harus dipilih obat yang berasal dari golongan parasetamol atau asetaminophen, jangan diberikan jenis asetosal atau aspirin oleh karena dapat merangsang lambung sehingga akan memperberat bila terdapat perdarahan lambung. Kompres dapat membantu bila anak menderita demam terlalu tinggi sebaiknya diberikan kompres hangat dan bukan kompres dingin, oleh karena kompres dingin dapat menyebabkan anak menggigil. Sebagai tambahan untuk anak yang mempunyai riwayat kejang demam disamping obat penurun panas dapat diberikan obat anti kejang (IDAI, 2009). IDAI (2009) menjelaskan tanda-tanda syok harus dikenali dengan baik karena sangat berbahaya. Apabila syok tidak tertangani dengan baik maka akan menyusul gejala berikutnya yaitu perdarahan. Pada saat terjadi perdarahan hebat penderita akan tampak sangat kesakitan, tapi bila syok terjadi dalam waktu yang lama, penderita sudah tidak sadar lagi. Dampak syok dapat menyebabkan semua organ tubuh akan kekurangan oksigen dan akhirnya menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Oleh karena itu penderita harus segera dibawa kerumah sakit bila terdapat tanda gejala dibawah ini: 1) Demam tinggi (lebih 39oc ataulebih) 2) Muntah terus menerus 3) Tidak dapat atau tidak mauminum sesuai anjuran 4) Kejang

5) Perdarahan hebat, muntah atau berak darah 6) Nyeri perut hebat 7) Timbul gejala syok, gelisah atau tidak sadarkan diri, nafas cepat, seluruh badan teraba lembab, bibir dan kuku kebiruan, merasa haus, kencing berkurang atau tidak ada sama sekali 8) Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan kekentalan darah atau penurunan jumlah trombosit Peran serta keluarga dan masyarakat sangat penting untuk membantu dalam menangani penyakit demam berdarah. Dinas Kesehatan Kota Denpasar mengarahkan apabila ada penderita yang terkena demam berdarah maka harus segera melaporkan Kadus/Kaling/Kades/Lurah atau sarana pelayanan kesehatan terdekat bila ada anggota masyarakat yang terkena DBD. Penelitian oleh Kandou, Grace D (2006) pelatihan uji tourniquet bagi kader kesehatan sebagai salah satu cara deteksi dini demam berdarah dengue memberikan gambaran bahwa setelah diberikan penyuluhan dan simulasi pemeriksaan uji tourniquet terjadi perubahan yang bermakna dimana para kader menjadi tahu dan paham tentang penyakit demam berdarah Dengue serta cara deteksi dini sederhana yang dapat dilakukan sebelum merujuk penderita ketempat pelayanan kesehatan. b. Intra Hospital di Unit Gawat Darurat Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dansebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dangangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan ease awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan

perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit (DepKes RI, 2005). Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2 trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dansebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien DBD derajat I danII dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan A (DepKes RI, 2005). 1) Fase Demam Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di sederhanakan seperti tertera pada Tabel 1. Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia danmuntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam (DepKes RI, 2005).

Umur (Tahun)

Parasetaol (tiap kali pemberian) Dosis (mg)

Tablet (1 tab = 500 mg)

<1

60

1/8

1-3

60-125

1/8-1/4

4-6

125-250

1/4-1/2

7-12

250-500

1/2-1

Tabel 1. Dosisi Parasetamol Menurut umur Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 35 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma danpedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb (DepKes RI, 2005). a) Penggantian Volume Plasma Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, danjumlah volume urin (DepKes RI, 2005). Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus

menerus smuntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berk ala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan (DepKes RI, 2005). Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dankomposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini (DepKes RI, 2005). Berat Badan waktu masuk

Jumlah cairan Ml/kg berat

RS ( kg )

badan per hari

<7

220

7-11

165

12-18

132

>18

88

Tabel 2. Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan 5 – 8 %) Pemilihan jenis danvolume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama (DepKes RI, 2005).

2) Sindrom Syok Dengue Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami syek dansembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada penderita SSD dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB (DepKes RI, 2005).

a) Penggantian Volume Plasma Segera Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal danumur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infuse dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit (DepKes RI, 2005). b) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dankemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik (DepKes RI, 2005). Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal jantung. Penurunan

hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, dieresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi (DepKes RI, 2005). c) Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dankadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan (DepKes RI, 2005). d) Pemberian Oksigen Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen (DepKes RI, 2005). e) Transfusi Darah Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage)

apabila

disertai

hemokonsentrasi.

Penurunan

hematokrit(misalnya dari 50% me.njadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit (DepKes RI, 2005). Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan

hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan prognosis (DepKes RI, 2005). f) Monitoring Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah: -

Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.

-

Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien stabil.

-

Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.

-

Jumlah dan frekuensi dieresis

Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamia perlu dipertimbangkan (DepKes RI, 2005).

L. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Pengkajian yang efektif pada DHF didasarkan pada kemampuan analisis kritis perawat untuk memprediksikan, mengenali dan menentukan dengan cepat pasien dengan Dengue

Syok Sindrome (DSS) atau potensial Dengue Syok Sindrome sehingga dapat diberikan penanganan yang cepat pula, karena keterlambatan resusitasi dapat meningkatkan resiko mortalitas. Hal ini sangat didukung oleh pengetahuan perawat tentang hal-hal yang harus dikaji pada pasien dengan DHF atau DSS, termasuk manifestasi klinis yang mungkin muncul dalam setiap tahap dari penyakit tersebut. Secara umum munculnya tanda dan gejala nyeri atau tenderness pada abdomen, muntah terus menerus, akumulasi cairan misalnya efusi pleura atau asites, perdarahan mukosa, penurunan kesadaran: letargi, gelisah, pembesaran liver (≥2cm), peningkatan hematokrit dengan penurunan jumlah platelet secara cepat merupakan indikator bahwa diperlukan evaluasi medis segera. CDC (Center Disease Control and Prevention) menjelaskan bahwa fokus pengkajian untuk kegawatan pada DHF yang dikenal dengan DSS adalah sebagai berikut (CDC, 2010): a. Riwayat demam Riwayat demam yang akurat penting untuk ketepatan diagnosis dan membantu prediksi kehilangan cairan, dan fase penyakit. Terdapat perbedaan karakteristik demam pada : 

DF demam akut biasanya 2 hari atau lebih



DHF : 2-7 hari



DSS : penurunan temperatur yang tiba-tiba (>38.0°C menjadi temperatur normal atau subnormal)

b. Tanda-tanda vital Tanda-tanda kegawatan/kritis adalah ketika didapatkan nadi cepat dan lemah, tekanan nadi yang sempit (TD sistolik-TD diastolik <20mm Hg) atau hipotensi berdasarkan tekanan darah sesuai usia. c. Pemeriksaan fisik fokus dan manifestasi perdarahan Kondisi pasien mulai kritis ketika didapatkan tanda-tanda manifestasi klinis perdarahan atau tes torniquet positif disertai tanda munculnya asites dan atau efusi pleura, kulit dan ekstremitas teraba dingin, basah, kesadaran menurun (letargi atau gelisah), CRT>2 detik, oliguria, tanda-tanda shock (Phanmeesuk & Suksin, 2009). d. Pemeriksaan laboratorium Untuk kewaspadaan, didapatkannya leukopenia dengan onset baru (WBC <5,000 cells/mm3)

limfositosis

dan

peningkatan

limfosit

yang

bersifat

atypical,

mengindikasikan dalam 24 jam berikutnya pasien potensial akan masuk dalam fase

kritis. Sedangkan tanda-tanda pasien telah masuk fase kritis adalah ketika tanda dan gejala pada pengkajian riwayat dan pemeriksaa fisik diatas disertai temuan onset yang baru dari hasil lab sebagai berikut (Phanmeesuk & Suksin, 2009): 1) Thrombocytopenia (≤100,000 cells per mm3) 2) Hemokosentrasi ( peningkatan hematocrit ≥20% diatas rata-rata sesuai usia atau penurunan hematocrit ≥20% dari terapi cairan yang diperlukan, hipoproteinemia, hipokolesterolemia Deteksi dini menjadi sangat penting karena kesalahan dalam mengenali tanda-tanda kritis dapat menyebabkan keterlambatan reusitasi cepat yang dapat menyebabkan pasien masuk kedalam komplikasi atau yang ditandai dengan perdarahan masif dan gangguan metabolisme seperti hipokalsemia, hipoglikemia, hiperglikemia, asidosis laktat, dan hiponatremia. Sehingga monitor ketat oleh perawat terhadap volume intravaskular, fungsi organ vital, dan respon pasien terhadap treatment, jenis cairan yang masuk, serta kemungkinan sumber perdarahan lainnya menjadi sangat penting. Maka, untuk keperluan tersebut maka perawat sebagai petugas yang 24 jam didekat pasien memiliki peran yang signifikan dalam efektifitas observasi tersebut (Phanmeesuk & Suksin, 2009).

2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi a. Diagnosa Keperawatan : Resiko shock hipovolemik (kurangnya volume cairan) berhubungan dengan peningkatan permeabilitas. Ditandai dengan: perubahan status mental, penurunan tekanan darah, peningkatan frekuensi nadi nadi, kulit/membran mukosa kering, hematokrit meningkat, suhu tubuh meningkat, konsentrasi urin meningkat, kelemahan. Kriteria hasil : keseimbangan cairan dan elektrolit dan asam basa tercapai, hidrasi adekuat. Intervensi : Intervensi prioritas NIC 1) Autotranfusi pengumpulan dan reinfusi darah yang hilang akibat perdarahan

2) Pengelolaan elektrolit peningkatan keseimbangan elektrolit dan pencegahan komplikasi akibat kadar elektrolit serum yang tidak normal atau tidak diinginkan (misalnya : kalsium, kalium, magnesium, natrium dan fosfat dalam serum). 3) Pengelolaan cairan : peningkatan dan analisis

data paisen untuk mengatur

keseimbangan cairan 4) Pengelolaan hipovolemia : expansi volume cairan intravaskular pada pasien yang mengalami penurunan volume. 5) Terapi intravena : Pemberian dan pemantauan cairan dan obat intravena 6) Pengelolaan syok , volume : peningkatan keadekuatan perfusi jaringan pada pasien yang mengalami masalah volume intravaskular yang berat

Aktifitas Keperawatan 1) Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan 2) Observasi khusus terhadap kehilangan cairan dan elektrolit yang tinggi 3) Pantau perdarahan 4) Identifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap bertambah buruknya dehidrasi 5) Tinjau ulang elektrolit terutama natrium, kalium dan klorida. 6) Kaji orientasi terhadap orang, tempat dan waktu. 7) Pengelolaan cairan (NIC) : a) Pantau status hidrasi b) Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan cairan c) Pertahankan keakuratan asupan dan keluaran.

Pendidikan untuk pasien dan keluarga 1) Anjurkan pasien untuk melaporakan kepada perawat bila haus

Aktivitas kolaboratif : 1) laporkan dan catat keluaran (Output) 2) laporkan abnormalitas elektrolit 3) berikan terapi IV sesuai dengan anjuran

b. Diagnosa keperawatan: Peningkatan suhu tubuh

lebih dari normal berhubungan

dengan terjadinya viremia (adanya virus dalam darah) Ditandai dengan : suhu tubuh lebih dari normal (36.5- 37 C), kulit memerah (hiperemi), RR meningkat, kulit hangat, tachikardi Kriteria Hasil: Suhu tubuh Normal (36,5-37 C), RR dan nadi normal, perubahan warna kulit tidak ada. Intervensi : Intervensi prioritas NIC 1) Pengobatan demam pengelolaan pasien dengan hipertermia yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bukan dari lingkungan 2) Regulasi suhu mencapai dan atau untuk mempertahankan suhu tubuh dalam rentang normal 3) Pemantauan tanda vital pengumpulan dan analisis data kardiovaskluar, respirasi, suhu tubuh untuk menentukan serta mencegah komplikasi

Aktivitas Keperawatan 1) Pantau aktivitas kejang 2) Pantau hidrasi 3) Pantau tekanan darah, nadi dan pernafasan 4) Regulasi suhu (NIC) : pantau suhu tubuh minimal tiap 2 jam sesuai dengan kebutuhan dengan pantau warna kulit dan suhu

Pendidikan untuk pasien dan keluarga 1) Ajarkan indikasi keletihan karena panas dan tindakan kedaruratan ynag diperlukan sesuai dengan kebutuhan

Aktifitas kolaboratif : 1) Berikan obat antipiretik sesuai dengan kebutuhan 2) Gunakan air hangat untuk mengatasi gangguan suhu tubuh sesuai dengan kebutuhan

Aktifitas lain : 1) Lepaskan pakaian yang berlebihn 2) Anjurkan asupan cairan oral 3) Gunakan kompres pada aksila, kening, leher dan lipat paha

c. Diagnosa Keperawatan: Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, diet dan perawatan

pasien

DHF

sehubungan

dengan

kurangnya

informasi.

Tujuan : Pengetahuan klien/keluarga tentang proses penyakit, diet, perawatan meningkat sehingga klien/keluarga memperlihatkan perilaku yang kooperatif.

Intervensi: 1) Kaji tingkat pengetahuan klien/keluarga tentang penyakit DHF 2) Kaji latar belakang pendidikan klien/ keluarga. 3) Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan obat-obatan pada klien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti. 4) Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan dan manfaatnya pada klien. 5) Berikan kesempatan pada klien/ keluarga untuk menanyakan hal-hal yang ingin diketahui sehubungan dengan penyakit yang diderita klien. 6) Gunakan

leaflet

atau

gambar-gambar

dalam

memberikan

penjelasan.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Demam berdarah adalah masalah kesehatan yang serius karena hamper tiap tahun selalu ada dan bahkan kadang-kadang meningkat tajam mengarah pada kejadian luar biasa (KLB). Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti. Penyakit demam berdarah dalam keadaan gawat memerlukan pertolongan segera dan semakin cepat ditolong makin besar kemungkinan untuk sembuh kembali. Pada setting prehospital masyarakat dan keluarga harus waspada terhadap tanda dan gejala yang dikeluhkan oleh pasien. Koordinasi dengan instansi terkait, misal dinas kesehatan adalah penting dalam rangka pencegahan penularan demam berdarah. Peran masyarakat sangat penting karena tanpa peran serta masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk guna tindakan pemberantasan penyakit demam berdarah. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/DSS terletak pada pengetahuan yang memadai setiap perawat untuk dapat mengetahui dengan jelas masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.

B. Saran a. Diperlukan peran masyarakat dan pemerintah secara luas untuk bersama-sama menjalankan program-program yang telah dibuat dalam penanggulangan DBD. b. Dibutuhkan peran serta perawat Puskesmas sebagai lini terdepan dalam pencegahan DBD di lingkungan masyarakat dengan deteksi dini dan peningkatan pendidikan kesehatan masyarakat terkait DBD.

Related Documents


More Documents from ""

Bab Ii.docx
June 2020 15
Kader.docx
May 2020 15
Kader E4.docx
May 2020 11
Dbd.docx
June 2020 9